KAJIAN N TEPU UNG BU UNGKIL L BIJI K KARET T (TBBK K) Hevvea brassiliensis SEBAG GAI BAH HAN BA AKU PA AKAN BENIH B IIKAN M MAS Cyprin nus carppio Linn n
CER RRIA IN NARA
SE EKOLAH H PASCA ASARJA ANA INST TITUT PERTAN P NIAN BO OGOR BOGOR R 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) Hevea brasiliensis Sebagai Bahan Baku Pakan Benih Ikan Mas Cyprinus carpio Linn” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Cerria Inara C151080251
ABSTRACT CERRIA INARA. Aquaculture. Study of Rubber Seed Meal (Hevea brasiliensis) As Feed Ingredient for Common Carp Fry (Cyprinus carpio Linn) Diet. Under direction of M. AGUS SUPRAYUDI and NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.
This research was conducted to study rubber seed meal (Hevea brasiliensis) as a candidate of plant protein source in diet for common carp fry (Cyprinus carpio Linn). This study were divided into 2 experiments: digestibility and growth. Processed rubber seed meal (pRSM) and unprocessed (upRSM) were subjected to digestibility experiment and Cr2O3 at level of 0.05% was used as a tracer. The faeces were daily collected 30-60 minutes after feeding for 14 days. Dry matter, protein, phosphorus and calcium were used as digestibility parameters. Four treatment diets with isoprotein (30%) were used to evaluate growth performance index. Diet P1 have not contained protein come from pRSM. Diet P2 and P3 contained 50 and 75% of protein come from pRSM. Diet P4 contained 50% of protein come from upRSM. Completely randomized design with 4 treatments and 3 replicates were used to this experiment. Common carp fry 2.19 ± 0.005 g was entered to 18 aquariums at 20/aquarium and feed tested diet at satiation for 40 days of culture period. The evaluated parameter were survival rate, feed consumption, feed efficiency, relative growth, protein and lipid retention, water/lipid/glycogen liver content and hepatosomatic index, histological and haematological blood. The result showed that common carp fry relatively better digested pRSM than upRSM. Moreover, the increasing of protein percentage from pRSM until 50% resulted best growth perfomance indicator and haemotological blood parameter. It is concluded that pRSM can be used as protein source up to 50% in diet common carp fry. Key words: common carp fry, Cyprinus carpio L., rubber seed meal, processed, unprocessed.
RINGKASAN CERRIA INARA. Kajian Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) Hevea brasiliensis Sebagai Bahan Baku Pakan Benih Ikan Mas Cyprinus carpio Linn. Dibimbing oleh M. AGUS SUPRAYUDI dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO. Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan TBBK sebagai kandidat sumber protein nabati utama berbasis bahan baku lokal dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2010 yang bertempat di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Analisis kimia, histologi, gambaran darah dan kualitas air dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Laboratorium Kesehatan Ikan, Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan mas Cyprinus carpio L. ukuran 3-5 cm sebanyak 600 ekor (lebih banyak dari jumlah yang diperlukan) berukuran 2,19 ± 0,005 g. Ikan ini merupakan hasil 1 kali pemijahan dari 1 induk ikan mas Majalaya di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Benih ikan uji ditampung dalam 3 buah bak bervolume 200 l sebagai proses aklimatisasi (lingkungan dan pakan) selama 14 hari. Bahan baku pakan uji berupa 200 kg biji karet yang berasal dari perkebunan karet alam di Desa Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muara Jambi, Propinsi Jambi. Setelah dikeringkan, buah karet dipecahkan dan diambil bijinya selanjutnya diolah menjadi tepung. Proses pengurangan lemak TBBK hingga 15% menggunakan hidrolic press kemudian diekstrak dengan larutan heksan selama 1 hari 1 malam. Setelah diekstrak, TBBK direndam dalam air garam dengan dosis 10 g/100 ml air selama 12 jam dan dilanjutkan dengan perebusan terbuka selama 30 menit untuk mengurangi kandungan sianida. Penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu uji kecernaan dan uji kinerja pertumbuhan. Pakan untuk uji kecernaan menggunakan pakan rujukan dengan kadar protein 28-30%, TBBK diolah dan TBBK tidak diolah, Cr2O3 sebagai indikator dan CMC sebagai pengikat. Pakan kemudian dianalisis kandungan protein, fosfor, kalsium dan Cr2O3. Pakan untuk uji kinerja pertumbuhan menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan dengan Rancangan Acak Lengkap, sebagai berikut: (1) P1, tidak mendapat sumbangan protein dari TBBK; (2) P2, 50% protein dari TBBK diolah; (3) P3, 75% protein dari TBBK diolah; dan (4) P4, 50% protein dari TBBK tidak diolah. Sebelum pakan dibuat, bahan baku pakan dianalisis proksimat kemudian setelah pakan selesai dibuat dilakukan kembali analisis proksimat serta analisis asam aminonya menggunakan metode AOAC. Pemeliharaan ikan pada uji kecernaan menggunakan 9 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan padat penebaran sebanyak 10 ekor/akuarium. Setiap akuarium dilengkapi dengan aerator, sistem resirkulasi dan diberi penutup plastik agar ikan tidak mudah stres terhadap lingkungan sekitar. Akuarium diletakkan dalam posisi miring (menanjak bagian
atasnya yang bertujuan agar feses ikan terkumpul pada bagian dasar akuarium). Pakan diberikan secara at satiation (sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 14 hari masa pemeliharaan. Pada hari ke-3, feses ikan diambil 30-60 menit setelah pemberian pakan. Feses tersebut disipon dari bagian dasar akuarium kemudian ditampung dalam botol film yang selanjutnya dilakukan analisis kandungan Cr2O3, protein, fosfor dan kalsium. Pemeliharaan ikan pada uji kinerja pertumbuhan menggunakan 18 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan padat penebaran sebanyak 20 ekor/akuarium. Pakan diberikan secara at satiation (sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 40 hari masa pemeliharaan. Jumlah pakan yang diberikan dihitung dengan cara menimbang pakan pada pagi hari dan sisa pakan pada sore hari. Ikan yang mati hingga hari kedua diganti sesuai dengan bobotnya dan setelah itu ikan yang mati ditimbang bobotnya. Pada awal dan akhir pemeliharaan, dilakukan analisis proksimat tubuh ikan uji sedangkan untuk menjaga kualitas air agar tetap baik, feses ikan disipon pada pagi dan sore hari. Selama masa pemeliharaan, nilai kualitas air yang meliputi suhu air berkisar antara 26-27oC, pH 7, DO 4,75-4,95 mg/L dan ammonia-N (NH3-N) 0,93-1,34 mg/l. Pada akhir masa pemeliharaan, ikan dipuasakan selama 1 hari kemudian ditimbang bobotnya dan beberapa ekor ikan dari setiap perlakuan diambil untuk analisis kadar air, lemak, glikogen hati dan nilai HSI; serta gambaran darah dan histologi. Proses pengolahan TBBK dengan cara pengurangan lemak mampu meningkatkan kecernaan total dan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%. Nilai tingkat kelangsungan hidup (TKH) benih ikan mas pada berbagai perlakuan pakan tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar 83,33-86,67%. Perlakuan P1 memberikan nilai jumlah konsumsi pakan (JKP) tertinggi sebesar 165,43 g dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 131,93 g. Perlakuan P1 dan P2 memberikan efisisensi pakan (EP) yang tidak berbeda nyata (p>0,05) berkisar 81,72-84,57% dan mencapai nilai terendah pada perlakuan P4 sebesar 65,24%. Nilai retensi protein (RP) pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar 37,12-37,94% kemudian menurun pada perlakuan P3 dan P4 (p<0,05), berkisar 19,64-26,03%. Nilai retensi lemak (RL) tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (45,67%) dan nilai terendah pada perlakuan P1 sebesar 41,74%. Kadar air hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 77,24% dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 71,72%. Kadar lemak hati tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar 12,16% dan terendah pada perlakuan P1 sebesar 9,33%, Nilai glikogen hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,105% dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 0,022%. Hasil pengukuran nilai hepatosomatik indeks (HSI) menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,05 dan terendah pada perlakuan P3 dan P4 sebesar 0,02 Jumlah sel darah merah (SDM) tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 149,01x104 sel/mm3 dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 120,51x104 sel/mm3 sedangkan jumlah sel darah putih (SDP) tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar 100,41x104 sel/mm3 dan terendah pada perlakuan P1 sebesar 97,36x104 sel/mm3.
Jumlah hemoglobin (Hb) terendah terdapat pada perlakuan P4 sebesar 5,24 g % dan tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 5,84 g % dan jumlah hematokrit (Ht) terendah terdapat pada perlakuan P1 sebesar 20,63% dan tertinggi pada perlakuan P4 sebesar 22,84%. Hasil pengamatan histologi usus bagian depan benih ikan mas pada perlakuan P1 hingga P3 menunjukkan bahwa tidak terdapat kelainan spesifik tetapi pada perlakuan P4 menunjukkan adanya nekrosis dan desquamasi epitel villi mukosa. Begitu pula pengamatan histologi usus bagian belakang pada perlakuan P1 hingga P3 menunjukkan bahwa tidak terdapat kelainan spesifik namun terdapat nekrosis, infiltrasi sel mononuklear dan desquamasi epitel villi mukosa pada perlakuan P4. Pada organ ginjal perlakuan P1 terjadi protein cast, nekrosis pada tubulus dan hemoraghi ringan, begitu pula pada perlakuan P2 terjadi protein cast serta hemoraghi ringan. Pada perlakuan P3 terjadi protein cast, hemoraghi dan infiltrasi sel mononuklear serta pada perlakuan P4 terjadi hemoraghi, nekrosis interstitialis dan infiltasi sel mononuklear. Selanjutnya pada otot perlakuan P1 dan P2 tidak terdapat kelainan spesifik hanya saja pada perlakuan P3 dan P4 terjadi hyperemia sedangkan pada organ hati perlakuan P1 hingga P3 terjadi vakuolisasi sel hati dan pada perlakuan P4 selain terjadi vakuolisasi hati juga terjadi degenerasi sel epitel hati. Pemberian TBBK yang diolah memberikan gambaran yang lebih baik berdasarkan sistem pencernaan dan kecernaan ikan, gambaran darah, metabolisme maupun struktur organ dibandingkan TBBK tidak diolah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa TBBK dapat menggantikan peranan tepung bungkil kedelai sebagai sumber protein nabati utama hingga 50% dari total protein pakan pada benih ikan mas Cyprinus carpio L. KATA KUNCI: benih ikan mas, Cyprinus carpio L., tepung biji karet, diolah, tidak diolah.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Dedy Yaniharto, M.Sc.
KAJIAN N TEPU UNG BUN NGKIL BIJI KA ARET (T TBBK) Hevvea brasiiliensis SEBAGA S AI BAHA AN BAK KU PA AKAN BE ENIH IK KAN MA AS Cyprinu us carpioo Linn
Tesis Sebagaii salah satu syarat s untuk memperolehh gelar Magiister Sains pada p Program Studii/Mayor Ilmuu Akuakultuur
CERR RIA INA ARA
SEK KOLAH PASCA ASARJAN NA INSTIITUT PE ERTANIIAN BOGOR B BOGOR R 2011
Judul Penelitian
: KAJIAN TEPUNG BUNGKIL BIJI KARET (TBBK) Hevea
brasiliensis
SEBAGAI
BAHAN
BAKU
PAKAN BENIH IKAN MAS Cyprinus carpio Linn Nama
: Cerria Inara
NRP
: C151080251
Program Studi/Mayor
: Ilmu Akuakultur
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Agus Suprayudi, M.Si Ketua
Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 4 April 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu memberikan berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Kajian Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) Hevea brasiliensis Sebagai Bahan Baku Pakan Benih Ikan Mas Cyprinus carpio Linn”, yang dilaksanakan sejak Oktober-Desember 2010. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. M. Agus Suprayudi, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Ir. Dedy Yaniharto, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan dedikasi yang tinggi berupa arahan, bimbingan serta masukan kepada penulis. 2. Kedua orang tua tercinta, Sandin Sidar Antang dan Rayawaty Thius Narang atas segala doa, kesabaran, motivasi serta kasih sayangnya. Kakak-kakakku terkasih Robby Hendra Cyptha, SP dan Arice Sandrayathi, AP, M.Si serta Bryan Marako, S.Sn dan Nellyana, S.STP, M.Si yang telah memberikan dukungan serta nasehatnya. 3. Keluarga Besar Raya Catering dan CV. Inaraya atas segala doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis tiada henti. 4. Seluruh rekan-rekan Ilmu Akuakultur 2008 dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas persaudaraan dan kebersamaannya selama ini. 5. Seluruh staf pengajar, pegawai, laboran, teknisi lapangan, pegawai perpustakaan, petugas keamanan, petugas kebersihan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bantuan serta dedikasinya kepada penulis dalam membantu menyelesaikan karya ilmiah ini. 6. Keluarga Besar Unitly-Silahooy atas kasih sayang, motivasi serta doa yang tiada henti diberikan kepada penulis. Terkhususnya kepada Saudara Adrien Jems Akiles Unitly S.Si, M.Si yang telah memberikan kasih sayang, doa, motivasi dan selalu setia menemani sebagai seorang kakak dan sahabat terbaik bagi penulis. God bless you. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, April 2011 Cerria Inara
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 15 Juni 1985 dari ayah Sandin Sidar Antang dan ibu Rayawaty Thius Narang. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Palangka Raya. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi/Mayor Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja pada CV. Inaraya sejak tahun 2004 hingga sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------------ii DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------------iii DAFTAR LAMPIRAN -------------------------------------------------------------------iv PENDAHULUAN -----------------------------------------------------------------------Latar Belakang ---------------------------------------------------------------------Perumusan Masalah ----------------------------------------------------------------Tujuan dan Manfaat Penelitian --------------------------------------------------Hipotesis -------------------------------------------------------------------------------
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ----------------------------------------------------------------Kebutuhan Nutrisi Ikan ------------------------------------------------------------Sistem Pencernaan Ikan ------------------------------------------------------------Kecernaan Ikan ----------------------------------------------------------------------Sumber Protein Nabati Pakan ------------------------------------------------------Tepung Ikan (TI) --------------------------------------------------------------------Tepung Bungkil Kedelai/Soybean Meal (SBM) --------------------------------Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) ----------------------------------------------Gambaran Darah Ikan dan Histologi -----------------------------------------------
4 4 5 8 9 10 11 12 17
METODOLOGI -------------------------------------------------------------------------Waktu dan Tempat ------------------------------------------------------------------Ikan Uji -----------------------------------------------------------------------------Persiapan Bahan Baku Biji Karet -------------------------------------------------Pakan Uji -----------------------------------------------------------------------------Rancangan Percobaan --------------------------------------------------------------Pemeliharaan Ikan ------------------------------------------------------------------Parameter yang Dievaluasi ---------------------------------------------------------Analisis Kimia -----------------------------------------------------------------------Analisis Statistik ----------------------------------------------------------------------
20 20 20 20 21 22 22 23 26 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ---------------------------------------------------------Hasil ----------------------------------------------------------------------------------Pembahasan ---------------------------------------------------------------------------
28 28 31
SIMPULAN DAN SARAN -------------------------------------------------------------Simpulan -----------------------------------------------------------------------------Saran -----------------------------------------------------------------------------------
41 41 41
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------------LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------------------------
43 53
i
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Komposisi asam amino esensial TI (gr/100 gr protein) -------------------------
10
2.
Komposisi proksimat SBM----------------------------------------------------------
11
3.
Komposisi asam amino esensial SBM (%) ----------------------------------------
11
4.
Komposisi proksimat daging biji karet dari kebun yang tidak terpelihara dan cangkang --------------------------------------------------------------------------
5.
Komposisi proksimat daging biji karet dari kebun yang terpelihara dan cangkang -----------------------------------------------------------------------------
6.
12
13
Kandungan nutrisi tepung bungkil biji karet (TBBK) dan tepung fermentasi biji karet (TFBK) --------------------------------------------------------
13
7.
Komposisi kimia TBBK tidak diolah dan TBBK diolah ------------------------
20
8.
Pakan uji kecernaan (%) -------------------------------------------------------------
21
9.
Pakan uji kinerja pertumbuhan------------------------------------------------------
21
10.
Kecernaan TBBK diolah dan tidak diolah pada benih ikan mas ---------------
28
11.
Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) --------------------------------------------------------------------
28
12.
Kadar air, lemak, glikogen hati (%) dan nilai HSI -------------------------------
29
13.
Gambaran darah
benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai
perlakuan pakan -----------------------------------------------------------------------
30
14.
Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ tubuh-------------------------
30
15.
Unsur asam amino dalam tubuh ikan dan pakan perlakuan ---------------------
33
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Ikan mas ---------------------------------------------------------------------------------
7
2. Tanaman karet --------------------------------------------------------------------------
12
3. Proses terbentuknya HCN dari glukosida -------------------------------------------
14
4. Unsur asam amino pada tubuh ikan dan pakan perlakuan ------------------------
34
5. Pembuatan preparat ulas darah -------------------------------------------------------
68
6. Perhitungan kadar hematokrit ---------------------------------------------------------
70
7. Hasil pengamatan histologi usus bagian depan--------------------------------------
71
8. Hasil pengamatan histologi usus bagian belakang ---------------------------------
72
9. Hasil pengamatan histologi ginjal ----------------------------------------------------
73
10. Hasil pengamatan histologi otot -------------------------------------------------------
74
11. Hasil pengamatan histologi hati ------------------------------------------------------
75
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Prosedur analisis proksimat dan kecernaan pada pakan dan feses ----------
2.
Analisis proksimat bahan pakan yang digunakan dalam penelitian (% bobot kering) -----------------------------------------------------------------------
3.
61
Kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium TBBK diolah dan TBBK tidak diolah -------------------------------------------------------------------------
4.
55
62
Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) ------------------------------------------------------------------
5.
63
Retensi protein dan lemak benih ikan mas Cyprinus carpio L. yang diberi pakan uji kinerja pertumbuhan selama 40 hari masa pemeliharaan --
64
6.
Kadar air, lemak, glikogen hati dan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) ----
66
7.
Gambaran darah benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai perlakuan pakan --------------------------------------------------------------------
67
8.
Hasil pengamatan histologi pada berbagai organ benih ikan mas -----------
71
9.
Analisis statistik --------------------------------------------------------------------
77
iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ikan mas Cyprinus carpio Linn merupakan salah satu jenis ikan air tawar dan banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Data produksi ikan mas pada tahun 2005 sebanyak 216.920 ton meningkat pada tahun 2009 sebanyak 446.800 ton dengan wadah budidaya berupa kolam, keramba, waduk dan sawah. Ciamis, Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Garut, Bandung, Cianjur, Purwakarta merupakan daerah pusat produksinya (DKP 2009). Produksi perikanan dunia tahun 2010 berada pada angka 144 juta ton masing-masing dari perikanan tangkap sebesar 105 juta ton (63%) sedangkan sisanya berasal dari budidaya sebesar 39 juta ton (37%) dengan jumlah yang dikonsumsi oleh manusia sebesar 114 juta ton (FAO Fishery Statistics 2010). Dalam usaha budidaya ikan air tawar, biaya pakan sangat mempengaruhi biayabiaya produksi. Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan koefisien teknis budidaya (efisiensi pakan, laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup). Biaya pakan ikan menempati biaya produksi tertinggi dalam kegiatan budidaya yaitu 70-89% dari total biaya produksi (Suprayudi 2010). Sumber protein utama dalam pakan adalah tepung ikan dan tepung bungkil kedelai. Tepung ikan mengandung protein sebesar 60-70% serta memiliki kecernaan yang baik sebesar 80-90% (Lovell 1989) dan menurut Halver (1972), bahwa tepung kedelai memiliki protein sebesar 40-50,3%. Saat ini terjadi peningkatan harga tepung ikan dari US$ 1.200/ton menjadi US$ 2.000/ton. Selain itu beberapa bahan baku pakan lainnya seperti tepung kedelai serta tepung tulang dan daging/meat and bone meal (MBM) juga mengalami peningkatan harga (Indradjaja 2010). Kenaikan harga bahan baku sebesar 2-2,5 kali lipat ini secara tidak langsung meningkatkan harga pakan namun harga ikan budidaya itu sendiri khususnya ikan air tawar tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, agar keuntungan para petani ikan dapat dipertahankan maka untuk menekan harga pakan perlu dicari alternatif sumber protein yang tidak tergantung impor, ketersediaannya melimpah serta tidak
2
berkompetisi dengan manusia. Salah satu kandidatnya adalah tepung bungkil biji karet (TBBK). TBBK dihasilkan dari biji tanaman karet yang merupakan tanaman perkebunan yang paling banyak ditanam di Indonesia. Indonesia memiliki lahan perkebunan karet paling luas di dunia, yaitu 3,3 juta Ha dan 85% diantaranya merupakan perkebunan rakyat (Apriyantono 2007). Menurut Hariyono (1996), bahwa dalam 1 Ha dapat menghasilkan biji karet sebanyak 0,8-1,2 ton/tahun sehingga produksi biji karet setiap tahunnya sebesar 2,7-4,1 juta ton. Menurut Oyewusi et al. (2007), bahwa biji karet mengandung 10-22% protein dan dalam bentuk bungkilnya mengandung 33-40% protein. Uji coba penggunaan TBBK sebagai bahan baku pakan pada ternak telah dilakukan pada ayam pedaging strain CP 707 hingga 19% (Arossi et al. 1985 dalam Prawirodigdo 2009), 20% fermentasi menggunakan ragi tempe dan oncom pada ayam broiler (Mulyati 2003) dan 10% pada hewan babi (Madubuike et al. 2006). Pemanfaatan TBBK pada organisme akuatik pernah dilakukan dengan menggantikan protein tepung jagung sekitar 10-20% pada lele hibrid (Eyo dan Ezechi 2004). Pada umumnya pemanfaatan protein nabati dihadapkan pada 2 kendala utama, yaitu kandungan zat anti nutrisi serta kurangnya 1-2 asam amino essensial. Menurut Soltan et al. (2008), bahwa substitusi menggunakan tepung protein asal tanaman seperti jenis leguminosa (kelor dan lamtoro), daun-daunan (mulberry leaf) dan bijibijian (biji kapas dan biji daun matahari) memiliki kendala seperti zat anti nutrisi yang cukup tinggi dan ketersediaan asam amino lisin dan methionin yang sangat rendah. Menurut Siahaan (2009), bahwa biji karet mengandung sianida sebesar 330 mg/100 g dan lemak sebesar 32,30%.
Perumusan Masalah Biji karet mengandung zat anti nutrisi berupa sianida (HCN). Sianida dalam pencernaan mudah diabsorsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati, ginjal dan otak. Sianida ini mampu mengikat hemoglobin menjadi cyanohemoglobin dengan gejala terjadinya kesulitan bernafas akibat adanya pemblokan dalam pengambilan dan
3
penggunaan oksigen (Bahri 1987). Pada dosis rendah, sianida tidak menimbulkan kematian tetapi ikan yang terus menerus teracuni misalnya karena mengkonsumsi pakan yang mengandung sianida dapat menyebabkan diare (Eisler 1991). Selain itu, TBBK memiliki kandungan lemak yang sangat tinggi mencapai hingga 50% bahan. Melihat informasi inilah maka penelitian ini dilakukan agar peranan penting protein TBBK dalam pakan ikan dapat dikaji dengan baik.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan TBBK sebagai kandidat sumber protein nabati utama berbasis bahan baku lokal dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, sebagai berikut: Ho : TBBK diolah dan TBBK tidak diolah dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada dosis tertentu tidak berpengaruh negatif terhadap sistem pencernaan dan kecernaan ikan, gambaran darah, metabolisme dan kerusakan struktur organ. Hi : TBBK diolah dan TBBK tidak diolah dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada dosis tertentu berpengaruh negatif terhadap sistem pencernaan dan kecernaan ikan, gambaran darah, metabolisme dan kerusakan struktur organ.
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Nutrisi Ikan Penyusunan pakan ikan yang dapat memenuhi kebutuhan standar maupun produksi didukung oleh pemenuhan sumber protein dan energinya. Protein dalam pakan sangat efisien sebagai sumber energi yang akan diserap dan dimanfaatkan untuk membangun atau memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Apabila pemenuhan protein dalam pakan kurang maka protein dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan untuk mempertahankan fungsi jaringan yang lebih penting. Sebaliknya bila ketersediaannya berlebihan maka protein tersebut tidak tergunakan dan dalam sintesisnya akan dikatabolisme dan buangan berupa nitrogen terutama amonia akan disekresikan ke perairan yang dapat membahayakan kehidupan ikan. Oleh karena itu pemberian protein yang cukup dalam pakan secara terus menerus perlu dilakukan agar pakan tersebut dapat diubah menjadi protein tubuh secara efisien (NRC 1983). Menurut Webster dan Lim (2002), bahwa kebutuhan protein harian untuk maintanance ikan mas adalah 1 g/kg berat badan sedangkan untuk memperoleh retensi protein optimal pada tubuhnya membutuhkan protein 12 g/kg berat badan. Protein yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan adalah 7-8 g/berat badan/hari. Kebutuhan ikan terhadap protein dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis ikan, umur ikan, ukuran ikan, kualitas protein, pakan, kecernaan pakan dan kondisi lingkungan. Pemenuhan asam amino esensial yang wajib ada pada komposisi pakan ikan adalah lisin. Kandungan nutrisi ikan mas yang baik untuk protein adalah 3038%, kandungan lemak 4-15%, dan karbohidrat 30-40% (Furuichi 1988). Kebutuhan energi ikan dalam pakan lebih rendah daripada hewan darat. Ikan mempunyai kebutuhan energi lebih rendah karena ikan tidak mempertahankan suhu tubuh secara tetap dan ikan relatif memerlukan energi yang kurang untuk mempertahankan posisi dan bergerak dalam air dibandingkan mamalia dan burung. Pakan yang dikonsumsi ikan akan menyediakan energi yang sebagian besar digunakan untuk metabolisme yang meliputi energi untuk beraktivitas, energi untuk pencernaan makanan dan energi untuk pertumbuhan sedangkan sebagian lainnya
5
dikeluarkan dalam bentuk feses dan bahan ekskresi lainnya (Webster dan Lim 2002). Sumber energi lain yang berperan selain karbohidrat adalah lemak. Lemak mempunyai peranan penting bagi ikan karena berfungsi sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam penyerapan vitamin yang larut dalam lemak serta untuk mempertahankan daya apung tubuh (NRC 1993). Menurut Furuichi (1988), bahwa kadar optimum karbohidrat pakan untuk golongan ikan karnivora adalah 10-20% dan golongan omnivora adalah 30-40%. Karbohidrat dalam pakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme basal dan maintenance sedangkan protein pakan dapat dipergunakan sepenuhnya untuk pertumbuhan. Kebutuhan vitamin dan mineral pada pakan ikan mas, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ukuran ikan, temperatur media pemeliharaan dan komposisi pakan. Pada pembuatan pakan komersial, pemberian vitamin dan mineral dapat dilebihkan menjadi 2-5 kali dari kebutuhan dasar. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan pelet, mengalami teknik extrution yang menggunakan suhu tinggi sehingga memungkinkan vitamin dan mineral rusak dan larut (Takeuchi et al. 2002).
Sistem Percernaan Ikan Pencernaan Ikan Pencernaan merupakan proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih kecil, yaitu hidrolisa protein menjadi asam amino atau polipeptida sederhana dan karbohidrat menjadi gula sederhana serta dari lipid menjadi gliserol dan asam lemak. Proses pemecahan senyawa tersebut menghasilkan energi yang penting bagi kebutuhan sel, jaringan, organ dan makhluk hidup. Dalam proses pencernaan pakan melibatkan beberapa komponen, yaitu: bahan yang dicerna (pakan); struktur alat/saluran pencernaan (usus) sebagai tempat pencernaan dan penyerapan nutrien; dan cairan digestif (enzim: protease, lipase dan amilase) yang disekresikan oleh kelenjar pencernaan (hati dan pankreas) serta dinding usus. Kinerja proses pencernaan dan penyerapan pakan inilah yang mempengaruhi ketersediaan
6
nutrien dan energi untuk metabolisme sehingga berpengaruh bagi pertumbuhan (Mohanta et al. 2007).
Alat Pencernaan Saluran pencernaan ikan mas meliputi segmen-segmen yang meliputi mulut, rongga mulut, faring, esophagus, pylorus, usus, rektum dan anus. Ikan mas dapat memakan plankton maupun invertebrata kecil. Atas dasar inilah maka dapat dikatakan bahwa ikan mas merupakan ikan omnivora yang cenderung herbivora. Keadaan usus yang sangat panjang pada ikan herbivora merupakan kompensasi terhadap kondisi makanan yang memiliki kadar serat yang tinggi sehingga memerlukan pencernaan lebih lama. Hal ini dapat dibuktikan melalui pengamatan pada organ dalam ikan mas yang tidak ditemukan adanya lambung tetapi bagian depan usus halus terlihat membesar yang lebih dikenal dengan istilah “lambung palsu”. Ikan mas memilki panjang usus yang melebihi panjang tubuh ikan. Pada pengukuran yang telah dilakukan diketahui bahwa tubuh ikan mas yang digunakan memiliki panjang baku 19 cm sedangkan panjang ususnya mencapai 50 cm atau hampir tiga kali lipat dari panjang tubuhnya. Usus yang panjang tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil hidrolisis makromolekul makanan secara maksimal (Affandi dan Tang 2002).
Kelenjar Pencernaan Kelenjar pencernaan pada ikan mas terdiri dari hati dan pankreas (Hidayati 2007). Hati merupakan organ penting yang mensekresikan bahan untuk proses pencernaan. Organ ini merupakan suatu kelenjar yang kompak, berwarna merah kecoklatan. Posisi hati terletak pada rongga bawah tubuh, di belakang jantung dan di sekitar usus depan. Pada bagian sekitar hati terdapat organ berbentuk kantung bulat kecil, oval atau memanjang dan berwarna hijau kebiru-biruan, yang disebut kantung empedu yang berfungsi untuk menampung cairan empedu. Organ hati tersusun oleh sel-sel hati (hepatosit) dan di antara sel-sel tersebut banyak dijumpai kapiler-kapiler darah dengan limpe sinusoid.
7
Pankreeas merupak kan organ yaang mensekrresikan bahaan (enzim) ddan bikarbonnat yang y berperran dalam proses p penceernaan. Sec ara anatomii-histologis, pankreas aada yang y berbentuk kompak dan ada yang difffus (menyeebar) di anntara sel hhati (hepatopank ( kreas). Letak k pankreas berdekatann dengan ussus depan sebab salurran pankreatik p bermuara b di usus u depan. Secara sitoloogi, pankreaas memiliki 2 tipe yaitu ssel eksokrin e daan sel endo okrin. Hasill utama daari pankreass eksokrin adalah enzim pencernaan, p yaitu enzim m protease, amilase, khiitinase dan lipase. Pankkreas endokrrin (pulau-pulau ( u langerhanss) merupakaan kelompokk sel yang aada di antaraa sel eksokrrin. Oleh O karenaa sel-sel terssebut merupaakan sel pennghasil horm mon yang poosisinya selaalu berhubungan b n dengan kap piler darah (Affandi ( dann Tang 2002)).
Enzim E Penccernaan Ika an Enzim m merupakan n katalisator biologis yanng dihasilkaan oleh sel m makhluk hiddup untuk u memb bantu proses biokimia. Menurut M Mohhanta et al. ((2007), bahw wa enzim yaang paling p bany yak berperan n dalam hidrolisis karrbohidrat yaaitu amilasee seperti yaang ditunjukkan d oleh ikan mas. m Helver (2002), mennyatakan baahwa pada ikkan herbivoora, aktivitas a enzzim amilase lebih tinggii daripada prrotease dan lipase. Kebeeradaan enzzim dalam d makanan akan meeningkatkan daya cerna ikan terhadaap bahan maakanan.
Gam mbar 1. Ikan maas (http://wb3.iitrademarket.coompdimage.jpgg)
8
Menurut Murni (2004), bahwa enzim berperan dalam mengubah laju reaksi sehingga kecepatan reaksi yang diperlihatkan dapat dijadikan ukuran keaktifan enzim. Beberapa peneliti mendapatkan enzim amilase, maltase dan sakharase pada ekstrak hati, pankreas, esofagus dan usus ikan mas. Amilase ditemukan pada seluruh jenis ikan dan pada ikan air tawar ditemukan di sepanjang saluran pencernaan walaupun aktivitasnya berkurang pada usus bagian belakang. Aktivitas amilase pada ekstrak hati dan pankreas ikan mas sebesar 5,8 dan aktivitas tripsin sebesar 1,7 (Kapoor et al. 1976). Pakan dicerna secara optimal dengan bantuan enzim dalam pakan dan saluran pencernaan ikan sehingga energi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan ikan (Wirawati 2002).
Kecernaan Ikan Kecernaan merupakan kombinasi mekanik dan kimia pada proses penghancuran pakan menjadi bentuk yang lebih sederhana yang siap diserap oleh dinding usus dan masuk ke dalam sistem pembuluh darah melalui proses menggunakan enzim. Nilai kecernaan adalah ukuran relatif untuk sebuah pakan yang tercerna maupun yang dimetabolis oleh ikan (NRC 1983). Kemampuan cerna ikan terhadap suatu pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat kimia air, suhu air, jenis pakan, ukuran dan umur ikan, kandungan nutrisi pakan, frekuensi pemberian pakan serta jumlah dan macam enzim pencernaan yang terdapat dalam saluran pencernaan pakan (NRC 1977). Nutrien dari bahan yang berbeda mungkin dicerna dengan tingkat yang berbeda. Hal ini berhubungan dengan sumber dan komposisi bahan-bahan makanan. Pakan yang berasal dari bahan nabati biasanya lebih sedikit dicerna dibanding dengan bahan hewani karena bahan nabati umumnya memiliki serat kasar yang sulit dicerna dan mempunyai dinding sel kuat yang sulit dipecahkan (Hepher 1988). Kecernaan pakan juga dipengaruhi oleh proses dan metode pengolahan bahan-bahan tersebut, sebab ada beberapa bahan makanan yang perlu melalui penanganan khusus karena adanya zat inhibitor dalam bahan makanan tersebut. Menurut Mokoginta (1997), bahwa perbedaan komposisi bahan dan zat makanan dalam pakan dapat mempengaruhi kecernaan protein dan total pakan tersebut.
9
Analisa kecernaan pakan dapat dilakukan dengan mengumpulkan feses. Ketika pakan melalui saluran pencernaan, tidak semua pakan dicerna dan diserap. Bagian yang tidak dicerna dibuang dalam bentuk feses (Hepher 1988). Kecernaan pakan dan nutrien dapat ditentukan dengan menggunakan indikator yang mempunyai sifat mudah diindentifikasi atau tidak diserap sehingga dapat melewati saluran pencernaan. Bahan kromium (Cr2O3) dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan kecernaan pakan dengan asumsi semua khrom trioksida melalui sistem pencernaan dan terlihat dalam feses (NRC 1983). Menurut Watanabe dan Pongmaneerat (1988), menyatakan bahwa Cr2O3 yang digunakan pada penentuan kecernaan ikan adalah 0,51,0%.
Sumber Protein Nabati Pakan Pemenuhan nutrisi pada ikan terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral serta energi untuk melakukan aktivitas. Kebutuhan nutrisi ini dapat diperoleh dari bahan baku penyusun pakan ikan. Bahan baku pakan ini biasanya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu bahan baku yang berasal dari hewan (hewani) dan tumbuhan (nabati) (NRC 1977). Protein dibutuhkan secara terus menerus oleh ikan untuk membentuk jaringan baru (pertumbuhan dan reproduksi) atau untuk mengganti protein yang hilang (pemeliharaan). Ketidakcukupan protein dalam makanan akan menghambat pertumbuhan atau hilangnya bobot badan karena diambilnya protein dari jaringan yang kurang penting untuk memelihara jaringan yang lebih penting sedangkan jika protein terlalu banyak maka hanya sebagian kecil yang akan digunakan untuk membuat protein baru dan sisanya akan dikonversi menjadi energi. Hal ini berarti pemanfaatan protein untuk pertumbuhan menjadi tidak efisien (Halver 1972). Salah satu kandidat pengganti tepung bungkil kedelai sebagai sumber protein nabati dalam pakan adalah dengan memanfaatkan tepung bungkil biji karet (TBBK). Hanya saja subtitusi sumber protein nabati tidaklah selalu berhasil akibat rendahnya palatabilitas pakan, pertumbuhan serta efisiensi pakan (Burel et al. 1998 dalam Jobling et al. 2002). Faktor-faktor penghambat dipengaruhi oleh keseimbangan asam
10
amino esensial, ketersediaan nutrisi, ketersediaan fosfor yang rendah serta dampak dari metabolisme Antinutritional Factor/ANFs (Medale et al. 1998; Alarcon 1999 dalam Jobling et al. 2002). Beberapa protein nabati mempunyai kekurangan satu atau lebih asam amino esensial sehingga ketersediaannya harus tetap diperhatikan. Hal ini bertujuan agar kandungan asam amino yang diberikan dalam pakan dapat mendekati kebutuhan asam amino esensial ikan (Jobling et al. 2002).
Tepung Ikan (TI) TI merupakan sumber protein dalam pakan buatan yang dapat digunakan secara efisien (Rumsey 1993). Menurut Lovell (1989), bahwa TI memiliki protein 60-70% yang hampir 80-90% dapat dicerna oleh ikan serta memiliki lisin dan metionin yang tinggi. Tabel 1. Komposisi asam amino esensial TI (gr/100 gr protein) Asam Amino Esenssial TI Berwarna Putih 6,25 Arginin 2,05 Histidin 4,28 Isoleusin 7,61 Leusin 8,43 Lisin 2,96 Metionin 4,01 Fenilalanin 4,31 Threonin 6,43 Glisin 5,07 Valin 3,45 Tirosin 6,21 Alanin 9,54 Asam Aspartat 13,72 Asam Glutamat 4,46 Serin
TI Berwarna Coklat 6,20 3,50 3,00 6,00 8,70 2,10 4,40 2,50 6,20 3,50 1,40 5,50 6,20 10,40 2,50
Sumber: (Watanabe dan Pongmaneerat 1988)
Sebagian besar TI komersial merupakan produk dari berbagai jenis ikan yang berkualitas dan mengandung sedikit lemak seperti ikan haring dan teri. Dalam pemberian pakan ada 2 jenis TI yang dapat digunakan, yaitu TI berwarna putih dan TI berwarna coklat. TI berwarna putih memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi
11
dibandingkan dengan TI berwarna coklat tetapi harganya jauh lebih tinggi (Wiramiharja et al. 2007).
Tepung Bungkil Kedelai/Soybean Meal (SBM) SBM memiliki kandungan protein dan asam amino esensial yang lebih baik dibandingakan protein nabati lain (Watanabe dan Pongmaneerat 1988). Menurut Furuichi (1988), bahwa SBM memiliki ketersediaan asam amino esensial yang cukup bagi pertumbuhan ikan namun kekurangan metionin dan lisin. Tabel 2. Komposisi proksimat SBM Komposisi Proksimat Air Abu Protein Lemak Serat Kasar BETN
Kandungan (%) 10,57 6,95 35,21 3,12 10,57 33,58
Sumber: Hasil analisa (Abidin 2006)
Tabel 3. Komposisi asam amino esensial SBM (%) Asam Amino Esensial Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Threonin Trytophan Valin
SBM 7,15 1,93 4,66 8,22 6,28 1,29 5,33 4,09 0,49 4,42
Sumber: Yamamoto et al. (1994)
SBM memiliki makromineral dan mikromineral yang rendah termasuk fosfor jika dibandingkan dengan tepung ikan (NRC 1983). Selain itu SBM merupakan sumber vitamin B (Hertrampf dan Felicitas 2000; Bureue 2005; Cheng et al. 2003). Tingkat kecernaan energi SBM pada umumnya berkisar 2.572-3.340 kkal/kg (10,8-
12
14,0 MJ/kg). M Padaa ikan channel catfish tin ngkat kecernnaan protein kasar sebesaar 81,8% dengan n tingkat keccernaan enerrgi sebesar 51,4% 5 (Hertrrampf dan Felicitas 20000).
Tepun ng Bungkil Biji Karet ((TBBK) Kandu ungan Nutrrisi TBBK Biji B karet teerdiri atas kulit k yang keras k dan 57% daging biji dari boobot biji keselu uruhan (Arito onang 1988)).
Gam mbar 2. Tanamaan karet (www w.platanum.com m)
Tabel 4. 4 Komposissi proksimat daging biji karet dari kkebun yang tidak terpeliihara dan cangkang Parameter P (% %) Bijji Segar (%) Biji Kerring (%) C Cangkang (% %) Air 35,48 7,885 * Lemak 41,00 44,,50 0,48 Protein 16,49 * 17,,86 Serat 9,39 * 10,,16 Abu 3,25 * 2,996 pH * * 6,447 Keteran ngan: * = tidak k dianalisis Sumberr: Siahaan (200 09)
Biji B karet merupakan m limbah l indu ustri minyakk biji karett dengan peersentase sebesaar 55-56% daari daging biji dan 60% dari hasil peenggilingan sederhana (Ong dan Yeong g 1977).
13
Tabel 5. Komposisi proksimat daging biji karet dari kebun yang terpelihara dan cangkang Parameter (%) Biji Segar (%) Biji Kering (%) Cangkang (%) Air 36,64 4,41 * Lemak 45,29 47,38 0,49 Protein 18,12 18,20 * Serat 15,37 16,08 * Abu 2,67 2,79 * pH * 5,32 * Keterangan: * = tidak dianalisis Sumber: Siahaan (2009)
Hasil analisa proksimat dan komposisi asam amino pada tepung bungkil biji karet (TBBK) dan tepung fermentasi biji karet (TFBK) dari beberapa penelitian tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan nutrisi tepung biji karet (TBBK) dan tepung fermentasi biji karet (TFBK) Kandungan Komponen TBBK TFBK 1 2 3 4 5 Energi metabolis (kkal/kg) 2.550,00 Berat kering (%) 92,00 94,11 90,00-95,00 91,50 31,39 Protein (%) 25,10 26,70 25,00-33,00 33,20 33,40 Serat kasar (%) 15,40 12,30 4,40-17,60 4,60 14,17 Lemak (%) 11,60 8,20 4,70 8,50 11,34 Abu (%) 4,60 4,49 4,50-6,50 5,30 6,19 BETN (%) 35,30 4,49 24,00-45,00 45,30 34,90 Ca (%) 0,30 0,09 0,30-0,43 0,88 0,42 P (%) 0,63 0,29 0,29-0,90 0,94 0,66 Metionin 0,28 0,20-0,30 0,18 Lisin 0,70 0,40-0,70 1,65 Arginin 1,98 1,50-1,90 3,14 Tritophan Leusin 1,40 0,80-1,10 2,12 Sistin 0,57 0,20-0,60 0,57 Sumber: 1. Ong dan Yeong (1977) 2. Toh dan Chia (1977) 3. Aritonang (1988) 4. Karosii et al. (1985) 5. Rachmawan (2001)
14
Zat Anti Nutrisi pada TBBK Menurut Rachmawan (2001), menyatakan bahwa faktor zat anti nutrisi dalam biji karet adalah “sianogenik glukosida” yang disebut linamarin. Linamarin mengurai bersama dengan enzim linamarase (β-glukosidase) dan hidroksinitrilliase menjadi sianida (HCN). Enzim linamarase (β-glukosidase) dan hidroksinitrilliase terletak di sitosol sedangkan linamarin berada di vakuola sehingga dalam keadaan normal proses penguraian tidak akan terjadi. Setiap bagian tanaman mempunyai kandungan sianida yang berkaitan. Kandungan tertinggi terdapat dalam biji, diikuti oleh buah, daun, batang dan akar (Valkenburg dan Bunyapraphatsara 2001). Apabila biji karet dihancurkan, diiris ataupun dikunyah sehingga terjadi kerusakan dinding sel jaringannya, tonoplas akan pecah maka kedua enzim tersebut akan berhubungan dengan linamarin dan terjadi proses penguraian yang menghasilkan glukosa dan asam sianida (Liener 1969; Cheeke dan Shull 1985; Kakes 1990; McMahon et al. 1995 dalam Mulyati 2003). Proses terbentuknya HCN dari glukosida dapat dilihat pada Gambar 3. Sianogenik glukosida
β-glukosidase
Glukosa + Aglikon
Aglikon
Hidroksitrilliase
HCN + Aldehid atau keton
Gambar 3. Proses terbentuknya HCN dari glukosida (Cheeke dan Shull 1985; McMahon 1995 dalam Mulyati 2003)
Sianida ini menimbulkan gangguan fisiologik sebagai akibat tidak terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih bergantung pada sitokrom oksidase yang merupakan tahap akhir dari proses phoporilasi oksidatif. Selama siklus metabolisme masih bergantung pada sistem transport elektron, sel tidak mampu menggunakan oksigen sehingga menyebabkan penurunan respirasi serobik dari sel. Hal tersebut menyebabkan histotoksik seluler hipoksia. Bila hal ini terjadi maka jumlah oksigen mencapai jaringan normal namun sel tidak mampu menggunakannya sehingga dapat
15
disimpulkan bahwa keracunan sianida terjadi akibat ketidakmampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tersebut (Anonim 2011). Secara alamiah HCN masuk ke dalam peredaran darah tubuh melalui beberapa jalur. Biasanya sianida masuk melalui mulut bersama makanan. Sianida di dalam pencernaan mudah diabsorsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati, ginjal atau otak. Begitu konsentrasi sianida dalam darah meningkat maka laju respirasi menjadi lambat (menurun) dan terjadi sesak nafas akibat kekurangan oksigen pada otak yang menyebabkan timbulnya kejang-kejang. Ikatan oksidasi besi ferro dalam hemoglobin menjadi ferri menghasilkan metHb (Fe3+). Bila hemoglobin berubah menjadi met-Hb, darah akan kehilangan kemamampuannya untuk mengikat oksigen. Hal ini menyebabkan terjadinya disosiasi, reaksi berbalik arah sebagai akibatnya timbul bahaya gangguan fisiologis, yang memungkinkan terjadinya penurunan tekanan darah karena hadirnya nitrit (Anonim 2011). Sianida menimbulkan banyak gejala termasuk pada tekanan darah, penglihatan, saraf pusat, sistem endokrin, sistem otonom dan sistem metabolisme dan kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa saluran pernafasan karena efek racun dari sianida adalah memblok pengambilan dan penggunaan dari oksigen maka akan didapatkan rendahnya kadar oksigen dalam jaringan dan lebam pada tubuh yang berwarna merah bata (Anonim 2008). Sianida dapat membentuk senyawa tiosianat bersama sulfur yang menghambat penyerapan iod pada kelenjar thyroid. Kelainan-kelainan yang terjadi lainnya adalah penyakit ataxic neuropathy pada manusia dan kekerdilan pada tikus (Abrar 2001). Pada manusia meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh tidak boleh melebihi 1 mg/berat badan per hari. Gejala keracunan sianida antara lain, meliputi penyempitan saluran napas, mual, muntah, sakit kepala bahkan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian (Véteer 2000). Tingkat toksisitas sianida dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: ukuran dan jenis hewan; kecepatan mengunyah makanan; jenis sianogen dalam makanan; keaktifan enzim dalam degradasi makanan dan detoksifikasi sianida. Mekanisme toksisitas sianida terjadi bila berikatan dengan trivalen ferric (Fe3+), yaitu non
16
aktifnya sistem enzim sitokrom oksidase yang terdiri dari sitokrom a-a3 komplek dan sistem transport elektron. Bilamana sianida mengikat enzim komplek tersebut, transport elektron akan terhambat sebagai akibatnya akan menurunkan penggunaan oksigen oleh sel dan mengikat racun (Anonim 2011). Sianida dalam tubuh dapat diukur pada plasma, sel darah merah atau urin. Jumlah distribusi dari sianida berubah-ubah sesuai dengan kadar zat kimia lainnya di dalam darah. Pada percobaan HCN pada tikus didapatkan kadar sianida tertinggi terdapat pada paru yang diikuti oleh hati kemudian otak. Bila sianida masuk melalui sistem pencernaan maka kadar tertinggi adalah di hati (Anonim 2008). Menurut Siahaan (2009), bahwa biji karet mengandung sianida 330 mg/100 g. Sianida mempunyai sifat autohidrolisis pada suhu 28ºC maka pada suhu kamar sudah terjadi penguapan (pelepasan sianida) sehingga terjadi penurunan kandungan dan daya toksiknya (Yuningsih et al. 2004). Menurut Ngoku dan Ononogbu (1998), bahwa kandungan sianida dalam biji karet dapat dihilangkan dengan cara pemanasan pada suhu 60oC ataupun dengan perebusan dengan perbandingan biji karet dan air sebesar 1 : 2-3 (Judoamidjojo et al. 1989). Tingkat kecepatan pelepasan sianida berlainan dari tiap tanaman yang mengandung sianogen tergantung dari penguraian jenis sianogennya (Everist 1974). Sebagai contoh sianogen amygdalin (dalam biji) mempunyai ikatan sianida lebih kuat (lebih lambat pelepasan sianidanya) dibandingkan dengan sianogen dhurrin (dalam daun). Selain jenis sianogennya, pelepasan sianida juga tergantung adanya peluang kontak antara sianogen dengan enzim (dalam tanaman itu sendiri), misalnya dengan cara pencacahan atau pemotongan yang dapat mempercepat pelepasan sianida (Tweyongyere dan Katongole 2002). Oleh karena itu, biji karet harus diolah menjadi konsentrat terlebih dahulu agar dapat dimanfaatkan. Konsentrat merupakan hasil pemekatan fraksi protein biji karet yang kadar proteinnya sudah tinggi menjadi lebih tinggi lagi. Dalam pembuatannya, fraksi protein akan meningkat lagi dengan cara mengurangi atau menghilangkan lemak atau komponen-komponen non protein lain yang larut (Zuhra 2006).
17
Gambaran Darah Ikan dan Histologi
Gambaran Darah Darah terdiri dari cairan plasma dan sel-sel darah, yaitu sel darah merah (SDM), sel darah putih (SDP) dan keping darah (trombosit). Plasma darah merupakan suatu cairan jernih yang mengandung mineral-mineral terlarut, hasil absorbsi dari pencernaan makanan, buangan hasil metabolisme oleh jaringan, enzim, antibodi serta gas terlarut (Lagler et al. 1977). Dalam plasma darah terkandung garam-garam anorganik (natrium klorida, natrium bikarbonat dan natrium fosfat), protein (dalam bentuk albumin, globulin dan fibrinogen), lemak (dalam bentuk lesitin dan kolesterol), hormon, vitamin, enzim dan nutrien. Protein plasma berperan dalam respon kekebalan tubuh, penyangga perubahan pH darah dan mengatur tekanan osmotik (Bond 1979). Sel darah ikan diproduksi di dalam jaringan hematopoietik yang terletak di ujung anterior ginjal dan limpa. Berbeda dengan mamalia, pada ikan tidak ada sumsum tulang namun ikan memiliki limfonodus. Pada ikan, darah dibentuk di dalam organ ginjal, limpa dan timus (Dellman dan Brown 1989). Fungsi darah pada ikan yaitu untuk mengedarkan zat makanan hasil pencernaan dan oksigen ke sel-sel tubuh serta membawa hormon dan enzim ke organ yang memerlukannya. Beberapa parameter yang dapat memperlihatkan perubahan pada darah adalah jumlah sel darah merah (SDM), sel darah putih (SDP), kadar hemoglobin (Hb) dan kadar hematokrit (Ht) (Lagler et al. 1977). SDM pada ikan merupakan sel dengan jumlah paling banyak, mencapai 4x106 sel/mm3 (Moyle dan Cech 2004). Jumlah SDM bervariasi pada tiap spesies dan biasanya dipengaruhi oleh stres dan suhu lingkungan. Menurut Moyle dan Cech (2004), bahwa jumlah SDM pada ikan mas Cyprinus carpio adalah 1,43x106 sel/mm3. SDM mengandung hemoglobin yang merupakan protein-pigmen kompleks yang mengandung zat besi, yang merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah
18
merah. Sebagai intinya Fe dan rangka protoperphyrin serta globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan membentuk oxihemoglobin dalam sel darah merah. Hemoglobin dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel menuju paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh.
Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti terjadinya kekurangan darah yang disebut anemia. Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal. Hampir semua gangguan pada sistem peredaran darah disertai dengan anemia yang ditandai dengan warna kepucatan pada tubuh, penurunan kerja fisik dan penurunan daya tahan tubuh (Moyle dan Cech 2004).
Konsentrasi hemoglobin diukur berdasarkan pada intensitas warna dan dinyatakan dalam satuan gram hemoglobin/100 ml darah (g/100 ml) (Lagler et al. 1977). Konsentrasi hemoglobin ikan mas (Cyprinus carpio) adalah 6,40 g % (Houston dan De Wilde 1968 dalam Moyle dan Cech 2004). SDP dikelompokkan berdasarkan pada ada tidaknya butir-butir (granul) dalam sitoplasma, yaitu granulosit dan agranulosit. Kelompok granulosit meliputi neutrofil, eosinofil dan basofil. Jenis ini memiliki sifat reaksi terhadap zat tertentu yaitu leukosit eosinofil yang bersifat asidofil (berwarna merah oleh eosin), leukosit basofil berwarna basofil (ungu) dan leukosit netrofil bersifat tidak basofil maupun asidofil (Dellman dan Brown 1989). Menurut Lagler et al. (1977), jumlah SDP berkisar antara 20-150 x 104 sel/mm3. Menurut Alifuddin (1993), bahwa hematokrit merupakan perbandingan antara plasma dengan padatan darah. Perbandingan antara keduanya dibaca dengan pembaca mikrohematokrit dalam satuan %. Nilai hematokrit Cyprinus carpio adalah 27,1% (Houston dan De Wilde 1968 dalam Moyle dan Cech 2004). Pada keadaan hipoksia akan menyebabkan sel membengkak sehingga meningkatkan nilai hematokrit (Heath 1987).
Histologi
19
Histologi merupakan teknik yang digunakan untuk mempelajari jaringan normal sedangkan untuk pengamatan kelainan-kelainan pada jaringan disebut teknik histopatologi. Histopatologi secara biologis digunakan untuk mengukur efek stres lingkungan terhadap hewan (jaringan). Perubahan histopatologi merupakan indikator perubahan secara biokimia dan fisiologi yang digunakan untuk menentukan efek yang akan terjadi seperti pada pertumbuhan, reproduksi, pertahanan diri serta stabilitas populasi (MacKim 1985; Meyer dan Hendricks 1985 dalam Hinton dan Laurtn 1990). Preparasi jarigan meliputi beberapa langkah termasuk fiksasi jaringan, dehidrasi, embedding, preparasi sektion, pewarnaan dan mounting jaringan (OIE 2003).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober sampai Desember 2010 yang bertempat di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Analisis kimia, histologi, gambaran darah dan kualitas air dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Laboratorium Kesehatan Ikan, Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan mas Cyprinus carpio L. ukuran 3-5 cm sebanyak 600 ekor (lebih banyak dari jumlah yang diperlukan) berukuran 2,19 ± 0,005 g. Ikan ini merupakan hasil 1 kali pemijahan dari 1 induk ikan mas Majalaya di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Benih ikan uji ditampung dalam 3 buah bak bervolume 200 liter air sebagai proses aklimatisasi (lingkungan dan pakan) selama 14 hari.
Persiapan Bahan Baku Biji Karet Bahan baku pakan uji ini berupa 200 kg biji karet yang berasal dari perkebunan karet alam di Desa Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muara Jambi, Propinsi Jambi. Tabel 7. Komposisi kimia TBBK tidak diolah dan TBBK diolah Komposisi TBBK Tidak Diolah Protein (%) 21,87 Lemak (%) 49,30 Serat Kasar (%) 3,19 Abu (%) 3,14 Air (%) 1,50 BETN (%) 21,00 Sianida (mg/kg) 18.200 Sumber: Data primer yang diolah (2010)
TBBK Diolah 33,82 15,07 15,03 5,06 11,00 20,02 10.920
21
Setelah dikeringkan, buah karet dipecahkan dan diambil bijinya selanjutnya diolah menjadi tepung. Proses pengurangan lemak TBBK hingga 15% menggunakan hidrolic press kemudian diekstrak dengan perendaman dalam larutan heksan selama 1 hari 1 malam. Setelah diekstrak, TBBK direndam dalam air garam dengan dosis 10 g/100 ml selama 12 jam dan dilanjutkan dengan perebusan terbuka selama 30 menit untuk mengurangi kandungan sianida.
Pakan Uji Dalam penelitian ini terdapat 2 macam pakan uji, yaitu pakan untuk uji kecernaan (Tabel 8) dan pakan untuk uji kinerja pertumbuhan (Tabel 9). Tabel 8. Pakan uji kecernaan (%)
Bahan Baku
Pakan Rujukan
TBBK Diolah
Pakan Komersial Pengikat (CMC) Cr2O3 Biji Karet Total
94,50 5,00 0,50 0 100
64,50 5,00 0,50 30,00 100
TBBK Tidak Diolah 64,50 5,00 0,50 30,00 100
Tabel 9. Pakan uji kinerja pertumbuhan (%)
Bahan Baku Bungkil biji karet Bungkil kedelai Bahan nabati lainnya Premiks Total Sianida Analisis Proksimat Kadar air Protein Lemak Abu Serat kasar BETN Total
P1 0 28,45 67,25 4,30 100 0
Perlakuan P2 P3 41,40 62,09 10,20 3,00 44,10 30,61 4,30 4,30 100 100 0,45 0,67
P4 64,01 28,00 3,69 4,30 100 1,16
4,72 31,82 8,12 7,75 6,58 41,01 100
5,00 30,84 10,82 7,30 8,63 37,41 100
3,37 29,58 31,90 6,34 4,37 24,44 100
5,11 30,80 11,86 7,43 9,55 35,25 100
Keterangan: Energi protein, lemak dan karbohidrat masing-masing 5,6; 9,4 dan 4,1 kkal.
22
Pakan untuk uji kecernaan menggunakan pakan rujukan dengan kadar protein 28-30%, TBBK diolah dan TBBK tidak diolah, Cr2O3 sebagai indikator dan CMC sebagai pengikat. Pakan kemudian dianalisis kandungan protein, fosfor, kalsium dan Cr2O3. Pakan untuk uji kinerja pertumbuhan menggunakan bahan baku berupa TBBK diolah dengan berbagai level dan TBBK tidak diolah (Lampiran 1). Sebelum pakan dibuat, bahan baku pakan akan dianalisis proksimat kemudian setelah pakan selesai dibuat dilakukan kembali analisis proksimat serta asam aminonya menggunakan metode AOAC (1984) (Lampiran 2).
Rancangan Percobaan Penelitian tahap pertama berupa uji kecernaan menggunakan 3 perlakuan, yaitu: pakan rujukan, TBBK yang diolah dan TBBK yang tidak diolah. Penelitian tahap kedua berupa uji kinerja pertumbuhan menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan dengan Rancangan Acak Lengkap, sebagai berikut: Perlakuan P1: Tidak mendapat sumbangan protein dari TBBK. Perlakuan P2: 50% protein dari TBBK diolah. Perlakuan P3: 75% protein dari TBBK diolah. Perlakuan P4: 50% protein dari TBBK tidak diolah.
Pemeliharaan Ikan Pemeliharaan ikan pada uji kecernaan menggunakan 9 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan padat penebaran sebanyak 10 ekor/akuarium. Setiap akuarium dilengkapi dengan aerator, sistem resirkulasi dan diberi penutup plastik agar ikan tidak mudah stres terhadap lingkungan sekitar. Akuarium diletakkan dalam posisi miring (menanjak bagian atasnya yang bertujuan agar feses ikan terkumpul pada bagian dasar akuarium). Pakan diberikan secara at satiation (sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 14 hari masa pemeliharaan. Pada hari ke-3, feses ikan diambil 30-60 menit setelah pemberian pakan. Feses tersebut disipon dari bagian dasar akuarium kemudian feses tersebut
23
ditampung dalam botol film yang selanjutnya dilakukan analisis kandungan Cr2O3, protein, fosfor dan kalsium. Pemeliharaan ikan pada uji kinerja pertumbuhan menggunakan 18 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan padat penebaran sebanyak 20 ekor/akuarium. Pakan diberikan secara at satiation (sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 40 hari masa pemeliharaan. Jumlah pakan yang diberikan dihitung dengan cara menimbang pakan pada pagi hari dan sisa pakan pada sore hari. Ikan yang mati hingga hari kedua diganti sesuai dengan bobotnya dan setelah itu ikan yang mati ditimbang bobotnya. Pada awal dan akhir pemeliharaan, dilakukan analisis proksimat tubuh ikan uji sedangkan untuk menjaga kualitas air agar tetap baik, feses ikan disipon pada pagi dan sore hari. Selama masa pemeliharaan, nilai kualitas air yang meliputi suhu air berkisar antara 26-27oC, pH 7, DO 4,75-4,95 mg/l dan ammonia-N (NH3-N) 0,93-1,34 mg/l. Pada akhir masa pemeliharaan, ikan dipuasakan selama 1 hari kemudian ditimbang bobotnya dan beberapa ekor ikan dari setiap perlakuan diambil untuk analisis kadar air, lemak, glikogen hati dan nilai HSI, histologi serta gambaran darah. Parameter yang Dievaluasi Kecernaan Total, Protein, Fosfor dan Kalsium Kecernaan total/protein, fosfor (P) dan kalsium (Ca) dihitung menurut Law et al. (1985), yaitu: Kecernaan total/protein/P/Ca (%) = 1 Ket:
IP IF NP NF
= = = =
IP NF x x 100 IF NP
Cr2O3 dalam pakan (%) Cr2O3 dalam feses (%) Protein, fosfor dan kalsium dalam pakan (%) Protein, fosfor dan kalsium dalam feses (%)
Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup dihitung menurut Zonneveld et al. (1991), yaitu:
24
TKH (%)
∑ total ikan akhir (ekor) ∑ total ikan awal (ekor)
=
x 100%
Jumlah Konsumsi Pakan Jumlah konsumsi pakan dihitung dengan mengurangi total jumlah pakan yang diberikan pada akhir penelitian dengan awal penelitian.
Efisiensi Pakan Efisiensi pakan (EP) dihitung menurut Takeuchi (1988), yaitu: EP (%) Ket : Wt W0 Wd F
= = = = =
[(Wt + Wd) – W0] x 100% F
bobot total ikan pada akhir pemeliharaan (g) bobot total ikan pada awal pemeliharaan (g) bobot total ikan yang mati selama pemeliharaan (g) jumlah pakan yang diberikan selama percobaan (g)
Pertumbuhan Relatif Pertumbuhan relatif (PR) dihitung menurut Takeuchi (1988), yaitu: PR (%)
=
Ket
: Wt W0
Wt - W0
x 100% W0 = Biomassa ikan akhir pemeliharaan (g) = Biomassa ikan awal pemeliharaan (g)
Retensi Protein (RP) Retensi protein (RP) dihitung menurut Takeuchi (1988), yaitu: RP (%)
=
Ket
= = =
: F I P
(F - I) x 100% P jumlah protein tubuh pada akhir pemeliharaan (g) jumlah protein tubuh pada awal pemeliharaan (g) jumlah protein yang dikonsumsi ikan (g)
Retensi Lemak (RL) Retensi lemak (RL) dihitung menurut Takeuchi (1988), yaitu:
25
RL (%)
=
Ket
= = =
: F I L
(F - I) L
x 100%
jumlah lemak tubuh pada akhir pemeliharaan (g) jumlah lemak tubuh pada awal pemeliharaan (g) jumlah lemak yang dikonsumsi ikan (g)
Analisis Kadar Air, Lemak, Glikogen Hati dan Nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) (Garling dan Wilson 1977) Analisis ini dilakukan untuk membandingkan keadaan organ hati sebelum dan sesudah diberi pakan TBBK, yang meliputi kadar air, lemak, glikogen hati serta nilai hepatosomatik indeks (HSI). HSI
=
Bobot organ hati (g)* Bobot tubuh ikan uji (g)*
x 100%
Keterangan: * dalam bobot basah Gambaran Darah Pengamatan gambaran darah dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian TBBK dalam pakan yang menimbulkan perubahan komposisi darah pada ikan uji. Pengambilan darah dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan. Pengamatan gambaran darah yang dilakukan meliputi sel darah merah (SDM), dan sel darah putih (SDP), hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht). ∑ SDM
= Jumlah sel terhitung
x
= Jumlah sel terhitung
x
= ……. sel/mm3 ∑ SDP
= Jumlah sel terhitung = Jumlah sel terhitung = ……. sel/mm3
x x
1 volume kotak besar 1 0,05 x 0,05 x 0,1 mm3 1 volume kotak besar 1 0,2 x 0,2 x 0,1 mm3
x
faktor pengenceran
x 200
x x 10
faktor pengenceran
26
Pengukuran kadar hemoglobin darah dengan menggunakan metode Sahli, yang didasarkan atas terbentuknya asam hematin (Hb darah dirombak menjadi asam hematin oleh asam khlorida 0,1 N) dengan satuan pengukuran dalam g %. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0,1 N sampai batas tera 2. Darah dihisap dengan pipet Sahli sampai skala 20 mm3. Darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung sahli yang telah diisi dengan larutan HCl 0,1 N. Kedua bahan diaduk dan didiamkan sebentar agar terbentuk asam hematin (berwarna kuning kecoklatan) kemudian tambahkan aquades hingga warna sampel sama dengan warna standar pada tabung Sahli. Pembacaan dilakukan dengan melihat permukaan cairan dan warna yang dicocokkan dengan warna pada skala tabung Sahli yang dilihat pada lajur g % yang berarti banyaknya hemoglobin dalam g/100 ml darah (Aliffudin 1993). Pengukuran kadar hematokrit dilakukan untuk membandingkan plasma dengan padatan darah, perbandingan keduanya dibaca dengan pembaca mikrohematokrit dalam satuan %. Darah dihisap dengan menggunakan tabung mikrohematokrit berlapis heparin sebanyak 4/5 dari volume tabung kemudian bagian ujung tabung ditutup dengan menggunakan lilin sumbat (cristosel). Tabung yang berisi darah kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan bagian darah yang mengendap dengan seluruh bagian darah yang ada di dalam tabung mikrohematokrit dan hasilnya dinyatakan dalam %, yaitu (x/y) x 100% (Aliffudin 1993).
Histologi Usus, Ginjal, Otot dan Hati Histologi dilakukan untuk melihat terjadinya kerusakan sel, penumpukan lemak dan perbedaan hepatosit pada setiap perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan. Pembuatan preparat dilakukan dengan metode pewarnaan hematoksilin-eosin. Hasil histologi selanjutnya diamati dengan mikroskop pada pembesaran 100x. Pengamatan dilakukan terhadap keberadaan vakuola dan kerusakan sel usus, ginjal, otot dan hati (Humason 1972).
Analisis Kimia
27
Kadar air diukur dengan metode pemanasan dalam oven (105-110oC) selama 4 jam. Protein dianalisis dengan metode Kjedahl, lemak dengan metode ekstraksi menggunakan alat Soxlet, abu dengan pemanasan dalam tanur (400-600oC), serat kasar diukur dengan pelarutan dalam asam dan basa kuat serta pemanasan. Lemak tubuh dan hati dianalisis dengan menggunakan metode Folch (Takeuchi 1988). Pengukuran Cr2O3, fosfor dan kalsium serta HPLC untuk asam amino sesuai prosedur AOAC (1984). Pengukuran zat anti nutrisinya dilakukan menggunakan alat spectrofotometer (APHA 1998).
Analisis Statistik Data dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) dengan menggunakan program SAS (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Pengamatan histologi dan gambaran darah dianalisis dengan analisis desriptif ekploratif menggunakan tabel dan grafik.
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Kecernaan Data kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium pada TBBK yang diolah dan TBBK tidak diolah pada benih ikan mas tercantum pada Tabel 10 dan Lampiran 3. Proses pengolahan TBBK dengan cara pengurangan lemak mampu meningkatkan kecernaan total dan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%. Tabel 10. Kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium TBBK diolah dan TBBK tidak diolah Kecernaan (%) Bahan Total Protein Fosfor (P) Kalsium (Ca) TBBK diolah 69,81 ± 0,95a 84,23 ± 0,62a 86,51 ± 0,85a 78,09 ± 3,86a TBBK tidak diolah 60,07 ± 2,27b 78,83 ± 2,07b 83,15 ± 1,16b 65,21 ± 0,72b Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).
Uji Kinerja Pertumbuhan Data uji kinerja pertumbuhan benih ikan mas yang diberi berbagai pakan perlakuan tercantum pada Tabel 12 dan Lampiran 4. Nilai TKH benih ikan mas pada berbagai perlakuan pakan tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar 83,33-86,67%. Perlakuan P1 memberikan nilai JKP tertinggi sebesar 165,43 g dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 131,93 g. Perlakuan P1 dan P2 memberikan EP yang tidak berbeda nyata (p>0,05) berkisar 81,72-84,57% dan mencapai nilai terendah pada perlakuan P4 sebesar 65,24%. Tabel 11. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) Perlakuan Parameter P1 P2 P3 P4 TKH (%) 86,67 ± 5,77a 86,67 ± 2,89a 86,67 ± 2,89a 83,33 ± 5,77a JKP (g) 165,43 ± 0,34a 163,54 ± 0,25a 157,50 ± 0,17b 131,93 ± 0,46c a a b EP (%) 81,72 ± 3,88 84,57 ± 0,44 67,62 ± 2,80 65,24 ± 1,53b a a b PR (%) 262,48 ± 21,88 259,45 ± 11,90 202,66 ± 11,26 146,60 ± 21,21c a a b RP (%) 37,94 ± 3,26 37,12 ± 1,40 26,03 ± 0,79 19,64 ± 2,48 c RL (%) 41,74 ± 2,69a 44,19 ± 1,83a 45,27 ± 2,13a 45,67 ± 2,76a Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).
29
Nilai RP pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar 37,12-37,94% kemudian menurun pada perlakuan P3 dan P4 (p<0,05), berkisar 19,6426,03% (Lampiran 5). Nilai RL tertinggi terdapat pada P4 (45,67%) dan tidak berbeda nyata pada perlakuan TBBK diolah lainnya (p>0,05), berkisar 41,74-45,27% dengan nilai RL terendah pada perlakuan P1 sebesar 41,74%. Kadar Air, Hati, Glikogen Hati dan Nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) Lemak dan glikogen hati benih ikan mas relatif meningkat setelah diberi pakan perlakuan (Tabel 12 dan Lampiran 6). Kadar air hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 77,24% lebih tinggi dibandingkan perlakuan P4 sebesar 71,72%. Lemak hati tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar 12,16% dan terendah pada perlakuan P1 sebesar 9,33% sedangkan untuk glikogen hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,105% dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 0,022% sedangkan hasil pengukuran HSI menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P 2 sebesar 0,05 dan terendah pada perlakuan P 3 dan P4 sebesar 0,02. Tabel 12. Kadar air, lemak, glikogen hati (%) dan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) Perlakuan Parameter Awal P1 P2 P3 P4 Kadar air (%) 70,45 74,43 ± 0,86b 77,24 ± 0,57a 73,66 ± 1,33b 71,72 ± 1,19c Lemak (%) 3,03 9,33 ± 0,64b 9,80 ± 0,15b 11,73 ± 0,70a 12,16 ± 1,42a b a c Glikogen (%) 0,0018 0,093 ± 0,007 0,105 ± 0,002 0,039 ± 0,004 0,022 ± 0,003d a a b HSI 0,0044 0,04 ± 0,01 0,05 ± 0,01 0,02 ± 0,01 0,02 ± 0,01b Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).
Gambaran Darah Pemberian TBBK
diolah dan tidak
diolah dalam pakan menyebabkan
perbedaan gambaran darah. Hasil pengamatan berbagai perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 13 dan Lampiran 7. Jumlah SDM tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 149,01x104 sel/mm3 dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 120,51x104 sel/mm3 sedangkan jumlah SDP tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar 100,41x104 sel/mm3 dan terendah pada perlakuan P1 sebesar 97,36x104 sel/mm3 .
30
Jumlah Hb terendah terdapat pada perlakuan P4 sebesar 5,24 g % dan tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 5,84 g % dan jumlah Ht terendah terdapat pada perlakuan P1 sebesar 20,63% dan tertinggi pada perlakuan P4 sebesar 22,84%. Tabel 13. Gambaran darah benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai perlakuan pakan Perlakuan Parameter Awal P1 P2 P3 P4 SDM 82,80 149,01 ± 0,08a 148,96 ± 0,05a 139,86 ± 0,17b 120,51 ± 0,17c SDP 42,20 97,36 ± 0,07d 98,92 ± 0,08c 99,76 ± 0,13b 100,41 ± 0,14a a a b Hb 2,80 5,84 ± 0,07 5,83 ± 0,05 5,57 ± 0,13 5,24 ± 0,11c d c b Ht 5,80 20,63 ± 0,31 20,93 ± 0,06 21,90 ± 0,07 22,84 ± 0,12a Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Sel darah merah (SDM, x104 sel/mm3 ), sel darah putih (SDP, x104 sel/mm3 ), hemoglobin (Hb, g %) dan hematokrit (Ht, %).
Histologi Usus, Ginjal, Otot dan Hati Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ pada benih ikan mas terdapat pada Tabel 14 dan Lampiran 8. Tabel 14. Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ tubuh Perlakuan Organ P1 P2 P3 Tidak ada Tidak ada Usus bagian Tidak ada kelainan kelainan depan kelainan spesifik spesifik spesifik Usus bagian belakang
Tidak ada kelainan spesifik
Tidak ada kelainan spesifik
Tidak ada kelainan spesifik
Ginjal
Protein cast, nekrosis pada tubulus dan hemoraghi
Protein cast dan hemoraghi
Protein cast, hemoraghi dan infiltrasi sel mononuklear
P4 Nekrosis dan desquamasi epitel villi mukosa Nekrosis, infiltrasi sel mononuklar dan desquamasi epitel villi mukosa Hemoraghi, nekrosis interstitialis dan infiltrasi sel mononuklear
Otot
Tidak ada kelainan spesifik
Hyperemia
Hyperemia
Hati
Vakuolisasi sel hati
Vakuolisasi sel hati
Vakuolisasi dan degenerasi sel epitel hati
Sumber: Data primer yang diolah (2011)
Tidak ada kelainan spesifik Vakuolisasi sel hati
31
Pembahasan Proses pengolahan TBBK
dapat meningkatkan kandungan protein serta
meningkatkan kecernaan total dan kecernaan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%. Menurut Brown (2008), bahwa evaluasi hasil kecernaan total tepung kedelai pada berbagai jenis ikan air tawar (herbivora, omnivora dan karnivora) dengan berbagai ukuran, yaitu 44-92% untuk kecernaan total dan 72-96% untuk kecernaan protein. Dengan menggunakan metode yang sama, benih ikan patin Pangasius hypophthalmus dapat mencerna 83,33% secara total dan 90,69% protein dari 50% pakan subtitusi tepung bungkil kedelai (Paisey 2009). Menurut Adelina (1999), bahwa kecernaan total pakan dengan kadar protein dan rasio energi protein yang berbeda dapat mencapai 94,95% pada pertumbuhan benih ikan bawal air tawar Colossoma macropomum. Proses pengolahan TBBK juga meningkatkan sediaan fosfor (P) dan kalsium (Ca) masing-masing dari 83,15% dan 65,21% menjadi 86,51% dan 78,09%. Pada pemberian enzim fitase dalam pakan dengan atau tanpa asam fitat mampu meningkatkan kecernaan fosfor (P) pada pakan ikan lele Clarias sp hingga 86,10% dan kecernaan protein 85,78% (Amin 2007). Fosfor dan kalsium merupakan mineral yang paling besar peranannya dalam pertumbuhan ikan. Kedua mineral ini merupakan elemen penting untuk mendukung pertumbuhan dan pembentukan tulang (Li et al. 2004). Kandungan fosfor dan kalsium dalam tubuh ikan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan hewan darat. Ikan memiliki keterbatasan dalam penyerapan fosfor dan kalsium karena konsentrasinya dalam air sangat kecil (NRC 1983). Kebutuhan fosfor pada ikan mas sebesar 0,50,8% dan kalsium sebesar 0,34% (Kapoor et al. 1975). Fosfor berperan penting dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, asam amino, otot dan jaringan syaraf serta berperan dalam menjaga tekanan osmotik cairan tubuh sedangkan kekurangan fosfor akan menyebabkan rendahnya efisiensi pakan dan
menurunkan
Adenosintrifosfot
laju (ATP)
pertumbuhan. yang
Fosfor
merupakan
diperlukan
senyawa
P
dalam
pembentukan
berenergi tinggi yang
diperlukan untuk semua aktivitas tubuh. Meningkatnya ketersediaan P dalam tubuh
32
tentunya akan lebih banyak
menyediakan P
untuk
sintesis protein sehingga
meningkatnya proses metabolisme dalam tubuh yang kemudian akan memicu ikan untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak. Semakin banyak pakan yang dikonsumsi dan penggunaan pakan yang efisien maka akan semakin banyak protein yang diretensi sehingga pertumbuhan meningkat
(Lall 2002).
Pada beberapa ikan,
defisiensi fosfor ditandai dengan pertumbuhan yang lambat, efisiensi pakan yang rendah dan mineralisasi tulang terhambat (Lall 2002). Tanda-tanda lain yaitu meningkatnya aktivitas enzim glukogenik di hati, meningkatnya air dalam karkas, menurunnya kadar fosfor dalam darah, pembentukan kepala dan kerangka yang tidak sempurna (NRC 1993). Enzim yang berperan dalam sintesis fosfor adalah fosfatase yang mempunyai peranan penting dalam pencernaan bahan-bahan makanan dalam usus. Defisiensi fosfor sebagai fosfat mengakibatkan penurunan absorpsi dari usus dan pembuangan berlebihan dari ginjal (Vétter 2000). Penyebaran fosfor dalam tubuh melalui peredaran darah dan cairan antarsel dan selalu dijaga keseimbangannya melalui cara pertukaran antara senyawa fosfor dalam tulang dan fosfor yang ada dalam makanan (Djodjosubagio
1990),
sedangkan kalsium dalam tubuh memiliki fungsi untuk
membentuk struktur tulang, memelihara sistem koloid (tekanan osmotik, viskositas, difusi) dan mengatur keseimbangan asam basa (Lall 2002). Kalsium juga merupakan komponen penting dari aktivitas hormon dan enzim (NRC 1993). Walaupun memiliki kandungan protein tinggi dan dapat dicerna dengan baik, pada setiap perlakuan mengalami penurunan jumlah konsumsi pakan pada benih ikan mas. Penurunan konsumsi pakan ini diduga terkait adanya zat anti nutrisi dalam TBBK berupa sianida (HCN). Penggunaan protein nabati dalam pakan ikan memiliki beberapa kelemahan antara lain defisiensi asam amino esensial serta adanya zat anti nutrien yang dapat menurunkan akseptabilitas dan palatabilitas (Venero et al. 2008). Tubuh
sebenarnya
memiliki
mekanisme
untuk
menurunkan
kekuatan
racun
(detoksikasi) HCN dengan menggunakan asam amino esensial sehingga dalam tubuh terjadi kekurangan asam amino esensial yang dapat menghambat pertumbuhan tubuh dan dapat menimbulkan berbagai penyakit (Suyono 2003).
33
Perbedaan jumlah konsumsi pakan pada tiap perlakuan menunjukkan adanya perbedaan palatabilitas pakan. Palatabilitas atau respon terhadap suatu pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi pakan yang meliputi bentuk, ukuran, warna,
rasa dan aroma.
Palatabilitas pakan juga berhubungan erat dengan
atraktabilitas yang diberikan oleh asam amino bebas yang selanjutnya akan mempengaruhi searching respon, pengambilan serta penelanan (akseptabilitas) yang berhubungan dengan beberapa asam amino (taurina, glisina, arginina, alanina), betaina, nukleotida dan asam organik (Guillaume et al. 2001; Grey et al. 2009) untuk peningkatan penggunaan protein sebagai sumber energi yang akhirnya meningkatkan efisiensi protein pakan (Hara 1993). Selain itu, palatabiltas juga diduga dapat memperlambat retensi pakan dalam saluran pencernaan sehingga mempengaruhi tingkat pengambilan pakan akibat adanya zat anti nutrisi (Fournier et al. 2004).
Tabel 15. Unsur asam amino dalam tubuh ikan dan pakan perlakuan (%) Unsur Asam Amino Histidin Arginin Threonin Valin Metionin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin
Tubuh Ikan* 0,80 1,60 1,50 1,40 1,20 0,90 1,30 2,50 2,20
P1 0,66 1,68 0,59 1,09 1,25 0,86 2,87 1,39 1,79
Perlakuan P2 P3 0,58 0,58 1,64 1,68 0,48 0,51 0,75 0,99 1,26 1,30 0,58 0,75 2,32 2,50 1,33 1,40 1,81 1,85
P4 0,45 1,26 0,45 0,73 0,91 0,52 2,27 1,19 1,78
Sumber: Data primer yang diolah (2010) ** Wilson dan Cowel (1985)
Asam amino esensial diperlukan tubuh untuk pertumbuhan yang merupakan bahan baku pembentuk enzim, hormon dan antioksidan. Ketidakseimbangan asam amino dalam pakan akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat. Menurut Tilman et al. (1998), bahwa asam amino metionin merupakan asam amino esensial dan pembatas utama yang diperlukan dalam pertumbuhan, metabolisme jaringan dan reproduksi. Kekurangan asam amino metionin dalam pakan mengakibatkan konsumsi pakan menurun. Rendahnya asam amino metionin berpengaruh terhadap ketersediaan
34
asam amino sistin karena asam amino metionin dibutuhkan untuk menyediakan belerang untuk sintesis sistin. Kekurangan pemenuhan asam amino ini pula yang menyebabkan penurunan akseptabilitas dan palatabilitas ikan terhadap pakan tersebut (Halver 1989; Kissil et al. 2000).
3,5 3 2,5 2
Tubuh Ikan P2
1,5
P3 1
P4
0,5
P1
0
Gambar 4. Unsur asam amino pada tubuh ikan dan pakan perlakuan (Sumber: Data primer yang diolah 2011)
Retensi nutrisi tertentu pada tubuh ikan selama periode tertentu biasanya digunakan untuk mengevaluasi ketersediaan dan keseimbangan asam amino dan ketersediaan beberapa elemen esensial nutrien lainnya. Retensi protein dan retensi lemak merupakan persentase protein dan lemak yang dikonsumsi oleh ikan selama pemeliharaan yang dapat disimpan dalam tubuh ikan (Halver dan Hardy 2002). Tingkat
retensi protein
yang
semakin
menurun
seiring dengan meningkatnya
penggunaan TBBK dalam pakan yang menunjukkan nilai nutrisi protein pakan semakin menurun juga. Tingginya retensi lemak dan rendahnya retensi protein ini disebabkan terlalu tingginya energi pakan sehingga membatasi konsumsi pakan ikan yang akibatnya terjadi deposit lemak tubuh benih ikan mas. Hal ini juga dapat dilihat
35
dari semakin rendahnya tingkat kecernaan protein pakan dan komposisi asam amino esensial pakan. Tingginya kandungan lemak akan menyebabkan penurunan konsumsi pakan pada ikan (Lovell 1989). Menurut Alanara (1994), bahwa pakan yang berlemak tinggi akan menyebabkan konsumsi pakan ikan menjadi rendah. Tingginya lemak dalam pakan ini kemudian diendapkan dalam hati sehingga menyebabkan tingginya lemak pada hati. Hal ini juga seiring dengan hasil penelitian Adelina (1999), bahwa konsumsi pakan pada benih ikan bawal air tawar Colossoma macropomu) menurun dengan peningkatan energi pakan sebesar 37,13% dengan kadar lemak 21,79%. Salah satu organ tubuh yang berfungsi menyimpan lemak adalah hati. Hasil pengukuran HSI menunjukkan penimbunan lemak dan glikogen pada hati pada tiap perlakuan. Nilai HSI beragam, dipengaruhi oleh kandungan protein, lemak dan karbohidrat pakan (Garling dan Wilson 1977). Peningkatan nilai HSI menunjukkan peningkatan jumlah nutrien yang diserap dan terakumulasi pada hati (Tacon 1992). Menurut Ali dan Al-Asgah (2001), bahwa nilai HSI pada ikan nila Oreochromis niloticus dipengaruhi oleh karbohidrat dan lemak pakan masing-masing pada kandungan 5,19% dan 16,84%. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh ikan akan dicerna hingga menjadi glukosa. Glukosa diserap oleh dinding usus kemudian masuk dalam darah. Glukosa yang dialirkan dalam darah akan diambil oleh sel-sel tubuh untuk menghasilkan energi melalui proses oksidasi. Sel juga
menghasilkan
glukosa
dari
bahan
bukan
karbohidrat
melalui
proses
glukoneogenesis, yaitu pengubah senyawa non karbohidrat menjadi glukosa. Substrat utamanya adalah asam amino, gliserol, laktat dan piruvat (Subandiyono 2009). Perlakuan P2 memiliki nilai glikogen hati tertinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan lainnya. Hal ini diduga diakibatkan adanya biokonversi karbohidrat dan lemak pakan yang tidak banyak dirombak menjadi energi. Biokonversi karbohidrat terjadi bila kadar glukosa darah berlebih yang kemudian diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Karena kemampuan hati dan otot menyimpan glikogen sangat terbatas, bila glukosa darah masih tinggi maka akan terjadi proses
36
lipogenesis (pembentukan lemak) sebaliknya bila kandungan glukosa rendah dan biasanya terjadi bila ikan tidak atau kurang makan maka glikogen akan diubah menjadi glukosa dan selanjutnya akan menjadi sumber energi namun apabila masih terjadi kekurangan energi, tubuh akan mengambil nutrien dari non karbohidrat terutama protein tubuh sebagai sumber energi yang menyebabkan penurunan protein tubuh ikan (Kaushik 2001). Glikogen itu sendiri merupakan substansi utama yang tersimpan dalam hati yang tersebar dalam sitoplasma dan dalam konsentrasi yang besar. Kondisi hati yang baik dengan fungsi yang maksimal senantiasa ditandai oleh bentuk sel normal dan kandungan glikogen yang melimpah. Ikan herbivora mampu memanfaatkan karbohidrat karena
adanya aktifitas enzim amilase untuk hidrolisis karbohidrat. Pada saat kelaparan pun ikan cenderung merombak protein dan lemak menjadi energi terlebih dahulu melalui proses glukoneogenesis daripada memanfaatkan glikogen yang tersimpan dalam hati (Subandiyono 2009). Hal ini diperkuat dengan pernyatan Tacon (1990) serta Halver (1989) yang mengemukakan bahwa ikan cenderung menggunakan protein sebagai sumber energi dibandingkan lemak dan karbohidrat. Apabila penyimpanan glikogen berkurang maka hal ini diduga akibat penggunaan glikogen sebagai sumber energi untuk pemeliharaan tubuh ikan.
Setelah dicerna, nutrien akan diserap dan masuk ke dalam tubuh ikan. Semua proses dalam jaringan tubuh ikan memerlukan asupan nutrisi termasuk oksigen agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Darah merupakan medium dalam sistem sirkulasi yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, hormon serta membawa sisa-sisa hasil metabolisme dan bahan-bahan patogen. Faktor yang dapat menyebabkan penurunan hemoglobin diduga berkaitan dengan penurunan hematokrit. Perubahan jumlah sel darah akan merubah persentase sel darah dibandingkan dengan plasma (Moyle dan Cech 2004). Kadar
hemoglobin
menentukan
tingkat
ketahanan
tubuh
ikan
karena
hubungannya yang sangat erat dengan daya ikat oksigen oleh darah (Siakpere et al. 2005). Tingginya hemoglobin menunjukkan ikan dalam keadaan stres sedangkan rendahnya
hemoglobin
menunjukkan
ikan
mengalami anemia (Blaxhall 1972).
37
Menurut Affandi et al. (1992), bahwa stres dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk dan tidak nyaman lagi bagi kehidupan ikan, misalnya kondisi oksigen perairan yang kurang, kelebihan CO 2 dalam air atau pH ekstrim sedangkan anemia menunjukkan konsentrasi hemoglobin dalam darah rendah, yang disebabkan oleh penurunan jumlah SDM atau tidak cukupnya jumlah hemoglobin dalam sel darah (Heath 1987). Sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih membantu membersihkan tubuh dari benda asing termasuk invasi patogen melalui sistem tanggap kebal dan respon lainnya. Ikan yang sakit akan menghasilkan banyak sel darah putih untuk memfagosit bakteri dan mensintesa antibodi (Moyle dan Cech 2004). Kondisi stres mengakibatkan ketahanan tubuh ikan akan berkurang. Penurunan nilai hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein, defisiensi vitamin atau ikan yang terkena infeksi sedangkan meningkatnya Ht menunjukkan ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977; Anderson dan Siwicki 1983). Pada umumnya konsentrasi sianida di dalam darah atau jaringan dan organ tubuh relatif rendah dibandingkan dengan jalur melalui mulut. Kadar sianida tertinggi dalam hati diperlihatkan pada pemberian sianida melalui mulut. Dalam darah, sianida dapat dijumpai antara lain pada sel darah merah dan hemoglobin. Distribusi sianida dan tiosianat hasil detoksifikasi sianida (endogenous) tersebar di dalam tubuh kirakira 50% dari berat badan termasuk yang di dalam tubuh (Bahri 1987). Dalam mekanisme peredaran darah, saluran yang masuk ke organ hati terdiri dari arteri yang berasal dari aorta dorsalis dan vena portal yang berasal dari saluran pencernaan. Saluran darah yang keluar dari hati adalah vena hepaticus yang kemudian
menuju
jantung.
Secara
umum hati berfungsi dalam
metabolisme
karbohidrat, lemak, protein serta tempat memproduksi cairan empedu. Pigmen empedu (bilirubin) merupakan hasil sintesis hati yang berasal dari hemoglobin. Pada usus, bilirubin akan diserap kembali kemudian kembali ke hati. Sebagian dari bilirubin pada usus akan dibuang melalui feses. Cairan empedu ini berfungsi sebagai emulsifikator lemak sehingga lemak dapat diserap oleh dinding usus (Affandi dan
38
Tang 2002). Apabila HCN mengikat Hb maka yang terjadi adalah hasil metabolisme yang terjadi di hati tidak dapat disuplai dengan baik ke seluruh jaringan-jaringan tubuh yang membutuhkan dan mengakibatkan terjadinya keracunan sianida (Anonim 2011). Keracunan sianida (HCN) akan menyebabkan terjadinya oksigenasi (level oksigen tinggi dalam darah) karena sianida bereaksi dengan ferric (trivalent) iron dari cytochrome oxidase dan membentuk cyanide cytochrome oxidase yang tinggi. Pada akhirnya hemoglobin tidak
mampu membebaskan oksigen (sistem transportasi
elektron) sehingga warna darah menjadi merah terang. Pada tingkat metabolisme oksidasi tinggi maka terjadi pembengkakan sel hati. Pembengkakan ini terjadi karena muatan elektolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak seimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na+ keluar dari sel menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler ke dalam sel sehingga sel tidak mampu memompa ion Na+ yang cukup. Pembengkakan sel hati ditandai dengan adanya vakuola (ruang-ruang kosong) akibat sel hepatosit membengkak yang menyebabkan
sinusoid
menyempit
dan
sitoplasma
tampak
keruh.
Sel yang
membengkak akan kehilangan integritas membrannya dan mengeluarkan materi sel sehingga terjadi kematian sel (nekrosis). Pembengkakan sel atau degenerasi vakuola bersifat reversibel sehingga apabila paparan zat toksik tidak berlanjut maka sel dapat kembali normal namun jika pengaruh zat toksik berlangsung lama maka sel tidak dapat mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh zat toksik tersebut. Zat toksik yang terakumulasi dalam tubuh organisme yang tandai dengan pengerutan inti sel dan hilangnya kemampuan inti sel untuk diwarnai (pucat) atau tampak samar-samar berongga dan menghilang. Kematian sel yang terus berlanjut akan menyebabkan sel kehilangan kemampuan dalam regenerasi (degenerasi sel epitel hati) sehingga memicu terjadinya daerah nekrosis dikelilingi oleh zona hemoraghi yang ditandai dengan adanya bintik pendarahan (Setyowati et al. 2010). Pada dosis rendah, sianida tidak menimbulkan kematian tetapi ikan yang terus menerus teracuni misalnya karena mengkonsumsi pakan yang mengandung sianida maka pertumbuhan ikan akan terhambat dan terjadi diare (Eisler 1991).
39
Pada organ ginjal terdapat glomerulus yang berfungsi untuk menyaring dan mengubah cairan menjadi urin. Proses pertahanan tubuh dari zat anti nutrisi dapat menyebabkan kerusakan gramerulus sehingga terjadi peradangan akibat penumpukan sel epitel yang disebabkan oleh defisiensi fosfor yang menyebabkan ketidaknormalan fungsi tubuli ginjal yang mengakibatkan penurunan reabsorpsi fosfat. Kegagalan ginjal pada tingkat akut dapat menghambat ekskresi fosfat (Widodo 2000). Hal ini ditandai dengan pendarahan (hemoraghi) akibat kurangnya vitamin yang larut dalam air (A, D, E, K) terutama vitamin K, yang menyebabkan endapan komplek imun yang terdiri dari imunoglobulin, komplemen dan protein yang disebut dengan protein cast. Pada tingkat akut dapat mengakibatkan kerusakan podosit (disfungsi podosit) sehingga terjadi perubahan fungsi dan struktur gromelurus yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah sel glomerulus yaitu pada keadaan ini podosit akan terangkat dari dasarnya dan terjadi kematian sel (nekrosis). Proliferasi podosit ringan menyebabkan interstitialis pada tubulus sedangkan proliferasi berat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear (Rasyid dan Wahyuni 2009). Jalur terpenting dari pengeluaran asam sianida ini adalah dari pembentukan tiosianat (SCN-) yang diekresikan melalui urin. Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil katalisis dari enzim rhodanese dan sebagai reaksi spontan antara asam sianida dan sulfur persulfida (Anonim 2008). Selain itu keberadaan zat anti nutrisi, meningkatkan tekanan intralumen pada usus yang mengakibatkan turunnya aliran air. Pengaruh berkurangnya aliran air ini menyebabkan penyempitan ruang cairan ekstrasel dan berakhir pada peregangan usus. Peregangan usus yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan menurunnya absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus yang disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik dan menyebabkan toksisitas. Pada kondisi akut, absorpsi membran mukosa menyebabkan desquamasi epitel villi dan penurunan dinding usus. Apabila terjadi secara terus menerus akan menghambat fungsi sekresi mukosa sehingga terjadi kematian sel yang disebut dengan nekrosis (Anonim 2010b) sedangkan peradangan (hyperemia) pada otot terjadi karena mediator melepaskan respon jaringan akibat trauma fisik atau zat
40
kimia
pada otot akibat ketidakseimbangan gerakan berenang (Ismail 2008).
Akibatnya terjadi penyumbatan darah yang teroksigenasi karena adanya peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler yang menyebabkan jaringan yang terkena akan berwarna lebih merah (Corwin 2010). Pada sebagian besar spesies hewan, dosis letal minimum untuk sianida yang diberikan melalui mulut berkisar antara 2,0-2,3 mg/kg. Kandungan 1,4 µg/g sianida pada hati dapat dilihat sebagai indikasi keracunan sianida dan level di atas 10 µg/g pada rumen (saluran pencernaan vital pada ternak ruminansia) (Anonim 2008). HCN menghabiskan persediaan iodium tubuh dan menekan fungsi normal akibatnya terjadi pembesaran gondok pada tikus. Konsentrasi sianida pada lingkungan perairan sebesar 343 µg/l mengurangi aktivitas berenang, hilangnya keseimbangan, pernapasan cepat dan gangguan pada sistem osmoregulasi sedangkan pada konsentrasi 350 µg/l menyebabkan kematian ikan (Shwetha dan Hosetti 2009).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Pemberian TBBK yang diolah memberikan efek yang lebih baik berdasarkan sistem pencernaan dan kecernaan ikan, gambaran darah, metabolisme dan struktur organ dibandingkan TBBK tidak diolah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa TBBK dapat menggantikan peranan tepung bungkil kedelai sebagai sumber protein nabati utama dan dapat digunakan hingga 50% dari total protein pakan pada benih ikan mas Cyprinus carpio L.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan palatabilitas dan nilai biologis yang tercerna sehingga TBBK sebagai sumber protein nabati utama dapat digunakan hingga 100% dari total protein pakan pada benih ikan mas Cyprinus carpio L.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z. 2006. Pengaruh Kadar Tepung Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Ikan Lele Clarias sp [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Abrar A. 2001. Eksplorasi Mikroba Rumen Pendegradasi Sianida [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adelina. 1999. Pengaruh Pakan dengan Kadar Protein dan Rasio Energi Protein yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Affandi R, Syafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 1992. Fisiologi Kecernaan Ikan. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Riau: Unri Press. Alanara. 1994. The Effect of Temperature, Dietary Energy Content and Reward Level On The Demand Feeding Activity of Rainbow Trout (Oncorhynchus mykis). Journal of Aquaculture 126: 349-359. Ali A, Al-Asgah NA. 2001. Effect of Feeding Different Carbohydrate to Lipid Ratios on The Growth Performance and Body Composition of Nile tilapia (Oreochormis niloticus) Fingerlings. Animal Res. 50:91-100. Alifuddin M. 1993. Diagnosa Penyakit Ikan (Cara Pemeriksaan Penyakit Ikan) Bogor: Fakultas Perikanan IPB. Amin M. 2007. Pengaruh Enzim Fitase dalam Pakan Terhadap Kecernaan Nutrien dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Lele Dumbo (Clarias sp) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anonim. [24 Agustus 2008]. Keracunan Sianida. http://klikharry.wordpress.com. ----------. [10 Juni 2009]. Tanaman Karet. www.platanum.com. ----------. [21 April 2010a]. Ikan Mas. http://wb3.itrademarket.compdimage.jpg. ----------. [19 Desember 2010b]. Histologi Lambung. http://bioscientiae.tripod.com. ----------. [4 Januari 2011]. Asam Sianida. http://kimiakedokteran.blogspot.com.
44
Anderson DP dan Siwicki. 1993. Basic Hematology and Serology For Fish Health Program. Paper presented in 2nd Symphosium on Diseases in Asian Aquaculture “Aquatic Animal Health and The Enviroment” Phuket Thailand 25-29th October 1993. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methods of Analysis, 14th ed. AOAC. Airlington, V. A. 1141 pp. APHA. 1998. Standard Method for CN-E/Spektro 20th Edition. Analysis Laboratory Aquatic Productivity and Environment (ProLing). Bogor Agriculture University: Departemen of Aquatic Resources Management. Apriyantono A. [15 Juni 2007]. Indonesia Memiliki Perkebunan Karet Terbesar di Indonesia. http://indonesia.go.id. Aritonang D. 1988. Kemungkinan Pemanfaatan Biji Karet dalam Ransum Makanan Ternak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian 5 (3): 73-78. Bahri S. 1987. Peningkatan Daya Tahan Kambing Terhadap Racun Sianida [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana. Blaxhall PC. 1972. Hematological Assassment on The Health of Freshwater Fish. A review of selected literature. Journal Fish Biology 4: 593-604. Bond CE. 1979. Biology of Fishes. Philadelphia: Saunders Colege Publishing, p: 514. Brown PB. 2008. Utilization of Soy Products In Diets of Freshwater Fishes. In Lin C, Webster CD, Lee CS eds. Alternative Protein Sources in Aquaculture Diets. The Haworth Press, Taylor and Francis Group, New York, London, p: 225259. Bureau DP. 2005. Formulating More Cost-Effective Aquaculture Feeds. Canada, Ontario: University of Guelph. 12 pp. Cheng ZJ, Hardy RW daN Blair M. 2003. Effects of Supplementing Methionine Hydroxy Analogue in Soybean Meal and Distiller’s Dried Grain-Based Diets on The Performance and Nutrient Retention of Rainbow Trout [Oncorhynchus mykiss (Walbaum)]. Journal Aquaculture Research: 34. 1261-1268. Corwin. 2010. Toxicology, Mechanisms and Analytical Methods 2 nd . London: Academic Press.
45
Dellman HD dan Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner. Hartono (Penterjemah). Jakarta: UI Press. DKP 14 April 2009. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama 20052008. Kompas Cyber Media: 4. Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin Volume I. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Eisler R. 1991. Cyanide Hazards to Fish, Wildlife and Invetrebates: A Synoptic Review. Laurel, Maryland: Patuxent Wildlife Research Center. Everist SL. 1974. Nitrogenous Organic Compounds, Poisonous Plants of Australia. London: Angus dan Robertson Publishers. Eyo JE, Ezechie CU. 2004. The Effect of Rubber (Hevea Brasiliensis) Seed Meal Based Diets on Diet Acceptability and Growth Performance of Heterobanchius bidorsalir and Clarias gariepenus Hybrid. Journal of Sustainable Tropical Agriculture Research, 10: 20-25. FAO Fishery Statistics [24 Juni 2010]. Cyprinus carpio. http://www.fao.org/docrep. Fournier V, Huelvan C, Desbruyeres E. 2004. Incorporation of A Micture of PlantDerived Alternate Fish Feed Ingredients and Their Effectc In Fish: Review Article. Aquaculture 199: 197-227. Furuichi M. 1988. Fish Nutrition, in Watanabe T (edition), Fish Nutrition and Marineculture JICA Textbook The General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center. Garling DR Jr, Wilson RP. 1977. Effects of Dietary Carbohydrate to Lipid Ratio on Growth and Body Composition of Fingerling Channel Catfish. Prog. Fish Cult. 39:43-47. Grey M, Forster I, Dominy W, Ako H, Giesen AF. 2009. Validation of a Feeding Stimulant Bioassay Using Fish Hydrolysates for The Pacific White Shrimp, Litopenaeus vannamei. J. World Aquac. Soc. 40, 547-555. Guillaume, Kaushik S, Bergot P, Metailler R. 2001. Nutrition and Feeding of Fish and Crustaceans. UK: Praxis Publishing. Halver JE. 1972. Fish Nutrition. Florida: Academic Press, INC. Orlando.
46
Halver JE. 1989. Fish Nutrition. Academic Press, Inc. California. 798 pp. Halver JE dan Hardy RW. 2002. Fish Nutrition 3rd Edition. USA: Academic Press. Hara TJ. 1993. Chemoreception The Physiology of Fishes. London: CRC Press. Hariyono D. 1996. Rekayasa dan Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional “Agrotech Menjelang Abad 21” Batu, Malang. Hal. 18-22. Heath AG. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. Florida: CRC Press, Inc. Helver JE. 2002. Fish Nutrition. School of Fisheries University Washington. Seattle. Academia Press, Inc, p. 798. Hepher B. 1988. Nutrition and Ponds Fishes. New York: Cambridge University Press. Hertrampf JW dan Felicitas PP. 2000. Handbook on Ingredients for Aquaculture Feeds. London: Kluwer Academic Publisher. 573 pp. Hidayati D. 2007. Modul Fisiologi Hewan. Surabaya: Program Studi Biologi FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Humason GL. 1972. Animal Tissue Technique 3rd Edition. San Fransisco: WH Freeman and Company. Hinton DE dan Laurtn DJ. 1990. Integrative Histopathological Approaches to Detecting Effects of Environmental Stressors on Fishes. American Fisheries Society Symposium 8: 51-66. Indrajdaja D. [25 Agustus 2010]. Harga Pakan Ikan. http://industri.kontan.co.id. Ismail. 2008. Veterinary Toxicology 3rd Edition. London: The Royal Veterinary College, University of London. Jobling M, Gomez E, Diaz J. 2002. Feeds Types Manufacturer and Ingredient. In Houlihan D, Boujard T, Jobling, M, eds. Food Intake Fish. Blackwell Science Ltd. Osney Mead. Oxford, p: 31-39. Judoamidjojo M, Darwis AA, Sa’id EG. 1992. Teknologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Kapoor BG, Smit, Verighina EA. 1976. The Alimentary Canal and Digestion in Teleost in Russel F. S and M. Youtn (Eds). San Fransisco: 13 Press London.
47
Karossi AT, Dhalika T, Burhanudin, Zulfikar A, Budiastuti R. 1985. Penggunaan Bungkil Biji Karet untuk Bahan Pakan Ayam. Prosiding Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak Ciawi Bogor. Hal. 32-38. Kaushik SJ. 2001. Carbohydrate Nutrition: Importance and Limits of Carbohydrate Supplies. In Guilaume J, Kaushik S, Bergot P, Metailler R (Eds). Nutrition and Feeding of Fish and Crustaceans. Chichester UK: Praxis Publ. Ltd. p: 131143. Kissil GW, Lupatsch I, Higgs DA, Hardy RW. 2000. Dietary Substitution of Soy and Rapeseed Protein Concentrates for FM and Their Effects on Growth and Nutrient Utilization in Gilthead Seabream Sparus aurata L. Aquaculture Res. 31, 595-601. Lagler KF, Bardach JE, RR Miller, Passino DRM. 1977. Ichthyology. London: John Willey and Sons Inc. Lall SP. 2002. The Mineral In Fish Nutrition 3rd Edition. New York: Academic Press. Law AT, Cheah SH, Ang KJ. 1985. An Evaluation of The Apparent Digestibility of Some Locally Available Plants and Pelleted Feed in Three Finfish in Malaysia. In Cho CY, Cowey CB, Watanabe T. Eds. Finfish Nutrition in Asia: Methodological Approaches to Research and Development. IDRC, Ottawa, p: 90-95. Li MH, Maning BB, Robinson EH. 2004. Summary of Phytase Studies For Channel Catfish. Research Report. Missisipi Agriculture. Lovell T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. New York: An AVI Book Van Nostrand Reinhold. Madubuike FN, Ekenyem BU, Obin TKO. 2006. Performance and Cost Evaluation of Substituting Rubber Seed Cake for Groundnut Cake in Diets of Growing Pigs. Journal of Nutrition 5(1): 59-61. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Edisi ke-3. Bogor: IPB Press. Mohanta KN, Mohanty SN dan Jena JK. 2007. Protein Sparing Effect of Carbohydrate in Silver Barb Puntius gonionotus fry. Aquaculture Nutrition 13: 311-317.
48
Mokoginta I. 1997. Kebutuhan Nutrisi Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac) untuk Pertumbuhan dan Reproduksi [Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/4]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. p 3-8. Moyle PB, Cech Jr JJ. 2004. Fishes. An Introduction to Ichthyology 5th Edition. USA: Prentice Hall, Inc. Mulyati. 2003. Pengaruh Penggunaan Bungkil Biji Karet yang Difermentasikan dengan Ragi Tempe dan Oncom dalam Ransum Terhadap Kualitas Daging Ayam Boiler [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Murni. 2004. Pengaruh Penambahan Bakteri Probiotik Bacillus sp. dalam Pakan Buatan Terhadap Aktivitas Enzim Pencernaan, Efisiensi Pakan dan Pertumbuhan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy Lac) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ngoku OU, Ononogbu IC. 1998. Chemical and Toxicological Properties of Rubber (Hevea brasiliensis) Seed Meal and Oil. Acta Pharmacologia 48: 71-75. NRC (National Research Council, Subcommitte on Warmwater Fish Nutrition). 1977. Nutrient Requirement of Warmwater Fish and Shellfishes. Washington, DC: National Academy Pr. -------. 1983. Nutrient Requirement of Warmwater Fish and Shellfishes (Rev. Ed.). Washington, DC: National Academy Pr. 86 pp. -------. 1993. Nutrient Requirements of Fish. National Academy of Science. Washington DC. 114pp. [OIE]. [18 Desember 2003]. Manual of Diagnostic Test For Aquatic Animal. http://www.oie.int. Ong HK, Yeong SW. 1977. Prospect for The Use of Rubber Seed Meal for Feeding Pigs and Poultry, Feeding Stuffs for Livestock in South East Asia. Malaysian Society of Animal Production. Hal. 337-244. Oyewusi AP, Akintayo ET and Olaofe O. 2007. The Proximate and Amino Acid Composition of Defatted Rubber Seed Meal. Journal of Food, Agriculture & Environment Vol. 5 (3 and 4).
49
Paisey AS. 2009. Pemanfaatan Tepung Bungkil Kedelai dalam Pakan Benih Ikan Patin (Pangasius hypophtalmus). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Prawirodigdo S. [27 Nopember 2009]. Urgensi Evaluasi Bahan Pakan Asli Indonesia Sebagai Pilar Utama Untuk Menopang Usaha Ayam Lokal. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lkayam- lkl05-20pdf. Purwanti S. [27 Nopember 2009]. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Asam Sianida (HCN) Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Alternatif. http://disnaksulsel.info/index2.php?option=com. Rachmawan O. 2001. Bioteknologi Bungkil Biji Karet oleh Rhizopus oligosporus serta Implikasi Efeknya Terhadap Pertumbuhan dan Mutu Karkas atau Daging Domba Priangan Jantan [Disertasi]. Bandung: Universitas Padjadjaran. Rasyid H, Wahyuni S. 2009. Immunochemichanisms of Glomeruulonephritis. The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1, p. 289-297. Rumsey GR. 1993. Fishmeal and Alternate Sources of Protein in Fish Feeds. Journal of Aquaculture, 18 (7): 14-16. Setyowati A, Hidayati D, Awik PDN, Abdulgani N. 2010. Studi Histopatologi Hati Ikan Belanak (Mugil cephalu) di Muara Sungai Aloo Sidoarjo [Laporan]. Surabaya: Program Studi Biologi FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Shwetha A dan Hosetti BB. 2009. Acute Effects of Zinc Cyanide on the Behaviour and Oxygen Consumption of Indian Major Carp Cirrhinus mrigala (Hamilton). World Journal of Zoology 4 (3): 238-246. Siahaan S. 2009. Potensi Pemanfaatan Limbah Biji Karet (Hevea bransiliensis) Sebagai Sumber Energi Alternatif Biokerosin untuk Keperluan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Nanga Jetak Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang Kalimantan Barat) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Siakpere OK, Ake JEG, Idoge E. 2005. Haematological Characteristics of African Snakehead Parachanna obscura. African J. Biotechnology. 4:527-530. Soltan MA, Hanafy, Wafa, Mia. 2008. Effect of Replacing Fish Meal by Mixture of Different Plant Protein Sources in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus L.) Diets. Global Veterinaria 2 (4): 157-164.
50
Subandiyono. 2009. Nutrisi Ikan (Karbohidrat, Mikro-nutrien, Non- Nutrien dan AntiNutrien). Semarang: Bahan Ajar Budidaya Perairan Jurusan Perikanan-FPIK Universitas Diponegoro Semarang. 66 hal. Suprayudi MA. 2010. Pengembangan Penggunaan Bahan Baku Lokal untuk Pakan Ikan/Udang: Status Terkini dan Prospeknya. Makalah disajikan pada SemiLoka Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan/Udang. Bogor, 26 Oktober 2010. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, KKP bekerja sama dengan ISPIKANI Jakarta. Suyono. 2003. [21 Juli 2005]. http:///www.kompas.com.
Konsumsi
Singkong
Bahayakan
Tubuh.
Svobodová Z, Vykusová B. 1991. Diagnostic, Prevention and Therapy of Fish Disease and Intoxication. Research Institute of Fish Culture and Hydrobiology Vodňany,Czechoslovakia.http://www.fao.org/dorcep/field/003/AC160E/AC16 0E00.htm#TOC. [15 Juni 2008]. Tacon AGS. 1990. Standart Methods for the Nutrition and Feeding of Fanned Fish and Shrimp. Washington: Argent Laboratories Press. 165 pp. Tacon AGS. 1992. Nutrient fish pathology: Morphological signs of nutrient deficiency and toxicity in farmed fish. FAO. Technical Paper No. 330. Roma: 75 pp. Takeuchi T. 1988. Laboratory Work Chemical Evaluation of Dietary Nutrition In Watanabe T. Fish Nutrition and Mariculture JICA Textbook the General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center. Takeuchi T, Satoh S, Kiron V. 2002. Common Carp Nutrition and Requirements. New York: CABI Publishing. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodlo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Toh KS, Chia SK. 1977. Nutritional Value of Rubber Seed Meal in Livestock. Proccedings Symposium Malaysian Society abd Animal Production. Tweyongyere R dan Katongole. 2002. Cyanogenic Potential of Cassava Peels and Their Detoxification for Utilization as Livestock Feed. Vet. Hum. Toxicol. 44 (6) : 366-369.
51
Valkenburg VJLCH, Bunyapraphatsara N. 2001. Medicinal and Poisonous Plants. Plant resources of South-East Asia, No:12 (2) : 400-402. Venero JA, Davis DA, Lin C. 2008. Use of plant protein sources in crustacean diets. In Lin C, Webster CD, Lee CS, Eds. Alternative Protein Sources in Aquaculture Diets. New York: The Howorth Press. Vétter J. 2000. Plant Cyanogenic Glicosides. Veterinary Sciences, Toxicon 38 (2000) 11-36. Watanabe T, Pongmaneerat J. 1988. Fish Nutrition and Marinculture. Japan International Coorporation Agency, p. 191-196. Webster CD, Lim C. 2002. Nutrient Requirements and Feeding of Finfish for Aquaculture. United Kingdom: CABI Publishing. Wedemeyer GA, Yusutake WT. 1977. Clinical Method For The Assessment of The Effect on Envoronmental Stress on Fish Health. Techniccal paper oh the U.S Fish and wildlife service. US depert of the interior. Fish and wildlife service American 89: 1-17. Widodo W. 2000. Nutrisi dan Pakan Unggas Konstektual. Malang: Fakultas Peternakan Universitas Muhhamadiyah. Wilson, Cowel. 1985. Carcass EAA Pattern of Whole Fish Tissue. USA Company. Wiramiharja Y, Hernawati R, Harahap IM dan NIWA Y. 2007. Nutrisi dan Bahan Pakan Ikan Budidaya. Freshwater Aquaculture Development Project, Balai Budidaya Air Tawar, Japan International Cooperation Agency (JICA). Wirawati CU. 2002. Potensi Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Tempoyak Sebagai Probiotik [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yamamoto T, Unuma T dan Akiyama T. 1994. The Effect of Combined Use of Several Alternative Protein Sources in Fingerling Rainbow Trout Diets. Fisheries Science 61 (6): 915-920. Yuningsih R. Damayanti, Murdiati dan Darmono. 2004. Laporan Hasil Penelitian APBN. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner. Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
52
Zuhra CF. 2006. Karet [Karya Ilmiah]. Medan: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. 30 pp.
54
55
Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat dan kecernaan pada pakan dan feses
A. Prosedur Wet Ashing (Pengabuan) 1.
Sampel ditimbang 1 gram dimasukan kedalam Erlenmeyer 125 ml.
2.
Ditambahkan HNO3 65% sebanyak 5 ml, dikerjakan di ruang asam.
3.
Dibiarkan 1 jam tanpa pemanasan diruang asam, kemudian dipanaskan diatas hot plate pada suhu 80oC selama 4-6 jam lalu didinginkan.
4.
Tambahkan 0.4 ml H2SO4 pekat (panaskan kembali jika ada letupan kecil ±1 jam).
5.
Volume sampel akan berkurang pada saat ada perubahan warna, lalu teteskan larutan campuran HCLO4 : HNO3 (2:1) sebanyak 3 tetes, panaskan selama lebih kurang 1 jam. Terjadi perubahan warna coklat menjadi kuning lalu bening.
6.
Tambahkan 2 ml Aquades + 0,6 ml HCL(p).
7.
Panaskan kembali sampai larut lalu didinginkan.
8.
Pindahkan ke dalam labu takar kemudian larutkan menjadi 100 ml.
B. Preparasi Larutan I.
Larutan A ((NH4)6MO7O24.4H2O 10% = Amonium Molibdat 10%)
1.
10 gram Amonium Molibdat + 60 ml Aquades.
2.
Tambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara bertahap (panas).
3.
Buat larutan sampai 100 ml dengan menambahkan Aquades.
4.
Dinginkan larutan tersebut dalam suhu kamar.
II. Larutan B (dibuat sebelum analisis) 1.
10 ml larutan A + 60 ml aquades + 5 gram FeSO4.7H2O.
2.
Buat larutan sampai 100 ml dengan menambah Aquades.
III. Larutan Standar untuk Analisis P 1.
Larutkan 4.394 gram KH2PO4 dalam Aquades sampai 1 liter (untuk mendapatkan konsetrasi P = 1000 ppm).
56
Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat…
C. Analisis Fosfor I.
Larutan Standar
1.
Buat konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4, 5, dan 6 ppm dalam 5 ml, sehingga diperlukan:
2.
2 ppm
=
2 ppm/25 ppm x 5 ml
= 0,4 KH2PO4
3 ppm
=
3 ppm/25 ppm x 5 ml
= 0,6 KH2PO4
4 ppm
=
4 ppm/25 ppm x 5 ml
= 0,8 KH2PO4
5 ppm
=
5 ppm/25 ppm x 5 ml
= 1,0 KH2PO4
Masing-masing volume tersebut ditambah Aquades sampai 3 ml lalu diaduk menggunakan vortex kemudian ditambah larutan B sebanyak 2 ml.
3.
Baca pada spektrofotometer (UV Visible) dengan panjang gelombang 660 nm.
II. Pakan 1.
Larutan hasil Wet Ashing pakan di labu takar 100 ml di pipet 0,2 ml lalu diencerkan dengan akuades bebas mineral 3 ml (diaduk) + 2 ml Larutan B (diaduk).
2.
Larutan siap dianalisis menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
Kadar Protein Tahap Oksidasi 1. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. 2. Katalis (K2SO4+CuSo4.5H2O) dengan rasio 9:1 ditimbang sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. 3. 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl dan kemudian labu tersebut dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion pada suhu 400oC selama 3-4 jam sampai terjadi perubahan warna cairan dalam labu menjadi hijau bening.
57
Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat…
4. Larutan didinginkan lalu ditambahkan air destilasi 100 ml. Kemudian larutan dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan Aquades sampai volume larutan mencapai 100 ml. Larutan sampel siap untuk didestilasi.
Tahap Destilasi 1. Beberapa tetes H2SO4 dimasukkan ke dalam labu, sebelumnya labu diisi setengahnya dengan Aquades untuk menghindari kontaminasi oleh ammonia lingkungan. Kemudian didihkan selama 10 menit. 2. Erlenmeyer diisi 10 ml H2SO4 0.05 N dan ditambahkan 2 tetes indikator methyl red diletakkan di bawah pipa pembuangan kondensor dengan cara dimiringkan sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan. 3. 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi melalui corong yang kemudian dibilas dengan aquades dan ditambahkan 10 ml NaOH 30% lalu dimasukkan melalui corong tersebut dan ditutup. 4. Campuran alkalin dalam labu destilasi disuling menjadi uap air selama 10 menit terjadi pengembunan pada kondensor. 5. Labu erlenmeyer diturunkan hingga ujung pipa kondensor berada di leher labu pada permukaan larutan. Kondensor dibilas dengan Aquades selama 1-2 menit. 6. Tahap Titrasi 1. Larutan hasil destilasi ditritasi dengan larutan NaOH 0.05 N. 2. Volume hasil titrasi dicatat. 3. Prosedur yang sama juga dilakukan pada blanko. Kadar Protein (%) = 0.0007 * x (Vb – Vs) x 6.25 ** x 20 x 100% S Keterangan : Vb = Volume hasil titrasi blanko (ml) Vs = Volume hasil titrasi sampel (ml) S = Bobot sampel (g)
58
Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat…
* = Setiap ml 0,05 NaOH ekivalen dengan 0,0007 g Nitrogen ** = Faktor Nitrogen
Kadar Lemak Metode ekstraksi Soxhlet 1. Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 110oC dalam waktu 1 jam. Kemudian didiinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang bobot labu tersebut (X1) 2. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram (A), dan dimasukkan ke dalam selongsong tabung filter dan dimasukkan ke dalam soxhlet dan pemberat diletakkan di atasnya. 3. N-hexan 100-150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong terendam dan sisa N-hexan dimasukkan ke dalam labu. 4. Labu yang telah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water bath sampai cairan yang merendam sampel dalam soxhlet berwarna bening. 5. Labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga N-hexan menguap. 6. Labu dan lemak yang tersisa dipanakan dalam oven selama 15-60 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan ditimbang (X2). Metode Folch 1.
Labu silinder dioven terlebih dahulu pada suhu 110oC selama 1 jam, didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang (X1).
2.
Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram (A) dan dimasukkan ke dalam gelas homogen dan ditambahkan larutan kloroform/methanol (20xA) , sebagian disisakan untuk membilas pada saat penyaringan.
3.
Sampel dihomogenizer selama 5 menit setelah itu disaring dengan vacuum pump.
59
Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat…
4.
Sampel yang telah disaring tersebut dimasukkan dalamlabu pemisah yang telah diberi larutan MgCl2 0,03 N(0.2xC), kemudian dikocok dengan kuat minimal selama 1 menit kemudian ditutup dengan aluminium foil dan didiamkan selama 1 malam.
5.
Lapisan bawa yang terdapat dalam labu pemisah disaring ke dalam labu silinder kemudian dievaporator sampai kering. Sisa kloroform/methanol yang terdpat dalam labu ditiup dengan menggunakan vacuum setelah itu ditimbang (X2). Kadar lemak (%)
=
X2 - X1 A
x 100%
Kadar Air 1.
Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam kemudian dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (X1).
2.
Bahan ditimbang 2-3 g (A).
3.
Cawan dan bahan dipansakan dalam oven pada suhu 110oC selama 4 jam kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2). Kadar air (%)
=
(X1 + A) - X2 A
x 100%
Kadar Abu 1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan kemudian dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (X1). 2. Bahan ditimbang 2-3 g (A). 3. Cawan dan bahan dipansakan dalam tanur pada suhu 600oC sampai mnejadi abu kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2). Kadar abu (%)
=
X2 - X1 A
x 100%
60
Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat…
Kadar Serat Kasar 1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC setelah itu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (X1). 2. Sampel ditimbang sebnayak 0,5 g (A) dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 ml. 3. H2SO4 0.3 N sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer kemudian dipanaskan di atas pembakar Bunsen selama 30 menit. Setelah itu NaOH 1.5 N sebanyak 25 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer dan dipanskan kembali selama 30 menit. 4. Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disaring dalam corong Buchner dan dihubungkan pada vacuum pump untuk mempercepat filtrasi. 5. Larutan dan bahan yang ada pada corong Buchner kemudian dibilas secara berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0.3 N, 50 ml air panas dan 25 ml acetone. 6. Kertas saring dan isinya dimasukkan dalam cawan porselin lalu dipanaskan dalam oven 105-110oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator 5-15 menit dan ditimbang (X2). 7. Setelah itu dipanaskan dalam tanur 600oC hingga berwarna putih atau menjadi abu (±4 jam). Kemudian dimasukkan dalam oven 105-110oC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 5-15 menit dan ditimbang (X3). Kadar serat kasar (%)
=
(X2 - X1 - X3) A
x 100%
61
Lampiran 2. Analisis proksimat bahan pakan yang digunakan dalam penelitian (% bobot kering)
Komposisi Nutrien Protein Lemak Serat kasar Kadar abu BETN Air Total
TBBK diolah 33,82 15,07 15,03 5,06 20,02 11,00 100
Bahan Baku Pakan Tepung TBBK tidak bungkil diolah kedelai 21,87 43,86 49,30 2,57 3,19 3,08 3,14 6,52 21,00 33,25 1,50 10,72 100 100
DDGS
Tepung pollard
26,94 9,98 5,30 4,67 40,99 12,12 100
12,22 14,48 8,86 2,07 51,58 10,80 100
62
Lampiran 3.
Kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium TBBK diolah dan TBBK tidak diolah
Bahan Pakan
Ulangan
1 2 TBBK Diolah 3 Rata-rata SD 1 2 TBBK Tidak Diolah 3 Rata-rata SD
Total 70,59 70,09 68,75 69,81 0,95 60,92 61,80 57,50 60,07 2,27
Kecernaan (%) Protein Fosfor 84,79 87,48 84,34 86,00 83,56 86,04 84,23 86,51 0,62 0,85 80,05 81,89 76,44 84,16 80,00 83,41 78,83 83,15 2,07 1,16
Kalsium 79,83 80,77 73,66 78,09 3,86 65,89 65,27 64,45 65,21 0,72
63
Lampiran 4. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) Parameter
Bobot biomassa awal (g)
Bobot biomassa akhir (g)
Tingkat kelangsungan hidup (%)
Jumlah konsumsi pakan (g)
Pertumbuhan relatif (%)
Efisiensi pakan (%)
Ulangan 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD
P1
P2
43,93 43,93 44,90 43,98 0,09 148,16 165,38 164,77 159,44 9,77 80,00 90,00 90,00 86,67 5,77 165,78 169,82 160,69 165,43 4,58 237,26 276,46 273,71 262,48 21,89 77,98 81,47 85,72 81,72 3,88
43,93 43,99 43,95 43,96 0,03 154,47 164,15 155,40 158,01 5,34 85,00 90,00 85,00 86,67 2,89 163,77 163,28 163,57 163,54 0,25 251,63 273,15 253,58 259,45 11,90 84,06 84,77 84,87 84,57 0,44
Perlakuan P3 44,05 43,67 43,92 43,88 0,19 130,38 137,85 130,15 132,79 4,38 85,00 90,00 85,00 86,67 2,89 157,53 157,65 157,31 157,50 0,17 195,98 215,66 196,33 202,66 11,26 69,14 69,33 64,39 67,62 2,80
P4 44,00 43,82 43,71 43,84 0,15 119,26 103,24 101,91 108,14 9,66 90,00 80,00 80,00 83,33 5,77 131,61 131,71 132,46 131,93 0,46 171,05 135,60 133,15 146,60 21,21 66,93 64,88 63,92 65,92 1,53
64
Lampiran 5. Retensi protein dan lemak benih ikan mas Cyprinus carpio L. yang diberi pakan uji kinerja pertumbuhan selama 40 hari masa pemeliharaan Parameter
Ulangan
Protein pakan (%) Lemak pakan (%)
Protein tubuh akhir (%)
Lemak tubuh akhir (%)
Konsumsi protein pakan (g)
Konsumsi lemak pakan (g)
Pertumbuhan protein tubuh (g)
Pertumbuhan lemak tubuh (g)
Awal 1 2 3 Rata-rata SD Awal 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD
P1 31,82 8,12
Perlakuan P2 P3 30,84 30,80 10,82 11,86
P4 29,58 31,90
10,95 15,53 15,54 15,65 15,54 0,11 1,97 4,11 4,05 4,02 4,06 0,08 52,75 54,04 51,13 52,64 1,46 13,46 13,79 13,05 13,43 0,37 18,20 20,71 20,96 19,96 1,53 5,22 5,83 5,76 5,60 0,33
10,95 14,91 14,81 14,97 14,90 0,08 1,97 5,49 5,51 5,49 5,50 0,34 50,51 50,36 50,44 50,44 0,08 17,72 17,67 17,70 17,70 0,03 18,22 19,49 18,45 18,72 0,68 7,61 8,18 7,67 7,82 0,31
10,95 11,23 11,23 12,06 11,54 0,45 1,97 17,92 18,89 19,01 18,61 0,24 38,93 38,96 39,18 39,02 0,14 41,98 42,02 42,25 42,08 0,15 8,69 6,80 7,50 7,66 0,96 20,50 18,64 18,51 19,22 1,12
10,95 13,15 12,95 13,29 13,13 0,17 1,97 7,17 7,32 7,21 7,23 0,29 48,52 48,56 48,45 48,51 0,05 19,31 19,33 19,29 19,31 0,02 12,32 13,07 12,49 12,63 0,39 8,48 9,22 8,52 8,74 0,42
65
Lanjutan Lampiran 5. Retensi protein dan lemak… Parameter
Retensi protein (%)
Retensi lemak (%)
Ulangan 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD
P1 34,50 38,32 40,99 37,94 3,26 38,81 42,30 44,11 41,74 2,69
Perlakuan P2 P3 36,08 38,71 36,71 37,12 1,40 42,97 46,30 43,31 44,19 1,83
25,40 26,92 25,77 26,03 0,79 43,91 47,72 44,17 45,27 2,13
P4 22,33 17,44 19,15 19,64 2,48 48,84 44,35 43,81 45,67 2,76
66
Lampiran 6.
Kadar air, lemak, glikogen hati dan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI)
Parameter Air (%) Lemak (%) Glikogen (%) HSI
Air (%)
Lemak (%)
Glikogen (%)
Nilai Hepatosomatik Indeks
Ulangan
Awal 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD
P1 70,45 3,03 0,0018 0,0044
Perlakuan P2 P3 70,45 70,45 3,03 3,03 0,0018 0,0018 0,0044 0,0044
P4 70,45 3,03 0,0018 0,0044
75,20 73,50 74,58 74,43 0,86 9,71 8,59 9,68 9,33 0,64 0,096 0,099 0,085 0,093 0,007 0,04 0,03 0,04 0,04 0,01
77,68 77,45 76,59 77,24 0,57 9,78 9,66 9,96 9,80 0,15 0,107 0,104 0,105 0,105 0,002 0,05 0,04 0,05 0,05 0,01
72,95 70,57 71,63 71,72 1,19 13,33 12,56 10,58 12,16 1,42 0,020 0,026 0,021 0,022 0,003 0,01 0,02 0,02 0,02 0,01
73,82 74,91 72,26 73,66 1,33 11,30 11,34 12,54 11,73 0,70 0,043 0,039 0,035 0,039 0,004 0,02 0,03 0,02 0,02 0,01
67
Lampiran 7. Gambaran darah benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai perlakuan pakan Parameter Sel darah merah/SDM x 104 (sel/mm3) Sel darah putih/SDP x 104 (sel/mm3) Hemoglobin/Hb (g %) Hematokrit/Ht (%)
SDM x 104 (sel/mm3)
SDP x 104 (sel/mm3)
Hb (g %)
Ht (%)
Ulangan
Awal
1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD
Perlakuan P1
P2
P3
P4
82,80 42,20 2,80 5,80
82,80 42,20 2,80 5,80
82,80 42,20 2,80 5,80
82,80 42,20 2,80 5,80
148,99 148,94 149,09 149,00 0,08 97,29 97,43 97,36 97,36 0,07 5,83 5,78 5,91 5,84 0, 07 20,89 20,71 20,89 20,63 0,31
148,92 148,96 149,01 148,96 0,05 98,99 98,94 98,83 98,92 0,08 5,85 5,77 5,86 5,83 0,05 20,99 20,87 20,94 20,93 0,06
139,67 139,89 140,01 139,86 0,17 99,89 99,76 99,64 99,76 0,13 5,51 5,72 5,49 5,57 0,13 21,97 21,84 21,89 21,90 0,07
120,52 120,33 120,67 120,51 0,17 100,42 100,27 100,55 100,41 0,14 5,15 5,20 5,36 5,24 0,11 22,89 22,71 22,93 22,84 0,12
Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan jarum suntik steril pada bagian vena caudalis ikan uji. Jarum suntik tersebut sebelum digunakan terlebih dahulu dibasahi dengan Na-Sitrat 3,8% yang berfungsi sebagai antikoagulan. Sampel darah diambil untuk pengukuran parameter hematologis, yaitu sel darah merah, sel darah putih, kadar hemoglobin dan kadar hematokrit.
68
Lanjuttan Lampira an 7. Gambaran darah… …
Preparasi dimulai den ngan perend daman gelass objek dallam methannol guna memb bersihkannyaa dari lemak dan kotoran n. Selanjutnyya teteskan ddarah pada sisi ujung gelas objek kemu udian objek gelas lainny ya ditempelkkan dengan sudut 45° terhadap gelas objek pertam ma sampai darah meny yebar ke sisii ujung gelaas objek sellanjutnya ngga membeentuk lapisann tipis darahh. Preparat ddikeringdigeseer berlawanaan arah sehin angink kan dan laku ukan fiksasi dengan methanol selam ma 5. Preparrat kemudiann dibilas dengan n aquades daan dikering-anginkan keembali selanjjutnya diwarrnai dengan pewarna Giemssa selama 15 5 menit. Prep parat dibilas kembali denngan aquadees untuk menngurangi kelebihan warna dan d dikeringk kan menggu unakan tissuee.
Gambar 5. 5 Pembuatan preparat ulass darah (Svob odá dan Vykuusová 1991)
Sel Da arah Merah h Jumlah sell darah merrah dihitung menurut m metoda Blaxhhall (1972). Sampel utan Hayem untuk mengghancurkan sel darah puutih agar darah diencerkan dengan laru h sel darah merah m dapat dihitung. Peengenceran ddilakukan deengan mengggunakan jumlah pipet pencampur p berskala b mak ksimum 11 yang y dilengkkapi pengaduuk. Darah dihiisap dengan pipet hingg ga skala 1, kkemudian dihhisap larutann Hayem m n pipet yang sama. Pipett digoyang selama 15 menit agar hinggaa skala 11 menggunakan darah tercampur secara merrata, sedang gkan larutann pada ujunng pipet yanng tidak
69
Lanjutan Lampiran 7. Gambaran darah…
tercampur segera dibuang. Darah yang teraduk diteteskan ke dalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan dibawah mikroskop.
Sel Darah Putih Jumlah sel darah putih dihitung dengan metoda Blaxhall (1972). Sampel darah diencerkan dengan larutan Turks untuk menghancurkan sel darah merah agar jumlah sel darah putih dapat dihitung. Untuk mengencerkan leukosit digunakan pipet berskala maksimal 11 yang dilengkapi pengaduk. Mula-mula darah dihisap hingga skala 1, kemudian dilanjutkan dengan menghisap larutan Turks hingga skala 11. Pencampuran dilakukan dengan mengaduk pipet selama 15 menit agar darah tercampur secara merata. Setelah pencampuran selesai, teteskan ke dalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan leukosit dibawah mikroskop.
Kadar Hemoglobin Pengukuran konsentrasi hemoglobin darah dengan menggunakan metode Sahli. Metode ini didasarkan atas terbentuknya asam hematin (Hb darah dirombak menjadi asam hematin oleh asam khlorida 0,1 N) dengan satuan pengukuran dalam g %. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0,1 N sampai batas tera 2. Darah dihisap dengan pipet Sahli sampai skala 20 mm3. Ujung pipet yang digunakan dibersihkan dari sisa-sisa darah dengan menggunakan tissue. Darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung sahli yang telah diisi dengan larutan HCl 0,1 N. Kedua bahan diaduk dan didiamkan sebentar agar terbentuk asam hematin (berwarna kuning kecoklatan). Kemudian ditambahkan akuades sehingga warna sampel sama dengan warna standar pada tabung Sahli. Pembacaan dilakukan dengan melihat permukaan cairan dan warna dicocokkan dengan warna pada skala tabung Sahli yang dilihat pada lajur g % yang berarti banyaknya haemoglobin dalam gram per 100 ml darah (Aliffudin 1993).
70
Lanjuttan Lampira an 7. Gambaran darah… …
Kadarr Hematokrrit Darah dihiisap dengan menggunakan tabung m mikrohematookrit berlapiss heparin sebany yak 4/5 dari volume taabung, kemu udian bagiann ujung tabbung ditutupp dengan mengg gunakan lilin n sumbat. Taabung yang berisi b darah kemudian ddisentrifugassi selama 5 men nit dengan keecepatan 150 00 rpm. Pen ngukuran dilaakukan denggan membanndingkan bagian n darah yang g mengendap p dengan selu uruh bagian darah yang ada di dalam m tabung mikroh hematokrit dengan d perhiitungan = (x x/y) x 100% ((Aliffudin 1993).
Gambar 6. 6 Perhitungan n kadar hemaatokrit (Svoboodá dan Vykuusová 1991)
71
Lampiran 8. Hasil pengamatan histologi pada berbagai organ benih ikan mas
Gambar 7. Hasil pengamatan histologi usus bagian depan (Sumber: Data primer yang diolah 2011)
Pembuatan preparat histologi organ usus, ginjal, insang, otot dan hati benih ikan mas dalam setiap perlakuan, masing-masing diambil 3 ekor setiap perlakuan pada awal dan akhir pemeliharaan. Pembuatan preparat histologi menggunakan metoda Humason (1972).
Fiksasi jaringan dan Parafinisasi a.
Fiksasi : untuk mencegah pembusukan jaringan, maka jaringan yang telah diambil kemudian direndam dalam larutan fiksatif selama 3 x 24 jam. Larutan fiksatif yang digunakan adalah larutan Bouins.
72
Lanjutan Lampiran 8. Hasil pengamatan histologi…
Gambar 8. Hasil pengamatan histologi usus bagian belakang (Sumber: Data primer yang diolah 2011)
b.
Dehidrasi : Mengeluarkan cairan dari dalam sel dengan cara merendam dalam bahan kimia dimulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pertamatama jaringan yang dipilih direndam alkohol 70% selama 2 atau beberapa hari, kemudian dilanjutkan direndam berturut-turut dengan alkohol 80%, 90%, 95% dan 100% masing-masing selama 2 jam.
c.
Clearing : mengeluarkan alkohol dan memasukkan xylol (parafin larut dalam xylol ; tidak larut dalam alkohol. Setelah didehidrasi jaringan tersebut direndam alkohol xylol (1 : 1) ½ jam, dilanjutkan dengan xylol 3 kali masing-masing ½ jam.
73
Lanjutan Lampiran 8. Hasil pengamatan histologi…
Gambar 9. Hasil pengamatan histologi ginjal (Sumber: Data primer yang diolah 2011)
d.
Impregnasi : penggantian xylol dengan parafin dengan cara direndam dalam parafin dengan titik cair 58-600C; dalam oven yang dipanaskan pada 65-700C, xylol parafin (1 : 1) ¾ jam.
e.
Embedding : memasukkan parafin ke dalam sel. Jaringan tersebut direndam dengan parafin 3 kali masing-masing ¾ jam.
f.
Blocking : mencetak jaringan sehingga mudah untuk dipotong.
74
Lanjutan Lampiran 8. Hasil pengamatan histologi…
Gambar 10. Hasil pengamatan histologi otot (Sumber: Data primer yang diolah 2011)
Pemotongan Jaringan Dilakukan dengan mikrotom, ketebalan sayatan 4 mikrometer. Untuk jaringan lunak setelah dipotong dimasukan ke air suam-suam kuku (± 400C) sehingga pita potongan jaringan mengapung dan bisa dipotong untuk selanjutnya ditata dalam gelas objek. a.
Pewarnaan HE
Direndam dengan hematoksilin 7 menit, dicuci dengan air 7 menit, dilanjutkan dengan Eosin 3 menit dan dicuci dengan aquades.
75
Lanjutan Lampiran 8. Hasil pengamatan histologi…
Gambar 11. Hasil pengamatan histologi hati (Sumber: Data primer yang diolah 2011)
b.
Pewarnaan HE Direndam dengan hematoksilin 7 menit, dicuci dengan air 7 menit, dilanjutkan dengan Eosin 3 menit dan dicuci dengan Aquades.
c.
Dehidrasi : mengeluarkan air Direndam dengan alkohol 50% sebanyak 2 kali masing-masing 2 menit, dilanjutkan dengan alkohol 70%, 85%, 90%, 100% masing-masing 2 menit dan kemudian dengan xylol sebanyak 2 kali masing-masing 2 menit. Lalu ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi dengan entelan, dikeringkan dalam oven pada suhu 400C selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan preparat histologi dengan mikroskop dan dianalisa secara deskriptif.
Analisis Statistik Kecernaan Protein The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 3
Values P1 P2 P3
Number of Observations Read Number of Observations Used
9 9
The ANOVA Procedure Dependent Variable: kecernaan protein Source Model Error Corrected Total R-Square 0.802238
DF 2 6 8
Sum of Squares 44.13902222 10.88086667 55.01988889
Coeff Var 1.648718
Source perlakuan
DF 2
Root MSE 1.346654 Anova SS 44.13902222
Mean Square 22.06951111 1.81347778
F Value 12.17
Pr > F 0.0077
kecernaan protein Mean 81.67889 Mean Square 22.06951111
F Value 12.17
Pr > F 0.0077
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for kecernaan protein NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 1.813478 Number of Means Critical Range
2 2.690
3 2.788
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
84.230
3
P2
81.977
3
P1
B
78.830
3
P3
Analisis Statistik Kecernaan Total The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 3
Values P1 P2 P3
Number of Observations Read Number of Observations Used
9 9
The ANOVA Procedure Dependent Variable: kecernaan total Source Model Error Corrected Total R-Square 0.928729
Sum of Squares 327.8704667 25.1607333 353.0312000
DF 2 6 8 Coeff Var 3.317338
Source perlakuan
DF 2
Root MSE 2.047793 Anova SS 327.8704667
Mean Square 163.9352333 4.1934556
F Value 39.09
Pr > F 0.0004
kecernaantotal Mean 61.73000 Mean Square 163.9352333
F Value 39.09
Pr > F 0.0004
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for kecernaan total NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 4.193456 Number of Means Critical Range
2 4.091
3 4.240
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A
69.810
3
P2
B
60.073
3
P3
C
55.307
3
P1
Analisis Statistik Kecernaan Fosfor The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 3
Values P1 P2 P3
Number of Observations Read Number of Observations Used
9 9
The ANOVA Procedure Dependent Variable: kecernaan fosfor Source Model Error Corrected Total R-Square 0.816647
Sum of Squares 51.14646667 11.48333333 62.62980000
DF 2 6 8 Coeff Var 1.657800
Source perlakuan
DF 2
Mean Square 25.57323333 1.91388889
Root MSE 1.383434 Anova SS 51.14646667
F Value 13.36
Pr > F 0.0062
kecernaan fosfor Mean 83.45000 Mean Square 25.57323333
F Value 13.36
Pr > F 0.0062
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for kecernaan fosfor NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 1.913889 Number of Means Critical Range
2 2.764
3 2.865
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A
86.507
3
P2
B B B
83.153
3
P3
80.690
3
P1
Analisis Statistik Kecernaan Kalsium The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 3
Values P1 P2 P3
Number of Observations Read Number of Observations Used
9 9
The ANOVA Procedure Dependent Variable: kecernaan kalsium Source Model Error Corrected Total R-Square 0.823090
DF 2 6 8
Sum of Squares 281.1038889 60.4188000 341.5226889
Coeff Var 4.348104
Source perlakuan
DF 2
Root MSE 3.173295 Anova SS 281.1038889
Mean Square 140.5519444 10.0698000
F Value 13.96
Pr > F 0.0055
kecernaan kalsium Mean 72.98111 Mean Square 140.5519444
F Value 13.96
Pr > F 0.0055
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for kecernaan kalsium NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 6 10.0698
2 6.340
3 6.571
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
78.087
3
P2
75.653
3
P1
B
65.203
3
P3
Analisis Statistik Tingkat Kelangsungan Hidup The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: tingkat kelangsungan hidup Sum of Source DF Squares Mean Square Model 3 25.0000000 8.3333333 Error 8 166.6666667 20.8333333 Corrected Total 11 191.6666667 R-Square 0.130435
Coeff Var 5.317695
Source perlakuan
Root MSE 4.564355
DF 3
Anova SS 25.00000000
F Value 0.40
Pr > F 0.7569
tingkat kelangsungan hidup Mean 85.83333 Mean Square 8.33333333
F Value 0.40
Pr > F 0.7569
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for tingkat kelangsungan hidup NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 20.83333 Number of Means Critical Range
2 8.594
3 8.956
4 9.158
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A A A A A
86.667
3
P1
86.667
3
P2
86.667
3
P3
83.333
3
P4
Analisis Statistik Jumlah Konsumsi Pakan The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: jumlah konsumsi pakan Sum of Source DF Squares Mean Square Model 3 2159.049633 719.683211 Error 8 42.474733 5.309342 Corrected Total 11 2201.524367 R-Square 0.980707
Coeff Var 1.490444
Source perlakuan
Root MSE 2.304201
DF 3
Anova SS 2159.049633
F Value 135.55
Pr > F <.0001
jumlah konsumsi pakan Mean 154.5983 Mean Square 719.683211
F Value 135.55
Pr > F <.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for jumlah konsumsi pakan NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 5.309342 Number of Means Critical Range
2 4.338
3 4.521
4 4.623
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
165.430
3
P1
163.540
3
P2
B
157.497
3
P3
C
131.927
3
P4
Analisis Statistik Efisiensi Pakan The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: efisiensi pakan Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 858.6061667 50.8356000 909.4417667
DF 3 8 11
R-Square 0.944102
Coeff Var 3.370584
Source perlakuan
DF 3
Root MSE 2.520803 Anova SS 858.6061667
Mean Square 286.2020556 6.3544500
F Value 45.04
Pr > F <.0001
efisiensi pakan Mean 74.78833 Mean Square 286.2020556
F Value 45.04
Pr > F <.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for efisiensi pakan NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 4.746
0.05 8 6.35445 3 4.946
4 5.058
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
84.567
3
P2
81.723
3
P1
B B B
67.620
3
P3
65.243
3
P4
Analisis Statistik Pertumbuhan Relatif The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: pertumbuhan relatif Sum of Source DF Squares Mean Square Model 3 27089.29567 9029.76522 Error 8 2394.29720 299.28715 Corrected Total 11 29483.59287 R-Square 0.918792
Coeff Var 7.943151
Source perlakuan
DF 3
Root MSE 17.29992 Anova SS 27089.29567
F Value 30.17
Pr > F 0.0001
pertumbuhan relatif Mean 217.7967 Mean Square 9029.76522
F Value 30.17
Pr > F 0.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for pertumbuhan relatif NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 299.2872 Number of Means Critical Range
2 32.57
3 33.94
4 34.71
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
262.48
3
P1
259.45
3
P2
B
202.66
3
P3
C
146.60
3
P4
Analisis Statistik Retensi Protein The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: retensi protein Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 710.0694917 38.7545333 748.8240250
DF 3 8 11
R-Square 0.948246
Coeff Var 7.292242
Source perlakuan
DF 3
Root MSE 2.200981 Anova SS 710.0694917
Mean Square 236.6898306 4.8443167
F Value 48.86
Pr > F <.0001
retensi protein Mean 30.18250 Mean Square 236.6898306
F Value 48.86
Pr > F <.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for retensi protein NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 4.844317 Number of Means Critical Range
2 4.144
3 4.319
4 4.416
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
37.937
3
P1
37.123
3
P2
B
26.030
3
P3
C
19.640
3
P4
Analisis Statistik Retensi Lemak The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: retensi lemak Source Model Error Corrected Total
DF 3 8 11
R-Square 0.380882
Sum of Squares 28.01826667 45.54320000 73.56146667
Coeff Var 5.396110
Source perlakuan
DF 3
Mean Square 9.33942222 5.69290000
Root MSE 2.385980
Anova SS 28.01826667
F Value 1.64
Pr > F 0.2557
retensi lemak Mean 44.21667 Mean Square 9.33942222
F Value 1.64
Pr > F 0.2557
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for retensi lemak NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 4.492
0.05 8 5.6929 3 4.682
4 4.787
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A A A A A
45.667
3
P4
45.267
3
P3
44.193
3
P2
41.740
3
P1
Analisis Statistik Kadar Air Hati The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: kadar air hati Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 47.19816667 8.53200000 55.73016667
DF 3 8 11
R-Square 0.846905
Coeff Var 1.390643
Source perlakuan
DF 3
Mean Square 15.73272222 1.06650000
Root MSE 1.032715
Anova SS 47.19816667
F Value 14.75
Pr > F 0.0013
kadar air hati Mean 74.26167 Mean Square 15.73272222
F Value 14.75
Pr > F 0.0013
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for kadar air hati NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 1.944
0.05 8 1.0665 3 2.026
4 2.072
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A
77.2400
3
P2
B B B
74.4267
3
P1
73.6633
3
P3
C
71.7167
3
P4
Analisis Statistik Kadar Lemak Hati The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: kadar lemak hati Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 17.58282500 5.87840000 23.46122500
DF 3 8 11
R-Square 0.749442
Coeff Var 7.972144
Source perlakuan
DF 3
Root MSE 0.857205 Anova SS 17.58282500
Mean Square 5.86094167 0.73480000
F Value 7.98
Pr > F 0.0087
kadar lemak hati Mean 10.75250 Mean Square 5.86094167
F Value 7.98
Pr > F 0.0087
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for kadar lemak hati NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 1.614
0.05 8 0.7348 3 1.682
4 1.720
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
12.1567
3
P4
11.7267
3
P3
B B B
9.8000
3
P2
9.3267
3
P1
Analisis Statistik Glikogen Hati The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: glikogen hati Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 0.01477800 0.00016600 0.01494400
DF 3 8 11
R-Square 0.988892
Coeff Var 7.008026
Source perlakuan
DF 3
Mean Square 0.00492600 0.00002075
Root MSE 0.004555 Anova SS 0.01477800
F Value 237.40
Pr > F <.0001
glikogen hati Mean 0.065000 Mean Square 0.00492600
F Value 237.40
Pr > F <.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for glikogen hati NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.000021 Number of Means Critical Range
2 .008577
3 .008938
4 .009140
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A
0.105333
3
P2
B
0.093333
3
P1
C
0.039000
3
P3
D
0.022333
3
P4
Analisis Statistik Nilai Hepatosomatik Indeks The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: nilai hepatosomatik indeks Sum of Source DF Squares Mean Square Model 3 0.00162500 0.00054167 Error 8 0.00026667 0.00003333 Corrected Total 11 0.00189167 R-Square 0.859031
Coeff Var 18.72487
Source perlakuan
Root MSE 0.005774
DF 3
F Value 16.25
Pr > F 0.0009
nilai hepatosomatik indeks Mean 0.030833
Anova SS 0.00162500
Mean Square 0.00054167
F Value 16.25
Pr > F 0.0009
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for nilai hepatosomatik indeks NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.000033 Number of Means Critical Range
2 .01087
3 .01133
4 .01158
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
0.046667
3
P2
0.036667
3
P1
B B B
0.023333
3
P3
0.016667
3
P4
Analisis Statistik Sel Darah Merah The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: sel darah merah Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 1622.332600 0.133267 1622.465867
DF 3 8 11
R-Square 0.999918
Coeff Var 0.092466
Source perlakuan
DF 3
Mean Square 540.777533 0.016658
Root MSE 0.129067
Anova SS 1622.332600
F Value 32462.9
Pr > F <.0001
sel darah merah Mean 139.5833 Mean Square 540.777533
F Value 32462.9
Pr > F <.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for sel darah merah NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.016658 Number of Means Critical Range
2 .2430
3 .2532
4 .2590
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
149.0067
3
P1
148.9633
3
P2
B
139.8567
3
P3
C
120.5067
3
P4
Analisis Statistik Sel Darah Putih The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: sel darah putih Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 15.67215833 0.09373333 15.76589167
DF 3 8 11
R-Square 0.994055
Coeff Var 0.109211
Source perlakuan
DF 3
Mean Square 5.22405278 0.01171667
Root MSE 0.108244
Anova SS 15.67215833
F Value 445.87
Pr > F <.0001
sel darah putih Mean 99.11417 Mean Square 5.22405278
F Value 445.87
Pr > F <.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for sel darah putih NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.011717 Number of Means Critical Range
2 .2038
3 .2124
4 .2172
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A
100.41333
3
P4
B
99.76333
3
P3
C
98.92000
3
P2
D
97.36000
3
P1
Analisis Statistik Hemoglobin The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: hemoglobin Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 0.72069167 0.07000000 0.79069167
DF 3 8 11
R-Square 0.911470
Coeff Var 1.664685
Source perlakuan
DF 3
Mean Square 0.24023056 0.00875000
Root MSE 0.093541
Anova SS 0.72069167
F Value 27.45
Pr > F 0.0001
hemoglobin Mean 5.619167 Mean Square 0.24023056
F Value 27.45
Pr > F 0.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for hemoglobin NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 .1761
0.05 8 0.00875 3 .1835
4 .1877
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A A A
5.84000
3
P1
5.82667
3
P2
B
5.57333
3
P3
C
5.23667
3
P4
Analisis Statistik Hematokrit The ANOVA Procedure Class Level Information Class perlakuan
Levels 4
Values P1 P2 P3 P4
Number of Observations Read Number of Observations Used
12 12
The ANOVA Procedure Dependent Variable: hematokrit Source Model Error Corrected Total
Sum of Squares 9.07609167 0.23980000 9.31589167
DF 3 8 11
R-Square 0.974259
Coeff Var 0.802439
Source perlakuan
DF 3
Mean Square 3.02536389 0.02997500
Root MSE 0.173133
Anova SS 9.07609167
F Value 100.93
Pr > F <.0001
hematokrit Mean 21.57583 Mean Square 3.02536389
F Value 100.93
Pr > F <.0001
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for hematokrit NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.029975 Number of Means Critical Range
2 .3260
3 .3397
4 .3474
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A
22.8433
3
P4
B
21.9000
3
P3
C C C
20.9333
3
P2
20.6267
3
P1