2
Masa remaja merupakan masa bagi individu untuk mulai membuat rencana karir dengan eksplorasi dan mencari informasi karir yang diminati serta mulai membuat keputusan karir (Bardick, Bernes, Magnusson, & Witko, 2006; Creed, Patton, & Prideaux, 2006). Fokus utama dari tahapan eksplorasi adalah menggali sedalam dan seluas mungkin berbagai informasi diri serta bidang karir sebagai dasar menentukan pilihan karir tertentu. Eksplorasi karir yang dimaksud termasuk memilih sekolah lanjutan yang sejalan dengan karir yang akan ditekuni individu (Super dalam Savickas, 2002). Dengan demikian, kata karir bagi remaja SMA merujuk pada program studi yang akan ditempuh di jenjang Perguruan Tinggi. Masa eksplorasi karir dapat menjadi masa yang sulit bagi sejumlah remaja. Tidak semua remaja dapat mengambil keputusan dengan mudah (Creed, Patton, & Prideaux, 2006; Argyropoulou, Sidiropoulou-Dimakakao, & Besevegis, 2007; Hirschi & Lage, 2007). Kebingungan memilih karir telah menjadi isu pada jenjang pendidikan sekolah lanjutan atas (Nota dan Soresi, 2003). Dalam studi pendahuluan yang dilakukan Yulianto (2009) di sebuah SMA Purworejo, ditemukan fakta bahwa beberapa siswa kelas XII masih ragu dalam memilih pendidikan setelah lulus dari SMA. Mereka merasa kurang yakin dalam menentukan program pendidikan selanjutnya karena keterbatasan informasi dan tidak adanya perencanaan karir. Data konseling tim konselor Detection pada bulan September-Oktober 2013 menunjukkan bahwa 164 siswa kelas XII dari berbagai SMA di Yogyakarta menyampaikan permasalahan pemilihan program studi. Para siswa tersebut mengungkapkan bahwa mereka mengalami kebimbangan dan kesulitan dalam
3
menetapkan pilihan program studi yang sesuai dengan diri mereka. Menurut data konseling, salah satu penyebab siswa kesulitan menetapkan pilihan program studi adalah karena siswa merasa belum yakin dengan pilihannya. Temuan ini menjadi indikasi awal adanya permasalahan karir pada siswa SMA. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap 15 siswa kelas XII pada tanggal 1 November 2013, diketahui bahwa 10 orang dari mereka mengalami keraguan dalam menentukan pilihan program studi. Akibatnya, mereka belum dapat memutuskan program studi yang akan ditempuh. Peneliti juga melakukan survei terhadap 157 siswa kelas XI dari tiga SMA wilayah Yogyakarta pada tanggal 24-28 Februari 2014. Hasilnya, terdapat 43% siswa yang belum yakin dan masih bingung dengan pilihan program studi di Perguruan Tinggi. Selanjutnya, peneliti mewawancarai seorang guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sebuah SMA Negeri Kota Yogyakarta pada bulan Maret 2014. Dari wawancara tersebut, diketahui bahwa pada hari terakhir pendaftaran SNMPTN masih ada beberapa siswa kelas XII yang berkonsultasi tentang program studi yang akan dipilih, bahkan ada juga siswa yang sampai menyerahkan pengambilan keputusan program studi untuk dirinya pada guru BK. Dari berbagai temuan data di lapangan, tampak jelas adanya permasalahan ketidakyakinan siswa kelas XI dan XII dalam memilih program studi di Perguruan Tinggi. Adanya ketidakyakinan tersebut menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam pengambilan keputusan program studi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan peneliti terhadap siswa kelas XI dan XII, diketahui terdapat empat penyebab ketidakyakinan siswa dalam menetapkan
4
pilihan program studi, yakni : (1) siswa belum tahu minatnya akan program studi tertentu, (2) pilihan program studi yang diminati siswa berbeda dengan keinginan orang tua, (3) siswa belum tahu prospek karir dari program studi yang diminati, dan (4) siswa merasa belum memiliki kemampuan yang memadai sehingga merasa tidak yakin dan tidak percaya diri untuk mendaftar di program studi yang ia minati. Permasalahan yang dialami siswa kelas XI dan XII di atas dapat ditinjau dari perspektif sosial kognitif. Dalam perspektif sosial kognitif yang dikemukakan Bandura (1986), pembentukan perilaku individu dijelaskan dalam bentuk interaksi timbal balik antara determinan person (meliputi faktor kognitif dan faktor personal lain), behavior, dan environment, yang dikenal dengan istilah triadic reciprocality. Dari sini dapat dijelaskan bahwa perilaku pengambilan keputusan karir (pemilihan program studi) dipengaruhi oleh determinan individu (faktor personal) dan faktor lingkungan. Berikut dinamika permasalahan berdasarkan temuan data studi pendahuluan peneliti. Penyebab pertama ketidakyakinan siswa akan pilihan program studinya adalah siswa belum tahu minatnya akan program studi tertentu. Hal ini berkaitan dengan belum adanya rencana karir yang dibuat oleh siswa dan penyebab keempat, yakni keterbatasan informasi yang dimiliki siswa tentang prospek dari dari berbagai program studi. Pada kasus ini, dinamika permasalahan dapat dijelaskan dari perspektif sosial kognitif yakni adanya interaksi timbal balik faktor lingkungan dengan faktor personal (individu/siswa). Siswa ingin mengetahui program studi yang sesuai untuk dirinya. Namun, kurangnya ketersediaan informasi (faktor lingkungan) menyebabkan siswa kurang memiliki gambaran
5
tentang berbagai program studi dan prospek karirnya. Padahal, prospek karir merupakan salah bahan pertimbangan siswa untuk menentukan pilihan program studi yang akan ia tempuh. Menurut penuturan siswa, kurangnya informasi ini bersumber dari sikap orangtua yang memberikan kebebasan pada siswa sehingga siswa justru merasa kurang mendapatkan pendampingan dan wawasan karir dari orangtuanya. Sumber lain adalah kurangnya pendampingan dari pihak sekolah, terutama guru BK. Menurut siswa, tidak semua guru BK dapat memberikan informasi secara jelas dan lengkap. Akibatnya, siswa pun merasa tidak yakin dalam membuat keputusan karir. Perilaku yang muncul adalah siswa tidak mampu membuat keputusan pemilihan program studi. Penyebab kedua adalah pilihan program studi siswa berbeda dengan keinginan orangtuanya. Dinamika kasus ini juga dapat dijelaskan menggunakan perspektif sosial kognitif. Orangtua (faktor lingkungan) mengarahkan dan berusaha meyakinkan siswa (faktor personal) untuk mengambil program studi sesuai keinginan orangtua. Data wawancara menunjukkan bahwa sebagian orangtua tidak setuju dengan pilihan program studi siswa karena orangtua meragukan prospek karir dari pilihan program studi siswa. Pada beberapa kasus lain, orangtua menginginkan anaknya kuliah di program studi tertentu karena hal itu merupakan cita-cita dari orangtuanya yang tidak terwujud. Pada kasus yang lain, penyebabnya adalah prestige dari orangtua. Bagi orangtua, merupakan kebanggaan apabila anaknya dapat berkuliah di suatu program studi tertentu. Orangtua pun memberikan gambaran tentang program studi yang diinginkan orangtua dengan tujuan agar siswa berubah pikiran dan pada akhirnya mau
6
mengikuti saran orangtua. Siswa pun menjadi bingung karena di satu sisi ia ingin kuliah di program studi sesuai keinginannya, namun di sisi lain ia juga ingin membahagiakan orangtuanya dan tidak ingin membuat orangtua kecewa. Akhirnya, siswa pun yang semula yakin dengan pilihannya menjadi ragu. Akibatnya, perilaku yang muncul adalah siswa tidak mampu mengambil keputusan karena merasa bimbang dan tidak yakin dengan pilihannya. Penyebab ketiga adalah siswa merasa kurang memiliki kemampuan yang cukup. Siswa (faktor personal) berminat pada satu program studi tertentu. Ia pun mencari berbagai informasi tentang program studi tersebut. Dari lingkungan sekitar (guru, tentor, teman, dan sebagainya), ia mengetahui bahwa peminat akan program studi tersebut tergolong banyak dan passing grade-nya tergolong cukup tinggi. Adanya pengaruh dari lingkungan tersebut menyebabkan siswa menilai kemampuan dirinya. Siswa menjadi merasa bahwa kemampuan yang ia miliki masih kurang memadai untuk bersaing masuk di program studi tersebut. Hal ini menyebabkan siswa menjadi ragu dengan pilihannya dan tidak yakin untuk menetapkan pilihan. Perilaku yang muncul pun adalah siswa tidak mampu mengambil keputusan pilihan program studi. Berdasarkan pemaparan dinamika permasalahan di atas tampak bahwa perilaku individu yaitu tidak mampu mengambil keputusan program studi didahului dengan adanya rasa tidak yakin atau keraguan individu dalam menetapkan pilihan program studi. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan individu dalam menetapkan pilihan berperan penting dalam kemunculan perilaku pengambilan keputusan karir. Seperti yang diungkapkan Bandura (1986) bahwa
7
bagaimana individu berperilaku dalam situasi tertentu tergantung pada resiprokal antara lingkungan dengan faktor personal individu, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan suatu tindakan untuk mencapai hasil tertentu dengan berhasil. Bandura (1986) menyebut keyakinan diri ini sebagai efikasi diri. Dari sini tampak bahwa perspektif sosial kognitif menempatkan efikasi diri sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku, termasuk perilaku pengambilan keputusan karir. Widyastuti & Pratiwi (2013) meneliti faktor internal dan eksternal dari kemantapan pengambilan keputusan karir. Faktor internal yang diteliti adalah efikasi diri. Sementara faktor eksternalnya adalah dukungan sosial keluarga. Hasilnya, efikasi diri berpengaruh terhadap kemantapan pengambilan keputusan karir dengan kontribusi sebesar 30,8%. Sementara kontribusi dukungan sosial keluarga sebesar 11,6%. Hal ini menunjukkan bahwa efikasi diri berkontribusi lebih besar terhadap kemantapan pengambilan keputusan karir dibanding dukungan sosial keluarga. Efikasi diri memiliki pengaruh dalam menentukan pilihan, performansi, ketekunan, dan tindakan mendekati atau menyelesaikan tugas (Nilson, Schmidt, & Meek, 2007). Efikasi diri merupakan indikator yang penting dalam penentuan karir (Bandura, 1997; Brown & Lent, 2005; Creed, Patton, & Prideaux, 2006; Pappas & Kounenou, 2011). Berbagai penelitian pun telah membuktikan pentingnya efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir (Paulsen & Betz, 2004). Penelitian Peilouw dan Nursalim (2013) pada 95 remaja di SMA Kristen Surabaya menunjukkan bahwa 25,5% dari variasi pengambilan keputusan dapat
8
diprediksi melalui efikasi diri. Bahkan, hasil penelitian Budiningsih (2012) pada 219 siswa kelas XII SMA Negeri di Semarang berhasil membuktikan bahwa efikasi diri mampu memprediksi pengambilan keputusan karir hingga sebesar 45,22%. Berdasarkan pemaparan di atas tampak bahwa efikasi diri merupakan faktor penting yang menentukan perilaku pengambilan keputusan karir seseorang. Menurut Hackett (dalam Gainor, 2006), konsep efikasi diri ini harus mengacu pada perilaku tertentu agar bermakna. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan ketidakyakinan siswa kelas XI dan XII dalam menetapkan pilihan program studi menunjukkan kurangnya efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada diri siswa. Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir adalah kepercayaan diri individu akan kemampuannya untuk membuat keputusan karir dengan tepat (Taylor & Betz, 1983). Menurut Creed, Patton, & Prideaux, (2006), efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir adalah keyakinan yang dimiliki seseorang dalam kapasitasnya untuk mengambil keputusan berkaitan dengan eksplorasi dan pilihan karir. Senada dengan hal tersebut, efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir adalah keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan tugas-tugas terkait membuat keputusan karir (Flores, dkk, 2006). Efikasi diri dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui empat sumber informasi, yakni (1) enactive mastery experience, (2) vicarious experience, (3) verbal persuasion, dan (4) physiological and affective states (Bandura, 1997). Lebih lanjut Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri terdiri dari tiga dimensi. Pertama, dimensi level. Dimensi ini merujuk pada keyakinan individu akan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas pada tingkatan kesulitan yang
9
berbeda. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Dengan demikian, efikasi diri pada setiap individu berbeda-beda, dapat saja terbatas pada tuntutan tugas mudah, sedang, atau sulit. Kedua, dimensi generality. Dimensi ini berkaitan dengan cakupan luas bidang tingkah laku dimana individu merasa yakin dengan kemampuannya. Individu dapat menilai dirinya efikasius pada serangkaian kegiatan atau hanya pada bidang tertentu saja. Pola dan rentang keluasan bidang efikasi diri seseorang tampak dari bidang kegiatan yang dilakukan dan konteks situasional dalam kegiatan tersebut. Ketiga, dimensi strength. Dimensi ini berkaitan dengan kekuatan keyakinan individu akan kemampuannya. Individu yang memiliki keyakinan kuat atas kemampuannya akan tekun dalam usahanya. Nilai strength yang tinggi tidak secara langsung menunjukkan kemampuan seseorang dalam berpartisipasi pada tugas yang diberikan, namun lebih menggambarkan keteguhan hatinya dalam menghadapi berbagai rintangan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Bandura (1997) menjelaskan bahwa terdapat empat proses psikologis utama pada efikasi diri. Pertama, proses kognitif, yaitu seseorang yang mempunyai suatu pengertian yang lebih terhadap efikasi akan membayangkan sukses yang memberikan pedoman-pedoman positif dan mendukung untuk mencapainya. Kedua, proses motivasi, yaitu seseorang memotivasi diri dan memandu tindakannya yang bersifat antisipatif melalui latihan dari pemikiran sebelumnya. Ketiga, proses afektif, yaitu kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatasi masalah memegang peranan penting dalam
10
mengatur status emosi. Individu yang percaya bahwa dirinya mampu mengendalikan ancaman-ancaman tidak akan terganggu pola pikirnya. Keempat, proses pilihan, yaitu efikasi diri seseorang dapat mempengaruhi pilihan lingkungan dan aktivitasnya. Individu akan menghindari situasi dan aktivitas yang dianggap melebihi kemampuannya. Begitu pula sebaliknya. Dengan memiliki efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir yang tinggi, maka individu akan mampu mempertahankan pilihan program studinya meskipun lingkungan kurang mendukung (seperti : orangtua tidak setuju dan adanya pandangan negatif tentang prospek karir dari program studi yang dituju). Bahkan, efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir yang tinggi dapat mendorong individu untuk mencari berbagai solusi saat menemui hambatan, seperti mengajak diskusi orangtua agar mau mendukung pilihan individu. Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir yang tinggi akan meningkatkan komitmen individu untuk melakukan eksplorasi karir (Wolfe & Betz, 2004; Stone, 2006). Salah satunya, individu akan termotivasi untuk mencari informasi tentang program studi secara aktif. Saat tidak mendapatkan informasi karir dari satu sumber tertentu (misalnya, guru BK), maka individu yang efikasius akan mencari informasi pada sumber yang lain. Individu yang memiliki efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir yang tinggi akan berhasil membuat keputusan karir yang tepat untuk dirinya. Apabila individu sampai membuat keputusan karir dengan tidak tepat atau salah memilih jurusan, maka individu berpotensi mengalami permasalahan psikologis, akademik, dan relasional ke depannya (Germeijs & Verschueren, 2007). Dengan
11
demikian, efikasi diri penting untuk diperhatikan dalam pembentukan perilaku pengambilan keputusan karir. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan adanya permasalahan kurangnya efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa kelas XI dan XII. Oleh karenanya, penelitian ini berfokus mengatasi permasalahan tersebut. Efikasi diri yang rendah dalam pengambilan keputusan karir berkaitan dengan ketidaktahuan individu akan kelebihan dan kekurangannya, tidak mendapatkan informasi tentang rencana karir, tidak dapat membuat tujuan, tidak dapat membuat perencanaan karir, dan tidak bisa memecahkan masalah terkait karirnya (Wang, Zhang, dan Shao, 2010). Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap 15 siswa kelas XII pada tanggal 1 November 2013 dapat disimpulkan bahwa penyebab kurangnya efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa adalah (1) kurangnya pemahaman diri, (2) kurangnya wawasan/informasi karir, dan (3) ketidakmampuan dalam menetapkan tujuan dan rencana karir. Oleh karenanya, untuk meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir dapat diberikan intervensi yang berkaitan dengan faktor penyebabnya, yakni berupa pemahaman diri, wawasan karir, dan penetapan tujuan serta rencana karir. Jaffe dan Scott (dalam Kummerow, 1991) mengungkapkan bahwa pemahaman diri, wawasan karir, dan penetapan tujuan serta rencana karir merupakan tiga hal penting dalam perencanaan karir. Perencanaan karir berkaitan erat dengan keyakinan diri dalam pengambilan keputusan karir, menetapkan harapan dan tujuan karir (Creed & Rogers, 2010). Dengan demikian, intervensi
12
yang sesuai untuk permasalahan rendahnya efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa adalah intervensi perencanaan karir. Berdasarkan perspektif sosial kognitif, intervensi perencanaan karir merupakan bagian dari faktor lingkungan yang berperan untuk mempengaruhi faktor personal, yakni efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa, agar lebih meningkat. Menurut Jaffe dan Scott (dalam Kummerow, 1991), perencanaan karir adalah proses bertahap yang terdiri dari lima tahapan. Berikut penjelasannya. 1. Menilai diri sendiri Individu mengeksplorasi kekuatan, kelemahan, target, minat, impian, dan nilai-nilai yang dimiliki individu. Individu mereviu kembali apa yang sudah dicapai, sedang dilakukan, dan akan dilakukan di masa mendatang. Individu menfokuskan dirinya pada saat ini dan masa depan. 2. Mengeksplorasi peluang Individu mencari dan mengeksplorasi berbagai peluang di sekitarnya. Individu perlu mengetahui langkah-langkah untuk mendapatkan peluang tersebut
dan
melihat
beberapa
pilihan
yang
ada.
Individu
harus
mempertimbangkan peluang yang ada untuk pengembangan karirnya. 3. Menyusun rencana karir Pada tahap ini, individu menyaring pengetahuan dan informasi yang sudah dipahami tentang diri sendiri dan peluang karir, serta membuat rencana karir. Oleh karenanya, individu perlu mengingat kembali impiannya dan menetapkan target berdasarkan hasil analisis diri dan eksplorasi peluang.
13
Selanjutnya, individu membuat beberapa target yang lebih spesifik dan aktivitas-aktivitas yang mendukung pencapaian target tersebut. 4. Melakukan tindakan (implementasi) Ketercapaian target dalam rencana yang telah dibuat tergantung pada komitmen individu. Oleh karenanya, individu perlu melakukan kegiatan yang dapat mendekatkan pada target tersebut dengan membagi rencana-rencana tersebut dalam aktivitas-aktivitas kunci untuk tiap minggu serta selalu mencari peluang yang ada. Tahapan untuk melakukan rencana tindakan melibatkan kebutuhan untuk menambah wawasan dan pengembangan diri. 5. Mengevaluasi hasil Rencana tindakan yang sudah dibuat perlu dievaluasi untuk mengetahui apakah individu telah membuat keputusan karir yang tepat dan merasa puas. Evaluasi dilakukan antara lain berdasarkan pencapaian target dan kepuasan yang dirasakan. Apabila individu merasa tidak puas, maka individu dapat kembali pada tahap sebelumnya. Teori perencanaan karir Jaffe dan Scott telah terbukti dapat meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir. Hal ini tampak dari keberhasilan penelitian Kusumaningrum (2012) yang menggunakan teori perencanaan karir Jaffe dan Scott untuk meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada mahasiswa tingkat akhir. Beberapa intervensi perencanaan karir lain yang juga terbukti meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir adalah pelatihan perencanaan karir (Mulyana, 2009; Iyyasi, 2013), kursus karir (Scott & Ciani, 2008; Fouad, Cotter, & Kantamneni, 2009), konseling karir
14
(Setiawati, 2009; Yulianto, 2012), dan group training (Wang, Zhang, & Shao, 2010). Dari sini diketahui bahwa intervensi perencanaan karir memang dapat meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir. Blum dan Balinsky (1970) mengungkapkan bahwa pelatihan dapat digunakan untuk bimbingan karir. Pelatihan merupakan pendekatan kelompok yang memberikan banyak umpan balik bagi individu. Umpan balik merupakan salah satu dari lima komponen dalam intervensi karir yang efektif (Brown dan Krane, 2000). Pelatihan merupakan metode pembelajaran yang bertujuan untuk mengubah aspek kognitif, afektif, serta hasil ketrampilan dan keahlian (Kirkpatrick dalam Salas & Browers, 2001). Oleh karenanya, peneliti memilih menggunakan pelatihan perencanaan karir sebagai teknik intervensi untuk meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa. Penggunaan teknik pelatihan ini dipandang tepat karena efikasi diri merupakan determinan kognitif yang mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan karir. Hasil preliminary study tanggal 1 November 2013 dan 24-28 Februari 2014 menunjukkan adanya permasalahan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa kelas XI dan XII. Hal ini merupakan bukti nyata perlunya pendampingan karir bagi siswa SMA. Witko, Bernes, Magnusson, & Bardick (2005) mengungkapkan bahwa perencanaan karir penting diberikan pada siswa SMA. Apabila siswa tidak merencanakan karirnya dengan baik, maka ada konsekuensi kegagalan di masa depan (Trusty, Niles, & Carney, 2005). Dengan demikian, semakin dini siswa SMA diberikan pendampingan karir, maka akan
15
semakin siap dan yakin pula siswa dalam menentukan studi lanjutnya. Oleh karenanya, penelitian ini mengambil subjek siswa kelas XI. Dalam penelitian ini, modul pelatihan disusun berdasarkan teori perencanaan karir Jaffe dan Scott. Pada pelatihan yang diberi nama “PLANS” ini, terdapat 5 sesi pelatihan yaitu, (1) analisis diri, (2) wawasan karir, (3) penetapan tujuan dan perencanaan karir, (4) implementasi atau rencana tindakan, dan (5) evaluasi. Adapun metode pembelajaran yang digunakan adalah konsep observational learning (belajar melalui pengamatan) milik Bandura. Dengan metode ini, individu memperoleh ketrampilan kognitif dan pola perilaku baru dengan cara mengamati performansi orang lain. Efikasi diri individu dapat meningkat melalui pengamatan terhadap orang lain (model), terutama jika individu merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari model serta mempunyai banyak kesamaan karakteristik, tingkat kesulitan tugas, dan situasi dengan model (Bandura, 1986). Terdapat empat tahapan belajar dalam metode observational learning, yakni attentional processes, retention processes, production processes, dan motivational processes (Bandura, 1986). Dalam pelatihan, peserta diajak untuk mengamati perilaku orang lain melalui video dan pengamatan langsung melalui berbagai aktivitas. Dengan mengamati, peserta memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang dapat digunakan untuk membentuk perilaku baru. Pelatihan ini menggunakan empat sumber informasi efikasi diri, yakni enactive mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion, dan physiological and affective states. Berikut merupakan kerangka pemikiran penelitian.
16
Permasalahan efikasi diri siswa kelas XI dan XII dalam pengambilan keputusan karir Siswa merasa ragu dengan pilihan karirnya karena - tidak yakin dengan kemampuannya - kurang informasi karir - tidak bisa menetapkan tujuan dan rencana karir
Pendampingan karir sedini mungkin Pelatihan Perencanaan Karir “PLANS” bagi siswa kelas XI Terdiri dari 5 sesi utama Analisis Diri Wawasan karir Penetapan tujuan dan perencanaan karir Implementasi/ Rencana Tindakan Evaluasi Menggunakan observational learning dan 4 sumber informasi
Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa kelas XI meningkat
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan perencanaan karir “PLANS” dalam meningkatkan efikasi diri pengambilan keputusan karir pada siswa kelas XI. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan teori efikasi diri dan perencanaan karir terutama untuk kesiapan siswa SMA memasuki jenjang pendidikan Perguruan Tinggi. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk mengatasi permasalahan ketidakyakinan siswa kelas XI dalam menetapkan pilihan karirnya. Manfaat praktis kedua adalah modul pelatihan “PLANS” dapat digunakan untuk meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa kelas XI. Hipotesis penelitian ini adalah pelatihan “PLANS” dapat meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada siswa kelas XI.
METODE Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir. Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir