II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Sapi Lokal Indonesia Beberapa sapi lokal yang ada di Indonesia mempunyai karakteristik
eksterior (warna kulit dan ukuran tubuh) yang berbeda-beda, seperti jenis sapi Bali, Madura, Jawa, Peranakan Ongole dan Pasundan. Kondisi ini memungkinkan sebagai cerminan dari introduksi sapi Bos indicus dari India dan Bos Taurus dari Eropa. Menurut Hardjosubroto dan Astuti (1980), bahwa sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan keturunan dari hasil crossbreeding antara sapi Bos indicus dengan sapi lokal di Indonesia, sedangkan sapi Madura merupakan keturunan langsung dari sapi Bali. Dilihat dari morfologi sapi Peranakan Ongole dan Madura terdapat punuk di pundak sapi, sedangkan sapi Bali tidak memiliki punuk hal ini dikarenakan sapi Bali merupakan keturunan langsung dari banteng, dan bisa disebut juga sapi Bali adalah sapi asli Indonesia (Sutopo (2001) dalam Aminah, 2005). Menurut Sutopo dkk (2001), sapi Jawa adalah sapi lokal yang berasal dari crossbreeding antara sapi India dan Bos sandaicus (sapi keturunan banteng). Penampilan sapi Jawa hamper sama denga sapi Madura tetapi tubuhnya relative lebih kecil dari sapi Madura (Rouse (1976 dalam Aminah S. 2005). Sebaran sapi Jawa banyak ditemukan di Pulau Jawa, hal ini menjadi dasar penyebutan nama sapi Jawa yang disesuaikan pada habitatnya, hal yang sama juga pada sapi Madura. Cirri-ciri sapi Jawa adalah termasuk sapi kecil, pendek, dengan kepala kecil dan bertanduk besar, otot kuat, berekor bagus, serta warna bulu kebanyakan
8 berwarna merah tua. Perbedaan antara sapi Jawa jantan dan betina dilihat dari warnanya, sapi jantan kebanyakan lebih berwarna kehitaman dari betina (Ensiklopedia Indonesia (1992) dalam Aminah, 2005).
2.2.
Sapi Pasundan Sapi Pasundan merupakan sapi lokal yang termasuk sapi potong yang
berkembang di masyarakat buffer zone hutan sepanjang wilayah Priangan utara. Wilayah tersebut antara lain pertama kabupaten Kuningan meliputi kecamatan Luragung, Cibingbin, Subang dan Ciawi Gebang. Kedua, wilayah Majalengka meliputi Kecamatan Palasah dan Kertajati, ketiga kabupaten Sumedang meliputi wilayah Tomo, Buah dua dan Ujungjaya. Keempat wilayah Indramayu meliputi kecamatan Gantar dan Terisi. Kelima wilayah Subang meliputi kecamatan Cibogo dan Cipunagara. Keenam, wilayah Purwakarta meliputi Kecamatan pasawahan dan Tegalwaru, ketujuh wilayah Ciamis meliputi kecamatan Rancah, Tambaksari, Cisontrol, dan Rajadesa. Populasi di wilayah buffer zone juga terdapat di Bogor seperti Jonggol dan sebagian kecil wilayah Karawang (Arifin dkk, 2014). Sapi Pasundan sebagai sapi lokal Jawa Barat sering disebut sebagai sapi kacang. Istilah sapi kacang merupakan predikat atas karakter kuantitatif yang relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi potong lain seperti PO, Brahman dan sapi-sapi Bos taurus hidup dan menyatu dengan petani (Arifin dkk, 2014). Penelitian asal-usul sapi pasundan menggunakan dua pendekatan, yakni kajian arkeologi teks menggunakan metode Focoult (2002) dan pendekatan DNA menggunakan RT-PCR untuk memverifikasi hasil kajian arkeologinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi Pasundan memiliki kesamaan karakter
9 dengan sapi Bos sondacus atau banteng Jawa. Pernyataan tersebut dapat diperjelas dari dugaan berdasarkan kesamaan tipe dan tanda-tanda khas yang terdapat pada sapi Bali dan banteng liar (Muthalib, 2011). Dijelaskan lebih lanjut bahwa tandatanda sapi tersebut yaitu mempunyai warna merah bata atau merah sawo matang, pada ternak betina warna tersebut tetap, sedang pada jantan kerena pengaruh hormon androgen berubah menjadi kehitaman. Keempat kakinya mulai dari sendi tarsus dan carpus ke bawah sampai kuku berwarna putih, atau mirip berkaos kaki, bagian belakang pelvis atau daerah gendis putih seperti bulan sabit. Begitu pula bagian bibir bawah, tepi dan bagian dalam daun telinga memiliki bulu putih dan pada sepanjang punggungnya memiliki garis belut (aalstreep). Sapi Bali yang telah mengalami penjinakan, pada tahun 1962 disebar ke seluruh wilayah Indonesia diantaranya di Pulau Bali sendiri, Lombok, Timor, Flores, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, kalimantan dan sebagian Serawak (Payne, 1970). Sapi-sapi Bali ini yang tersebar luas di seluruh Pulau Jawa terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah mempunyai bentuk badan kecil dengan warna tubuh kuning kecoklatan. Sapi-sapi Bali ini telah mengalami percampuran darah baik dengan sapi Madura maupun sapi Onggol (Atmadilaga, 1979). Dalam upaya memperbaiki sapi Jawa pada tahun 1904 telah dimasukkan sapi Madura yang merupakan hasil rapat antara pengusaha perkebunan tebu dengan dokter hewan Schat, yang pada waktu itu bertujuan : (1) Mengganti sapi Jawa dengan sapi Madura dengan jalan menternakan sapi Madura secara murni di Jawa, dan (2) Menyilangkan sapi Jawa dengan sapi pajantan Madura. Pemasukan besar-besaran sapi Madura terjadi lagi pada tahun 1900 ke kabupaten Sumedang yang pada saat itu di Kabupaten Sumedang sedang terjangkit penyakit menular pada kerbau tapi pada sapi tidak.
10 Pada tahun 1905 masuk kembali sapi Madura dari Jawa Timur untuk memenuhi keperluan peternak sapi di Cibeureum dan Sumedang (Jawa Barat), bahkan
yang
didatangkan
ke
Kabupaten
Sumedang
lengkap
dengan
pemeliharanya dari orang Madura dengan maksud untuk mengarahkan masyarakat Sumedang bagaimana cara memeliharanya dan menggunakannya sebagai tenaga tarik dalam mengolah tanah. Tahun 1907 dan 1908 pernah dimasukkan pula sapi Bali ke Rembang, Surabaya, Pasuruan, Pacet dan Mojoagung (Jawa Timur). Sapi Bali berkembang baik di daerah Pacet dan Mojoagung, di Jawa Tengah daerah Kedu dan Yogyakarta, sedangkan di Jawa Barat di daerah Karawang. Hal-hal tersebut dalam rangka memperbaiki sapi Jawa. Selain perbaikan sapi Jawa dengan sapi Madura dan Sapi Bali, pada tahun 1806 dan 1812 pernah masuk sapi Zebu yang dikenal dengan sapi Ongole masuk ke Indonesia yang disilangkan dengan sapi setempat dan hasilnya memuaskan kebutuhan rakyat akan tenaga tarik yang lebih besar, dan impor selanjutnya terjadi lagi pada tahun 1878, 1905, 1906 dan terakhir pada tahun 1920. Sapi-sapi Zebu tersebut pada tahun 1908 pernah masuk ke daerah Cirebon, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, Yogyakarta dan Priangan dan secara besar-besaran pada tahun 1914 masuk ke Pulau Sumbawa (Atmadilaga, 1979). Masih banyak sapi-sapi lokal di Jawa Barat yang tidak persis sama seperti sapi Peranakan Ongole (PO), tetapi lebih menyerupai pada sapi Madura atau sapi Bali. Karakteristik sapi Bali memiliki konformasi yang beragam. Ukuran tubuh sedang sampai kecil, bertulang bagus tetapi berotot. Warna bulu jantan maupun betina merah bata, kekuningan, coklat atau merah tua, ada warna keputihan di daerah abdomen dan bagian dalam paha, pada kaki sering menunjukkan warna seperti kaos kaki yang berwarna lebih muda, tetapi tidak
11 putih semulus sapi Bali. Ponok dan leher pada jantan sering berwarna lebih gelap, ponok pada jantan berkembang baik tetapi lebih lebar ke bagian pangkalnya, sedangkan pada berina ponok lebih kecil agak datar. Gelambir kecil, sapi betina mempunyai lipatan pusar dan pada sapi jantan lipatan pusarnya kecil. Terdapat lingkaran berwarna putih sekitar moncong, seperti yang tampak pada sapi Brown Swiss dan Jersey. Hidung biasanya berwarna hitam, tetapi kadang-kadang berwarna daging, bertanduk kecil dang mengarah ke dalam. Cermin pada bagian belakang kalau ada agak runcing dan berwarna lebih muda dari sekitarnya, tetapi tidak begitu putih seperti pada sapi Bali (Huitema, 1986). Ilustrasi di atas menggambarkan ada kedekatan genetik dari sapi spesies bos sondaicus antara sapi jawa, sapi madura dan sapi Bali. Karakter sapi Pasundan merupakan representasi dari Bos sondaicus, memiliki karakter warna tubuh merah bata, merah melahonais atau merah sawo matang dan beberapa pejantan terjadi perubahan warna menjadi legam hitam. Sapi ini memiliki garis belut berwarna hitam atau merah tua, terdapat warna putih pada bagian gendis dan keempat kaki bawahnya dengan batasan yang tidak jelas. Secara arkheologis sapi ini merupakan hasil tekanan inbreeding dari generasi ke generasi persilangan pada program grading up sapi PO dan program grading up sapi Jawa dengan sapi Madura dan sapi Bali. Oleh karena itu, sapi Pasundan terdapat dua tipe, yakni bergelambir dan non gelambir (Indrijani dkk, 2012). Eksistensi sapi pasundan diketahui menjadi basis populasi sapi potong penghasil pedet di Jawa Barat bila dibandingkan dengan sapi potong lain seperti sapi dari bos indicus maupun bos taruus. Hal ini karena populasi sapi Rancah atau sapi Pasundan di masyarakat cukup banyak populasinya. Sebagai contoh di wilayah buffer zone, memiliki skala pemeliharaan
antara 10-40 ekor tiap
12 peternak. Skala kepemilikan yang tinggi disebabkan karena efisien dalam pemeliharaan, antara lain digembalakan di dalam hutan (ekstensif) atau semiintensif, perkandangan relatif sederhana bahkan dibeberapa wilayah tanpa dikandangkan, tahan penyakit tropis terutama parasit, tahan haus, tahan terhadap cekaman perubahan cuaca, dan memiliki siklus reproduksi yang pendek dengan paritas lebih dari dua puluh. Keunggulan lain adalah efesiensi pakan cukup tinggi untuk menghasilkan konformasi otot yang bagus (very goodframe), prosentase karkas yang tinggi dengan kualitas daging diatas standar nasional Indonesia (SNI) walaupun dengan pola pemeliharaan tradisional (Arifin dkk, 2014).
2.3.
Protein Sebagai Marka Genetik Protein adalah suatu polimer yang satuan dasarnya yaitu asam amino.
Polimer merupakan suatu struktur kimia berupa rantai panjang (Irawan, 2008). Protein merupakan senyawa yang paling banyak terdapat dalam serum (darah yang terpisah sehingga menghapus semua sel). Protein memiliki peran penting dalam mempertahankan secara halus keseimbangan asam–basa darah. Protein merupakan hasil ekspresi DNA yang dikendalikan dari pasangan basa yang berbeda, maka setiap individu berbeda diperlukan suatu prosedur biokemis untuk mengidentifikasi
protein
tersebut,
yaitu
elektroforesis
sistem
vertical
(Wongsosupantio, 1992). Serum protein berfungsi sebagai cadangan sumber energi bagi otot dan jaringan tubuh, bila tidak memenuhi jumlah yang memadai. Komposisi darah tersusun atas fraksi sel darah dan plasma darah. Fraksi sel tersebut terdiri dari darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit dan keping darah
atau trombosit ( Harper dkk, 1980). Sel darah merah banyak
13 mengandung hemogloblin, sedangkan plasma darah mengandung protein albumin dan transferin (Sofro,1991). Protein darah dihasilkan melalui asupan nutrisi yang bersumber dari makanan dan proses transkripsi DNA (asam dioksiribonukleat) dan translasi RNA (asam ribonukleat). Susunan asam amino dan jumlah protein dalam darah sangat ditentukan oleh gen-gen yang mengkodenya. Secara umum diantara jenis protein darah yang sudah diketahui bersifat polimorfisme adalah hemoglobin, albumin dan transferin. Perbedaan asam amino peyusun molekul protein meyebabkan perbedaan muatan dan kecepatan gerak pada suatu medan listrik, sehingga tergambar sebagai pita protein dengan pola protein tertentu (Leary dan Booke, 1990). Pola protein yang berbeda-beda menunjukan variasi fenotipe yang mewakili genotipe individu, dan akan menghasilkan perbedaan distribusi frekuensi gen pada suatu populasi.berdasarkan hukum Hardy-weinberg dalam populasi yang besar dimana tidak terjadi seleksi, migrasi atau mutasi dan perkawinan secara acak, maka frekuensi gen dan genotipek akan tetap sama dari generasi ke generasi (Warwick dkk, 1990). Albumin mempunyai peranan penting dalam pengangkutan berbagai macam asam amino ke berbagai jaringan tubuh dan ikut mempertahankan keseimbangan tekanan osmosis darah (Harper dkk., 1980), Albumin mempunyai molekul protein plasma yang terkecil yaitu
BM 69.000 karena ukuran
molekulnya kecil, albumin lebih banyak berpartisipasi dalam tekanan osmotik dibanding dengan protein plasma yang lain. Sejumlah besar perbedaan-perbedaan yang diatursecara genetis telah ditemukan dalam globulin (transferrin), albumin, enzim-enzim darah dan hemoglobin (Warwick dkk., 1990). Albumin adalah salah
14 satu jenis protein di dalam plasma darah yang berjumlah antara 3-5 % dari total volume darah atau sekitar 35-50 % dari total protein plasma (Pierce, 1993).Pada karakteristik enzim atau protein darah tersebut banyak ditemukan keragaman genetis dalam spesies, bangsa atau galur-galur dalam spesies, selanjutnya polimorfisme protein darah tersebut diatur secara genetis oleh pasangan alel atau rangkaian alel (Warwick dkk., 1990). Setiap molekul protein yang dikode oleh gen dengan gen berbeda akan mempunyai berat molekul serta muatan yang berbeda sehingga mobilitas dari katode (kutub negatif) ke arah anode (kutub positif) dalam gel elektroforesis juga berbeda. Protein dengan berat molekul tinggi tetapi muatan positifnya kecil akan bergerak lambat dan sebaiknya apabila berat molekulnya rendah tetapi muatan positifnya besar maka gerak atau mobilitasnya semakin cepat dan hal ini akan menghasilkan gambaran susunan genotipe serta gen dari setiap individu sapi dalam suatu populasi (Arifin, dkk, 2014). Keragaman pola pita protein darah disebabkan oleh keragaman gen-gen yang mengatur sifat-sifat yang diekspresikan oleh pita-pita protein, sedangkan banyak kelompok keragaman bentuk protein darah menunjukan keragaman protein darah (Tjahjaningsih, 1991). Kajian tentang biomolekuler bisa mengetahui pola protein dengan cara identifikasi pola protein yang berada pada hasil kerja gel elektroforesis sistem vertikal. Elektroforesis dapat menentukan polimorfisme protein yang didasarkan pada mobilitas molekul di dalam suatu medan listrik yang ditentukan oleh ukuran, bentuk, besar muatan dan sifat kimia molekul (Wongsosupantio,1992).