U.TKNJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan di Indonesia diperkirakan 26% dari total lahan sawah atau sekitar 1,5 juta ha, dan sekitar 929.840 ha terdapat di Jawa (IRRI, 1992; Sastrosoedardjo dan Tohari, 2001). Di Pulau Jawa lebih dari sepertiga luas lahan sawah tadah hujan sekitar 358.120 ha di Jawa Tengah (Anonymous, 1996), 293.960 ha terdapat di Jawa Barat dan 277.760 ha terdapat di Jawa T
i (Suprihatno et al., 1995).
Sawah tadah hujan berpotensi sebagai penghasil tanaman pangan terutama beras terbesar setelah sawah beririgasi. hoduksi padi sawah tadah hujan relatif rendah dengan rata-rata hasil2,O-2,5 tha, atau sekitar separuh dari hasil padi sawah beririgasi (Balittan Sukaman& 1988; Ismunadji & Suprapto, 1990; Mamaril et al., 1995). Menurut IRRI (1993), hasil gabah rata-rata dari sawah tadah hujan dunia hanya 2-3 t/ha dari luasan sekitar 38,7 juta ha. A&an curah hujan dan ketersediaan air yang tidak menentu serta pengelolaan tanaman yang buruk dipandang sebagai kendala utama dalam meningkatkan dan mempertahankan p r o d u k t ~ t a stanaman. Sebagian besar
lahan sawah tadah hujan
berada pada daerah dengan curah hujan tahunan kurang dari 1500 mm/tahu dan hujan terkonserttrasi selama 3-4 bulan (Kartaatmadja dan Soemamo, 2001), dengan curah hujan rata-rata 200 d u l a n (Pane et al., 1999). Karakteristik lain yang mendukung sawah tadah hujan adalah iklim kering dengan 5-6 bulan kering, radiasi surya bervariasi 250-400 cal/cm2/hai dan suhu antara 23 dan 33'C, serta kelembaban relatif berkisar 60-85% (Ismunadji dan Suprapto, 1990).
Pola tanam di ekosistem sawah tadah hujan umumnya padi gogorancah - padi walik jerami - bera atau palawija (Gambar 1). Padi gogorancah mempakan padi pertama yang ditanam saat tanah dalam kondisi k e ~ gdan menjadi tergenang menjelang fase pertumbuhan anakan maksimum. Padi gogorancah umumnya ditanam pada awal m u s h penghujan dalam bulan Oktober-November. Pada sistem ini padi tumbuh beberapa minggu pertama sebagai padi gogo dan menjadi padi sawah setelah curah hujan cukup menggenangi lahan. Beberapa kendala dalam sistem gogorancah, yaitu persiapan lahan sulit, curah hujan tidak menentu selama persiapan lahan dan penentnan waktu tanam, dan terjadi persaingan tinggi antara tanaman dan gulma (De Datta, 1981). Padi walik jerami mempakan padi kedua yang ditanam secara pindah dari persemaian saat tanah masih tergenang, dan biasanya kadar air men-
sejalan dengan
pertumbuhan tanaman, serta tanah diolah secara minimum dengan sekali pengolahan tanah baik menggunakan cangkul atau bajak sapi. Penanaman palawija atau diberakan tergantung kondisi tanah setelah panen padi kedua (padi walik jerami), bilamana tanah masih basah petani umumnya menanam kacang hijau, semangka biji, dan jagung (Fagi, 1995). Sebagian kecil petani juga menerapkan pola tanam alternatif seperti palawijapadi sawah-palawija. Cekaman kekeringan dan kesuburan tanah rendah umumnya sebagai faktcr pembatas p r o d u k t ~ t a ssawah tadah hujan. Kekeringan adalah masalah kompleks dalam sawah tadah hujan, yang mungkm terjadi di awal musim pertanaman atau saat berbunga hingga pengisian gabah (Wade et al., 1999). Kesuburan tanah rendah juga mempakan masalah kompleks, karena pasokan sejumlah hara biasanya terbatas, atau tejadi kondisi toksik terutama pada tanah masam atau salin. Flukcasi kondisi tanah dari anaerobik ke
aerobik juga mempunyai kosekuensi terbesar bagi ketersediaan hara
(Wade et al,
1998).
CH (mm) 300 1
O
N
D
J
F
M
A
M
J
J
A
S
Gambar 1..Pola Tanam dan Distribusi Curah Hujan Selama 35 Tahun di Lahan Sawah Tadah Hujan Jakenan, Jawa Tengah ( F a g 1995)
Penyebaran dan Sifat Tanah Inceptisol Tanah Inceptisol merupakan tanah yang dapat memiliki epipedon okrik dan mempunyai beberapa sifat penciri lain seperti horison kambik, dan tidak memiliki syarat bagi ordo tanah lain. Perkembangan pros Inceptisol relatif lebih lemah daripada tanah matang dan mash mempunyai sifat bahan induknya (Hardjowigeno, 1993). Inceptisol tennasuk tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Tanah ini
relatif subur. Bahan tanah yang belum mengalami pelapukan lanjut u m m y a mengandung mineral liat beragam seperti mineral liat tipe 2: 1 (smektit), tipe 1:l (kaolinit) yang tergantung pada lingkungannya. Tanah ini pada klasi&asi lain setara dengan tanah Aluvial, Andosol Regosol, Glei Humus, Latosol, Mediteran, Podsolik Coklat (Brady, 1985). Pembentukan Inceptisol dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: bahan induk sangat resisten, posisi ekstrim dalam landscape seperti daerah curam atau lembah, dan permukaan geomorfologi yang muda, sehingga pembentukan tanah belum lanjut (Hardjowigeno, 1993). Umumnya tanah-tanah sawah di Asia termasuk Inceptisol atau Entisol (De Datta, 1981). Di Indonesia, tanah sawah yang termasuk Inceptisol antara lain : tanah Aluvial, Regosol, Latosol, dan Andosol. lnceptisol setara tanah Aluvial mempunyai luas sekitar 2,9 juta ha tersebar di Sumatera, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Jnceptisol setara Regosol seluas 400.000 ha tersebar di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, dan Sulawesi. Jnceptisol setara Latosol seluas 900.000 ha terdapat di bagian timur Jawa, dan Inceptisol setara Andosol seluas 50.000 ha tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Sumatera Utara (De Datta, 1981). Menurut Bastari (1992), penyebaran tanah Jnceptisol yang berpotensi untuk pertanian di Jndonesia sekitar 0,55 juta ha dan biasanya bereaksi masamhingga netral. Tanah Inceptisol seperti Hidromofi kelabu, Glei hmrls, dan Planosol yang terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan mempunyai perkembangan profil lebih baik daripada tanah Aluvial umumnya dan biasanya cocok sebagai lahan padi sawah. Tanah ini mempunyai sifat-sifat mampat (comvact), teguh, lapisan bawah peimukaan berliat dengan dominasi karatan besi,
mangau, dan berwama kelabu, lapisan permukaan tanah bertekstur lebih ringan (Soepraptohardjo dan Suhardjo, 1978) Di Indonesia, Inceptisol dan ordo lain Ultisol dan Oxisol sebagian besar mempakan tanah mineral masam dengan tingkat kesuburan marginal yang meliputi luasan 20,7 juta ha. Kahat hara esensial temtama N, P, K mempakan kendala utama tanah tersebut (Karama et al., 1992). Menurut Odjak (1992), tanah muda seperti Inceptisol umumnya menyediakan cukup kalium Kisaran kandungan kalium terekstrak HC125% pada tanah Inceptisol dari berbagai wilayah di Indonesia terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kisaran Kandungan Kalium Terekstrak HC125% Tanah Inceptisol di Berbagai Wiayah di Indonesia Jenis tanah L.P. Tanah @S, 1961)
1
hiuvial Hidromorf
Setara dg. Taksonomi (USDA)
I I
Inceptisol Inceptisol Inceptisol
1 I
Sumatera Lampung Jawa Lombok Sulawesi Kalimantan Sei Barito Utara (1967) (1969) (1967) Selatan Barat Kalteng (1976) (1968) (1985) (1985) ... ... ... ...... ... ... ...... ... ..... mg KzO/lOO g ... ... ... ...... ...... ... .......... 25-326 27-315 33
4-14 54-93 9-144
8-118 178-482 4-117
-
8-388 93-244
4-14 4-8
7-221
4-17
15-34
Sumber : Karama et al. (1992) Tanaman padi dapat tumbuh pada semua ordo tanah, namun yang penting temtama adalah Inceptisol, Aljisol, dan Ultisol. Subordo penting dari Inceptisol yaitu Aquepts (SuLfaquepts, Tropaquepts, Haplaqueptsf, Cchrepts (Ustochrepts, Eutrochrepts, Dytrochrepts), dan Tropepts (Ustropepts, Dystropepts). Intensitas pencucian mempakan salah satu ciri yang climiliki Inceptisol, A&oL dan Ultisol. Inceptisol tercuci lemah dan mempunyai daya hantar listrik lapiasan terolah agak tinggi (Sekhon, 1995). Tropaquepts biasanya dijumpai pada dataran aluvial yaug berkaitan dengan terdapatnya sungai besar
dan kadang-kadang kondisi pasang surut laut mempengaruhi areal tersebut. Subordo Aquepts merupakan tanah penghasil padi sawah yang penting (IRRI, 1985).
Peranan Kalium dalam Tanaman Kalium m e ~ p a k a nhara esensial yang diperlukan tanaman dalam jumlah banyak dan memegang peranan sangat penting dalam proses metabolisme sebagai aktivator
& mulai dari proses fotosintesis, translokasi asimilat hingga pembentukan pati, protein, dan sebagainya (Karama et al., 1992). Kalium bukan penyusun bagian integral komponen tanaman seperti protoplasma, lemak, dan selulose, melainkan fungsinya sebagai katalisis berbagai fungsi fisiologis esensial, yaitu (1) metabolisme atau pembentukan karbohidrat, (2) metabolisme N dan sintesis protein, (3) mengontrol dan mengatur aktivitas berbagai hara mineral esensial, (4) rnineralisasi asam organik penting secara fisiologis, (5) aktwasi berbagai e
m (6) pemacu pertumbuhan jaringan
meristematik, dan (7) menggiatkan stomata dan pergerakan air (Tisdale, Nelson dan Beaton, 1985). Kalium dalam tanaman sangat mobil dan sesuai dengan perannya, maka sebagian besar K terdapat di bagian vegetatif tanaman terutama dalam jaringan-jaringan muda (Odjak, 1992). Kalium dikenal sebagai hara penentu mutu produksi tanaman karena p e n g a d pentingnya pada berbagai faktor seperti ukuran, ketajaman. wama, rasa, dan hayati lain (Janke, 1992). Kahat K pada tanaman akan menghambat seluruh proses metabolisme s e h g g a produksi turun. Tanaman kahat K cepat menua, pemasakan tidak merata, dan kehampaan gabah tinggi. Tanaman mudah terserang hama dan penyakit (Karama et al., 1992). Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), kahat K menyebabkan tanaman padi sawah tumbuh kerdil (dam lebih kecil, pendek, dan batang kurang keras), mudah rebah,
daun mudak menggulung, bobot 1000 butir t m , translokasi karbohidrat terhambat, sistem perakaran tidak sehat yang menyebabkan p e n m a n serapan hara lainnya, dan daya oksidasi aka1 bur& yang m e n d a n ketahanan terhadap bahan-bahan toksik. Pemberian K berkaitan dengan kapasitas tanah memasok K cukup untuk menyediakan kebutuhan K total tanaman hingga fase pemasakan tanaman (Heckman dan Kamprath, 1992). Kekahatan K umumnya disebabkan oleh rendahnya kapasitas memasok K dalam tanah, pemberian pupuk K tidak cukup, jerami tidak dikembalikan ke dalam lahan sawah, masukan K air irigasi kec& dan jumlah H2S, ~e", dan asam-asam organik melimpah yang menghambat pertumbuhan akar dan serapan K
Kekahatan K pada
tanaman padi juga d i p e n g a d oleh praktis pengelolaan tanaman seperti penggunaan pupuk N dan P berlebihan, dan sistem perakaran daugkal selama pertumbuhan awal tanaman. Kekahatan K umumnya ditemukan pada tanab dengan kaudungan K rendah terutama tanah yang bertekstur kasar dengan KTK rendah
dan kemampuan tanah
menambat K rendah, serta. tanah yang telah lanjut seperti Ultisol atau Oxisol (Dobermann dan Fairhnrst, 2000).
Tanggap Tanaman Padi terhadap Kalium Kalium sangat penting dalam agroekosistem padi untuk memantapkan produksi padi dan meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap berbagai cekaman terutama penyakit d m kekeringan (Suparyono, Kartaatmadja dan Fagi 1992). Pemberian K pada tanaman padi meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap penyakit seperti busuk batang (Helminthosporium si,modium), bakteri lepuh daun (leaf blizht), bercak dam coklat (Ophiobilus miyabimus), busuk pelepah dam (Cortitium), kresek ( Xanthomonas
olyzae), dan Pericularia olyzae (Makarim, 1992). Beberapa varietas padi seperti IR36
dan Dodokan toleran terhadap kekeringan. Padi varietas IR36 hanya tanggap terhadap pemupukan KC1 selama MH 1990191 hingga takaran 24,9 kg Wha, sedangkan varietas Dodokan genjah (96 hari) lebih tanggap terhadap pupuk KC1 hingga takaran 49,8 kg Wha (Balittan Sukaman4 1988). Jumiah K yang diserap tanaman ditentukan oleh faktor tanah dan tanaman yang mempengaruhi kemampuan tanaman mengambil K dari tanah seperti status K, pH, kandungan dan tipe mineral liat, kandungan hara lapisan bawah, kandungan bahan organik, jenis dan varietas tanaman, sistem perakaran, tiugkat produksi, dan iklim (Tisdale et al., 1985). Tanggap K umumnya terdapat pada tanah-tanah sawah dengan kadar K larnt dalam HC125% kurang dari 8,3 mg WlOO g tanah (Karama et al., 1992). Areal sawah di Jawa dengan status K rendah yang luasnya 1.451.000 ha atau 39,7% dari seluruh areal sawah di Jawa memberikan tanggapan nyata terhadap pemberian K, dengan rincian 663.000 ha di Jawa Barat, 398.000 di Jawa Tengah, dan 390.000 ha di Jawa Timur (Sri Rochayati, Mulyadi, dan Sri Adiningsih, 1990). Status K rendah di sawah tadah hujan Jakenan dengan konsentrasi K dapat ditukar < 0,l me WlOO g terdapat pada Inceptisol. Menurut Jones et al. (1982), batas kritis K dalam tanah untnk tanaman padi berkisar 0,18 - 0,26 me WlOO g tanah. Menurut Mamaril et ai. (1995), tanaman padi tidak tanggap K jika K dapat ditnkar lebih dari 85 ppm K atau 0,22 me WlOO g @asir dan pasir berlempung), 100 ppm K atau 0,26 me WlOO g (lempung berpasir dan lempunz), 125 ppm K atau 0,32 me WlOO g ( lempung berdebu dan hat), atau lebih dari 175 ppm K atau 0,44 me WlOO g pada tanah berkapnr. Padi varietas IR64 meningkat dengan pemberian KC1 sebesar 25 kg Wha pada tanah Planosol di Pati, Gxumosol di Ngawi, dan HidromorHc Kelabu di Serang
(Partohardjono dan Pasaribu, 1992). Menurut Makarim (1992), pemberian K berpengaruh positif terhadap komponen hasil seperti peningkatan persentase gabah isi, peningkatan jumlah malai per rumpun, penambahan jumlah gabah per malai, dan peningkatan bobot 1000 butir gabah. Tidak tanggapnya padi sawah terhadap pemupukan kalium diakibatkan oleh pupuk K mudah larut dan tercuci, K dijerap kisi-kisi tanah berada dalam keseimbangan dengan K tersedia. Kemampuan tanah menyediakan hara K dari lahan-lahan pertanian di Indonesia sangat beragam tergantung sifat-sifat tanah, faktor pengelolaan seperti
pengairan dan tanaman (Sri Rochayati et al., 1990). Tanaman padi menyerap K total melebihi serapan N. Hasil padi yang berkisar 910 t/ha menyerap K total sebesar 250-300 kg Wha, sedangkan N diserap sebesar 160220 kg N h a (Dobennann et al., 1995). Selama periode 1989-1991, produksi padi ratarata tahunan di Indonesia adalah 44,7 juta ton (IRRI, 1993). Jika diasumsikan rata-rata serapan 23 kg Wton padi, maka total serapan K tahunan adalah satu juta ton. Masukan K pada padi yang dibudidayakan secara intensifrelatifrendah dan yang teranglcut keluar sangat tiuggi. Tanaman padi umumnya menyerap 258 kg Wha, dimana 26 kg Wha terdapat dalam biji dan 232 kg Wha dalam jerami guna menghasilkan gabah 8,5-9 toniha (Cooke m &
Tandon, 1995).
Pemberian K pada tanaman padi erat kaitamqa dengan fase pertumbuhan tanaman. Hara K yang diserap tanaman saat anakan maksimum dapat meningkatkan jumlah malai dan gabah. Kalium yang diserap saat primordia meningkatkan jumlah malai dan bobot gabah, dan bilarnana diserap setelah fase primordia dapat membantu meningkatkan bobot gabah. Tanggapan pentiug tanaman padi tercapai bilamana K diberikan secara bertahap (De Datta, 1981).
Bentuk dan Status Kalium dalam Tanah Kalium dalam tanah berada dalam bentuk larutan, dapat ditukar, dan tidak dapat ditukar ( fiksasi dan K dalam struktur). Besarnya K larutan dan K dapat ditukar mempakan bagian kecil dari total K (Brady, 1985). Proporsi relatiftotal K tanah terlihat pada Gambar 2.
(Felspar, mika, dll.) 90-98 % total K
K lambat tersedia
K cepat tersedia (Exchangeable & dalam
1-10 % totalK 1-2 % total K
K tidak'dapat ditukar
t.)
K dapat ditukar (90 %)
t.)
K laktan tanah (10%)
Gambar 2. Proporsi Relatif K dalam Tanah (Brady, 1985)
Kalium dalam larutan tanah merupakan sumber utama K yang diserap akar tanaman, yang konsentrasinya beragam dengan pelapukan tan&,
pertanaman
sebelunmya, dan pemupukan (Barber, 1984). Bagian utama K tanah bergerak ke akar dari lamtan tanah melalui difusi dan aliran massa, tetapi kebutuhan tanaman untuk K sering lebih besar daripada K larutan tanah persatuan waktu. Kalium larut air dalam tanah bervariasi dari 1 sampai dengan 10 mg Wkg tanah (Prasad dan Power, 1997).
Kalium dapat ditukar terdapat pada muatan negatif liat tanah dan tapak permkaran bahan organik. Besarnya kalium dapat ditukar dalam tanah biasanya berkisar
dari 40 sampai dengan 500 mgkg. Komponen K dapat ditukar secara terus menerus tergantung pada pelepasan K terfiksasi dan pelapukan K seperti mika dan felspar. Ketersediaan K untuk tanaman merupakan hngsi K dalam tanah, laju pertukaran, dan tingkat pencucian (Sekhon, 1995). Kalium tidak dapat ditukar terdapat pada kisi-kisi lembar liat yang tidak segera digantikan oleh kation-kation dalam larutan tanah (Barber, 1984). Pemberian K selalu meningkatkan cadangan K tersedia dalam bentuk K tidak dapat ditukar, tetapi tidak selalu memberi kenaikan terhadap ketersediaan K (K dapat ditukar dan K lamtan) karena tergantung pada daya sangga K dalarn tanah (Suiaeman et al., 1992). Kalium terfiksasi merupakan K yang menempati posisi internal dari kisi liat dalam mineral seperti illit dan vennikult (Sekhon, 1995). Fiksasi K tejadi karena ion K+ terjerap di
. oleh antara lapisan silikat oleh ion lain yang lebih besar seperti' caZ+ dan MgZ+ , juga hidroksi A1 atau Fe yang menghalangi ion K+ bilamana kadar air berkuraag (Karama et al., 1992). Kalium tidak dapat ditukar dalam tanah bervariasi sekitar 40 - 600 mg Kkg
tanah (Tisdale el al., 1985). Reaksi kesetimbangan tejadi antara bentuk lamtan, dapat ditukar, tidak dapat ditukar, dan fase K mineral mempengaruhi terhadap kimia K tanah yang secara skematis digambarkan sebagai berikut (Sekhon, 1995):
Pelepasan K+ tidak dapat ditukar dalam tanah tergantung pada r e n d h a konsentrasi di sekitar akar tanaman karena K+ dalam lamtan tanah dapat menghambat pelepasan kation dari tapak kisi mineral tanah (Cox, Joern dan Roth, 1996). Tanah
mengandung mineral Eat yang thggi selektivitasnya terhadap K seperti illit m e d s a s i
K lebih kuat daripada tanah berpasir atau tanah yang didominasi mineral fiat kaolinit. Mineral liat sepertibentonit, illit, dan kaolinit memfiksasi K masing-masing sebesar 9,98; 10,93; 0,33 me WlOO g. Tanah dengan kandungan liat 20 % setiap memfiksasi 1 me WlOO g, berarti tanah tersebut mempunyai kapasitas iiksasi lebih dari 830 kg Wha (Kemmler, 1980). Fiksasi K biasanya mempakan konversi K* dalam larutan atau tapak dapat ditukar ke dalam bentuk tidak dapat ditukar, sehingga K+ bebas masuk ke dalam kisi silikat 2: 1. Kapasitas a s a s i K mineral liat secara berunrtan kaolinit < mika < illit < vermikulit (Cao dan Hu, 1995). Perbedaan kandungan K pada berbagai mineral di tanah tropika tergantung pada tahapan transformasi mika menjadi liat, yang digambarkan sebagai berikut:
Mika
+
Hidrous mika -3 Illit -3
-100 g Kikg
60-80 glkg
40-60 glkg
Mineral transisi
- 30 g/kg
f
Vermikulit
4
Montmodonit -10 g Wkg
Menwut Suwanarit (1995), terdapat dua altematif transfonnasi mika menjadi mineral liat, yaitu mika
3 vermikulit
terkloritisasi 3 gibsit
+
kaolinit 3 gibsit
atau mika 3 vermikulit
+ kaolinit.
Tanah muda sebagian besar mengandung mineral-mineral sumber kalium. Mineral utama dalam tanah yang mengandung K yaitu mika (biotit dan muskovit), felspar (ortoklas dan mikroklin) dm liat illit. Mineral tersebut melepaskan K sangat lambat dengau laju beragam Pelepasan K pada biotit > muskovit > ortoklas > mikrokh (Barber, 1984).
Lapisan olah tanah pertanian umumnya mengandung cukup banyak hara K, sekitar 1-2% atau 16.600-33.200 kg Wha. Kalium tanah berasal dari mineral-mineral penyusun bahan induk, terutama kelompok mika dan felspar. Transfomasi dan dekomposisi mineral primer membentuk mineral sekunder atau mineral liat yang bersifat koloidal dan dapat menjerap kation. Beberapa mineral liat dapat memfiksasi K setelah pengeringan. Dekomposisi juga menghasilkan ion-ion atau senyawa yang lamt air dalam tanah ( S o e p m 1995). Bentuk K dalam tanah terdiri dari K-terlamt, Kterjerap (dapat ditukar), K-terfiksasi dan K-mineral masing-masing mempakan bentuk langsung, cepat, lambat, dan sangat lambat tersedia (Prasad dan Power, 1997). Keseimbangan bolak-balik bentuk-bentuk K yang dinamis dalam tanah sawah lebih cepat daripada tanah kering. Keseimbangan bentuk-bentuk K dalam tanah menyebabkan ion I< yang diserap tanaman selama periode peitumbuhan dapat berasal bail dari K-lamtan, K-dapat ditukar, dan K-terfiksasi, bahkan dari I<-mineral. Proses fdcsasi dan pelepasan K dari dan ke dalam lamtan tanah menentukan kemampuan tanah menyediakan K bagi tanaman (Goulding dan Heas, 1987). Keseimbangan K dalam tanah tergantung beberapa faktor, antara lain tipe koloid, pembasahan d m pengeringan, pH dan kandungan Ca dalam tanah, dan suhu (Odjak, 1992). Tipe mineral liat 2: 1 mempunyai kapasitas tinggi memfiksasi K dalam kisi kristal (I.iu, Laird dan Barak, 1997), sedangkan tipe 1: 1 tidak dapat memfiksasi K. Bahan organik mempunyai kapasitas menambat K atau kation lain tetapi tidak mem6ksasi kation dan K masih dapat diserap tanaman (Evangelou, Karathanasis dan Blevins, 1986). Kondisi tanah basah dikeringkan biasanya meningkatkan K dapat ditukar, terutama pada status K tanah rendah
-
sedang. Peningkatan pH tanah akan
meningkatkan K dari tapak jerapan, dan kation bivalen seperti Ca dengan mudah
mendepak kation monovalen seperti K Kalium dapat ditukar dalam tanah meningkat dengan peningkatan suhu (Odjak, 1992). Pada tanah sawah tergenang, ketersediaan K relatif tinggi selama masa p e m b u h a n karena dinamika pembahan dan pergerakan K terjadi secara cepat. Air irigasi dan pengembalian jerami yang mengandung 80% K diserap tanaman padi dapat memperkecil kemungkinan kahat K (Nujaya et al., 1995). Efektivitas ketersediaan K dipengaruhi oleh kadar air. Kemmler (1980) menyatakan bahwa ketersediaan K turun akibat rendahnya kadar air. Peningkatan ketersediaan K pada tanah tergenang menghasilkan serapan K lebih tinggi bagi tanaman pa& sehingga terjadi pengurasan K secara cepat. Status K tanah atau kelas ketersediaan K tanah dapat didasarkan pada status K dapat ditukar tanah. Secara empiris Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat membedakan kriteria status K dapat ditukar dalam 5 kelas : sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi dengan kadar masing-masing < 0,l; 0,l-0,3; 0,4-0,s; 0,8-1,O; dan > 1,O me1100 g. Berdasarkan K larut dalam HCl 25%, status K tanah digolongkan menjadi tiga kelas, yaitu : rendah (< 10 ppm), sedang (10 - 20 ppm) dan thggi (> 20 ppm) (Soepartw 1995).
Neraca Kalium pada Tanaman Padi Sawah Neraca K merupakan perbedaan antara jumlah K yang diberikan pada t a n a m dan K yang terbawa has2 panen. Neraca K positif mencerminkan peningkatan kesuburan tanah dimana tanah mampu menambat K dan kapasitas menukar kation relatif cukup. Neraca K negatif mencerminkan terkurasnya K dalam tanah dan mencerminkan p e n m a n kesuburan tanah. Perbedaan antara jumlah hara K yang
masuk dan keluar lahan pertanian memberikan gambaran adanya pengurasan hara dari tanah, penimbunan dalam tanah, atau cukup seimbang (Mengel dan Kirby m & Makarim, 1992). Neraca K merupakan perpindahan atau dinalnika K antarpool berbeda, terutama pool dapat ditukar dan pool tidak dapat ditukar (Johnston, 1995). Di beberapa negara neraca K negatif umumnya tejadi pada sawah beririgasi terutama pada lahan yang dikelola secara intensif. Pengurasan hara dapat tejadi bilamana tanpa diimbangi dengan pemberian K terutama pada tanah bertekstur ringan, dan tanah berbahan induk miskin K, serta tanah berkapur (Makarim, 1992). Neraca K di sawah beririgasi dihitung berdasarkan pengukuran serapan I< tanaman, kehilangan K akibat pencucian, limpasan permukaan, dan perembesan; dan K dari pupuk, pengembalian j e r a e air irigasi, dan curah hujan. Perbedaan masukan dan keluaran secara kuantitatiftergantung pada spesifik lokasi (Dobermam et al., 1995). Besainya keperluan K tanaman padi tergantung pada jumlah K yang diserap tanaman, jumlah hara K tersedia dalam tanah, jumlah K dari air irigasi jumlah K yang hilang tercuci dan tererosi, serta j u d a h K yang terangkut keluar lahan berupa sisa tanaman dan hasil (Bastari, 1992). Pasokan air irigasi 750-1250 mrn Hz0 per tanaman padi memberikan masukan K berkisar 7-50 kgha. Masukan K dari hujan yang dikaji di Bangladesh mencapai 12 kg Whaltahun dengan konsentrasi K dalam air hujan 0,25-1,18 mg/l. Keldangan K dari lahan uigasi akibat pencucian dan limpasan permukaan tergantung pada jenis tanahnya. Kehilangan K melalui pencucian pada tanah lateritik merah di Cina Selatan sebesar 44% pupuk yang ditambahkan, dan 39 kg Whaltahun hilang pada tanah Aeric Haplaquepts di Bangladesh (Dobermam et al., 1995).
Kehilangan Kalium melalui Pencucian Kehilangan hara melalui pencucian lebih dominan pada tanah berpasir. Kehilangan ini tergantung pada jumlah dan intensitas hujan dan kerapatan tanaman secara aktif. Faktor utama peuyebab kehilangan K melalui pencucian adalah rendahnya kemampuan tanah menahan K baik dalam bentuk dapat ditukar ataupun tidak dapat ditukar dan tingginya curah hujan baik intensitas maupun kuantitas (Suwanarit, 1995). Suatu kajian di lahan sawah tadah hujan di India menunjukkan bahwa kehilangan melalui pencucian relatif berkurang pada tanah yang mengandung liat b e r a k t ~ t a stinggi menambat K. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (1998), tanah-tanah yang didominasi 6aksi pasir menyebabkan pencucian K tinggi. Kehilangan K yang tinggi dapat dikurangi dengan pemberian masukan bahan organik (Johnston, 1995). Tanah-tanah yang telah berkembang lanjut umumnya mempunyai KTK rendah dan kapasitas memfiksasi K rendah pula. Kemampuan tanah tersebut menahan K relatif rendah baik dalam bentuk K dapat ditukar maupun tidak dapat ditukar seperti di Thailand (.Suwanarit, 1995) dan di China (Cao dan Hu, 1995). A6nitas K pada tapak permkaran yang rendah menunjukkan bahwa tanah berkapasitas rendah memfiksasi K dan melepaskan K dari bentuk tidak dapat ditukar juga rendah. Pencucian K dapat dengan mudah menyebabkan pengurasan K pada suatu pertanaman (Cao dan Hu, 1995).
Jerami Padi sebagai Pemasok Kalium Bahan organik berperan penting dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Peranan penting bahan organik antara lain : sebagai salah satu sumber hara tanaman, meningkatkan kapasitas menyangga hara, dan meningkatkan kapasitas tukar kation (Wen, 1985).
Bahan organik digunakan untuk memperbaiki strnktur tanah, meningkatkan suhu tanah, meningkatkan kemantapan agregat, meningkatkan kemampuan menyimpan air, dm m e n d a n kepekaan tanah terhadap erosi (Hesse, 1985), serta sebagai sumber energi bagi mikroorganisme tanah (Stevenson, 1982). Ketersediaan hara dalam tanah terjadi selama perombakan bahan organik oleh a k t ~ t a s mikroorganisme. Semua faktor penting yang mempengaruhi a k t ~ t a s mikroorganisme dalam transformasi bahan organik, antara lain : suhu, kelembaban tanah, laju pertukaran gas, ketersediaan hara, dan struktur koloidal bahan mineral (Flaig, 1985). Surnber utama bahan organik baik alami maupun kondisi temsik berasal dari akar, eksudat akar, sisa tanaman, kotoran hewan, dan sebagainya. Bahan organik secara umum tersusun atas hemiselulosa dan selulosa (30-65%), lignin (8-25%), dan protein dan asam amino (1-5%) (Hesse, 1985). Jerami padi merupakan limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai sumber hara K karena sekitar 80 %K yang diserap tanaman berada dalam jerami. Jerami padi bexpotensi sebagai pengganti pupuk anorganik temtama K baik yang diberikan dalam beutuk segar, dikomposkan, maupun dibakar. Ketersediaan K pada tanah kahat K dapat ditingkatkan dengan penambahan pupuk anorganik (KC4 K2S04), atau bahan organik seperti jerami dan kompos jerami (Odjaic, 1992). Sri Rochayati et al. (1990) mengemukakan bahwa jerami tidak sekeda: mengganti pupuk K pada takaran tertentn, tetapi mempunyai peranan lebih utama dalam memperbaiki p r o d u k t ~ t a stanah sawah sehingga efisiensi pupuk meningkat serta menjamin kemantapan produksi. Di lahan beririgasi, petani telah menggunakan jerami padi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kalium karena jerami mengandung 1,24% K. Di daerah tertentu jerami diangkut selmuhnya untuk pakan ternak, pembuatan kertas, dll., tetapi
-
terdapat juga jerami dibiarkan di lapangan atau dibakar di tempat guna memudahkan pengolahan tanah berikutnya (Bastari, 1992). Menurut Ponnamperuma (1985), pengembalian jerami mampu meningkatkan hasil gabah akibat peningkatan pasokan N,
K, dan hara lain, pola pelepasan N lambat, dan memperbaiki struktur tanah. Pembenaman 5 t jerami memasok 100 kg K, 7 kg P, 20 kg Ca, 5 kg Mg, dan 300 kg Si ke dalam tanah. Pembenaman jerami ke dalam tanah dapat menghemat
pupuk
anorganik dan mendaur hara dalam tanah. Pengelolaan jerami seperti diangkut dari lahan, dibakar in situ, disebarkan di permukaan lahan, dibenamkan dalam tanah, atau digunakan sebagai mulsa utuk tanaman berikutnya mempunyai efek yang berbeda pada k e s e l d a n neraca hara dan kesuburan tanah jmgka panjang. Pembakaran jerami efektif sebagai sumber K dan hanya sedikit K hilang dalam proses. Pengangkutan jerami menyebabkan penipisan K dan Si dalam tanah. Pembenaman jerami meningkatkan ketersediaan P, &J
Si, tetapi
secara berkala menyebabkan imobilisasi N dan nyata meningkatkan emisi gas metana di lahan sawah (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Pengomposan jerami padi m e ~ p d c a npola p e ~ b a h a nkomposisi organik dari bahan asalnya. Kompos jerami padi mengandung hemiselulosa dan selulosa tinggi dengan nisbah CM lebih rendah daripada 20 melalui reaksi biologi dan nisbah reduksi ,da (C dalam hemiselulosa dan selulosa dan total C) lebih rendah daripada 35% (Inoko, 1985). Pemberian kompos atau pupuk kandang memperkaya bahan organik tanah, yang pengaruhnya sangat komprehensif dan kompleks. Inoko (1985) mengemukakan bahwa 20 t kompos atau pupuk kandang dapat memasok setara dengan 78 kg N, 17 kg P, dan 116 kg K Kompos secara nutrisional berpengaruh terhadap
tingginya P dan K tersedia, S i Ca, Mg tersedia, dan pelepasan N yang lambat (Flaig, 1985). Kandungan hara pada jerami relatif lebih tinggi daripada pupuk kandang. Pupuk kandang tergantung pada perbedaan sumber asal kotoran, jenis bahan pakan, umur dan jenis temak. Kotoran babi dan ayam biasanya mengandung N, P, K lebih tinggi daripada kotoran sapi (Yuan, 1985). Nisbah CM kotoran babi dan ayam biasanya lebih rendah daripada 10, sedangkan nisbah C/N kotoran sapi lebih tinggi daripada 10 (Inoko, 1985). Menurut Mamaril et al. (1995), kotoran sapi sebanyak 5 t/ha dapat memasok 33 kg N; 8,5 kg P; dan 24 kg K Kotoran sapi dapat mengurangi pencucian hara dan meningkatkan efisiensi pupuk N, P, K, serta mengurangi kebutuhan pupuk anorganik yang tinggi (Karama et al., 1992).