KARAKTERISTIK TAHU DARI BAHAN BAKU BEBERAPA VARIETAS UNGGUL KEDELAI Rahmi Yulifianti*) dan Erliana Ginting Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian PO Box 66 Malang 65101 *) E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Keragaman sifat fisik dan kimia biji dari varietas kedelai yang berbeda mempengaruhi kualitas tahu yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi sifat fisik dan kimia beberapa varietas unggul baru kedelai dan kualitas tahu yang dihasilkan. Pada penelitian ini, pembuatan tahu menggunakan bahan baku biji kedelai lokal dari varietas unggul Anjasmoro, Argomulyo, Grobogan, Kaba dan Gema serta kedelai impor. Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap, satu faktor dengan tiga ulangan. Pengamatan meliputi sifat fisik dan kimia biji kedelai serta sifat fisik, kimia tahu dan sensoris tahu mentah dan tahu goreng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot 100 biji berkisar antara 9,50−19,25 g. Varietas Argomulyo, Grobogan, dan Kaba memiliki kadar protein tinggi (39,25−40,45% bk). Varietas kedelai berpengaruh nyata terhadap rendemen, kekerasan, kadar abu, dan kadar air tahu. Rendemen tahu lebih banyak dipengaruhi oleh kadar protein biji kedelai. Varietas Gema menunjukkan rendemen tahu tertinggi (182,6%), dan sebaliknya untuk varietas Grobogan (155,3%). Tahu dengan tingkat kekerasan tertinggi diperoleh dari varietas Argomulyo dan Kaba (28,9−29,7 N). Untuk tahu dari semua genotipe, kadar abu berkisar antara 0,80−1,08% bb dan kadar protein 12,39−12,84%, sesuai dengan SNI 01-3142-1998. Tingkat kesukaan terhadap warna dan aroma tahu mentah dari keenam genotipe kedelai relatif sama (suka). Namun untuk warna, aroma, dan rasa tahu goreng, skor tertinggi diperoleh pada varietas Gema (suka), diikuti kedelai impor. Kata kunci: kedelai, varietas, kualitas, tahu.
ABSTRACT Characteristics of tofu made from soybean superior varieties. The diversity of physical and chemical properties of soybean seeds as a result of different varieties of soybean affects the quality of tofu. Therefore, it is important to identify physical and chemical properties several varieties of soybean seeds as well as the quality of tofu. Observations were undertaken on physical and chemical properties of soybean seed, chemical and sensory properties of raw and fried tofu. The results showed that weight of 100 seeds ranged from 9.50 to 19.25 g. Argomulyo, Grobogan and Kaba varieties had high protein content (39.25-40.45% dw). Soybean varieties significantly affected the yield recovery, hardness, ash content and moisture content of tofu. Yield recovery of tofu was influenced by the protein content of soybean seeds. Gema variety showed the highest yield recovery of tofu. Tofu with the highest rate of hardness was obtained from Argomulyo and Kaba varieties. The ash content ranged from 0.80 to 1.08% fw and protein content ranged from 12.39 to 12.84% which were suitable with the requirements of SNI 01-3142-1998. The results of sensory test showed that the score of preference for color and aroma of raw tofu of six soybean varieties were relatively similar (like). However, for color, aroma, and flavor of fried tofu, the highest score was obtained by tofu made from Gema variety (like) and followed by tofu made from imported soybean. Keywords: soybean, varieties, quality, tofu, raw materials
330
Yulifianti dan Ginting: Karakteristik Tahu dari Beberapa Varietas Unggul Kedelai
PENDAHULUAN Hampir 90% kedelai yang tersedia di Indonesia digunakan untuk bahan pangan, terutama dalam bentuk tempe dan tahu serta dalam jumlah kecil untuk kecap, tauco, tepung, susu dan lain-lain, sedangkan 10% sisanya untuk pakan dan benih (Silitonga dan Djanuwardi 1996 FAOSTAT 2005). Konsumsi kedelai untuk bahan pangan semakin meningkat seiring dengan promosi kedelai untuk bahan pangan fungsional kaya isoflavon sebagai antioksidan. Untuk mengatasi tingginya impor kedelai, telah dikembangkan varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi (lebih dari 2 t/ha) (Balitkabi 2008), dan sesuai kriteria fisik dan kimianya untuk produk olahan tertentu. Salah satu produk olahan kedelai adalah tahu yang dibuat dari bahan baku kedelai yang diekstrak, kemudian digumpalkan menggunakan bahan penggumpal (koagulan) yang dapat berupa batu tahu (kalsium sulfat), biang/whey, dan asam asetat atau glucono delta lactone (GDL) (Ginting et al. 2009). Menurut Krisdiana (2005), untuk produk tahu, pengrajin memilih kedelai dengan warna biji kuning (33%), hijau (30%) dan kuning kehijauan (20%) sebagai bahan baku dengan ukuran biji beragam, yakni besar (36%), sedang (33%) dan kecil (18%). Pada tingkat produsen, kedelai impor lebih diminati daripada kedelai lokal karena produksi kedelai lokal belum berkesinambungan dan pendeknya umur simpan yang disebabkan oleh kurang sempurnanya pengeringan dan petani kurang memperhatikan mutu hasil panen (Suharno dan Harnowo 2008). Oleh karena itu, varietas unggul baru yang dihasilkan perlu diuji kesesuaiannya untuk produk olahan tertentu dan memacu adopsinya oleh pengguna. Varietas unggul baru Anjasmoro, Argomulyo, Grobogan, Kaba, dan Gema yang dilepas dalam 10 tahun terakhir perlu dievaluasi sifat fisik, kimia, dan sensorisnya bila diolah menjadi tahu. Hal ini penting untuk sosialisasi varietas unggul kedelai kepada petani dan industri seiring dengan upaya mencapai swasembada kedelai karena selama ini pengrajin/industri tahu masih dominan menggunakan kedelai impor. Tujuan penelitian untuk mengetahui karakter fisik dan kimia tahu dari beberapa varietas unggul yang dibandingkan dengan kedelai impor yang biasa digunakan oleh pengrajin tahu dan kesesuaiannya dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), terutama untuk kadar abu dan protein. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium kimia dan teknologi pangan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, pada bulan Agustus−Oktober 2011. Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap satu faktor dengan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah lima varietas unggul kedelai kuning: Anjasmoro, Argomulyo, Grobogan, Kaba, dan Gema (sebelumnya galur SHR-W60) dan satu kedelai impor sebagai pembanding. Lima varietas unggul merupakan hasil pertanaman MK I 2011 di Ngawi, Jawa Timur. Biji kedelai impor (berwarna kuning dengan kualitas baik) diperoleh dari Kopti Bangkit Usaha Malang dan biasa digunakan oleh pengrajin tahu di Kota Malang. Proses pembuatan tahu mengacu pada penelitian Kusbiantoro (1993). Tahap pertama adalah sortasi untuk mendapatkan biji kedelai dengan kualitas baik. Biji yang telah disortasi kemudian direndam selama 8 jam pada suhu kamar (30°C). Setelah direndam ditiriskan dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sisa air rendaman. Selanjutnya kedelai
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2012
331
dan air panas dengan perbandingan biji:air = 1 kg:8 liter digiling lalu direbus pada suhu 100oC selama 10 menit sambil diaduk. Selanjutnya diekstraksi dengan cara disaring dan ditambahkan koagulan 25% asam asetat sebanyak 15 ml sambil terus diaduk. Tahap terakhir adalah pencetakan dan pengepresan untuk mengurangi kadar air pada hasil koagulasi ekstrak kedelai selama 20 menit dengan bobot beban 1 kg. Pengamatan meliputi sifat fisik biji, yakni bobot 100 biji dan sifat kimia yang meliputi kadar air (metode oven), abu (alat muffle furnace), protein (mikro Kjeldahl), dan lemak (metode Soxhlet). Parameter tahu yang diamati adalah rendemen (bobot tahu/bobot biji) berdasarkan bobot tahu yang diperoleh dari 200 g biji, kecerahan (L* dengan colour reader) dengan kisaran antara 0 (hitam) sampai 100 (putih), kekerasan (dengan texture analyzer) serta komposisi kimia (air, abu dan protein). Untuk mengetahui kualitasnya, kadar abu dan protein tahu dibandingkan dengan SNI 01-3142-1998. Dalam penelitian ini juga diamati sifat sensoris (warna, aroma, tekstur, dan rasa) tahu mentah dan tahu goreng. Khusus biji kedelai varietas Kaba diolah/digiling dengan dua nisbah biji:air yang berbeda, yakni 1 kg: 8 liter (A) dan 1 kg:10 liter (B) karena tekstur tahu yang dihasilkan dari nisbah yang pertama cukup keras, sehingga perlu pengenceran filtrat dengan menambah jumlah air pada saat penggilingan. Tahu digoreng dalam bentuk dadu pada suhu 1300 C dan waktu 10 menit tanpa penambahan garam atau bumbu lain. Uji hedonic dengan 20 panelis dilakukan terhadap semua sifat sensoris tahu menggunakan metode skoring untuk uji kesukaan, skor 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak suka), 4 (suka), dan 5 (sangat suka). Sedangkan preferensi tekstur dengan skor 1 (sangat lunak), 2 (lunak), 3 (agak lunak), 4 (keras), dan 5 (sangat keras).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik dan Kimia Biji Kedelai Enam varietas kedelai yang digunakan memiliki bobot biji berbeda nyata dengan kisaran bobot 100 biji 9,5−19,3 g (Tabel 1). Kedelai digolongkan berbiji kecil bila memiliki bobot 8−10 g/100 biji, berbiji sedang untuk 10−13 g/100 biji, dan berbiji besar bila lebih besar 13 g/100 biji (Susanto dan Saneto 1994). Berdasarkan kriteria tersebut, varietas Anjasmoro, Argomulyo, Grobogan dan kedelai impor termasuk berbiji besar, sedangkan varietas Gema berbiji sedang, dan varietas Kaba berbiji kecil (Tabel 1). Untuk produk olahan kedelai yang prosesnya digiling, seperti tahu dan susu kedelai, ukuran biji tidak menjadi masalah (Krisdiana 2005). Kadar air biji kedelai berbeda nyata antarvarietas dengan kisaran 8,7−11,9% (Tabel 1). Perbedaan kadar air dipengaruhi oleh penanganan pascapanennya, terutama pengeringan dan penyimpanan. Kadar air biji dari semua varietas kedelai cukup rendah dan aman untuk disimpan (kurang dari 12%) (Suharno dan Harnowo 2008). Kadar air tertinggi terdapat pada varietas Anjasmoro dan Argomulyo, sedangkan terendah pada kedelai impor (Tabel 1). Kadar abu biji kedelai juga berbeda nyata antarvarietas, dengan kisaran 5,3−5,9% (Tabel 1). Nilai kadar abu ini relatif sama dengan kadar abu lima varietas yang dilaporkan Ginting dan Antarlina (2002) dengan kisaran 5,3−6,3%. Kadar abu menunjukkan tingkat kandungan mineral biji kedelai, terutama kalsium, fosfor dan besi (Saxena dan Singh 1997). Smith dan Circle (1978) dalam Kusbiantoro (1993) mengemukakan bahwa varietas, iklim, dan tingkat kesuburan tanah mempengaruhi kadar mineral biji-bijian.
332
Yulifianti dan Ginting: Karakteristik Tahu dari Beberapa Varietas Unggul Kedelai
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia biji dari enam varietas kedelai. Lab. Balitkabi, Malang, 2011. Varietas Anjasmoro Argomulyo Grobogan Kaba Gema Kedelai Impor KK (%) BNT 5%
Bobot 100 biji (g) 12,3 d 13,2 c 19,3 a 9,5 f 10,3 e 15,8 b 2,4 0,7
Kadar air (%) 11,9 a 11,6 ab 10,4 c 11,3 b 8,7 d 8,0 e 2,3 0,4
Kadar abu (% bk) 5,9 ab 5,5 c 5,3 c 5,4 c 5,9 a 5,7 b 1,50 0,15
Protein (% bk) 37,1 c 40,5 a 39,9 ab 39,3 ab 38,3 bc 35,2 d 2,5 1,8
Lemak (% bk) 20,4 b 17,2 d 19,6 c 17,2 d 16,2 e 21,5 a 1,1 0,4
KK = koefisien keragaman; bk = basis kering. Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%.
Beda nyata antarvarietas kedelai juga ditunjukkan pada kadar protein biji. Varietas Argomulyo, Grobogan, dan Kaba mempunyai kandungan protein biji tertinggi, sedang kedelai impor memiliki kadar protein terendah (Tabel 1). Kadar protein biji dari lima varietas pada penelitian ini relatif berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu (Balitkabi 2008; Yulifianti dan Ginting 2011). Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan tumbuh dan musim. Namun, biji kedelai impor yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai kadar protein yang relatif sama dengan hasil penelitian Antarlina (2002) dan Ginting et al. (2009), berkisar antara 35,0−36,8% bk. Kadar lemak juga berbeda nyata antarvarietas, biji kedelai impor mempunyai kadar lemak tertinggi, sedangkan nilai terendah pada varietas Gema (Tabel 1). Komposisi kimia biji kedelai ditentukan oleh varietas, kesuburan tanah, dan kondisi iklim (Ginting et al. 2009), serta cara pemupukan dan pengairan (Kuntyastuti et al. 1999). Sifat Fisik dan Kimia Tahu Rendemen tahu antarvarietas kedelai berbeda nyata, dengan nilai tertinggi pada varietas Gema dan terendah pada varietas Grobongan (Tabel 2). Kedelai impor memiliki rendemen lebih rendah dibanding semua varietas, kecuali varietas Anjasmoro. Varietas Grobogan mempunyai kadar protein biji cukup tinggi, namun rendemen tahunya paling rendah. Fenomena yang sama juga diamati pada rendemen susu kedelai yang dihasilkan dari varietas Grobogan (Ginting et al. 2009). Indrasari dan Damardjati (1991) serta Soejadi dan Mudjisihono (1995) melaporkan tidak adanya korelasi antara kadar protein biji dengan rendemen tahu pada pengamatan 22 varietas/galur kedelai. Hal ini menunjukkan kadar protein bukan satu-satunya penentu rendemen tahu. Wijaya dan Rohman (2001) dalam Ginting et al. (2009) menyatakan bahwa fraksi protein menentukan mutu produk olahan kedelai dan menurut Widowati dan Emilia (1994) dalam Ginting et al. (2009), komposisi fraksi protein berdasarkan sifat kelarutannya berpengaruh terhadap rendemen tahu. Fraksi globulin berkorelasi positif dengan rendemen tahu, sedangkan fraksi prolamin berkorelasi negatif. Hal ini menunjukkan biji kedelai dengan proporsi fraksi globulin lebih tinggi menghasilkan rendemen tahu yang tinggi pula. Di samping itu, teknik pengolahan juga dapat menentukan rendemen dari tahu yang dihasilkan (Ginting et al. 2009). Tabel 2. Sifat fisik dan kimia tahu dari enam varietas kedelai. Lab. Balitkabi, Malang, 2011. Varietas
Rendemen
Kecerahan
Kekerasan
Kadar air
Kadar abu
Protein
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2012
333
kedelai Anjasmoro Argomulyo Grobogan Kaba Gema Kedelai Impor SNI* KK (%) BNT 5%
(%) 168,15 cd 171,21 c 155,75 e 176,53 b 182,60 a 165,67 d 1,27 3,93
(L*) 83,77 a 84,33 a 85,10 a 84,97 a 83,13 a 84,67 a 0,97 tn
(N) 12,78 d 29,69 a 8,91 e 28,91 a 23,29 b 16,20 c 2,01 5,53
(%) 75,58 b 76,48 ab 77,23 a 75,58 b 76,12 ab 75,13 b 1,19 1,64
(% bb) 0,80 c 0,84 bc 0,98 ab 1,08 a 0,89 bc 0,93 abc ≤ 1,0 10,47 0,17
(% bb) 12,39 a 12,84 a 12,50 a 13,26 a 12,69 a 12,49 a ≥ 9,0 4,17 tn
KK = koefisien keragaman; bb = basis basah; tn = tidak nyata; - = tidak disyaratkan dalam SNI *SNI 01-3142-1998 (Badan Standarisasi Nasional 1998) Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%.
Tingkat kecerahan warna tahu tidak berbeda nyata antarvarietas kedelai (Tabel 2). Keenam varietas kedelai dan kedelai impor yang digunakan berwarna kuning cerah, sehingga warna tahu yang dihasilkan juga relatif sama. Lama penyimpanan biji kedelai sebelum pengolahan juga turut menentukan tingkat kecerahan produk yang dihasilkan (Ginting et al. 2009). Tingkat kekerasan tahu berbeda nyata antarvarietas kedelai, nilai tertinggi adalah pada tahu yang dibuat dari biji varietas Argomulyo dan Kaba, sedangkan terendah dari biji varietas Grobogan (Tabel 2). Meskipun pada penelitian ini digunakan penggumpal yang sama, namun tekstur atau tingkat kekerasan tahu dapat dipengaruhi oleh macam bahan penggumpal yang digunakan. Nilai kekerasan yang tinggi dan rendah menunjukkan tahu memiliki tekstur keras dan lunak. Poysa dan Woodrow (2002) melaporkan adanya korelasi kadar protein biji dengan tekstur tahu pada 10 varietas/galur kedelai dengan menggunakan bahan penggumpal GDL yang ternyata lebih rendah nilai korelasinya dibandingkan dengan bahan penggumpal kalsium asetat. Menurut Antarlina et al. (2002), tingkat kekerasan tahu berkorelasi positif dengan kadar protein biji. Mujoo et al.(2001) dan Widowati et al. (1998) dalam Ginting et al. (2009) melaporkan bahwa biji kedelai dengan kandungan fraksi protein 11S (hasil fraksinasi globulin) dan nisbah fraksi 11S/7S tinggi, cenderung menghasilkan rendemen tahu yang tinggi dan tekstur tahu yang keras. Perbedaan fraksi protein tersebut dapat menjelaskan perbedaan tingkat kekerasan tahu yang dihasilkan (Kusbiantoro 1993). Kadar air tahu berbeda nyata antarvarietas kedelai dengan kisaran 75,1−77,2% (Tabel 2). Dengan cara pengolahan basah, Hermana (1985) melaporkan kadar air tahu 91,0%. Nisbah antara jumlah air dan biji kedelai, lama perendaman, metode ekstraksi, jenis penggumpal dan lama serta bobot pembebanan saat pencetakan tahu berpengaruh terhadap kadar air tahu yang dihasilkan. Kadar abu tahu berbeda nyata antarvarietas kedelai (Tabel 2 dan Tabel 3). Nilai kadar abu tahu relatif kecil (kurang dari 1,1%) dibandingkan dengan kadar abu biji kedelainya (Tabel 1). Semua kadar abu varietas kedelai yang diteliti sesuai dengan persyaratan SNI yang mensyaratkan maksimal 1,0% (bb), namun tahu dari varietas Kaba memiliki kadar abu relatif lebih tinggi (1,08%) dari persyaratan SNI (Tabel 2). Dibandingkan antarvarietas, kadar abu tertinggi dimiliki oleh tahu dari varietas Kaba (4,34% bk) dan varietas Grobogan (3,95% bk) (Tabel 3), tetapi kisaran beda nyata dengan kadar abu dari varietas yang lain juga relatif sempit. Proses perendaman dalam air dan ekstraksi yang memisahkan sebagian besar padatan biji menyebabkan sebagian besar mineral (91,0%) ikut larut/terbuang dalam proses tersebut. Penggunaan asam asetat sebagai bahan penggumpal dalam penelitian ini 334
Yulifianti dan Ginting: Karakteristik Tahu dari Beberapa Varietas Unggul Kedelai
juga tidak meningkatkan kadar abu tahu seperti halnya tahu yang digumpalkan dengan batu tahu (CaSO4) (Utomo dan Ginting 1999). Tabel 3.
Kadar abu dan kadar protein tahu dari enam varietas kedelai (dalam % basis kering). Lab. Balitkabi, Malang, 2011.
Varietas Anjasmoro Argomulyo Grobogan Kaba Gema Kedelai Impor KK (%) BNT 5%
Kadar abu (% bk) 3,35 c 3,43 c 3,95 ab 4,34 a 3,88 b 3,57 bc 5,79 0,39
Protein (% bk) 51,43 bc 56,36 a 52,85 abc 55,55 ab 52,56 abc 50,96 c 4,59 4,45
KK = koefisien keragaman; bk= basis kering. Angka selajur yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%.
Varietas kedelai ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein tahu yang berkisar antara 12,4−13,3% bb (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa kadar protein biji yang bervariasi antarvarietas kedelai tidak menentukan kadar protein tahu, namun lebih dipengaruhi oleh fraksi protein terlarutnya. Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Kusbiantoro (1993) pada 16 varietas/galur kedelai. Kadar protein tahu yang diperoleh pada penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein tahu yang umumnya berkisar antara 6,0−8,4% bb (Kusbiantoro 1993) dan SNI mensyaratkan kadar protein tahu minimal 9,0% (bb). Tahu yang dihasilkan, jika dibandingkan antarvarietas, kisaran kadar protein relatif sempit, berkisar antara 51,0−56,4% bk (Tabel 3). Nisbah antara jumlah air dengan biji kedelai saat ekstraksi, jenis penggumpal, dan lama serta bobot beban yang digunakan pada saat pencetakan tahu turut menentukan kandungan protein tahu. Kenampakan tahu yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif lebih padat dan keras dibandingkan dengan tahu yang dijual di pasaran sehingga kadar proteinnya menjadi lebih tinggi per satuan berat tahu. Semakin lunak tekstur tahu semakin banyak jumlah air yang terperangkap di dalam gel tahu, sehingga kadar proteinnya per satuan berat menjadi lebih kecil. Sifat Sensoris Tahu Hasil uji sensoris menunjukkan warna tahu mentah yang diolah dari keenam varietas kedelai cukup disukai panelis (Tabel 3). Demikian pula aroma tahu, cukup disukai dan relatif sama untuk keenam varietas. Penambahan air pada tahu varietas Kaba (B) tidak berpengaruh nyata terhadap warna maupun aromanya. Tekstur tahu mentah sedikit berkurang namun masih tetap dalam kategori keras (Tabel 3). Hal ini menunjukkan penambahan air dengan nisbah 1 kg biji:12 liter air masih dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat kekerasan tekstur tahu menjadi agak keras agar lebih disukai panelis. Penambahan air juga menguntungkan karena meningkatkan rendemen tahu yang diukur dari bobot tahu. Meskipun kadar protein tahu berkurang dengan penambahan air, nilainya masih berada dalam kisaran kadar protein umumnya (7−8% bb) karena kadar protein tahu dari varietas Kaba cukup tinggi (Tabel 2). Tahu goreng yang berasal dari varietas Kaba (B), Gema, dan kedelai impor cukup disukai panelis, sedangkan tahu dari varietas lainnya agak disukai (Tabel 4). Penilaian
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2012
335
terhadap rasa juga dipengaruhi oleh tekstur tahu. Hal ini diketahui dari tingkat penerimaan tahu varietas Kaba (A) yang teksturnya tergolong keras (agak suka) meningkat menjadi suka setelah teksturnya menjadi agak keras (Kaba B). Tahu dari kedelai impor memiliki tekstur lunak, sedangkan tahu dari varietas Argomulyo, Kaba, dan Gema tergolong keras, dan agak keras untuk varietas Anjasmoro dan Grobogan. Oleh karena itu, untuk menurunkan tingkat kekerasan tahu dari lima varietas unggul kedelai ini perlu dilakukan penambahan air pada saat penggilingan menjadi 10−12 liter untuk 1 kg biji kedelai. Diharapkan, tingkat kesukaan terhadap rasa tahu juga dapat meningkat dengan menurunnya tingkat kekerasan tahu. Tabel 4.
Varietas Anjasmoro Argomulyo Grobogan Kaba ( A ) Kaba ( B ) Gema Impor SD
Tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur tahu yang dibuat dari enam varietas kedelai. Lab. Balitkabi, Malang, 2011.
Warna 3,6 3,9 3,7 3,9 3,8 3,7 3,7 0,11
Tahu mentah Total Aroma skor (bau) kesukaan 3,7 7,3 3,6 7,5 3,8 7,5 3,6 7,5 3,6 7,4 3,7 7,4 3,7 7,4 0,08 0,08
Tahu goreng Tekstur
Warna
Aroma (bau)
Rasa
Total skor kesukaan
Tekstur
2,3 3,4 2,2 3,3 2,9 2,9 2,1 0,53
4,0 3,4 3,9 3,1 3,4 4,3 3,7 0,41
4,1 3,7 3,9 3,6 3,8 4,0 4,2 0,22
3,2 2,9 3,4 3,1 3,6 3,6 3,9 0,34
11,3 10,0 11,2 9,8 10,8 11,9 11,8 0,82
2,9 3,6 2,9 3,6 2,9 3,6 2,3 0,50
Kaba (A) : nisbah air:biji = 1 kg: 8 liter dan Kaba (B): nisbah air:biji = 1 kg: 10 liter Skor penilaian: a. Tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, dan rasa b. Tekstur 1 = Sangat tidak suka 1 = Sangat tidak kenyal 2 = Tidak suka 2 = Tidak kenyal 3 = Agak suka 3 = Agak kenyal 4 = Suka 4 = Kenyal 5 = Sangat suka 5 =Sangat kenyal
Biji kedelai impor dengan kualitas paling baik di pasaran berpengaruh terhadap sifat sensoris tahu goreng (warna, aroma dan rasa) sehingga cukup disukai panelis. Oleh karena tahu tidak memerlukan penampilan biji yang baik seperti tempe karena digiling untuk mendapatkan filtratnya, pengrajin tahu biasanya menggunakan kedelai dengan kualitas yang lebih rendah dibanding untuk tempe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahu goreng yang berasal dari varietas Gema memiliki warna, aroma dan rasa yang sama dengan tahu yang diolah dari biji kedelai impor. Varietas Gema juga menghasilkan tahu dengan rendemen tertinggi (Tabel 2). Peningkatan penerimaan sifat sensoris tahu goreng dari lima varietas kedelai ini masih dapat dilakukan melalui perbaikan tingkat kekerasan.
KESIMPULAN Tahu yang diolah dari varietas unggul kedelai Anjasmoro, Argomulyo, Kaba, Grobogan, dan Gema memiliki karakteristik fisik dan kimia relatif sama dengan tahu dari kedelai impor. Kadar proteinnya berkisar antara 35,2−40,4% bk, memiliki tingkat kecerahan warna dan kadar protein yang relatif sama. Varietas Gema memiliki rendemen tahu tertinggi (182,6%), sedangkan nilai terendah pada varietas Grobogan (155,3%). Tahu dengan tingkat kekerasan tertinggi diperoleh dari varietas Argomulyo dan Kaba (28,91−29,69 N), sementara varietas Grobogan paling kecil nilai kekerasannya (8,91 N). 336
Yulifianti dan Ginting: Karakteristik Tahu dari Beberapa Varietas Unggul Kedelai
Hasil uji sensoris menunjukkan, skor kesukaan terhadap warna dan aroma tahu mentah dari enam varietas kedelai relatif sama (suka). Namun untuk warna, aroma, dan rasa tahu goreng, skor tertinggi diperoleh pada varietas Gema (suka), diikuti kedelai impor. Peningkatan penerimaan sifat sensoris tahu dari varietas Gema dan empat varietas lainnya masih dapat dilakukan melalui perbaikan tingkat kekerasannya.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir. Abdullah Taufiq, MS., Ir. Gatut Wahyu Anggoro, MP., Dr. Joko S. Utomo, Suprapto, SP., dan Lina Kusumawati, S.Si., atas bantuan materi, teknis, dan informasinya dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Antarlina, S.S. 2002. Penggunaan Varietas Kedelai Unggul dan Penambahan Tapioka dalam Pembuatan Tempe. Dalam D.M. Arsyad, J. Soejitno, A. Kasno, Sudaryono, A.A. Rahmianna, Suharsono dan J.S. Utomo (Ed.). Kinerja Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbang Tanaman Pangan. p. 146−157. Antarlina, S.S., J.S. Utomo, E. Ginting dan S. Nikkuni. 2002. Evaluation of Indonesian Soybean Varieties for Food Processing. In A.A. Rahmianna and S. Nikkuni (Ed.). Soybean Production and Post Harvest Technology for Innovation in Indonesia. Proceedings of RILET- JIRCAS Workshop on Soybean Research. Malang, 28 th September 2000. p. 58−68. Badan Standarisasi Nasional. 1998. Tahu. SNI 01-3142-1998. Jakarta. Balitkabi. 2008. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang: Balitkabi.171 hlm. FAOSTAT. 2005. Statistical Data of Food Balance Sheet. www.fao.org (accessed on March 23, 2007). Ginting, E. dan S.S. Antarlina. 2002. Pengaruh Varietas dan Cara Pengolahan Terhadap Mutu Susu Kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 21 (2): 48−57. Ginting, E., S.S. Antarlina dan S. Widowati. 2009. Varietas Kedelai Unggul untuk Bahan Baku Industri Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(3):79−87. Hermana. 1985. Pengolahan Kedelai Menjadi Berbagai Bahan Makanan. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M.Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (Ed.). Kedelai. Bogor: Puslitbangtan. p. 441−469. Indrasari, S.D. dan D.S. Damardjati. 1991. Sifat Fisik dan Kimia Varietas Kedelai dan Hubungannya dengan Rendemen dan Mutu Tahu. Media Penelitian Sukamandi 9:43−50. Krisdiana, R. 2005. Preferensi Industri Tahu dan Tempe dalam Menggunakan Bahan Baku Kedelai di Jawa Timur. Dalam A.K. Makarim, Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmianna, Heriyanto dan I.K. Tastra (Ed.). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Bogor: Puslitbang Tanaman Pangan. p. 540−548. Kuntyastuti, H., S.S. Antarlina, E. Ginting dan J.S. Utomo. 1999. Pengaruh Pemupukan dan Pengairan Terhadap Kadar Protein dalam Biji Kedelai. Dalam F.R. Zakaria, M. Astawan, S. Koswara dan M.T. Suhartono (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Jakarta, 12−13 Oktober 1999. p. 228−236. Kusbiantoro, B. 1993. Sifat Fisikokimia dan Karakteristik Protein Kedelai (Glycine Max (L,) Merril) dalam Hubungannya dengan Mutu Tahu yang Dihasilkan. (Thesis S2). Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Mujoo, R., D.T. Trinh and P.K.W. Ng. 2003. Characterization of Storage Proteins in Different Soybean Varieties and Their Relationship to Tofu Yield and texture. Food Chemistry 82:265−273.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2012
337
Prihtiyani, E. dan N.A. Aziz. 2011. Harga Kedelai Berjangka Meningkat. http:// bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/09/30/17043674/Harga.Kedelai.Berjangka.Meningkat, diakses 4 April 2012). Poysa, V. and L. Woodrow. 2002. Stability of soybean seed composition and its effect on soymilk and tofu yield and quality. Food Research International 35:337−345 Saxena, S. dan G. Singh. 1997. Suitability of New Soybean Cultivars in The Production of Soy Milk. Food. Sci. Technol. 34(2):150−152. Silitonga, C. dan B. Djanuwardi. 1996. Konsumsi tempe. hlm. 209−229. Dalam Sapuan dan Noer Sutrisno (Ed.). Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia. Jakarta. Soejadi dan R. Mudjisihono. 1995. Evaluasi Mutu Tahu dari Berbagai Varietas dan Galur Kedelai. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 5(1):46−53. Suharno dan D. Harnowo. 2008. Karakteristik Biji Kedelai Untuk Produksi Tahu dan Tempe di Kendari, Sulawesi Tenggara. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. p.6−13. Susanto, T. dan B. Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Surabaya: PT. Bina Ilmu. Utomo, J.S. dan E. Ginting. 1999. Pengaruh Substitusi Kacang Komak (Dolichos lablab L.) Pada Kualitas Tahu. Dalam F.R. Zakaria, M. Astawan, S. Koswara dan M.T. Suhartono (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan`. Jakarta, 12−13 Oktober 1999. p. 576−582. Yulifianti, R. dan E. Ginting. 2011. Sifat Fisik dan Kimia Beberapa Varietas Unggul Kedelai dan Kualitas Susu yang Dihasilkan. Dalam M.M. Adie, Sholihin, A.A. Rahmianna, I K. Tastra, F. Rozi, Hermanto, A. Sulistyo, Sumartini (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Bogor: Puslitbangtan. p. 295−307.
DISKUSI Dari
:
Antarlina (BPTP Karangploso)
Pertanyaan
:
Dari lima varietas yang digunakan untuk bahan pembuatan tahu, kadar air yang digunakan tidak sama padahal kalau ingin membandingkan kelima varietas tersebut kadar airnya harus disamakan dulu, bagaimana ? Mana dari kelima varietas yang digunakan yang bisa diintroduksikan kepada pengrajin tahu? Karakter mana yang bagus untuk tahu?
Jawaban
:
Produk tahu yang kita hasilkan kita bandingkan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) dan dalam SNI satuan yang dipakai adalah bb (basis basah) jadi kami tidak menyamakan kadar airnya. Terima kasih atas sarannya dan akan kami perbaiki dalam makalah kami. Yang bisa diintroduksikan untuk pengrajin tahu adalah varietas gema karena randemen tahu tinggi dan sangat disukai panelis Sifat fisik dan kimia dari 5 varietas tidak banyak berbeda, tingkat penerimaan juga hampir sama sehingga kelima varietas tersebut juga bisa diintroduksikan ke pengrajin tahu. Dan karakter utama biji kedelai yang digunakan untuk produk tahu adalah biji kedelai dengan kadar protein tinggi.
338
Yulifianti dan Ginting: Karakteristik Tahu dari Beberapa Varietas Unggul Kedelai
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2012
339