KAJIAN SILASE RANSUM KOMPLIT BERBAHAN BAKU PAKAN LOKAL PADA ITIK MOJOSARI ALABIO JANTAN
ALLAILY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Kajian Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Pakan Lokal pada Itik Mojosari Alabio Jantan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2006
Allaily D 051030141
42
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
43
KAJIAN SILASE RANSUM KOMPLIT BERBAHAN BAKU PAKAN LOKAL PADA ITIK MOJOSARI ALABIO JANTAN
ALLAILY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
44
Judul Tesis : Kajian Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Pakan Lokal pada Itik Mojosari Alabio Jantan Nama : Allaily NIM : D051030141
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nahrowi, M. Sc. Ketua
Dr. Ir. Rita Mutia, M. Sc. Anggota
Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2006
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
45
ABSTRAK ALLAILY. Kajian Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Pakan Lokal pada Itik Mojosari Alabio Jantan. Dibimbing oleh NAHROWI, RITA MUTIA, dan KOMANG G. WIRYAWAN. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji produk silase ransum komplit pada itik Mojosari Alabio jantan menggunakan bahan baku pakan lokal berkadar air tinggi yang saat ini masih bermasalah dalam penyimpanannya. Teknologi yang dipakai adalah teknologi fermentasi dalam kondisi anaerob. Penelitian ini dibagi dalam tiga tahap. Tahap I: uji kualitas silase yang dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 4 perlakuan kadar air (30, 40, 50, dan 60%) dan 4 kelompok waktu penyimpanan (1, 2, 3, dan 4 minggu) dalam suhu ruang, tiap unit perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Silase dibuat di dalam botol gelas, yang diisi 200-300 g pakan komplit dan ditambah BAL sebanyak 105 cfu Lactobacillus plantarum per gram silase. Tahap II: Laju alir pakan (rate of passage) menggunakan 5 ekor itik berumur 10 minggu, dengan menggunakan analisis statistik deskriptif. Perlakuan yang diberikan adalah pakan komersil dan 4 silase ransum komplit dengan kadar air berbeda yang diamati 4 jam setelah pencekokan. Tahap III: Feeding trial menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 75 ekor Itik MA (Mojosari Alabio) jantan berumur 7 minggu. Perlakuan pakan ada 5 (pakan komersil, silase kadar air 30, 40, 50, dan 60%), terdiri atas 3 ulangan, masing- masing ulangan terdapat 5 ekor itik. Secara fisik dan kimia, produk silase ransum komplit berbahan baku pakan lokal memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan silase hijauan. Kadar air dan waktu penyimpanan sangat nyata (P<0.01) menurunkan pH dan meningkatkan total asam. Dibandingkan dengan pakan kontrol dan silase lainnya, silase kadar air 50% dan 60% terlama menempati saluran pencernaan sehingga mampu memaksimalkan penyerapan nutrien. Kadar air nyata (P<0.01) mempengaruhi pertambahan bobot badan itik dan konsumsi bahan kering pakan, tetapi tidak nyata mempengaruhi konversi pakan. Silase yang memiliki rasio konversi ransum terbaik adalah silase kadar air 50% sebesar 4.65. Simpulan dari penelitian ini adalah silase ransum komplit berbahan baku pakan lokal dengan kadar air 50% yang paling baik diberikan untuk itik dilihat dari segi performa yang dihasilkan.
46
PRAKATA Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat beserta salam kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai pembelajar sejati teladan ummat. Tesis ini adalah hasil dari penelitian yang dilaksanakan sejak Februari sampai Mei 2006, mengangkat tema teknologi pakan unggas, dengan judul Kajian Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Pakan Lokal pada Itik Mojosari Alabio Jantan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Kedua
pasang
orang tuaku :
Drs. Tarman S dan Suriyati P serta Drs.
H. Banta Syam Badal dan Hj. Kamariah, kakak, abang juga adik -adikku tercinta Ilhamsyah, S.Sos dan istri, Hudayana, S.Pd, Arief Hakim, Cholish, Ridha Lestari, Amminiyani dan adik-adik dari pihak suami atas dorongan, bantuan dan dukungan doa semoga Allah selalu mengikatkan hati kita dalam kenikmatan iman. 2. Bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi Ilmu Ternak, Ibu Dr. Ir. Rita Mutia, M.Sc (Anggota) dan Bapak Dr. Ir. Komang G. Wiryawan (Anggota), atas bimbingan serta dukungan materi, moral dan spiritua l. 3. Bapak Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr atas kesediaannya menjadi Penguji Luar Komisi. 4. Bapak/ibu Staf Pengajar dan Administrasi serta Laboran Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5. Bapak Roni Ridwan, S.Pt. dan Ibu Dr. Yantiyati, serta teman-teman di LIPI Bioteknologi Cibinong yang telah bersedia bekerja sama dalam pengujian kualitas silase. 6. Kopertis Wilayah I dan Dekan Fakultas Pertanian Panca Budi Medan beserta staf rektorat Universitas Panca Budi Medan (UNPAB) yang telah memberikan dukungannya kepada penulis untuk melanjutkan sekolah. 7. Keluarga
Besar
Ikatan
Mahasiswa
Pasca
Aceh
(IKAMAPA)
atas
kebersamaannya dan persahabatannya, Pengurus Komite Peduli Aceh (KPA-
47
Bogor) atas kerjasama selama bertugas pasca tsunami 2004, Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) IPB atas ilmu dunia akhiratnya semoga tetap eksis, Tim Penelitian Bungkil Inti Sawit dan Silase (Ir. Ma`ruf Tafsin, M.Si, Ir. Yatno, M.Si, Fitri Kurnia Nikmah, S.Pt, Yusuf Zainal, Gilang Kiswara, Ria Estiana, Risma, Meri, Erisya dan Mul), warga INMT 39 atas doa dan kerjasamanya, WACANA PTK dan WACANA IPB, LSM Bina Insan Sahabat (BIS) Peduli Medan, LSM Community Empowering Society (CES) Medan dan Keluarga Besar Muhammadiyah Ranting Sei Kera Hilir Medan. 8. Sahabat-sahabatku Nurjannah, S.Pt, Wahyuni Nur, S.Pd, Ir. Dwi Kusuma Purnama Sari, M.Si, Leli Retnowulan, S.Sos, Ati Atul Quddus, S.Pt., M.Si, warga Pondok Alyesha (Dian Agustina, S.Pt, Nita Sari Tarigan, S.P, Eva Ayuzar, S.Pi, Nurul Febriani, S.Pt, Yuni, S.Sos, Susana Rafiani, S.Si., M.Si, Pera
Nurfathiyah, S.P., M.Si, Rina
Kurnianingsih, S.P,
Fitri Filianti,
S.TP), warga PTK Sekolah Pasca Sarjana IPB dan seluruh sahabat-sahabatku. 9. Keluarga Ibu Sutini, Ibu Ir. Luluk Setyaningsih, Bapak Ir. Listiyanto, M.Si, Ibu Haji Aisyah, Cing Ali dan Bapak Hasan atas cinta kasih dan persaud araannya. 10. Suamiku Jumadil Akhir, S.Hut., M.Si yang tersayang dan setia mendampingi penulis dalam cinta, kerja, dan doa, dari jauh dan dekat semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan nikmat iman kepadanya. Besar harapan penulis kiranya karya ilmiah ya ng sederhana ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2006
Allaily
48
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 14 Juni 1978 dari Bapak Drs. Tarman, S. dan Ibu Suriyati, P. Penulis merupakan putri pertama dari tujuh
bersaudara.
Pada 20 November 2005 penulis menikah dengan Jumadil
Akhir, S.Hut., M.Si di Medan. Pendidikan TK ditempuh di Banda Aceh pada tahun 1982 , SD sampai SMA di Medan, Sumatera Utara. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan ke PTN Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penulis memilih Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian dengan penelitian produksi ternak unggas dan kualitas daging akibat pemberian ampas tahu dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Master diperoleh pada tahun 2003, dimana penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Sekolah Pascasarjana IPB. Konsentrasi pendidikan diarahkan kepada Ilmu Makanan Ternak. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Tinggi (Dikti).
49
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiii PENDAHULUAN..................................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA Silase ................................................................................................................ 3 Ensilase............................................................................................................. 4 Kualitas Silase.................................................................................................. 7 Bakteri Asam Laktat......................................................................................... 8 Asam Laktat ..................................................................................................... 11 Kadar Air .......................................................................................................... 12 Laju Alir Pakan pada Saluran Pencernaan Itik ................................................. 14 Performa Itik Mojosari Alabio ......................................................................... 15 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat .......................................................................................... 18 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................................... 18 Metode.............................................................................................................. 18 Tahap I. Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Pakan Lokal . 18 Tahap II. Uji Laju Alir Pakan..................................................................... 21 Tahap III. Pengaruh Pemberian Silase terhadap Performa Itik Mojosari Alabio Jantan.............................................................................................. 22 Analisis Data .................................................................................................... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I. Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Lokal ................... 25 Tahap II. Uji Laju Alir Pakan........................................................................... 30 Tahap III. Pengaruh Pemberian Silase terhadap Performa Itik Mojosari Alabio Jantan.................................................................................................... 31 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 37 LAMPIRAN .............................................................................................................. 41
50
DAFTAR TABEL Halaman 1. Beberapa bakteri asam laktat yang penting pada proses ensilase ......................... 11 2. Keunggulan Itik Mojosari Alabio ......................................................................... 16 3. Rekomendasi kebutuhan gizi pakan itik berdasar umur ........................................ 16 4. Rataan pH, koloni bakteri asam laktat (BAL), total asam pada minggu ke 4 ....... 25 5. Persentase pakan pada saluran pencernaan itik setelah 4 jam pencekokan........... 30 6. Kandungan protein kasar silase ransum komplit (100% BK)............................... 31 7. Performa itik yang diberi silase dengan kadar air berbeda ................................... 33
51
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kurva pertumbuhan bakteri................................................................................... 7 2. Lactobacillus ......................................................................................................... 9 3. Pengaruh kadar air terhadap pertumbuhan mikroorganisme ................................. 13 4. Bagan alur kegiatan penelitian.............................................................................. 24 5. pH silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda............................... 26 6. Koloni BAL silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda ............... 27 7. Total asam silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda .................. 29
52
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis kualitas silase ransum komplit berbahan baku lokal............................... 42 2. Analisis uji laju alir pakan..................................................................................... 44 3. Analisis pengaruh pemberian silase terhadap performa itik Mojosari Alabio jantan...................................................................................................................... 45
53
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemakaian bahan baku pakan lokal dalam industri pakan khususnya pakan unggas, masih sangat terbatas. Selain karena kualitas dan ketersediaan yang tidak terjamin, saat ini pakan lokal mempunyai harga yang relatif lebih mahal dari impor. Upaya untuk meningkatkan pemakaian pakan lokal telah dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil, karena adanya faktor- faktor pendukung yang belum diperhatikan seperti penyediaan sarana, prasarana, dan teknologi. Terkait dengan teknologi pasca panen, dipandang perlu untuk mencari terobosan teknologi yang murah, sederhana, dan mempunyai fungsi ganda. Dibandingkan dengan teknologi pengeringan, teknologi fermentasi anaerob menjadi silase lebih menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia. Pembuatan silase ransum komplit selain untuk pengawetan juga dimaksudkan agar bahan baku pasca panen yang berkadar air tinggi langsung dapat digunakan, sehingga secara aplikatif teknologi ini dapat memotong jalur produksi pakan menjadi lebih singkat. Bahan baku yang dijadikan silase dari bahan bukan hijauan untuk pakan unggas telah diteliti, namun baru terdiri atas satu atau dua bahan baku saja, misalnya silase ikan (Indriati 1983) atau silase ikan-gaplek (Ridla et al. 2001). Kajian pendahuluan penggunaan ransum silase berkadar air 50% pada ayam broiler umur 1-5 minggu, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dalam hal pertambahan bobot badan dan konversi ransum dibandingkan dengan ransum bentuk kering. Meskipun demikian konsumsi ransum nyata menurun (Ramli 2005). Lebih jauh performa organ-organ vital ayam yang mendapat ransum silase tidak menunjukkan kelainan, yang mencerminkan amannya ransum silase untuk unggas. Terkait dengan kajian tersebut, maka kajian ransum silase berbahan baku lokal pada itik penting untuk dilakukan dalam rangka menggali informasi- informasi lain yang diperlukan.
54
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengkaji pengaruh kandungan air terhadap kualitas silase ransum komplit, (2) mempelajari laju alir pakan silase pada saluran pencernaan itik, (3) mengevaluasi efek pemberian silase ransum komplit terhadap performa itik.
Manfaat Penelitian Menciptakan tren baru teknologi pakan unggas di Indonesia agar terwujudnya ketahanan pakan, sehingga secara tidak langsung mendukung ketahanan pangan. Mengatasi krisis air dengan cara menggunakan kadar air yang ada pada bahan baku pakan.
Hipotesis 1. Semakin tinggi kadar air silase maka kualitas silase semakin baik. 2. Laju alir pakan silase semakin cepat seiring dengan peningkatan kadar air. 3. Performa itik yang diberi silase ransum komplit tidak berbeda dengan ransum kontrol.
55
TINJAUAN PUSTAKA Silase Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi anaerob dengan kandungan air yang tinggi. Ensilase adalah prosesnya, sedangkan tempat pembuatannya dinamakan silo (Sapienza & Bolsen 1993). Silase dapat dibuat dari berbagai jenis hasil panen. McDonald et al. (1991) menuliskan bahwa silase merupakan bahan pakan yang diproduksi secara fermentasi, yaitu dengan cara pencapaian kondisi anaerob. Bolsen et al. (2000) menambahkan bahwa silase adalah bahan pakan yang diproduksi melalui proses fermentasi, bahan tersebut berupa tanaman, hijauan, limbah pertanian yang mengandung kadar air lebih dari 50%. Karakteristik dari hasil panen ideal yang dapat dibuat silase adalah yang mengandung kecukupan substrat untuk proses fermentasi, yaitu dalam bentuk karbohidrat yang terlarut dalam air (water soluble carbohydrates = WSC), kapasitas buffer yang relatif rendah dan kandungan bahan kering di atas 200 g /kg. Idealnya dapat dipadatkan pada saat dimasukkan ke silo setelah dipanen. WSC tergantung pada spesies, masa penanaman bahan, tahap pertumbuhan, iklim, dan level penyubur tanaman yang dipakai. Kapasitas buffer adalah kemampuan untuk mempertahankan perubahan pH (McDonald et al. 1991). Pembuatan silase tidak tergantung pada musim. Keberhasilan pembuatan silase berarti memaksimalkan nutrien yang dapat diawetkan (Sapienza & Bolsen 1993). Schroeder (2004) menyatakan ba hwa silase dapat mengurangi tenaga kerja dan kehilangan nutrisi dengan proses fermentasi yang akhirnya akan mengawetkan hasil panen. Balitbang (2003) mengungkapkan bahwa pembuatan silase dapat mengatasi kekurangan pakan ternak pada musim kemarau serta mena mpung kelebihan produksi pakan atau memanfaatkan pakan pada saat pertumbuhan terbaik. Silase dapat memaksimalkan feed intake dan mengurangi pencemaran udara (Pieper 1996). Prinsip penting dalam pembuatan silase adalah mempercepat terjadinya kondisi anaerob
dan
mempercepat
terbentuknya
suasana asam. Faktor yang
56
mendukung prinsip tersebut adalah: tahap kematangan bahan pada saat dipanen, tipe fermentasi yang terjadi pada saat penyimpanan di silo, tipe penyimpanan yang digunakan, serta metode panen dan saat pemberian silase pada ternak (Schroeder 2004). Pieper (1996) menuliskan proses fermentasi yang optimum pada silase juga dipengaruhi oleh lingkungan. Kualitas silase dipengaruhi oleh faktor biologi yaitu tahap kematangan bahan pakan juga teknologi yang dipergunakan saat pembuatan silase (Bolsen et al. 2000).
Ensilase Ensilase adalah nama yang diberikan untuk proses yang terjadi saat silase disimpan di tempat penyimpanan (silo). Selama proses ensilase sejumlah asam diperoleh sebagai hasil fermentasi WSC. Walaupun kandungan protein, asam amino dan asam organik dapat memenuhi fungsi sebagai substrat fermentasi, struktur karbohidrat adalah sumber utama substrat yang dibutuhkan (McDonald et al. 1991). Secara tidak langsung proses ensilase berfungsi untuk mengawetkan komponen nutrien dalam silase. Semakin cepat pH turun semakin dapat ditekan enzim proteolisis yang bekerja pada protein, mikroba yang tidak diinginkan semakin cepat terhambat, dan kecepatan hidrolisis polisakarida semakin meningkat hingga menurunkan serat kasar silase (Sapienza & Bolsen 1993). Tujuan utama dari ensilase adalah mencegah kembali masuknya dan sirkulasi udara selama penyimpanan. Jika terjadi kontak kembali dengan oksigen, maka aktivitas mikroba aerob akan terjadi sehingga dapat menyebabkan kerusakan material bahan dan selanjutnya akan memproduksi racun. Tujuan kedua adalah untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan seperti Clostridia karena akan memproduksi asam butirat dan merusak asam amino hingga menurunkan nilai nutrisi silase (McDonald et al. 1991). Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri atas 4 fase yaitu: (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil, dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Fase aerob pada pemb uatan silase terdiri dari dua macam proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis yang disebabkan oleh adanya aktivitas enzim
57
yang berada pada bahan. Dampak negatif dari fase aerob dapat dihindarkan dengan cara penutupan silo yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan cepat (Sapienza & Bolsen 1993). Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan 3 proses penting yaitu: glikolisis, siklus kreb, dan rantai respirasi. Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus kreb menghasilkan 2 ATP, sedangkan rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami fermentasi. Proses respirasi ini membakar karbohidrat dan memproduksi panas, sehingga waktu yang digunakan untuk fase ini harus diminimalkan. Prinsip fermentasi adalah tercapainya kondisi anaerob (McDonald et al. 1991). Pada fase fermentasi (respirasi anaerobik) menghasilkan 2 ATP per 1 molekul glukosa (Winarno & Fardiaz 1979). Fase fermentasi dicapai saat keadaan anaerobik, maka mikroba anaerob mulai tumbuh. Bakteri asam laktat (BAL) adalah mikroflora yang terpenting tumbuh karena pakan ternak akan diawetkan oleh asam laktat yang diproduksinya. Mikroorganisme yang lain seperti Enterobacteriaceae, spora clostridia, ragi dan kapang memiliki pengaruh yang negatif pada kualitas silase. Mikroorganisme ini berkompetisi dengan (BAL) untuk memfermentasi karbohidrat dan memproduksi senyawa yang mengganggu proses pengawetan pakan ternak (Bolsen et al. 2000). Fase
awal
fermentasi
silase
yaitu
saat
pertumbuhan
bakteri
yang
menghasilkan asam asetat terjadi. Bakteri ini memfermentasi karbohidrat terlarut dan menghasilkan asam asetat sebagai hasil akhirnya. Produksi asam asetat akan menurunkan pH, hingga pertumbuhannya akan terhambat bila pH di bawah 5. Hal ini sebagai pertanda bahwa fase awal fermentasi berakhir dan akan dilanjutkan dengan fermentasi berikutnya. Penurunan pH terus berlangsung sehingga meningkatkan pertumbuhan kelompok bakteri anaerob yang lain, kelompok bakteri ini menghasilkan asam laktat. BAL memfermentasi karbohidrat terlarut. Pengawetan silase yang efisien terdiri lebih dari 60% asam laktat sebagai asam organik yang diproduksi. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase
dan akan terus
berlangsung sampai dicapai pH yang cukup rendah untuk pertumbuhan semua
58
bakteri. Ketika pH ini dicapai maka bahan pakan akan tahan disimpan. Tidak akan terjadi proses kerusakan sepanjang silase tetap terpelihara dari udara (Schroeder 2004). Masa fermentasi aktif berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan. Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% masuk dalam kategori ini, sedangkan bila kandungan air lebih rendah dari 40-50% proses fermantasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55-60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1-5 minggu. Fermentasi akan terhenti disebabkan kehabisan substrat gula untuk proses fermentasi (Sapienza & Bolsen 1993). Pada saat ini silase telah terfermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara. Masa aktif pertumbuhan BAL berakhir karena berkurangnya WSC, maka ensilase memasuki fase stabil. BAL memfermentasi gula yang dirombak dari hemiselulosa, sehingga menyebabkan lambatnya penurunan pH. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam mempertahankan suasana anaerob (Bolsen et al. 2000). Pada fase stabil proses pertumbuhan dan kematian BAL seimbang, sehingga tidak terjadi lagi peningkatan asam laktat yang diproduksinya. Di samping itu sejumlah bakteri Clostridia dimungkinkan tumbuh, hal ini akan kembali menaikkan pH (Schroeder 2004). Fase pengeluaran untuk pakan ternak dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba aerob yang menyebabkan kebusukan, terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase, kehilangan bahan kering terjadi karena mikroorganisma aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrien terlarut lainnya dalam silase (Sapienza & Bolsen 1993). Bolsen et al. (2000) menuliskan tentang penelitian yang menunjukkan silase per hari mengalami kehilangan bahan kering sekitar 1.5-3.0% tiap meningkatnya suhu 8-120 C pada fase pemberian pada ternak. Pada fase terjadi pula peningkatan pH dengan kisaran peningkatan 4.0-7.0 dengan konsentrasi pertumbuhan ragi dan kapang yang cukup tinggi.
59
Tahapan yang terjadi saat terjadinya ensilase ini erat hubungannya dengan fase pertumbuhan yang dialami bakteri. Fase pertumbuhan bakteri terdiri dari 4 fase. Fase-fase tersebut adalah: (1) fase adaptasi (lag phase), (2) fase pertumbuhan logaritmik atau fase pertumbuhan cepat (log phase), (3) fase stabil (stationary phase ), dan (4) fase kematian (death phase) (Crueger & Crueger 1984). Fase adaptasi adalah fase saat mikroba mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mulai kebagian fase pertumbuhan cepat (logarithmic phase or exponential phase), selanjutnya mencapai populasi yang maksimum dan memasuki fase stabil (stationary phase) di mana terjadi jumlah yang sama besar antara bakteri yang masih mampu membelah diri dan tidak mampu membelah diri lagi. Akhirnya fase pertumbuhan bakteri memasuki fase kematian (death phase ) ( Moat et al. 2002). Fase-fase pertumbuhan bakteri mulai dari awal pertumbuhan sampai akhirnya mati dapat dilihat pada Gambar 1, di bawah ini.
1
2
3 4
Waktu (jam) Gambar 1 Kurva pertumbuhan bakteri.
Kualitas Silase Kualitas silase dicapai ketika asam laktat sebagai asam yang domina n diproduksi, menunjukkan fermentasi asam yang efisien ketika penurunan pH silase terjadi dengan cepat. Semakin cepat fermentasi terjadi, semakin banyak nutrisi yang dikandung silase dapat dipertahankan (Schroeder 2004). Lebih jauh dituliskan pula
60
bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas silase secara umum adalah: kematangan bahan dan kadar air, besar partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase, dan aditif. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu: (1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas buffer, struktur fisik, dan varietas), (2) tata laksana pembuatan silase (besar partikel, kecepatan pengisian ke silo, kepadatan pengepakan, dan penyegelan silo), (3) keadaan iklim (misalnya suhu dan kelembaban) (Sapienza & Bolsen 1993). Menurut Bolsen et al. (2000) silase yang baik ketika nilai nutrisi yang dikandungnya masih tinggi. McDonald et al. (1991) menuliskan bahwa kualitas silase tidak hanya dilihat dari pengawetan nilai nutrisi saja, tetapi juga berapa banyak silase tersebut kehilangan bahan kering.
Bakteri Asam Laktat Mikroba penghasil asam laktat ditemukan pertama kali pada tahun 1880 (Crueger & Crueger 1984). Bakteri asam laktat (BAL) adalah bakteri yang mampu memproduksi asam laktat, merupakan bakteri gram positif, dengan memfermentasi gula sebagai fungsi utamanya untuk memproduksi asam laktat (McDonald et al. 1991). Bakteri asam laktat pada umumnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada golongan homofermentatif hasil fermentasi terbesar merupakan asam laktat yaitu sekitar 90%, sedangkan pada heterofermentatif jumlah asam laktat yang dihasilkan kurang dari 90% atau seimbang dengan hasil lainnya seperti asam asetat, etanol, CO 2 dan sebagainya (Moat et al. 2002). Ciri khusus dari bakteri asam laktat adalah toleransinya terhadap asam tinggi. Mampu hidup dengan kisaran pH 4.0-6.8, walau ada spesies yang mampu tumbuh pada pH 3.5 yaitu Pediococcus damnosus. Bakteri asam laktat (BAL) yang biasa dan dominan ada pada proses ensilase adalah Streptococci dan Lactobacilli, dengan Lactobacillus plantarum paling sering diisolasi untuk digunakan pada pembuatan silase. Di antara semua BAL, L. plantarum yang termudah dan cepat membentuk koloni pada fase awal ensilase, tahan bersaing dan menghasilkan sejumlah asam laktat dengan cepat (McDonald 1991).
61
Gambar 2 Lactobacillus (Sumber: Universite Libre de Bruxelles 2005).
Bakteri L. plantarum berbentuk batang gram positif dan tidak membentuk spora. Mampu memfermentasi gula susu menjadi asam laktat dan asam-asam lain. Bersifat anaerobik fakultatif dengan habitat produk persusuan, produk-produk dari daging dan butiran, air, limbah, rongga mulut, vagina, serta saluran pencernaan hewan dan manusia (Pelczar & Chan 1986). L. plantarum dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan mengurangi infeksi dan kehadiran bakteri ini pada usus diduga dapat mengurangi penyerapan cholesterol (Ramberg 2000). Lactobacillus plantarum mempunyai kelebihan lain yaitu toleran terhadap udara, karena merupakan bakteri fermentatif yang tidak berinteraksi dengan molekul oksigen. Tingginya konsentrasi Mn2+ pada intraseluler L. plantarum, membantu organisme ini membunuh anion superoksida (Moat et al. 2002). Jika suatu organisme mampu tumbuh saat adanya oksigen, maka produk racun seperti hidrogen peroksida dapat tumbuh melalui autooksidasi dari berkurangnya FAD, dan radikal hidroksil akan terbentuk melalui interaksi campuran ini dengan superoksida. BAL dapat memelihara diri dari racun tersebut. Pada bakteri anaerob fakultatif memiliki enzim superoksida dismutase sehingga dapat mengeluarkan enzim peroksidase. Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada fermentasi silase telah dipelajari dan diteliti sejak 1987-1989 menghasilkan lebih dari 50 karya ilmiah. Bakteri yang diinokulasi berhasil menurunkan pH sampai 90%, dengan rasio asam laktat lebih
62
tinggi dari pada asam asetat, ethanol dan kandunga n amonia yang lebih rendah. Inokulasi BAL sampai 4.2 x 105 cfu per gram silase memperlihatkan penurunan pH yang lebih baik dari pada inokulasi BAL 1.4 x 105 cfu per gram silase. Bahan pakan pasca panen sebelum ditambahkan BAL mengandung sekitar 10 6 cfu per gram (Bolsen et al. 2000). Kung (2006) menuliskan hasil- hasil penelitian yang menyarankan agar inokulasi yang terbaik dengan kisaran 1 x 10 5 cfu per gram silase merupakan perbandingan yang cukup dan efisien antara jumlah dan biaya. Lactobacillus plantarum yang ditambahkan 5-10% (dengan kandungan 1.05 x 9
10 CFU) pada silase limbah udang pada suhu 20-300 C berhasil menurunkan pH dari 7 pada hari pertama, menjadi 4.52-4.05 setelah 3 hari proses ensilase. Silase limbah udang yang tidak diinokulasi sebagai kontrol berhasil mencapai pH tersebut pada hari ke 10 (Lien et al. 2005). Tujuan utama dari penambahan BAL pada silase adalah untuk meningkatkan asam laktat yang diproduksi, dengan meningkatnya produksi asam laktat maka semakin baiklah pengawetan bahan yang dibuat silase. Hal inilah yang menyebabkan harga inokulan silase per ton ditentukan berdasarkan nilai bahan kering yang dapat diawetkannya. Peningkatan pengawetan bahan kering dari silase yang diinokulasi BAL mencapai 5%. Namun silase yang mengandung karbohidrat tinggi belum menunjukkan hasil pengawetan bahan kering yang konsisten terhadap inokulasi BAL (Schroeder 2004). Beberapa bakteri asam laktat yang berperan dalam proses ensilase dapat dilihat pada Tabel 1. BAL yang diperlihatkan pada tabel lengkap dengan jenis fermentasi yang dilakukan, bentuk serta spesies.
63
Tabel 1 Beberapa bakteri asam laktat yang penting pada proses ensilase Genus Lactobacillus
Fermentasi Glukosa Homofermentatif
Bentuk Batang
Spesies L. acidophilus L. casei L. coryniformis L. curvatus L. plantarum L. salivarius
Heterofermentatif
Batang
L. brevis L. buchneri L. fermentum L. viridescens
Pediococcus
Homofermentatif
Coccus
P. acidilactici P. damnosus (cereviceae) P. pentosaceus
Enterococcus
Homofermentatif
Coccus
E. faecalis E. faecium
Lactococcus
Homofermentatif
Coccus
L. lactis
Streptococcus
Homofermentatif
Coccus
S. bovis
Leuconostoc
Heterofermentatif
Coccus
L. mesenteroides
Sumber: McDonald et al. (1991).
Asam Laktat Asam laktat yang diproduksi oleh BAL merupakan asam organik yang diperoleh lewat proses fermentasi. Ada asam organik yang diperoleh langsung dari siklus kreb, ada juga hasil pemecahan dari glukosa, dan juga sebagai hasil akhir dari piruvat seperti asam laktat, ethanol dan asam asetat. Secara teori 2 mol asam laktat diperoleh dari 1 mol glukosa (Crueger & Crueger 1984).
64
Menurut Mathews et al. (2000) asam laktat adalah asam organik yang diperoleh melalui proses fermentasi piruvat yang dihasilkan dari jalur glikolisis (protein, asam nukleat, karbohidrat, dan lipid). Pada keadaan anaerob BAL menggunakan NADH mereduksi piruvat menjadi asam laktat yang dikatalisis oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH). Piruvat harus direduksi menjadi laktat ketika jaringan kekurangan oksigen untuk mengoksidasi semua NADH yang terbentuk dalam glikolisis. Selanjutnya laktat mengalami 2 proses metabolisme yaitu: (1) asam laktat diubah kembali menjadi glukosa melalui jalur glukoneogenesis, (2) laktat masuk ke dalam jalur respirasi.
Kadar Air Kadar air bahan ditentukan melalui kehilangan berat selama pengeringan di dalam oven dengan waktu 4 jam dan suhu 103 0 C. Namun untuk campuran bahan biasanya kadar air ditentukan melalui prosedur 4 jam pengeringan dengan suhu 80850C (Close & Menke 1986). Menurut Winarno (1992) penetapan kandungan kadar air tergantung dari sifat bahannya, pada umumnya kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110 0 C selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diua pkan. Penentuan kadar air dengan bahan yang berkadar air tinggi dan mengandung senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatile) menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu, misalnya toluen, xilol, dan heptana yang berat jenisnya lebih rendah dari pada air. Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisma untuk pertumbuhannya (Winarno 1992). Kadar air yang terdapat pada silase mempengaruhi cepat atau lambatnya proses fermentasi. Hijauan yang dibuat silase dengan kadar air 65% menyebabkan fase fermentasi aktif berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan, sedangkan bila kadar air 40-50% proses fermentasi berjalan sangat lambat. Fermentasi normal
65
dengan kandungan air 55-60% (Sapienza & Bolsen 1993). Semakin basah hijauan yang disilase semakin banyak panas yang dibutuhkan dan semakin cepat kehilangan bahan kering. McDonald et al. (1991) menuliskan beberapa kerugian yang dihasilkan dalam pembuatan silase yang berkadar air tinggi yaitu: (1) dapat mengundang fermentasi yang dilakukan oleh Clostridia, (2) Intake bahan kering menjadi rendah, (3) susah pengepakan dan penanganannya. Pada pengawetan pangan dengan cara pengeringan pengendalian kadar air sangat ketat dilakukan untuk mencegah tumbuhnya bakteri berspora (Syarief & Halid 1993). Pada pembuatan silase rumput, pengurangan kadar air dilakukan dengan cara pelayuan (McDonald et al. 1991). Gambaran dari hubungan kadar air dengan mutu penyimpanan bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 3. Pengaruh kadar air tersebut menggambarkan semakin tinggi kadar air maka pertumbuhan bakteri semakin subur, dengan demikian di dalam pengawetan bahan pangan hal ini harus diperhatikan. Penanganan bahan pakan juga harus memperhatikan hal demikian (Syarief & Halid 1993).
20
Air (pelarut)
15 Bakteri
10
Khamir Kapang
5
Enzim
0 Kelembaban relative (%) Gambar 3 Pengaruh kadar air terhadap pertumbuhan mikroorganisme.
66
Kadar air mempengaruhi jumlah bakteri dan laju fermentasi. Pelayuan akan menunda berkembangnya bakteri pada silase rumput, sedangkan penambahan air ke dalam bahan pada permulaannya akan merangsang pertumbuhan bakteri, khususnya Lactobacillus dan organisme gram negatif. Lactobacillus spesies heterofermentatif yang terdapat dalam silase berkadar air tinggi ada sebanyak 75% dan silase berkadar air rendah ada sebanyak 98% (McDonald et al. 1991). Menurut Schroeder (2004) penambahan kadar air pada silase dibutuhkan untuk memudahkan proses pemadatan saat pengepakan silase. Penambahan kadar air juga akan mengurangi kehilangan bahan kering silase. Jika karbohidrat yang terlarut dalam air tinggi pada silase yang berkadar air tinggi, maka BAL akan sangat aktif sehingga meningkatnya kandungan asam laktat menurunkan pH. Artinya proses fermentasi menjadi terhambat saat kadar air menurun, sehingga pH akan meningkat sedangkan asam laktat, asam asetat, dan asam butirat lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan asam amino menjadi menurun karena aktivitas Clostridia dan enterobacteria akan berkurang seiring menurunnya kadar air (McDonald et al. 1991).
Laju Alir Pakan pada Saluran Pencernaan Itik Laju alir pakan pada saluran pencernaan erat kaitannya dengan penyerapan pakan. Pencernaan karbohidrat terjadi dimulai dari tembolok yang terjadi sangat cepat, sedangkan aktivitas enzim tertinggi untuk penyerapan karbohidrat terjadi di jejenum, lalu diikuti ileum dan duodenum (Leeson & Summers 2001). Itik memiliki perbedaan pada temboloknya bila dibandingkan dengan ayam. Itik memiliki leher yang lebih panjang, sehingga bila terisi tidak begitu menonjol (Rasyaf 1993). Pencernaan karbohidrat akan terganggu bila terdapat komponen karbohidrat yang sulit dicerna seperti ß-glukan karena akan menyerap kandungan air dari digesta yang menyebabkan
berkurangnya pencampuran digesta secara fisik sehingga akan
membatasi proses transportasi digesta (Leeson & Summers 2001). Pencernaan protein dimulai dari proventrikulus dan empedal untuk selanjutnya diserap di usus halus. Kadar protein akan mempengaruhi laju alir pakan.
67
Pada tikus yang diberi protein yang rendah, memperlihatkan laju alir pakan yang cepat meninggalkan lambung (Leeson & Summers 2001). Semakin lama pakan meninggalkan saluran pencernaan, maka semakin banyak kesempatan penyerapan nutrisi. Lama pakan menempati saluran pencernaan pada tembolok ayam 50 menit, pada empedal 90 menit, pada kolon selama 25 menit (Gauthier 2002).
Performa Itik Mojosari Alabio Itik Mojosari dan Itik Alabio merupakan itik lokal Indonesia. Itik Mojosari merupakan itik yang berasal dari Mojosari Jawa Timur dengan ciri-ciri warna bulu coklat muda sampai coklat tua, dengan warna paruh dan kaki hitam. Itik Alabio berasal dari Amuntai Kalimantan Selatan (Syukur 2006). Walaupun itik Alabio telah membuat Hulu Sungai Utara terkenal ke seluruh Nusantara, namun sebenarnya ada yang ganjil dengan penamaan itik alabio. Pasar itik memang berada di Desa Alabio, Kecamatan Sungai Pandan, namun penghasil itik itu justru berasal dari Desa Mamar, Kecamatan Amuntai Selatan (Sodikin 2004). Itik Mojosari disebut juga Itik Mojokerto atau Modopuro. Itik ini merupakan itik asli Kerajaan Majapahit, merupakan itik petelur dengan produksi 265 butir/ekor/tahun. Bentuk tubuh berdiri tegak, warna kemerahan dengan variasi cokelat, hitam dan putih. Jantan memiliki selembar atau dua lembar bulu ekor yang melengkung ke atas dan warna paruh serta kaki lebih hitam. Itik Alabio adalah Itik Borneo (Anas platurynchos Borneo). Nama alabio diberikan pada tahun 1950 oleh drh. Saleh Puspo (Suharno & Amri 2002). Itik Mojosari Alabio (MA) adalah itik hasil persilangan antara Itik Mojosari jantan umur 7-8 bulan dengan Itik Alabio betina umur 6-7 bulan. Itik MA diperoleh dengan tujuan seba gai penghasil telur. Itik MA memiliki keunggulan yaitu: umur pertama bertelur lebih awal, produksi telur lebih tinggi, konsistensi produksi lebih baik, pertumbuhan lebih cepat, anak jantan dapat dijadikan penghasil daging bila dibandingkan dengan anak Itik Mojosari ataupun Itik Alabio. Hal ini dapat dilihat
68
pada Tabel 2
(Balitnak 2006). Itik MA mampu menghasilkan produksi telur
sebanyak 50% selama 7 bulan, produksi 80% selama 8 bulan, puncak produksi 93.7% sehingga dengan demikian rataan produksi 71.5% setahun. Rata-rata bobot telur itik 69.7 gram dengan rasio konversi pakan 4.10. Tabel 2 Keunggulan Itik Mojosari Alabio Parameter A 24.00 55.00 1761 66.50 62.8
Genotipa M 25.00 53.70 1616 66.80 61.0
MA 22.00 56.70 1803 74.20 71.5
Keunggulan MA (%) -10.36 9.38 2.39 11.69 15.5
Umur Pertama Bertelur (minggu) Bobot Telur Pertama (g) Bobot Badan Pertama Bertelur (g) Produksi Telur 3 Bulan (%) Produksi Telur 1 Tahun (%) Sumber: Balitnak (2006). Keterangan: A= Itik Alabio, M= Itik Mojosari, MA= Mojosari Alabio.
Kebutuhan gizi pakan itik berdasar umur dan tahap pertumbuhannya dapat dilihat pada tabel yang disajikan berikut ini. Tabel 3 Rekomendasi kebutuhan gizi pakan itik berdasar umur Uraian Anak (0-8 minggu) Kebutuhan Gizi Protein (%) 17-20 Energi (Kkal/kg) 3100 Ca (%) 0.60-1.10 P Tersedia (%) 0.60 Sumber: Balitnak (2006).
Dara (8-20 minggu) 16 2300 0.60-1.10 0.60
Dewasa (>20 minggu) 17-19 2800 2.90-3.25 0.60
Bentuk pakan yang cocok untuk itik, bentuk halus tapi diberikan dalam bentuk basah. Paruh itik yang lebar dan bergerigi sulit untuk mengambil pakan halus kering. Hal ini akan menyebabkan pakan dapat tercecer di tempat minum mencapai 20-30% dari yang dimakan. Bentuk butiran dapat diberikan kepada itik secara kering setelah itik berumur 1 minggu. Bentuk pelet dapat diberikan pada itik dewasa dengan panjang sampai 1 cm dan garis tengah sampai 0.5 cm tanpa kesulitan menelan, pakan diberikan optimal yaitu sekali pemberian dapat dihabiskan dalam waktu 15 menit
69
(Hardjosworo & Rukmiasih 1999). Rasyaf (1993) mencatat sekitar 8.7% dari ransum yang diberikan tercecer akibat cara makan itik yang bergantian dari tempat pakan dan tempat minum. Peternak biasanya memberikan ransum sendiri dengan menggunakan bahan pakan lokal (Setioko & Rohaeni 2001). Pakan dalam bentuk silase bahan baku yang diberikan pada itik pernah dilakukan di Vietnam dengan menggunakan itik lokal Vietnam yaitu Itik Bau (Lien et al. 2005). Silase yang diberikan berupa silase limbah udang yang menggantikan pakan komersil sampai 35% menunjukkan pengaruh yang tidak negatif terhadap performan itik, pemberian silase sampai 55% menurunkan pertambahan bobot badan namun memperbaiki konversi pakan, dengan nilai konversi 1.7.
70
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan yaitu dari 23 Februari – 19 Mei 2006. Pembuatan silase dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengaruh pemberian silase terhadap performa itik MA jantan dilakuka n di Kandang Percobaan Fapet IPB, sedangkan percobaan laju alir pakan (rate of passage) saluran pencernaan itik dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Unggas Fapet IPB, dan analisis kualitas silase di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bioteknolo gi Cibinong-Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase terdiri atas: jagung kuning, dedak, singkong, daun singkong, bungkil inti sawit, tepung ikan, kacang kedelai, minyak kelapa, premix dan aquades. Uji laju alir pakan menggunakan 5 ekor itik MA jantan berumur 10 minggu. Unggas yang digunakan untuk melihat pengaruh pemberian silase terhadap performa adalah 75 ekor itik MA jantan (Mojosari x Alabio) berumur 7-10 minggu. Peralatan yang digunakan untuk membuat dan menguji kualitas silase adalah botol gelas, isolatif, pH meter, timbangan, biuret, cawan petri, pipet tetes serta laminar. Alat yang digunakan pada uji laju alir pakan menggunakan kandang individu, tempat minum, dan alat pencekokan, sedangkan pengaruh silase terhadap performa itik menggunakan kandang liter yang ditambah lantai kawat, bak tempat pakan dan minum, timbangan, plastik penyimpanan silase dan silo. Metode Tahap I: Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Lokal Pembuatan Silase Ransum komplit berbahan baku lokal yang telah tercampur merata dibagi menjadi 4 bagian untuk dipersiapkan sebagai perlakuan. Perlakuan S1 dipersiapkan
71
menjadi silase berkadar air 30% dengan menambahkan aquades yang telah dicampur dengan 105 cfu Lactobacillus plantarum per gram silase, diaduk sampai merata. Begitu juga dengan perlakuan S2 ditambahkan aquades sampai silase berkadar air 40%, perlakuan S3 berkadar air 50%, dan perlakuan S4 berkadar air 60%. Penambahan air dilakukan mengikuti rumus berikut ini:
Silaseberkadarair (kg) =
BK ransum (%) xjumlahransum komplit ( kg) BK silase yang ingin dibuat (%)
Air yang ditambahkan ( ml ) = Silase berkadar air ( kg) − jumlah ransum komplit ( kg)
Untuk uji kualitas kimia dan mikrobiologi silase, masing-masing perlakuan sebanyak 200-300 g dimasukkan ke dalam 12 botol kaca dengan dipadatkan. Botol ditutup rapat untuk mencapai suasana anaerob dan diberi label, lalu berat ditimbang. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan disimpan sampai 1, 2, 3, dan 4 minggu. Proses ensilase ditempatkan pada tempat yang tertutup dan gelap. Berat semua ulangan dari perlakuan dihitung setiap minggu.
Rancangan Percobaan Untuk melihat kualitas silase setiap minggu (1, 2, 3, dan 4 minggu) rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok, sedangkan untuk melihat kualitas silase minggu ke 4 menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan perbedaan kadar air (30, 40, 50, dan 60%) dan masing- masing dengan 3 ulangan. Model linier yang digunakan (Mattjik & Sumertajaya 2002) Y ij
= µ + t i + ßj + e ij
Keterangan: i
= 1, 2,..., t dan j
= 1, 2, ..., r
Y ij
= Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ
= Rataan umum
72
ti
= Pengaruh perlakuan kadar air ke- i
ßj
= Pengaruh kelompok penyimpanan ke-j
e ij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Setiap minggu silase yang telah melewati masa penyimpanan diambil dari tempat penyimpanan dan dipindahkan ke freezer. Silase diambil dari freezer masingmasing 10 g sebagai sampel pada akhir penyimpanan. Pengambilan dilakukan secara bersamaan agar dapat memperkecil kemungkinan besarnya selang yang akan terjadi akibat kerusakan silase. Parameter yang diukur adalah : 1. pH silase: silase diambil 10 g ditambah aquades 20 ml lalu distirer selama 3 menit dan diukur pH menggunakan pH meter. 2. Jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL): dihitung dengan Metode Total Plate Count (TPC). Larutan silase yang ditambah aquades dengan perbandingan 1:2, diambil sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam 5 ml aquades, lalu diencerkan dengan mengambil 0.5 ml dimasukkan ke 5 ml aquades sampai pengenceran 7 kali. Lalu sebanyak 1 ml dari pengenceran 6 dan 7 kali ditanam pada cawan petri berisi media MRS agar. Media agar yang telah ditanam dengan sampel silase diinkubasi selama 3 hari pada inkubator. Koloni yang
tumbuh
berbentuk
bulat
miring
berwarna
agak
kekuningan.
Penghitungan jumlah koloni BAL dilakukan dengan menggunakan alat penghitung koloni. Jumlah koloni yang diperoleh ditransformasi dalam log untuk memudahkan penghitungan.
Populasi BAL (cfu/g) = jumlah koloni x pengenceran
3. Total asam: total asam diukur dengan metode titrimetri. Metode titrimetri dilakuan dengan cara pembuatan larutan NaOH 0.1 N dan larutan baku asam oksalat 0.1 N. Standarisasi NaOH 0.1 N dengan cara 10 ml larutan baku asam oksalat dimasukkan 2 tetes indikator bromtimol blue (BTB) kemudian dititrasi
73
dengan larutan NaOH 0.1 N. Titrasi dihentikan pada saat terjadi perubahan warna larutan kuning menjadi biru. Larutan NaOH 0.1 N yang terpakai pada saat perubahan warna dicatat. Lalu N NaOH dihitung dengan rumus sebagai berikut;
N NaOH
=
Normalitas oksalat x vol asam oksalat Vol NaOH yang digunakan
f ( faktor koreksi) =
N NaOH yang dihitung 0 .1
Sampel yang telah diencerkan dengan aquades (1:2) sebanyak 4 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 2 tetes indikator BTB, kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan saat terjadi perubahan warna larutan dari kuning menjadi kebiruan. NaOH yang terpakai saat terjadi perubahan warna dicatat. NaOH blanko diperoleh dengan perlakuan titrasi yang sama pada sampel, akan tetap i menggunakan medium yang tidak diinokulasi oleh jus silase. Total asam diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut;
Total asam (mg/ml) = 9 x ml NaOH sampel – ml NaOH blanko x f x ¼
Tahap II: Uji Laju Alir Pakan Uji laju alir pakan dilakukan dengan cara pencekokan pakan pada saluran pencernaan. Pencekokan pakan dilakukan setelah itik dipuasakan selama 36 jam. Pencekokan dilakukan dengan menggunakan corong besi yang dimasukkan sampai ke tembolok itik, jumlah pakan yang diberikan sebanyak 2% dari bobot badan.
74
Rancangan Percobaan Pada percobaan ini digunakan 5 ekor itik MA jantan dengan 5 perlakuan pakan yang diamati pada jam ke 4 setelah pencekokan. Perlakuan pakan yaitu:
S0
= pakan komersil + dedak (50:50)
S1
= silase berkadar air 30%
S2
= silase berkadar air 40%
S3
= silase berkadar air 50%
S4
= silase berkadar air 60%
Parameter yang diukur adalah : berat pakan pada tiap segmen saluran pencernaan pada pengamatan 4 jam setelah pencekokan. Persentase berat pakan pada saluran pencernaan diukur dengan menghitung berat kotor saluran pencernaan dikurangi berat bersih dibagi dengan berat pakan yang dicekok dikali 100.
Tahap III: Pengaruh Pemberian Silase terhadap Performa Itik Mojosari Alabio Jantan Pengaruh pemberian silase terhadap performa itik bertujuan untuk mengevaluasi efek pemberian silase ransum komplit. Itik yang digunakan adalah itik Mojosari Alabio Jantan berumur 7 minggu. Itik mengalami masa adaptasi dengan diberi pakan komersil + dedak selama 4 minggu, kemudian itik diadaptasi denga n pakan silase perlakuan selama 1 minggu secara bertahap. Silase yang diberikan berumur = 4 minggu. Silase yang digunakan pada tahap ke tiga berbeda dengan tahap ke satu. Silase pada tahap ini dibuat dengan kemasan plastik dan disimpan selama 4 minggu di dalam silo. Pakan dan minum diberikan sesuai kebutuhan jumlah konsumsi, diberikan pada pagi dan sore hari. Pengamatan dilakukan selama 3 minggu, yaitu dari itik berumur 7 minggu sampai itik berumur 10 minggu.
75
Rancangan Percobaan Pengaruh pemberian silase terhadap performa itik MA jantan, menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan pakan dan 3 ulangan, masing- masing ulangan terdiri atas 5 unit. Perlakuan pakan sebagai berikut: S0
= ransum komersil + dedak (50:50)
S1
= silase berkadar air 30%
S2
= silase berkadar air 40%
S3
= silase berkadar air 50%
S4
= silase berkadar air 60%
Parameter yang diukur adalah: 1. Konsumsi bahan kering (BK): konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa ransum yang telah dihitung penguapan kadar airnya. Konsumsi bahan kering adalah jumlah kons umsi ransum as fed dikalikan dengan persentase bahan kering yang dikandungnya. Konsumsi bahan kering diukur dengan satuan gram per ekor per hari. 2. Pertambahan bobot badan (PBB): ialah pertambahan bobot badan yang dihasilkan oleh itik yang merupakan respon dari kemampuan itik mencerna makanan. Satuan PBB diukur dengan satuan gram per ekor per hari. 3. Konversi ransum: adalah perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Model linier yang digunakan (Mattjik & Sumertajaya 2002) Yij
= µ + ti + e
ij
Keterangan: i
= 1, 2, ..., t dan j
= 1, 2, ..., r
Y ij
= Pengamatan pada perlakuan kadar air ke- i dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
ti
= Pengaruh perlakuan kadar air ke- i
e ij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
76
Untuk lebih memudahkan memahami alur kegiatan penelitian, dapat melihat Gambar 4 yang disajikan berikut. Campuran Ransum
Kadar Air 30%
Kadar Air 40%
Kadar Air 50%
Kadar Air 60%
Ensilase 1, 2, 3, 4 minggu
Tahap I Uji Kualitas Silase 1,2,3, dan 4 minggu Tahap II Uji Laju Alir Pakan Silase =9 minggu Itik umur 10 minggu Tahap III Pengaruh pemberian silase terhadap performa itik MA jantan Tahap III Pakan Komersil & Uji Laju Alir Pakan Silase = 4 minggu Silase 9 minggu Itik umur 7-10= minggu
pH, BAL, Total Asam
Konsumsi, PersentasePBB, Pakan di Saluran Konversi Pencernaan
Konsumsi pakan dan minum, PBB, Konversi
Gambar 4 Bagan alur kegiatan penelitian.
Analisis Data Data yang diperoleh dari uji kualitas silase ransum komplit dan pengaruh pemberian silase terhadap performa itik MA jantan dianalisis ragam (ANOVA), jika berbeda nyata dilanjutkan dengan kontras ortogonal (Steel & Torrie 1995). Hasil yang diperoleh dari uji laju alir pakan dianalisis statistik secara deskriptif.
77
HASIL DAN PEM BAHASAN Tahap I: Kualitas Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Lokal Penilaian terhadap kualitas silase dilakukan dengan cara mengukur pH, jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL), dan total asam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kadar air silase pada umur penyimpanan 4 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap pH, jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL), dan total asam (Tabel 4).
Tabel 4 Rataan pH, koloni bakteri asam laktat (BAL), total asam pada minggu ke 4 Parameter
Silase Perlakuan S1
S2
S3
S4
pH
4.43 ± 0.032
4.28 ± 0.036
4.19 ± 0.00
4.25 ± 0.15
BAL (Log 10 CFU/g)
10.19 ± 1.37
8.81 ± 1.12
9.88 ± 0.62
10.08 ± 1.05
Total Asam (mg/ml)
10.31 ± 1.46
8.49 ± 0.92
9.15 ± 0.35
7.83 ± 0.86
Keterangan: S1= Silase kadar air 30%,S2= Silase kadar air 40%,S3= Silase kadar air 50%,S4=Silase kadar air 60%.
Pada minggu ke empat, diduga silase ransum komplit berbahan baku lokal telah memasuki fase stabil. Menurut Elferink et al. (2005) fase stabil menyebabkan aktivitas fase fermentasi menjadi berkurang secara perlahan, sehingga tidak terjadi peningkatan ataupun penurunan nyata pH, BAL, dan total asam. Menurut Schroeder (2004), bila kadar air silase lebih dari 70% menyebabkan fase-fase yang terjadi pada proses ensilase menjadi berbeda. Pada penelitian ini kadar air yang digunakan masih di bawah 70%, sehingga pada waktu pengamatan yang sama (silase umur penyimpanan 4 minggu) proses ensilase berada pada fase yang sama pada setiap perlakuan kadar air. Namun silase pada umur penyimpanan 1, 2, 3, dan 4 minggu yang disajikan pada Gambar 5 memperlihatkan perlakuan kadar air sangat nyata (P<0.01)
78
menurunkan pH. Semakin tinggi kadar air silase semakin rendah pH yang dihasilkan, kecuali untuk silase kadar air lebih besar 50%. Kadar air diduga dapat meningkatkan laju fermentasi, sehingga semakin tinggi kadar air maka pH semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Ridla dan Uchida (1993) yang menyimpulkan bahwa proses ensilase dengan kadar bahan kering yang tinggi dapat menghambat fase fermentasi, karena terbatasnya karbohidrat yang dapat terlarut sebagai energi BAL melakukan fermentasi. Menurut Ma et al. (2005) kadar air bahan yang disilase sebaiknya kadar air yang dikandung bahan pada waktu panen. Bahan baku lokal pasca panen masih memiliki kadar air yang tinggi, hingga bisa dimanfaatkan untuk pembuatan silase.
5.2 5 4.8
S1 S2 S3 S4
pH
4.6 4.4 4.2 4 3.8 3.6 0
1
2 Minggu
3
4
Gambar 5 pH silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda.
Semakin tinggi kadar air silase, maka mikroorganisme semakin leluasa menyerap nutrien. Pertumbuhan mik roorganisme meningkatkan produksi asam organik, sehingga pH silase menurun. Air merupakan zat yang mutlak bagi setiap mahluk hidup. Mikroorganisme menyerap zat-zat anorganik dan zat-zat organik dalam bentuk cair (Dwidjoseputro 1985). Mikroorganisme khususnya bakteri akan hidup pada kadar air bahan di atas 20% (Syarief & Halid 1993). Fermentasi akan
79
berjalan secara normal dengan kandungan air 55-60% (Sapienza & Bolsen 1993). Semakin basah hijauan yang disilase semakin banyak panas yang dibutuhkan dan
Koloni BAL(Log10 CFU/g)
semakin cepat kehilangan bahan kering.
12 S1
11
S2
10
S3
9
S4
8 1
2
3
4
Minggu
Gambar 6 Koloni BAL silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda.
Perkembangan BAL akibat perbedaan kadar air silase pada setiap minggunya dapat dilihat pada Gambar 6. Kadar air tidak nyata mempengaruhi perkembangan BAL. Seharusnya kadar air memperbaiki kualitas silase. Hal ini sesuai hasil penelitian Ridla dan Uchida (1994) bahwa campuran silase rumput dengan kandungan ampas bir yang basah berhasil memperbaiki kualitas silase. Pada silase ransum komplit berbahan baku lokal, semakin tinggi kadar air silase pertumbuhan BAL tidak semakin baik. Pertumbuhan BAL agak terganggu, karena tingginya gas yang terbentuk pada silase berkadar air di atas 30%. Diduga karena besarnya proses respirasi pada bahan baku yang difermentasi. Respirasi menghasilkan 38 ATP, sedangkan fermentasi hanya menghasilkan 2 ATP (Winarno & Fardiaz 1979). Kemungkinan
kedua,
BAL
yang
tumbuh
bukan
hanya
dari
jenis
homofermentatif tetapi dari jenis heterofermentatif yang dapat menghasilkan tidak hanya gula tetapi juga menghasilkan gas CO 2 . Winarno dan Fardiaz (1979) menyatakan bahwa bakteri homofermentatif yang diharapkan tumbuh, bersaing
80
dengan bakteri heterofermentatif yang menghasilkan produk asam asetat, etanol, dan CO2 di samping asam laktat. Perkembangan BAL pada silase ransum komplit berbahan baku lokal tidak memperlihatkan fase logaritmik. Diduga BAL memasuki fase logaritmik pada umur ensilase di bawah 1 minggu dengan indikator pH awal silase 5 menurun menjadi 4, hal ini disebabkan nutrien yang dibutuhkan cukup tersedia. Tidak demikian halnya yang terjadi pada silase hijauan, BAL mengalami perkembangan secara logaritmik pada umur 21 hari (Sapienza & Bolsen 1993). Seluruh perlakuan silase mendapatkan tambahan Lactobacillus plantarum . Hal ini membantu perkembangan BAL yang telah ada di bahan pakan. Bahan pakan pasca panen sebelum ditambahkan BAL mengandung sekitar 10 6 cfu BAL per gram (Bolsen et al. 2000). Rooke et al. (1988) pada silase rumput menyimpulkan bahwa penambahan BAL mampu menurunkan pH hingga di bawah 5 pada pengamatan 1.5 hari setelah ensilase. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Lien et al. (2005) pada silase limbah udang yang ditambahkan 10% BAL dengan kandungan 1.05 x 10 9 Lactobacillus plantarum menunjukkan pH menurun dari 7 menjadi 4.05 pada umur ensilase 3 hari. Total asam silase dengan kadar air berbeda yang diukur pada waktu penyimpanan berbeda dapat dilihat pada Gambar 7. Kadar air silase tidak nyata mempengaruhi total asam. Masing- masing perlakuan silase memperlihatkan pola total asam yang seragam. Diduga kadar air silase masih dalam kisaran aman untuk silase. Hanafi (2004) menuliskan bahwa kadar air silase yang terlalu rendah menyebabkan suhu silase meningkat. Kadar air silase terlalu tinggi akan memacu pertumbuhan jamur dan memicu tumbuhnya asam butirat yang menyebabkan kualitas silase menurun.
81
Total Asam (mg/ml)
16 14 12 10 8 6 4 2 0
S1 S2 S3 S4
1
2
3
4
Minggu
Gambar 7 Total asam silase dengan kadar air dan waktu penyimpanan berbeda.
Waktu penyimpanan nyata (P<0.01) mempengaruhi total asam. Total asam semakin meningkat dan nyata lebih tinggi pada penyimpanan minggu ke 3. Gambar 7 memperlihatkan jumlah total asam yang terbentuk menurun kembali setelah minggu ke 3. Diduga BAL memasuki fase kematian setelah minggu 3, sehingga jumlah total asam yang terbentuk juga menurun. Bakteri asam laktat akan menghentikan pertumbuhannya akibat kehabisan gula untuk berlangsungnya proses fermentasi. Menurut Bolsen et al. (2000) persaingan antara bakteri asam laktat dengan mikroorganisme lain (enterobactericeae: Escherichia, Klebsiella, dan Erwinia; spora clostridia ; jamur dan kapang) pada fase fermentasi menyebabkan kualitas silase menjadi buruk.
82
Tahap II: Uji Laju Alir Pakan Uji laju alir pakan dilakukan pada itik dengan memberikan silase berkadar air berbeda, ditunjukkan pada Tabel 5. Pengamatan dilakukan jam ke 4 setelah pencekokan.
Tabel 5 Persentase pakan pada saluran pencernaan itik setelah 4 jam pencekokan Perlakuan Tembolok Proventrikulus Empedal Duodenum Jejenum S0 0 0 25.38 6.31 19.40 S1 0.90 4.30 33.95 8.98 28.16 S2 2.21 3.20 19.70 4.80 18.56 S3 0.43 7.74 29.03 5.89 29.79 S4 0.78 7.81 14.19 3.76 38.18 Keterangan: S0= pakan komersil + dedak, S1= Silase kadar air 30%, S2= 40%, S3= Silase kadar air 50%, S4= Silase kadar air 60%.
Ileum Total 23.35 74.4 25.08 101.3 23.36 71.8 27.04 99.9 29.60 94.3 Silase kadar air
Persentase pakan terkecil yang tersisa pada tembolok dan proventrikulus dicapai oleh ransum kontrol dan silase berkadar air rendah. Pada usus halus terlihat bahwa pakan tersisa terendah untuk kontrol dan S2, yang lainnya tinggi pada jejenum. Data ini menunjukkan laju alir pakan kontrol lebih cepat dibandingkan laju alir pakan produk silase. Cepatnya laju alir pakan kontrol disebabkan oleh kombinasi rendahnya kadar air ransum dan tingkah laku pakan itik, dimana itik mengkonsumsi pakan diiringi dengan minum air, sehingga pakan cepat mengalir ke saluran selanjutnya. Sebaliknya silase berkadar air tinggi menyebabkan itik tidak perlu minum lebih banyak, sehingga ini diduga menyebabkan laju alir menjadi lambat. Lambatnya laju alir pakan meningkatkan daya serap nutrien. Hal ini meningkatkan pertumbuhan itik menjadi lebih baik. Pernyataan ini didukung oleh data pada Tabel 7, yang menunjukkan PBB dan konsumsi lebih baik dibandingkan ransum kontrol.
83
Tahap III: Pengaruh Pemberian Silase terhadap Performa Itik Mojosari Alabio Jantan Kandungan memperlihatkan
nutrien
silase
penyimpanan
disajikan
silase
pada
sampai
Tabel
umur
6. 8
Tabel
tersebut
minggu
mampu
mempertahankan nilai nutrien, dimana tidak terjadi penurunan kandungan protein kasar ransum silase bahkan ada tendensi peningkatan kandungan protein kasar. Hal ini memperkuat pernyataan bahwa silase merupakan teknologi pengawetan. Prinsip penting dalam pembuatan silase adalah mempercepat terjadinya kondisi anaerob dan mempercepat terbentuknya suasana asam (Schroeder 2004). Semakin cepat pH turun semakin dapat ditekan enzim proteolisis yang bekerja pada protein, mikroba yang tidak diinginkan semakin cepat terhambat, dan kecepatan hidrolisis polisakarida semakin meningkat hingga menurunkan serat kasar silase. Keberhasilan pembuatan silase berarti memaksimalkan nutrien yang dapat diawetkan (Sapienza & Bolsen 1993). Tabel 6 Kandungan protein kasar silase ransum komplit (100 % BK) Silase Silase umur 0 minggu kadar air 30%
PK (%) 17.49
Silase umur 8 minggu kadar air 30%
19.00
Silase umur 8 minggu kadar air 40% Silase umur 8 minggu kadar air 50% Silase umur 8 minggu kadar air 60%
19.25 18.47 19.47
Sumber : Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet IPB, 2006.
BAL bekerja maksimal dalam menghambat bakteri yang dapat merusak nilai gizi silase sehingga produk silase menjadi awet. Berkembangnya bakteri asam laktat pada proses ensilase menyebabkan pH berkisar antara 3.8-4.2. Bahan dengan kondisi tersebut akan tahan disimpan. Manajemen penanganan suasana anaerobik sangat penting untuk mendapatkan silase yang berkualitas (Tjandraatmadja et al. 1991). Tabel 7 memperlihatkan performa itik yang diberi silase dengan kadar air berbeda. Kadar air nyata (P<0.05) mempengaruhi konsumsi pakan berdasar bahan
84
kering, dimana semakin tinggi kadar air silase semakin memacu konsumsi itik. Hal ini diduga berhubungan erat dengan fisiologi itik dan tingkah laku makan yang menunjukkan bahwa itik lebih suka pakan berbentuk basah dibandingkan bentuk kering. Rataan konsumsi pada penelitian ini 49.85-72.86 gram/ekor/hari. Hasil penelitian ini ternyata masih lebih kecil dibandingkan penelitian Suharwanto (2004) yang melaporkan bahwa rataan konsumsi ransum itik Mojosari Alabio umur 1-9 minggu adalah 99.32-104.58 gram/ekor/hari (PK 17.50% dan energi metabolis 3100 kkal/kg). Hal ini sesuai dengan penelitian Ridla et al. (2001) yang melaporkan bahwa pemberian silase ikan-gaplek pada ransum itik lokal nyata lebih rendah dari ransum kontrol. Semakin meningkatnya konsumsi silase pada penelitian ini tidak didukung penelitian sebelumnya, dimana pemberian silase pada unggas menurunkan konsumsi. Meningkatnya konsumsi silase karena tingkah laku makan itik diiringi dengan minum air, sehingga pH dari ransum yang dikonsumsi tidak rendah. Sakti (1996) menyatakan bahwa pakan yang masam tidak disukai oleh itik. Silase yang mengandung BAL dapat membantu sistem pencernaan unggas. BAL dapat menghasilkan zat dan enzim yang membantu pencernaan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki efisiensi penggunaan ransum. Selain itu BAL dapat merangsang pertumbuhan bakteri saluran pencernaan. Bidura dan Suastina (2002) melaporkan bahwa suplementasi probiotik dalam ransum dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum. BAL pada silase merupakan probiotik yang dapat membantu mengawetkan pakan sekaligus memperbaiki efisiensi penggunaan ransum. Nahashon (1996) menyatakan bahwa pemberian diet mikroba secara langsung seperti Lactobacillus memberikan keuntungan bagi hewan inang melalui peningkatan nafsu makan, meningkatkan keseimbangan mikroba usus, mensintesis vitamin dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh, selain itu spesies Lactobacillus menghasilkan enzim pencernaan laktase yang dapat memanfaatkan karbohidrat yang tidak tercerna, menstimulasi produksi asam laktat dan asam lemak volatile serta menghasilkan senyawa antibakterial khusus seperti hidrogen peroksida.
85
Tabel 7 Performa itik yang diberi silase dengan kadar air berbeda Perlakuan
S0 S1 S2 S3 S4
Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) 67.12 ± 15.67 a 61.18 ± 4.98 a 49.85 ± 10.27a 69.26 ± 3.15 b 72.86 ± 3.76 b
Konsumsi Air Minum (ml/ekor/hari) 91.54 ± 8.91 A 59.99 ± 8.27 B 51.13 ± 9.21B 63.41 ± 9.32B 53.36 ± 3.26B
PBB (g/ekor/hari)
Konversi Ransum
11.11 ± 1.44A 11.00 ± 0.34A 11.38 ± 2.42A 14.96 ± 1.44 B 12.87 ± 1.23 B
6.22 ± 2.08 5.56 ± 0.27 4.66 ± 1.86 4.65 ± 0.29 5.69 ± 0.64
Keterangan: S0= pakan komersil + dedak, S1= Silase kadar air 30%, S2= Silase kadar air 40%, S3= Silase kadar air 50%, S4= Silase kadar air 60%.
Bakteri asam laktat pada saluran pencernaan itik dapat berfungsi sebagai probiotik. Probiotik adalah kultur tunggal atau campuran dari mikroorganisme hidup yang apabila diberikan ke manusia atau hewan akan berpengaruh baik, karena akan menekan pertumbuhan bakteri patogen/bakteri jahat yang ada di usus manusia/hewan. Beberapa manfaat probiotik dalam tubuh, pertama adalah mencegah kanker yaitu dengan menghilangkan bahan prokarsinogen dari tubuh dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Kedua, dapat menghasilkan bahan aktif anti tumor. Ketiga, memproduksi berbagai vitamin yang mudah diserap ke dalam tubuh. Keempat, kemampuannya memproduksi asam laktat dan asam asetat di usus dapat menekan pertumbuhan bakteri E coli dan Clostridium perfringens penyebab radang usus dan menekan bakteri patogen lainnya, serta mengurangi penyerapan amonia dan amina (Rahayuningsih 2006). Perlakuan sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi konsumsi air minum. Itik yang diberikan pakan ko ntrol mengkonsumsi air minum lebih banyak dibandingkan dengan itik yang diberi ransum silase perlakuan. Hal ini karena silase mengandung cukup air sehingga itik telah mendapatkan air dari pakan dan menurunkan konsumsi air minum. Forbes (1995) menyatakan bahwa konsumsi air minum biasanya dua kali jumlah konsumsi bahan kering pakan, karena fungsi air minum erat hubungannya dengan pencernaan dan metabolisme pakan, kualitas dan jumlah pakan. Semakin tinggi kadar air silase tidak nyata mempengaruhi konsumsi air minum, hal ini bisa dijelaskan dengan rasio antara konsumsi ransum dan konsumsi air
86
minum. Tingginya kadar air pada ransum menyebabkan kebutuhan itik akan air tercukupi, sehingga itik mengurangi konsumsi air minum. Perlakuan kadar air silase sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi PBB. Silase dengan kadar air 50% dan 60% menghasilkan PBB yang sangat nyata lebih tinggi dibandingkan itik yang mendapatkan ransum kontrol, silase kadar air 30, dan 40%. Peningkatan PBB dibandingkan dengan pakan kontrol 34.65 % dan 15.84% berturutturut S3 dan S4. Itik mengkonsumsi pakan dan meningkatkan penggunaan pakan untuk membentuk bobot badan. Peningkatan konsumsi diikuti dengan peningkatan bobot badan. Forbes (1995) melaporkan bahwa air adalah nutrien yang sangat esensial. Bila ternak kurang air maka hal ini akan menimbulkan kekeringan bagi mulut ternak, sehingga kurangnya air akan menyebabkan berkurangnya feed intake sehingga akan menurunkan PBB. Di samping itu pemberian silase cukup efektif dalam menjaga kesehatan itik, hal ini sesuai dengan penelitian Rachmawati et al. (2002) bahwa penggunaan BAL untuk ternak itik cukup efektif dalam mengikat aflatoksin. Pakan dalam bentuk pemberian basah tidak asing lagi bagi unggas air, sehingga itik mau menerima pakan dalam bentuk silase ya ng berkadar air 30-60%. Menurut Forbes (1995) ada dua alasan mengapa pakan diberikan dalam bentuk basah yaitu: karena memanfaatkan hasil samping pertanian yang basah dan alasan lainnya yaitu untuk menghindari stress panas. Ketersediaan air dalam pakan dari 33-50% dapat meningkatkan feed intake sekaligus bobot badan pada kondisi suhu 370 C. Secara statistik konversi pakan tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dibandingkan ransum kontrol. Namun demikian silase S3 menunjukkan konversi yang terbaik yaitu sebesar 4.65 (Tabel 7). Prinsip nutrisi adalah seberapa besar konversi pakan untuk membentuk daging atau telur (Card & Nesheim 1972). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah konsumsi diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi. Nilai konversi ransum dengan rataan 4.65-6.21 menunjukkan hasil yang tidak efisien dibandingkan dengan hasil- hasil penelitian lain. Rataan konversi ransum itik yang diberi singkong fermentasi adalah 4.06 (Assa 1995), konversi ransum pada itik
87
lokal yang diberi silase ikan gaplek dalam ransum sebesar 3.9-5.52 (Ridla et al. 2001). Itik MA yang diberi ransum dalam bentuk mash ataupun pellet biasa memiliki nilai konversi pakan sebesar 4.10 (Balitnak 2006). Menurut Damayanti (2003) itik termasuk unggas air yang tidak ekonomis dan tidak efisien dalam mengkonsumsi pakan. Tingginya konversi dalam penelitian ini perlu dikaji ulang untuk konfirmasi.
88
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Silase ransum komplit berkadar air 50% mempunyai kualitas terbaik untuk itik dipandang dari sisi konversi ransum yang dihasilkan, meskipun dari segi kualitas kimia dan laju alir pakan tidak berbeda.
SARAN Pada pembuatan silase ransum komplit berbahan baku lokal pengontrolan terjadinya gas perlu dilakukan. Silase ransum komplit berbahan baku lokal untuk itik disarankan mempunyai kadar air 50%.
89
DAFTAR PUSTAKA Assa GJV. 1995. Pengaruh pemberian ubi kayu yang difermentasi dalam ransum terhadap performans Itik Tegal [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. [Balitbang] Balai Penelitian dan Pengembangan. 2003. Karakteristik organoleptis silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) akibat penambahan kultur mikroba campuran. Jawa Tengah. http://www.balitbangjateng.go.id/profil.php (11 Maret 2006). [Balitnak] Balai Penelitian Ternak. 2006. Pendatang baru penghasil telur: Itik MA. Bogor: Unit Komersialisasi Teknologi Balitnak. www.balitnak.litbang.deptan.go.id (15 Mei 2006). Bidura IGNG, Suastina IGP. 2002. Pengaruh suplementasi probiotik dalam ransum terhadap efisiensi penggunaan ransum pada ayam jantan tipe petelur. Majalah Ilmiah Peternakan 5 (1): hal 6-11. Bolsen KK, Ashbell G, Wilkinson JM. 2000. 3 Silage additives. Di dalam Wallace RJ, Chesson A, editor. Biotechnology in animal feeds and animal feeding. Weinheim. New York. Basel. Cambridge. Tokyo: VCH. p 33-54. Card LE, Neisheim MC. 1972. Poultry Production. Philadelphia: Lea & Febiger. Close W, Menke KH. 1986. Manual: Selected Topics in Manimal Nutrition. H. Steingass and A. TrÖscher, editor. Germany: University of Hohenheim. Crueger W, Crueger A. 1984. Biotechnology: A Textbook of Industrial Microbiology. Thomas D. Brock, editor. Germany: Science Tech, Inc. Damayanti AP. 2003. Kinerja biologis komparatif antara itik, entok dan mandalung. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Dwidjoseputro. 1985. Dasar-dasar Mikrobiologi. Malang: Djambatan Universitas Brawijaya. Elferink SJWHO, Driehuis F, Gottschal JC, Spoelstra SF. 2005. Silage fermentation processes and their manipulation. Netherlands: www.fao.org (17 Mei 2006). Forbes JM. 1995. Voluntary Food Intake and Diet Selection in Farm Animals. United Kingdom: CAB International.
90
Gauthier R. 2002. Intestinal health, the key to productivity (The case of organic acid). Di dalam: Precongreso Cientifico Avicola IASA: XXVII Convencion ANECAWPDC. Puerto Vallarta, Jal. Mexico: 30 de Abril 2002. Canada. Hanafi ND. 2004. Perlakuan silase dan amoniasi daun kelapa sawit sebagai bahan baku pakan domba. Fakultas Pertanian-Program Studi Produksi ternak Universitas Sumatera Utara. Laporan Penelitian: USU Digital library.(26 Maret 2006). Hardjosworo P, Rukmiasih. 1999. Itik Permasalahan dan Pemecahan. Jakarta: Penebar Swadaya. Indriati W.1983. Silase ikan dan pengaruh pemberiannya terhadap performans anak itik alabio [tesis]. Purwokerto: Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman. Kung L. 2006. Bacterial inoculants can improve the quality of silage. Aliansi Nutrition Dairy. Department of Animal and Food Sciences, University of Delaware, Newark, Delaware. www.admani.com (6 Juni 2006). Lesson S, Summers JD. 2001. Commercial Poultry Nutrition. 2nd Edition. Canada: University Books, Ontario. Lien LV, Thoa PT, Thai NV, Tao NH. 2005. Use of Lactobacillus plantarum inoculate to improve the fermentation process of shrimp by-products silage and evaluation of the silage as a protein source for ducks. Di dalam: Workshopseminar: making better use of local feed resource. Mekarn-CTU, 23-25 May 2005. Hanoy-Vietnam: www.mekarn.org (6 Juni 2006). Ma BL, Subedi KD, Stewart DW, Dwyer LM. 2006. Dry matter accumulation and silage moisture changes after silking in leafy and dual-purpose corn hybrids. Published in Agron J 98:922-929(2006) American Society of Agronomy 677 S. Segoe Rd., Madison, WI 53711 USA. http://agron.scijournals.org/subscriptions (7 Juni 2006). Mathews CK, Holde KE, Ahern KG. 2000. Biochemistry. Third Edition. San Francisco: Addition Wesley Longman, Inc. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I Edisi kedua. Bogor: IPB Press. McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Britain: Chalcombe Publication.
91
Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial Physiology. Fourth Edition. Canada: Wiley-Liss Publication. p 417-423. Nahashon, S. N., Nakaue H.S., and Mirosh I.W. 1996. Performance of single comb white leghorn fed a diet supplement with a live microbial during the growth and egg laying phases. Animal Feed Science and Technology 57 : 25-38. Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI-Press. Pieper B. 1996. Producing silage for Eastern Germany`s large dairies: a complete system to ensure good quality silage. Di dalam Biotechnology in the feed industry. Proceedings of Alltech Twelfth Annual Symposium. United Kingdom: Nottingham University Press. P 241-247. Rachmawati R, Arifin Z, Poeloengan M, Hamid H. 2002. Residu aflatoksinm B1 pada organ hati dan pertumbuhan itik yang mendapat perlakuan bakteri asam laktat (Lactobacillus rhamnosus). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi- Bogor 30 September-1 Oktober 2002. Rahayuningsih M. 2006. Probiotik. www.halalguide.info. (2 Juli 2006). Ramberg J. 2000. Lactobacillus plantarum. Glycoscience: the nutrition science site. www.glycoscience.org. Copyright 2000-2006. Mannatech Incorporated (26 Maret 2006). Ramli N. 2005. Silase ransum komplit: strategi peningkatan kualitas pakan ternak. Di dalam : Pelatihan Teknologi Pakan dan Tek nologi Reproduksi Ternak.Cibinong, 19-23 September 2005. Bogor: Puslit Bioteknologi-LIPI. Rasyaf M. 1993. Beternak Itik Komersil. Edisi kedua. Yogyakarta: Kanisius. Ridla M, Uchida S. 1993. The effect of cellulase addition on nutritional and fermentation quality of barley straw silage. Asian-Australasian Journal af Animal Science (AJAS) 6 (3): 383-388. Ridla M, Uchida S. 1994. Fermentation quality and nutririve value of barley straw and wet brewers grains silage. Asian-Australasian Journal af Animal Science (AJAS) 7( 4): 517-522. Ridla M, Rukmiasih, Purnama A. 2001. Pengaruh pemberian silase ikan-gaplek dalam ransum terhadap penampilan itik local. Media Peternakan 3 (24): 83-90.
92
Rooke JA, Maya FM, Arnold JA, Armstrong DG. 1988. The chemical composition and nutritive value of grass silages prepared with no additive or with the application of additives containing either Lactobacillus plantarum or formic acid. Forage Science 43: 87-95. Sapienza DA, Bolsen KK. 1993. Teknologi Silase. Penerjemah; Martoyoedo RBS. Pioner-Hi-Bred International, Inc. Kansas State University. Sakti, S. 1996. Beternak Itik Tanpa Air. Cetakan ke-12. Jakarta: Penebar Swadaya. Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension Dairy Specialist.AS-1254. www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as1254w.htm. (June 2004) Setioko AR, Rohaeni ES. 2001. Pemberian bahan pakan lokal terhadap produktivitas Itik Alabio. Di dalam: Prosiding lokakarya unggas air, pengembangan agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Ciawi:6-7 Agustus 2001. Bogor: Balai Penelitian Ternak. Sodikin A. 2004. Wisata Itik Alabio di Kalimantan Selatan. www.kompas.com (26 Maret 2006) Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suharno B, Amri K. 2002. Beternak Itik Secara Intensif. Jakarta: Penebar Swadaya. Suharwanto, D. 2004. Pengaruh berbagai kadar protein dan suplementasi lisin dan Dlmethionin dalam ransum dengan tepung ikan sebagai sumber protein utama terhadap performan itik persilangan Mojosari Alabio [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi penyimpanan pangan. Bogor: Arcan. Syukur DA. 2006. Beternak Itik. Lampung: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tjandraatmadja M, Norton BW, Macrae IC. 1991. Fermentatio n pattern of Forage sorghum ensiled under different environmental condition. World Journal of Microbiology and Biotechnology (7): 206-218 Rapid Communication of Oxford Ltd. Universite Libre de Bruxelles. 2005. Gambar Lactobacillus. www.ulb.ac.be (26 Maret 2006). Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
93
Winarno FG, Fardiaz S. 1979. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian IPB. Bandung: Angkasa.
94
LAMPIRAN
95
Lampiran 1 Analisis kualitas silase ransum komplit berbahan baku lokal a. Analisis sidik ragam pH silase per minggu (minggu 1-4) Sumber keragaman Kelompok Perlakuan Galat Total
Tabel Anova db JK 3 0.042288021 3 0.141618576 9 0.005480729 15 0.189387326
F Tabel 0.05 0.01 3.86 6.99
KT F Hit 0.014096 23.147296** 0.047206 77.518103** 0.000609
a.1. Uji kontras orthogonal pH silase (minggu 1-4) SK Perlakuan BCD vs A C vs BD D vs B Kelompok 34 vs 12 4 vs 3 2 vs 1 Galat Total
db 3 1 1 1 3 1 1 1 9 15
JK Kt 0.141619 0.047206192 0.119501 0.119500521 0.020417 0.020416667 0.001701 0.001701389 0.042288 0.014096007 0.034071 0.034071007 0.000089 8.88889E -05 0.008128 0.008128125 0.005481 0.00060897 0.189387
F.Hit 77.5181 196.2339 33.52656 2.79388 23.1473 55.94859 0.145966 13.34733
0.05 3.86 5.12 5.12 5.12 3.86 5.12 5.12 5.12
0.01 6.99 10.56 10.56 10.56 6.99 10.56 10.56 10.56
** ** ** ns ** ** ns **
b. Analisis sidik ragam pH silase minggu ke 4 Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
dB 3 7 10
JK KT F-Hitung 0.087958 0.029319 2.083944 0.052733 0.007533 0.535453 0.140691 0.014069
F 0.05 4.34
F0.01 8.45
c. Analisis sidik ragam bakteri asam laktat silase per minggu (minggu 1-4) Sumber keragaman Kelompok Perlakuan Galat Total
db 3 3 9 15
JK 0.43116875 1.96896875 1.80355625 4.20369375
KT 0.143722917 0.656322917 0.200395139
F Hit 0.717198 3.275144
0.05 3.86
0.01 6.99
d. Analisis sidik ragam bakteri asam laktat silase minggu ke 4 Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
dB 3 12 15
JK 3.75731462 14.1550204 17.9123350
KT F-Hitung 1.252438 1.048806 1.179585 0.987798 1.194156
F 0.05 3.49
F0.01 5.95
ns
96
e. Analisis sidik ragam total asam silase per minggu (minggu 1-4) Sumber keragaman Kelompok Perlakuan Galat Total
db 3 3 9 15
Tabel Anova JK 75.2568126 15.48623936 21.90708545 112.6501374
KT F Hit 25.0856 10.305818** 5.16208 2.1207165 2.434121
F Tabel 0.05 0.01 3.86 6.99
e.1. Uji kontras orthogonal total asam (minggu 1-4) SK Perlakuan Kelompok 124 Vs 3 1 Vs 24 4 Vs 2 Galat Total
db 3 3 1 1 1 9 15
JK Kt 15.48624 5.162079785 75.25681 25.0856042 65.27793 65.27792842 7.744254 7.744254053 2.23463 2.234630127 21.90709 2.434120605 112.6501
F.Hit 2.120717 10.30582 26.81787 3.181541 0.918044
0.05 3.86 3.86 5.12 5.12 5.12
0.01 6.99 6.99 10.56 10.56 10.56
** ** ns ns
f. Analisis sidik ragam total asam silase minggu ke 4 Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
db 3 7 10
JK 9.9792 7.657031 17.63623
KT F-Hitung F 0.05 3.3264 1.886117 4.34 1.093862 0.620235 1.763623
F0.01 8.45
97
Lampiran 2 Analisis deskriptif uji laju alir pakan 4 jam setelah pencekokan Persentase pakan pada saluran pencernaan itik setelah 4 jam pencekokan Perlakuan S0 S1 S2 S3 S4
Tembolok 0 0.90 2.21 0.43 0.78
Proventrikulus 0 4.30 3.20 7.74 7.81
Empedal 25.38 33.95 19.70 29.03 14.19
Duodenum 6.31 8.98 4.80 5.89 3.76
Jejenum 19.40 28.16 18.56 29.79 38.18
Ileum 23.35 25.08 23.36 27.04 29.60
total 74.44 101.37 71.84 99.93 94.32
44
Lampiran 3 Analisis pengaruh pemberian silase terhadap performa itik Mojosari Alabio jantan
a. Analisis sidik ragam konsumsi ransum itik mojosari alabio jantan per ekor per hari SK Perlakuan 012 vs 34 0 vs 12 1 vs 2 3 vs 4 Galat Total
db 4 1 1 1 1 10 14
JK 47642.64 24051.64 13198.02 9440.36 952.61 39239.51 86882.14143
Kt 11910.66 24051.64 13198.02 9440.364 952.608 3923.951
F 3.035374 6.129446 3.363452 2.405832 0.242768
F0.05 3.478 4.965 4.965 4.965 4.965
F0.01 5.994 10.044 10.044 10.044 10.044
b. Analisis sidik ragam PBB itik mojosari alabio jantan per ekor per hari SK db JK Kt F F 0,05
ns * ns ns ns
F 0,01
Perlakuan
4
1674,93
418,73
3,65*
3,48
5,99
012 vs 34
1
1342,82
1342,82
11,71**
4,96
10,04
01 vs 2
1
10,58
10,58
0,09
4,96
10,04
1 vs 0
1
0,91
0,91
0,01
4,96
10,04
4 vs 3
1
320,52
320,62
2,80
4,96
10,04
Eror
10
1146,42
1146,42
Total
14
2821,348
c. Analisis sidik ragam konversi ransum itik mojosari alabio SK Perlakuan 012 vs 34 0 vs 12 1 vs 2 3 vs 4 Galat Total
db
JK 4 1 1 1 1 10 14
5.64 0.35 2.45 1.20 1.65 16.79 22.43328523
Kt 1.410712 0.345998 2.454412 1.195902 1.646536 1.679044
F 0.840188 0.206069 1.461791 0.712252 0.980639
F0.05 3.478 4.965 4.965 4.965 4.965
F0.01 5.994 10.044 10.044 10.044 10.044
ns ns ns ns ns
45