KARAKTERISTIK FISIK BIJI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max) DAN PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP KARAKTERISTIK KIMIA TEMPE
Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S1 Teknologi Hasil Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Oleh Pratiwi Dwi Suhartanti H 0606058
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut para ahli botani, kedelai merupakan tanaman yang berasal dari Manchuria dan sebagian Cina, di mana terdapat banyak jenis kedelai liar. Kemudian menyebar ke daerah-daerah tropika dan subtropika. Setelah dilakukan
pemuliaan,
dihasilkan
jenis-jenis
kedelai
unggul
yang
dibudidayakan. Umur panen tanaman kedelai berbeda-beda tergantung varietasnya tetapi umumnya berkisar antara 75 dan 105 hari. Dilihat dari segi pangan dan gizi, kedelai merupakan sumber protein yang paling murah di dunia,
disamping
menghasilkan
minyak
dengan
mutu
yang
baik
(Koswara, 2005) Kedelai merupakan bahan baku utama pembuatan tempe. Selama ini produsen tempe menggantungkan kebutuhan bahan baku tempe pada jenis kedelai impor. Padahal harga kedelai impor semakin hari semakin meningkat. Menurut Sisworo (2008), dari kebutuhan dalam negeri terhadap kedelai sebesar dua juta ton per tahun, sebanyak 1,4 juta ton dipenuhi dari impor. Apabila harga kedelai dunia melonjak hingga di atas 100% dari normalnya Rp 2.500,00 per kg (Agustus-September 2007) maka harga kedelai menjadi Rp 7.500,00 per kg (Awal Januari 2008). Indonesia mengembangkan varietas-varietas kedelai untuk mengatasi ketergantungan terhadap kedelai impor. Varietas kedelai tersebut diharapkan dapat diolah menjadi tempe yang memiliki sifat fisik, kimia, dan aktivitas antioksidan yang lebih baik daripada kedelai impor. Varietas kedelai lokal yang digunakan dalam penelitian ini adalah Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung. Indonesia memiliki banyak varietas kedelai lokal karena adanya individual variability. Individual variability ini disebabkan oleh faktor dalam yaitu faktor genetis dan faktor luar yaitu lingkungan tempat tumbuh seperti keadaan dan jenis tanah, nutrisi, iklim, suhu, kelembaban, dan sebagainya. Tempe merupakan salah satu makanan asli
3
Indonesia yang dibuat dari kedelai dengan proses fermentasi. Dalam proses fermentasi tempe kedelai, bahan yang digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (kombinasi dua/tiga spesies), dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30 oC, pH awal 6,8 serta kelembaban nisbi 70-80% (Sarwono, 1996). Menurut SNI 01-3144-1992, tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedele oleh kapang tertentu, berbentuk padatan kompak dan
berbau
khas
serta
berwarna
putih
atau
sedikit
keabu-abuan
(Anonim, 2010a). Tempe merupakan makanan bergizi tinggi sehingga makanan ini mempunyai arti strategis dan sangat penting untuk pemenuhan gizi. Selain itu, tempe mempunyai keunggulan-keunggulan lain, yaitu mempunyai kandungan antioksidan; teknologi pembuatannya sederhana; harganya murah; mempunyai citarasa yang enak; dan mudah dimasak. Kandungan antioksidan tempe dapat menangkal radikal bebas antara lain vitamin E, karotenoid, superoksida dismutase, isoflavon dan sebagainya.. Oleh karena itu konsumsi antioksidan yang terdapat dalam tempe dapat memobilisasi aktivitas antioksidan didalam tubuh. Ada tiga senyawa antioksidan di dalam kedelai berupa senyawa isoflavon yaitu daidzein, genistein, dan glistein yang diduga dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh adanya radikal bebas di dalam tubuh (atherosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain), karena dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas (radical scavenger)(Haslina dan Pratiwi, 1996). Penggunaan beberapa varietas kedelai lokal sebagai bahan baku pembuatan tempe ini dimaksudkan sebagai alternatif bahan baku pengganti kedelai impor dengan karakteristik fisik, dan kimia yang sama atau bahkan lebih baik dari kedelai impor dan dengan harga yang terjangkau.
4
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah berbagai varietas kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung) mempunyai karakteristik fisik biji (bobot, warna kulit biji, kualitas tanak (cooking quality) seperti daya bengkak (swelling power) dan daya absorpsi air (water absorption)) yang bervariasi? 2. Apakah perlakuan lama fermentasi
(30 jam, 42 jam, dan 54 jam)
mempengaruhi karakteristik kimia tempe yang dihasilkan yaitu kadar protein, lemak, air, abu dan karbohidrat dengan penggunaan berbagai varietas kedelai lokal (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung)? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh perbedaan varietas terhadap karakteristik fisik biji dari beberapa kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung) meliputi bobot, warna kulit biji, kualitas tanak (cooking quality) seperti daya bengkak (swelling power) dan daya absorpsi air (water absorption). 2. Mengetahui pengaruh lama fermentasi (30 jam, 42 jam, dan 54 jam)terhadap karakteristik kimia tempe(kadar protein, lemak, air, abu dan karbohidrat) dari beberapa kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung). D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengangkat nilai kedelai sebagai bahan baku tempe untuk menggantikan kedelai impor dengan harga yang terjangkau dalam pembuatan tempe dan dapat diterima masyarakat.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Karakteristik Fisik Kedelai Menurut
Adisarwanto
(2005),
kedudukan
kedelai
dalam
sistematika tumbuhan (taksonomi) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyte
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rosales
Famili
: Leguminosae (papilinoceae)
Sub famili
: Papilionoideae
Genus
: Glycine
Spesies
: Glycine max (L.) dan Soya max Kedelai (Glycine max) sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM
dan baru masuk Indonesia, terutama Jawa sekitar tahun 1750. Kedelai mempunyai perawakan kecil dan tinggi batangnya dapat mencapai 75 cm. Bentuk daunnya bulat telur dengan kedua ujungnya membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan-kiri-depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang pohon. Kedelai berbuah polong yang berisi biji-biji. Kedelai memiliki nama Latin yang bermacam-macam, namun menurut ketetapan dalam Kongres Botani Internasional, kedelai memiliki nama botani Glycine max (L.) Merrill. Kedelai termasuk dalam golongan kacang-kacangan, yang memiliki bagian-bagian antara lain bagian hilum (bintik/tonjolan biji) berbentuk linear elliptica. Bagian akhir dari hilum ini membentuk suatu alur kecil yang disebut kalaza (chalaza); dan bagian ujung yang lain yang disebut mikrofil (microphyle), serta hypocotyl pada bagian luar alur (Williams, L.F., dalam Markley(ed.),1950).
6
Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhn kedelai. Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. Pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih. Di sisi lain, kedelai hitam yang tidak fotosensitif kurang mendapat perhatian dalam pemuliaan meskipun dari segi adaptasi lebih cocok bagi Indonesia (Anonim, 2010b). Biji kedelai mempunyai nilai gizi yang terbaik diantara semua sayuran yang dikonsumsi di seluruh dunia. Karena kedelai kaya akan sumber protein, karbohidat, lemak nabati, mineral dan vitamin (Anonim, 2006). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel I. Tabel 1. Kandungan Gizi Kedelai Kandungan gizi Air Protein (Nx6,25) Lemak Karbohidrat Abu Ca Fe
Kedelai hitam 11,3 g 37,3 13,4 68,0 4,8 595 9,9
Kedelai kuning 5 -9,4 g 29,6 – 50,3 13,5 – 24,3 16,6 – 40,2 3,3 – 6,4 220 11
Sumber : Endang (1993) Biji kedelai terdiri dari 7,3 persen kulit, 90,3 persen kotiledon (isi atau "daging" kedelai) dan 2,4 persen hipokotil. Kedelai mengandung protein rata-rata 35 persen, bahkan dalam varietas unggul kandungan proteinnya dapat mencapai 40 - 44 persen. Protein kedelai sebagian besar (85 - 95 persen) terdiri dari globulin dan dibandingkan dengan kacangkacangan lain, susunan asam amino pada kedelai lebih lengkap dan seimbang (Anonim, 2010c). Kedelai mengandung sekitar 18 - 20 persen lemak dan 25 persen dari jumlah tersebut terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang bebas kolesterol. Disamping itu di dalam lemak kedelai terkandung beberapa
7
posfolipida penting
yaitu lesitin, sepalin
dan lipositol. Kedelai
mengandung karbohidrat sekitar 35 persen, dari kandungan karbohidrat tersebut hanya 12 - 14 persen saja yang dapat digunakan tubuh secara biologis. Karbohidrat pada kedelai terdiri atas golongan oligosakarida dan golongan polisakarida. Golongan oligosakarida terdiri dari sukrosa, stakiosa, dan raffinosa yang larut dalam air. Sedangkan golongan polisakarida terdiri dari erabinogalaktan dan bahan-bahan selulosa yang tidak larut dalam air dan alcohol (Anonim, 2010d). Secara umum kedelai merupakan sumber vitamin B, karena kandungan vitamin B1, B2, niasin, piridoksin dan golongan vitamin B lainya banyak terdapat di dalamnya. Vitamin lain yang terkandung dalam jumlah cukup banyak ialah vitamin E dan K. Kedelai banyak mengandung kalsium dan fosfor, sedangkan besi terdapat dalam jumlah relatif sedikit. Mineral-mineral lain terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (kurang dari 0,003 persen) yaitu boron, magnesium, berilium dan seng. Kulit kedelai mengandung 87 serat makanan (dietary fiber), 40 - 53 persen selulosa kasar, 14 - 33 persen hemiselulosa kasar dan 1 - 3 persen serat kasar (Anonim, 2010e). Serat kedelai adalah bukan kulit atau sekam kedelai, tetapi produk kedelai yang tidak berbau, tawar dan bentuknya dapat disesuaikan dengan tujuan penggunaanya, yang terutama sebagai sumber serat makanan. Efek fisiologis dan manfaat klinis serat kedelai pada manusia telah banyak diteliti, dan dapat disimpulkan bahwa serat kedelai dapat menurunkan kolesterol pada penderita hiperkolesterolamia, memperbaiki toleransi terhadap glukosa dan respon insulin pada penderita hiperlipidemia dan diabetes, meningkatkan volume tinja, sehingga mempercepat waktu transit makanan (waktu yang diperlukan sejak dimakan sampai dikeluarkan berupa tinja), dan tidak berakibat negatif terhadap retensi mineral (penyerapan mineral) (Anonim, 2010f). Kedelai dengan kandungan gizi dan manfaat farmakologinya, telah banyak digunakan untuk mencegah berbagai jenis penyakit seperti stroke,
8
osteoporosis, diabetes mellitus, jantung koroner, serta mengatasi fattyliver. Selain itu kedelai juga diketahui bisa mencegah anemia, menekan kasus gigi berlubang dan pundak kaku, mencegah epilepsi, mengatasi dyspepsia, dan memperlancar ASI. Selanjutnya membantu pengobatan saluran pernapasan, mengobati gangguan system pencernaan seperti diare, tukak lambung, radang lambung, mengobati system tulang dan sendi seperti rematik. Manfaat lainnya, mengobati gangguan kulit seperti jerawat, peremajaan kulit, mengobati gangguan ginjal dan hati seperti hepatitis, radang ginjal, mengobati gangguan jantung, autisme, dan sebagainya (Dewi, 2009). Kualitas atau sifat fisik dan kimia kacang-kacangan dapat bervariasi, tergantung pada faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam atau factor genetic dapat berupa varietas atau kultivar, sedang faktor luar antara lain meliputi daerah tempat tumbuh dan saat panen. Salunkhe dan Kadam (1990) mengatakan bahwa terdapat variasi cukup besar untuk protein dan asam amino pada berbagai jenis kacang-kacangan, disebabkan oleh faktor genetis dan lingkungan. Diduga perbedaan atau variasi sifat tersebut juga dapat meliputi sifat lain, misalnya prosentasi biji kecil, kekerasan, kualitas tanak, protein, dan kandungan mineralnya. Di antara kacang-kacangan utama dan umbi-umbian utama, di Jawa Tengah hanya kedelai yang produksinya menurun dari tahun 2004 ke 2006. Hal ini disebabkan sangat rendahnya harga kedelai lokal, terhantam oleh harga kedelai import yamg sangat murah. Menurut Statistik Indonesia 2005/2006 luas panen kedelai di Jawa Tengah sebesar 87.651,80 ha dengan total produksi 134.520,60 ton. Penurunan produksi kedelai dari 17,4 % menjadi 15,7 %. Di Jawa Timur juga terjadi penurunan produksi kedelai dari 44,6 % menjadi 44,1 %. Sebagai penyedia pangan, kebutuhan komoditas kacang-kacangan dan umbi-umbian tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian pada Juli 2008 Indonesia mengimport kedelai sebanyak 395.285.633,00 kg dengan nilai
9
96.310.161,00 US$. Turunnya kepekaan masyarakat tentang perlunya menggunakan produksi dalam negeri mendorong untuk tetap terus melakukan import kedelai. Peningkatan produksi kedelai beserta kacangkacangan penyubstitusinya perlu dikembangkan untuk menekan import kedelai. Ketersediaan benih unggul bermutu dan bersertifikat terus diupayakan guna memenuhi kebutuhan petani. Sebagai contoh adalah upaya untuk menyediakan benih kedelai melalui pembinaan penangkaran. Pemerintah provinsi Jawa Tengah telah melakukan kerja sama dengan Balai Penelitian tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian dan pemerintah kabupaten Grobogan untuk memurnikan varietas kedelai yang berkembang di wilayah kabupaten Grobogan dan sekitarnya. Kerja sama ini telah menghasilkan varietas Grobogan dan telah dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai varietas unggul nasional. Varietas
unggul
sangat
menentukan
tingkat
produktifitas
pertanaman dan merupakan komponen teknologi yang relatif mudah diadopsi petani jika benihnya tersedia. Di Indonesia, hingga kini telah berhasil dilepas sekitar 70 varietas kedelai dengan karakter yang beragam diantaranya dalam hal umur panen, potensi hasil, ukuran dan warna kulit biji, dan kesesuaiannya terhadap lahan spesifik. Varietas yang dilepas pada dasarnya merupakan perbaikan varietas sebelumnya. Dari sejumlah varietas yang dilepas tersebut, sebagian besar adalah yang kuli bijinya berwarna kuning sampai kuning kehijauan . Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai, dalam rangka pemenuhan dalam negeri baik untuk bahan pangan maupun bahan baku industri. Inovasi teknologi mampu meningkatkan produktivitas kedelai dari ratarata sekitar 1,3 t/ha di tingkat petani menjadi sekitar 2,0 t/ha di tingkat penelitian (Nugrahaeni dkk, 2008).
10
2. Karakteristik KimiaTempe Menurut SNI 01-3144-1992, tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berbentuk padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabuabuan (Anonim, 2009a). Tempe adalah salah satu produk fermentasi. Bahan bakunya umumnya kedelai. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu kedelai yang disebabkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase. Jamur yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus. Beberapa sifat penting Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitaminvitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penetrasi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai (Widianarko dkk., 2000). Inokulum
tempe merupakan inokulum spora kapang dan
memegang peranan penting dalam pengolahan tempe karena dapat mempengaruhi mutu tempe yang dihasilkan. Jenis kapang yang memegang peranan utama dalam pembuatan tempe adalah Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus. Kapang-kapang lain yang terdapat pada tempe adalah R. stolonifer dan R. arrhizus (Rachman, 1989). Miselium R. oryzae jauh lebih panjang daripada R. oligosporus, sehingga tempe yang dihasilkan kelihatan lebih padat daripada menggunakan R. oligosporus. Akan tetapi, bila diutamakan peningkatan nilai gizi protein maka R. oligosporus memegang peranan terbesar. Hal ini karena selama proses fermentasi tempe R. oligosporus mensintesa enzim protease lebih banyak, sedangkan R. oryzae mensintesa enzim amilase lebih banyak. Oleh karena itu, sebaiknya dipakai keduanya dengan kadar R. oligosporus lebih banyak (1 : 2) (Rachman, 1989). Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavour spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur yang kompak juga
11
disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang menghubungkan antara bijibiji kedelai. Sedangkan flavour yang spesifik disebabkan oleh terjadinya degradasi
komponen-komponen
dalam
kedelai
selama
fermentasi
(Kasmidjo, 1990 dalam Supriyadi, 1998 dalam Rokhmah, 2008). Tempe kedelai mempunyai flavour yang lebih baik daripada kedelai mentah, kandungan bahan padatan terlarutnya lebih tinggi oleh karena selama penempean terjadi perubahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang sifatnya lebih mudah larut, sehingga tempe lebih mudah dicerna. Tempe juga banyak mengandung vitamin B12, mineral seperti Ca dan Fe, tidak mengandung kholesterol dan relatif bebas dari racun kimia (Yanwar dan Saparsih, 1978 dalam Rokhmah, 2008). Perkembangan tempe dapat dibagi menjadi 3 generasi, yaitu: generasi 1, bentuk tempe dan rasa tempe masih tetap dan segar; generasi ke 2, tempe sudah diolah sehingga bentuknya berubah, namun rasanya tetap; dan generasi ke 3, tempe diproses lebih canggih dalam industri farmasi dengan mengisolasi senyawa-senyawa bioaktif yang ada, seperti; isoflavonoid, superoksida desmutase dan asam amino (Bekti, 2008). Fermentasi tempe mampu menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan yang terdapat pada kedelai. Tempe memiliki kandungan vitamin B12 yang sangat tinggi, yaitu 3,9-5,0 g/100 g. Selain vitamin B12, tempe juga mengandung vitamin B lainnya, yaitu niasin dan riboflavin (vitamin B2). Tempe juga mampu mencukupi kebutuhan kalsium sebanyak 20% dan zat besi 56% dari standar gizi yang dianjurkan. Kandungan protein dalam tempe dapat disejajarkan dengan daging. Dengan demikian tempe dapat menggantikan daging dalam susunan menu yang seimbang (Hidayat dkk., 2006). Fermentasi kedelai menjadi tempe menimbulkan perubahan pada protein menjadi asam amino, lemak menjadi asam lemak, karbohidrat, dan vitamin. Selain itu, zat-zat anti gizi dalam kedelai akan rusak selama fermentasi sehingga tidak menimbulkan masalah pada kesehatan (Somaatmadja dkk., 1985).
12
Fermentasi kedelai menjadi tempe akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizophus oligosporus yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan fosfat yang bebas (Koswara, 1995). Fermentasi ternyata dapat menurunkan kadar asam fitat dalam biji kedelai. Asam fitat adalah senyawa fosfor yang dapat mengikat mineral (kalsium, besi, fosfor, magnesium, seng) sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh. Dengan berurainya asam fitat karena perebusan, dan oleh enzim fitase yang dihasilkan cendawan Rhizopus oligosporus, fosfornya dapat dimanfaatkan tubuh dan penyerapan mineral lain pun tidak terganggu (Somaatmadja dkk., 1985). Menurut Supriyono (2008), tempe merupakan makanan asli Indonesia, namun sekarang bahan baku kedelai sebagian besar merupakan kedelai import. Penggalakan budidaya kedelai dan kacang-kacangan yang lain, termasuk tanaman sejenis koro dapat mengurangi laju import kedelai yang pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian Jawa Tengah khususnya dan Indonesia pada umumnya. 3. Fermentasi Proses Pembuatan Tempe Fermentasi merupakan proses perubahan kimia dalam substrat organik oleh adanya biokatalisator yaitu enzim yang dihasilkan oleh jenis mikroorganisme tertentu (Hudaya dan Daradjat, 1982). Secara teknik fermentasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi anaerobik atau parsial anaerobik dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta beberapa asam. Namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein dan lemak (Muchtadi, 1997). Sedangkan menurut Sardjono dkk. (1999), secara biokimia fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui katabolisme senyawa organik; sedangkan aplikasinya ke dalam industri, fermentasi diartikan sebagai suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh massa sel mikroba. Dalam pengertian ini juga termasuk proses anabolisme pembentukan komponen sel secara aerob.
13
Proses
pengolahan
tempe pada
umumnya
meliputi
tahap
pencucian, perendaman bahan mentah, perebusan, pengulitan, pengukusan, penirisan dan pendinginan, inokulasi, pengemasan, kemudian fermentasi selama 2-3 hari. Perendaman mengakibatkan ukuran biji menjadi lebih besar dan struktur kulit mengalami perubahan sehingga lebih mudah dikupas. Perebusan dan pengukusan selain melunakkan biji dimaksudkan untuk membunuh bakteri kontaminan dan mengurangi zat anti gizi. Penirisan dan pendinginan bertujuan mengurangi kadar air dalam biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur (Purwadaksi, 2007 dalam Rokhmah, 2008). Proses pembuatan tempe melibatkan 3 faktor pendukung, yaitu bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah keping-keping biji kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (kombinasi dua/tiga spesies) dan lingkungan yang mendukung yang terdiri dari suhu 30 oC, pH awal 6,8%, dan kelembaban nisbi 70-80%. Di lapangan dijumpai banyak variasi dalam pembuatan tempe. Hampir setiap pengrajin mempunyai caranya sendiri dan seringkali tidak konsisten pelaksanaanya. Amatlah mengagumkan bahwa kegagalan di lapangan relatif kecil. Kasmidjo (1990) dalam Steinkraus (1983), melaporkan 9 daftar alir pembuatan tempe, 2 diantaranya masing-masing memiliki lagi 2 variasi. Jadi seluruhnya ada 11 cara pembuatan tempe. Tahap awal pembuatan tempe menurut Syarief (2002) adalah sortasi bahan baku kedelai. Sortasi dapat dilakukan dengan mesin pengayak, yang bertujuan untuk menghilangkan kedelai rusak, kotoran, dan lain-lain, sehingga mutu bahan baku dapat terjamin. Selain itu sortasi juga bisa dilakukan secara tradisional. Tahap selanjutnya yaitu pencucian. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel
14
pada kedelai seperti tanah, dan lain-lain dan juga untuk mengurangi kontaminan awal pada kedelai, seperti residu bahan kimia ataupun beban mikroba. Tahap selanjutnya yaitu perendaman semalam atas biji kedelai yang telah dibersihkan, dalam air yang berlebihan. Selama perendaman ini terjadi proses pengasaman biji kedelai akibat kegiatan fermentasi oleh bakteri. Tahap selanjutnya yaitu perebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai, memudahkan dalam pengupasan kulit, bertujuan untuk menonaktifkan tripsin inhibitor yang ada dalam biji kedelai, serta mengurangi bau langu kedelai. Tahap selanjutnya yaitu pengupasan kulit, dapat dilakukan dengan meremas-remas biji kedelai. Pengupasan kulit bertujuan untuk membuang kulit kedelai, sebab bila kulit kedelai tidak dibuang maka kapang tempe tidak dapat tumbuh pada biji kedelai. Tahap selanjutnya yaitu penirisan, dimaksudkan untuk mendinginkan kedelai dan juga untuk meniriskan air. Air perlu ditiriskan untuk mengurangi kadar air pada kedelai, yang akan mempengaruhi aw dari bahan. Pada water activity yang tinggi kemungkinan pertumbuhan mikroorganisme termasuk di dalamnya adalah bakteri sangat memungkinkan, sehingga pertumbuhan kapang tempe akan kalah bersaing, sehingga proses pembuatan tempe akan gagal, seperti berasa asam, busuk atau bahkan kapangnya tidak tumbuh sama sekali. Kadar air optimum saat penaburan ragi tempe adalah sekitar 45-55 %. Tahap selanjutnya yaitu penirisan, penginokulasian. Pada tahap ini terjadi fermentasi oleh Rhizopus sp. yang diperoleh ragi tempe maupun tepung ragi. Bahan tempe yang telah diinokulasi kemudian dibungkus menggunakan daun pisang atau plastik polietilen dan diperam selama 48 jam. Menurut Kasmidjo (1990) proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase yaitu: (a) Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi), pada fase ini terjadi kenaikan jumlah asam lemak bebas, kenaikan suhu, pertumbuhan kapang cepat dan menghasilkan miselia pada permukaan biji kedelai semakin lama semakin lebat, sehingga membentuk massa yang lebih kompak; (b) fase transisi (30-50 jam fermentasi), fase ini
15
merupakan fase optimal fermentasi tempe dan siap untuk dipasarkan. Pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan kapang hampir tetap atau bertambah dalam jumlah kecil, flavor spesifik tempe optimal, serta tekstur lebih kompak; (c) fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi), pada fase ini terjadi kenaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan kapang mulai menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan kapang terhenti serta terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia. Babu et al. (2009) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada 2 hal penting yang terjadi selama fermentasi kedelai menjadi tempe yaitu miselium menyelubungi permukaan kedelai hingga menjadi produk yang kompak dan kedelai dicerna oleh enzim yang dihasilkan kapang. Keuntungan dari fermentasi tempe antara lain meningkatkan nilai gizi dan aktivitas antioksidan makanan, makanan hasil fermentasi lebih mudah dicerna dan cita rasanya lebih baik (Hudaya dan Daradjat, 1982).
16
B. Kerangka Berpikir Bahan baku kedelai
Kedelai lokal
Kedelai impor
Perlakuan lama fermentasi (30, 42, 54 jam) Terbatas
Mutu rendah
Hambatan teknis
Harga mahal
Harga fluktuaktif
Uji laboratorium Terpilih varietas yang terbaik
Tempe terbaik C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Diduga perbedaan varietas kedelai akan mempengaruhi karakteristik fisik dari bijinya. 2. Diduga pengaruh lama fermentasi dalam pembuatan tempe akan mempengaruhi karakteristik kimia tempe pada beberapa varietas kedelai.
17
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pedan, Klaten dan CV. Chem-Mix Pratama, Kretek, Jambidan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta dalam jangka waktu 6 bulan. B. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah kedelai lokal varietas Grobogan, Seulawah, Burangrang, Galunggung dan varietas introduksi Anjasmoro dan Argomulyo yang diperoleh dari Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Malang,, ragi tempe merk Raprima yang diproduksi oleh PT. Aneka Fermentasi Industri (Bandung), dan air bersih. Bahan yang digunakan dalam analisa kadar protein adalah larutan HCl
0,02
N,
H2SO4,
HgO,
larutan
NaOH-Na2S2O3,
K2SO4,
Na2B4O7.10H2O, H3BO3, indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol), aquadest, sampel tempe. Bahan yang digunakan dalam analisa kadar lemak adalah petroleum ether, sampel tempe. 2. Alat Alat yang digunakan untuk analisa kadar air adalah cawan porselen, desikator (RRC), oven (Memmert) dan neraca analitik (Denfer Instrumen buatan USA). Alat yang digunakan untuk analisa kadar abu adalah cawan pengabuan, oven (Memmert), desikator (RRC), tanur dan neraca analitik (Denfer Instrumen buatan USA). Alat yang digunakan untuk analisa kadar protein adalah pemanas kjeldahl, labu kjeldahl berukuran 30 ml/50 ml, alat distilasi lengkap dengan erlenmeyer berpenampung berukuran 125 ml, dan buret 25 ml/50 ml dan neraca analitik (Denfer Instrumen buatan USA). Alat yang digunakan untuk
18
analisa kadar lemak adalah alat ekstraksi Soxhlet, desikator, kertas saring bebas lemak Whatman 41 dan neraca analitik (Denfer Instrumen buatan USA). Alat yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah panci, baskom, pisau, talenan, pengukus, kompor, plastik dan tampah. C. Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor yang diulang 2 kali. Faktor 1: Varietas kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung) (K1, K2, K3, K4, K5, K6) Faktor 2: Lama fermentasi ( 30 jam, 42 jam, dan 54 jam) ( P1, P2, P3) Kombinasi dua faktor dapat disusun sebagai berikut: K1P1 U1 K2P1 U1 K3P1 U1 K4P1 U1 K5P1 U1 K6P1 U1 K1P1 U2 K2P1 U2 K3P1 U2 K4P1 U2 K5P1 U2 K6P1 U2 K1P2 U1 K2P2 U1 K3P2 U1 K4P2 U1 K5P2 U1 K6P2 U1 K1P2 U2 K2P2 U2 K3P2 U2 K4P2 U2 K5P2 U2 K6P2 U2 K1P3 U1 K2P3 U1 K3P3 U1 K4P3 U1 K5P3 U1 K6P3 U1 K1P3 U2 K2P3 U2 K3P3 U2 K4P3 U2 K5P3 U2 K6P3 U2
19
D. Tata Laksana Penelitian 1. Uji Karakteristik Fisik Biji Kedelai a. Bobot Analisa bobot dilakukan dengan menimbang 100 biji menggunakan timbangan analitik secara duplo. b. Warna kulit biji secara visual. c. Kualitas tanak (cooking quality)seperti: 1. Daya bengkak (swelling power)(Plhak et al., dalam Handajani 1993). 2. Daya absorpsi air (water absorption) (Plhak et al., dalam Handajani 1993) Analisa kualitas tanak: 1. Masing-masing sampel dihitung beratnya (a gram) dan volumenya (b ml) 2. Selanjutnya biji dimasukkan dalam gelas yang telah diisi dengan 10 kali volume biji dan dilakukan perendaman selama 12 jam. 3. Biji tersebut kemudian direbus dengan panas yang konstan selama 20 menit. 4. Biji kemudian ditiriskan dan dihitung beratnya (d gram) dan volumenya (e ml).
Daya bengkak =
e-b x100% a
Daya absorbsi air =
d-a x100% a
20
2. Skema Pembuatan Tempe Kedelai
Disortasi
Dicuci (air bersih)
Direndam (I) (500 ml, 12 jam)
Direbus (I) (500 ml, 20 menit)
Direndam (II) (500 ml, 12 jam)
Dikupas kulitnya dan dirajang
Direbus (II) (500 ml, 20 menit)
Ditiriskan dan didinginkan Ragi tempe (Raprima 1,5 gram)
Diragikan
Dibungkus
Difermentasi (30 jam, 42 jam, 54 jam)
Tempe
21
Tahap pembuatan tempe yang digunakan menurut Syarief (2002) yaitu: 1. Sortasi bahan baku kedelai Sortasi dilakukan secara tradisional dengan memilih biji kedelai yang bagus dan padat berisi. Biasanya di dalam biji kedelai tercampur kotoran seperti pasir atau biji yang keriput dan keropos (Ali, 2008). 2. Pencucian Pencucian menggunakan air bersih yang mengalir. 3. Perendaman I Perendaman I menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 12 jam. 4. Perebusan I Perebusan I menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 20 menit. 5. Perendaman II Perendaman II menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 12 jam. 6. Pengupasan kulit Pengupasan kulit ari dilakukan dengan meremas-remas biji kedelai. Pada pembuatan tempe kulit kedelai ditambahkan. 7. Perebusan II Perebusan II menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 20 menit. 8. Penirisan Penirisan dilakukan dengan meletakkan kedelai di tampah. 9. Penginokulasian (Peragian) Kedelai diinokulasi menggunakan ragi tempe merk Raprima. 10. Pembungkusan Pembungkusan menggunakan daun pisang. 11. Pemeraman (Fermentasi)
22
Fermentasi dilakukan dengan tiga macam perlakuan yaitu selama 30 jam, 42 jam, dan 54 jam. 3. Metode Analisis Analisis yang dilakukan meliputi 5 macam (lampiran halaman 46-48) meliputi: a. Kadar air dengan metode gravimetri (Apriyantono dkk., 1989). b. Kadar abu dengan tanur (Apriyantono dkk., 1989). c. Kadar protein dengan metode Kjeldahl-mikro (Apriyantono dkk., 1989). d. Kadar lemak dengan metode Soxhlet (Apriyantono dkk., 1989). e. Kadar karbohidrat dengan metode by difference (Apriyantono dkk., 1989). E. Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan SPSS, menggunakan analisis varians (ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perlakuan pada tingkat α = 0,05. Kemudian dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada tingkat α 0,05.
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Fisik Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa warna biji kedelai adalah kuning dan kuning kehijauan. Warna kulit biji kedelai tidak berpengaruh terhadap warna tempe yang dihasilkan. Jamur Rizhopus sp untuk bisa tumbuh dan berkembang memerlukan energi serta zat gizi agar terjadi perubahan biji kedelai yang berwarna kuning menjadi tertutup dengan miselia jamur yang berwarna putih. Tabel 2. Karakteristik Fisik Biji dari Beberapa Varietas Kedelai Karakteristik Warna Kulit Biji Grobogan Argomulyo Seulawah Anjasmoro Burangrang Galunggung
kuning kuning kuning kehijauan kuning kuning kuning
Karakteristik Bobot 100 biji Daya Serap Air (gram) (%) 24,14d 188f 13,44b 144c a 7,66 106b b 14,02 175e 13,44b 157,5d c 16,01 119a
Daya Bengkak (%) 150f 110c 82b 132e 120d 100a
Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05). Tempe yang dihasilkan pada penelitian kali ini berwarna putih karena tertutup oleh miselia jamur. Tempe yang baik dicirikan oleh permukaan yang ditutupi oleh miselium kapang (benang-benang halus) secara merata, kompak dan berwarna putih. Antar butiran kacang kedelai dipenuhi oleh miselium dengan ikatan yang kuat dan merata, sehingga bila diiris tempe tersebut tidak hancur. Bobot biji 100 kedelai berkisar 7,66 gram - 24,14 gram, bervariasi untuk beberapa varietas kedelai. Pada umumnya berat 100 biji 7-10 gram dan tidak berbeda nyata untuk varietas Argomulyo, Anjasmoro, Burangrang. Bobot yang paling besar yaitu varietas Grobogan sebesar 24,14 gram dan yang paling kecil varietas Seulawah sebesar 7,66 gram. Ukuran biji mempunyai pengaruh pada banyaknya tempe yang dihasilkan. Semakin besar ukuran biji semakin banyak tempe yang dihasilkan atau semakin babar.
24
Daya serap air tertinggi adalah kedelai varietas Grobogan sebesar 188% dan yang terendah kedelai varietas Seulawah sebesar 106% (Gambar 1). Semua varietas menunjukkan beda nyata. Selama perendaman, kedelai akan menyerap air. Kecepatan penyerapan air oleh biji kedelai dipengaruhi oleh suhu perendaman. Makin tinggi suhu perendamannya, makin besar pula kecepatan penyerapan air. Sebaliknya, kecepatan absorbsi air akan menurun sebanding dengan kenaikan kadar air biji kedelai dan nampaknya kecepatan penyerapan
(%)
juga tak terlalu dipengaruhi oleh keadaan biji. 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
daya serap air daya bengkak
Grobogan
Argomulyo
Seulawah
Anjasmoro
Burangrang Galunggung
varietas
Gambar 1. Histogram Daya Serap Air dan Daya Bengkak Kedelai Daya absorbsi air oleh biji kacang-kacangan sangat penting dalam kaitannya dengan usaha pemanfaatannya. Besarnya daya absorbsi air ada hubungannya dengan pelunakan biji kacang-kacangan. Menurut Kamil dalam Handajani (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penyerapan air adalah permeabilitas kulit biji/membran biji, konsentrasi larutan, suhu, tekanan hidrostatik, luas permukaan biji yang kontak dengan air, daya intermolekuler,spesies, varietas, tingkat kemasakan dan komposisikimia serta umur dari biji. Sedang menurut Bewley and Black dalam Handajani (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi absorbsi air adalah anatomi kulit biji, lingkungan luar (tanah, cahaya, kelembaban), faktor genetik dan faktor lain termasuk ukuran biji. Pada Gambar 1 juga dapat diketahui bahwa nilai daya bengkak yang tertinggi pada kedelai varietas Grobogan 150 % atau 1,5 kali volume mula-
25
mula kedelai. Pada Gambar 1 juga terlihat bahwa nilai daya bengkak yang paling kecil kedelai varietas Seulawah 82 %. Semua varietas menunjukkan beda nyata. Daya bengkak biji kacang-kacangan, merupakan penambahan volume suatu biji karena udara yang terabsorbsi digantikan oleh air selama terjadinya absorbsi air. Dalam hal ini daya bengkak lebih banyak ditentukan oleh pembengkakan kulit biji, dan bukan oleh daging biji, sehingga akan terjadi pelunakan biji. Korelasi antara daya serap air dengan daya bengkak dapat dilihat bahwa semakin besar daya serap air juga diiringi dengan semakin besarnya daya bengkak. Hal ini sesuai yang Nabessa et al., dalam Handajani (1993) yaitu bahwa terjadi pembengkakan biji selama terjadi absorbsi air, yang merupakan penambahan volume biji. B. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997 dalam Wiryadi, 2007). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kadar air (%)dalam beberapa varietas kedelai dengan beberapa perlakuan lama fermentasi yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Kadar Air (% bb) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi Varietas Kedelai Grobogan Argomulyo Seulawah Anjasmoro Burangrang Galunggung
30 64,73fg 65,77h 64,77fg 64,58fg 59,03a 61,16b
Lama Fermentasi (jam) 42 65,65i 65,96i 62,72d 64,92h 62,07c 62,12c
54 67,33j 66,24i 64,19ef 65,94i 63,72e 62,15c
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05)
26
Kadar air tempe berkisar 55,80% - 67,33%, dan bervariasi dengan perlakuan lama fermentasi dan perbedaan varietas kedelai. Tabel 3. memperlihatkan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin tinggi kadar air tempe beberapa varietas kedelai Pada semua lama fermentasi menunjukkan beda nyata, kecuali pada varietas Galunggung pada lama fermentasi 42 jam dan 54 jam. Pada varietas Seulawah fermentasi 42 jam mengalami penurunan. Penurunan disebabkan oleh kadar air pada saat inokulasi masih cukup besar, sulit dalam penirisan untuk biji yang kecil dan keras. 68
kadar air (%)
66 64 30 jam
62
42 jam 60
54 jam
58 56 54 Grobogan
Argomulyo
Seulaw ah
Anjasmoro
Burangrang
Galunggung
varietas
Gambar 2. Histogram Kadar Air Kedelai dengan Berbagai Lama Fermentasi Kadar air tertinggi pada tempe kedelai varietas Grobogan 54 jam sebesar 67,33%. Sedangkan kadar air terendah pada tempe kedelai varietas Burangrang 30 jam sebesar 59,03% (Gambar 2). Kadar air tempe mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarmaji (1977), selama proses fermentasi tempe kedelai terjadi perubahan kadar air setelah 40 jam fermentasi akan meningkat. Menurut Steinkrauss (1995), selama fermentasi tempe air dihasilkan sebagai hasil dari pemecahan karbohidrat oleh mikrobia. Menurut Rochmah (2008) air merupakan salah satu produk hasil fermentasi aerob. Selama fermentasi tempe, mikrobia mencerna substrat dan menghasilkan air,
27
karbondioksida dan sejumlah besar energi (ATP). Selama fermentasi, kapang Rhizopus akan menghancurkan matriks antara sel bakteri dimana pada hari ke tiga untuk kedelai akan menjadi empuk, tapi pada fermentasi selanjutnya sel pada kedelai hancur ditambah air hasil pemecahan karbohidrat yang menyebabkan tempe menjadi lembek dan berair (Syarief dkk.,1999). Waktu fermentasi adalah salah satu faktor terpenting penyebab meningkatnya kadar air sehingga dengan meningkatnya waktu fermentasi maka kadar air akan meningkat pula (Mulato, 2003, dalam Wiryadi, 2007). Air sebagai salah satu hasil metabolisme, sangat berpengaruh terhadap komponen – komponen lain termasuk pertumbuhan kapang sebagai mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi tempe (Rochmah, 2008). C. Kadar Protein Pada penelitian ini dilakukan uji penentuan kadar protein dengan metode Mikro-Kjeldahl untuk menentukan kandungan protein total yang terhitung sebagai N total. Kadar protein total tempe dari beberapa varietas kedelai dengan variasi perlakuan lama fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kadar Protein (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi Varietas Lama Fermentasi (jam) Kedelai 30 42 54 Grobogan 16,65a 17,93abcd 18,61cde Argomulyo 16,8ab 18,28bcd 21,06ghi Seulawah 17,70abc 17,75abc 18,69cde def efg Anjasmoro 19,35 19,87 20,21fgh Burangrang 20,21fgh 21,51hi 22,47ij i j Galunggung 21,96 23,47 25,19k Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05) Kadar protein tempe berkisar 16,65% - 25,19%, bervariasi antar perlakuan lama fermentasi dan perbedaan varietas kedelai. Pada semua varietas dan lama fermentasi cenderung mengalami kenaikan tetapi menunjukkan tidak beda nyata, kecuali varietas Argomulyo dan Galunggung lama fermentasi 42 dan 54 jam menunjukkan berbeda nyata.
28
Tempe kedelai Galunggung dengan perlakuan lama fermentasi 54 jam memiliki kadar protein tertinggi yaitu sebesar 67,33%, namun tempe dalam kondisi over fermented sehingga kurang disukai. Sedangkan kadar protein terendah pada tempe kedelai varietas Grobogan fermentasi 30 jam sebesar 16,65% (Tabel 4). 30
kadar protein (%)
25 20
30 jam
15
42 jam 54 jam
10 5 0 Grobogan
Argomulyo
Seulaw ah
Anjasmoro
Burangrang Galunggung
varietas
Gambar 5. Histogram Kadar Protein Tempe dengan Fermentasi
Berbagai Lama
Kadar protein tempe cenderung mengalami kenaikan dengan bertambahnya waktu fermentasi (30 jam, 42 jam dan 54 jam). Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Astuti dkk, (2000), akibat pengolahan kedelai menjadi tempe, kadar nitrogen totalnya semakin bertambah, juga kadar selulosa dan kadar abu meningkat secara nyata. Pada fermentasi tempe kedelai, terjadi pembentukan vitamin B kompleks, kecuali thiamin yang mengalami penurunan (Astuti, 2000). Vitamin B12 diproduksi oleh bakteri Klebsiella pneumoniae yang merupakan mikroorganisme yang diinginkan dan mungkin diperlukan ada dalam proses fermentasi tempe secara alami (Steinkraus dalam Steinkraus 1983). Diduga selama fermentasi tempe juga mengalami pembentukan vitamin B12, sehingga kenaikan jumlah protein diduga berasal dari nitrogen – nitrogen yang terkandung dalam vitamin B kompleks tersebut. Banyak sekali jamur yang aktif selama fermentasi tempe, tetapi umumnya para peneliti menganggap bahwa Rhizopus sp merupakan jamur
29
yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat dipergunakan
oleh
tubuh
(Pangastuti,
1996).
Rhizopus
oligosporus
menghasilkan enzim – enzim protease. Perombakan senyawa kompleks protein menjadi senyawa – senyawa lebih sederhana adalah penting dalam fermentasi tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas tempe, yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna tinggi (Pangastuti, 1996). D. Kadar Abu Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu (Winarno, 2002). Menurut Sudarmadji dkk (1989) dan Winarno (2002), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Tabel 5. Kadar Abu (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi Varietas Lama Fermentasi (jam) Kedelai 30 42 54 Grobogan 1,29bc 1,28bc 1,34bcd Argomulyo 1,45cd 1,69de 1,97f Seulawah 0,99ab 1,06ab 1,24abc a bcd Anjasmoro 0,92 1,35 1,52cde Burangrang 1,34bcd 1,47cd 1,59cde bc cde Galunggung 1,29 1,54 1,84ef Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05) Kadar abu tempe berkisar 0,92% - 1,97%, bervariasi selama fermentasi. Semakin lama waktu fermentasi kadar abu tempe secara umum cenderung mengalami kenaikan. Walaupun pada sampel tempe varietas Grobogan kadar abu mengalami penurunan pada fermentasi 42 jam, akan tetapi penurunan tersebut tidak signifikan. Pada semua lama fermentasi menunjukkan tidak beda nyata, kecuali pada varietas Argomulyo pada lama fermentasi 42 jam dan 54 jam. Demikian juga pada varietas Anjasmoro 30 jam dan 42 jam menunjukkan berbeda nyata.
30
2,5
kadar abu (%)
2 30 jam
1,5
42 jam 1
54 jam
0,5 0 Grobogan
Argomulyo
Seulawah
Anjasmoro Burangrang Galunggung
varietas
Gambar 3. Histogram Kadar Abu Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi Peningkatan kadar abu selama fermentasi tempe ini sesuai dengan pendapat Astuti dkk. (2000), yang menyatakan akibat dari pengolahan kedelai menjadi tempe, kadar nitrogen totalnya sedikit bertambah, kadar selulosa dan kadar abu meningkat secara nyata. Peningkatan kadar abu ini kemungkinan disebabkan selama fermentasi kapang menghasilkan enzim – enzim untuk metabolismenya. Enzim merupakan senyawa protein yang mengandung unsur mineral nitrogen (N), dan N tersebut terhitung sebagai abu. Selain itu peningkatan kadar abu diduga berasal dari vitamin yang terbentuk oleh bakteri yang tumbuh selama fermentasi tempe seperti Klebsiella pneumoniae (Ferlina, 2009), khususnya vitamin B. Astuti dkk (2000), menyebutkan bahwa selama fermentasi tempe jumlah vitamin B kompleks meningkat kecuali thiamin. Seperti disebutkan di depan bahwa vitamin B12 diproduksi oleh bakteri Klebsiella pneumoniae dalam proses fermentasi tempe (Steinkraus dalam Steinkraus 1983). Kenaikan kadar vitamin B12 meningkat sampai 33 kali selama fermentasi dari kedelai, riboflavin naik sekitar 8 – 47 kali, piridoksin 4 – 14 kali, niasin 2 – 5 kali, biotin 2 – 3 kali, asam folat 4 – 5 kali dan asam pantotenat 2 kali lipat (Ferlina, 2009); senyawa – senyawa tersebut kesemuanya mengandung unsur nitrogen (N). Vitamin B12 juga mengandung sebuah atom cobalt (Co) yang terikat mirip dengan besi terikat dalam hemoglobin atau magnesium dalam klorofil (Winarno, 2002). Dengan demikian kenaikan jumlah abu diduga berasal dari
31
nitrogen – nitrogen dan cobalt (Co pada vitamin B12) yang terkandung dalam vitamin B kompleks tersebut. Kadar abu tertinggi pada tempe kedelai varietas Anjasmoro perlakuan 30 jam sebesar 0,92%% dan kadar abu terendah pada tempe kedelai varietas Argomulyo perlakuan 54 jam sebesar 1,97%. E. Kadar Lemak Pada Tabel 6 kadar lemak total sampel tempe beberapa varietas kedelai lokal varietas Grobogan, Seulawah, Burangrang, Galunggung dan varietas introduksi Anjasmoro dan Argomulyo dengan variasi perlakuan lama fermentasi pada penelitian ini berkisar antara 6,33% - 8,89%. Tabel 6. Kadar Lemak (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi Varietas Lama Fermentasi (jam) Kedelai 30 42 54 hi f Grobogan 8,22 7,82 7,48e Argomulyo 8,31i 8,19ghi 7,39de cde bc Seulawah 7,24 7,04 6,87b Anjasmoro 8,40i 6,52a 6,33a i i Burangrang 8,43 8,43 7,87fg Galunggung 8,89j 7,95fgh 7,07bcd Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05) Dari Tabel 6 dapat dilihat perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh terhadap kadar lemak sampel tempe. Pada varietas Grobogan, Argomulyo, dan Galunggung menunjukkan beda nyata pada semua lama fermentasi. Sedangkan pada varietas Anjasmoro menunjukkan beda nyata pada lama fermentasi 30 dan 42 jam. Sedangkan pada varietas Burangrang menunjukkan beda nyata pada lama fermentasi 42 dan 54 jam. Pada varietas dan lama fermentasi yang lain menunjukkan tidak beda nyata. Pada varietas Grobogan terjadi penurunan kadar lemak pada semua lama fermentasi 30, 42, dan 54 jam dan ketiganya menunjukkan berbeda nyata. Pada varietas Argomulyo juga terjadi penurunan kadar lemak pada semua lama fermentasi 30, 42, dan 54 jam. Pada lama fermentasi 30 jam dan
32
42 jam tidak menunjukkan beda nyata sedangkan pada lama fermentasi 54 jam menunjukkan beda nyata. Penurunan kadar lemak juga terjadi pada varietas Seulawah pada semua lama fermentasi 30, 42, dan 54 jam dan menunjukkan tidak beda nyata. Pada varietas Anjasmoro juga terjadi penurunan kadar lemak pada lama fermentasi 30, 42, dan 54 jam. Pada lama fermentasi 42 jam dan 54 jam tidak menunjukkan beda nyata sedangkan pada lama fermentasi 30 jam menunjukkan beda nyata. Penurunan kada lemak juga terjadi pada varietas Burangrang pada lama fermentasi 42, dan 54 jam (8,43%, dan 7,87%)dan menunjukkan beda nyata. Pada varietas Galunggung terjadi penurunan kadar lemak pada lama
kadar lemak (%)
fermentasi 30, 42, dan 54 jam dan menunjukkan berbeda nyata. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
30 jam 42 jam 54 jam
Grobogan
Argomulyo
Seulawah
Anjasmoro
Burangrang
Galunggung
varietas
Gambar 4.
Histogram Kadar Lemak Tempe dengan Fermentasi
Berbagai Lama
Kadar lemak tempe pada beberapa varietas varietas kedelai lokal varietas Grobogan, Seulawah, Burangrang, Galunggung dan varietas introduksi Anjasmoro dan Argomulyo dengan variasi perlakuan lama fermentasi (30, 42, dan 54 jam) pada penelitian ini cenderung mengalami penurunan yang tidak signifikan (Gambar 4). Hal ini dikarenakan lemak tidak mudah langsung digunakan oleh mikroba jika dibandingkan dengan protein dan karbohidrat (Ketaren, 1986 dalam Wiryadi 2007). Penurunan kadar lemak yang signifikan terjadi pada tempe varietas Anjasmoro fermentasi 42 jam. Dalam Kasmidjo (1990), menyebutkan kadar lemak kedelai akan mengalami
33
penurunan akibat fermentasi menjadi tempe. Lebih dari 1/3 lemak netral dari kedelai terhidrolisis oleh enzim lipase selama 3 hari fermentasi oleh R.oligosporus pada suhu 37oC. Setelah 48 jam fermentasi, lemak akan terhidrolisis. Pada penelitian ini diketahui kadar lemak tertinggi terdapat pada sampel tempe varietas Galunggung dengan lama fermentasi 30 jam (8,89%), sedangkan kadar lemak terendah terdapat pada sampel tempe varietas Anjasmoro lama fermentasi 54 jam (6,33%). F. Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat tempe dari beberapa varietas kedelai dengan variasi perlakuan lama fermentasi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar Karbohidrat (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi Varietas Lama Fermentasi (jam) Kedelai 30 42 54 Grobogan 9,11e 7,32o 5,24e Argomulyo 7,63m 5,89f 3,34a Seulawah 9,29p 11,43r 9,02n j l Anjasmoro 6,77 7,39 6,00g Burangrang 10,99q 6,52h 4,36c i d Galunggung 6,70 4,92 3,76b Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05) Dari hasil analisis statistik dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi dan perbedaan varietas kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar karbohidrat sampel tempe. Hal ini dapat dilihat dari notasi yang berbeda di belakang angka kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat tertinggi pada tempe varietas Seulawah perlakuan 42 jam yaitu
11,43% dan kadar karbohidrat terendah pada tempe varietas
Grobogan perlakuan 54 jam sebesar 3,34%. Menurut Kim, Smit dan Nakayma dalam Kasmidjo (1990), selama proses perendaman terjadi peningkatan monosakarida, tetapi perendaman selama 24 jam pada suhu 25 oC dengan perbandingan biji:air adalah 1:3 dan 1:10 tidak mengakibatkan penurunan oligosakarida. Menurut Mulyowidarso
34
(1988), sukrosa turun sebesar 84 %, sedangkan stakhiosa, rafinosa dan melibiosa secara bersama-sama turun sebesar 64 %, dari kadar dalam biji selama perendaman. Pengurangan senyawa stakhiosa, rafinosa, melibiosa dan meningkatnya monosakarida, selain memiliki keuntungan dari sudut nutrisi, juga memberikan keuntungan mikrobiologis dalam pembuatan tempe. Rhizopus oligosporus tidak memiliki kemampuan untuk memetabolisasikan senyawasenyawa tersebut, sebaliknya dapat memanfaatkan monosakarida dengan baik. Di samping itu glukosa juga merupakan senyawa gula yang mendorong terjadinya perkecambahan spora Rhizopus oligosporus.
kadar karbohidrat(%)
12 10 8
30 jam
6
42 jam 54 jam
4 2 0 Grobogan
Argomulyo
Seulaw ah
Anjasmoro
Burangrang Galunggung
varietas
Gambar 6. Histogram Kadar Karbohidrat Tempe dengan Fermentasi
Berbagai Lama
Stakhiosa, rafinosa, dan sukrosa yang merupakan sumber karbohidrat utama pada kacang-kacangan meupakan sumber karbon bagi ragi tempe untuk tumbuh.
Perlakuan
perendaman
dan
perebusan
dapat
menyebabkan
pengurangan kandungan gula utama. Penurunan kadar karbohidrat selama proses fementasi diduga karena penggunaan monosakarida oleh ragi tempe untuk bisa tumbuh sehingga proses fermentasi bisa berjalan. Stakhiosa akan berkurang lebih lanjut selama fermentasi oleh jamur tempe, menjadi 30 %nya kadar stakhiosa kedelai mentah setelah 48 jam, dan tinggal 7 % setelah 72 jam fermentasi. Sedangkan kadar rafinosa relatif akan tetap selama proses fermentasi.
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui: 1. Perbedaan varietas tidak berpengaruh terhadap warna tempe yang dihasilkan. Perbedaan varietas mempunyai pengaruh terhadap bobot biji, daya serap air, dan daya bengkak kedelai. Semakin besar bobot biji semakin banyak tempe yang dihasilkan. Semakin besar daya serap air juga diiringi dengan semakin besarnya daya bengkak. Varietas kedelai yang mempunyai karakteristik fisik terbaik adalah Grobogan. 2. Variasi perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh terhadap sifat kimia tempe. Semakin lama waktu fermentasi, kadar air, kadar abu dan kadar protein total sampel tempe semakin meningkat, sedangkan kadar lemak dan karbohidrat
mengalami penurunan. Varietas kedelai yang
mempunyai karakteristik kimia terbaik adalah Galunggung. B. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan disarankan beberapa hal berikut ini: 1. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses biokimiawi selama fermentasi tempe dan perubahan sifat kimia tempe yang lebih spesifik, seperti kandungan dan jenis asam amino, asam lemak, serta mineralnya dengan variasi lama fermentasi yang lebih lanjut atau dengan variasi perlakuan yang lain. 2. Sebaiknya perlu dilakukan persilangan kedelai varietas Grobogan dan Galunggung. 3. Untuk mendapatkan tempe bernilai gizi tinggi, sebaiknya dilakukan produksi tempe varietas Galunggung dan Grobogan.
36
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto,T. 2005. Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Ali, I. 2008. Buat Tempe Yuuuuk. http://iqbalali.com/2008/05/07/buat-tempeyuuuuk/. diakses tanggal 4 Februari 2010. Anonim. 2006. Karakteristik Kedelai Sebagai Bahan Pangan Fungsional. eBookPangan.com. diakses tanggal 2 Februari 2010. Anonim.
2010a. Standar Mutu Tempe Kedelai SNI 01-3144-1992. http://agribisnis.deptan.go.id/layanan_info/view.php?file=STANDAR D-MUTU/Standard-NasionalIndonesia/SNI_Horti/Produk+olahan/SNI+01-3144++1992.pdf&folder=MUTU-STANDARDISASI. diakses tanggal 2 Februari 2010. . 2010b. Potensi Kedelai. http://id.wikipedia.org/wiki/Kedelai. diakses tanggal 2 Februari 2010. . 2010c. Mutu Kedelai Nasional Lebih Baik dari Kedelai Impor.http://www.litbang.deptan.go.id.diakses tanggal 4 Februari 2010.
. 2010d. Kandungan Gizi Kedelai. . http://agribisnis.deptan.go.id/. diakses tanggal 4 Februari 2010. . 2010e. Vitamin Kedelai. . http://id.wikipedia.org/wiki/Varietas Kedelai. diakses tanggal 4 Februari 2010. . 2010f. Kandungan Serat Kedelai. . http://id.wikipedia.org/wiki/Serat Kedelai. diakses tanggal 4 Februari 2010. . 2009g. Membuat Tempe. http://tempecorner.multiply. com/journal/item/12/Membuat_Tempe. diakses tanggal 6 Februari 2010. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemis. Washington DC, 27p Apriyantono, A. Fardiaz, N. Puspitasari, L. Sedarnawati dan Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. Astuti, M., Meliala,A., Fabien, D., Wahlq, M. 2000. Tempe, a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pasific J Clin Nutr (2000) 9 (4): 322 – 325. http://iqbalali.com/2008/05/07/buat-tempe-yuuuuk/. Didownload pada tanggal 29 Juli 2009. 20.45 WIB. Azeke, M A., Barbara Fretzdorff, Hans Buening-Pfaue, Thomas Betsche. 2006. Comparative Effect Boiling and Solid Substrate Fermentation Using The Tempeh Fungus (Rhizopus oligosporus) on The Flatulance
37
Potential of African Yambean (Sphenostylis stenocarpa L.) Seeds. Food Chemistry 103 (2007) 1420-1425. Babu, D. P., Bhakyaraj, R., dan Vidhyalakshmi. 2009. A Low Cost Nutritious Food “Tempeh”. World Journal of Dairy & Food Sciences. 4 (1): 2227. Bekti.
2008. Jangan Takut Dibilang Bermental Tempe. http://bektigamartil.wordpress.com/2008/09/08/jangan-takut-dibilangbermental-tempe/. diakses tanggal 4 Februari 2010.
BPS Jateng. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Hlm 168, 179-182,184-187,162163. Dewi, E. L. 2009. Superfood: Yang Perlu Kita Ketahui Dari Produk Kedelai. “Chinese Natural Cures” – Henry C.Lu, “, The Soy Connection, Volume 10, nomor 4, “Soy, Vitamin E Alternatives for Hormone Treatment”-Prepared Food newsletter edisi 2 Desember 2002, Newest Research On Why You Should Avoid Soy, Sally Fallon dan Mary Enig, Ph.D http://griyalarasati.blogspot.com/2009/02/yang-perlu-kitaketahui-dari-produk.html. diakses tanggal 4 Februari 2010. Endang, Sr, Indrati, R, Utami, T, Harmayani, E., dan Cahyanto, MN. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. Food and Nutrition Culture Collection, PAU Pangan dan Gizi UGM, Jogjakarta. Ferlina, F. 2009. Tempe. http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php. Didownload pada tanggal 29 Juli 2009. pukul 20.45 WIB. Handajani, S. 1992. Pengaruh Larutan Perendam dan Perebus terhadap Kekerasan, Kualitas Tanak dan Kandungan Mineral Biji KacangKacangan. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta Handajani, S dan Atmaka, W. 1993. Analisis Sifat Phisis-Khemis Beberapa Biji Kacang – kacangan; Kekerasan, Kualitas Tanak, Protein, dan Kandungan Mineralnya (Lanjutan). Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta Haslina & E. Pratiwi. 1996. Manfaat Tempe Bagi Gizi dan Kesehatan Manusia. Sainteks Vol. III No. 4 September 2009. Hidayat, N. Masdiana C. Padaga dan Sri Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi. Yogyakarta. , N. 2009. Tahapan Proses Pembuatan Tempe. http://lecture.brawijaya. ac.id/nurhidayat/?cat=386. diakses tanggal 6 Februari 2010.
Hudaya, S., dan Daradjat, S.S. 1982. Dasar-Dasar Pengawetan 2. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta. Kasmijo, Dr. Ir.R.B. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan Serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
38
Koswara, S. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). EbookPangan.com , S. 2009. Kacang-Kacangan, Sumber Serat yang Kaya Gizi. http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/Kacang-kacangan,%20Sumber %20Serat%20yang%20Kaya%20Gizi.pdf. diakses tanggal 4 Februari 2010.
Rachman, A. 1989. Teknologi Fermentasi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Rokhmah, L. N. 2008. Kajian Kadar Asam Fitat dan Kadar Protein Selama Pembuatan Tempe Kara Benguk (Mucuna Pruriens) dengan Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian UNS. Surakarta. Markley, K.S., ed., 1950. Soybeans and Soybean Products. Volume 1, Interscience Publishers, inc., New York. Muchtadi, Tien R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. IPB Press. Bogor. Nugrahaeni N, T. Sundari, Subandi, Marwoto. 2008. Inovasi Teknologi mendukung pengembangan tanamna kacang-kacangan dan Umbiumbian. Balitkabi. Malang. Pangastuti, H.P dan Triwibowo, S. 1996. Proses Pembuatan Tempe Kedelai: III.Analisis Mikrobiologi. Cermin Dunia Kedokteran No. 109. Plhak, L.C., Cadwell, K.B. and Stanley, D.W. 1989. Comparison of Methods Used to Characterise Water Imhibibition in Hard-to-Cook Beans. J. Food Sci. 54, 326-329. Salunkhe D.K. and Kadam S.S. 1990. Handbook of World Food Legumes: Nutritional Chemistry, Processing Technology, and Utilization. Volume I. CRC Press. Sarwono, B. 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Sardjono., B.H., dan Wibowo, D. 1999. Handout Teknologi Fermentasi. UGM Press. Yogyakarta. Sisworo,W.H. 2008. Produktivitas Kedelai Rendah Akibat Penanaman Tidak Intensif. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=155737 (diakses pada tanggal 11 April 2009). Somaatmadja, S. dkk. 1985. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka 99 Bogor. Bogor.
Steinkraus, K.H. 1983. Handbook of Indegenous Fermented Foods. Marcel Dekker, Inc. New York. 131-146. , K.H.,1995. Handbook of Indigenous Fermentef food, Second Edition Revised and Expanded, Marcel dekker dalam Nurhikmat, Asep. 2008.
39
Pengaruh Suhu dan Kecepatan Udara terhadap nilai Konstanta pengeringan tempe kedelai. Thesis. UGM.Yogyakarta. Sudarmaji, S. 1977. Perubahan selama Fermentasi dan Mikroorganisme yang Terlibat. Gramedia. Jakarta , S. 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ke-3. Liberty. Yogyakarta. Supriyono. 2008. Memproduksi Tempe. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Syarief, R. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala Press. Surabaya. Widianarko, B. Rika P. dan Retnaningsih. 2000. Tempe, Makanan Populer dan Bergizi Tinggi. Seri Iptek Pangan Volume 1: Teknologi, Produk, Nutrisi dan Keamanan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan. Unika Soegijapranata. Semarang. Wiryadi, R. 2007. Pengaruh Waktu Fermentasi dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung Cokelat (Theobroma cocoa L). Skripsi. Universitas Syah Kuala. Aceh. Yoneya, T. 2009. Fermented Soy Products: Tempeh, Nattos,Miso, and Soy Sauce. http://enniek.wordpress.com/2009/05/30/tempe/. diakses tanggal 6 Februari 2010.