II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya baik, laju pertumbuhan cepat, efisiensi pakannya tinggi, dan mudah dipasarkan (Santosa, 1995). Menurut Abidin (2006) sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.
2.2 Feses Sapi Potong Berbagai manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada hewan ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain. Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media berbagai tujuan. (Made M, 2012) Jumlah dan komposisi feses sapi potong tergantung beberapa faktor diantaranya bobot hidup, konsumsi pakan dan air, iklim, manajemen pemiliharaan
10 dan sebagainya. (Budiyanto, 2011) Populasi sapi potong di Indonesia berjumlah 15.494.288 ekor. Produksi feses sapi potong sekitar 7-8% dari bobot badan perhari, rata-rata bobot badan sapi potong di Indonesia 300 kg, dengan asumsi ini maka produksi feses sapi potong di Indonesia adalah sekitar 387.257,2 ton perhari. (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015). Feses sapi potong masih dapat dimanfaatkan karena masih mengandung banyak nutrisi, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Feses (Kering) Sapi Potong Nutrisi
Konsentrasi (Persen) Kisaran Rata - rata N 0,55-4,00 1,9 P 0,12-1,60 0,65 K 0,29-3,20 2,00 Ca 0,17-3,60 1,30 Mg 0,19-1,50 0,69 Na 0,10-2,80 0,74 Fe 0,12-1,25 0,56 Zn 0,001-0,014 0,008 Cu 0,001-0,003 0,002 Mn 0,006-0,115 0,038 B 0,014 0,014 Cl 1,4 1,4 S 0,5 0,5 Cd 0,0002 0,0002 Al 0,52 0,52 Li 0,0009 0,0009 Pb 0,0002 0,0002 (Sumber : Overcash et al, 1983a)
2.3 Biogas Pemanfaatan limbah peternakan antara lain dengan mengolah limbah menjadi biogas. Biogas merupakan gas campuran metana (CH4), karbondioksida (CO2) dan gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian bahan organik (seperti kotoran hewan, kotoran manusia, dan tumbuhan) oleh bakteri metanogenik. Untuk
11 menghasilkan biogas, bahan organik yang dibutuhkan ditampung dalam biodigester. Proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerob (tanpa oksigen), biogas terbentuk pada hari ke 4-5 sesudah biodigester terisi penuh, dan mencapai puncak pada hari ke 20-25. Biogas yang dihasilkan sebagian besar terdiri dari 50-70% metana (CH4), 30-40% karbondioksida (CO2), dan gas lainnya dalam jumlah kecil. ( Sembiring, 2014) 2.3.1 Proses Pembentukan Biogas Selulosa
(C6O10H5)n + nH2O Selulosa
1. Hidrolisis
n(C6H12O6) Glukosa
Glukosa (C6H12O6) + nH2O Glukosa
CH3CHOHCOOH Asam Laktat CH3CH2CH2COOH + CO2 + H2 Asam Butirat
2. Pengasaman
CH3CH2OH + CO2 Etanol Asam Lemak dan Alkohol 4H2 + CO2 CH3CH2OH + CO2 3. Metanogenik CH3COOH + CO2 CH3CH2CH2COOH + 2H2 + CO2
2H2O + CH4 CH3COOH + CH4 CO2 + CH4 CH3COOH + CH4 Metana
Metana + CO2
Ilustrasi 1. Alur Proses Fermentasi Anaerobik (Sumber : Haryati, 2006)
12
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu: a) Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer. b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini yaitu asam asetat, asam propionat, asam format, asam laktat, alkohol, dan sedikit asam butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amonia. c) Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hidrogen sulfida. (Haryati, 2006) Ada tiga kelompok dari bakteri dan Arkhaebakteria yang berperan dalam proses pembentukan biogas, yaitu: a) Kelompok bakteri fermentatif: Steptococci, Bacteriodes, dan beberapa jenis Enterobactericeae. b) Kelompok bakteri asetogenik: Desulfovibrio. c) Kelompok
Archaebakteria
Methanobacterium, Methanococcus.
dan
Methanobacillus,
bakteri
metanogen
Methanosacaria,
: dan
13 Material organik yang terkumpul pada digester (reaktor) akan diuraikan dalam dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama material organik akan didegradasi menjadi asam-asam lemah dengan bantuan bakteri pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah pada tingkat hidrolisis dan asidifikasi. Hidrolisis yaitu penguraian senyawa kompleks atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi senyawa yang sederhana.Sedangkan asidifikasi yaitu pembentukan asam dari senyawa sederhana.Setelah material organik berubah menjadi asam asam, maka tahap kedua dari proses anaerob adalah pembentukan gas metana dengan bantuan Arkhaebakteria pembentuk metana seperti Methanococus, Methanosarcina, Methanobacterium. Proses ini memiliki kemampuan untuk mengolah sampah atau limbah organik yang keberadaanya melimpah dan tidak bermanfaat menjadi produk yang lebih bernilai. (Sembiring, 2014) 2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biogas Menurut Simamora dkk. (2006), menyatakan bahwa ; banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi bigas. Faktor pendukung untuk mempercepat proses fermentasi adalah kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas yaitu : kondisi anaerob, bahan baku isian, C/N rasio, pH, suhu, waktu, dan starter.
Kondisi anaerob, Biogas dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme anaerob. Instalasi pengolahan biogas harus kedap udara. Pada dasarnya pencernaan anaerobik adalah rincian dari bahan organik oleh populasi mikroba yang hidup di lingkungan oksigen bebas. Anaerobik secara harfiah berarti "tanpa
14 udara". Bila bahan organik yang terurai dalam lingkungan anaerobik bakteri menghasilkan campuran metana dan gas karbon dioksida.
Bahan baku isian, berupa bahan organik seperti kotoran ternak, limbah pertanian, sisa dapur, dan sampah organik yang terhindar dari bahan anorganik. Bahan isian harus mengandung 7 – 9 % bahan kering dengan pengenceran 1 : 1 (bahan baku : air). Reaksi pembentukan metana dari bahan-bahan organik yang dapat terdegradasi dengan bantuan enzim maupun bakteri.
C / N Ratio, Ketersediaan kotoran sapi atau kotoran ternak merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam pembuatan biogas. Ketersediaan yang dimaksud adalah tidak hanya dalam jumlahnya yang mencukupi, akan
tetapi
kelangsungannya
(kontinuitas).
Kotoran
ternak
mengandung unsur karbon (C) dan unsur nitrogen (N). Pada kotoran yang masih mentah, kandungan karbonnya lebih tinggi dari kandungan nitrogennya. Maka perbandingan antara karbon dan nitrogen (C/N rasio) bernilai tinggi. Bakteri memerlukan konsentrasi nutrisi yang cukup untuk mencapai optimum pertumbuhan. Karbon terhadap nitrogen dalam limbah harus kurang dari 43. Karbon untuk rasio fosfor harus kurang dari 187. Hasil penelitian menunjukkan bahwa non-lignin C/N rasio 20 sampai 25 adalah optimal untuk kinerja digester.
Derajat asam-basa (pH), sangat berpengaruh terhadap kehidupan mikroorganisme. Derajat keasaman yang optimum bagi kehidupan mikroorganisme adalah 6,8 – 7,8.
15
Temperature, Kemudian faktor lain yang harus dipenuhi adalah kesesuaian udara sekitar. Karena suhu merupakan syarat aktif bakteri penghasil biogas. Suhu yang paling baik untuk berlangsungnya proses pembentukan biogas adalah sekitar 32 – 37oC. Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi kurang baik untuk pembentukan biogas.
2.4 Bakteri Anaerob Bakteri dapat dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan respon mereka terhadap molekul oksigen bebas yaitu : 1) Bakteri Aerob 2) Bakteri Fakultatif Anaerob 3) Bakteri Obligat Anaerob, termasuk bakteri pembentuk metana. Bakteri Aerob aktif dan menurunkan substrat hanya pada saat terdapat molekul oksigen bebas. Bakteri Aerob akan mati di dalam digester anaerob karena tidak adanya molekul oksigen bebas, sedangkan bakteri Fakultatif Anaerob aktif pada saat tidak adanya molekul oksigen bebas. Jika ada, molekul oksigen bebas akan digunakan untuk aktivitas enzim dan degradasi limbah. Jika molekul oksigen bebas tidak hadir, molekul lain misalnya nitrat ion (NO3-), digunakan untuk menurunkan limbah seperti metanol (CH3OH). Ketika ion nitrat digunakan, reaksi denitrifikasi terjadi dan dinitrogen gas (N2) diproduksi. (Gerardi, 2003) 2.4.1
Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan mikroba merupakan proses autokatalitik, pertumbuhan
tidak akan terjadi tanpa adanya sel hidup dan laju pertumbuhan akan meningkat yang ditandai dengan pertambahan jumlah biomassa. (Adams dan
16 Moss, 2008). Fase pertumbuhan bakteri dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase logaritma (eksponensial), fase stasioner dan fase kematian. Fase lag merupakan fase penyesuaian bakteri dengan lingkungan yang baru. Lama fase lag pada bakteri sangat bervariasi, tergantung pada komposisi media, pH, suhu, aerasi, jumlah sel pada inokulum awal dan sifat fisiologis mikroorganisme pada media sebelumnya. Fase eksponensial ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang cepat. Variasi derajat pertumbuhan bakteri pada fase eksponensial ini sangat dipengaruhi oleh sifat genetik yang diturunkannya. Selain itu, derajat pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kadar nutrien dalam media, suhu inkubasi, kondisi pH dan aerasi. Ketika derajat pertumbuhan bakteri telah menghasilkan populasi yang maksimum, maka akan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang mati dan jumlah sel yang hidup. Fase stasioner merupakan saat laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju kematiannya, sehingga jumlah bakteri keseluruhan akan tetap. Keseimbangan jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi karena adanya pengurangan derajat pembelahan sel. Hal ini disebabkan oleh kadar nutrisi yang berkurang dan terjadi akumulasi produk toksik sehingga mengganggu pembelahan sel. Fase stasioner ini dilanjutkan dengan fase kematian yang ditandai dengan peningkatan laju kematian yang melampaui laju pertumbuhan (Volk dan Wheeler, 1993). 2.4.2
Bakteri Metanogenik Bakteri pembentuk metana dikenal dengan beberapa nama: (Bakteri
Metanogenik, Metanogent, Bakteri Pembentuk Metana dan Bakteri Penghasil Metana) yang merupakan kelompok morfologis beragam organisme yang memiliki banyak bentuk, pola pertumbuhan, dan ukuran. Dapat ditemukan
17 sebagai batang individu, batang melengkung, spiral, dan cocci atau dikelompokkan sebagai kelompok yang tidak teratur dari sel, rantai sel atau filamen, dan Sarcina atau berbentuk kubus beraturan. Kisaran dalam ukuran diameter sel individu 0.1-15mm, panjang filamen bisa sampai 200mm serta dapat ditemukan membentuk spora dan non-membentuk spora. Bakteri Metanogenik adalah beberapa bakteri tertua dan dikelompokkan dalam domain Archaebacteria (dari arachae berarti "kuno"). Bakteri Metanogenik sensitif terhadap oksigen, ditemukan di habitat yang kaya senyawa organik degradable. Dalam habitatnya oksigen cepat dikeluarkan melalui aktivitas mikroba. Banyak terjadi sebagai simbiosis dalam saluran pencernaan hewan. Bakteri Metanogenik juga memiliki kandungan sulfur yang tinggi, sekitar 2,5% dari total berat kering sel adalah sulfur. (Gerradi, 2003)
2.5 Gas Metana Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Gas metana adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna, dan mudah terbakar sehingga dapat menimbulkan ledakan dan kebakaran pada landfill jika berada di udara dengan konsentrasi 5-15 % (Latiefah dan Nugroho, 2014). Metana termasuk salah satu gas atmosfir yang memberikan efek rumah kaca. Walaupun komposisi metana di atmosfir jauh lebih rendah dibandingkan dengan gas karbondioksida (CO2), yaitu hanya 0,5% dari jumlah CO2, koefisien daya tangkap panas metana jauh lebih tinggi, yaitu 25 kali gas CO2. Oleh karena itu, sekitar 15% pemanasan global disumbang oleh gas metana. Dalam waktu 250 tahun terakhir, jumlah gas metana meningkat lima kali lipat dari jumlah gas CO2. (Thalib, 2008).