KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI SERTA ORGANOLEPTIK TELUR ASIN DENGAN LAMA PENGOVENAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI FEBRI RAHAYU EFTIAH SARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
RINGKASAN FEBRI RAHAYU EFTIAH SARI, D14080035. 2013. Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi serta Organoleptik Telur Asin dengan Lama Pengovenan yang Berbeda Selama Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rukmiasih, MS Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Telur asin yang dihasilkan dari proses perendaman dalam larutan garam biasanya dimasak terlebih dahulu sebelum dijual ke konsumen. Perebusan merupakan metode pemasakan yang sering digunakan pada telur asin, namun daya simpan telur asin dengan metode tersebut tidak berlangsung lama (< 1 bulan), atau jika masih berlangsung lama, hal tersebut lebih disebabkan oleh semakin lamanya waktu pengasinan yang dilakukan, akibatnya rasa putih telur terlampau asin. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengembangkan metode pemasakan baru seperti kombinasi antara perebusan dan pengovenan. Penelitian ini dilakukan untuk lebih mengetahui perubahan kimia, mikrobiologi, dan organoleptik telur asin yang dioven selama penyimpanan, dan diharapkan pengovenan dapat meningkatkan citarasa telur asin dan mempertahankan kualitasnya selama satu bulan. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama pengovenan yang akan digunakan dalam penelitian utama berdasarkan uji ranking hedonik. Penelitian utama bertujuan untuk menganalisis karakteristik kimia, mikrobiologi, dan organoleptik telur asin selama penyimpanan serta memperoleh perlakuan yang terbaik berdasarkan ketiga karakteristik tersebut. Penelitian utama menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga taraf perlakuan (rebus, rebus dan oven 4 jam, rebus dan oven 6 jam) dan tiga kali ulangan untuk nilai pH, aw, kadar air, dan kadar abu putih telur, serta dua kali ulangan untuk nilai total mikroba. Pengujian karakteristik kimia dan total mikroba dilakukan pada hari ke-0, 15, dan 30; sedangkan karakteristik organoleptik pada hari ke-7 dan 28. Data pengujian nilai pH, aw, kadar air, dan kadar abu putih telur dianalisis sidik ragam dan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey. Data pengujian kadar NaCl dianalisis secara deskriptif. Data uji ranking hedonik dianalisis dengan uji Friedman dan hasil yang berbeda nyata dilakukan uji perbandingan berganda. Data uji hedonik dan mutu hedonik dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dan hasil yang berbeda nyata dilakukan uji banding rataan ranking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) pada kadar air putih telur dan total mikroba (total plate count) sebelum penyimpanan (H0) serta karakteristik organoleptik setelah penyimpanan (H7 dan H28). Karakteristik organoleptik yang dipengaruhi oleh lama pengovenan setelah penyimpanan 7 hari antara lain ranking dan mutu hedonik dari warna putih dan kuning telur, aroma, dan tekstur kuning telur, sedangkan untuk rasa kuning telur lama pengovenan hanya mempengaruhi ranking hedoniknya. Lama pengovenan hanya mempengaruhi nilai hedonik dari warna putih dan kuning telur setelah 28 hari. Kesimpulannya, telur asin yang dioven 6 jam menghasilkan kualitas yang terbaik. Kata-kata kunci: telur asin, pengovenan, kimia, mikrobiologi, organoleptik
ABSTRACT Chemical, Microbiology, and Organoleptic Characteristics of Salted Egg Produced by Different Oven Baking Time During Storage Sari, F. R. E., Rukmiasih and R. R. A. Maheswari Duck egg is one of poultry products which often be made as salted egg. Nowdays, salted egg can be cooked by different methods, one of them was oven baking method. This main research was aimed to study chemical, microbiology, and organoleptic characteristics of salted duck egg produced by different oven baking time during storage. Salted duck eggs were baked for a duration of four and six hours after boiling (R+O4 and R+O6). Chemical and microbiology characteristics were determined at 0, 15, and 30 days, while organoleptic characteristics were determined at 7 and 28 days. Completely Randomized Design with 3 treatments (boiling (R), R+O4, R+O6) and 3 replications for chemical characteristics or 2 replications for microbiology characteristics was used in this experiment. Data from chemical and microbiology test was analyzed by analysis of variance, while data from organoleptic test was analyzed by Friedman and Kruskal Wallis. The results showed that there were significant differences (P<0.05) in water content of albumen and total plate count of whole egg before storage (0 day), and after storage (7 and 28 days) there were significant differences (P<0.05) in organoleptic characteristics. In conclusion, salted eggs that were oven baked for six hours were the best in this research. Keywords: Salted duck egg, oven baked, chemical, microbiology, organoleptic
KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI SERTA ORGANOLEPTIK TELUR ASIN DENGAN LAMA PENGOVENAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN
FEBRI RAHAYU EFTIAH SARI D14080035
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul
: Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi serta Organoleptik Telur Asin dengan Lama Pengovenan yang Berbeda Selama Penyimpanan
Nama
: Febri Rahayu Eftiah Sari
NIM
: D14080035
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Rukmiasih, MS) NIP: 19570405 198303 2 001
(Dr. Ir. Rarah R. A. M., DEA) NIP: 19620504 198703 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 15 Pebruari 2013
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Pebruari tahun 1991 di Jombang, Jawa Timur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Effendi M., SE dan Ibu Karti’ah. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1996 di SDN 001 Tanjung Redeb dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan menengah pertama di MTsN Tanjung Redeb dimulai pada tahun 2002 hingga tahun 2005 dan pendidikan menengah atas di SMA 4 Sambaliung mulai tahun 2005 hingga 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswi IPB pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu LDK (Lembaga Dakwah Kampus) Al-Hurriyyah sebagai anggota Lembaga Pengajaran Qur’an (LPQ) divisi tahsin dan tahfidz periode 2008/2010 dan sebagai Sekretaris Departemen LPQ periode 2010/2011, ketua divisi BBQ (Bina Baca Qur’an) Asrama Putri periode 2008/2009, dan anggota HIMAPROTER divisi satwa harapan pada periode 2010/2011. Penulis juga mengikuti berbagai kegiatan, seperti seminar nasional, kepanitiaan kegiatan mahasiswa, serta forum Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Timur (KPMKT). Penulis juga termasuk ke dalam penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 2010/2012 dan calon mahasiswa berprestasi tingkat Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan tahun 2010.
KATA PENGANTAR “Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan.” (AnNahl: 5). Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT serta shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Hanya berkat rahmat dan karunia Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi serta Organoleptik Telur Asin dengan Lama Pengovenan yang Berbeda Selama Penyimpanan di bawah bimbingan Dr. Ir. Rukmiasih, MS dan Almarhumah Dr. Ir. Rarah Ratih A. M., DEA. Literatur mengenai telur asin yang dioven masih sedikit ditemukan. Melalui tugas akhir ini penulis ingin membantu menambah informasi mengenai metode pemasakan khususnya pengovenan terhadap telur asin beserta pengaruhnya. Terdapat dua tujuan utama dalam penelitian ini yaitu (1) mempelajari pengaruh lama pengovenan terhadap perubahan karakteristik kimia, mikrobiologi, dan organoleptik telur asin selama penyimpanan di suhu ruang, (2) memperoleh perlakuan yang terbaik ditinjau dari segi organoleptik, mikrobiologi, dan kimia. Banyak hal yang penulis dapatkan dalam penelitian ini, salah satunya adalah warna telur asin yang tidak menarik justru memberikan citarasa terbaik. Skripsi ini diharapkan selain dapat menambah wawasan juga dapat diaplikasikan oleh pembaca, karena metode pemasakan yang digunakan mudah dan sederhana. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga ilmu yang diperoleh melalui skripsi ini semakin mendekatkan diri penulis dan pembaca kepada Sang Pencipta.
Bogor, Pebruari 2013
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .....................................................................................
ii
ABSTRACT ........................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................
v
RIWAYAT HIDUP .............................................................................
vi
KATA PENGANTAR .........................................................................
vii
DAFTAR ISI........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...............................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
xii
PENDAHULUAN ................................................................................
1
Latar Belakang.......................................................................... Tujuan ......................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
3
Telur ........................................................................................ Kerabang Telur ............................................................ Putih Telur (Albumen) ................................................. Kuning Telur (Yolk) ..................................................... Substansi Aroma .......................................................... Pengawetan dan Pemasakan Telur ............................................ Pengasinan ................................................................... Proses Termal ............................................................... Perebusan ......................................................... Pengovenan ...................................................... Perubahan yang Terjadi selama Pemasakan .............................. Denaturasi Protein ........................................................ Reaksi Maillard ............................................................ Penurunan dan Perubahan Mutu selama Penyimpanan ............. Perubahan Fisik ............................................................ Perubahan Kimia .......................................................... Nilai pH ............................................................ Kadar Air .......................................................... Aktivitas Air ..................................................... Perubahan Mikrobiologi ............................................... Uji Organoleptik ......................................................................
3 4 4 5 5 6 6 8 8 9 10 10 10 12 13 13 13 14 14 15 17
MATERI DAN METODE ...................................................................
19
Lokasi dan Waktu ....................................................................
19
Materi ...................................................................................... Bahan ............................................................................ Alat .............................................................................. Prosedur ................................................................................... Penelitian Pendahuluan ................................................ Penelitian Utama .......................................................... Rancangan dan Analisis Data ................................................... Analisis Data ................................................................ Peubah ......................................................................... Pengujian Karakteristik Kimia .......................... Pengujian Karakteristik Mikrobiologi ............... Pengujian Karakterstik Organoleptik .................
19 19 19 20 20 20 21 21 21 21 23 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
25
Penelitian Pendahuluan ............................................................ Penelitian Utama ...................................................................... Karakteristik Kimia pada Putih Telur Asin ................... Kadar NaCl Putih Telur .................................... Nilai pH Putih Telur ......................................... Nilai aw Putih Telur ........................................... Kadar Air Putih Telur ....................................... Kadar Abu Putih Telur ...................................... Karakteristik Mikrobiologi Telur Asin .......................... Karakteristik Organoleptik Telur Asin .......................... Evaluasi Sensori Tahap Pertama ....................... Evaluasi Sensori Tahap Kedua .......................... Penentuan Perlakuan Terbaik .......................................
25 26 26 26 27 28 30 32 33 36 36 44 48
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
51
Kesimpulan .............................................................................. Saran .......................................................................................
51 51
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
53
LAMPIRAN ........................................................................................
57
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Kimia Telur Bebek Segar dan Asin ...........................
8
2. Hasil Uji Ranking Hedonik (Penelitian Pendahuluan) ................
25
3. Kadar NaCl (% bb) pada Putih Telur Asin .................................
26
4. Skor Penilaian Perlakuan Terbaik pada Telur Asin ....................
49
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Struktur Telur ............................................................................
3
2. Reaksi Pembentukan Melanoidin ...............................................
12
3. Tipe Isotermik ...........................................................................
15
4. Diagram Alir Penelitian Utama .................................................
24
5. Nilai pH Putih Telur ..................................................................
27
6. Nilai Aktivitas Air pada Putih Telur ..........................................
28
7. Nilai Kadar Air Putih Telur .......................................................
30
8. Nilai Kadar Abu Putih Telur ......................................................
32
9. Total Mikroba Telur Asin ..........................................................
34
10. Hasil Uji Ranking Hedonik .......................................................
36
11. Hasil Uji Mutu Hedonik ............................................................
37
12. Warna Putih Telur Asin .............................................................
38
13. Warna Kuning Telur Asin .........................................................
40
14. Hasil Uji Hedonik .....................................................................
44
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Form Uji Ranking dan Mutu Hedonik .......................................
57
2. Form Uji Hedonik .....................................................................
58
3. Rumus Uji Perbandingan Berganda ...........................................
59
4. Rumus Uji Banding Rataan Ranking .........................................
59
5. Hasil Uji Friedman pada Penelitian Pendahuluan .......................
59
6. Hasil Uji Perbandingan Berganda (Penelitian Pendahuluan) ......
61
7. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur H0 ..............................
61
8. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur H15 ............................
61
9. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur H30 ............................
61
10. Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur H0 ...............................
61
11. Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur H15 .............................
61
12. Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur H30 .............................
61
13. Hasil Sidik Ragam Kadar Air Putih Telur H0 ............................
61
14. Uji Tukey Kadar Air Putih Telur H0 .........................................
62
15. Hasil Sidik Ragam Kadar Air Putih Telur H15 ..........................
62
16. Hasil Sidik Ragam Kadar Air Putih Telur H30 ..........................
62
17. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur H0 ...........................
62
18. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur H15 .........................
62
19. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur H30 .........................
62
20. Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H0 .....................................
62
21. Uji Tukey TPC Telur Asin H0 ...................................................
63
22. Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H15 ...................................
63
23. Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H30 ...................................
63
24. Hasil Uji Non Parametrik Friedman untuk Ranking Hedonik .....
63
25. Hasil Uji Perbandingan Berganda untuk Ranking Hedonik ........
64
26. Hasil Uji Kruskal Wallis untuk Mutu Hedonik ..........................
64
27. Hasil Uji Banding Rataan Ranking untuk Mutu Hedonik ..........
65
28. Hasil Uji Kruskal Wallis untuk Nilai Hedonik ...........................
65
29. Hasil Uji Banding Rataan Ranking untuk Nilai Hedonik ...........
66
PENDAHULUAN Latar Belakang Telur merupakan produk ternak unggas yang sering dikonsumsi masyarakat karena harganya murah, kandungan gizinya tinggi, mudah diperoleh, dan dimanfaatkan baik bagian putih telur, kuning telur maupun gabungan keduanya. Jenis telur yang umum digunakan oleh masyarakat untuk membuat telur asin adalah telur itik karena pori-pori kerabang telurnya besar sehingga garam NaCl lebih mudah berpenetrasi ke dalam telur dan kandungan lemaknya tinggi sehingga lebih mudah terbentuk tekstur masir dan berminyak pada kuning telur. Tekstur masir dan berminyak merupakan ciri khas dari telur asin dan menjadi daya tarik bagi konsumen. Cara sederhana dalam membuat telur asin yaitu dengan merendam telur ke dalam larutan garam. Telur yang diasinkan dengan metode tersebut biasanya mengalami pemasakan terlebih dahulu sebelum dijual ke konsumen. Metode pemasakan yang sering digunakan oleh produsen telur asin adalah perebusan, namun permasalahan yang sering dijumpai adalah daya simpan dari telur asin yang hanya direbus tidak dapat bertahan selama satu bulan dalam suhu ruang, atau jika telur asin tersebut masih bertahan selama satu bulan, hal ini lebih disebabkan oleh semakin lamanya waktu pengasinan yang dilakukan, akibatnya rasa putih telur menjadi sangat asin, sehingga dapat mengurangi citarasa telur asin tersebut karena konsumen tidak menyukai rasa putih telur yang terlampau asin. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengembangkan metode pemasakan baru, salah satunya adalah kombinasi antara perebusan dan pengovenan. Metode tersebut dipilih karena pengovenan secara umum mampu menurunkan kadar air bahan pangan, sehingga dapat memperbaiki kualitas simpannya. Perubahan yang terjadi akibat pengovenan tidak hanya terdapat pada kadar air, namun juga pada parameter lain seperti organoleptik dan mikrobiologi, oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk lebih mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada telur asin yang dioven khususnya perubahan pada karakteristik kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya selama penyimpanan, karena informasi mengenai hal tersebut masih sedikit ditemukan. Melalui proses pengovenan, 1
diharapkan telur asin yang dihasilkan memiliki aroma dan citarasa yang khas serta kualitasnya dapat dipertahankan selama satu bulan dalam suhu ruang. Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mempelajari pengaruh lama pengovenan terhadap perubahan karakteristik kimia, mikrobiologi, dan organoleptik telur asin selama penyimpanan di suhu ruang, serta memperoleh perlakuan yang terbaik ditinjau dari segi kimia, mikrobiologi, dan organoleptik.
2
TINJAUAN PUSTAKA Telur Telur merupakan salah satu produk unggas yang mengandung protein cukup tinggi sebesar 12%. Telur terutama kaya akan asam amino esensial seperti lisin, triptofan, dan khususnya metionin yang merupakan asam-asam amino esensial terbatas (Yuwanta, 2010). Komposisi asam amino yang lengkap dengan proporsi yang seimbang tersebut menyebabkan protein telur digunakan secara luas sebagai standar dan bilangan nisbah efisiensi protein (NEP) serta dianggap memiliki nilai biologi 100 (Man, 1999). Pengelompokkan telur berdasarkan bobot minimum yang dijelaskan dalam United States Departement of Agriculture (2000) yakni jumbo (70 gram/butir), besar sekali (63 gram/butir), besar (56 gram/butir), sedang (49 gram/butir), kecil (42 gram/butir), dan kecil sekali (35 gram/butir). Kaewmanee (2010) menyebutkan bahwa sebutir telur itik tersusun atas 10,87% kerabang, 54,73% putih telur, dan 33,94% kuning telur dengan bentuk struktur telur yang berlapis-lapis (Gambar 1).
Keterangan: (1) Germinal disc (blastoderm), (2) membran yolk, (3) latebra, (4) lapisan yolk terang, (5) lapisan yolk gelap, (6) kalaza, (7) lapisan encer albumen, (8) lapisan kental albumen, (9) pori-pori, (10) kantung udara, (11) membran kerabang, (12) membran dalam telur, (13) permukaan kerabang yang bergabung dengan lapisan mamilari, (14) kutikula, (15) lapisan bunga karang
Gambar 1. Struktur Telur Sumber: Belitz dan Grosch (2009)
3
Kerabang Telur Kerabang telur terdiri atas bagian luar yang ditutupi oleh gelatin (kutikula), garam inorganik, beberapa materi organik dan sedikit air. Rata-rata komposisi protein pada membran kerabang telur ayam sebesar 70%. Bagian kutikula pada kerabang telur diduga mengandung beberapa protein berupa musin (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerabang telur menurut Belitz dan Grosch (2009) terdiri atas kristal kalsium karbonat yang tertanam dalam matriks organik dan kompleks proteinmukopolisakarida dengan perbandingan 50:1, juga sejumlah kecil magnesium karbonat dan fosfat. Suguro et al. (2000) menyebutkan bahwa kandungan kalsium pada kerabang telur sebesar 37,7%. Struktur kerabang telur berdasarkan Belitz dan Grosch (2009) terbagi menjadi empat bagian yakni kutikula, lapisan bersepon (bunga karang), lapisan mamilari, dan pori-pori. Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan bahwa ukuran pori-pori besar dan kecil pada permukaan kerabang telur itik masing-masing yaitu 0,036 x 0,031 mm dan 0,014 x 0,012 mm, sedangkan pada permukaan kerabang telur ayam ukuran poripori besar dan kecilnya masing-masing yaitu 0,029 x 0,022 mm dan 0,011 x 0,009 mm. Jumlah pori di seluruh bagian kerabang telur bervariasi antara 100-200 pori/cm2, bagian tumpul dari telur memiliki jumlah pori yang lebih banyak serta tebal kerabang yang lebih tipis daripada bagian yang lain. Fungsi pori kerabang telur adalah sebagai tempat pertukaran gas-gas dari dalam dan luar kerabang sehingga membantu respirasi embrio di dalam telur. Putih Telur (Albumen) Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan, bahwa putih telur terdiri atas putih telur encer bagian luar (23,2%) dengan kadar air sebesar 88,8%, putih telur kental (57,3%) dengan kadar air sebesar 87,6%, putih telur encer bagian dalam (16,8%) dengan kadar air sebesar 86,4%, dan khalazaferous (2,7%) dengan kadar air sebesar 84,3%. Bahan penyusun utama dari putih telur adalah air. Kadar air akan mengalami penurunan dari lapisan luar menuju lapisan dalam putih telur. Putih telur (albumen) selain menjadi sumber protein pada telur (9,7%-10,8%) juga mengandung fraksi gula (0,4%-0,9%), garam mineral (0,5%-0,6%), lemak (0,03%), dan abu (0,5%-0,6%) serta memiliki berat kering sekitar 10,6%-12,1% (Yuwanta, 2010). Protein pada putih telur terdiri atas ovalbumin (54%), konalbumin 4
atau ovotransferin (12%), ovomukoid (11%), ovomusin (3,5%), lisosom atau G1 globulin (3,4%), G2 globulin (4%), G3 globulin (4%), ovoflavoprotein (0,8%), ovoglikoprotein (1,0%), ovomakroglobulin (0,5%), ovoinhibitor (1,5%), sistatin (0,05%), dan avidin (0,05%) (Stadelman dan Cotterill, 1995). Kuning Telur (Yolk) Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air dengan berat kering sebesar 50% yang terdiri atas 65% lipid, 31% protein, dan 4% karbohidrat, vitamin, dan mineral (Belitz dan Grosch, 2009). Susunan kuning telur dari bagian dalam hingga luar menurut Yuwanta (2010) yakni latebra, kuning telur berwarna putih (white yolk) dan berwarna kuning (yellow yolk) yang tersusun secara konsentris berselang seling, serta membran vitelin. Huopalahti et al. (2007) menyebutkan bagian-bagian dari kuning telur berdasarkan bahan kering yaitu terdiri atas 19%-23% granula dan 77%81% plasma. Bagian granula terdiri atas 70% high density lipoprotein (HDL), 16% fosvitin, dan 12% low density lipoprotein (LDL), sedangkan bagian plasma terdiri atas LDL sebanyak 85% dan livetin sebanyak 15%. Bagian granula memiliki ukuran yang seragam dengan diameter 1,0-1,3 µm, sedangkan bagian plasma berupa yolk droplet memiliki ukuran yang bervariasi antara 20-40 µm. Jenis protein yang terdapat pada granula kuning telur yaitu lipovitelin (disusun oleh HDL) dan fosvitin, sedangkan yang terdapat dalam plasma yaitu lipovitelenin (disusun oleh LDL) dan livetin (Belitz dan Grosch, 2009). Lemak kuning telur menurut Yuwanta (2010) tersusun atas komplek lemakprotein dalam bentuk LDL dan lipovitelin dalam bentuk ikatan bebas. Lemak telur terdiri atas 65% trigliserida, 28,3% fosfolipid, dan 5,2% kolesterol. Stadelman dan Cotterill (1995) menyebutkan bahwa kuning telur merupakan sumber utama karbonil jenuh maupun tak jenuh. Substansi Aroma Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan, bahwa telur yang disimpan dapat menyerap flavor dari bahan-bahan makanan di sekitarnya. Telur segar menurut Romanoff dan Romanoff (1963) dapat dibedakan dari telur yang basi ketika digabungkan dengan bahan lain. Bau amis dari telur berhubungan dengan pakan yang diberikan pada unggas. Ward et al. (2009) menjelaskan, ayam petelur yang 5
diberi pakan dengan kanola akan menghasilkan telur yang berbau amis. Timbulnya bau amis disebabkan oleh terakumulasinya trimetilamin pada kuning telur. Trimetilamin (TMA) terbentuk dari degradasi kolin oleh senyawa mikroba. Aroma utama yang ditemukan pada putih dan kuning telur yang dimasak adalah sulfur akibat dari penguapan gas H2S (Stadelman dan Cotterill, 1995). Karakteristik aroma dari telur yang dimasak lebih lanjut dijelaskan oleh Warren et al. (1995) yaitu terdapat 32 senyawa volatil yang dapat diidentifikasi dari telur yang dimasak selama 30 menit pada suhu 100 oC melalui analisis volatil extraction. Senyawa volatil tersebut dibagi menjadi 8 kelas yang terdiri atas 10 aldehid, 2 keton, 5 alkohol, 2 alkana, 1 furan, 1 pirazin, 6 senyawa aromatik, dan 6 asam lemak. Di antara senyawa-senyawa tersebut, pirazin merupakan senyawa yang berkontribusi dalam flavor makanan yang dipanggang. Pengawetan dan Pemasakan Telur Pengawetan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) tidak dapat menaikkan mutu suatu bahan pangan. Pengawetan bertujuan untuk memperlama waktu terjadinya penurunan mutu bahan pangan tersebut. Prinsip pengawetan telur utuh adalah untuk mencegah terjadinya penguapan air dan terlepasnya CO2 dari dalam telur serta mencegah masuknya mikroba dari luar melalui pori-pori kerabang. Umumnya pengawetan yang dilakukan pada telur dapat dilakukan dalam bentuk pengawetan telur segar dan telur olahan. Pengawetan dalam bentuk telur segar yakni dengan menutup pori-pori kerabang telur. Pengawetan ini dapat dilakukan antara lain dengan pelapisan telur menggunakan minyak, pelapisan dengan bahan kimia (kalsium karbonat, sodium silikat, vaselin, dan parafin), perendaman dalam larutan kapur dan ekstrak nabati. Pengawetan telur segar juga dapat dilakukan dengan menyimpannya dalam lemari es. Pengawetan dalam bentuk telur olahan yakni dengan menambah bahan-bahan yang mampu untuk mengawetkan makanan seperti garam, gula, dan asam (Syarief dan Halid, 1993). Pengasinan Prinsip pengasinan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) adalah (1) memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba, (2) garam mempunyai sifat higroskopis sehingga akan menarik air keluar jaringan yang menyebabkan aw akan 6
menjadi rendah, (3) garam yang berbentuk larutan dapat mengurangi oksigen terlarut, dan (4) ion Cl dari garam bersifat racun bagi mikroorganisme. Gaman dan Sherrington (1992) menjelaskan bahwa klorin digunakan sebagai desinfektan yang mampu membunuh bakteri dengan reaksi sebagai berikut: Cl2 + H2O
HCl + HOCl. Asam hipoklorat (HOCl) yang terbentuk akan
membunuh bakteri dengan cara oksidasi dan kemudian berubah menjadi asam klorida. Pengasinan menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi berat putih telur namun menurunkan proporsi kuning telur. Kadar air baik putih maupun kuning telur menurun secara bertahap seiring meningkatnya kandungan garam dan abu serta lamanya waktu pengasinan (Kaewmanee, 2010). Pemberian garam menurut Belitz dan Grosch (2009) menimbulkan pengaruh pada kelarutan protein. Pemberian yang terlampau sedikit (konsentrasi rendah) akan meningkatkan kelarutan protein (efek salting in) dengan menekan interaksi proteinprotein elektrostatik, sedangkan pemberian garam yang terlampau banyak (konsentrasi tinggi) akan menurunkan kelarutan protein (efek salting out) sebagai hasil dari kecenderungan hidrasi ion garam. Stadelman dan Cotterill (1995) juga menyebutkan bahwa penambahan garam akan meningkatkan koagulasi, beberapa garam menurunkan sejumlah ikatan air pada putih telur. Pengasinan
dengan
metode
pembalutan
cenderung
lebih
banyak
menghasilkan eksudasi minyak pada kuning telur daripada dengan metode perendaman. Kekerasan dan keadhesifan kuning telur juga ditemukan lebih tinggi pada pengasinan metode pembalutan, sedangkan metode perendaman ditemukan lebih tinggi di dalam kemampuan retak, daya elastisitas, kelengketan dan daya kunyah. Kadar air putih telur dari metode perendaman sedikit lebih rendah daripada metode pembalutan, kemungkinan besar hal ini dipengaruhi oleh migrasi air dari putih telur menuju air garam jenuh yang diperantarai dengan proses osmosis (Kaewmanee, 2010). Pengasinan tidak hanya mempengaruhi karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik dari telur asin, namun juga mempengaruhi nilai gizinya. Nilai gizi dari telur itik asin berbeda dengan telur itik segar (Tabel 1).
7
Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Itik Segar dan Telur Itik Asin (Tiap 100 Gram Bahan) Bahan Pangan Telur itik
Air (g) 70,8
Protein (g) 13,1
Lemak (g) 14,3
Karbohidrat (g) 0,8
Ca (mg) 56
Vit. A (SI) 1.230
Kalori (Kal) 189
Telur itik asin
66,5
13,6
13,6
1,4
120
841
195
Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti (2005)
Proses Termal Proses termal (pemanasan) menurut Estiasih dan Ahmadi (2011) dapat menyebabkan perubahan pada karakteristik fisik, kimia maupun nutrisi produk pangan. Perubahan yang terjadi bergantung pada intensitas maupun metode pemanasan, bahan baku, serta perlakuan sebelum pemanasan. Perubahan sifat organoleptik juga dapat terjadi pada proses termal. Perubahan tersebut merupakan akumulasi dari berbagai perubahan yang terjadi selama proses seperti denaturasi protein dan restrukturisasi lemak yang menyebabkan perubahan tekstur dan cita rasa produk. Harris dan Karmas (1989) menyebutkan, bahwa pengolahan dapat menyebabkan penyusutan mineral maksimal 3% pada bahan pangan. Perebusan. Winarno (2008) menyebutkan, perebusan merupakan cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100 oC). Bahan pangan yang dimasak menggunakan air akan meningkat daya kelarutannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (1999) menunjukkan bahwa lama perebusan yang efektif digunakan untuk tujuan pengawetan adalah selama 15 menit karena menghasilkan penurunan kadar air dan nilai pH yang paling rendah sehingga proses kebusukan dapat diperlambat. Lama perebusan 15 menit menyebabkan protein putih telur yang terdenaturasi lebih sedikit dibandingkan telur yang direbus selama 30 menit. Selain itu penetrasi air rebusan akan lebih rendah bila telur direbus selama 15 menit. Banyaknya protein yang terdenaturasi mampu meningkatkan kadar air dalam putih telur, sehingga menyebabkan proses pembusukan yang ditimbulkan oleh bakteri dan proses kimia lebih dipercepat. Romanoff
dan
Romanoff
(1963)
menambahkan,
bahwa
perebusan
menyebabkan kehilangan berat pada telur sebesar 0,03–0,1 gram. Persentase lemak, nitrogen, fosfor, dan air pada telur yang direbus hampir sama dengan telur segar. Putih telur yang mengalami perebusan selama 20 menit dengan suhu 100 oC memi8
liki daya simpan selama 1,5–3 hari. Keretakan kerabang telur yang terjadi pada proses perebusan menurut Brown (2000) dapat dikurangi dengan cold start method yakni memasukkan telur ke panci perebusan yang berisi air dingin lalu dipanaskan. Pengovenan. Pengovenan adalah proses termal yang menggunakan udara panas. Udara panas tersebut dipindahkan ke bahan makanan melalui tiga cara yakni radiasi, konveksi, dan konduksi (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Hasil penelitian Trilaksami et al. (2004) mengenai pengaruh suhu dan lama pengovenan terhadap karakteristik cumi-cumi kertas menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi kecerahan produk, semakin tinggi suhu pengovenan menyebabkan semakin rendah nilai kecerahan produk. Hasil penelitian Ayuza (2011) mengenai pengaruh level suhu pengovenan terhadap kadar protein, kadar air, total koloni bakteri, umur simpan, dan nilai organoleptik telur asin menunjukkan bahwa telur asin yang paling baik adalah telur asin yang dioven selama 6 jam pada suhu 90 oC. Perlakuan telur asin tersebut menghasilkan kadar protein 13,47%, kadar air 54,77%, total koloni bakteri 9,22 x 104 CFU/g dengan umur simpan selama 36,20 hari. Winarno et al. (1980) menyebutkan jika pemasakan dengan menggunakan udara panas seperti pengovenan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka hal ini dapat mengakibatkan terjadinya “case hardening” yaitu suatu bagian luar (permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan bagian sebelah dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi sehingga bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras, serta akan menghambat penguapan selanjutnya dari air yang terdapat di bagian dalam bahan tersebut. Terjadinya “case hardening” dapat menyebabkan mikroba yang ada di bagian dalam bahan yang masih basah dapat berkembang biak sehingga menimbulkan kebusukan, dan membutuhkan waktu yang lebih lama jika bahan akan direhidrasi. Cara mencegah “case hardening” misalnya dengan membuat suhu pengovenan tidak terlalu tinggi. Perubahan yang terjadi akibat pengovenan adalah pengembangan volume, pembentukan kulit (crust), inaktivasi mikroba dan enzim, koagulasi protein, dan gelatinisasi sebagian pati. Perubahan tersebut disertai dengan pembentukan senyawasenyawa cita rasa dari gula yang mengalami karamelisasi, membentuk pirodekstrin dan melanoidin, serta pembentukan aroma dari senyawa-senyawa aromatik yang 9
terdiri atas aldehid, keton, berbagai ester, asam, dan alkohol (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Perubahan yang Terjadi selama Pemasakan Denaturasi Protein Denaturasi merupakan proses yang mengubah struktur molekul tanpa memutuskan ikatan peptida dari protein. Denaturasi dapat disebabkan oleh panas, pH, garam, dan efek permukaan (Man, 1999). Pengertian lain dari denaturasi yang dinyatakan Winarno (2008) yakni modifikasi pada struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Struktur primer merupakan susunan asam amino dalam protein yang berbentuk linier. Struktur sekunder merupakan struktur protein yang berbentuk tiga dimensi dengan susunan cabang rantai polipeptida yang saling berdekatan. Struktur tersier merupakan susunan protein yang terdiri atas struktur sekunder yang berbeda bentuknya, sedangkan struktur kuartener merupakan struktur protein yang melibatkan beberapa polipeptida. Denaturasi secara umum bersifat reversible ketika rantai peptida distabilkan dalam keadaan yang tidak terikat oleh agen denaturasi. Denaturasi yang bersifat irreversible terjadi ketika rantai peptida yang tidak terikat distabilkan oleh interaksinya dengan rantai lain (contohnya protein telur selama perebusan) (Belitz dan Grosch, 2009). Reaksi Maillard Muchtadi (1989) menyebutkan bahwa reaksi antara protein dengan gula pereduksi (reaksi Maillard) merupakan sumber utama kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard terjadi dalam dua tahap reaksi yakni reaksi awal dan reaksi lanjutan. Reaksi awal ditandai dengan terjadinya kondensasi antara grup karbonil gula pereduksi dan grup amino bebas dari asam amino atau protein. Produk kondensasi tersebut akan berubah menjadi basa Schiff karena kehilangan molekul air dan akhirnya terjadi siklisasi oleh penyusunan kembali Amadori membentuk senyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa. Senyawa Amadori yang terbentuk merupakan bentuk utama lisin terikat dalam makanan yang masih belum
10
mengubah warna makanan tersebut walaupun secara biologis lisin dalam makanan sudah tidak tersedia. Reaksi Maillard lanjutan dapat terjadi melalui tiga jalur, dua diantaranya dimulai dengan produk amadori, sedangkan yang ketiga dari degradasi Strecker. Reaksi ini akan berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklat yang disebut melanoidin (Gambar 2). Protein yang telah mengalami reaksi Maillard daya cernanya menurun. Penurunan nilai gizi protein tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) lisin dan sistin rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid; (2) penurunan availabilitas semua asam amino termasuk leusin (leusin biasanya stabil), karena terbentuknya ikatan silang antar asam-asam amino melalui produk reaksi Maillard; (3) penurunan daya cerna protein karena tercegahnya penetrasi enzim ke dalam substrat (protein) atau karena tertutupinya sisi protein yang dapat diserang enzim dari ikatan silang tersebut (Muchtadi, 1989). Man (1999) menambahkan, bahwa reaksi Maillard (pencoklatan nonenzimatis) adalah salah satu faktor yang memicu terjadinya kebusukan dalam makanan. Reaksi ini bergantung pada aktivitas air dan mencapai tingkat maksimum pada aw 0,6 hingga 0,7. Pencoklatan nonenzimatis dipengaruhi oleh kadar air produk. Umumnya laju pencoklatan pada aktivitas air < 0,4 berlangsung lambat karena air pelarut tidak mencukupi, dan jika aktivitas air dinaikkan melebihi 0,4 maka laju pencoklatan meningkat sampai maksimum pada aktivitas air 0,65. Aktivitas air yang lebih tinggi menyebabkan laju pencoklatan turun karena pereaksi menjadi encer dan air juga merupakan produk reaksi pencoklatan (Harris dan Karmas, 1989).
11
Gambar 2. Reaksi Pembentukan Melanoidin Sumber: Man (1999)
Penurunan dan Perubahan Mutu selama Penyimpanan Kerusakan pada bahan pangan dicirikan oleh adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh pancaindera atau parameter lain yang biasa digunakan (Damayanthi dan Mudjajanto, 1995). Penurunan mutu bahan pangan meliputi penurunan nilai gizi, penyimpangan warna, perubahan rasa dan bau, adanya pembusukan, dan modifikasi komposisi kimia (Syarief dan Halid, 1993). Indikator kerusakan telur asin menurut Khasanah et al. (2010) terdapat pada parameter aroma. 12
Perubahan Fisik Perubahan fisik yang terjadi selama penyimpanan telur utuh diantaranya yaitu berkurangnya berat terutama disebabkan oleh hilangnya air dari putih telur, juga CO2, NH3, N2, dan H2S; pertambahan ukuran ruang udara; penurunan berat jenis; bercak-bercak pada permukaan kulit telur karena penyebaran air yang tidak merata; penurunan jumlah putih telur kental karena serat glikoprotein ovomusin pecah; penambahan ukuran kuning telur karena perpindahan air dari putih telur ke kuning telur sebagai akibat perbedaan tekanan osmosis; perubahan cita rasa; serta kenaikan pH terutama dalam putih telur yang meningkat dari sekitar pH 7 hingga 10 atau 11 sebagai akibat hilangya CO2 (Buckle, 2007). Penguapan air secara terus menerus melalui kerabang menyebabkan penurunan berat jenis dengan koefisien penurunan harian sekitar 0,0017 g/cm3 (Belitz dan Grosch, 2009). Laju susut air menurut Harris dan Karmas (1989) bergantung pada luas permukaan produk maupun keadaan lingkungannya. Stadelman
dan
Cotterill
(1995)
menyebutkan,
kelembaban
tidak
mempengaruhi kualitas putih dan kuning telur namun berpengaruh besar pada hilangnya bobot telur selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang dianjurkan untuk menyimpan telur adalah 75%-80%. Perubahan Kimia Nilai pH. Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau alkalinitas suatu larutan (Gaman dan Sherrington, 1992). Albumen pada telur segar mengandung bikarbonat dan CO2. Terdapat hubungan antara konsentrasi CO2 bebas dengan pH. Hilangnya CO2 menyebabkan meningkatnya nilai pH pada albumen, nilai pH bergantung pada tekanan parsial dari CO2. Perubahan tekanan CO2 berpengaruh kecil pada pH kuning telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Nilai pH putih telur segar sekitar 7,6-7,9 dan meningkat menjadi 9,7 selama penyimpanan (Belitz dan Grosch, 2009). Buckle et al. (2007) menyatakan bahwa beberapa mikroorganisme khususnya khamir dan kapang mampu memecah asam yang secara alamiah terdapat dalam bahan pangan. Akibatnya terjadi perubahan pH yang memungkinkan tumbuhnya spesies bakteri pembusuk yang sebelumnya terhambat pertumbuhannya.
13
Kadar Air. Labuza (1980) menjelaskan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) berperan dalam laju dari banyak reaksi kimia dan pertumbuhan mikroba dalam makanan. Kadar air dan aktivitas air akan menurun dengan adanya proses pengeringan. Hal ini menyebabkan cairan menjadi lebih pekat serta beberapa komponen bahan pangan membentuk larutan lewat jenuh dan akhirnya mengendap. Laju reaksi yang meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi dalam larutan menyebabkan naiknya laju penyusutan zat gizi (Harris dan Karmas, 1989). Air yang terdapat dalam bahan makanan menurut Winarno (2008) umumnya disebut air terikat. Air terikat dibagi menjadi empat tipe menurut derajat keterikatannya. Tipe pertama (1) yaitu molekul air yang terikat pada molekulmolekul lain melalui suatu ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom O dan N seperti karbohidrat, protein, dan garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses pembekuan tetapi sebagian bisa dihilangkan dengan pengeringan biasa. Tipe kedua (2) yakni molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain di dalam mikrokapiler. Air jenis ini sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe ini akan menyebabkan penurunan aktivitas air, jika air tipe ini dihilangkan seluruhnya maka kandungan air bahan berkisar 3%-7%. Tipe ketiga (3) yakni air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran kapiler dan serat. Tipe ini disebut juga air bebas, mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba. Kandungan air bahan akan berkisar antara 12%-25% jika air tipe ini diuapkan seluruhnya. Tipe keempat (4) yaitu air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni. Contohnya, air yang menempel pada bahan makanan setelah proses pencucian bahan. Aktivitas Air (aw). Aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba. Kapang dan khamir mulai tumbuh pada kisaran aw 0,7 dan 0,8; sedangkan bakteri tumbuh ketika aw mencapai 0,8 (Man, 1999). Andrade et al. (2011) menyatakan bahwa isotermik sorpsi air menjelaskan mengenai hubungan antara kadar air dan aktivitas air (aw) dalam makanan. Sorpsi isotermik berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan menurut Brunauer et al. (1940) dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe (Gambar 2). Tipe 1: Langmuir, 14
peningkatan aktivitas air berhubungan dengan peningkatan kadar air. Tipe ini berupa daerah lapisan tunggal (monolayer), air bersifar sangat kuat terikat dan stabil. Tipe 2: sigmodial, memperhitungkan keberadaan lapisan-lapisan air (multilayer). Air tipe ini kurang terikat dibandingkan pada daerah monolayer, dan biasanya terdapat pada ruang kapiler yang kecil. Tipe 3: Flory-Huggins isotermik, kondensasi air pada poripori bahan mulai terjadi (kondensasi kapiler). Tipe 4: menggambarkan adsorpsi bahan hidrofilik hingga tercapai hidrasi maksimum. Tipe 5: adsorpsi multilayer Brunauer-Emmett-Teller (BET). Tipe ini paling tepat diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran aw 0,05-0,45.
Gambar 3. Tipe Isotermik Sumber: Brunauer et al. (1940)
Perubahan Mikrobiologi Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan bahwa ada dua kemungkinan munculnya mikroorganisme pada telur yakni bakteri yang berinkorporasi di dalam telur selama pembentukannya yakni di oviduk yang disebut kontaminasi kongenital, serta bakteri yang berpenetrasi melalui kerabang telur dari luar telur atau yang dikenal dengan istilah kontaminsi ekstragenital. Kontaminasi kongenital sering dijumpai pada kuning telur dengan mikroorganisme yakni Salmonella pullorum penyebab penyakit diare, sedangkan mikroorganisme yang ditemukan akibat kontaminasi ekstragenital yaitu Escherichia coli, Eberthella typhi, Salmonella 15
paratyphi, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris, fluorescent organism, Serratia marcescens, dan Pseudomonas aeruginosa. Romanoff dan Romanoff (1963) lebih lanjut menjelaskan bahwa jumlah spora kapang pada kerabang dari telur segar sekitar 200-500 thallus/cm2, jumlah bakteri per kerabang sekitar 35.000 koloni/cm2 ketika diinkubasi pada suhu 37 oC atau 130.000 koloni/cm2 pada 20 oC. Tipe mikroorganisme yang ditemukan pada permukaan kerabang telur antara lain tidak berspora batang (38%), berspora batang (30%), kokus (25%), khamir (4%), dan actinomyces (3%). Biasanya bakteri tidak ditemukan pada kuning telur ataupun putih telur dari 10% telur segar. Tipe mikroorganisme yang sering dijumpai pada telur segar yaitu Basilus dan Mikrokokus. Moats (1980) selanjutnya menyatakan bahwa telur yang tidak mengalami pencucian mengandung kokus gram positif lebih besar daripada yang mengalami pencucian serta mengandung bakteri Aerococcus dan Streptococcus faecalis yang tidak ditemukan pada telur yang mengalami pencucian. Telur yang dicuci dengan air yang lebih dingin dari telur maka dimungkinkan bakteri akan meresap ke dalam pori-pori kerabang telur. Umumnya, pori-pori pada kerabang telur tahan terhadap penetrasi mikroba karena dilengkapi dengan substansi organik berupa musin dan ketika kering dapat menghambat masuknya bakteri atau kapang. Selaput kerabang (shell membrane) berbentuk jalinan serabut yang memungkinkan berperan sebagai filter bagi mikroorganisme yang berhasil masuk melalui pori-pori kerabang. Albumen juga berperan sebagai barier bagi mikroflora, mikroorganisme yang berhasil melewati kerabang maupun selaputnya dapat mati di dalam putih telur (albumen) sebelum mencapai kuning telur. Kemampuan albumen dalam melindungi kuning telur disebabkan oleh adanya kandungan antibakteri pada albumen tersebut (Romanoff dan Romanoff, 1963). Harrungton et al. (1974) menyebutkan, bahwa pada telur asin ditemukan Pseudomonas cepacia, Alcaligenes metalcaligenes, A. recti, Micrococcus leutus, Pasteurella hemolytica, dan Ps. aeruginosa. Lebih lanjut dijelaskan oleh Syarief dan Halid (1993) bahwa pemberian garam pada bahan pangan akan membatasi jumlah dan jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengurangan aktivitas air bahan pangan, di samping oleh garamnya itu sendiri. Beberapa jenis bakteri toleran terhadap kadar garam tinggi, bahkan tidak dapat 16
tumbuh bila kadar garam pada bahan pangan kurang dari 10%. Persyaratan mutu mikrobiologis telur asin menurut Standar Nasional Indonesia 01-4277-1996 adalah negatif untuk Salmonella dalam satu koloni per 25 gram serta < 10 untuk Staphylococcus aureus dalam satu koloni per gram. Sel vegetatif bakteri, khamir, dan kapang menurut Effendi (2009) mudah terdestruksi oleh pemanasan sekitar 80 oC, demikian pula spora dari khamir dan kapang. Spora dari bakteri umumnya tahan terhadap pemanasan pada 100 oC selama berjam-jam. Daya tahan terhadap kematian dari mikroorganisme dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: (1) umur dan kondisi mikroorganisme; (2) komposisi medium seperti kadar air, garam dapur, gula, garam-garam nitrit atau nitrat, lemak, dan zat-zat penghambat pertumbuhan mikroorganisme; (3) nilai pH dan aw medium tumbuh; dan (4) suhu pemanasan. Buckle et al. (2007) menyebutkan, bahwa seringkali organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak dibandingkan dengan bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah dikurangi. Uji Organoleptik Pengujian organoleptik atau sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Penilaian menggunakan alat indera ini meliputi spesifikasi mutu kenampakan, bau, rasa dan konsistensi (tekstur) serta beberapa faktor lain yang diperlukan untuk menilai produk tersebut. Prinsip uji organoleptik adalah menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Karakteristik sensori seperti tekstur, citarasa, aroma, dan warna dari produk makanan merupakan atribut terpenting bagi konsumen (Theron dan Lues, 2011). Syarat uji organoleptik menurut Soekarto (1985) yaitu adanya contoh (sampel), panelis, dan pernyataan respon yang jujur. Jumlah penilai (anggota panel) menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) antara lain tergantung dari tipe penilai, khusus untuk panel konsumen jumlah yang diperlukan cukup besar, yaitu dari 30 sampai 1000 orang. Jenis pengujian biasanya mengenai uji kesukaan. Panelis agak terlatih merupakan panelis yang mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang
17
dinilai karena mendapat penjelasan atau latihan. Jumlah panelis ini berkisar antara 15-25 orang. Uji hedonik merupakan metode uji untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk dengan menggunakan lembar penilaian. Berbeda dengan uji hedonik, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk dengan rentang skala berkisar dari ekstrim baik sampai ke ekstrim jelek. Bentuk pengujian organoleptik lain adalah uji skalar yaitu pengujian yang dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau skala numerik seperti uji skor dan uji penjenjangan (ranking). Uji skor yaitu pemberian angka nilai mutu sensorik terhadap bahan yang diuji pada jenjang mutu atau tingkat skala hedonik; sedangkan dalam uji ranking, sampel yang diuji diurutkan dari yang paling tinggi (urutan pertama) hingga paling rendah (urutan terakhir) (Soekarto, 1985).
18
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu (uji kimia dan mikrobiologi) dan di bagian Teknologi Hasil Ternak (uji organoleptik), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari bulan April hingga Juli 2012. Materi Bahan Bahan utama dalam penelitian berupa telur itik varietas lokal dengan berat sekitar 50-60 g. Telur itik yang digunakan untuk penelitian pendahuluan berumur 4 hari dan berasal dari Cirebon, sedangkan telur itik yang digunakan untuk penelitian utama berumur 0-1 hari dan berasal dari peternakan rakyat di Ciomas Permai. Bahan yang digunakan dalam proses pengasinan adalah garam dapur. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji kimia antara lain air destilata, larutan K2CrO4 5%, dan AgNO3 0,1 N. Bahan-bahan untuk uji mikrobiologi yaitu larutan NaCl 0,85% steril, spiritus, alkohol 70%, Plate Count Agar (PCA), kapas, aluminium foil, dan label. Alat Alat-alat untuk pembuatan telur asin antara lain wadah pengasin (toples), panci, dan oven listrik. Alat untuk uji kimia antara lain timbangan digital 0,0001 g, pH meter, aw meter (Novasina AG), cawan porselen, desikator, tanur, labu erlenmeyer, hot plate dan alat titrasi. Alat yang digunakan untuk uji mikrobiologi antara lain tabung reaksi, pipet mikro ukuran 1 ml, pembakar bunsen, inkubator, plastik steril, autoclave, vortex, cawan petri, dan alat penghitung koloni. Alat yang digunakan untuk uji organoleptik adalah formulir penilaian, alat tulis, gelas dan piring penyajian berwarna putih.
19
Prosedur Penelitian Pendahuluan Penilitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lama pengovenan yang akan digunakan dalam penelitian utama melalui uji ranking hedonik. Penelitian Utama Penelitian utama
bertujuan untuk
menganalisis
karakteristik kimia,
mikrobiologi, dan organoleptik telur asin selama penyimpanan serta memperoleh perlakuan yang terbaik. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain: 1. Persiapan Telur Itik Telur itik yang dipilih memiliki kriteria antara lain berat telur seragam, tidak retak, dan tidak busuk. Tahap selanjutnya telur diteropong (candling) kemudian dicuci dan dibersihkan dengan sabut stainless dan air hangat (35 oC). 2. Pembuatan Larutan Garam Larutan garam yang digunakan adalah larutan garam dengan konsentrasi 25%. Penentuan konsentrasi tersebut berdasarkan jumlah garam terkecil yang dibutuhkan untuk membuat larutan garam jenuh (Wulandari et al., 2002). Garam ditimbang lalu dilarutkan dalam air mendidih dan didiamkan hingga dingin. Larutan tersebut selanjutnya disaring dengan kain blacu agar diperoleh larutan yang jernih. 3. Perendaman dalam Larutan Garam Telur disusun di dalam toples kemudian larutan garam dituangkan secara perlahan-lahan ke dalam toples. Perbandingan telur (g) dan larutan garam (ml) yang digunakan untuk merendam adalah 1:2. Bagian atas telur diberi pemberat agar telur tidak mengapung. Perendaman dalam larutan garam dilakukan selama dua belas hari, kemudian telur dikeluarkan dan diletakkan pada suhu ruang selama dua hari (Damayanti, 2008). 4. Perebusan dan Pengovenan Telur asin direbus selama 1 jam setelah air mendidih, kemudian dioven pada suhu 100 oC selama 0, 4 dan 6 jam (sesuai perlakuan yang terpilih). 20
5. Penyimpanan Telur asin disimpan pada suhu ruang (28-30 oC) dengan kelembaban 83% 91% selama 30 hari. Rancangan dan Analisis Data Rancangan percobaan pada penelitian utama adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 3 taraf perlakuan yaitu rebus (R), rebus dan oven 4 jam (R+O4), serta rebus dan oven 6 jam (R+O6). Ulangan yang dilakukan sebanyak 3 kali untuk nilai pH, aw, kadar air, dan kadar abu putih telur, serta 2 kali untuk nilai total plate count. Model matematika yang digunakan dalam penelitian utama sesuai Mattjik dan Sumertajaya (2006) sebagai berikut: Yij = µ +
i
+
ij
Keterangan: Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum i
= pengaruh perlakuan ke-i
ij
= pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Analisis Data Analisis data menggunakan software Minitab 14 dan Statistix 8. Data pengujian kimia (nilai pH, aw, kadar air, serta kadar abu putih telur) dan total mikroba dianalisis dengan sidik ragam, jika hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey atau Beda Nyata Jujur (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Data pengujian kadar NaCl dianalisis secara deskriptif. Data pengujian ranking hedonik dianalisis dengan uji Friedman dan jika berbeda nyata dilakukan uji perbandingan berganda. Uji hedonik dan mutu hedonik dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji banding rataan ranking (Gibbons dan Chakraborti, 2003). Peubah Pengujian Karakteristik Kimia Pengujian karakteristik kimia meliputi pengukuran nilai pH, aw, kadar air, dan kadar abu pada hari ke-0, 15, dan 30, sedangkan pengujian kadar NaCl hanya pada hari ke-0. Sampel yang digunakan adalah bagian putih telur karena mempunyai 21
kandungan air lebih tinggi dan letaknya dekat dengan kerabang telur sehingga lebih mudah terjadi perubahan kimia. Sampel untuk setiap ulangan dan setiap perlakuan berasal dari 2 butir telur yang masing-masing diambil bagian putihnya lalu dikompositkan. Masing-masing pengujian dilakukan secara duplo. Nilai pH (Accociation of Official Analytical Chemist, 2006). Sampel sebanyak 5 g dihaluskan dan dihomogenkan dengan 5 ml air destilata. Pengukuran dilakukan dengan alat pH-meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan larutan buffer pada pH 7 dan 4. Nilai aw. Sampel diambil sesuai dengan kapasitas pengukuran aw meter. Alat aw meter dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Kalibrasi yang dilakukan yaitu kalibrasi 53, 75, dan 90. Kadar Air (Accociation of Official Analytical Chemist, 2006). Sampel diambil sebanyak 5 g lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Sampel tersebut kemudian dikeringkan pada oven bersuhu 105 o
C selama 16-18 jam. Cawan dari oven didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar air dapat dihitung dengan rumus: Kadar air (% bb)=
berat sampel awal (g) - berat sampel akhir (g) x 100% berat sampel awal (g)
Kadar Abu (Accociation of Official Analytical Chemist, 2006). Sampel diambil sebanyak 5 gram lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Cawan dan sampel dibakar di atas hot plate hingga sampel tidak berasap lagi, kemudian diletakkan dalam tanur bersuhu 550 oC dan dibiarkan selama 12-18 jam. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus: Kadar abu (% bb) =
berat abu (g) x 100% berat sampel awal (g)
Kadar Garam NaCl (Accociation of Official Analytical Chemist, 2006). Sampel yang telah diabukan diambil dan dilarutkan dalam air destilata dengan jumlah sesedikit mungkin, kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer. Larutan K2CrO4 5% sebanyak 1-2 ml ditambahkan, lalu dititrasi dengan larutan AgNO3 0,1 N. Titik akhir 22
titrasi tercapai apabila timbul warna jingga secara persisten. Kadar garam dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar garam (NaCl)(% bb)= Keterangan:
V x N x 58,4 x 100% berat sampel awal (mg)
V
= ml larutan AgNO3
N
= normalitas AgNO3
58,4 = berat molekul NaCl Pengujian Karakteristik Mikrobiologi Pengujian karakteristik mikrobiologi yang dilakukan adalah pengujian total mikroba atau Total Plate Count (TPC) pada hari ke-0, 15, dan 30. Sampel untuk setiap ulangan dan setiap perlakuan berasal dari 2 butir telur yang masing-masing diambil seluruh bagian isinya lalu dikompositkan. Pengujian Total Plate Count menurut BAM (Maturin dan Peeler, 2001). Sampel diambil sebanyak 10 g lalu larutan NaCl fisiologis 0,85% steril ditambahkan sebanyak 90 ml ke dalam wadah steril yang berisi sampel lalu divortex selama 1 hingga 2 menit untuk memperoleh larutan yang homogen. Larutan tersebut merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml suspensi pengenceran 10-1 dipindahkan dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml NaCl fisiologis untuk mendapatkan pengenceran 10-2 kemudian dibuat pengenceran 10-3 dengan cara yang sama. Tahap selanjutnya 1 ml suspensi dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri secara duplo. Sebanyak 15-20 ml PCA yang sudah didinginkan hingga 45 oC ± 1 oC ditambahkan pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi. Homogenisasi campuran dilakukan dengan menggesekkan cawan ke depan dan ke belakang atau dengan membentuk angka delapan lalu didiamkan hingga menjadi padat. Cawan diinkubasi pada temperatur 34-36 oC dengan posisi terbalik selama 24 - 48 jam. Penghitungan jumlah koloni dilakukan pada setiap seri pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni menyebar. Kriteria cawan yang dipilih yakni berjumlah 25 – 250 koloni. Cara penghitungan koloni:
23
N=
∑C [(1 x n1 )+(0,1 x n2 )x(d)]
Keterangan: N = total mikroba per ml ∑C = jumlah koloni pada semua cawan n1 = jumlah cawan yang berisi 25-250 koloni pada pengenceran pertama n2 = jumlah cawan yang berisi 25-250 koloni pada pengenceran kedua d
= angka pengenceran dari cawan yang pertama kali dapat dihitung (berisi 25-250 koloni)
Pengujian Karakteristik Organoleptik Pengujian karakteristik organoleptik yang dilakukan adalah uji ranking hedonik dan mutu hedonik pada hari ke-7 (H7) serta uji hedonik pada hari ke-28 (H28). Atribut sensori yang dinilai antara lain warna putih dan kuning telur, aroma keseluruhan telur, tekstur putih dan kuning telur, serta rasa putih dan kuning telur. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985). Panelis diberi formulir isian yang dijawab menurut instruksi yang diberikan. Sampel yang disajikan berupa satu butir telur yang dibagi menjadi delapan bagian secara vertikal dan setiap bagian diuji untuk setiap panelis. Panelis yang digunakan adalah panelis agak terlatih berjumlah 15 orang untuk uji ranking dan mutu hedonik dan 20 orang untuk uji hedonik. Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4. Perendaman dalam larutan garam 25% (12 hari) dan dikeluarkan dari perendaman (2 hari) di suhu ruang
Pemilihan telur itik
Uji kimia dan total mikroba (H0, H15, H30); sensori (H7, H28)
Penyimpanan (T = 28-30 o C; RH= 83%-91%)
Perebusan (1 jam)
Pengovenan pada suhu 100 o C selama 0, 4 dan 6 jam ssesuai perlakuan
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian Utama
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Lamanya pengovenan yang akan digunakan dalam penelitian utama ditentukan melalui uji ranking hedonik pada telur asin dengan perlakuan direbus (R), direbus dan dioven 2 jam (R+O2), direbus dan dioven 4 jam (R+O4), serta direbus dan dioven 6 jam (R+O6). Uji sensori tersebut menggunakan 15 panelis agak terlatih dengan atribut sensori berupa warna putih (pt) dan kuning telur (kt), aroma keseluruhan telur, tekstur putih dan kuning telur, serta rasa putih dan kuning telur. Jumlah ranking terendah pada perlakuan di dalam atribut sensorik yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tesebut paling disukai sehingga skor yang diberikan juga paling tinggi (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Uji Ranking Hedonik pada Telur Asin Atribut Sensorik
Jumlah Ranking R
Skor
R+O2
R+O4
R+O6
R
R+O2
R+O4
R+O6
Warna pt
17c
31bc
42ab
60a
3
2,5
1,5
1
Warna kt
27b
34,5ab
38ab
50,5a
2
1,5
1,5
1
Aroma
43,5a 42,5ab
40ab
24b
1
1,5
1,5
2
Tekstur pt
43a
39a
32a
36a
1
1
1
1
Tekstur kt
51a
41a
36ab
22b
1
1
1,5
2
Rasa pt
32a
33a
44a
41a
1
1
1
1
Rasa kt
a
ab
bc
c
1
1,5
2,5
3
10
10
10,5
11
52
Total skor
46
29
23
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Pemberian skor berdasarkan huruf superskrip: a = 1, b = 2, c = 3, ab = 1,5, bc = 2,5
Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa ranking hedonik setiap perlakuan berbeda nyata (P<0,05) pada warna putih dan kuning telur, aroma, tekstur kuning telur, dan rasa kuning telur. Melalui uji perbandingan berganda diperoleh bahwa telur asin yang paling disukai berdasarkan atribut sensori aroma, tekstur kuning telur, dan rasa kuning telur adalah perlakuan R+O6, sedangkan berdasarkan atribut sensori warna putih dan kuning telur adalah perlakuan R. Telur asin yang paling disukai 25
berdasarkan seluruh atribut sensorik yaitu telur asin perlakuan rebus dan oven 6 jam (R+O6) dengan total skor tertinggi (11) dan yang paling kurang disukai adalah perlakuan rebus (R) serta rebus dan oven 2 jam (R+O2) dengan total skor terendah (10). Perlakuan yang dipilih untuk penelitian utama adalah perlakuan yang menghasilkan telur asin dengan penilaian disukai (R+O4) hingga paling disukai (R+O6), sedangkan sebagai kontrol dipilih perlakuan R. Penelitian Utama Karakteristik Kimia pada Putih Telur Asin Kadar NaCl Putih Telur. Kadar NaCl putih telur hanya diamati sebelum penyimpanan (H0) karena kadar NaCl tidak mengalami perubahan yang signifikan selama penyimpanan (Wulandari, 2002). Kadar NaCl dari putih telur asin pada hari ke-0 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kadar NaCl (% bb) pada Putih Telur Asin Perlakuan
Kadar NaCl (% bb)
Perebusan (R)
3,73 ± 0,01
Perebusan dan oven 4 jam (R+O4)
4,23 ± 0,04
Perebusan dan oven 6 jam (R+O6)
4,83 ± 0,00
Pengasinan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan konsentrasi larutan garam dan lama pengasinan yang sama, namun demikian terdapat perbedaan kadar NaCl di antara perlakuan telur asin tersebut. Telur asin yang hanya mendapat perlakuan perebusan (R) memiliki kadar NaCl yang lebih rendah daripada yang mengalami pengovenan. Hal tersebut dapat terjadi karena pengovenan menyebabkan air yang keluar dari telur asin akan lebih banyak, ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa pada pengamatan hari ke-0 kadar air dari putih telur asin R paling tinggi (86,13%) kemudian diikuti dengan perlakuan R+O4 (84,29%) dan perlakuan R+O6 (81,89%). Banyaknya air yang hilang akan meningkatkan konsentrasi zat yang tertinggal pada telur asin diantaranya mineral. Pendapat ini didukung oleh data kadar abu putih telur pada hari ke-0 (Gambar 8) yang menunjukkan bahwa perlakuan R+O6 menghasilkan kadar abu putih telur tertinggi (5,26%) kemudian diikuti perlakuan R+O4 (4,56%) dan R (4,12%), oleh sebab itu kadar NaCl pada perlakuan 26
dengan pengovenan paling lama yaitu 6 jam (R+O6) menghasilkan kadar NaCl paling tinggi, sedangkan pada perlakuan R kadar NaCl paling rendah. Nilai pH Putih Telur. Ray (2004) menjelaskan bahwa nilai pH adalah konsentrasi ion hidrogen dalam sistem yang diekspresikan sebagai logaritma negatif hidrogen atau konsentrasi proton (–log [H+]). Pengukuran nilai pH perlu dilakukan untuk mengetahui kadar keasaman atau kebasaan serta keamanan dan umur simpan dari suatu produk makanan karena perubahan nilai pH yang signifikan dapat mengubah atribut sensori dari produk makanan tersebut. Rataan nilai pH putih telur asin yang
Nilai pH
diperoleh selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5. 8,13 ± 0,32 8.20 8,20 8,05 ± 0,20 8,00 8.00 8,02 ± 0,30 7.80 7,80 7.60 7,60 7.40 7,40 7.20 7,20 7.00 7,00 6.80 6,80 0
7,91 ± 0,09
7,96 ± 0,21
7,80 ± 0,19 7,55 ± 0,30
7,59 ± 0,13
7,36 ± 0,22
15
30
Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 5. Nilai pH Putih Telur pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R + O4 (
), dan R + O6
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pH putih telur asin baik sebelum penyimpanan (H0) maupun setelah penyimpanan 15 dan 30 hari (H15 dan H30). Nilai rata-rata pH putih telur asin dari masing-masing perlakuan tergolong basa (pH > 7). Belitz dan Grosch (2009) menyebutkan bahwa nilai pH putih telur segar yang belum mengalami pengasinan sekitar 7,6-7,9, sedangkan nilai pH putih telur asin yang belum dimasak sekitar 7,15-7,99 (Wulandari, 2002). Hal tersebut menunjukkan baik telur itik segar, telur asin yang belum dimasak maupun yang telah dimasak sama-sama memiliki nilai pH putih telur yang tinggi (basa). Rata-rata nilai pH putih telur setiap perlakuan mengalami penurunan selama penyimpanan, kecuali perlakuan R pada akhir pengamatan (H30). Perubahan nilai 27
pH tersebut sering dihubungkan dengan aktivitas mikroorganisme. Hal ini didukung dengan hasil total mikroba yang cenderung meningkat selama penyimpanan (Gambar 9). Penurunan nilai pH disebabkan oleh peningkatan konsentrasi ion hidrogen yang berasal dari hasil metabolisme mikroorganisme berupa asam. Asam yang terbentuk berasal dari pemecahan karbohidrat atau protein oleh mikroorganisme yang tahan garam seperti Micrococcus dan Pseudomonas. Harrungton et al. (1974) menyebutkan bahwa Micrococcus leutus dan Pseudomonas cepacia masih ditemukan pada telur asin. Peningkatan nilai pH seperti yang terjadi pada perlakuan R setelah disimpan selama 30 hari juga dipengaruhi oleh mikroorganisme. Buckle et al. (2007) menjelaskan bahwa kapang dan khamir dapat memecah asam yang secara alamiah terdapat dalam bahan makanan sehingga menyebabkan kenaikan nilai pH. Kapang akan menggunakan asam sebagai sumber karbohidratnya dan mengoksidasi asam amino sehingga terbentuk NH3 yang bersifat basa. Fardiaz (1992) menambahkan, beberapa bakteri proteolitik mampu mendegradasi protein menjadi senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti amonia selama penyimpanan. Nilai Aktivitas Air (aw) Putih Telur. Perubahan aktivitas air selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 6. 0,910 0.910 0.900 0,900
Nilai aw
0,890 0.890 0.880 0,880
0,899 ± 0,005 0,889 ± 0,005
0,887 ± 0,010 0,882 ± 0,011 0,884 ± 0,021
0,879 ± 0,003 0,872 ± 0,013
0,876 ± 0,013
0,870 0.870
0,868 ± 0,013 0,860 0.860 0,850 0.850 0
15
30
Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 6. Nilai Aktivitas Air (aw) Putih Telur pada Perlakuan R ( dan R+O6 ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
),
28
Aktivitas air merupakan ukuran ketersediaan air untuk fungsi biologis dan berhubungan dengan kehadiran air pada makanan dalam bentuk bebas (Ray, 2004). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa nilai aktivitas air (aw) tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan telur asin baik sebelum (H0) maupun selama penyimpanan (H15 dan H30). Nilai aw telur asin yang dioven lebih rendah dari telur segar. Ray (2004) menyebutkan bahwa nilai aktivitas air pada telur segar adalah 0,98-0,99. Perubahan nilai aw tersebut disebabkan oleh adanya penambahan garam NaCl dan pemasakan. Winarno (2008) menyebutkan, jika garam dengan konsentrasi tinggi ditambahkan ke dalam suatu larutan protein maka daya larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan salting out, dengan adanya peristiwa tersebut maka nilai aw menjadi turun. Pemasakan turut berperan dalam perubahan nilai aw karena pemasakan menyebabkan sebagian air bebas dari telur menguap sehingga nilai aw menurun. Rata-rata nilai aw yang diperoleh dari masing-masing perlakuan mengalami penurunan selama penyimpanan kecuali perlakuan R pada akhir pengamatan (H30). Penurunan nilai aw tersebut dapat disebabkan oleh menurunnya kadar air selama penyimpanan. Hal ini berdasarkan hukum Raoult yang menyatakan bahwa aktivitas air berbanding lurus dengan jumlah mol pelarut dan berbanding terbalik dengan jumlah mol larutan (Syarief dan Halid, 1993), namun penurunan nilai aw tidak selalu diiringi dengan penurunan kadar air, karena grafik hubungan aw dan kadar air tidak berbentuk garis lurus namun membentuk kurva yang disebut dengan kurva sorpsi isotermik (Winarno, 2008). Contohnya pada pengamatan H15, secara statistik kadar air putih telur ketiga perlakuan tidak berbeda namun kadar air perlakuan R+O4 dan R+O6 mengalami peningkatan, sedangkan aktivitas airnya mengalami penurunan dari pengamatan H0. Hal ini menandakan bahwa kenaikan kadar air tidak selalu diikuti dengan kenaikan aktivitas air karena pada pengukuran kadar air, seluruh kandungan air terikat dan air bebas diukur, sedangkan pada aktivitas air hanya air bebas yang diukur. Keadaan ini serupa dijumpai pada Kadir (1982) terhadap pindang ikan tongkol yang menyebutkan bahwa penambahan kadar garam dari 6%-20% hanya akan menaikkan kadar air bahan, sebaliknya aw akan berkurang karena protein globular ikan tongkol mampu mengikat molekul air akibat pengaruh NaCl.
29
Gambar 6 menunjukkan bahwa penurunan nilai aw putih telur terbesar selama penyimpanan terjadi pada telur asin yang dioven lebih lama (R+O6) walaupun secara statistik lama pengovenan tidak mempengaruhi nilai aw putih telur. Hal tersebut dapat terjadi karena semakin lama waktu pengovenan menyebabkan konsentrasi NaCl yang tertinggal dalam putih telur semakin tinggi sehingga protein globular telur mampu mengikat molekul-molekul air bebas pada putih telur. Pendapat tersebut didukung dengan kadar abu putih telur perlakuan R+O6 lebih tinggi daripada perlakuan R dan R+O4 selama penyimpanan (Gambar 8). Gambar 6 juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai aw ditemukan pada perlakuan R setelah penyimpanan 30 hari (H30). Buckle et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan tersebut disebabkan oleh metabolisme mikroorganisme yang umumnya diikuti dengan pelepasan air sehingga nilai aw akan meningkat. Kadar Air Putih Telur. Perubahan kadar air putih telur asin selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 7. 87,00 87.00
86,13 ± 1,12a
Kadar Air (% bb)
86,00 86.00
85,18 ± 0,34a
85,00 85.00 84,00 84.00
84,85 ± 0,26a 84,29 ± 0,80ab
83.00 83,00
84,04 ± 0,65a 83,98 ± 0,95a
84,11 ± 1,14a
82,58 ± 2,06a
82.00 82,00 81.00 81,00
81,89 ± 2,15b
80.00 80,00 79.00 79,00 0
15 Lama Penyimpanan (Hari)
30
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada setiap lama penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 7. Kadar Air Putih Telur pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
), dan R+O6
Kadar air merupakan persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah atau berat kering (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air dan aktivitas air menurut Man (1999) dapat mempengaruhi perkembangan 30
reaksi pembusukan secara kimia dan mikrobiologi dalam makanan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama pengovenan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) pada kadar air putih telur sebelum penyimpanan (H0). Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa kadar air putih telur dengan perlakuan rebus dan oven 6 jam (R+O6) berbeda dengan perlakuan yang hanya direbus (R). Semakin lama waktu pengovenan yang dilakukan maka semakin banyak air yang dapat diuapkan dari dalam telur, oleh sebab itu putih telur perlakuan R+O6 mempunyai kadar air yang paling rendah sebelum penyimpanan, diikuti dengan perlakuan R+O4 dan R. Lama pengovenan tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar air putih telur selama penyimpanan 15 dan 30 hari (H15 dan H30). Rata-rata kadar air putih telur mengalami penurunan akibat menguapnya air dari dalam telur selama penyimpanan kecuali perlakuan yang mengalami pengovenan (R+O4, R+O6) setelah disimpan 15 hari. Peningkatan kadar air putih telur terbesar terjadi pada perlakuan R+O6 walaupun secara statistik kadar air putih telur tidak berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan oleh waktu pengovenan yang lebih lama menyebabkan denaturasi protein lebih besar dan kadar NaCl yang tertinggal pada putih telur juga lebih banyak. Fennema (1985) menyatakan bahwa salah satu akibat dari denaturasi protein adalah berubahnya daya mengikat air. Umumnya denaturasi protein akan menurunkan daya mengikat air karena interaksi antar protein menjadi lemah sehingga ruang untuk molekul air berkurang, namun dengan adanya NaCl yang juga mampu mendenaturasi protein dan memiliki sifat higroskopis menyebabkan protein globular telur dapat mengikat molekul-molekul air bebas sehingga kadar air putih telur meningkat dan aktivitas airnya menurun. Pendapat tersebut didukung dengan data penurunan aktivitas air terbesar setelah disimpan 15 hari (H15) terdapat pada perlakuan R+O6. Perubahan kadar air putih telur selama penyimpanan berhubungan dengan suhu (28-30 oC) dan kelembaban ruang penyimpanan (83%-91%) yang tinggi, sehingga terjadi reaksi penyerapan dan pengeluaran uap air pada telur asin untuk mencapai kadar air yang seimbang dengan kelembaban udara di sekitarnya. Besarnya penguapan yang terjadi dipengaruhi oleh ketebalan (diameter) dan jumlah pori-pori kerabang telur. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Wulandari (2002) bahwa
31
penguapan air dipengaruhi oleh diameter dan jumlah pori-pori kulit telur, suhu, kelembaban relatif (RH), dan tekanan udara selama penyimpanan. Kadar Abu Putih Telur. Abu merupakan residu anorganik yang tertinggal setelah pembakaran atau oksidasi sempurna pada bahan organik (Winarno, 2008). Penentuan kadar abu pada produk makanan bertujuan untuk mengetahui kualitas dan stabilitas mikrobiologi dari produk makanan tersebut, karena konsentrasi abu dan jenis mineral yang terkandung di dalamnya dapat mempengaruhi rasa dan tekstur dari makanan, dan kadar abu yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Kadar abu putih telur selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 8. 5.50 5,50 Kadar Abu (% bb)
5.00 5,00
5,26 ± 0,72 4,56 ± 0,45
4.50 4,50 4.00 4,00
4,65 ± 0,37
4,50 ± 0,68
4,39 ± 0,20 4,31 ± 0,81
4,15 ± 0,32 4,12 ± 1,00
3.50 3,50
3,91 ± 0,31
3,00 3.00 2.50 2,50 2.00 2,00 0
15
30
Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 8. Kadar Abu Putih Telur pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
), dan R+O6
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kadar abu putih telur tidak dipengaruhi oleh lama pengovenan baik sebelum penyimpanan (H0) maupun setelah penyimpanan pada H15 dan H30. Kaewmanee (2010) menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya waktu pengasinan maka akan meningkatkan kadar garam dan kadar abu pada putih telur. Berdasarkan pernyataan tersebut, lama pengovenan tidak mempengaruhi kadar abu putih telur baik sebelum maupun setelah penyimpanan karena waktu pengasinan dan konsentrasi larutan garam yang digunakan pada ketiga perlakuan tersebut adalah sama dan abu tidak menguap selama penyimpanan, seperti pernyataan Wulandari (2002) bahwa abu merupakan komponen anorganik yang tidak 32
dapat menguap melalui pori-pori kerabang telur, sebab abu yang terdapat pada putih telur akan berikatan dengan protein-protein yang berada dalam putih telur tersebut. Rata-rata nilai kadar abu putih telur perlakuan R+O4 dan R+O6 mengalami penurunan setelah penyimpanan 15 hari kemudian mengalami peningkatan pada penyimpanan selanjutnya (H30), sedangkan kadar abu putih telur perlakuan R terus mengalami peningkatan selama penyimpanan. Hal tersebut bertolak belakang dengan kadar air putih telur yang diperoleh (Gambar 7). Ersoy dan Ozeren (2009) menyebutkan bahwa kadar abu pada ikan lele yang dipanggang mengalami peningkatan seiring dengan penurunan kadar air pada ikan lele tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kadar abu selalu berkorelasi negatif dengan kadar airnya, karena perhitungan kadar abu ditentukan oleh perbandingan antara berat abu dengan berat sampel awal yang masih mengandung sejumlah air tertentu (Accociation of Official Analytical Chemist, 2006), oleh sebab itu semakin rendah kadar air yang terdapat pada sampel awal maka kadar abu akan semakin tinggi. Perubahan kadar abu pada putih telur selama penyimpanan juga dapat dihubungkan dengan nilai aktivitas airnya. Kadar abu yang mengandung garam NaCl dapat mempengaruhi protein pada putih telur yang telah terdenaturasi oleh pemasakan untuk masih dapat mengikat molekul-molekul air bebas, sehingga nilai aw putih telur akan turun meskipun kadar airnya meningkat (Gambar 6 dan 7 pada H15). Umumnya peningkatan kadar abu putih telur akan menurunkan nilai aktivitas airnya, karena garam yang terdapat dalam abu bersifat mudah menyerap air (higroskopis). Karakteristik Mikrobiologi Telur Asin Kerusakan yang terjadi pada produk makanan biasanya disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Buckle et al. (2007) menyebutkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme di dalam makanan dapat menyebabkan perubahan fisik maupun kimia yang tidak diinginkan, sehingga makanan tersebut menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Cepat lambatnya kerusakan bergantung pada total mikroba dalam produk makanan tersebut. Total mikroba telur asin selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil
sidik
ragam
menunjukkan
bahwa
lama
pengovenan
hanya
mempengaruhi total mikroba telur asin pada H0 (P<0,05). Melalui uji Tukey diperoleh bahwa total mikroba telur asin yang direbus (R) berbeda dengan yang 33
direbus dan dioven selama 6 jam (R+O6), sedangkan total mikroba telur asin yang direbus dan dioven selama 4 jam (R+O4) tidak berbeda dengan R dan R+O6. 3.50 3,50 Total Mikroba (log cfu/g)
3,15 ± 0,05a 2,89 ± 0,69a
3.00 3,00 2,51 ± 0,07a 2.50 2,50 2,00 2.00
2,29 ±
0,05ab
2,74 ± 0,48a
3,05 ± 0,49a 2,65 ± 0,07a
2,47 ± 0,10a
2,22 ± 0,06b
1,50 1.50 1,00 1.00 0
15 Lama Penyimpanan (Hari)
30
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada setiap lama penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 9. Total Mikroba Telur Asin pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
), R+O6
Lama pengovenan berpengaruh pada total mikroba telur asin sebelum penyimpanan karena waktu pengovenan yang lebih lama akan meningkatkan kematian mikroba pembusuk maupun patogen. Mikroorganisme yang masih dimungkinkan untuk tetap hidup dalam telur asin sebelum penyimpanan adalah mikroorganisme dari golongan halofilik (suka dengan kondisi garam), halotoleran (tahan dengan kondisi garam), termofilik (suka dengan kondisi suhu yang tinggi) dan termodurik (tahan dengan kondisi suhu yang tinggi). Buckle et al. (2007) menyebutkan, banyak makanan yang diolah dengan pemanasan mengandung organisme-organisme yang masih hidup seperti spora-spora bakteri termofilik, oleh sebab itu sejumlah mikroorganisme masih ditemukan pada masing-masing perlakuan telur asin. Lama pengovenan tidak memberikan pengaruh pada total mikroba telur asin selama penyimpanan H15 dan H30, walaupun demikian total mikroba tertinggi selama penyimpanan terdapat pada telur asin perlakuan R yang diikuti dengan 34
perlakuan R+O4 dan R+O6. Gambar 9 menunjukkan bahwa mikroorganisme berada dalam fase pertumbuhan logaritmik selama penyimpanan. Buckle et al. (2007) menyebutkan bahwa sel-sel mikroba dalam fase tersebut akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial hingga
mencapai
jumlah
maksimum.
Kecepatan
pertumbuhan dalam fase tersebut menurut Fardiaz (1992) sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, serta faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara. Suhu (28-30 oC), kelembaban ruang penyimpanan (83%-91%), pH putih telur (7,36-8,13), dan aw putih telur (0,868-0,899) yang tinggi mendukung pertumbuhan bakteri mesofilik, kapang, maupun khamir untuk tumbuh dan berkembang biak dalam telur asin selama penyimpanan. Estiasih dan Ahmadi (2009) menjelaskan bahwa mikroba pembusuk memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang biak pada nilai pH yang lebih besar dari 4,6. Aktivitas air (aw) minimal menurut Jay (2000) untuk pertumbuhan bakteri adalah 0,9, khamir 0,88, kapang 0,80, dan bakteri halofilik 0,75. Golongan bakteri lebih menyukai kondisi bahan pangan yang mengandung protein dan berasam rendah (pH>4,5), sedangkan kapang dan khamir lebih menyukai bahan pangan yang mengandung karbohidrat dan gula serta berasam tinggi (pH<4,5) (Syarief dan Halid, 1993). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa golongan bakteri lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang dalam telur asin selama penyimpanan daripada kapang dan khamir, karena komposisi protein pada telur asin lebih besar daripada karbohidrat berdasarkan Poedjiadi dan Supriyanti (2005). Batas maksimum angka lempeng total (total plate count) pada telur segar berdasarkan SNI 7388:2009 adalah 105 koloni/g atau 5 log cfu/g. Mengacu pada standar tersebut, maka total mikroba telur asin perlakuan R, R+O4, dan R+O6 yang diperoleh selama penyimpanan 30 hari termasuk rendah sehingga masih aman untuk dikonsumsi. Rendahnya total mikroba dapat disebabkan oleh jumlah mikroba awal (sebelum telur diasinkan) yang rendah, faktor pengasinan dan pemasakan. Pengasinan pada telur menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) memiliki beberapa manfaat, selain sebagai penambah citarasa juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena ion Cl dari garam bersifat racun bagi mikroorganisme dan larutan garam dapat mengurangi oksigen yang terlarut, 35
akibatnya pertumbuhan mikroorganisme aerobik dapat terhambat selama pengasinan. Perebusan dan pengovenan selama ≥ 1 jam juga dapat menyeleksi mikroorganisme yang dapat bertahan dalam telur asin, sehingga total mikroba sebelum penyimpanan (H0) cenderung rendah terutama perlakuan yang dioven lebih lama (R+O6) dan jumlahnya tetap berada di bawah batas maksimal TPC (SNI 7388:2009) selama penyimpanan 30 hari di suhu ruang. Karakteristik Organoleptik Telur Asin Penilaian organoleptik (evaluasi sensori) dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pertama yang bertujuan untuk mengetahui urutan penerimaan serta mutu dari telur asin setelah penyimpanan 7 hari (H7) melalui uji ranking dan mutu hedonik, serta tahap kedua yang bermaksud untuk mengetahui daya terima telur asin setelah penyimpanan 28 hari (H28) melalui uji hedonik. Evaluasi Sensori Tahap Pertama Hasil uji ranking hedonik dan mutu hedonik dalam evaluasi sensori tahap pertama ditunjukkan pada Gambar 10 dan 11. 3.50 3,50 Ranking Hedonik
a
2,50 2.50
a
a
a
ab
2,00 2.00 1.50 1,50
a
a
3,00 3.00
b b
b
a b
a a
a a
a
a
b
bb
1.00 1,00 0.50 0,50 0.00 0,00 warna pt warna kt
aroma tekstur pt tekstur kt rasa pt Atribut Sensorik
rasa kt
Keterangan: Huruf yang berbeda pada setiap atribut sensorik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 10. Rataan Nilai Ranking Hedonik Telur Asin pada Parameter Warna Putih Telur (pt), Warna Kuning Telur (kt), Aroma, Tekstur pt, Tekstur kt, Rasa pt, dan Rasa kt dengan Jumlah Panelis (n) =15; = Perlakuan R, = Perlakuan R+O4, = Perlakuan R+O6 dengan Skala 1 (Paling Disukai) hingga 3 (Paling Kurang Disukai)
36
5.00 5,00 a Mutu Hedonik
4,00 4.00 a
a
b
a b b
b
a a
ab
a
3,00 3.00
a
a
b
a a
a a
2.00 2,00 1,00 1.00
c
c
0.00 0,00 warna pt warna kt
aroma tekstur pt tekstur kt rasa pt Atribut Sensorik
rasa kt
Keterangan: 1. Huruf yang berbeda pada setiap atribut sensorik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 2. Nilai mutu hedonik dan deskripsinya Nilai Mutu Hedonik 5
Warna pt
Warna kt
Aroma
Tekstur pt
Coklat gelap
Coklat gelap
4 3
Coklat Kuning kecoklatan
2
Putih kekuningan Putih
Coklat Sangat kuning kecoklatan Kuning kecoklatan Kuning
Sangat amis Amis Kurang amis
Sangat kesat Kesat Kurang basah dan berair Basah dan berair Sangat basah dan berair
1
Tidak amis Sangat tidak amis
Tekstur kt Sangat masir Masir Kurang masir
Rasa Rasa pt kt Sangat asin
Tidak masir Sangat tidak masir
Tidak asin
Asin Kurang asin
Sangat tidak asin
Gambar 11. Rataan Nilai Mutu Hedonik Telur Asin pada Parameter Warna Putih Telur (pt), Warna Kuning Telur (kt), Aroma, Tekstur pt, Tekstur kt, Rasa pt, dan Rasa kt dengan Jumlah Panelis (n) =15; = Perlakuan R, = Perlakuan R+O4, = Perlakuan R+O6 Warna Putih Telur. Warna merupakan salah satu karakteristik penting yang menjadi referensi konsumen dalam memilih suatu produk makanan. Nilai rata-rata ranking hedonik untuk warna putih telur asin rebus (R) sebesar 1,00 ± 0,00, telur asin rebus dan oven 4 jam (R+O4) sebesar 2,40 ± 0,51, serta telur asin rebus dan oven 6 jam (R+O6) sebesar 2,60 ± 0,51. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada warna putih telur asin. Warna putih telur asin yang paling disukai berdasarkan uji perbandingan berganda adalah warna putih telur perlakuan R, sedangkan yang paling kurang disukai adalah perlakuan R+O4 dan R+O6. Penilaian tersebut berhubungan dengan nilai mutu hedonik yang diberikan. 37
Nilai rata-rata mutu hedonik dari masing-masing perlakuan telur asin yaitu 1,00 ± 0,00 untuk perlakuan R, 2,13 ± 0,35 untuk perlakuan R+O4, dan 3,13 ± 0,63 untuk perlakuan R+O6. Warna putih telur dari ketiga perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
R
R + O4
R + O6
Gambar 12. Warna Putih Telur Asin dengan Perlakuan Rebus (R), Rebus dan Oven 4 Jam (R+O4), serta Rebus dan Oven 6 Jam (R+O6) Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap warna putih telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan bahwa warna putih telur R berbeda dengan R+O4 dan R+O6, dengan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu putih (R), putih kekuningan (R+O4), dan kuning kecoklatan (R+O6). Perbedaan tersebut disebabkan oleh kecepatan reaksi Maillard yang bervariasi pada masing-masing perlakuan. Reaksi Maillard pada perlakuan R berlangsung lebih lambat dan diduga berada pada tahap awal, sehingga warna putih telur belum berubah. Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa senyawa Amadori yang terbentuk dari reaksi awal Maillard merupakan bentuk utama lisin terikat dalam makanan yang masih belum mengubah warna makanan tersebut. Reaksi Maillard pada produk makanan menurut Simpson (2012) dan Man (1999) dapat terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dan protein yang didukung oleh faktor lingkungan seperti suhu, aktivitas air, pH dan komposisi kimia dari produk makanan tersebut. Reaksi Maillard dapat berlangsung lebih lambat dalam proses perebusan karena terjadi penyerapan air rebusan melalui pori-pori kerabang telur, sehingga air tersebut akan melarutkan protein dan gula-gula pereduksi yang berperan sebagai reaktan dalam reaksi Maillard. Pernyataan tersebut didukung oleh Fellow (2000) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi kadar air 38
bahan makanan maka laju reaksi Maillard semakin turun karena kadar air yang tinggi mampu melarutkan zat-zat yang akan bereaksi dalam reaksi Maillard. Man (1999) menambahkan bahwa reaksi Maillard akan cepat terjadi dengan semakin meningkatnya aw dan mencapai laju maksimum pada aw 0,6 hingga 0,7. Lewat rentang tersebut laju reaksi akan mengalami penurunan kembali. Pengovenan yang lebih lama menyebabkan perubahan warna putih telur lebih jelas terlihat. Hal ini disebabkan oleh adanya pengurangan kadar air yang lebih besar, sehingga zat-zat yang akan bereaksi dalam reaksi Maillard lebih terkonsentrasi dan reaksi Maillard berlangsung lebih cepat. Intensitas warna kecoklatan yang dihasilkan dari reaksi Maillard tidak selalu sama pada setiap telur meskipun lama pengovenan yang dilakukan sama, karena setiap telur memiliki ketebalan dan jumlah pori-pori kerabang yang berbeda sehingga kecepatan panas dari proses pengovenan yang diterima oleh bagian putih telur juga berbeda. Reaksi Maillard yang terjadi pada produk makanan dapat menjadi suatu hal yang diinginkan atau sebaliknya tergantung aspek yang dilihat (Man, 1999). Warna putih telur yang paling disukai panelis adalah perlakuan R karena warnanya masih putih, oleh sebab itu reaksi Maillard tidak diharapkan terjadi pada telur asin jika dilihat dari aspek warna putih telur. Warna Kuning Telur. Nilai rata-rata warna kuning telur dari uji ranking hedonik yaitu 1,20 ± 0,41 (R), 2,07 ± 0,70 (R+O4), dan 2,73 ± 0,46 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada warna kuning telur. Warna kuning telur perlakuan R paling disukai sedangkan perlakuan R+O6 paling kurang disukai (Gambar 10). Penilaian tersebut berhubungan dengan mutu hedonik yang diberikan. Nilai rata-rata mutu hedonik pada warna kuning telur asin yaitu 1,00 ± 0,00 (R), 2,00 ± 0,00 (R+O4), dan 3,00 ± 0,00 (R+O6). Warna kuning telur dari ketiga perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) pada warna kuning telur. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan bahwa warna kuning telur R berbeda dengan R+O4 dan R+O6, dengan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu kuning (R), kuning kecoklatan (R+O4), dan sangat kuning kecoklatan (R+O6). Meningkatnya waktu pengovenan akan memicu terjadinya reaksi 39
Maillard, akibatnya warna kuning telur menjadi kecoklatan. Trilaksami et al. (2004) menyebutkan bahwa kecerahan dari suatu produk makanan akan berkurang dengan semakin tingginya suhu dan lama pengovenan. Sama halnya dengan warna putih telur, reaksi Maillard juga tidak diharapkan terjadi pada telur asin jika dilihat dari aspek warna kuning telur, karena panelis paling menyukai warna kuning telur yang cerah (perlakuan R). Pernyataan ini didukung oleh Soekarto (1985) bahwa warna cerah atau mencolok dari suatu bahan makanan dapat memberi kesan yang menarik sehinggga lebih disukai oleh konsumen.
R
R+O4
R+O6
Gambar 13. Warna Kuning Telur Asin dengan Perlakuan Rebus (R), Rebus dan Oven 4 Jam (R+O4), serta Rebus dan Oven 6 Jam (R+O6) Aroma. Aroma atau bau dapat timbul karena adanya reseptor khas dalam sel olfaktori yang akan menangkap molekul senyawa bau dengan bentuk dan ukuran yang sesuai sehingga timbul impuls yang menyatakan mutu bau tersebut (Winarno, 2008). Nilai rata-rata ranking hedonik untuk aroma telur asin yaitu 3,00 ± 0,00 (R), 1,73 ± 0,46 (R+O4), dan 1,27 ± 0,46 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada aroma telur asin. Aroma telur asin yang mengalami pengovenan (R+O4 dan R+O6) paling disukai daripada yang hanya mengalami perebusan (R). Hal ini dapat terjadi karena timbulnya aroma khas pada telur asin yang dioven. Smith dan Hui (2004) menyatakan bahwa reaksi Maillard akan menimbulkan citarasa, warna dan aroma yang khas pada produk hasil pemanggangan. Fellow (2000) menambahkan, aroma yang terbentuk selama pemanggangan tergantung dari kombinasi lemak, asam amino, gula yang ada pada bahan makanan, suhu dan kadar air bahan, serta lama waktu pemanasan.
40
Nilai rata-rata dari uji mutu hedonik terhadap aroma telur asin adalah 3,27 ± 0,80 (R), 2,27 ± 0,88 (R+O4), dan 2,07 ± 0,88 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap aroma telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan bahwa aroma telur asin perlakuan R berbeda dengan perlakuan R+O4 dan R+O6, sedangkan perlakuan R+O4 memiliki mutu hedonik yang sama dengan R+O6. Deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu kurang amis (R) dan tidak amis (R+O4 dan R+O6). Aroma yang timbul pada telur asin yang direbus (R) berasal dari senyawa sulfur, hal ini sesuai dengan pernyataan Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa aroma utama pada telur yang dimasak adalah sulfur, sedangkan aroma khas pada telur asin yang mengalami pengovenan (R+O4 dan R+O6) berasal dari senyawa pirazin (Warren et al., 1995). Berbeda dengan warna putih dan kuning telur, reaksi Maillard diharapkan terjadi pada telur asin jika dilihat dari aspek aroma, sebab aroma telur menjadi tidak amis dan beraroma khas pemanggangan. Tekstur Putih Telur. Tekstur menurut Fellow (2000) paling banyak ditentukan oleh kadar air, lemak, tipe dan jumlah karbohidrat, serta protein yang terdapat pada bahan makanan. Tekstur suatu bahan makanan menurut Lawless dan Heymann (1998) digunakan oleh konsumen sebagai indikator dari kualitas makanan (food quality) dan dapat diketahui melalui indra penglihatan, sentuhan, serta pendengaran. Nilai ratarata tekstur putih telur yang diperoleh dari uji ranking hedonik (Gambar 10) yaitu 1,67 ± 0,82 (R), 1,87 ± 0,74 (R+O4), dan 2,47 ± 0,74 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tekstur putih telur, artinya tidak ada tekstur putih telur yang paling disukai maupun yang paling kurang disukai. Rataan nilai mutu hedonik pada tekstur putih telur yaitu 2,80 ± 0,68 (R), 2,53 ± 0,74 (R+O4), dan 2,60 ± 0,83 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada tekstur putih telur. Tekstur putih telur ditentukan oleh aktivitas air dan kadar airnya (Man, 1999). Tingginya nilai aktivitas air (aw) (Gambar 6) dan kadar air putih telur (Gambar 7) yang diperoleh pada setiap perlakuan menyebabkan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan adalah kurang basah dan berair. 41
Tekstur Kuning Telur. Nilai rata-rata tekstur kuning telur dari uji ranking hedonik yaitu 2,33 ± 0,82 (R), 2,27 ± 0,59 (R+O4), dan 1,27 ± 0,46 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada tekstur kuning telur asin. Tekstur kuning telur yang paling disukai berdasarkan uji perbandingan berganda adalah perlakuan R+O6. Penilaian tersebut berhubungan dengan nilai mutu hedonik yang diberikan. Nilai rata-rata mutu hedonik pada tekstur kuning telur yakni 3,00 ± 0,85 (R), 3,53 ± 0,52 (R+O4), dan 4,13 ± 0,74 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) pada tekstur kuning telur. Melalui uji banding rataan ranking diperoleh bahwa tekstur kuning telur R berbeda dengan R+O6, sedangkan tekstur kuning telur R+O4 tidak dapat dibedakan dengan R dan R+O6. Deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu kurang masir (R), kurang masir hingga masir (R+O4), dan masir (R+O6). Tekstur kuning telur perlakuan R+O6 lebih masir dari perlakuan R, karena waktu pengovenan yang lebih lama menyebabkan denaturasi protein dan penguapan air dari kuning telur lebih besar terjadi. Protein kuning telur yang berikatan dengan lemak (lipoprotein) telah terdenaturasi akibat penambahan NaCl sebelum dilakukan pemasakan, akibatnya protein akan terlepas dari lemaknya dan saling menyatu. Waktu pengovenan yang lebih lama semakin membantu penggabungan protein tersebut sehingga ukuran granula polihedral semakin besar dan dengan semakin banyaknya air yang diuapkan menyebabkan pemadatan granula dalam kuning telur semakin kuat dan batas antar granula semakin jelas terlihat. Hal tersebut menyebabkan tekstur kuning telur R+O6 lebih masir. Pendapat di atas didukung oleh penjelasan Chi dan Tseng (1998) yang menyebutkan bahwa tekstur masir merupakan salah satu kriteria utama yang mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen pada telur asin. Tekstur masir tersebut terjadi akibat hilangnya air pada kuning telur selama pengasinan yang menyebabkan mikrostruktur kuning telur yaitu yolk sphere akan bergabung membentuk granula polihedral sehingga terbentuk sensasi berpasir pada kuning telur. Hal ini lebih lanjut dijelaskan oleh Lai et al. (2010) bahwa selama pengasinan terjadi dehidrasi dan pemadatan kuning telur yang disebabkan oleh interaksi antara NaCl dengan protein dalam bentuk low density lipoprotein (LDL), akibatnya terjadi peristiwa salting out, 42
yakni protein terpisah dengan lipid sebagai endapan sehingga tekstur masir terbentuk, sedangkan lipid akan terpisah dari protein dalam bentuk bebas berupa minyak yang semakin meningkat dengan dilakukannya pemasakan. Rasa Putih Telur. Rasa asin menurut Soekarto (1985) berasal dari zat-zat anionik seperti Cl- dan kationik seperti Na+. Man (1999) menyebutkan, jika bobot molekul kation atau anion atau keduanya bertambah besar maka garam cenderung terasa pahit, oleh sebab itu Soekarto (1985) menyebutkan penggunaan garam pada masakan biasanya antara 1%-2% dan untuk pengawetan makanan antara 5%-15%. Nilai rata-rata rasa putih telur asin dari uji ranking hedonik yaitu 1,93 ± 0,96 (R), 1,73 ± 0,88 (R+O4), dan 2,33 ± 0,49 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rasa putih telur, artinya panelis tidak dapat membedakan rasa putih telur yang paling disukai maupun yang paling kurang disukai. Penilaian tersebut berhubungan dengan nilai mutu hedonik yang diberikan. Nilai rata-rata mutu hedonik pada rasa putih telur yaitu 4,07 ± 0,70 (R), 4,33 ± 0,62 (R+O4), dan 4,47 ± 0,52 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada rasa putih telur asin dengan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan adalah asin. Hal ini dapat terjadi karena lamanya waktu pengasinan dan konsentrasi larutan garam yang digunakan pada masing-masing perlakuan adalah sama, sehingga panelis tidak dapat mengurutkan tingkat kesukaan maupun keasinan pada rasa putih telur. Pendapat tersebut didukung dengan data kadar abu putih telur yang tidak berbeda antar perlakuan selama penyimpanan (Gambar 8). Rasa Kuning Telur. Nilai rata-rata rasa kuning telur dari uji ranking hedonik yaitu 3,00 ± 0,00 (R), 1,53 ± 0,52 (R+O4), dan 1,47 ± 0,52 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada rasa kuning telur. Rasa kuning telur yang paling disukai berdasarkan uji perbandingan berganda adalah rasa kuning telur perlakuan R+O4 dan R+O6, sedangkan yang paling sedikit disukai adalah perlakuan R. Nilai rata-rata mutu hedonik pada rasa kuning telur yaitu 3,20 ± 0,68 (R), 3,53 ± 0,52 (R+O4), dan 3,60 ± 0,51 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan 43
bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh terhadap rasa kuning telur. Deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan adalah kurang asin. Rasa kuning telur yang paling disukai panelis berasal dari perlakuan yang mengalami pengovenan (R+O4 dan R+O6) walaupun deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat faktor lain selain rasa asin yang mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa kuning telur. Faktor tersebut dapat berupa rasa khas pemanggangan akibat reaksi Maillard yang terjadi. Rasa khas tersebut lebih dapat ditimbulkan pada bagian kuning telur daripada putih telur karena kandungan protein dan glukosa sebagai zat yang bereaksi dalam reaksi Maillard ditemukan lebih banyak dalam kuning telur. Yuwanta (2010) menyebutkan bahwa komposisi rata-rata protein dan glukosa pada kuning telur adalah 16% dan 1%-2%, sedangkan pada putih telur adalah 9,7%-10,8% untuk protein dan 0,5% untuk glukosa. Evaluasi Sensori Tahap Kedua Hasil uji hedonik dalam evaluasi sensori tahap kedua ditunjukkan pada Gambar 14. 7
Nilai Hedonik
6 5
b
b
ab a
a a
a a
a a a
a
a
a
a a a
a
a a
a
4 3 2 1 0 warna pt warna kt
aroma tekstur pt tekstur kt rasa pt Atribut Sensorik
rasa kt
Keterangan: Huruf yang berbeda pada setiap atribut sensorik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 14. Rataan Nilai Hedonik Telur Asin pada Parameter Warna Putih Telur (pt), Warna Kuning Telur (kt), Aroma, Tekstur pt, Tekstur kt, Rasa pt, dan Rasa kt dengan Jumlah Panelis (n) =20; = Perlakuan R, = Perlakuan R+O4, = Perlakuan R+O6 dengan Skala 1 (Sangat Tidak Suka) hingga 7 (Sangat Suka) 44
Warna Putih Telur. Nilai rata-rata warna putih telur asin dari uji hedonik yaitu 6,05 ± 0,76 (R), 5,60 ± 0,94 (R+O4), dan 5,00 ± 0,92 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap warna putih telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan adanya perbedaan tingkat kesukaan antara warna putih telur yang direbus (R) dengan yang dioven 6 jam (R+O6), sedangkan telur yang dioven 4 jam (R+O4) tidak dapat dibedakan dari R dan R+O6. Deskripsi nilai hedonik pada masing-masing perlakuan yaitu suka (R), agak suka hingga suka (R+O4), dan agak suka (R+O6). Panelis masih lebih menyukai warna putih telur asin yang hanya direbus (R), baik pada hari ke-7 (Gambar 10) maupun hari ke-28 (Gambar 14) karena warnanya yang lebih putih. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan kimia (nilai pH, aw, kadar air, maupun kadar abu putih telur) dan total mikroba selama penyimpanan tidak mengubah tingkat kesukaan panelis pada warna putih telur, artinya pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari warna putih telur masih dapat dipertahankan selama 28 hari. Warna Kuning Telur. Nilai rata-rata warna kuning telur dari uji hedonik yaitu 5,85 ± 0,93 (R), 4,35 ± 1,56 (R+O4), dan 4,00 ± 1,82 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap warna kuning telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan adanya perbedaan tingkat kesukaan antara warna kuning telur yang direbus (R) dengan yang dioven 4 dan 6 jam (R+O4 dan R+O6). Deskripsi nilai hedonik pada masing-masing perlakuan yaitu suka (R), dan netral (R+O4 dan R+O6). Penilaian tersebut menunjukkan bahwa panelis masih menyukai warna kuning telur yang direbus (R) baik pada H7 (Gambar 10) maupun H28 (gambar 14) karena warna kuning telur yang direbus lebih cerah daripada yang mengalami pengovenan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan kimia (nilai pH, aw, kadar air, maupun kadar abu putih telur) dan total mikroba selama penyimpanan tetap tidak mengubah tingkat kesukaan panelis pada warna kuning telur, artinya pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari warna kuning telur masih dapat dipertahankan hingga penyimpanan 28 hari.
45
Aroma. Nilai rata-rata aroma telur asin dari uji hedonik yaitu 4,90 ± 1,21 (R), 5,25 ± 1,25 (R+O4), dan 5,45 ± 1,14 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada aroma telur asin, artinya tingkat kesukaan panelis pada semua perlakuan adalah sama. Berbeda dengan evaluasi sensori tahap kedua, pada evaluasi sensori tahap pertama (H7) lama pengovenan masih mempengaruhi urutan kesukaan (ranking hedonik) dan mutu hedonik panelis terhadap aroma telur asin. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari aroma telur asin dapat dipertahankan selama 7 hari, sedangkan pada penyimpanan yang lebih lama (28 hari) aroma telur asin tidak dapat dibedakan dan dinilai agak suka. Penyimpanan telur asin di suhu ruang akan mendukung penyerapan bau di sekitar ruang penyimpanan, selain itu dengan kelembaban dan suhu ruang penyimpanan yang tinggi yakni 83%-91% dan 28–30 oC memungkinkan terjadinya kontaminasi dari mikroorganisme yang mampu mendegradasi komponen-komponen dalam telur menjadi senyawa-senyawa penghasil bau tidak sedap. Fardiaz (1992) menyebutkan, beberapa bakteri bersifat putrefaktif yakni memecah protein secara anaerobik sehingga menghasilkan komponen-komponen berbau busuk seperti hidrogen sulfida, merkaptan, amin, indol, skatol, dan asam-asam lemak, contohnya beberapa spesies dari Pseudomonas. Kontaminasi oleh mikroorganisme sangat mungkin terjadi karena perubahan nilai pH selama penyimpanan (Gambar 5) berhubungan erat dengan aktivitas mikroorganisme yang menunjukkan peningkatan seiring lamanya waktu penyimpanan (Gambar 9). Pengeluaran minyak dari kuning telur juga dapat memicu timbulnya aroma tengik (rancid) sehingga menurunkan kesukaan panelis terhadap aroma telur asin setelah disimpan 28 hari. Aroma tengik tersebut dapat berasal dari hasil metabolisme lemak oleh bakteri lipolitik (Fardiaz, 1992) maupun kerusakan oksidatif (Buckle et al., 2007) dari asam lemak tidak jenuh pada kuning telur. Tekstur Putih Telur. Nilai rata-rata tekstur putih telur dari uji hedonik yaitu 5,15 ± 1,27 (R), 5,20 ± 1,24 (R+O4), dan 5,30 ± 1,03 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada tekstur putih telur. Deskripsi nilai hedonik masing-masing perlakuan adalah agak suka. 46
Ranking, mutu, dan nilai hedonik dari tekstur putih telur pada ketiga perlakuan tidak dipengaruhi oleh lama pengovenan baik pada H7 maupun H28, karena lama pengovenan juga tidak mempengaruhi kadar air dan aw putih telur selama penyimpanan. Man (1999) menjelaskan bahwa tekstur makanan dipengaruhi oleh faktor aktivitas air dan kadar airnya, hubungan kedua faktor tersebut dikenal dengan sorpsi isotermik. Terdapat tiga wilayah pada sorpsi isotermik yang digunakan untuk mengklasifikasikan makanan berdasarkan teksturnya, antara lain wilayah pertama yaitu makanan bertekstur keras (hard) dan garing (crisp), wilayah kedua yaitu makanan bertekstur kering (dry), kuat (firm), dan fleksibel, dan wilayah ketiga yaitu makanan bertekstur halus (soft). Putih telur pada ketiga perlakuan termasuk makanan yang bertekstur halus karena memiliki kadar air dan aw yang tinggi. Resiko dari makanan dengan kadar air dan aw yang tinggi adalah mudah rusak. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai pH yang tinggi selama penyimpanan (Gambar 5). Estiasih dan Ahmadi (2011) menyatakan bahwa mikroba pembusuk memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang biak pada pH > 4,6 sehingga makanan mudah menjadi busuk. Salah satu tanda kebusukan tersebut adalah tekstur makanan menjadi lunak atau berlendir sehingga mengurangi daya terima makanan tersebut. Tekstur Kuning Telur. Nilai rata-rata tekstur kuning telur dari uji hedonik yaitu 5,35 ± 1,27 (R), 5,05 ± 1,79 (R+O4), dan 5,35 ± 1,39 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada tekstur kuning telur. Deskripsi nilai hedonik masing-masing perlakuan adalah agak suka. Tekstur kuning telur masih dapat dibedakan ranking dan mutu hedoniknya pada H7. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari tekstur kuning telur dapat bertahan selama 7 hari dan akan mengalami penurunan pada penyimpanan yang lebih lama, oleh sebab itu tingkat kesukaan terhadap tekstur kuning telur menjadi sama pada penyimpanan berikutnya (H28). Penurunan mutu hedonik dan tingkat kesukaan pada tekstur kuning telur selama penyimpanan ditandai dengan berubahnya tekstur menjadi semakin lunak, berair, dan berlendir. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air 47
(akibat sifat garam yang higroskopis) ke dalam kuning telur dan aktivitas dari mikroorganisme pembusuk. Rasa Putih Telur. Nilai rata-rata rasa putih telur asin dari uji hedonik yaitu 5,10 ± 1,02 (R), 4,95 ± 1,36 (R+O4), dan 5,15 ± 1,09 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh terhadap rasa putih telur. Rasa putih telur perlakuan R, R+O4, dan R+O6 tidak dapat dibedakan ranking dan mutu hedoniknya pada H7 maupun nilai hedoniknya pada H28, artinya lama pengovenan tidak mempengaruhi karakteristik organoleptik rasa putih telur selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh proses pengasinan yang sama dan nilai kadar abu putih telur yang tidak berbeda secara statistik selama penyimpanan. Kadar abu berhubungan dengan kadar NaCl, Wulandari (2002) menyebutkan bahwa kadar NaCl putih telur asin tidak mengalami perubahan yang signifikan selama penyimpanan, oleh sebab itu tingkat keasinan pada putih telur masing-masing perlakuan akan sama setelah disimpan 28 hari, sehingga nilai hedoniknya tidak dapat dibedakan dan rasa putih telur dinilai agak suka. Rasa Kuning Telur. Nilai rata-rata rasa kuning telur dari uji hedonik yaitu 5,40 ± 1,23 (R), 4,60 ± 1,60 (R+O4), dan 5,70 ± 0,92 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada rasa kuning telur. Lama pengovenan hanya mempengaruhi ranking hedonik dari rasa kuning telur setelah disimpan 7 hari, sedangkan mutu hedonik masing-masing perlakuan sama yakni kurang asin. Wulandari (2002) menyebutkan bahwa kadar NaCl kuning telur asin tidak mengalami perubahan yang signifikan selama penyimpanan, oleh sebab itu rasa asin pada kuning telur cenderung sama setelah disimpan 28 hari, sehingga nilai hedoniknya tidak dapat dibedakan secara statistik dan dinilai agak suka kecuali perlakuan R+O6 yang dinilai suka. Penentuan Perlakuan Terbaik Penentuan perlakuan yang terbaik pada telur asin didasarkan pada parameter kimia, mikrobiologi, dan organoleptik sebelum dan selama penyimpanan. Penilaian dilakukan pada parameter yang memberikan pengaruh nyata terhadap telur asin. Parameter yang dinilai sebelum penyimpanan (H0) adalah parameter kimia (kadar air 48
putih telur) dan mikrobiologi, sedangkan selama penyimpanan (H7 dan H28) adalah parameter organoleptik. Hasil penilaian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Skor Penilaian pada Telur Asin Perlakuan Parameter
R
R+O4
R+O6
H0
H7
H28
H0
H7
H28
H0
H7
H28
Kadar air pt (% bb)
86,13a (1)
-
-
84,29ab (1,5)
-
-
81,89b (2)
-
-
TPC (log cfu/g)
2,51a (1)
-
-
2,29ab (1,5)
-
-
2,22b (2)
-
-
Warna putih telur (pt)
-
1b (2)
6,05b (2)
-
2,40a (1)
5,60ab (1,5)
-
2,60a (1)
5a (1)
Warna kuning telur (kt)
-
1,20b (2)
5,85b (2)
-
2,07ab (1,5)
4,35a (1)
-
2,73a (1)
4a (1)
Aroma
-
3a (1)
-
-
1,73b (2)
-
-
1,27b (2)
-
Tekstur kt
-
2,33a (1)
-
-
2,27a (1)
-
-
1,27b (2)
-
Rasa kt
-
3a (1)
-
-
1,53b (2)
-
-
1,47b (2)
-
Total skor
2
7
4
3
7,5
2,5
4
8
2
Total skor setiap perlakuan
13
13
14
Keterangan: 1. Angka di dalam kurung merupakan skor terhadap parameter yang dinilai. Pemberian skor berdasarkan huruf superskrip, a =1, b = 2, ab = 1,5 2. Parameter yang dinilai pada H7 berasal dari uji ranking hedonik, dan pada H28 dari uji hedonik
Hasil penilaian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik sebelum penyimpanan (H0) terdapat pada perlakuan R+O6 dengan total skor tertinggi (4) yang diikuti dengan perlakuan R+O2 (3) dan R (2). Perlakuan R+O6 memiliki kadar air putih telur yang paling rendah sehingga skor yang diberikan juga paling tinggi. Rendahnya kadar air tersebut menyebabkan kadar abu dan NaCl putih telur yang diperoleh juga semakin tinggi, hal ini memberikan keuntungan bagi telur asin karena pertumbuhan 49
mikroorganisme selama penyimpanan menjadi terhambat. Pendapat tersebut didukung dengan hasil total mikroba yang paling rendah sebelum dan selama penyimpanan adalah perlakuan R+O6 (Gambar 9), oleh sebab itu total mikroba (total plate count) perlakuan tersebut diberi skor yang paling tinggi pada H0. Total mikroba yang rendah menyebabkan telur asin masih aman dan layak untuk dikonsumsi setelah penyimpanan satu bulan dalam suhu ruang. Parameter organoleptik digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik selama penyimpanan, selain disebabkan oleh parameter lain (kimia dan mikrobiologi) yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata, parameter organoleptik juga lebih tepat digunakan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gelman et al. (1990) yang menyebutkan bahwa faktor organoleptik lebih dapat diandalkan dalam menilai perubahan produk makanan selama penyimpanan. Telur asin perlakuan R+O6 masih memperoleh total skor tertinggi (8) selama penyimpanan 7 hari (H7). Penilaian tersebut berasal dari uji ranking hedonik dan skor paling tinggi diberikan pada perlakuan dengan nilai ranking hedonik yang paling rendah untuk setiap parameter. Berbeda dengan sebelumnya, telur asin yang memperoleh total skor tertinggi (4) setelah penyimpanan 28 hari (H28) adalah telur asin yang hanya direbus (R) karena hanya parameter warna putih dan kuning telur saja yang menunjukkan perbedaan secara statistik, walaupun parameter lain (aroma, tekstur putih dan kuning telur, rasa putih dan kuning telur) tidak menunjukkan perbedaan secara statistik, namun rata-rata nilai hedonik tertinggi dari parameter tersebut masih terdapat pada perlakuan R+O6. Total skor tertinggi dari seluruh parameter diperoleh pada perlakuan telur asin yang direbus dan dioven selama 6 jam (R+O6), selain itu rasa kuning telur dari perlakuan tersebut masih disukai hingga penyimpanan satu bulan, oleh sebab itu perlakuan R+O6 dipilih sebagai perlakuan yang terbaik dalam penelitian ini.
50
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Metode pengasinan dalam larutan garam 25% selama 12 hari pada telur itik, yang dilanjutkan dengan metode pemasakan berupa perebusan lalu pengovenan mampu menurunkan kadar air putih telur dan total mikroba telur asin serta meningkatkan citarasanya. Telur asin yang direbus lalu dioven selama 6 jam menghasilkan kualitas terbaik dari segi rendahnya kadar air putih telur dan total mikroba, aroma dan rasa kuning telur yang khas pemanggangan, dan tekstur kuning telur yang masir serta mampu bertahan selama 28 hari. Saran Saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap daya cerna protein dan keberadaan mikroorganisme saprofit maupun patogen dalam telur asin yang dioven, serta jenis kemasan yang tepat untuk lebih mempertahankan kualitasnya selama penyimpanan.
51
UCAPAN TERIMA KASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan dan hidayah-Nya dalam penyelesaian tugas akhir ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang tak pernah lelah menyebarkan cahaya kebenaran di muka bumi sehingga memotivasi penulis untuk terus meneladani kegigihan beliau dalam bentuk mengoptimalkan penyelesaian tugas akhir dengan baik. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada pembimbing pertama Dr. Ir. Rukmiasih, MS dan pembimbing kedua Almarhumah Dr. Ir. Rarah R. A.M., DEA atas kesabarannya dalam memberikan arahan dan bantuan kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu H.S., MS dan Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur.Sc serta Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si selaku dosen penguji yang telah mengevaluasi dan memberikan saran yang membangun untuk perbaikan isi tugas akhir. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua penulis yaitu Bapak Effendi dan Ibu Kartiah yang senantiasa mendoakan untuk keberhasilan dalam kuliah S1 di Fakultas Peternakan IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada adik penulis Fajar Dwi M.E. yang senantiasa memberikan semangat dalam penyelesaian tugas akhir ini. Tidak lupa pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Teknisi Devi M., Spt dan Ebi yang membantu kelancaran penulis dalam penelitian, kepada anakanak IPTP yang bersedia membantu dalam kegiatan organoleptik, dan kepada santrisantri Al-Iffah terutama mba Dila. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini membawa berkah dan bermanfaat bagi pembaca. Amin.
52
DAFTAR PUSTAKA Andrade, R. D. P., R. Lemus, & C. E. Perez. 2011. Models of sorption isotherms for food: uses and limitations. Vitae. 18 (3): 325-334. Accociation of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methode of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Ayuza, N. Z. 2011. Pengaruh level suhu pengovenan terhadap kadar protein, kadar air, total koloni bakteri, umur simpan, dan nilai organoleptik telur asin. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas, Padang. Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. SNI 7388:2009. Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. SNI 01-2346-2006. Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Telur Asin. SNI 01-4277-1996. Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Belitz, H. D. & W. Grosch. 2009. Food Chemistry. Fourth Edition. Springer, Germany. Brown, A. 2000. Understanding Food Principles and Preparation. Wadsworth, United States of America. Brunauer, S., L. S. Deming, & E. Teller. 1940. On a theory of Van der Waals adsorption of gases. J. Am. Chem. Soc. 62 (7): 1723-1732. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, & M. Wooton. 2007. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta. Chi, S. P. & K. H. Tseng. 1998. Physicochemical propertias of salted pickled yolk from duck and chicken eggs. J. Food Sci. 33: 507-513. Damayanthi, E. & E. S. Mudjajanto. 1995. Teknologi Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Damayanti, A. 2008. Sifat fisik, kimia, dan organoleptik telur asin yang direndam pada konsentrasi garam dan umur telur yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Effendi, H. M. S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta, Bandung. Ersoy, B. & A. Ozeren. 2009. The effect of cooking methods on mineral and vitamin contents of African catfish. Food Chem. 115: 419-422. Estiasih, T. & Ahmadi. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Ed. 1, Cet.2. PT Bumi Aksara, Jakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 53
Fellow, P. 2000. Food Processing Technology. 2nd Ed. CRC Press, USA. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. 2nd Ed. Marcel Dekker Inc, New York. Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Edisi ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gelman, A., R. Pasteur, & M. Rave. 1990. Quality change and storage life of cammon carp (Cyprinus carpio) at various storage temperatures. J. Sci. food Agric. 52: 231. (Abstr.). Gibbons, J. D. & S. Chakraborti. 2003. Nonparametric Statistical Inference. 4th Ed. Marcel Dekker Inc, New York. Harris, R. S. & E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Harrungton, R, D.C. Hules, & E.M. Ellis. 1974. Bacterial Isolated from imported salted duck eggs. Avian Diseases. 18 (2). Huopalahti, R., R. L. Fandino, M. Anton, & R. Schade. 2007. Bioactive Egg Compounds. Springer, Germany. Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Ed. Aspen Publishers, Inc., Maryland. Kadir, S. 1982. Isothermal sorpsi air dan pengaruh garam dapur terhadap kadar air dan aktivitas air (aw) pindang ikan tongkol (Euthynnus sp.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kaewmanee, T. 2010. Impact of salting on chemical compositions, physichochemical and functional properties of duck egg. Thesis. Food Science and Technology. Prince of Songkla University, Southern Thailand. Khasanah, L. M., B. K. Anandito, & A. A. Saputro. 2010. Pengaruh perendaman dalam ekstrak teh hijau terhadap umur simpan telur asin. J. Teknol. Hsl. Pert. 3(2). (Abstr.). Labuza, T. P. 1980. The effect of water activity on reaction kinetics of food deterioration. Food Technol. 34 (4). (Abstr.). Lai, K. M., W. C. Ko, & T. S. Lai. 1997. Effect of NaCl penetration rate on the granulation and oil-off of the yolk of salted duck egg. Food Sci. Technol. Int. Tokyo. 3 (3): 269-273. Lai, K. M., W. H. Chung, C. L. Jao, & K. C. Hsu. 2010. Oil oxidation and histological structures of duck egg yolks during brining. Poult. Sci. 89: 738744. Lawless, H. T. & H. Heymann. 1998. Sensory Evaluation of Food: Principles and Practices. Plenum Publishers, New York. Man, J. M. De. 1999. Principles of Food Chemistry. 3rd Ed. Aspen Publishers, USA. 54
Mattjik, A. A. & I. M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor. Maturin, L. & J. T. Peeler. 2001. BAM: Aerobic Plate Count. In: Food and Drug Administration. Bacteriological Analytical Manual. 8th Ed. Silver Spring, USA. Moats, W. A. 1890. Classification of bacteria from commercial egg washers and washed and unwashed eggs. Appl. Environ. Microbiol. 40 (4): 710-714. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Poedjiadi, A. & F. M. T. Supriyanti. 2005. Dasar-Dasar Biokimia. Edisi Revisi. Universitas Indonesia-Press, Jakarta. Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology. 3rd Ed. CRC Press, USA. Romanoff, A. L. & A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. Second Edition. John Willey & Sons, Inc., New York. Simpson, B. K. 2012. Food Biochemistry and Food Processing. 2nd Ed. WilleyBlackwell, USA. Smith, J. C. & Y. H. Hui. 2004. Food Processing: Principles and Applications. Blackwell Publishing, USA. Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Stadelman, W. J. & O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Routledge, New York. Suguro, N., S. Horiike, Y. Masuda, M. Kunou & T. Kokubu. 2000. Bioavaibility and Commercial Use of Eggshell Calcium, Membrane Proteins and Yolk Lecithin Products. In Egg Nutrient and Biotechnology. CABI Publishing, New York. Syarief, R. & H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta. Theron, M. M. & J. F. R. Lues. 2011. Organic Acids and Food Preservation. CRC Press, New York. Trilaksami, W., A. C. Erungan, & S. Mardi. 2004. Pengaruh suhu dan lama pengovenan terhadap karakteristik cumi-cumi (Loligo Sp) kertas. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol. 8 (2). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. United States Department of Agriculture. 2000. United States standards, grades, and weight classes for shell eggs. http://ams.usda.gov/. [30 Maret 2012]. Ward, A. K., H. L. Classen, & F. C. Buchanan. 2009. Fishy-egg tainting is recessively inherited when brown-shelled layers are fed canola meal. Poult. Sci. 88: 714-721. 55
Warren, M. W., D. K. Larick, & H. R. Ball. 1995. Volatiles and sensory characteristics of cooked egg yolk, white and their combinations. J. Food Sci. 60 (1): 79-85. Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press, Bogor. Winarno, F. G., S. Fardiaz, & D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta. Wulandari, Z. 2002. Sifat organoleptik, sifat fisikokimia dan total mikroba telur itik asin hasil penggaraman dengan tekanan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wulandari, Z. 1999. Pengaruh konsentrasi tanin dan lama perebusan terhadap umur simpan telur asin. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wulandari, Z., Y. Haryadi, & P. S. Hardjosworo. 2002. Sifat organoleptik dan karakteristik mutu telur itik asin hasil penggaraman dengan tekanan. Med. Pet. Vol. 25 (1): 7 – 13. Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
56
LAMPIRAN Lampiran 1. Form Uji Ranking dan Mutu Hedonik Nama : No. Hp: Tgl. Uji : Intruksi Umum : 1. Di hadapan Anda tersedia sampel telur asin yang harus dinilai berdasarkan atribut yang tertera dalam tabel. 2. Beri penilaian dengan mengurutkan dari yang paling Anda sukai (tulis angka 1) hingga yang paling kurang Anda sukai (tulis angka 3) pada kolom ranking. 3. Beri penilaian pada kolom SKOR (mutu hedonik) berdasarkan keterangan di bawah tabel. Tabel 1. Warna Putih dan Kuning Telur Kode Ranking warna putih telur SKOR Kode Ranking warna kuning telur SKOR 123 123 213 213 312 312 Keterangan untuk kolom skor: Warna putih telur: 1= putih, 2 = putih kekuningan, 3 = kuning kecoklatan, 4= coklat, 5= coklat gelap Warna kuning telur: 1= kuning, 2= kuning kecoklatan, 3= sangat kuning kecoklatan, 4= coklat, 5= coklat gelap Tabel 2. Aroma Keseluruhan Telur Kode 123
Ranking aroma
SKOR
213 312 Keterangan untuk kolom skor: Aroma: 1= sangat tidak amis, 2= tidak amis, 3= kurang amis, 4=amis, 5= sangat amis Tabel 3. Tekstur Putih dan Kuning Telur Kode Ranking tekstur putih telur SKOR Kode Ranking tekstur kuning telur SKOR 123 123 213 213 312 312 Keterangan untuk kolom skor: Tekstur putih telur: 1= sangat basah dan berair, 2 = basah dan berair, 3=kurang basah dan berair, 4= kesat, 5= sangat kesat Tekstur kuning telur: 1= sangat tidak masir, 2= tidak masir, 3=kurang masir, 4= masir, 5= sangat masir Tabel 4. Rasa Putih dan Kuning Telur Kode Ranking rasa putih telur SKOR Kode Ranking rasa kuning telur SKOR 123 123 213 213 312 312 Keterangan untuk kolom skor: Rasa putih dan kuning telur: 1= sangat tidak asin, 2= tidak asin, 3=kurang asin, 4= asin, 5= sangat asin
57
Lampiran 2. Form Uji Hedonik Nama : Intruksi umum : Tgl.uji: 1. Di hadapan Anda tersedia sampel telur asin yang harus dinilai berdasarkan atribut yang tertera dalam tabel. 2. Beri tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan kesan pertama Anda & JANGAN MEMBANDINGKAN ANTARSAMPEL Tabel 1. Warna Putih (PT) dan Kuning Telur (KT) Kode sampel 123 213 312
Parameter yang dinilai
Sanga tidak suka
Tidak suka
Agak tidak suka
Penilaian Netral Agak suka
Suka
Sangat suka
1. Warna PT 2. Warna KT 1. Warna PT 2. Warna KT 1. Warna PT 2. Warna KT
Tabel 2. Aroma Keseluruhan Telur Kode sampel
Sanga tidak suka
Tidak suka
Agak tidak suka
Penilaian Netral
Agak suka
Suka
Sangat suka
123 213 312 Tabel 3. Tekstur Putih (PT) dan Kuning Telur (KT) Kode sampel 123 213 312
Parameter yang dinilai 1. 2. 1. 2. 1. 2.
Sanga tidak suka
Tidak suka
Agak tidak suka
Penilaian Netral Agak suka
Suka
Sangat suka
Penilaian Netral Agak suka
Suka
Sangat suka
Tekstur PT Tekstur KT Tekstur PT Tekstur KT Tekstur PT Tekstur KT
Tabel 4. Rasa Putih (PT) dan Kuning Telur (KT) Kode sampel 123 213 312
Parameter yang dinilai
Sanga tidak suka
Tidak suka
Agak tidak suka
1.Rasa PT 2.Rasa KT 1.Rasa PT 2.Rasa KT 1.Rasa PT 2.Rasa KT
58
Lampiran 3. Rumus Uji Perbandingan Berganda untuk Uji Lanjut Friedman |Ri – Rj| ≥ Z (kn (n+1))/6 , keterangan: k n Ri Rj Z
= jumlah panelis = jumlah perlakuan = jumlah ranking untuk perlakuan ke-i = jumlah ranking untuk perlakuan ke-j = nilai distribusi z (normal baku) pada suatu nilai α tertentu
Lampiran 4. Rumus Uji Banding Rataan Ranking untuk Uji Lanjut Kruskal Wallis k(N+1))/6 , Jika | Ri-Rj | lebih besar dari Z
| Ri-Rj | ≥ Z
k(N+1))/6, maka
perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf α. Keterangan,
k N Ri Rj Z
= jumlah perlakuan = jumlah total pengamatan (jumlah panelis x jumlah perlakuan) = rataan ranking untuk perlakuan ke-i = rataan ranking untuk perlakuan ke-j = nilai Z untuk perbandingan lebih dari dua rata-rata
Lampiran 5. Hasil Uji Friedman pada Penelitian Pendahuluan Atribut Sensorik Warna putih telur
Perlakuan R R+O2 R+O4 R+O6
Warna kuning telur
R R+O2 R+O4 R+O6
Aroma
R R+O2 R+O4 R+O6
Tekstur putih telur
R R+O2 R+O4 R+O6
Tekstur kuning telur
R R+O2 R+O4 R+O6
N 15 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 15 P = 0,01 15 15 15 15 P = 0,02 15 15 15 15 P = 0,46 15 15 15 15 P = 0,00
Jumlah Ranking 17 31 42 60 27 34,5 38 50,5 43,5 42,5 40 24 43 39 32 36 51 41 36 22 59
Rasa putih telur
R R+O2 R+O4 R+O6
Rasa kuning telur
R R+O2 R+O4 R+O6
15 15 15 15 P = 0,24 15 15 15 15 P = 0,00
32 33 44 41 52 46 29 23
Lampiran 6. Hasil Uji Perbandingan Berganda pada Penelitian Pendahuluan Atribut Sensorik Warna putih telur
Warna kuning telur
Aroma
Tekstur kuning telur
Rasa kuning telur
|Ri – Rj| R – (R+O2) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O2) - (R+O4) (R+O2) – (R+O6) (R+O4) – (R+O6) R – (R+O2) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O2) - (R+O4) (R+O2) – (R+O6) (R+O4) – (R+O6) R – (R+O2) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O2) – (R+O4) (R+O2) – (R+O6) (R+O4) - (R+O6) R – (R+O2) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O2) – (R+O4) (R+O2) – (R+O6) (R+O4) - (R+O6) R – (R+O2) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O2) – (R+O4) (R+O2) – (R+O6) (R+O4) - (R+O6)
|Ri – Rj| ≥ Z (kn (n+1))/6 14tn 25* 43* 11tn 29* 18tn 7,5tn 11tn 23,5* 3,5tn 16tn 12,5tn 1tn 3,5tn 19,5* 2,5tn 18,5tn 16tn 10tn 15tn 29* 5tn 19* 14tn 6tn 23* 29* 17tn 23* 1tn
Keterangan: * : Berbeda nyata pada α = 0,05 tn : Tidak nyata pada α = 0,05
60
Lampiran 7. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur Asin H0 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 0,01966 0,54090 0,56056
KT 0,00983 0,09015
F 0,11
P 0,8984
Lampiran 8. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur Asin H15 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 0,16274 0,12549 0,28823
KT 0,08137 0,02091
F 3,89
P 0,0825
Lampiran 9. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur Asin H30 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 0,57950 0,43697 1,01646
KT 0,28975 0,07283
F 3,98
P 0,0794
Lampiran 10. Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur Asin H0 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 0,00041 0,00115 0,00156
KT 2,027E-04 1,923E-04
F 1,05
P 0,4051
Lampiran 11. Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur Asin H15 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 5,422E-05 6,057E-05 6,599E-04
KT 2,711E-05 1,009E-04
F 0,27
P 0,7732
Lampiran 12. Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur Asin H30 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 0,00074 0,00070 0,00144
KT 3,678E-04 1,166E-04
F 3,15
P 0,1160
Lampiran 13. Hasil Sidik Ragam Kadar Air pada Putih Telur Asin H0 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 27,0865 15,8460 42,9325
KT 13,5432 2,6410
F 5,13
P 0,0503
61
Lampiran 14. Uji Tukey Kadar Air pada Putih Telur Asin H0 Perlakuan R R+O4 R+O6
Nilai Tengah 86,128 a 84,295 ab 81,892 b
Lampiran 15. Hasil Sidik Ragam Kadar Air pada Putih Telur Asin H15 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 1,78451 3,44511 5,22962
KT 0,89225 0,57419
F 1,55
P 0,2859
Lampiran 16. Hasil Sidik Ragam Kadar Air pada Putih Telur Asin H30 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 4,0847 12,1029 16,1876
KT 2,04233 2,01715
F 1,01
P 0,4180
Lampiran 17. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur Asin H0 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 1,87425 3,56509 5,43934
KT 0,93713 0,59418
F 1,58
P 0,2816
Lampiran 18. Hasil Sidik Ragam Uji Kadar Abu Putih Telur Asin H15 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 0,52390 1,32751 1,85141
KT 0,26195 0,22125
F 1,18
P 0,3686
Lampiran 19. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur Asin H30 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 1,97533 3,42206 5,39739
KT 0,98767 0,57034
F 1,73
P 0,2549
F 13,7
P 0,0309
Lampiran 20. Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H0 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 3 5
JK 0,09160 0,01000 0,10160
KT 0,04580 0,00333
62
Lampiran 21. Uji Tukey TPC Telur Asin H0 Perlakuan R R+O4 R+O6
Nilai Tengah 2,5100 a 2,2900 ab 2,2200 b
Lampiran 22. Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H15 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 3 5
JK 0,18120 0,72120 0,90240
KT 0,09060 0,24040
F 0,38
P 0,7145
F 1,64
P 0,3302
Lampiran 23. Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H30 Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 2 3 5
JK 0,27603 0,25245 0,52848
KT 0,13802 0,08415
Lampiran 24. Hasil Uji Friedman untuk Ranking Hedonik Atribut Sensorik Warna putih telur
Perlakuan R R+O4 R+O6
Warna kuning telur
R R+O4 R+O6
Aroma
R R+O4 R+O6
Tekstur putih telur
R R+O4 R+O6
Tekstur kuning telur
R R+O4 R+O6
Rasa putih telur
R R+O4 R+O6
Rasa kuning telur
R R+O4 R+O6
N 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,07 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,25 15 15 15 P = 0,00
Jumlah Ranking 15 36 39 18 31 41 45 26 19 25 28 37 35,5 35 19,5 29 26 35 45 23 22
63
Lampiran 25. Hasil Uji Perbandingan Berganda untuk Ranking Hedonik Atribut Sensorik Warna putih telur
Warna kuning telur
Aroma
Tekstur kuning telur
Rasa kuning telur
|Ri – Rj| R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) - (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) - (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) - (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) - (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) - (R+O6)
|Ri – Rj| ≥ Z (kn (n+1))/6 21* 24* 3tn 13tn 23* 10tn 19* 26* 7tn 0,5tn 16* 15,5* 22* 23* 1tn
Keterangan: * : Berbeda nyata pada α = 0,05 tn : Tidak nyata pada α = 0,05
Lampiran 26. Hasil Uji Kruskal Wallis untuk Mutu Hedonik Atribut Sensorik Warna putih telur
Perlakuan R R+O4 R+O6
Warna kuning telur
R R+O4 R+O6
Aroma
R R+O4 R+O6
Tekstur putih telur
R R+O4 R+O6
Tekstur kuning telur
R R+O4 R+O6
Rasa putih telur
R R+O4 R+O6
Rasa kuning telur
R R+O4 R+O6
N 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,45 15 15 15 P = 0,00 15 15 15 P = 0,26 15 15 15 P = 0,19
Rataan Ranking 8 24,1 36,9 8 23 38 32,3 19,7 16,9 26,1 21,1 21,8 15,3 21,8 31,8 19,2 23,8 26,1 18,6 24,5 25,9
64
Lampiran 27. Hasil Uji Banding Rataan Ranking untuk Mutu Hedonik Atribut Sensorik Warna putih telur
Warna kuning telur
Aroma
Tekstur kuning telur
| Ri-Rj | R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) – (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) – (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) – (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) – (R+O6)
| Ri-Rj | ≥ Z (k (N+1))/6 16,1* 28,9* 12,8* 15* 30* 15* 12,6* 15,4* 2,8tn 6,5tn 16,5* 10tn
Keterangan: * : Berbeda nyata pada α = 0,05 tn : Tidak nyata pada α = 0,05
Lampiran 28. Hasil Uji Kruskal Wallis untuk Nilai Hedonik Atribut Sensorik Warna putih telur
Perlakuan R R+O4 R+O6
Warna kuning telur
R R+O4 R+O6
Aroma
R R+O4 R+O6
Tekstur putih telur
R R+O4 R+O6
Tekstur kuning telur
R R+O4 R+O6
Rasa putih telur
R R+O4 R+O6
Rasa kuning telur
R R+O4 R+O6
N 20 20 20 P = 0,00 20 20 20 P = 0,00 20 20 20 P = 0,33 20 20 20 P = 0,98 20 20 20 P = 0,95 20 20 20 P = 0,99 20 20 20 P = 0,08
Rataan Ranking 38,9 31,3 21,4 41,9 26,3 23,4 26,1 31,5 33,9 30 30,6 31 30,7 29,6 31,3 30,6 30,1 30,8 32,2 23,9 35,5
65
Lampiran 29. Hasil Uji Banding Rataan Ranking untuk Nilai Hedonik Atribut Sensorik Warna putih telur
Warna kuning telur
| Ri-Rj | R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) - (R+O6) R – (R+O4) R – (R+O6) (R+O4) - (R+O6)
| Ri-Rj | ≥ Z (k (N+1))/6 7,6tn 17,5* 9,9tn 15,6* 18,5* 2,9tn
Keterangan: * : Berbeda nyata pada α = 0,05 tn : Tidak nyata pada α = 0,05
66