Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
PENGARUH BUNGKIL BIJI KARET FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK DAGING DOMBA PRIANGAN JANTAN OBIN RACHMAWAN dan MANSYUR Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jl Raya Bandung Sumedang km 21, Jatinangor 40600 Email:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh tingkat bungkil karet fermentasi terhadap karakteristik fisik daging domba priangan jantan. Rancangan acak lengkap digunakan dalam penelitian ini. Perlakuan yang diberikan adalah tingkat bungkil biji karet fermetasi dalam ransum, yaitu 0%, 12%, 17%, 22%, dan 27% bungkil biji karet fermentasi dalam ransum untuk R0, R1, R2, R3, dan R4, berturut-turut. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Peubah yang diamati meliputi daya ikat air, tingkat keasaman, keempukan dan susut masak daging domba priangan jantan. Data yang diperoleh dianalisis varian, dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Kandungan bungkil biji karet dalam ransum berpengaruh terhadap susut masak daging domba priangan jantan, tetapi tidak berpengaruh terhadap daya ikat air, derajat keasaman, dan keempukkan daging domba priangan jantan. Ransum yang mengandung 22% bungkil biji karet fermentasi memberikan susut masak yang terendah sebesar 37,15%. Kata kunci: Karakteristik fisik daging, Bungkil biji karet fermentasi.
PENDAHULUAN Pengembangan peternakan ruminansia di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih banyak mengalami kendala dan permasalahan. Salah satu permasalahan yang ada adalah ketidakcukupan pakan yang tersedia secara berkelanjutan. RIADY (2006) mengidentifikasi persoalan-persoalan pakan yang harus dicari solusinya, diantaranya (1) belum terpetakannya potensi pakan ruminnansia secara optimal; (2) adanya kesenjangan distribusi penyebaran ternak dan ketersediaan pakan; (3) kesenjangan ketersediaan antara musim hujan dan kemarau; (4) hijauan pakan yang tersedia masih berkualitas rendah, dan (5) penggunaan konsentrat secara keseluruhan dalam pakan masih memberatkan dan membebani biaya produksi. Penggunaan konsentrat yang bergizi optimal membuat ternak dapat mencapai bobot jual ideal lebih cepat. Namun dalam pelaksanaannya penyediaan konsentrat yang bergizi, mudah didapat dan tidak bersaing dengan kebutuhan pangan sulit diperoleh. Hal ini disebabkan bahan baku konsentrat di
162
pasaran bersaing dengan kebutuhan pangan manusia, sebagai konsekwensinya terjadi peningkatan harga yang memberatkan para peternak. Upaya mengurangi persaingan kebutuhan tersebut perlu dicari jalan keluarnya yaitu bahan pakan yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan manusia, mudah diperoleh, murah harganya dengan nilai gizi memadai yaitu limbah industri perkebunan karet, antara lain biji karet, ataupun bungkil biji karet yang merupakan limbah pembuatan minyak biji karet. Keterbatasan pengunaan biji karet maupun bungkil biji karet sebagai pakan ternak karena kurang palatabel dan kandungan asam sianida yang tinggi sebagai zat racun yang mengganggu pertumbuhan ternak (RAJAGURU dan WETTIMUNY, 1973; BAHASUAN, 1984). Walaupun begitu, kandungan HCN dalam bungkil biji karet dapat dihilangkan, sehingga berada pada kadar aman untuk dikonsumsi oleh ternak. RACHMAWAN dan MANSYUR (2006) melaporkan bahwa perlakuan secara fisik melalui pengukusan, perebusan, ataupun dengan perendaman dalam air mengalir dapat mereduksi kandungan HCN dalam
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
4,06%, dari Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Margawati Garut. Kandang domba berbentuk panggung dengan tiang kayu dan atap seng. Kandang tersebut dibagi menjadi 30 kandang individu sebelah kiri dan 30 kandang individu sebelah kanan, dan yang digunakan 25 kandang individu sebelah kanan, bak makanan dan minuman disebelah luar, bak makanan dilapisi plastik. Lorong antar kandang individu sebelah kiri dan kanan lebar adalah 1,25 meter. Ukuran kandang individu dengan panjang, lebar dan tinggi yaitu 100 x 65 x 80 cm, dan tinggi kolong kandang 75 cm, untuk memudahkan pengambilan feses. Alas kandang terbuat dari bilahan bambu dengan jarak antar bilahan bambu tersebut 2 cm agar feses dapat lolos, sedangkan kaki domba tidak terperosok. Penelitian ini menggunakan hijauan rumput raja dan konsentrat terdiri dari dedak padi, bungkil kelapa, jagung giling, dan onggok yang didapat dari Toko Makanan Ternak di Garut. Adapun kandungan zat-zat makanan penyusun ransum percobaan disajikan pada Tabel 1, serta susunan dan komposisi zat-zat makanan ransum percobaan ditampilkan pada Tabel 2.
BBK dibawah dosis yang dapat menyebabkan keracunan. Selanjutnya fermentasi bungkil biji karet menggunakan kapang Rhizopus oligosporus dengan kondisi suhu fermentor 370C, dosis inokulum 0,2%, tebal substrat 2 cm dan waktu fermentasi 48 jam dapat menghilangkan sama sekali HCN dalam bungkil biji karet dan memberikan kandungan protein kasar dengan asam amino yang seimbang (RACHMAWAN dan MANSYUR, 2007). Nampaknya bungkil biji karet fermentasi (BBKF) dilihat dari nilai nutrisinya dapat digunakan sebagai bahan pakan dalam ransum domba. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh ransum yang mengandung bungkil biji karet terhadap karakteristik fisik daging domba priangan jantan. MATERI DAN METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Ternak domba Priangan jantan sebanyak 25 ekor dengan umur 8 – 9 bulan (gigi seri susu belum tanggal) dengan bobot badan rata-rata 19,40 kg dengan koefisien variasi
Tabel 1. Kandungan zat-zat makanan penyusun ransum percobaan Zat makanan
Rumput raja
BBKF
Bahan Kering
14,89
31,39
TDN
60,10
Protein Kasar Serat Kasar
Jagung
Bungkil kelapa
Dedak padi
Onggok
84,80
87,90
87,50
88,70
80,24
82,00
81,00
50,00
80,00
16,99
33,40
8,50
21,20
13,80
1,20
20,42
14,17
1,50
13,10
8,40
11,00
Lemak Kasar
2,72
11,34
9,60
17,30
9,40
0,20
BETN
46,06
34,90
63,80
41,80
54,30
74,10
Ca
0,42
0,42
0,02
0,16
0,01
0,02
P
0,52
0,66
0,27
0,57
1,30
0,23
Abu
13,78
6,19
1,70
6,40
10,10
1,70
(% BK)
Keterangan: BBKF (Bungkil biji karet fermentasi)
163
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Tabel 2. Susunan dan komposisi zat-zat makanan ransum percobaan Perlakuan
Bahan pakan R0
R1
R2
R3
R4
36 22 19 3 0,5 19,5 100,00
36 27 5 0,25 0,25 31,5 100,00
31,04 73,15 16,03 13,34 5,90 52,36 0,24 0,45 7,21
30,95 73,00 16,03 14,78 4,64 52,78 0,27 0,45 7,31
Rumput raja BBKF Jagung giling B. kelapa Dedak padi Onggok Jumlah
36 0 26 35 2 1 100,00
36 12 27 15,5 1,5 8 100,00
% 36 17 28,5 7 1,5 10 100,00
Zat makanan Bahan kering TDN Protein kasar Serat kasar Lemak kasar BETN Ca P Abu
31,68 73,11 16,04 12,61 9,73 49,64 0,22 0,48 7,86
31,30 73,12 16,03 12,50 7,77 51,23 0,23 0,46 7,44
31,14 73,07 16,03 12,34 7,02 51,85 0,24 0,45 7,26
Keterangan: BBKF (Bungkil biji karet fermentasi)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rancangan percobaan
Hasil penelitian pemberian ransum yang mengandung bungkil biji karet fermentasi terhadap daya ikat air (DIA), pH, keempukan dan susut masak daging domba dapat dilihat pada Tabel 3. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap daya ikat air, pH dan keempukan, sedangkan terhadap susut masak berpengaruh sangat nyata (P<0,01).
Penelitian ini dilakukan dengan metoda percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan level BBKF (0, 12, 17, 22 dan 27%) dengan lima kali ulangan. Peubah yang diamati meliputi daya ikat air (DIA), derajat keasaman (pH), keempukan dan susut masak daging. Data yang dihimpun selanjutnya dianalisis varian, dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan (STEEL dan TORRIE, 1980).
Tabel 3. Uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap mutu fisik daging domba Priangan jantan Perlakuan
Mutu fisik R1 DIA (%) PH Keempukan (kg/cm2) Susut Masak (%)
22,78
R2 a
22,81
R3 a
R4
22,83
a
22,88
R5 a
22,92a
5,51a
5,50a
5,48a
5,47a
5,48a
a
a
a
a
4,12a
37,15b
36,77b
5,02
4,88
39,69a
38,99a
4,74
37,65ab
4,24
Keterangan: Huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
164
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Berdasarkan hasil uji Duncan dapat diterangkan bahwa daya ikat air (DIA) oleh protein daging dari berbagai perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti bahwa kemampuan mengikat air pada tiap perlakuan mempunyai peluang yang sama. Derajat keasaman (pH) dan keempukan daging tampak tidak berbeda nyata (P>0,05). Ini berarti bahwa perlakuan tidak mempengaruhi terhadap pH dan keempukan daging. Susut masak daging domba Priangan jantan berbeda sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh tingkat bungkil biji karet fermentasi dalam ransum. Ransum R5 dan R4 memiliki susut masak yang sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan dengan ransum lainnya. Ransum R3 tidak berbeda nyata dengan ransum R4, namun berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum R5, sedangkan antara ransum R3, R2, dan R1 tidak berbeda nyata. Ini berarti bahwa perlakuan R5 dengan DIA yang rendah mampu untuk mempertahankan kesusutan seminimal mungkin. Keadaan daging domba Priangan jantan ini berada pada kondisi pH iso elektris (pH ultimat) dari protein daging dengan DIA rendah, paling empuk dan susut masak rendah yang berarti mutu daging paling baik pada domba yang mendapat perlakuan R4 dan R5. Hasil ini didukung oleh FORREST et al. (1975), SUTARDI (1988), SOEPARNO (1994), bahwa terdapat hubungan yang erat antara DIA, pH, keempukan dan susut masak. Derajat keasaman iso elektris pada daging berkisar antara 5,3 – 5,7, dengan tipe penurunan bertahap sehingga dagingnya normal. Cepat atau lambatnya penurunan pH tergantung pada kondisi ternak sebelum dipotong dan penanganan setelah dipotong. Ternak yang sebelum dipotong cukup istirahat dapat mencapai pH daging akhir 5,3 – 5,5 karena glikogen tersedia cukup banyak, sedangkan ternak yang banyak bergerak sebelum dipotong atau tidak cukup istirahat akan mengakibatkan kandungan glikogen berkurang dan pH akhir mencapai 6,0 – 6,6 dengan warna daging gelap dan kering. Penanganan daging setelah dipotong seperti pelayuan pada suhu rendah (aging) menyebabkan pH daging turun lambat dengan daging berwarna sedikit gelap.
Daya ikat air berhubungan dengan pH daging, yaitu pH daging yang lebih tinggi maupun lebih rendah dari pH isoelektris daging, daya ikat air tinggi. Cepat atau lambatnya penurunan pH daging tergantung laju proses glikolisis anaerob dan tinggi rendahnya kandungan glikogen dalam daging. Derajat keasaman daging berkaitan erat dengan daya ikat air, keempukan, susut masak dan warna daging SOEPARNA (1994). Susut masak dari daging tergantung dari tinggi rendahnya suhu dan waktu pemasakan. Dengan meningkatnya suhu dan waktu pemasakan akan diperoleh persentase susut masak yang tinggi, yang berarti mutu dagingnya kurang baik. Faktor lain yang mempengaruhi susut masak daging adalah umur ternak, bangsa, species, lemak marbling dan jumlah serta mutu pakan yang diberikan. Pakan yang bergizi tinggi menyebabkan kandungan protein daging tinggi, daya ikat air tinggi dan susut masak rendah. Daging dengan susut masak yang rendah berarti mutunya tinggi, karena hilangnya zat-zat makanan selama pemasakan daging sedikit. Keempukan daging domba berbeda-beda tergantung pada ukuran serat daging, jumlah jaringan ikat, aktivitas ternak sebelum dipotong dan lama penggantungan karkas, serta marbling (WINARNO, 1983). Tinggi rendahnya marbling akan menentukan tinggi rendahnya mutu daging. Daging dengan marbling tinggi akan menghasilkan daging yang empuk. Setelah ternak disembelih terjadi proses glikolisis anaerob yaitu perombakan glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan pH daging turun, terjadi denaturasi protein dan daging menjadi empuk. Rendahnya pH daging disebabkan pada saat protein terhidrolisis akan dilepaskan ion hidrogen yang menyebabkan daging menjadi empuk (SUTARDI, 1988, MUCHTADI, 1989). KESIMPULAN Kandungan bungkil biji karet dalam ransum berpengaruh terhadap susut masak daging domba priangan jantan, tetapi tidak berpengaruh terhadap daya ikat air, derajat
165
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
keasaman, dan keempukkan daging domba priangan jantan. Ransum yang mengandung 22% bungkil biji karet fermentasi memberikan susut masak yang terendah sebesar 37,15%.
RACHMAWAN, O., dan MANSYUR. 2007. Kondisi Optimum Untuk Proses Fermentasi Bungkil Biji Karet Oleh Rhizopus Oligosporus. Prosiding Seminar NAsional AINI. Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
RAJAGURU, A.S.B. dan S.G.D. WETTIMUNY, 1973. Rubber seed meal as a protein supelement in poultry feeding. Rubber Res. Inst. Srilangka Bull. No 7.
BAHASUAN, A.H. 1984. Pengaruh Tingkat Pemberian Biji Karet (Havea brasilleinsis) dalam Ransum Ayam Pedaging terhadap Bobot Karkas, Bobot Lemak Rongga tubun, Bobot Hati, dan Bobot ginjal. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. FORREST, J.D., E.D., ABERLE, H.B. HEDRICK, M.D. JUDGE, dan R.A. MERKEL. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. MUCHTADI, T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB Bogor. RACHMAWAN, O., dan MANSYUR. 2006. Detoksifikasi HCN dari Bungkil Biji Karet (BBK) melalui Perlakuan Fisik. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Bandung.
166
SOEPARNO, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan kedua. Gadjah Mada University Press. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE, 1980. Principles and Procedures of Statistics, (Penerjemah: BAMBANG SUMANTRI, Prinsip dan Prosedur Statistika, 1993) Cetakan ketiga. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. SUTARDI, T., 1988. Landasan Ilmu Nutrisi, Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. WINARNO, F.G. 1983. Enzim Pangan. Penerbit Gramedia. Jakarta.