Jurnal Youth Proactive Vol.2
i
Jurnal Youth Proactive Vol.2
ii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
FOREWORD Di Indonesia, anak muda dikategorikan dalam rentang usia 16-30 tahun menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Anak muda di Indonesia berjumlah lebih besar dibandingkan negaranegara ASEAN lainnya. Peta kondisi anak muda Indonesia tersebut mengacu pada data statistik kepemudaan yang dimiliki Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2010. Data tersebut menunjukkan bahwa besar jumlah anak muda di Indonesia dengan rentang usia 16-30 tahun berkisar 57,71 juta jiwa atau sekitar 25,04 persen dari seluruh populasi penduduk dengan besar proposisi jenis kelamin yang hampir sama. Pada tahun 2010 itu pula, Transparency International Indonesia (TII) mengembangkan upaya pelibatan generasi muda dalam gerakan antikorupsi. Sejumlah program dan kegiatan dilakukan oleh Youth Department TII. Salah satunya adalah mengajak pegiatpegiat dalam gerakan dan generasi muda menulis untuk jurnal anak muda, Youth Proactive Journal (Jurnal YP). Jumlah anak muda yang tidak sedikit merupakan potensi besar. Meskipun jumlah tersebut tidak berarti banyak tanpa dampingan gerakan yang serius. Maulida Raviola, dalam tulisannya Menilik Organisasi
Anak Muda Kontemporer di Indonesia dalam volume 2 YP Jurnal ini, menyoroti kemunculan ragam organisasi dan inisiatif anak muda pasca-reformasi. Menurutnya, kemunculan tersebut justru berbanding terbalik dengan minat mereka terhadap politik. Argumen tersebut diperkuat oleh gagasan dari Donny Ardyanto, salah satu pegiat senior yang mengawali karirnya di ICW pasca-reformasi. Donny dalam tulisannya Menantang Oligarki mengaitkan lesunya minat generasi muda terhadap politik diakibatkan oleh kooptasi elit dan oligark dalam demokrasi. Ancaman dan upaya pelemahan dari elit dan oligark terjadi secara sistematis sepanjang 2015. Kriminalisasi dialami oleh sejumlah pimpinan KPK. Alia Faridatus Solikha, yang juga relawan Youth Proactive, menuliskan Stop Kriminalisasi KPK: #SaveKPK, #SehatkanPolri. Tulisan tersebut ditulis dengan perspektif anak muda yang lebih menarik. Beberapa tulisan dari pegiat muda dengan sudut pandangnya anak muda juga ditulis oleh kawan-kawan dari sejumlah daerah. Hilmiah, relawan Youth Report Center (YRC) dari Lombok Barat memaparkan perspektifnya dalam menyikapi kasus kriminalisasi KPK dalam tulisannya Di mana Kita Saat KPK Dilemahkan. Tulisan reflektif lainnya dalam rubrik “Mata Muda” juga diwarnai oleh Yam Saroh dari Jombang, yang memberikan gagasan bagi pembaca muda untuk Bertindak Cerdas Melawan Kultur Kerja Korup. Selain beberapa tulisan yang disebutkan di atas, tulisan lainnya tidak kalah menarik untuk dibaca dalam Volume 2 Jurnal Youth Proactive. Harapan tinggi dari kami agar kultur menulis dalam gerakan dilakukan dan diteruskan oleh generasi muda. Besar rasa terima kasih dan penghargaan kami bagi para penulis dan pembaca yang apresiatif. Selamat membaca dan salam integritas!
Lia Toriana Pemred/ Program Manager Youth Proactive Dept. TII iii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
PROFIL Transparency
International
merupakan organisasi non-profit global antikorupsi yang berbasis di Berlin, Jerman dan memiliki chapters di kurang lebih 100 negara lainnya, salah satunya Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 2002, Transparency International Indonesia (TII) melahirkan beragam publikasi riset dan rekomendasi kebijakan. Beberapa publikasi riset TII yang sudah menjadi rujukan nasional adalah Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index), Survei Integritas Anak Muda (Youth Integrity Survey), dan Barometer Korupsi Global (Global Corruption Barometer).
Youth Proactive adalah sebuah inisiatif dan pendekatan untuk menjangkau dan melibatkan generasi muda dalam gerakan antikorupsi. Sejak tahun 2013, di bawah pengelolaan Youth Department TII, Youth Proactive didukung oleh 40 relawan aktif dari wilayah Jabodetabek.
iv
Jurnal Youth Proactive Vol.2
CONTENTS
iii
FOREWORD
iv
PROFIL
v
CONTENTS
1
HEADLINES
2
STOP KRIMINALISASI KPK!
9
MENANTANG OLIGARKI
19
PESTA DEMOKRASI ATAU PESTA PARA ELIT?: OBROLAN SEPUTAR PEMILU
21
Meritokranian: Generasi Muda Pelopor Demokrasi Berintegritas
29
Pilkada TidaK Langsung, Langkah Mundur Demokrasi
39
PRO-KONTRA KEBIJAKAN: KRITIK PERSOALAN SEKITAR KITA
41 Polemik BBM dan Statolatri 51
Subsidi BBM: Antara Sektor Ekonomi dan Sosial di NusantarA
65
Kuda Besi Ibukota: Dipakai Warga, Dihindari Jakarta
71
Kebijakan Pelarangan Penggunaan Sepeda Motor, Kebijakan Marah-Marah?
79
GERAKAN ANAK MUDA DULU DAN SEKARANG: SEBUAH TRAJEKTORI
82
Menilik Organisasi Anak Muda Kontemporer di Indonesia
90
Lekuk Gerakan Anak Muda
97
MATA MUDA: SUDUT PANDANGNYA ANAK MUDA
98 Dimana Kita, Saat KPK Dilemahkan? 102 Bertindak Cerdas untuk Melawan Kultur Kerja Korup
109
NEGATIVE LEADERSHIP sebagai Upaya untuk Mengurangi Pemimpin Korup
116 119 125
PHOTO GALLERY WRITER’S BIO BEHIND THE JOURNAL v
Jurnal Youth Proactive Vol.2
KORUPSI adalah penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. (Transparency International)
Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index)
merupakan indeks gabungan global yang dikeluarkan oleh Transparency International, untuk menggambarkan persepsi korupsi di sektor publik (pejabat publik dan politisi) dari sudut pandang pakar dan pebisnis, dengan rentang skor 0-100 (sangat korup-sangat bersih).
Skor dan peringkat Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini:
TAHUN
SKOR
PERINGKAT
2012
32
118
2013
32
114
2014
34
117
>>>>>>>>>>> vi
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Survei Persepsi Korupsi 2015
merupakan survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia di 11 kota di Indonesia, untuk menggambarkan daya saing dan hambatan berusaha, potensi korupsi dan integritas pelayanan publik, potensi suap dan integritas sektor bisnis, penilaian sistem integritas lokal, serta penilaian kinerja perekonomian daerah, dengan rentang skor 0-100 (sangat korupsangat bersih). 11 kota yang diteliti merupakan kota yang memiliki kontribusi produk domestik bruto nasional terbesar di Indonesia.
NEGARA
SKOR
PERINGKAT
Banjarmasin
68
1
Surabaya
65
2
Semarang
60
3
Pontianak
58
4
Medan
57
5
Jakarta Utara
57
6
Manado
55
7
Padang
50
8
Makassar
48
9
Pekanbaru
42
10
Bandung
39
11
vii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Perbandingan skor dan peringkat Indonesia di tahun 2014 dengan beberapa negara ASEAN: NEGARA
SKOR
PERINGKAT
Singapura
84
7
Malaysia
52
50
Filipina
38
85
Thailand
38
85
Indonesia
34
117
Vietnam
31
119
Kamboja
21
156
Myanmar
21
156
3 tipe fenomena dalam korupsi: Penyuapan (Bribery) merupakan perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah pemberian kepada seseorang, dengan maksud agar penerima pemberian tersebut mengubah perilakunya sehingga bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang sesungguhnya Pemerasan (Extortion) merupakan penggunaan ancaman kekerasan atau penyampaian/penampilan informasi yang merusak guna membujuk seseorang agar mau bekerja sama dengan pihak pemberi ancaman/informasi Nepotisme (Nepotism) merupakan tindakan memilih keluarga atau teman (dalam hal pekerjaan) berdasarkan pertimbangan hubungan, bukan karena kemampuannya (Syed Hussein Alatas, 1983)
viii
Jurnal Youth Proactive Vol.2
HEADLINES
1
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Stop Kriminalisasi KPK! #SaveKPK, #SehatkanPolri1 Alia Faridatus Solikha
Harus diakui, Indonesia tengah menjadi negara dengan darurat korupsi dengan maraknya tindak pidana korupsi khususnya di kalangan abdi negara. Semenjak berdirinya Orde Baru pada 1965, berbagai bentuk tindakan pidana korupsi seakan menjamur dari berbagai lini. Korupsi, yang menurut UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dipahami sebagai “… tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, 1 Disampaikan dalam diskusi Ngobrol Pintar (NGOPI #5) Youth ProActive Transparency International Indonesia, Jakarta 6 Januari 2015. Kritik dan saran:aliafaridatus@ gmail.com
2
berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait tanggung 2 , jawab yang dijalani,” seakan menjadi topik yang akrab ditemui di berbagai pemberitaan nasional Indonesia yang memperlihatkan bobroknya perilaku pejabat negara akhir-akhir ini. Mulai dari pejabat pemerintahan di tataran pusat, daerah, yang meluas dari kota hingga ke pelosok negeri, serta penguasa dari sektor swasta pun tak lepas dari tindakan korupsi. Era reformasi menjadi titik balik bagi bangsa ini dalam semangat melawan berbagai tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Perjalanan panjang
memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar setelah muncul lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi. KPK menjadi lembaga yang mampu membangkitkan optimisme masyarakat mengenyahkan korupsi di negeri ini.
2 Diana Napitupulu, KPK in Action, Raih Asa Sukses (Penebar Swaday Grup), Jakarta, 2010, hlm.9.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
KPK berdiri berdasarkan UU No. 30/2002 dan berdiri secara independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK dengan sifatnya sebagai lembaga ad hoc, sewaktu-waktu dapat bubar. Pembubaran KPK akan terjadi jika kinerja dari Kepolisian dan Kejaksaan sudah dapat dipercaya, serta korupsi 3 tidak lagi eksis di Indonesia. Berdasarkan data yang dilansir oleh Transparency International Indonesia, di tahun 2014 skor Corruption Perception Index Indonesia berada di angka 34 atau naik dua digit dari skor tahun 2013 4 dengan besaran 32. Dengan hasil ini, kinerja pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bersama lembaga penegak hukum ini patut diapresiasi. Namun patut disayangkan, terlepas dari prestasi yang meningkat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, belakangan ini
persaingan tidak sehat antara KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya justru kian meruncing. Rivalitas antara kepolisian, kejaksaan dengan KPK semakin memanas dengan adanya berbagai temuan KPK atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh para oknum kepolisian dan kejaksaan, sebagai mafia peradilan dan makelar kasus yang justru turut melemahkan penegakan hukum di negeri ini. Menuju seratus hari pertama pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla, rakyat Indonesia kembali dihadapkan dengan perseteruan antara KPK dan Polri (Cicak vs Buaya) yang ketiga kalinya setelah sebelumnya telah terjadi perseteruan Cicak vs Buaya Jilid I dan II.
3 Ibid., hlm.47 4 Wahyudi, “Corruption Perceptions Index 2014 Perhatian: Indonesia Harus Lebih Serius Memberantas Korupsi” diaksesdari
3
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Upaya politisasi lembaga penegak hukum menjadi polemik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Polemik ini dapat dilihat pada pencalonan tunggal Kapolri Budi Gunawan yang lebih dikarenakan pada adanya preferensi politik tertentu. Kontroversi in muncul karena pengangkatan calon pejabat penegak hukum lebih didasarkan kepentingan politis, dibandingkan aspek kompetensi dan kredibilitas. Hal ini tentu saja membuat rakyat kecewa dengan keberadaan institusi hukum di negeri ini. Banyak pihak yang mengingatkan Presiden Jokowi yang tidak melibatkan KPK untuk memastikan calon Kapolri yang bersih dan bebas dari tindak pidana korupsi. Namun entah mengapa, Presiden Jokowi seolah sangat yakin bahwa Budi Gunawan adalah calon Kapolri yang paling layak dan terbaik.
4
Publik Indonesia semakin dibuat kaget atas hasil sidang paripurna DPR RI yang berlangsung pada Kamis (15/1) yang menyetujui usulan Presiden Jokowi untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan (pol) Sutarman. Diketahui sebelumnya, KPK telah menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi berupa gratifikasi saat menjabat sebagai Kepala Biro Pengembangan Karier, Deputi SDM Polri. Apabila jabatan Kapolri diisi oleh orang yang tersangkut kasus korupsi, tentu membuka peluang untuk terjadi hal yang serupa dan korupsi pun akan semakin sulit untuk diberantas. Seakan memperlihatkan bentuk perlawanan, beberapa hari kemudian, Bambang Widjojanto salah satu pimpinan aktif KPK ditangkap paksa dan diberikan status tersangka oleh Bareskrim.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Penangkapan itu didasarkan pada pengaduan bekas anggota legislatif dari fraksi PDI-P, Sugianto Sabran, dengan tudingan mendalangi kesaksian palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin, Kalteng, 2010 silam. Upaya kriminalisasi KPK berlanjut pada jajaran KPK lainnya. Mulai dari Abraham Samad yang dilaporkan oleh Plt. Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto atas pertemuan Samad dengan petinggi partai PDI-P terkait pencalonannya sebagai Wakil Presiden 2014. Tak lama setelahnya, wakil ketua KPK Adnan Pandu yang dilaporkan atas kasus penguasaan perusahaan secara ilegal, dan Zulkarnaen yang juga diadukan ke Kepolisian terkait dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada tahun 2008.5 Rangkaian peristiwa ini memperlihatkan dengan jelas, bahwa ada upaya sistematis yang mengarah kepada kriminalisasi KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi dinilai hanya sebagai petugas partai yang mengakomodir keinginan partai politiknya, PDI-P untuk memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sulit untuk dinafikan,
saat ini kepentingan segelintir elit partai yang menyandera Presiden Jokowi telah berujung pada upaya pelemahan dan kriminalisasi KPK oleh Polri, yang secara nyata merupakan serangan balik atas tertundanya pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. DPR pun seakan turut memuluskan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan meloloskannya saat proses fit and proper test.
5 Rzn, “Kronologi Cicak vs Buaya Jilid Tiga”, diakses dari http://www.dw.de/kronologi-cicak-vs-buaya-jilidtiga/a-18211420, pada tanggal 2 Februari 2015 pukul 11.03WIB
5
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kasus ini menunjukkan lemahnya negara dalam konsistensinya memberantas korupsi. Terlihat pula lemahnya presiden dalam menjalankan amanatnya, yang juga merupakan janjinya, untuk melumpuhkan korupsi. Preseden ini semakin menyudutkan presiden dan mempertanyakan independensinya dalam penegakan hukum elit. Ini adalah titik kritis
pemberantasan korupsi di Indonesia, dimana elit dan penegak hukum tak dapat melepaskan diri dari unsur politis dalam melaksanakan tugasnya.
KPK yang hingga kini menjadi lembaga yang paling dipercaya rakyat memang harus dilindungi, tetapi apabila memang terbukti terdapat oknum-oknum KPK yang melakukan pelanggaran hukum, maka harus tetap diusut sampai tuntas. Berlaku pula pada oknum Kepolisian yang terindikasi korupsi, maka harus tetap menjalani proses hukum hingga tuntas.
6
#SaveKPK Meskipun kini pimpinan-pimpinan KPK berada dalam situasi yang pelik, publik tentu tetap mengharapkan KPK menjadi lembaga independen yang kredibel dalam pemberantasan korupsi. KPK harus diselamatkan dari oknumoknum yang berusaha melakukan kriminalisasi. KPK harus diteguhkan menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang tidak terbawa arus politik. Kinerja KPK selama ini tidak dapat dipandang remeh. Bagaimanapun, KPK telah menyelamatkan trilyunan uang negara dari para koruptor. Walaupun begitu, fakta yang terjadi saat ini,
pemerintah masih belum serius memperkuat KPK. Terbukti dari alokasi anggaran untuk KPK yang hanya 0.05% dari total anggaran negara. Seharusnya anggaran lembaga antikorupsi di sebuah negara mencapai 0.5% dari total APBN.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
yang menekankan pada pembangunan integritas baik individu maupun organisasi, yang dibarengi tiga sektor strategis: hukum (kepolisian, kejaksaan, peradilan), politik (parlemen dan partai politik), serta bisnis (perizinan, bea cukai, dan ekspor-impor).7 Bertrand de Speville, Mantan Komisioner di Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong mengatakan bahwa sangat tidak mungkin pemberantasan korupsi dengan hanya mengandalkan 750 staf, ditambah lagi gedung yang digunakan hanya dapat menampung 350 orang. Indonesia harus menginvestasikan lebih banyak sumber daya manusia dan keuangan apabila korupsi ini ingin di berantas habis.6 Tak hanya itu, diperlukan pula komitmen Presiden dan koordinasi yang baik antarlembaga penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan maupun masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi. KPK pun telah mengajukan konsep Sistem Integritas Nasional (SIN) 6 KPK, “Anggaran Ideal KPK 0,5% dari APBN”, diakses dari http://kpk.go.id/id/nukpk/id/berita/berita-sub/534anggaran-ideal-kpk-0-5-dari-apbn, pada tanggal 2 Februari 2015 pukul 11.35WIB
#SehatkanPolri KPK membutuhkan Presiden sebagai dirjen pemberantasan korupsi, juga Polri sebagai sekutu setia (Oppusunggu, 2015).8 Presiden juga harus menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan melakukan pembenahan terhadap Polri. Presiden harus berani membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri dan segera mencari pengganti yang bermartabat dan bebas dari korupsi. KPK memang lembaga yang memiliki tugas utama untuk memberantas korupsi. Namun peran Polri juga sangat berpengaruh. Berdasarkan infografis yang dilansir dari Selasar.com.
7 Pradipa P. Rasidi, “CPI 2014: Lebih Serius Memberantas Korupsi”, diakses dari http://youthproactive.com/cpi2014-lebih-serius-memberantas-korupsi/, pada tanggal 2 Februari 2015 Pukul 11.36WIB 8 Yu Un Oppusunggu, “#SaveKPK?”, diakses dari http:// www.selasar.com/politik/savekpk, pada tanggal 1 Februari 2015pukul 10.12 WIB
7
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kepolisian Indonesia merupakan institusi yang dipersepsikan paling korup. Kepolisian Indonesia menempati skor teratas dengan persentase 91%, diikuti DPR 89% serta Pengadilan & Kejaksaan dan Parpol dengan persentase yang sama; yaitu 86%. Kepercayaan publik akan kembali apabila Polri serius dan konsekuen dalam menuntaskan semua perkara hukum yang melibatkan petinggi di dalam institusinya. Polri harus mampu membuktikan institusinya bebas dari kepentingan politik.
Reformasi birokrasi menjadi harga mati bagi Polri agar menjadi lembaga yang kuat, profesional, dan bersih dari tindakan korupsi.
Gambar Infografis Indeks Persepsi Korupsi Polisi Sumber: selasar.com, 20159
Konflik antara KPK dan Polri adalah bukti bahwa institusi penegak hukum di Indonesia sedang dipertaruhkan. Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang memiliki kewenangan terbesar atas kasus ini harus segera memetakan masalah yang berkembang, kemudian melakukan penyelesaian yang tak hanya bersifat normatif. Presiden harus tegas dan membebaskan institusi penegak hukum dari kepentingan elit tertentu. Presiden harus dapat menunjukkan kepada rakyat, komitmennya memberantas korupsi dan mengembalikan marwah penegakan hukum di Indonesia.
9 Khas Selasar, “KPK Versus POLRI?” diakses dari http:// www.selasar.com/khas-selasar/kpk-versus-polri pada tanggal 2 Februari 2015 pukul 13.09 WIB
8
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Menantang Oligarki Donny Ardyanto*) Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung disahkan pada bulan Oktober 2004, dan untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah secara langsung ini diterapkan dalam pemilihan Bupati Kutai Kartanegara bulan Juni 2005. Artinya, rakyat Indonesia baru merasakan pengalaman pemilihan kepala daerah secara langsung di masing-masing wilayahnya tidak lebih dari 2 kali. Di sisi lain, pengalaman pemilihan kepala daerah oleh DPRD di era reformasi (19982004) juga baru 1-2 kali dialami di masing-masing daerah. Dengan pengalaman yang masih sangat terbatas tersebut sebenarnya menjadi terlalu dini untuk menilai sejauh mana pengaruh model pemilihan kepala daerah ini terhadap 1 kemajuan demokrasi di Indonesia. Jika kita hanya melihat berdasarkan hak warga negara untuk memilih pemimpinnya secara langsung, tentunya pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah sebuah kemunduran. Namun kemajuan serta kualitas demokrasi tidak bisa dinilai dan diukur sematamata hanya dari pemberian hak pilih langsung tersebut.
*)
Penulis adalah peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) dan juga menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi Partai Serikat Rakyat Independen, sebuah partai politik yang berusaha bebas dari oligarki namun gagal menjadi peserta Pemilu 2014.
1 Meskipun sepanjang Orde Baru kepala daerah dipilih melalui DPRD, namun lebih tidak tepat apabila pengalaman tersebut digunakan sebagai perbandingan.
9
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dari berbagai metode yang dilakukan untuk mengukur demokrasi (Indeks 2 Demokrasi Indonesia , Global Democracy 3 4 Ranking , Freedom in the World , dll), mekanisme pemilihan kepala daerah hanya merupakan satu indikator dari puluhan indikator demokrasi. Jadi, selain terlalu dini dan sumir untuk melakukan semacam evaluasi terhadap perkembangan demokrasi Indonesia berdasarkan mekanisme pemilihan kepala daerah, ada aspek lain yang lebih relevan dalam memandang transisi demokrasi ini. Menurut Jeffrey Winters (2011), selain transisi dari kediktatoran ke demokrasi, ada transisi lain yang tidak kalah penting, yaitu transisi dari oligarki sultanistik yang dijinakkan oleh Suharto menjadi oligarki kekuasaan yang belum dijinakkan 5 semenjak Suharto jatuh. Oligarki yang dijalankan oleh kamu oligark inilah yang menguasai perpolitikan Indonesia di era reformasi. Secara langsung maupun tidak langsung, mereka telah mendominasi lembaga-lembaga politik yang dibangun dengan tujuan awal untuk memperkuat demokrasi.
2 Lihat http://www.idiproject.org/index.php/en/ methodology dan Indeks Demokrasi Indonesia 2013 di Berita Resmi Statistik BPS No. 55/07/Th.XXVII, 04 Juli2014. 3 http://democracyranking.org/?page_id=738 4 http://www.freedomhouse.org/report/freedomworld-2014/methodology#.VDaUZvnLclR 5 Jeffrey Winters, Oligark, Gramedia, 2011, hal.xix-xx.
10
Jurnal Youth Proactive Vol.2
APAKAH OLIGARK INI? Oligark adalah individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material, yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya. Sedangkan oligarki adalah politik pertahanan kekayaan dari kaumoligark.6 Postur oligarki Indonesia tergambar dari fakta bahwa jumlah kekayaan dari 40 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2010 merupakan 10,3% dari GDP, dengan rata-rata kekayaan mereka mencapai Rp 21,36 trilyun.7 Jika dibandingkan rata-rata kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura, Indonesia berada di posisi paling tinggi. 6 Jeffrey Winters, Oligark, Gramedia, 2011, hal.8-9. 7 Data Forbes Magazine 2010 yang dirangkum oleh Winters. Bandingkan dengan rata-rata kekayaan penduduk Indonesia yang hanya Rp39,7juta(GlobalWealthReport2010).
11
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TABEL PERBANDINGAN KEKAYAAN 40 ORANG TERKAYA TAHUN 20108 Total Wealth (US$ billions)
AverageWealth (US$ billions)
Total Wealth as % of GDP
Wealth Concentration Index
indonesia
71.3
1.78
10.3
6.22
Thailand
36.5
0.91
11.7
1.95
Malaysia
51.3
1.28
23.4
1.65
Singapore
45.7
1.14
21.0
0.25
Source: Forbes magazine 2010 “40 Richest” reports for various Asian countries and author’s calculations.
Dari tabel di atas terlihat bahwa 40 orang terkaya di Indonesia menguasai aset yang jumlahnya mencapai 10.3% dari GDP Indonesia.9 Sementara konsentrasi kekayaan di Indonesia lebih dari 3 kali lipat konsentrasi kekayaan Thailand, hampir 4 kali lipat Malaysia, dan 25 kali lipat dari konsentrasi kekayaan orang Singapura. Konsentrasi kekayaan ini, berbeda dengan indeks Gini yang menggambarkan kesenjangan ekonomi, menunjukkan bagaimana kesenjangan yang tinggi itu terkonsentrasi pada segelintir orang yang kemudian bisa dikategorikan sebagai oligark.
8 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, Apr-Jun2011. 9 Menurut Data Forbes 2013 (http://www.forbes.com/indonesia-billionaires/list/), total kekayaan 40 orang terkayaIndones iameningkat26%padatahun2013menjadiUSD89,6milyar,danmasihmemilikiprosentase yang sama (10,3%) terhadapGDP.
12
Jurnal Youth Proactive Vol.2
INDEKS KONSENTRASI KEKAYAAN ORANG INDONESIA 201010 Indonesians
% GDP
Wealth Index per Orang
Top 40
10.3
823.850
Next 42.960
14.7
1.095
Bottom 239.957.000 (99.98% of pop)
75.0
1
10 Diambil dari materi presentasi Jeffrey Winters dalam Diskusi Ancaman Oligarki dan Masa Depan Politik Indonesia di SMI-Keadilan, Juni2011.
Satu hal yang membedakan antara oligark Indonesia dengan kaum oligark dalam rumusan teori oligarki Winters adalah oligark Indonesia tidak menggunakan (apalagi mengupayakan) rule of law dalam mempertahankan/meningkatkan kekayaan mereka.
Oligark Indonesia memanfaatkan absennya rule of law untuk, bukan sematamata mempertahankan kekayaan, namun juga untuk mengakumulasi kekayaan yang lebih besar dengan cara yang melanggar hukum.
13
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Cara-cara yang biasa dilakukan kaum oligark dengan mempengaruhi perumusan kebijakan, seperti UU Penanaman Modal, UU Pajak, UU Minerba, UU Perseroan Terbatas, dll demi mempertahankan kekayaannya sudah merupakan sebuah bentuk penyalahgunaan kekuasaan, meskipun dengan cara yang bisa dikatakan “halus” dan canggih. Melalui UU dan kebijakan tersebut mereka berhasil mempertahankan kekayaan dengan perlindungan legal dari peraturan perundangundangan. Ternyata cara itupun masih belum mencukupi bagi sebagian oligark Indonesia, sehingga kemudian cara-cara “kasar” pun dilakukan dengan mengambil proyek-proyek pembangunan untuk bisa dijalankan oleh perusahaan yang mereka miliki.
Menghadapi cara kasar kaum oligark, kita bisa berharap pada institusi penegakan hukum, khususnya KPK. Namun menghadapi oligarki yang menggunakan instrumen demokrasi dalam mempertahankan kepentingan privat mereka itulah yang menurut Winters menjadi problem penting bangsa ini. Uang dan kekayaan memang bisa menghasilkan kekuasaan, namun di Indonesia kemampuan itu menjadi berlipat ganda karena tidak adanya hambatan (berupa aturan, dll) bagi penggunaan uang untuk kepentingan kekuasaan.11 Menurut Rahman Tolleng, konsolidasi kaum oligark pasca Orde Baru sudah membajak demokrasi yang dicita-citakan pada tahun 1998, dan “membekukan” masyarakat.12 Politik secara perlahan diambil
alih dan dikuasai kembali oleh mereka, kali ini tanpa adanya lagi kediktatoran Suharto yang membatasi ruang gerak oligark. Arena pertarungan politik dibuat
sedemikian rupa sehingga hanya dengan restu dan campur tangan mereka, politik bisa berjalan. Politik hanya bisa berjalan dengan biaya besar. Biaya besar ini bukan hanya dalam kerangka kontestasi di pemilu. Dari awal untuk bisa masuk dalam ruang kontestasi pemilu saja sebuah partai politik harus menyiapkan biaya minimal Rp 35-60 milyar.13 Itu belum termasuk biaya kampanye, sehingga juga belum menjamin parpol yang bersangkutan bisa memperoleh suara yang signifikan.
11 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, AprJun2011 12 OrasiRahmanTollengdalamPeringatan40TahunMalari,15Januari2014,dibu kukanolehIndemo. 13 Berdasarkan perhitungan saya, kebutuhan minimal pembentukan Partai Politik (verifikasi Depkumham): Rp 35milyar. Biayakeikutsertaanpemilu(verifikasiKPU,rekrutmenanggotadll):Rp25milyar. Biayakampanye: ∞
14
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TABEL PERSYARATAN PARTAI POLITIK ERA REFORMASI 1999 Persyaratan Pembentukan Partai Politik - Jumlah Pendiri - Jumlah Kepengurusan Tk. Provinsi - Jumlah Kepengurusan Tk. Kab/Kota - Jumlah Kepengurusan Tk. Kecamatan Jumlah Partai Politik Persyaratan Parpol Ikut Pemilu - Jumlah Kepengurusan Tk. Provinsi - Jumlah Kepengurusan Tk. Kab/Kota - Jumlah Kepengurusan Tk. Kecamatan - Jumlah Anggota Jumlah Peserta Pemilu
2004
2009
2014
UU No.2/1999 UU No.31/2002 UU No.2/2008 UU No.2/2011 50 0 0 0
50 50% 50% 25%
50 60% 50% 25%
99 100% 75% 50%
141
187
74
34
UU No.3/1999 UU No.12/2013 UU No.10/2008 UU No.8/2012 2/3 50% 2/3 100% 50% 2/3 75% 2/3 0 0 50% 0 1000 atau 0 1000 atau 1000 atau 1/1000 1/1000 1/1000 48 24 12 38
Akibat yang muncul di publik yang menggambarkan efek pembekuan oleh kaum oligark adalah ketidakberdayaan publik ketika berhadapan dengan partai politik yang mengabaikan ataupun mengkhianati aspirasi mereka. Penguasaan oligark terhadap partai politik membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan “leading”, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualisme oligark, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah sebagai demos yang kratos melalui direct-one-manone-vote, padahal umur kratos mereka hanya sekejap ketika mereka berada di dalam bilik suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses sama sekali terhadap kekuasaan. Jarak antara publik dengan
partai diperlebar, baik atas hasil rekayasa oligark, maupun reaksi publik sendiri berdasarkan pengalaman traumatik mereka terhadap partai politik. Dalam hasil riset LSI yang dijadikan rujukan dalam tulisan Sdr. Iman Warih Waskito, dinyatakan bahwa penolakan publik terhadap pemilihan kepala daerah oleh DPRD dilandasi oleh adanya kekawatiran bahwa kepala daerah akan lebih mengutamakan kepentingan partai (dibanding kepentingan publik). Temuan itu juga harus dibaca sebagai adanya kesenjangan yang sangat besar antara kepentingan publik dengan kepentingan partai.Kesenjangan ini merupakan problem mendasar dari politik dan kepartaian Indonesia, di mana partai gagal merepresentasikan kepentingan publik.
15
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Problem kegagalan fungsi representasi partai politik, dan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik tidak ada kaitan langsung, dan tidak akan bisa diselesaikan melalui model pemilihan kepala daerah secara langsung. Akar dari kedua problem tersebut yaitu oligarki sekalipun, tidak bisa diselesaikan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Winter menegaskan bahwa penjinakan terhadap oligark tidak ada hubungannya dengan kebebasan ataupun partisipasi politik masyarakat. Penjinakan terhadap oligark hanya dapat dilakukan melalui rule of law, dan harus disadari bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan rule of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa rule of law, sehingga disebut Winters sebagai “criminal democracy”; berbanding terbalik dengan Singapura yang dia sebut sebagai “authoritarianlegalism”.14 14 Jeffrey Winters, Who will Tame the Oligarch, Inside Indonesia 104, Apr-Jun2011
16
Kita berada dalam situasi dimana politik elektoral sudah diberlakukan, namun partai politik dikuasai
oleh oligark sementara publik mengambil sikap anti terhadap (partai) politik. Dengan kesediaan
untuk menjadi demos hanya sekejap dalam bilik suara, kecenderungan
publik adalah berpolitik sebagai kumpulan gerombolan tanpa isi kepala. Padahal kita membutuhkan
publik dengan kualitas demos yang permanen sehingga benar-benar bisa memegang kratos secara permanen pula. Institusi-institusi yang dianggap sebagai pilar demokrasi, terutama partai politik dan pers, sudah menjadi bagian dari oligarki yang alih-alih menjalankan fungsi pendidikan politik, malah menjejali publik dengan segala jenis survei dan kampanye personalisasi politik.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pendalaman demokrasi membutuhkan peran aktif warga negara dalam politik. Peran aktif ini harus lebih dari sekedar aktif mengikuti isu politik di media massa atau media sosial, kemudian mengambil sikap (juga melalui media sosial) berdasarkan informasi-informasi dangkal yang diterima dari media massa. Politik harus mulai dipahami dan disikapi bukan berdasarkan figur ataupun hasil polling, namun berdasarkan gagasan dan platform dari aktor politik. Rekayasa politik diperlukan untuk mengubah pemahaman tersebut, dan mau tidak mau diawali dengan kesadaran bahwa segala hiruk pikuk politik yang terjadi selama ini tidak lain merupakan pertarungan antar oligark dalam memanfaatkan serta memperebutkan kendali atas institusiinstitusi demokrasi.
17
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Agenda untuk melahirkan kewarganegaraan yang aktif memerlukan rakayasa melalui pendidikan. Pemilihan secara langsung tentunya juga bisa dianggap sebagai suatu bentuk pembelajaran politik, learning by doing. Asumsinya pengalaman adalah guru yang terbaik, publik akan belajar dari kesalahan maupun keberhasilan yang mereka peroleh ketika terlibat langsung dalam proses voting. Namun ada resiko ketika momentum belajar yang hanya sekali dalam lima tahun itu kalah cepat dengan proses pengambilalihan institusi demokrasi oleh kaum oligark, sehingga instrumen hukum yang merupakan alat utama untuk menjinakkan kaum oligark akan semakin sulit diciptakan dengan makin kuatnya cengkraman oligarki.
18
Pemilihan kepala daerah secara langsung maupun melalui DPRD tidak berpengaruh terhadap fenomena oligarki politik. Bahkan pertarungan wacana mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah bisa jadi menguntungkan oligark karena masih jauh dari subtansi yang diperlukan untuk menjinakkan mereka. Menjinakkan oligark sangatlah sulit, namun jauh lebih sulit lagi untuk bisa menghancurkan mereka melalui pemecahan konsentrasi kekayaan. Meskipun sulit, namun cengeraman oligarki memang hanya bisa diatasi dengan aturan hukum (rule of law). Menurut Winters, hal itu harus dimulai dengan masyarakat mempunyai organisasi dan pemimpin di luar struktur yang dikuasai para oligark dan elit. Organisasi dan pemimpin politik inilah yang akan menjadi agen dan alat dalam menantang oligarki. Oleh karena itu, jauh lebih penting untuk mendorong kewarganegaraan yang aktif dengan keterlibatan langsung warga negara di institusi-institusi demokrasi, dimulai dengan partai politik. Contoh pilihan sederhananya: Masuk partai politik yang sudah ada dan melawan oligarki dari dalam; atau Membuat partai politik baru yang terbebas dari kaum oligark.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pesta Demokrasi atau Pesta Para Elit?:
Obrolan Seputar Pemilu
19
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pemilihan Umum (Pemilu), yang merupakan syarat utama demokrasi, bukan sekedar arena untuk mengekpresikan kebebasan rakyat dalam memilih pemimpinnya; tetapi juga sebagai sarana untuk menilai kinerja pemimpin dan menghukumnya, jika kinerja dan kelakukannya buruk. (Rumahpemilu.org)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak akan diadakan secara
bertahap (dibagi menjadi 7 gelombang) mulai Desember 2015 hingga tahun 2027 – dimana pada tahun 2027 tersebut Pilkada Serentak akan diadakan di setiap provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, dan untuk seterusnya akan dilakukan kembali setiap 5 tahun sekali.
Mengapa Pilkada Serentak?
Pilkada di Asia Tenggara
• Efisiensi anggaran
Berbeda dengan Indonesia; Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Brunei, dan Malaysia tidak menyelenggarakan Pilkada. Malaysia sempat menyelenggarakan tapi tidak dilanjutkan kembali setelah adanya konfrontasi dengan Indonesia pada tahun 1964. Di Malaysia, kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat. Sedangkan di Vietnam, kepala daerah dipilih oleh badan legislatif.
• Sebagai sarana untuk menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar • Mencegah mobilisasi massa pemilih dari satu daerah ke daerah lain (misal: minggu ini mobilisasi massa di Banten, minggu berikutnya mobilisasi massa yang sama di Depok) • Mencegah kutu loncat (gagal di satu wilayah, menyeberang ke wilayah lain) seperti Rieke Dyah Pitaloka (gagal di Jakarta dan Jawa Barat, jadi bakal calon di Depok) dan Andre Taulany (gagal di Tangerang Selatan, jadi bakal calon di Depok)
20
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Meritokranian:
Generasi Muda Pelopor Demokrasi Berintegritas Apriliyati Eka Subekti
Dalam hitungan minggu, sebagian daerah di Indonesia akan segera menggelar hajatan tertinggi demokrasi. Data KPU menunjukkan bahwa terdapat 9 provinsi dan260 kabupaten/kota yang serentak mengadakan pilkada pada 9 Desember 2015. Di sisi lain, keikutsertaan dalam memberikan hak suara pada pilkada ini, dipandang sebagai standard partisipasi masyarakat dalam pemenuhan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Perlu diketahui, sekitar 30 persen dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda atau pemilih pemula. Para pemilih pemula tersebut merupakan basis utama swing voters yang cukup menentukan arah pengelolaan negara pada periode selanjutnya. Di sisi lain, para pemimpin dan pemangku kebijakan sudah sepatutnya dipilih berdasar kompetensi dan integritasnya.
“Bicara kualitas manusia maka prinsipnya niscaya akan hadir era meritokrasi.” -Anies Baswedan
21
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Tak ayal, terbersit sedikit kekhawatiran akan kemampuan pemilih pemula dalam mengelola antusias menentukan sosok pemimpin yang tepat.Namun demikian, jika dimanfaatkan dengan baik, antusiasme tersebut justru dapat menjadi modal untuk mengawal penyelenggaraan pesta demokrasi, khusunya pilkada 2015. Sebetulnya, bagaimana kaum muda dapat ambil bagian mengawal penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia? Mampukah kaum muda menjadi generasi meritokranian yang melek politik? Tulisan ini akan memaparkannya lebih jauh.
PEMILIH PEMULA, ASET PEMILU Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi demografi suatu negara sangat memengaruhi proporsi pemilih dalam pemilihan umum di negara tersebut. Bahkan, kondisi di atas turut berdampak pada output dari pemilihan itu sendiri. Keputusan pemilih akan menentukan apakah pemilihan umum dapat membawa perubahan, atau justru mengulang perilaku bobrok pejabat publik pemerintahan, penyelewengan kekuasaan berujung korupsi. Merunut penyelenggaraan pemilihan umum 2014, sebagian dari total pemilih di Indonesia merupakan generasi muda. Data “Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014” milik Transparency Indonesia(TI)
22
menunjukkan bahwa 30 persen dari total pemilih di Indonesia adalah pemilih pemula (17-30 tahun). Sejatinya, rata-rata pemilih pemula di Indonesia mendapatkan kemudahan akses pendidikan politik dari berbagai media. Senada dengan hal tersebut, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sonny Harry Harmadi pun menambahkan,bahwa dengan tingkat pendidikan dan akses informasi yang baik, mereka seharusnya cenderung melek politik. (Antusiasme Pemilih Muda- Kompas, 8 April 2014).
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Jika
dilihat
dari
partisipasi
politik,
sebagian besar pemilih muda menyatakan akan menggunakan hak pilihnya. Survei TI pada tahun
2014 kembali menyebutkan bahwa, 77% pemilih pemula bersedia menggunakan hak suaranya dalam pemilihan presides (pilpres) 2014. Begitupun pada pemilihan legislative 2014, 63% pemilih pemula menyatakan bersedia memberikan hak suaranya.Fenomena ini menandakan masih terjaganya tingkat kepercayaan
Apabila disandingkan, partisipasi politik dan informasi politik dapat ditarik benang merahnya. Partisipasi
politik yang tidak didukung dengan kesediaan menggali informasi politik dapat memengaruhi pilihan politik.
Alih-alih memanfaatkan hak pilih dengan tepat, justru malah ikut-ikutan karena tak tahu siapa yang hendak dipilih. Jelas, pemilih pemula masih menjadi basis kuat swing voters, pemilih yang masih dapat mengubah pilihan politiknya.
pemilih pemula terhadap kondisi politik yang tengah berjalan. Paling tidak, ada kepedulian politik yang terbersit di benak mereka. Namun, jika dilihat dari kesediaan menggali informasi politik, pemilih pemula cenderung minim minat.
Nyatanya, 48% pemilih pemula mengaku jarang mencari informasi tentang pemilu, 33% pemilih menyatakan tidak pernah, dan sisanya mengaku sering mencari informasi.
Terbukti, 60% pemilih masih akan mengubah pilihan legislatifnya, sementara 35% akan mengubah pilihan capresnya kelak. Sejatinya, kondisi di atas mencerminkan suara pemilih pemula yang sulit untuk ditebak namun tak terlalu sulit untuk diarahkan. Tak sedikit sebagian kandidat yang memanfaatkan hal ini. Oleh karenanya, mereka menganggap pemilih pemula sebagai aset pemilu nan potensial yang dapat menjadi lumbung suara.
23
Jurnal Youth Proactive Vol.2
GENERASI MERITOKRANIAN emokrasi merupakan sistem yang masih dipercaya masyarakat untuk D menjalankan roda pemerintahan Indonesia saat ini. Bumi Bhineka Tunggal Ika pun masih meyakini bahwa sosok pemimpin idaman ialah mereka yang menerapkan demokrasi itu sendiri. Sejatinya, pemimpin yang demokrasi patut disaring dari integritas dan rekam jejak kompetensinya sebagai warga negara. Sistem demokrasi tak bisa turun ranjang layaknya aristokrasi.Sistem demokrasi jugatak boleh dikuasai dan disetir oleh kaum-kaum elit layaknya plutokrasi. Singkat kata, demokrasi menuntut diberlakukannya meritokrasi. eritokrasi adalah sistem pemerintahan dimana para pemimpin dan M pemangku kebijakannya dipilih berdasarkan integritas, keahlian, atau prestasinya. Istilah Meritokrasi sendiri dicetuskan oleh Michael Young dalam Rise of the Meritocracy pada tahun 1958. Meritokrasi merujuk sebuah sistem politik yang mengapresiasi integritas dan kompetensi seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meritokrasi merupakan amunisi untuk melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Demokrasi yang diperkuat dengan meritokrasi dinilai mampu melepaskan negara ini dari cengkraman tikustikus berdasi. erujuk pemaparan di atas, pilihan politik tiap pemilih lah yang sangat M menentukan keberlangsungan demokrasi berbasis meritokrasi. Jika kesadaran politik tiap pemilih (khususnya pemilih pemula) telah mencapai titik kulminasi, tak sulit meweujudkan hal tersebut. Terlebih jika suara paraswing voters dapat digiring kearah yang tepat. Menyikapi hal ini, sudah saatnya generasi muda menjadi pelopor demokrasi berintegritas. Mengawal keberlangsungan pesta demokrasi negeri ini. Menjelma menjadi generasi meritokranian.
24
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Generasi meritokranian adalah generasi yang mampu menaruh pilihan politik mereka pada sosok-sosok yang cakap dan bermoral Generasi meritokranian sadar betul akan pengaruh hak suara mereka demi keberlangsungan demokrasi bernafas meritokrasi. Dengan demikian, mereka akan mencari tahu betul siapa kandidat legislatif maupun pemimpin mereka dari berbagai media dan teknologi. Hal ini demi pilihan politik yang tepat, kandidat dengan kompetensi yang memadai dan berpedoman pada integritas. Alhasil, bermunculan sosoksosok yang lebih dari sekadar pejabat publik, sosok negarawan yang mampu menjadi tauladan.
Sejatinya, generasi meritokranian lah yang mampu mengawal keberlangsungan pemilihan umum di Indonesia. Antusiasme sebagai pemilih pemula dapat mendorong inisiatif politik yang berujung pada keyakinan mereka untuk menggunakan hak suara dengan tepat. Terlebih dengan kemudahan akses informasi yang didukung dengan tingkat pendidikan, pemilih pemula sudah sepantasnya cerdas bersikap. Dengan kecerdasan bersikap, generasi meritokranian diharap mampu menularkan kesadaran politiknya pada orang lain. Di sisi lain, hal tersebut juga mampu mendorong keberanian mereka untuk melawan penyimpangan politik yang terjadi. Paling tidak, mereka tak menjatuhkan pilihan pada kandidat yang terindikasi melakukan penyimpangan tersebut. Jika berbagai peran di atas betul-betul dijalankan, generasi meritokranian jelas menjadi katalisator utama demokrasi bermeritokrat.
25
Jurnal Youth Proactive Vol.2
SEKADAR PERLU ATAU PENTING? P ersentase yang besar membuat pemilih pemula menjadi sasaran empuk para kandidat dan partai politik. Dalam rangka mendekatkan diri dengan generasi muda, mereka pun menggunakan media sosial sebagai sarana kampanyenya. Strategi lain adalah dengan menggelar berbagai event yang digemari generasi muda. Mulai dari konser musik, flashmob, dan iklan yang menampilkan semangat kepemudaan. Hal ini ditempuh untuk membentuk stigma positif yang selanjutnya mengikat generasi muda dengan sang kandidat atau partai politik tertentu. Seirama dengan kondisi itu, Direktur Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP) Sunarto Ciptoharjono pun turut menegaskan, bahwa partai politik membentuk preferensi pemilih muda dengan membentuk ikatan pertama dengan mereka.
26
ondisi di atas membuat suara K pemilih muda cukup rentan diombang-ambing. Psikologis yang belum matang cenderung membuat generasi muda mudah dimanfaatkan oknum politik tertentu. Maka dari itu, kesadaran untuk menjadi bagian dari generasi meritokranian sangatlah penting. Yang perlu diingat, suara generasi muda turut menentukan masa depan pengelolaan negara kedepannya.
engan menjadi generasi D meritokranian, suara generasi muda tak mudah direbut dan dikelabui partai tertentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi generasi yang kritis, terutama terhadap isu korupsi yang membelit kaum senayan dan mungkin si kandidat pemimpin. Menjadi generasi
meritokranian sama saja dengan membangun benteng pertahanan dari gelombang politik yang kian tak menentu. Menjadi generasi meritokranian berarti menjadi motor perubahan sosial.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TANGGUNG JAWAB BERSAMA U ntuk membentuk generasi meritokranian, memang dibutuhkan pendidikan politik yang berkesinambungan. Cukupkah hanya pemerintah yang bertanggung jawab. Jelas, jawabannya tidak. Jika pada kenyataannya masih ada generasi apolitis, berarti pemerintah telah gagal dalam memberikan pendidikan politik pada warganya. Akan tetapi, disadari atau tidak, fungsi pendidikan politik nyata-nyata juga diemban oleh partai politik. Maka, apabila generasi muda hanya dimanfaatkan sebagai kantong suara bahkan hanya dijadikan objek politik semata, partai politik pun turut dinyatakan gagal menjalankan kewajiban edukasinya.
amun demikian, kesadaran politik N sepatutnya harus dibangun sendiri oleh setiap insan muda di Indonesia. Jika generasi muda peduli akan bangsanya, pastilah ia peduli akan pemimpin yang memimpin bangsanya. Menjadi generasi meritokranian hanyalah bagian kecil dari sekian banyak kewajiban kaum muda kepada ibu pertiwi. Tantangan bangsa ini jauh lebih besar, perjalanan meneruskan perjuangan para founding fathers masih cukup panjang. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi bagian dari generasi meritokranian?
27
Jurnal Youth Proactive Vol.2
BAHAN BACAAN
“Antusiasme Pemilih Muda” kompas.com, Senin, 19 Oktober 2015 (http://nasional.kompas.com/read/2014/04/08/1946582/ Antusiasme.Pemilih.Muda) “Demokrasi dengan Meritokrasi“ republika.co.id, 20 Oktober 2015(http://www.republika.co.id/berita/kolom/tehanget/14/03/12/n29mza-demokrasi-dengan-meritokrasi) “Melirik Generasi Apolitis yang Kian Kronis” beritasatu.com, 21 Juni 2013 (http://www.beritasatu.com/fokus/121100-melirik-generasiapolitis-yang-kian-kronis.html) “Pemilih Muda Penentu Kemenangan” DW.com, 30 Maret 2014 (http://www.dw.com/id/pemilih-muda-penentukemenangan/a-17527983) Transparency Indonesia, Survei Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu 2014
28
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pilkada Tidak Langsung, Langkah Mundur Demokrasi Titi Anggraini
A. PEMILIHAN LANGSUNG Salah satu pokok permasalahan kontroversial dari rancangan undang-undang tentang pemilihan kepala daerah (RUU Pilkada) adalah berhubungan dengan pilihan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan adanya ketentuan pilkada oleh DPRD menandakan adanya pencabutan terhadap hak pilih rakyat dalam memilih kepala daerah secara langsung. Beberapa fraksi di DPR menginginkan kembalinya mekanisme pemilihan kepala daerah secara perwakilan oleh DPRD. Ketentuan ini yang kemudian menjadi perdebatan dan perhatian serius bagi banyak kalangan. 29
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dikembalikannya pemilihan kepala daerah ke DPRD didasarkan pada beberapa alasan utama. Antara lain, pertama, terkait besarnya anggaran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemilukada. Berdasarkan hasil penelitian Fitra, anggaran Pemilukada pada tingkat kabupaten/kota untuk satu kali putaran berkisar antara Rp.5 Miliar - Rp.28 Miliar. Sementara pada tingkat provinsi anggaran Pemilukada membutuhkan dana antara Rp.60 Miliar - Rp.78 Miliar. Kedua, selain persoalan anggaran penyelenggaraan, tingginya ongkos politik Pemilukada juga menjadi argumentasi serius, sehingga mengambil keputusan untuk menarik hak pilih rakyat atas kepala daerah. Pemilukada langsung
dianggap berkontribusi besar terhadap korupsi ditingkat lokal. Mekanisme langsung dikorelasikan dengan besarnya ongkos politik yang ditanggung kandidat, sehingga mendorong kepala daerah terpilih berperilaku koruptif.
Rilis Kemendagri, hingga awal 2011 saja menunjukkan 17 gubernur, 135 bupati dan walikota tersangkut kasus korupsi. Namun memang permasalahan anggaran dan ongkos politik bukan satusatunya argumentasi untuk menarik hak pilih rakyat dalam pemilu kepala daerah.
30
Persoalan ketiga, pemilihan kepala daerah oleh DPRD digadang-gadang juga karena alasan maraknya konflik horizontal maupun kekerasan dalam pemilukada. Selain karena hal-hal di atas, masalah keempat, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap tidak melanggar konstitusi. Ketentuan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tidak secara eksplisit memerintahkan pemilihan secara langsung. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen kedua konstitusi ini menyebutkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Perkataan “dipilih secara demokratis” ini bersifat sangat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh rakyat ataupun DPRD seperti yang dipraktikkan pada periode sebelum tahun 2005.
Pertanyaannya, benarkah mencabut hak pilih rakyat secara langsung atas pemilihan kepala daerah merupakan satu-satunya jalan untuk menjawab persoalan di atas? Menjawab pertanyaan itu maka perlu diuraikan akar persoalan, sehingga rekomendasi yang diambil tidak salah arah, seperti mencabut hak pilih rakyat dalam pemilihan kepala daerah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
B. PEMILUKADA MURAH DAN DEMOKRATIS Efisiensi dalam pelaksanaan pilkada tidak harus mengesampingkan nilai-nilai demokratis. Bagaimana mungkin tujuan utama demokrasi justru tereliminasi oleh permasalahan teknis seperti anggaran. Justru inilah tantangan yang harus dijawab pemerintah melalui agenda perubahan undang-undang pemerintahan daerah. Perubahan itu diharapkan mampu menciptakan desain baru, sehingga efisiensi anggaran pilkada dapat terwujud tanpa harus mengabaikan prinsip utama.
Beberapa alternatif dapat dikembangkan, seperti penggabungan pilkada dalam satu waktu. Pilkada yang tersebar dalam beberapa daerah dan waktu yang berlainan, dilaksanakan secara serentak seperti Pemilu Presiden dan Legislatif. Mekanisme ini memungkinkan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, bekerja dalam satu waktu.
Dengan desain ini, ke depan KPU hanya akan melaksanakan pemilu 2 kali, yakni Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional Nasional (lebih lanjut lihat bahasan tentang pengaturan waktu penyelenggaraan). Mekanisme ini sangat mungkin dilakukan jika pemerintah serius untuk menata desain pilkada yang efisien, tapi tetap demokratis. Dengan pelaksanaan pilkada serentak, efisiensi anggaran khususnya honorarium bagi penyelenggara dapat dihemat. Penelitian Fitra untuk Pemilukada Sumatera Barat 2010 misalnya, disebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilukada serentak menjadi murah dibandingkan dengan provinsi lain disebabkan dua hal, yaitu Sumatera Barat menyelenggarakan Pemilukada serentak di lebih banyak kabupaten/ kota, dan dalam struktur anggaran Provinsi Sumatera Barat tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilukada.
31
Jurnal Youth Proactive Vol.2
C. PEMILUKADA POLITIK BIAYA TINGGI
1. MEMBAJAK DEMOKRASI Fakta menunjukkan bahwa demokrasi di tingkat lokal dibajak oleh kepentingan modal dan kekuasaan. Praktik politik uang dan politisasi birokrasi mendominasi pelaksanaan Pemilukada Tahun 2010. Kedua bentuk kecurangan itu menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil Pemilukada, yang dipandang mengingkari nilainilai demokrasi. MK menyebutnya pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif.
Operasi pembajakan demokrasi melibatkan dana puluhan milyar rupiah. Hitung saja berdasarkan item pengeluaran dan gegap gempitanya kontestasi kandidat. Untuk biaya
pencalonan (ongkos perahu politik), tim pemenangan, survei, atribut kampanye, sumbangan ke kantong pemilih, membeli suara, kampanye di media cetak dan elektronik, hingga menyiapkan saksi pada saat pemungutan suara. Mendagri pernah menyebut angka Rp. 60 hingga 100 miliar rupiah, Kompas (18/1).
32
Angka yang fantastis dan tak sebanding dengan pendapatan resmi yang bakal diterima. Gubernur misalnya, hanya memperoleh gaji Rp. 8,6 juta/ bulan atau total Rp. 516 juta selama lima tahun menjabat. Lantas dari mana “aktor-aktor” demokrasi ini akan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan? Inilah awal bangkrutnya negeri ini akibat ulah “aktor” demokrasi aji mumpung tersebut. Korupsi dan koalisi (bermufakat) jahat menjadi cara untuk mengeruk dan menguras habis tanpa sisa pundi-pundi kesejahteraan rakyat. 2. SOLUSI BIAYA TINGGI Perlu dicatat dan direnungkan dalamdalam, sebenarnya dimanakah letak sumber biaya tinggi dalam Pemilukada? Minimal ada 4 (empat) sumber pengeluaran yang menyebabkan tingginya ongkos politik Pemilukada. Pertama, biaya perahu pencalonan kepala daerah. Sudah menjadi rahasia umum, kandidat harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli perahu politik. Lebih-lebih perahu politik partai non-kursi DPRD. Untuk mencapai batas pencalonan 15% suara, partai non-kursi harus berkoalisi dengan beberapa partai. Akibatnya, masing-masing memiliki posisi tawar sama kuat satu dengan lainnya. Artinya kandidat harus mengeluarkan ongkos lebih besar untuk seluruh partai pengusung.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Ke depan, penataan mekanisme pencalonan oleh parpol perlu dipertegas. Parpol harus lebih terbuka dalam pencalonan, namun tidak sekedar formalitas belaka. Kompetisi yang melibatkan seluruh kader akan mengurangi praktik dagang calon oleh segelintir elit parpol. Khusus pencalonan oleh parpol non-kursi mestinya dihapuskan. Sehingga tak lagi muncul politik transaksional. Kalau ingin mengajukan calon, gunakan saja jalur independen (lebih lanjut lihat bahasan tentang metode pencalonan). Kedua, dana kampanye untuk politik pencitraan. Pemilukada langsung
memang memberikan tantangan bagi demokrasi. Sistem demokrasi liberal, menuntut kandidat memiliki angka popularitas tinggi untuk memperoleh suara mayoritas.
Tujuannya agar kepala daerah terpilih lebih dekat dengan pemilih. Namun persoalan muncul ketika partai politik dan kandidat tidak bekerja secara maksimal meraih suara. Cara-cara instan justru menjadi pilihan utama, pencitraan melalui media cetak, elektronik dan ruang-ruang publik lainya dengan hanya menampilkan gambar wajah semata. Pemilih diposisikan semata-mata sebagai komoditi politik. Disuguhkan iklan politik tanpa dapat mengenal lebih jauh kandidat. Konsekuensinya, kekuatan modal menjadi pendukung utama.
33
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Ruang-ruang ini mesti ditata ulang dalam undang-undang yang mengatur Pemilukada. Negara harus menyediakan ruang kampanye yang sama bagi seluruh kandidat, misal media pemerintah. Jika tidak, masing-masing akan berlombalomba menguasai media. Artinya, modal besar harus disiapkan untuk itu. Kandidat dan parpol pengusung harus dipaksa menggunakan ruang kampanye publik yang relatif sempit. Konsekuensinya, mereka harus mengetuk hati rakyat dari pintu ke pintu. Ketiga, ongkos konsultasi dan survei pemenangan. Bisnis konsultan dan survei pemenangan memang menjanjikan. Terbukti semakin marak munculnya lembaga-lembaga survei yang kemudian digunakan kandidat untuk mengukur elektabilitas pencalonan. Tentunya tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk itu.
Pemilukada langsung yang diharapkan dapat menekan angka politik uang ternyata belum berhasil sepenuhnya. Yang terjadi justru
Keempat, politik uang.
pemerataan praktik. Persoalan ini semakin akut ketika mekanisme penegakan hukum tidak didesain secara tegas. Batasan waktu misalnya, sangat tidak mungkin dalam waktu tiga hari politik uang dapat ditangani. Karena itu,
34
masa daluwarsa penanganan politik uang mesti diperpanjang. Selama kandidat terpilih menjabat, maka sepanjang itu dugaan politik uang dapat diproses. Mekanisme sanksi pun mesti diperberat. Dengan membuat kategori bentuk politik uang, maka kepala dan wakil kepala daerah terpilih yang terbukti melakukan politik uang dapat diturunkan dari jabatannya (lebih lanjut lihat bahasan tentang pengaturan politik uang dan dana kampanye). Merubah sistem Pemilukada langsung dan mengembalikan kepada DPRD bukan solusi tepat. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak serta merta dapat memotong biaya perahu pencalonan dan praktik transaksional di tubuh partai politik. Pemilihan
oleh DPRD juga tak kan menghilangkan politik uang. Kejadiannya akan sama, hanya memindahkan ke ruang yang lebih sempit dan tentunya menguntungkan segelintir elit.
Solusinya, perbaiki sistem sehingga “memaksa” kandidat dan partai “berkeringat” memperoleh dukungan rakyat. Penyusunan Undang-Undang Pemilihan Kepala Dearah merupakan momentum tepat mengkonsolidasikan demokrasi di tingkat lokal. Carut marutnya Pemilukada adalah buah transisi rezim Pemilukada. Sekarang saatnya menuai hasil dengan penataan yang baik, bukan mundur pada rezim pemerintah daerah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
D. KONFLIK HORIZONTAL PEMILUKADA Argumentasi maraknya konflik horizontal atau kekerasan dalam Pemilukada sebagai alasan mengalihkan pemilihan langsung kepala daerah ke DPRD ini sayangnya tidak disertai dengan data yang kuat tentang masifnya hal itu terjadi. Sebab tahun 2010 diselenggarakan setidaknya 244 Pemilukada, kalau terjadi kekerasan hanya di 10-20 daerah (misalnya Mojokerto, Toraja, Humbang Hasundutan, Sumbawa) tidak lantas melegitimasi bahwa Pemilukada identik dengan kekerasan. Justru pembinaan politik yang jadi tanggung jawab pemerintah daerah dan partai politik lah yang harus ditata dengan lebih baik lagi. Bahkan International Crisis Group (ICG) mencatat jumlah kekerasan yang terjadi dalam 200-an Pemilukada selama kurun tahun 2010 lalu “hanya” 10 persen saja. Dari ketiga kasus kekerasan Pemilukada yang diteliti ICG (di Mojokerto, Tana Toraja, dan Toli-Toli), semua dipicu oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar dugaan. ICG mencatat memang, terdapat pula beberapa faktor lain yang muncul di semua kasus itu, antara lain petahana (incumbent) yang dianggap korup tapi berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan mencalonkan diri lagi atau lewat orang pilihannya; calon yang terlalu percaya diri bahwa ia bisa menang dan mengubah status
quo; pendukung calon yang memiliki harapan berlebihan dan bertindak di luar kendali; penyelenggara pemilu yang dianggap berpihak ke petahana atau kandidat pilihannya dan gagal mensosialisasikan informasi penting; serta polisi yang tak siap menghadapi kekerasan massal atau aksi penyerangan yang terkoordinasi. Sehingga tidak relevan dan terbantahkan secara faktual adanya argumentasi bahwa kekerasan horizontal dalam pemilihan kepala daerah (secara langsung) salah satunya disebabkan oleh mekanisme pemilihan secara langsung.
35
Jurnal Youth Proactive Vol.2
E. KONSTITUSIONALITAS PILKADA LANGSUNG 1. ORIGINAL INTENS MAKNA DEMOKRATIS Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pengaturan Pasal 18 merupakan perubahan ke II dari Konstitusi (tahun 2000). Landasan pemikiran yang melatarbelakangi dapat dilihat dalam Buku Kedua Jilid 3 C Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I (Sidang Tahunan 2000) yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 2000. Di dalam Risalah Rapat Ke-36 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR halaman 255 yang merupakan pokok pandangan Fraksi PPP menyatakan sebagai berikut: 7. Gubernur , Bupati dan Wali Kota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang selanjutnya diatur oleh UU, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk Presiden juga dipilih secara langsung”,
36
kemudian dalam halaman 273 menyebutkan alasannya yaitu, “Keempat, karena Presiden itu dipilih langsung maka, pada pemerintahan daerahpun Gubernur, Bupati dan Walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undangnya dan tata caranya nanti akan kita atur. Dengan undang-undang nanti akan terkait dengan undang undang otonomi daerah itu sendiri”.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
2. DEMOKRATISASI PEMILUKADA LANGSUNG Konstitusi memang tidak secara eksplisit menyebutkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, seperti halnya presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD. Pasal 18 ayat (4) hanya mengisyaratkan adanya pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis.
Makna demokratis inilah yang kemudian dijadikan argumentasi bahwa tidak ada larangan gubernur atau bupati/walikota (keduanya atau salah satunya) dipilih DPRD. Logika ini tidaklah benar karena bagaimana mungkin ketentuan yang sama dimaknai berbeda. Menurut Jimly Asshiddiqie (Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I), ketentuan pasal dalam konstitusi haruslah dimaknai sejalan dan tidak boleh saling bertentangan. Jika bupati dan walikota dipilih secara langsung, itu juga berlaku terhadap pemilihan kepala daerah. Dan, sebaliknya, jika kata demokratis dimaknai dengan pemilihan oleh DPRD, maka bupati dan wali kota pun harus mendapat perlakuan yang sama. Jika demikian, di manakah dapat ditemukan pemaknaan yang tepat atas klausul “demokratis”? Mendasarkan pada pendapat Jimly, maka dapat dipastikan bahwa pemaknaan demokratis adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Karena itu, makna “demokratis” sejalan dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yakni pemilihan langsung oleh rakyat bagi presiden dan wakil presiden. Karena ketentuan dalam konstitusi satu dengan lainnya harmonis, maka kata “demokratis” dalam pemilihan kepala daerah kurang lebih adalah sama dengan ketentuan pemilu presiden dan wakil presiden. Bukti harmonisasi konstitusi terlihat dalam pemaknaan pemilihan anggota DPR dan DPD. Walaupun Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan pemilihan secara langsung, namun tidak ada yang membantah mekanisme pemilihan umum (pemilu) legislatif. Bahkan, konstitusi tidak sedikit pun mencantumkan kata “demokratis” di dalamnya. Ketentuan itu hanya menyebutkan, anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilihan umum. Penafsiran atas makna demokratis dapat juga dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian pasal 214 huruf a, b, dan c UU 10/2008. Dalam putusan itu, MK memberikan tafsir tentang kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yaitu kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Ini merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar. Itu tidak hanya memberi warna dan semangat pada konstitusi dalam membentuk pemerintahan, namun juga dipandang sebagai sifat dari seluruh undang-undang di bidang politik. 37
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan demikian latar belakang pemikiran dan maksud tujuan pembentuk pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah, Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis adalah sama dengan pemilihan yang dilakukan terhadap Presiden. Penafsiran terhadap makna demokratis juga dapat dilihat dari lahirnya ketentuan tentang pemilihan umum dalam konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tentang Pemilihan umum merupakan perubahan ke III (Tahun 2001). Ketentuan Pasal 22E ayat (1) menyatakan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Kemudian ayat (2) menyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Sedangkan pelaksana pemilu diatur dalam ayat (5) yang menyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.
Dengan demikian, karena perubahan Pasal 18 UUD 1945 merupakan perubahan ke II, sedangkan Pasal 22E UUD 1945 merupakan perubahan III, maka secara hukum dimaknai bahwa pelaksanaan Pasal 18 khususnya dalam pemilihan kepala daerah harus merujuk pada Pasal 22E. Logika hukumnya, jika Pasal 18 dianggap bertentangan dengan pasal 22E, maka dapat dipastikan dalam perubahan ke III rumusan yang terdapat dalam Pasal 18 akan dirubah dan disesuaikan dengan pasal 22E. Berdasarkan uraian itu, maka pengertian dipilih secara demokratis harus ditafsirkan sama dengan tata cara pemilihan yang dilakukan terhadap Presiden seperti yang tercantum dalam BAB VIIB tentang Pemilihan Umum pasal 22E UUD 1945. Oleh karena itu tidaklah bertentangan dengan kehendak pembentuk UUD 1945 jika dinyatakan Pemilihan Kepala Daerah termasuk dalam pengertian Pemilihan Umum sehingga asas dan pelaksanaan Pemilukada dan Pemilu Presiden adalah sama, yaitu secara langsung oleh rakyat.
PENUTUP Menyikapi berbagai fenomena yang ada, DPR semestinya lebih
tidak multitafsir dan disertai sanksi yang tegas, serta pengaturan dana kampanye yang tidak hanya formalitas. Ketimbang mengambil langkah mundur untuk menyelenggarakan pilkada oleh DPRD.
memilih sistem pemilu yang efisien (misalnya usulan pemilu serentak dan Pemilukada satu putaran saja), menekan maraknya politik uang dengan membuat aturan penegakan hukum yang jelas/
Maka, DPR, berpihaklah kepada suara rakyat. Mari perkuat perjalanan demokratisasi Indonesia dan tinggalkan semangat tambal sulam berwajah kepentingan sementara. Karena rakyat akan selalu mengawal suaranya.
berkonsentrasi pada perbaikan substansi aturan yang bisa menjamin kualitas Pemilukada,
38
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pro-Kontra Kebijakan:
Kritik Persoalan Sekitar Kita
39
Jurnal Youth Proactive Vol.2
TOP
3
Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Keluaran Ahok yang Mengundang Polemik
Pembatasan Waktu dan Tempat Berunjuk Rasa Pergub No. 228 Tahun 2015 menetapkan bahwa kiat-kiat penyampaian aspirasi di ruang publik harus dibatasi dan dilakukan dengan tidak mengganggu ketertiban umum. Pergub ini membatasi unjuk rasa hanya boleh dilakukan pada pukul 06.00-18.00 WIB, dilarang membakar ban dan dilarang bersuara lebih dari volume 60 db, dan tak boleh menekan orang lain atau pemerintah. Tempat berunjuk rasa juga dibatasi dalam Pergub ini, yakni Parkir Timur Senayan untuk unjuk rasa isu nasional, Alun-alun DPR dan MPR RI untuk unjuk rasa isu DPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional untuk unjuk rasa terkait isu DKI Jakarta. Rasionalisasi Pergub ini menurut Ahok adalah untuk mencegah macet dan ketertiban. Pembatasan Sepeda Motor di Jalan Protokol Pergub DKI No. 195 tahun 2014 tentang pembatasan lalu lintas sepeda motor di jalan-jalan protokol di DKI. Salah satu alasan yang disebut sebagai dasar rencana itu adalah sepeda motor dinilai sebagai penyebab kesemrawutan lalu lintas di DKI. Sebagai “kompensasi”, disediakan bus tingkat gratis dan kantongkantong parkir sekalipun tarifnya diserahkan kepada pengelola. Pemberian Izin Reklamasi Teluk Jakarta Keputusan Gubernur DKI No. 2238 Tahun 2014, Keputusan Gubernur DKI No. 2268 Tahun 2015 dan Keputusan Gubernur DKI No. 2269 Tahun 2015, memberikan izin kepada developer untuk membangun pulau di teluk Jakarta. PT Agung Podomoro Land, PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Pakci bersiap membangun pulau yang akan difungsikan sebagai perumahan elit dan pusat perbelanjaan. Agung Podomoro Land berencana menjual kawasan perumahan dengan harga mulai Rp 3 miliar sampai Rp 6 miliar, sementara rumah toko seharga Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar.
40
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Polemik BBM dan Statolatri 1
Hizkia Yosie Polimpung
Untuk disampaikan pada forum diskusi Ngobrol Pintar #3, Polemik Kenaikan Harga BBM: Kebijakan Pro-Rakyat?, Youth Proactive, Transparency International, 19 Desember 2014. Saran dan kritik:
[email protected]
1
41
Jurnal Youth Proactive Vol.2
CNN Britney Spears
CNN Britney Spears CNN Britney Spears
: [...] Banyak artis menyerukan penolakannya terhadap perang AS di Irak. Anda juga? : Sejujurnya, saya pikir kita sebaiknya percaya saja pada presiden kita dalam setiap keputusan yang diambilnya dan juga ikut saja mendukungnya. Yah, percayakan saja apa yang akan terjadi padanya. : Anda mempercayai presiden ini? : Ya, tentu saja. : Bagus. Lalu menurut anda apakah ia akan menang lagi di pemilihan berikutnya? : Wah, saya tidak tahu. Saya tidak tahu-manahu.1
Britney Spears, “Britney Spears: ‘Trust our president in every decision’,” CNN, 3 September 2003, diakses dari http:// www.cnn.com/2003/SHOWBIZ/Music/09/03/cnna.spears.
1
42
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Tidak ada kata lain untuk menggambarkan sikap Britney Spears di atas selain sebentuk negara-sentrisme yang disebut Antonio Gramsci sebagai “statolatri” (statolatry).2 Secara etimologis, statolatri merupakan kombinasi antara “state” dan “idolatry”, antara negara dan pemujaan. Secara historis, istilah ini muncul pertama kali dalam Doctrine of Fascism karya Giovanni Gentile pada 1931 sebagai karakteristik dasar fasisme, khususnya fasisme Italia. Tak lama berselang, Paus Pius XI mengkritiknya sebagai “sebuah pemujaan pagan atas negara.’3 Gramsci memahaminya lebih jauh. Lebih dari sekadar pemujaan fetistik kepada negara, statolatri merupakan suatu efek kekuasaan yang hegemonik. Hegemoni merupakan suatu perluasan jangkauan kekuasaan, dalam hal ini negara, ke bidang-bidang yang sebelumnya tidak Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks,peny. dan penterj., Q. Hoaredan G.N. Smith (NY: International Publishers), hal 268-9. Lihat juga diskusi kritisnya pada Perry Anderson,“The Antinomies of Antonio Gramsci.”New Left Review, 26 (Nov-Dec 1976).
2
Lihat Emilio Gentile, “New idols: Catholocism in the face of fascist totalitarianism,” Journal of Modern Italian Studies, 11(2) (June 2006), hal. 143-170.
3
dijangkaunya. Jadi, apabila jangkauan konvensional negara adalah kepatuhan politik rakyatnya, maka hegemoni memperluas jangkauan tersebut ke arah yang lebih “nir-politis.” Melalui hegemoni, ikatan antara negara dan rakyatnya menjadi lebih intim; pemimpin negara akan “mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah ‘negara’ yang integral [menyatu dengan rakyatnya, pen.].”4 Tidaklah berlebihan sekiranya Gramsci mengatakan bahwa dengan hegemoni, negara “berusaha melembagakan suatu kultus terhadap ‘Mahawujud’ (Supreme Being) yang tampak sebagai usaha untuk menciptakan sebuah identitas di antara negara dan masyarakat sipil.”5 Efek statolatri ini cukup untuk membuat Britney Spears yang mungkin karena tidak begitu mengikuti perkembangan berita mengenai penjelajahan imperialistik negaranya, dengan mudah 4
Gramsci, Selections, hal. 271.
5
Ibid.,hal. 170 cat. 71. Penekanan dari saya.
43
Jurnal Youth Proactive Vol.2
mengatakan “percaya saja pada presiden.” Ya, mungkin Britney terlalu sibuk syuting, menyanyi dan menggarap album baru; sibuk meniti karirnya yang saat itu sedang menanjak. Kepercayaannya
kepada presiden di sini belum tentu tulus. Malahan, menurut saya, ini adalah bentuk lepas tanggung-jawab Britney terhadap
pemerintahannya, terhadap kebijakan presidenya. Lagi, Britney terlalu sibuk dengan aktivitas kelas menengahnya sehingga tidak punya cukup waktu untuk secara serius dan kritis, dan bukan sekedar retoris dan asal-asalan, mendukungpresidennya.
Uniknya, posisi Britney Spears yang demikian ini yang sering saya dengar, baca dan jumpai di mereka-mereka yang mendukung kebijakan kenaikan harga BBM 18 November 2014 silam. Bagaimana tidak, rata-rata argumen pro-BBM adalah seperti ini: “Kalau ditanya pengaruh apa tidak di hidup saya, ya pasti pengaruhlah. Tapi, kalau hanya memandang dari sisi merugikan rakyat itu kurang etis.Kita perlu berpikir jauh sebelum menghakimi kalau pemerintah itu salah.Karena, pasti ada alasan kenapa subsidi dihentikan. Saya sendiri yakin, orang-orang yang diberi mandat Tuhan untuk memimpin negeri ini pasti sudah memikirkan dengan matang tentang keputusan kenaikan BBM dengan resiko mereka akan dihujat. Lagipula, kenaikan BBM ini kan, sudah yang kesekian kali,”
44
“Sangat tepat untuk menaikkan harga BBM. Dana subsidinya bisa dialihkan ke kebutuhan yang lain seperti pemenuhan infrastruktur, pendidikan, serta kesehatan. Daripada dibakar setiap hari dan subsidi itu tidak tepat sasaran, lebih baik memang dinaikkan.” Bahkan, tidak jarang ungkapanungkapan itu cenderung sangat kasar dan menjadi sangat personalsemata-mata karena presiden kesayangannya diserang. Misalnya, “beli rokok 16.000 sanggup, tapi BBM naik 2000 saja protes!”Lainnya, “memangnya kalau Prabowo jadi presiden, BBM nggak akan naik?” Banyak infografis dikerahkan untuk memvisualisasikan betapa besarnya keuntungan yang didapat seandainya BBM subsidi dicabut dan direalokasikan ke “sektor-sektor yang lebih produktif” ketimbang sektor konsumtif – seolah-olah konsumsi BBM oleh masyarakat itu hanya untuk sekedar konvoi, kebutkebutan, gagah-gagahan di jalan.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Bagi kebanyakan orang (76 juta pengguna motor, dibandingkan 10 juta mobil), konsumsi BBM diperlukan untuk transportasi keperluan pekerjaannya sehari-hari. Bahkan, untuk keperluan-keperluan yang sifatnya esensial bagi dimungkinkannya aktivitas produksi (beli makan, ke pasar, sekolah, antar anak, rekreasi, dst.) Secara umum, argumennya tipikal: pemborosan, neraca (transaksi berjalan) defisit, salah sasaran, dan pengalihan ke sektor produktif dan infrastruktur. Argumen ini sebenarnya ujung pangkalnya adalah dari pemerintah, lalu kemudian direproduksi dalam bentukbentuknya yang amat beragam: mulai status di facebook, kicauan di twitter, percakapan di ruang publik maupun privat, infografis, tulisan-tulisan di blog, di koran, dst. Forum Kaskus pun menghimpun data infografis yang menarik terkait ini.6 Serta-merta, mereka yang tadinya tidak-tahu menahu mengenai BBM, seketika langsung mampu berbicara nyaring dan lancar dalam memberi pembenaran kenaikan BBM. Yah, setidaknya ini yang sering saya jumpai, dengar dan diajak ngomong sehari-hari. Apakah salah? Tentu saja tidak. Mencari landasan bagi preferensi kita bukanlah sesuatu yang salah. Namun menjadi bermasalah,
amat bermasalah, saat itu hanya sekedar untuk menopang kepercayaan buta kita kepada negara dan presiden kita. Menjadi lebih bermasalah lagi jika itu dikarenakan
kemalasan kita untuk menggali lebih jauh, melihat secara cermat duduk permasalahannya, dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih masak ketimbang menerima mentahmentah segala informasi. Kepercayaan buta akan menjadikan kita selektif dalam menerima dan mencari informasi – kita hanya
mencari informasi yang menyenangkan hati kita saja, to make us feel good. Dan, puncak permasalahan ini semua
ada pada: sirnanya partisipasi dan kontrol demokratis terhadap pemerintah.
6 Soal Kenaikan BBM, Jangan Emosi Dulu Gan, Kaskus, http://kaskushootthreads.blogspot. com/2014/11/soal-kenaikan-bbm-jangan-emosi-dulu-gan.html#
45
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kelas menengah, saya masih yakin, adalah kunci dari demokrasi.Adalah kelas menengah yang mampu berpikir kritis, obyektif dan tidak menerima begitu saja apapun yang dilakukan dan dikatakan pemerintah. Adalah kelas menengah yang mampu menopang proses demokratis di suatu negara republik. Lalu apa jadinya sebuah negara yang kelas menengahnya besar (ingat, bonus demografi memberikan Indonesia 70% angkatan kerja yang sebagian besar tentunya adalah kelas menengah)? Tidak lain adalah negara yang totaliter. Namun, berbeda dengan negara-negara totaliter yang kita pelajari di buku-buku sejarah, kali ini adalah negara totaliter berwajah demokratis. Mengapa?Karena totalitarianisme ini “disetujui” oleh masyarakatnya. Dengan tidak memberikan kritisisme dan malah menerima begitu saja apa yang
46
disampaikan pemerintah, maka sama saja kelas menengah ini “menanggalkan tugas demokratisnya” dan “menyangkal peran partisipatif demokratisnya.” Saat kelas menengah yang kritis dan progresif ini berlaku demikian, maka kita saksikan bersama-sama kelompokkelompok penekan yang cenderung rasis, sektarian, dan primordial bermunculan.Tidak segan-segana pula mereka menggunakan kekerasan. Sementara kelas menengah? … Sibuk meniti karir. Ya, nampaknya, benar yang ditemukan oleh Rana Foroohar bahwa kelas menengah di negara-negara yang sedang berkembang(Indonesia salah satunya), dicirikan dengan egoisme tinggi, individualis, dan yang paling mencengangkan: permisif terhadap pemerintah yang otoriter7. 7 Rana Foroohar, “An Unstable and Less Liberal Global Middle Class,” Newsweek (13 Maret 2010), URL: http:// www.newsweek.com/unstable-and-less-liberal-globalmiddle-class-69469.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Selama suplai Frappucino Starbucks mereka aman, maka pemerintah yang totaliter pun mereka terima. Tapi begitu harga parkir mobil mereka naik, misalnya, protes dan kicauan di media-sosial akan segera bermunculan. Tapi tetap saja, waktu fitnes mereka lebih berharga ketimbang waktu untuk konfrontasi politik kongkrit. Semoga saja Foroohar terlalu membesarbesarkan.Tapi apabila sebaliknya yang terjadi…saya mulai memikirkan untuk jadi astronot Inter-stellar. Kembali ke persoalan argumen pro-BBM. Saya kira tidak begitu susah untuk mencari anti-tesis yang serius akan kebijakan kenaikan BBM. Misalnya, dengan mensimulasikan perhitungan, ditemukan bahwa ternyata telah terdapat 95,95 triliun selisih antara subsidi sesungguhnya dan subsidi sebagaimana diasumsikan di APBN. Subsidi untuk BBM (Premium, Solar dan Minyak Tanah), sebagaimana diketahui bersama, Rp 194,6 triliun. Sementara jika mengikuti perhitungan Edy Burmansyah dari Martapura Institute seturut formulasi berdasa harga pasar (market price-based) di Perpres 71/2005 yang dirincikan melalui Permenkeu No.65/ PMK.02/2012, subsidi sesungguhnya yang ditanggung pemerintah sebesar
Rp 135,94 triliun. Selisihnya adalah Rp 58,66 triliun – ini berdasar harga sebelum pajak. Jika menghitung pajaknya, barulah angka Rp 95,95 trilun tadi dicapai.8 Artinya, sebenarnya, tanpa perlu menaikkan harga BBM, pemerintah bisa melakukan penghematan. Dengan uang sebesar itu, bisa sekiranya untuk mendanai sebagian besar janji-janji Jokowi di kampanyenya, tanpa menyusahkan masyarakat konstituen BBM bersubsidi. Sementara pemerintah mulai serius memberantas mafia migas – tentunya ini adalah kebijakan yang SANGAT POPULER, bukan?
Lihat perhitungan Edy Burmansyah, “Menghemat tanpa Menaikkan: Simulasi Perhitungan BBM,” 3 bagian, IndoProgress, 18 November 2014. URL: http://indoprogress. com/2014/11/menghemat-tanpa-menaikkan-simulasiperhitungan-bbm-bagian-1/
8
47
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Lalu, terkait sektor-sektor produktif yang konon menjadi alasan dan pos kemana dana subsidi BBM akan dialihkan. Riset dari Dodi Mantra, dkk., dari Purusha Research Cooperative, misalkan, menemukan bahwa “sektor-sektor produktif” ini sebenarnya adalah sinonim dari “sektor-sektor eksploitatif” terhadap buruh dan tani. Belum lagi kenyataan bahwa sektor-sektor ini strukturnya bercorak oligopoli. Lebih dari ¾ keseluruhan subsektor industri manufaktur Indonesia dikuasai tidak lebih dari 4 perusahaan di masing-masing subsektornya.9
Figure 1. Corak Oligopoli Industri Manufaktur (ket. CR 4 adalah pengonsentrasian pasar oleh 4 perusahaan teratas)
Kenyataan lain yang ditemukan Dodi adalah bagaimana industri-industri tersebut didominasi oleh industri pengolahan dan pertanian, dengan corak padat SDA, padat SDM, dan padat SDM unskilled. Diketahui bersama pula bahwa pada industri-industri inilah terjadi pengerukan sumber alam besar-besaran (merusak Dodi Mantra, “’Demi Sektor Produktif’: Kenaikan Harga BBM dan Normalisasi atas yang Eksploitatif sebagai yangProduktif,” Jurnal IndoProgress, 2015 [segera terbit]
9
48
Jurnal Youth Proactive Vol.2
ekologi, dst.), dan dimana kesejahteraan dan kepastian-kerja pekerja adalah hal yang langka. Dengan kata lain, hendak dikatakan Dodi, bahwa sama-sekali absen dalam kebijakan Jokowi, bahkan sedari pembayangannya di dokumen Visi-Misi, akan suatu transformasi dalam Dua argumen ini setidaknya adalah argumen yang mungkin ditemukan oleh kelas menengah seperti kita hanya dengan berselanjar dan utak-atik keyword saja di Google. Syaratnya, tentu saja bahwa kita tidak mengidap statolatri, atau setidaknya, masih ada ruang rasional dan kritis di kepala kita dari efek statolatri ini. Menjadi kritis adalah tuntutan historis bagi kelas menengah di alam demokrasi. Indonesia, sebagai negara demokratis, hanya bisa menjadi negara yang
kuat saat kelas menengahnya punya semangat kritisisme terhadap pemerintah, sekalipun yang duduk di pemerintahan itu adalah pilihannya.
Dukungan tidak lantas berarti kita mencari-cari pembenaran atas apa yang dilakukan presiden pilihan kita. Sebaliknya, dukungan politik
selalu memiliki sifat yang strategis dan kritis. Strategis dalam
artian kita percaya bahwa sang presiden memiliki capaian visioner, dan krtis dalam artian kita turut membantunya dalam merealisasikan dan menapaki jalur dalam merealisasikan visi tersebut.
49
Jurnal Youth Proactive Vol.2
*** Britney Spears, belakangan mengakui bahwa “Saya selalu bernyanyi tentang hubungan antara orang dengan sistem ekonomi yang mengatur kehidupannya, seperti contohnya eksplorasi saya akan rayuan kekuatan modal di lagu Gimme More.”10 Bahkan, secara terang-terangan pula diakui bahwa lagu Work B*tch terinspirasi dari teori yang menyatakan bahwa adalah buruh yang sebenarnya memiliki seluruh hasil kerja – teori tersebut tak lain adalah teori nilai kerja Marx. Serius terhadap klaim Britney ini, malahan ada seorang pendengarnya yang “Britney Spears espouses Marxist theory of labour as value,” The Daily Mash, 14 Oktober 2013. URL: http:// www.thedailymash.co.uk/news/arts-entertainme nt/80353-2013101480353.
10
50
menyamakan struktur lagu Circus dengan struktur pembahasan buku Communist Manifesto Marx!11 Ada-ada saja. Tapi, setidaknya kita bisa lihat bagaimana Britney Spears bisa mencoba mulai peduli dengan permasalahan sosial, berusaha serius memahami dando something dengan berangkat dari kondisinya, dari posisinya, dari profesinya. [HYP]
“Work Bitch Is Britney’s Least Marxist Song,” Exhale: The Britney Spears Forum, 7 Agustus 2014. URL: http://www. breatheheavy.com/exhale/index.php?/topic/624280-workbitch-is-britneys-least-marxist-song/
11
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Subsidi BBM: Antara Sektor Ekonomi dan Sosial di Nusantara Fadhil Fadhli
Jakarta dibarat, meriah, diapit oleh 3 provinsi dan Sulawesi Selatan di timur, dengan pantai Losari sebagai tempat yang wajib dikunjungi ketika mendaratkan kaki di ujung selatan pulau Sulawesi. Keduanya sama-sama provinsi metropolitan mewakili barat dan timur Indonesia, Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang juga menikmati reputasinya sebagai ibu kota pesta pora di Indonesia. Sementara, Sulawesi Selatan gemerlap ditimpa angin mamirinya dan mulai bangkit dengan pembangunan
yang dirancang pemerintah dan para pebisnis. Namun awan kegelisahan masih menyelimuti kedua provinsi itu. Sulawesi Selatan masih mengejar ketertinggalannya, Jakarta berdiri di baris terdepan sebagai kota dengan ratusan mall di dalamnya, Makassar sebagai pusat kota di Sulawesi Selatan masih terbengkalai dengan proyek busway-nya, jalurnya sudah ada, terminalnya pun sudah dibangun namun entah mengapa sampai sekarang belum terealisasikan pelaksanaannya. 51
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dalam persoalan ekonomi dan budaya, perbedaan mendalam yang terjadi di kedua wilayah tersebut mulai terlihat. Jakarta memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) hampir tujuh kali lipat PDRB yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan tahun 2013. Terang saja demikian, Jakarta selain kota pemerintahan juga tumbuh sebagai pusat bisnis di Indonesia, sedangkan Sulawesi Selatan masih bertumpu pada sektor pertanian sebagai penunjang tertinggi PDRB-nya. Kenaikan PDRB terjadi di kedua kota tersebut, hampir setiap tahun mengalami kenaikan, baik itu ketika Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tetap diangka 32 52
pada tahun 2012 dan 2013 dan naik ke 34 pada tahun 2014 di ketiga tahun tersebut tetap terjadi kenaikan PDRB. Indeks Persepsi Korupsi adalah survey yang dilakukan oleh Transparency International dengan mengurutkan negara-negara didunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis. Meskipun tidak ada hubungan langsung antara Indeks Persepsi Korupsi dengan meningkatkatnya PDRB suatu daerah, namun pada saat yang bersamaan kedua hal tersebut memberikan sedikit gambaran bahwa ketika anggapan masyarakat Indonesia terhadap korupsi
Jurnal Youth Proactive Vol.2
masih sama atau tetap di angka 32, PDRB tetap meningkat pada tahun 2012 dan 2013 di Jakarta dan Sulawesi Selatan, serta pada tahun 2014 dimana angka persepsi korupsi Indonesia diangka 34, PDRB di kedua daerah tersebut juga tetap meningkat, atau dengan kata lain persepsi masyarakat tentang korupsi tidak memberikan dampak pada produktivitas masyarakat. Subsidi BBM terancam dikurangi dengan alasan agar sebagian dari subsidi tersebut dialihkan kesektor lain, dan realisasinya terjadi pada tahun 2014, benar saja subsidi dikurangi sehingga terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium di seluruh kota di Nusantara, namun ada yang menarik, menarik untuk dipaparkan, sebelum terjadi pengurangan subsidi BBM, PDB Indonesia meningkat, dan sesudah pengurangan subsidi BBM direalisasikan, PDB Indonesia pun tetap meningkat. Apakah besaran subsidi BBM tidak berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia?
Jakarta dengan PDRB yang meningkat setiap tahun, dan memimpin kota lain dengan jumlah PDRB-nya, Sulawesi Selatan pun memimpin Indonesia Timur dengan jumlah PDRB-nya yang lebih besar jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia Timur, di kedua tempat tersebut masyarakat masih bersenang-senang dengan BBM bersubsidi, sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat jika pengguna BBM bersubsudi di Indonesia dinikmati oleh hampir semua kalangan, mulai dari tukang ojek, pegawai kantor, PNS, bahkan di beberapa kasus ada beberapa mobil mewah yang juga masih menggunakan BBM bersubsidi, jadi wajar saja jika kenyataannya kita masih bersenang-senang dengan hal itu.
53
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Ketika pemerintah (berencana) mengurangi jumlah subsidi BBM, terjadi pergerakan pemuda terutama mahasiswa melakukan demo menolak kenaikan harga BBM diberbagai tempat, dengan alasan kenaikan harga BBM akan mempengaruhi sektor yang lain, hargaharga barang akan naik, ongkos produksi juga akan bertambah. Di satu sisi yang lain orang-orang dengan kemampuan finansial di atas rata-rata orang Indonesia yang juga menikmati BBM bersubsidi hanya diam seolah-olah tidak tahu akan hal tersebut. Pernyataan di atas bukanlah pernyataan ambigu dan bukan pula pernyataan yang tidak jelas. Jika yang menjadi prioritas adalah kenaikan harga pasar di sektor yang lain, pasar mampu menciptakan permintaan (demand) dan penawaran (supply) untuk saling mencari sehingga mendapatkan titik temu (equilibrium), bahwa iya, akan terjadi perubahan sedikit demi sedikit sehingga mendapatkan titik temu tersebut.
Bahan bakar minyak bersubsidi sejatinya dinikmati oleh kelas menengah ke bawah. Namun pada prakteknya, kelas ekonomi atas pun turut menikmati bahan bakar minyak bersubsidi tersebut,
hal ini sudah berlangsung bertahuntahun, sehingga presiden terpilih periode 2014 sampai 2019, bapak Joko Widodo mengambil langkah mengurangi jumlah subsidi BBM yang dialokasikan ke sektor lain, maka dari itu terciptalah 3 (tiga) kartu sakti, yaitu: Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. 54
Jurnal Youth Proactive Vol.2
“Jika alih subsidi tidak dilakukan, kita mempunyai bom waktu yang dapat meledak kapan saja karena pemerintah tidak punya cukup uang untuk membantu rakyat miskin dan membiayai kegiatan produktif,” tegas Jokowi. Implementasi dari kebijakan yang dilakukan oleh Jokowi itu menghasilkan Rp 14.3 trilliun untuk kartu keluarga sejahtera, Rp 2.6 trilliun untuk kartu Indonesia sehat, dan Rp 6.4 trilliun untuk kartu Indonesia pintar pada tahun 2015. Ada banyak yang pro dengan kebijakan tersebut, tapi tidak sedikit juga yang kontra, yang pro menganggap bahwa kesejahteraan rakyat menengah ke bawah lah yang harus diutamakan, 3 kartu sakti itu memberikan garansi akan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Namun yang kontra tetap beranggapan bahwa ketika subsidi BBM dikurangi pasti akan berdampak pada kenaikan harga barang, yang juga berarti pengeluaran akan bertambah. “Jangan sok pintar soal subsidi BBM!” tegas Tommy Soeharto, tatkala ditanya persoalan subsidi BBM. Dampak sosial dari pengurangan subsidi BBM jelas ada, belum terlalu signifikan namun pasti akan mempengaruhi sektor yang lain. Data historikal untuk tingkat pertumbuhan Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta saja pada tahun 2012 ke 2013 mengalami peningkatkan sebesar 43.87 persen sedangkan 2013 ke 2014 hanya sebesar 10.96 persen dengan nilai Rp 2.441.000 (data bps). Di Sulawesi Selatan terjadi peningkatan sebesar 25 persen dari tahun 2013 ke 2014. 55
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Bagaimana dengan tingkat pengangguran? Di Indonesia sendiri terjadi peningkatan sebesar 6.25 persen tahun 2013 dari 6.14 persen pada tahun 2012, meskipun di Jakarta dan Sulawesi Selatan terjadi penurunan dari 10.72 ke 9.94 persen dan di Sulawesi selatan sebesar 6.46 ke 5.83 persen.
Terjadi peningkatan tingkat pengangguran di Indonesia sebesar 6.25 persen pada tahun 2013, apakah dengan dikuranginya subsidi BBM, yang berarti harga BBM bersubsidi lebih mahal, dan akan berdampak pada meningkatnya pengeluaran individu, akan mengakibatkan peningkatan pengangguran? Maksudnya adalah ketika seorang individu mengalami peningkatan pengeluaran yang diikuti oleh individu-individu yang lain, mereka akan menekan perusahaan agar menaikkan upah/gaji mereka, dengan kata lain menaikkan gaji karyawan akan menambah beban pengeluaran perusahaan, dan mungkin akan berujung pada diberhentikannya beberapa karyawan karena perusahaan tidak mampu membayar gaji semua pegawai. Jika hal itu terjadi dan perusahaan tersebut
56
tidak mampu untuk menangani atau mencari jalan keluar maka ada kemungkinan perusahaan tersebut akan mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan perusahaan akan mengakibatkan karyawan kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Bukan masalah besar bagi sebagian kecil masyarakat di Indonesia akan perubahan harga bahan bakar minyak bersubsidi, namun sebagian besar masyarkat di Indonesia pasti akan merasa bertambahnya masalah ketika harga bahan bakar minyak bersubsidi itu juga bertambah. Pernyataan di atas bukanlah pernyataan yang meniadakan antara satu dengan yang lain, pernyataan di atas justru gambaran dari dua sudut pandang kelas di masyarakat. Ada yang pro, ada yang kontra, ada yang setuju dan yang tidak setuju, ada yang bermasalah dan ada yang tidak bermasalah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga mengalami penurunan pada tahun 2013, jumlah PDRB-nya meningkat namun persentasenya menurun, hal itu terjadi sebelum pengurangan subsidi BBM dilakukan. Walau sebagian ekonom Indonesia mengatakan setuju dengan kebijakan yang diambil oleh Jokowi dengan mengalihkan sebagian subsidi BBM ke sektor yang lain tapi tidak menutup kemungkinan bahwa orangorang dari berbagai kalangan yang berbeda tetap membeli BBM bersubsidi walau harganya sudah lebih mahal. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara agar
BBM bersubsidi tersebut tepat sasaran? Kepastian hukum menjadi salah satu jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Peringatan dan
hukuman yang pas untuk orang-orang dari kalangan yang tidak seharusnya membeli BBM bersubsidi, termasuk di dalamnya orang-orang yang akan melakukan manipulasi pada praktek penjualan BBM bersubsidi.
57
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan adanya kepastian hukum di Indonesia akan peraturan-peraturan yang dibuat juga pasti akan berdampak pada sektor yang lain. Menurut survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mayoritas masyarakat Indonesia tidak setuju apabila Jokowi dan JK menaikkan harga BBM bersubsidi. 73.17 persen tidak setuju, 21.46 persen setuju, dan 5.37 persen tidak menjawab. Bukankah demokrasi menjunjung tinggi nilai; seperti yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln, “demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan mengurangi subsidi BBM yang mayoritas masyarakat Indonesia kurang setuju dapat dikatakan “untuk rakyat”?
Wajar saja jika kepuasan masyarakat terhadap Jokowi menurun pasca kenaikan harga BBM, hasil dari survey LSI mengatakan bahwa saat ini kepuasaan terhadap kepemimpinan Jokowi hanya sebesar 44.94 persen, mereka yang tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi pun cukup besar yaitu sebesar 43.82 persen. Dan sebesar 11. 24 persen publik menyatakan tidak tahu/tidak menjawab. Ini jelas peringatan bagi Jokowi dan JK.
Tidak Tahu
11% Puas 0%
Tidak Puas
44%
58
45%
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Diagram di samping menunjukkan peningkatan Upah Minimum di Indonesia, Jakarta dan Sulawesi Selatan. Terlihat bahwa 3 tahun terakhir Tingkat Upah Minimum di Sulawesi Selatan terjadi peningkatan begitupun dengan di Indonesia, namun tidak untuk di Jakarta; terjadi penurunan pada tahun 2013 ke 2014. Sedangkan untuk laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia, Jakarta dan Sulawesi Selatan terjadi penurunan pada 3 tahun terakhir juga. PDRB meningkat namun terjadi penurunan pada laju pertumbuhan. Dan sedikit yang harus membuat kita bangga adalah terjadinya penurunan tingkat pengangguran di Indonesia, baik itu di Jakarta maupun di Sulawesi Selatan yang menjadi kota perwakilan Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Alasan pertama, kurangnya komunikasi dan sosialisasi pemerintah mengenai alasan menaikkan harga BBM.
Rasionalitas pemerintah mengenai kondisi mendesak menaikkan harga BBM, belum selaras dengan rasionalitas publik umumnya. Survei LSI menemukan bahwa sebesar 58.45
persen publik menyatakan tidak bisa menerima alasan pemerintah menaikan harga BBM. Hanya 34.10 persen publik yang menyatakan bisa menerima alasan pemerintah menaikan harga BBM. Dan sisanya menyatakan tidak tahu/tidak jawab (7.45 persen).
59
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Alasan kedua, bagi publik kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi. Bagi publik mayoritas naiknya harga BBM akan membuat beban hidup mereka bertambah. Padahal salah satu harapan besar publik terhadap Presiden Jokowi adalah meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.Sebesar 74.38 persen publik menyatakan bahwa kehidupan mereka sehari-hari makin sulit pasca kenaikan harga BBM. Hanya 11.51 persen menyatakan bahwa kenaikan harga BBM tidak berdampak signifikan terhadap kehidupan sehari-hari mereka. Alasan ketiga, publik meragukan kompensasi kenaikan harga BBM akan sampai ke rakyat kecil. Salah satu janji di balik kenaikan harga BBM adalah dana hasil efisiensi subsidi BBM akan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Namun publik meragukan bahwa kompensasi itu akan bisa dinikmati oleh mereka. Tingginya korupsi dan budaya birokrasi yang buruk menjadi alasan kekhawatiran publik, menunjukan bahwa sebesar 51.63 persen publik tidak yakin program kompensasi BBM akan sampai ke masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Sedangkan sebesar 37. 25 persen menyatakan “iya”.
60
Alasan keempat, BBM sudah naik sebelum ada program Jokowi yang terasa manfaatnya. Sebesar 62.41 persen publik menyatakan bahwa sejak dilantik, belum ada program Jokowi yang dirasakan langsung manfaatnya oleh mereka. Hanya 26.85 persen publik yang menyatakan sudah merasakan manfaat dari kepemimpinan Jokowi.
4 (empat) alasan diatas menjadi gambaran bagi masyarakat bahwa popularitas Jokowi sedang terancam, dan meskipun popularitas bukanlah hal yang dicari bagi seorang Presiden tetapi perlu diingat bahwa persepsi masyarakat tentang pemimpinnya juga hal yang tidak kalah penting. Dalam skala makro, untuk menentukan GDP suatu negara dapat menggunakan rumus;
Y = C + I + G + (X-M)
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dimana C adalah konsumsi (Consumption), I adalah Investasi (Investment), G adalah Pengeluaran Pemerintah (Government Expenditure), dan X-M adalah Ekspor (Export) dikurangi Impor (Import). Dan sudah tidak bisa dipungkiri bahwa banyak penyalahgunaan dana APBN (G) Indonesia, banyak pihak yang melakukan praktek korupsi dengan menggunakan alibi yang bermacam-macam. BBM bersubsidi bisa menjadi barang yang dapat mendorong agar pihak tertentu melakukan tindak korupsi, seperti melakukan pembelian lalu menjualnya dengan harga yang lebih mahal dengan skala yang besar, atau adanya dorongan untuk melakukan tindak korupsi ketika subsidi BBM ditarik atau dikurangi juga dapat terjadi.
Achmad Machbub alias Abob, adalah seorang pengusaha kapal dan raja minyak di Kepulauan Riau yang melakukan penyelewengan bahan bakar minyak sebesar Rp 1 trilliun. Kapalnya, MTZ, tertangkap saat mencoba menyelundupkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berupa solar ke kapal berbendera Singapura di perairan Batam. Pihak swasta dapat melakukan tindak korupsi seperti apa yang dilakukan oleh Abob, namun apakah ada oknum dari pemerintah yang juga turut campur dalam praktek korupsi ini?
Menurut Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo, dari hasil penelitian, sekitar 30 persen BBM bersubsidi dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya pada tahun 2012, total subsidi BBM membengkak menjadi Rp 222,8 trilliun karena ada tambahan kuota subsidi 1,23 juta kilo liter. 61
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Oknum tertentu bermain dengan BBM bersubsidi, apakah pemerintah juga akan bermain? Atau telah bermain? Di sinilah Komisi Pemberantasan Korupsi harus turun tangan menangani hal-hal yang demikian.
Adanya praktek subsidi
permasalahan pada diberlakukannya BBM, seperti yang
dilakukan oleh Achmad Machbub, dan dibenarkan juga oleh anggota komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo, bukan
menjadi alasan pemerintah untuk menarik subsidi BBM, atau mengurangi subsidi BBM itu sendiri. Sama seperti ketika
terjadi kebocoran pada ban motor, harusnya kebocoran tersebut ditambal atau ditutupi sehingga tidak terjadi kebocoran, bukan menggantinya dengan ban sepeda yang volumenya lebih kecil. Pada konteks subsidi BBM, ketika kebocoran terjadi, harusnya kebocoran tersebut ditambah; bukan dengan mengurangi subsidi BBM itu sendiri. Sedangkan ketika kebocorannya
sudah terlalu banyak, gantilah dengan yang setara dengan subsidi BBM itu sendiri.
62
Argumentasi diatas bukanlah argumen yang menegaskan bahwa BBM bersubsidi akan mendorong korupsi, tetapi argumen yang menegaskan bahwa ada pihak yang melakukan tindak korupsi, tetapi apakah karena ada pihak yang melakukan korupsi lantas BBM bersubsidi tersebut dicabut? Harusnya pihak yang melakukan tindak korupsi itulah yang harus dicari, dan ditindaklanjuti. Apa yang dilakukan oleh Achmad Machbub bukanlah contoh yang bertentangan dengan dukungan terhadap BBM bersubsidi, tetapi dukungan untuk mencari dan menindaklanjuti orang-orang seperti Abob yang melakukan penyelewengan terhadap BBM bersubsidi. Masyarakat di DKI Jakarta dan di Sulawesi Selatan sama-sama menggunakan bahan bakar minyak bersubsidi. Bedanya mayoritas masyarakat di Jakarta mengisi kendaraan mereka untuk ke kantor dengan tumpukan deadline yang menunggu, sedangkan masyarkat di Sulawesi Selatan mengisi kendaraan mereka untuk ke sawah; terang saja, 75 persen perekonomian Sulawesi Selatan masih berasal dari pertanian. Hal yang menarik adalah pekerja di Jakarta menggunakan kendaraan dengan bahan bakar minyak bersubsidi, sehingga mereka memiliki
Jurnal Youth Proactive Vol.2
kemungkinan untuk berdiskusi dengan kantor agar menyesuaikan gaji mereka dengan pengeluaran mereka. Sedangkan masyarakat di Sulawesi Selatan harus menghitung sendiri pemasukan dan pengeluarannya, karena mereka masih menggunakan bahan bakar minyak dalam pengoperasian sawah mereka. Ketika terjadi kenaikan harga BBM, maka pasti ongkos produksi pun ikut meningkat; hal itu mengharuskan petani mengeluarkan budget yang lebih untuk memproduksi beras dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Masalahnya adalah mereka harus bersaing dengan beras impor, beras dari Thailand. Bagaimana dengan sektor kelautan? DKI Jakarta memiliki Kepulauan Seribu yang menarik banyak peminat untuk dikunjungi, meskipun fasilitas yang ditawarkan masih belum bagus namun minat masyarakat untuk mengunjungi masih tinggi. Proses bisnis antar jemput menggunakan kapal pun disediakan,
kapal yang menggunakan solar ini terpaksa harus menaikkan harga jasa yang ditawarkan dengan adanya kenaikan harga BBM. Nelayan di Sulawesi Selatan pun tak sedikit, operasional sehari-hari mereka pastilah menggunakan solar, mencari ikan ditengah laut lepas, tanpa ada SOP yang jelas tak mengurungkan niat mereka, dengan ada kenaikan BBM ini pastilah berdampak pada meningkatnya biaya operasional mereka. Biaya operasional meningkat berarti harga jual ikan pada nelayan ini pun ikut meningkat. Solar yang dikemukakan di atas adalah solar yang mendapat bantuan subsidi di dalamnya, dimana ketika harga solar naik maka biaya operasionalpun ikut naik, harga ikan akan naik dan akan menjadi beban tersendiri bagi nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka dengan harga yang lebih tinggi. Sedangkan untuk kapal pengangkut juga harus menstabilkan harga untuk menutup biaya pengeluaran yang harus mereka keluarkan. Tidak ada kemungkinan tindak korupsi di dalam kasus tersebut namun efek atau dampak dari pengurangan subsidi BBM pasti berpengaruh kepada mereka. Apakah mereka akan bertahan atau malah gulung tikar.
63
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan alasan Ekonomi, Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 masih menunjukkan peningkatan dimana masing-masing senilai Rp2,464,566.1 miliar pada tahun 2011, Rp 2,618,932.0 miliar pada tahun 2012, Rp 2,769,053.0 miliar pada tahun 2013, dan Rp 2,909,181.5 miliar pada tahun 2014 (Badan Pusat Statistik). Dimana jika menengok ke belakang, tahun 2011 ke 2012 harga BBM bersubsidi masih di angka Rp 4.500 per liter, di tahun 2013 naik ke angka Rp 6.500, dan 2014 naik lagi ke angka Rp 8.500. Dengan kata lain selama 4 tahun tersebut PDB Indonesia meningkat, dan harga BBM bersubsidi meningkat, meski angka persepsi korupsi Indonesia sempat bertahan 2 tahun di angka 32 sebelum merangkak naik ke angka 34.
Masih dengan pertanyaan yang sama, apakah dengan mengurangi subsidi BBM atau menaikkan harga BBM bersubsidi adalah kebijakan yang pro rakyat? Mari berpikir sejenak.
64
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kuda Besi Ibukota:
Dipakai Warga, Dihindari Jakarta Ardi Yunanto
Aksi Pemprov DKI Jakarta melarang sepeda motor melintasi jalan protokol pada akhir 2014 tidak datang tiba-tiba. Pada 2007, pernah ada rencana serupa: Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Sudirman terlarang bagi sepeda motor. Banyak ditentang, rencana itu dibatalkan. Larangan sepeda motor melintasi Jalan Medan Merdeka Barat sampai Jalan M.H. Thamrin belakangan ini adalah perwujudan rencana tak kesampaian itu. Jarak Jalan Medan Merdeka Barat sampai Jalan M.H. Thamrin yang sekitar lima kilometer itu boleh jadi lebih pendek ketimbang jarak Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Sudirman dalam rencana 2007. Namun, bukan itu persoalannya. Pelarangan sepeda motor melintasi jalan protokol itu melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak mobilitas, yang dimiliki setiap warga kota. >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
65
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Sekalipun jumlah kendaraan pribadi yang kian menjadi-jadi merupakan masalah genting untuk ditangani, tidak ada satu manusia pun—termasuk Ahok, sapaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama—yang berhak melarang warga untuk bepergian. Sebagai pemilik kendaraan pribadi yang membayar pajak kendaraan, yang warga dapatkan dari pemerintah seharusnya perbaikan infrastruktur transportasi, bukan pelarangan. Setelah pemerintah Jakarta menunjukkan kekuasaannya kepada pengendara sepeda motor hampir selama tiga bulan, Indonesia Traffic Watch (ITW) menggugat Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor melalui Mahkamah Agung.
Menurut Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan, aturan itu bertentangan dengan Pasal 133 ayat 2c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur pembatasan kendaraan bermotor pada koridor, jalan, dan waktu tertentu. Persoalaannya, seperti diungkapkan Edison dalam Tempo.co, 21 Januari 2015, “(Dalam peraturan) ini (kendaraan bermotor) bukan dibatasi, tapi dilarang 24 jam.”1 Ahok sendiri tak merisaukan gugatan itu. Keyakinannya tetap: pelarangan itu merupakan bagian dari upaya pemerintah Jakarta mendorong warga agar mau menggunakan sarana transportasi umum.
Erwan Hermawan, “ITW Gugat Ahok ke Mahkamah Agung,” Tempo.co, 21 Januari 2015, 14:59 WIB. Tautan: http://bit.ly/1OegFs4
1
66
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kasus ini secara gamblang memperlihatkan betapa frustrasinya pemerintah menangani kemacetan Jakarta. Ahok, bukan saja tak lebih maju daripada Sutiyoso karena ia mewujudkan rencana pelarangan Gubernur DKI Jakarta 1997–2007 itu, melainkan juga tak menyadari bahwa penyebab utama kemacetan Jakarta selama ini justru pemerintah Jakarta sendiri, yang cenderung mengandalkan pembangunan infrastruktur jalan ketimbang membenahi infrastruktur transportasi lain. Boleh jadi ini tuduhan yang serius, berkebalikan dengan kepercayaan Ahok yang ia katakan pada Tempo.co, 21 Januari 2015, bahwa kemacetan Jakarta disebabkan oleh banyaknya kendaraan pribadi.2 Gangsar Parikesit, “Digugat ITW, Ahok: Enggak Apaapa, Gugat Saja,” Tempo.co, 21 Januari 2015, 16:33 WIB. Tautan: http://bit.ly/1MArSRb
2
Sebagai gubernur, Ahok seharusnya tak menyederhanakan persoalan kemacetan Jakarta. Kita sudah sangat akrab dengan kelakuan semacam ini: menyelesaikan masalah tanpa perencanaan matang, sehingga hasilnya adalah solusi yang sepotong-sepotong, lalu masalah berakhir dengan kemunculan masalah baru. Ini tindakan lawas pemerintah Jakarta yang nyaris jadi tradisi, dari yang paling korup sampai yang katanya paling bersih di zaman Ahok ini. Nyatanya, bersih rekening saja memang tak cukup. Pandangan tersebut — soal kecenderungan pemerintah mengandalkan pembangunan infrastruktur jalan — bukan pula pandangan baru. Yang saya rujuk berikut ini adalah tulisan Tory Damantoro dalam buku Kata Fakta Jakarta terbitan Rujak Center for Urban Studies pada 2011, yang dengan jernih menjelaskan faktor penyebab kemacetan Jakarta.
kemacetan Jakarta merupakan dampak pembangunan yang lebih mendahulukan kepentingan ekonomi yang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat, sehingga Singkatnya,
penggunaan ruang tak memberikan manfaat bagi seluruh warga. Ketika harga tanah naik seiring peningkatan kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk, banyak warga yang terpaksa menyingkir dari pusat kota. Perjalanan warga dari rumah ke tempat kerja yang makin jauh menyebabkan kemacetan di koridor utama yang berdampak buruk pada aksesibilitas kota secara keseluruhan, yang malah disambut pemerintah dengan solusi terus menambah jalan, yang hasilnya justru memicu warga memiliki kendaraan pribadi. 67
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Akhirnya, menurut Tory, “kombinasi dari pertambahan jumlah penduduk, pemekaran kota yang tak terkendali, pergerakan warga yang makin banyak dan jauh, kebijakan pembangunan jalan sebagai infrastruktur transportasi utama, serta tingginya ketergantungan warga pada kendaraan pribadi menjadi faktor penyebab terjadinya kemacetan berkepanjangan.” Faktanya, lanjut Tory, selama 2000–2010, Pemprov DKI Jakarta melebarkan dan membangun jalan, mendirikan 56 fly over dan underpass, namun kemacetan justru semakin parah. Alih-alih mulai menata jalan berdasarkan karakteristik perjalanan warga, pemerintah justru terus menambah jalan karena “percaya bahwa jalan harus terus dibangun untuk melayani pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor.”3 Paparan Tory tersebut menjelaskan keengganan pemerintah membatasi kepemilikan kendaraan pribadi sampai hari ini. Begitu kendaraan pribadi makin membanjir, seiring banjir manusia dan banjir air, kemacetan Jakarta jadi masalah nasional. Tanpa pikir panjang, kendaraan pribadi itulah yang disalahkan, bukan
pemerintah Jakarta yang sejak dulu menjadi pemasok terbesar jalanan agar kendaraan bisa berjalan leluasa sampai akhirnya jadi kebanyakan dan
Oleh karena itu, pembatasan pergerakan kendaraan pribadi yang akhirnya diterapkan. Sesuai UU No. 22 Tahun 2009 tadi, pembatasan memang dapat dilakukan. Three in One dan calon program Electronic Road Pricing misalnya, adalah salah satu cara pembatasan kendaraan pribadi. Namun, pelarangan adalah soal lain. Melarang, jelas jauh lebih mudah karena mengabaikan masalah yang lebih besar, apalagi kalau itu disebabkan oleh si pelarang sendiri. Tak sulit pula melihat bahwa mentalitas pelarangan sepeda motor ini adalah mentalitas yang sama dengan penggusuran kaum miskin kota. Dalam Kompas.com, 2 Desember 2014, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, mengatakan bahwa pelarangan sepeda motor ini seperti “penertiban di bantaran kali dan ruang terbuka hijau.”4 Dalam kadar tertentu, melarang sepeda motor itu sama gampangnya dengan menganggap warga di bantaran kali sebagai penyebab banjir sambil melupakan berbagai superblok yang justru menempati ruang terbuka hijau yang seharusnya jadi daerah resapan air.
bikin semua orang kelabakan.
Tory Damantoro, “Kemacetan Jakarta: Masalah yang Tak Kunjung Selesai,” dalam Kata Fakta Jakarta, (Jakarta: Rujak Center for Urban Studies, 2011).
3
68
Alsadad Rudi, “Pelarangan Sepeda Motor akan Dievaluasi dalam 3 Bulan,” Kompas.com, 2 Desember 2014, 16:16 WIB. Tautan: http://bit.ly/1WY4jMk
4
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Melihat sepeda motor sebagai bagian dari kendaraan pribadi pun tak bisa sesederhana itu. Dalam Kompas.com, 15 Desember 2014, Ahok boleh saja bilang bahwa tidak ada alat transportasi mana pun yang dapat mengalahkan kenyamanan naik motor karena dapat menghindari kemacetan.5 Tetapi, naik sepeda motor itu sama sekali tidak nyaman. Apalagi kalau ukuran kenyamanannya hanya karena dapat menghindari kemacetan. 5 Kurnia Sari Aziza, “Ahok: Saya Enggak Ada Kewajiban Sediakan Parkir Motor untuk Anda,” Kompas.com, 15 Desember 2014, 16:02 WIB. Tautan: http://bit. ly/1kDuyXh
Sepeda motor memang membuka jendela kebebasan baru. Bagi Franz MagnisSuseno, dalam Kompas, 22 Januari 2007, itu adalah, “Bebas dari keharusan berada dalam empat jam per hari dalam bus-bus dan angkot yang jorok dan tidak aman. Bebas dari biaya mencekik pemakaian angkutan umum. Bebas untuk cepat ke tempat yang perlu.” Tapi, barangkali agar tak ada orang seperti Ahok di kemudian hari yang menganggap naik motor itu nyaman, ia menegaskan, kalau mereka yang menggunakan motor itu “bukan karena mereka iseng-iseng, melainkan karena mereka membutuhkannya.”6 Sepeda motor adalah kendaraan pribadi yang paling terjangkau bagi kebanyakan orang. Jika pilihan lain tersedia, pengendara sepeda motor akan rela memarkirkan kuda besinya. Contoh kecilnya adalah pengendara sepeda motor yang belakangan ini mulai menggunakan kereta api listrik yang kondisinya sejak setahun terakhir semakin baik. Franz Magnis-Suseno, “Perang Melawan Rakyat,” Kompas, 22 Januari 2007.
6
69
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan kata lain, sepeda motor perlu dilihat sebagai solusi praktis warga dalam menghadapi kemacetan dan buruknya transportasi umum di Jakarta, yang puluhan tahun lamanya gagal diatasi pemerintah yang digaji
warga melalui pajak. Warga tentu mengharapkan solusi yang lebih cerdas daripada sekadar melestarikan arogansi pemerintah sebelumnya dalam wujud paling mutakhir. Suatu solusi yang perlu diatasi pemerintah sambil menyadari sepenuhnya bahwa dirinya telah lebih dulu bersalah karena tidak mampu mengatasi kemacetan. Untuk sementara, protes warga membuahkan hasil. Permohonan uji materiil ITW pada Mahkamah Agung itu memaksa pemerintah untuk kembali mengizinkan pengendara sepeda motor melintasi Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Medan Merdeka Barat, mulai 4 70
April 2015. 7 Akan tetapi, cuma selama 6 jam per hari, dari pukul 23.00 – 05.00, di saat lebih banyak orang yang tidur daripada naik sepeda motor. Apakah itu berarti pengendara sepeda motor harus pergi lebih pagi dan pulang lebih malam? Tentu ini masih diskriminatif. Perjalanan untuk memperjuangkan hak mobilitas pengendara sepeda motor, masih panjang.*** Tulisan ini awalnya dibuat untuk melengkapi materi diskusi “NGOPI#4: Jakarta Punya Siape” yang diadakan oleh Transparency International Indonesia di Jakarta, 23 Januari 2015. Tulisan ini sempat disunting lalu dimuat di Indoprogress. com, pada Februari 2015. Tulisan dalam buku ini adalah versi suntingan terakhir pada 19 November 2015, berdasarkan perkembangan terkini. “Akhirnya, Sepeda Motor Bisa Lewat Thamrin Pukul 23.00 – 05.00,” Tempo.co, 6 April 2015, 09:37 WIB. Tautan: http:// bit.ly/1O2QAOx
7
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kebijakan Pelarangan Penggunaan Sepeda Motor, 1 Kebijakan Marah-Marah? Yudi Adiyatna 10,000,000 9,000,000 8,000,000 7,000,000 6,000,000
Motorcycles
5,000,000
Passenger Car
4,000,000
Bus
3,000,000
Truck
2,000,000 1,000,000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik jumlah kendaraan bermotor di Jakarta2
Tentu kita semua sebagai warga penghuni kota metropolitan ini sepakat mengatakan Jakarta identik dengan kemacetan. Berbagai macam public service yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari tahun ketahun seperti penambahan jalan, tol, pembangunan underpass dan flyover, kebijakan three in one di beberapa jalan protokol, dan lain sebagainya, rupanya hanya memberikan short-term effects dalam menanggulangi kemacetan, sebab tidak diikuti dengan penurunan jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah luar biasa. 1 .Disampaikan dalam diskusi Ngobrol Pintar (NGOPI #4) Youth Proactive Transparency International,Jakarta 23 Januari 2015. Saran dan kritik :
[email protected]
2 Grafik jumlah kendaraan bermotor di Jakarta : Lembar Fakta Koalisi Warga Untuk Transport Demand Management (Koalisi TDM) 2011
71
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Data yang dihimpun Koalisi Warga Untuk Transport Demand Management (Koalisi TDM) tahun 2011, menyebutkan bahwa rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 98% berbanding 2%. Jumlah
kendaraan pribadi yang hampir mencapai 100% tersebut mengangkut 49,7% perpindahan penumpang per hari. Sama sekali tidak berbeda jauh dengan kapasitas penumpang yang diangkut kendaraan umum (50,3% perpindahan penumpang per hari). Hal ini diperparah dengan lalu lalang 600.000 unit transportasi yang mengangkut sekitar 1,2 juta penumpang yang berdomisili di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi memasuki Jakarta. Jumlah ini terus mengalami peningkatan seiring makin mudahnya akses masyarakat untuk kepemilikan kendaraan bermotor saat ini.
Dalam mengatasi persoalan terkait transportasi dan kemacetan serta pengaturan lalu lintas, belum lama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah No.5 tahun 20143 tentang Transportasi. Dalam pasal 78 ayat 2 poin h disebutkan pemerintah daerah dapat “membatasi lalu lintas sepeda motor pada kawasan tertentu dan/atau waktu dan/atau jaringan jalan tertentu” dan diperjelas lagi dengan terbitnya Peraturan Gubernur No. 195 Tahun 20144 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor di segmen Jln. MH Thamrin sampai Jln. Medan Merdeka Barat menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama kaum muda yang sehari-hari beraktivitas menggunakan sepeda motor di kawasan tersebut. Begitu banyak alasan yang dikemukakan masyarakat terkait penolakan kebijakan larangan penggunaan sepeda motor tersebut. Ada yang menganggap kebijakan ini diskriminatif, tidak efektif, memperbesar beban energi dan waktu masyarakat yang melintas, serta dianggap mengurangi pendapatan masyarakat yang mencari nafkah di sekitar kawasan tersebut (tukang ojek, kurir, dll). 3 Lihat Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 2014 pasal 78 ayat 2 4 Lihat Pergub DKI Jakarta No. 195 Tahun 2014
72
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Pemprov DKI Jakarta pun telah menyediakan bus “gratis” sebagai pengganti alat transportasi para pengguna motor yang ingin melintas di kawasan tersebut, namun penggunaan bus “gratis” tersebut dikeluhkan sebagian warga karena dalam penggunaanya mereka terlalu lama menunggu dan okupasi bus tersebut pun banyak digunakan anak-anak sekolah yang sedang berlibur dan para orang tua yang membawa anak balita.5
Kebijakan ini seolah menunjukkan kawasan Jl MH Thamrin sampai Jl Medan Merdeka Barat sebagai kawasan eksklusif yang tidak boleh dilalui sepeda motor, padahal kita sama-sama tahu bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan layanan publik yang layak (tanpa dibatasi)
dan hak untuk berpindah tempat. Pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, tidak bisa melarang dan membatasi ruang gerak dan mobilitas warga jika tanpa diberikan alternative atau transportasi umum yang memadai sebagai pengganti sepeda motor yang dilarang melintas di kawasan tersebut.
5 http://megapolitan.kompas.com/ read/2014/12/17/12292521/Waktu.Tunggu.Bus.Tingkat. Gratis.Masih.Lama
73
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih enggan berpindah dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum disebabkan oleh banyak hal. Selain karena waktu tunggu bus “gratis” yang lama dan dianggap tidak efektif, tak dapat disangkal lagi kondisi transportasi umum di Jakarta masih dalam keadaan buruk, mulai dari kondisi fisik kendaraan, hingga kondisi si pengemudi. Banyak angkutan umum yang sudah tidak layak pakai namun tetap dioperasikan. Hal tersebut dianggap dilakukan hanya demi mendapatkan penghasilan namun mengabaikan keselamatan penumpang dan kendaraan lainnya. Ada sisi kenyamanan dan rasa aman yang seolah hilang dari masyarakat bila menggunakan kendaraan umum di Jakarta. Mereka sama saja mempertaruhkan nyawa setiap menggunakan jasa ini. Ini masalah nyawa, penumpang berhak mendapatkan rasa aman dan nyaman, bukan hanya tiba di tujuan dengan selamat. Pada tataran ideal, seharusnya Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini mengeluarkan peraturan yang semestinya berbasis kepentingan publik. Dalam artian, keberadaan suatu kebijakan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memenuhi kebutuhan publik dan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi publik. Oleh karena itu langkah awal yang seharusnya dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah mengetahui
74
apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan publik dan tentu saja mengetahui apa yang sedang menjadi masalah publik. Dalam konteks kebijakan publik, apa yang disebut sebagai masalah publik adalah situasi yang menghasilkan kebutuhankebutuhan atau ketidakpuasanketidakpuasan publik, yang perlu dicari jalan keluarnya, baik oleh pihak yang terkena akibat secara langsung oleh situasi itu ataupun oleh pihak lain yang memiliki tugas dan tanggung jawab di bidang itu.6
6 Eny Haryati, Seri Modul Kebijakan Publik,Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi ,2011,hal 24-25
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kebijakan pelarangan sepeda motor di jalan protokol (Thamrin-Merdeka Barat) dianggap tidak menjawab masalah publik dan tidak memenuhi kebutuhan publik akan keberadaan transportasi umum yang memadai tapi justru menimbulkan masalah baru bagi masyarakat yang melintasi kawasan tersebut. Kita patut bertanya apa landasan Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan aturan tersebut, fakta apa yang ada di balik kebijakan tersebut. Apakah Pemprov DKI sebelumnya sudah mengenali betul apa yang menjadi masalah publik dalam membuat kebijakan tersebut? Yang berbahaya adalah Pemprov DKI Jakarta sesungguhnya memahami faktafakta yang ada di lapangan namun cenderung diinterpretasikan secara berbeda oleh masing-masing pelaku kebijakan. Karena informasi yang sama dapat menghasilkan definisi dan penjelasan atau pemaknaan “masalah” yang berbeda. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidakkonsistennya fakta- fakta mengenai hal tersebut, namun karena analis kebijakan, pengambil kebijakan, dan pelaku kebijakan lainnya berpegang pada asumsi yang berbeda dalam memaknai fenomena sosial (kemacetan di jalan protokol). Sering kali dalam banyak kasus didapati bahwa “lebih
sering terjadi pemecahan masalah yang salah daripada menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang benar”.
75
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Kita pun jadi bertanya-tanya tentang keterbukaan proses pembuatan kebijakan ini, apakah kebijakan ini mengalir dari atas kebawah yaitu dari golongan elite pembuat kebijakan ke golongan masyarakat. Dengan demikian kebijakan tersebut lebih mementingkan keinginan kelompok elit-penguasa daripada masyarakat secara luas. Dan kitapun berhak bertanya sesungguhnya berapa belanja anggaran Pemprov DKI Jakarta untuk transportasi publik? Sudah maksimalkah anggaran tersebut digunakan untuk transportasi publik? Jika belum, Pemprov DKI Jakarta terkesan “setengah hati” dalam mewujudkan transportasi publik yang layak untuk masyarakatnya dan pelarangan kendaraan bermotor menunjukkan ketidakkonsistennan Pemprov DKI Jakarta pada peningkatan kualitas pelayanan publik yang komprehensif. Dalam dokumen RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) seperti dikatakan oleh Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, kebijakan pelarangan motor sesungguhnya ada di urutan ketiga dan berdampingan dengan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP), Terminal Parkir Elektronik dan sebagainya. Sedangkan untuk solusi pertama mengurai macet adalah dengan penyediaan transportasi massal dan penambahan ruas jalan yang saat ini perbandingannya 0,1 persen dari pertumbuhan jalannya.
“Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Sanusi mengatakan, pelarangan sepeda motor memang masuk dalam salah satu rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Kebijakan ini dinilai Basuki Tjahaja Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta tepat untuk mengurangi macet. Dalam dokumen RPJP, kebijakan ini ada di urutan ketiga dan berdampingan dengan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP), Terminal Elektronik Parkir (TEP) dan sebagainya. Sedangkan untuk urutan pertama sebagai solusi mengurai macet adalah penyediaan transportasi massal dan penambahan ruas jalan yang saat ini perbandingannya 0,1 persen dari pertumbuhan jalan. 76
“Ketiga aturan itu tidak boleh diubah penerapannya. Artinya, dalam pembatasan, Ahok harus mendahulukan penyediaan transportasi massal. Kalau penambahan jalan memang butuh waktu. Tapi tetap tidak bisa dibalik pelarangan dulu baru penyediaan transportasi massal,” katanya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (9/1).
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Sanusi menilai kebijakan yang Ahok mengurangi kendaraan bermotor agar kawasan Jl Sudirman, Thamrin dan Medan Merdeka termasuk di Balai Kota tak jadi sasaran pendemo yang sering membawa kendaraan roda dua itu. Dia yakin alasan Ahok menyebut untuk mengurangi angka kecelakaan cuma akal-akalan. “Jakarta banyak orang pintar. Apa kecelakaan sering terjadi di kawasan larangan sepeda motor sekarang ini? Apa mengurangi kepadatan? Jelaskan lebih detail maksud dan tujuan pembatasan agar masyarakat kecil tidak merasa diintimidasi,” tutup Sanusi.7 Dari berbagai argumen yang diungkapkan, jelaslah bahwa kebijakan tidak
populis ini cenderung hanya kebijakan parsial yang tidak komprehensif dan tidak mengatasi masalah kemacetan, dan justru mendiskriminasikan para pengguna motor. Sebaiknya Pemprov DKI Jakarta
membatalkan kebijakan pelarangan motor tersebut dan fokus pembenahan terhadap berbagai macam sector transportasi dan manajemen lalulintas, seperti fokus pada pengadaan dan peremajaan bus-bus kota, fokus pada percepatan pembangunan pola moda transportasi massal MRT (Mass Rapid Transport), fokus pada penyatuan atau integrity konektivitas antar satu moda trasnportasi umum ke moda transportasi umum lainnya (seperti konektivitas Halte Busway dan Stasiun Kereta) Yang tidak kalah penting adalah pembatasan kendaraan bermotor di jalanan dengan cara, misalkan menaikkan pajak pembelian kendaraan,naikkan tarif parkir, penerapan ERP.
7 http://www.merdeka.com/jakarta/dprd-duga-kebijakanlarangan-motor-cuma-akan-akalan-ahok.html
77
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan kualitas transportasi publik yang memadai, konektivitas antar moda transportasi umum, serta semakin mahalnya ongkos untuk memiliki kendaraan pribadi, maka kelak masyarakat akan dengan sendirinya berbondongbondong beralih menggunakan transportasi publik, tentu semua
kebijakan tersebut membutuhkan waktu dan political will yang kuat dan berjiwa melayani masyarakat dari pemegang kebijakan. Sehingga Pemprov DKI Jakarta tidak perlu “memarah- marahi motor” dengan melarangnya melintas di jalur protokol toh nanti mereka sendiri yang akan sadar memilih alat transportasi yang aman dan nyaman. Membangun transportasi publik bukan hanya membangun sarana fisiknya saja, tetapi lebih dari itu, membangun transportasi publik juga membangun perilaku dan peradaban manusia, membuat masyarakat lebih disiplin, teratur, berkualitas dan berbudaya.
Peran pemerintah dalam perspektif sosial tidak hanya sebagai sebagai penyedia layanan publik, melainkan sebagai pencipta kesejahtraan dan pemerataan, agen perubahan, yang bersifat solutif. Sebuah langkah besar yang tidak mudah untuk dilaksanakan, tetapi bukan hal yang mustahil untuk mewujudkan mimpi Jakarta yang ramah akan transportasi publik.
“A developed country is not a place where the poor have cars. It is where the rich people use public transport.” -Gustavo Pertro (Mayor of Bogota, Colombia)
78
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Gerakan Anak Muda Dulu dan Sekarang:
Sebuah Trajektori
79
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Anak muda merupakan individu berusia 15-24 tahun, yang tengah mengalami periode transisi dari masa anak-anak yang bergantung menuju masa dewasa yang mandiri. Kategori umur menjadi ciri termudah untuk mengidentifikasi karakteristik anak muda, terutama jika dikaitkan dengan bidang pendidikan dan ketenagakerjaan; karena anak muda identik dengan masa dimana seseorang meninggalkan pendidikan wajib dan menemukan pekerjaan pertamanya. (UN.org)
Undang-undang Kepemudaan no. 40 tahun 2009:
“Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan, yang berusia 16-30 tahun.” Anak muda Indonesia usia 15-30 tahun: 67 juta jiwa, yaitu ¼ dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 238 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010)
80
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Youth Integrity Survey (Survei Integritas Anak Muda) merupakan sebuah survei yang dilakukan oleh Youth Department Transparency International Indonesia pada tahun 2013, yang bertujuan untuk mengukur pemahaman anak muda usia 15-30 tahun di daerah perdesaan Aceh, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur mengenai integritas dan antikorupsi.
Beberapa hasil surveinya antara lain: Anak muda setuju terhadap indikator ciri integritas di bawah ini: Tidak pernah bohong, tidak pernah curang, dan dapat dipercaya (94%) Tidak melakukan korupsi (tidak menerima dan memberi suap) dalam kondisi apapun (93%) Tidak pernah melanggar hukum (91%) Tidak pernah bohong atau berbuat curang kecuali jika menghadapi situasi yang sulit bagi dirinya atau keluarganya (34%) Menolak perilaku korupsi kecuali tindakan tersebut sudah umum dilakukan untuk memecahkan masalah atau situasi sulit (24%) Menunjukkan solidaritas dan dukungan kepada teman dan keluarga dalam kondisi apapun meskipun hal tersebut melanggar hukum (20%) Menolak perilaku korupsi kecuali jumlahnya tidak seberapa (15%)
Alasan anak muda terlibat dalam korupsi: 1) Menghindari tilang polisi (47%) 2) Mendapatkan dokumen/izin (20%) 3) Lulus ujian (11%) 4) Mendapatkan pekerjaan (9%) 5) Mendapatkan layanan medis (8%) 6) Mendapatkan akses bisnis (4%)
81
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Menilik Organisasi Anak Muda Kontemporer di Indonesia Maulida Raviola
Pengantar
Organisasi-organisasi atau inisiatif anak muda kontemporer marak bermunculan di tengah situasi di mana tingkat ketertarikan anak muda terhadap politik pascareformasi kian melemah. Pada tahun 2010, sebuah jajak pendapat yang dilakukan Kompas mencoba mengukur tingkat ketertarikan anak muda terhadap kepemimpinan di ranah politik elit. Hasilnya, lebih dari 60% anak muda tidak tertarik untuk menjadi pemimpin negara, menteri, anggota parlemen, pemimpin partai politik, pemimpin organisasi massa, pemimpin organisasi profesi, pemimpin komunitas, pemimpin lingkungan (RT/RW) maupun pemimpin organisasi kepemudaan.
82
Adeline Tumenggung & Yanuar Nugroho (2011) berargumen bahwa lemahnya ketertarikan anak muda Indonesia terhadap politik pascareformasi adalah hasil dari alpanya regenerasi politik pada masa transisi setelah Orde Baru. Regenerasi politik yang dimaksud bukan hanya suksesi generasional dari politisi dan aktivis politik, tetapi merupakan suatu hal yang lebih fundamental, yaitu aspek ideologi dan pembangunan politik. Di tengah kecenderungan apatisme politik dan melemahnya minat berpolitik anak muda ini, lahirUndang-Undang Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 yang diterbitkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Adhyaksa Dault, Menpora yang menjabat pada saat UU ini dilahirkan, berharap agar UU Kepemudaan dapat mempercepat sirkulasi kepemimpinan baik di tingkat daerah maupun nasional
Jurnal Youth Proactive Vol.2
yang selama ini mandek. Terkait dengan kepentingan ini juga, Kementerian Pemuda dan Olahraga kemudian berusaha mengakomodasi berbagai organisasi kepemudaan (OKP) yang ada di Indonesia. Data terakhir hingga Februari 2013 mencatat bahwa terdapat 149 OKP yang berada dinaungi oleh Kemenpora—namun tidak dijelaskan bagaimana data-data OKP ini diperoleh, apakah data ini terus diperbarui, serta apa saja ketentuan-ketentuan bagi sebuah organisasi untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah “OKP”. Dari UU Kepemudaan tersebut, terdapat beberapa aspek penting yang semestinya diperhatikan, terutama dalam kaitannya dengan realitas kehidupan anak muda di Indonesia. Pertama adalah bagaimana melalui UU Kepemudaan ini negara mengkonstruksianak muda serta kepentingan-kepentingannya, juga terhadap tujuan “Pembangunan Kepemudaan”, yaitu untuk mewujudkan anak muda yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan dan kebangsaan. Dari tujuan ini, kita kemudian melihat bagaimana UU Kepemudaan menitikberatkan pembangunan pemuda melaluidua aspek utama, yaitu kepemimpinan dan kewirausahaan.
83
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Di satu sisi, UU Kepemudaan memperlihatkan bagaimana negara meletakkan anak muda sebagai subjek pembangunan, yang di dalamnya unsur kepemimpinan jelas merupakan hal yang dianggap penting karena generasi muda adalah generasi penerus yang diharapkan dapat menjadi pemimpin-pemimpin di masa mendatang,sementara unsur kewirausahaan dianggap relevan karena anak muda diharapkan dapat menjadi subjek ekonomi yang inovatif dan mandiri di tengah persaingan dalam ketersediaan lapangan kerja yang mampu disediakan negara atau diserap oleh pasar. Namun di sisi lain,
UU Kepemudaan luput melihat permasalahan serta kebutuhan-kebutuhan anak muda yang amat beragam. UU Kepemudaan juga
seakan menempatkan negara sebagai pihak yang menaungi dan memfasilitasi anak muda untuk dapat berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan, ketika sesungguhnya anak muda sedang “dibebani” dengan berbagai tuntutan dan harapan.
84
Perihal Kemunculan dan Karakteristik Organisasi Anak Muda Kontemporer Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kemunculan dan membedakan karakteristik organisasi anak muda dulu dan sekarang di Indonesia adalah perubahan pemaknaan atas ruang publik. Ruang publik pada masa Orde Baru adalah ruang yang dikuasai oleh aparatus negara dan menjadi suatu ruang yang steril, yang di dalamnya warga negara tidak boleh melakukan segala sesuatu yang dianggap meresahkan dan menganggu ketertiban umum. Maka ketika terjadi gangguan terhadap kesterilan ruang publik tersebut, yang kemudian memuncak pada mundurnya Soeharto sebagai “penguasa utama di ruang publik”, ruang publik menjadi ruang yang terbuka dan diperebutkan yang di dalamnya berlangsung interaksi yang dinamis
Jurnal Youth Proactive Vol.2
antara berbagai pihak. Salah satu implikasi dari perubahan makna atas ruang publik ini adalah ketika hal-hal yang tadinya tak dapat dibicarakan di ruang publik kini terbuka untuk dibicarakan secara luas, seperti isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Peraturan negara tak lagi dirasakan sebagai ancaman terhadap identitas dan eksistensi kelompok. Ekspresi kebudayaan dan ritual keagamaan dapat berlangsung di ruang publik, seiring dengan tuntutan masyarakat untuk menghapus berbagai kebijakan yang mendiskriminasi ekspresi kultural kelompokkelompok minoritas seperti etnis Cina. Dalam konteks situasi inilah, anak muda merespons keterbukaan ruang publik melalui ekspresi atas keberagaman yang mengatasi batas-batas kedaerahan, agama maupun etnis tersebut.
Gagasan serupa juga dikemukakan oleh Nuraini Juliastuti (2011), yang melihat bahwa perubahan posisi individu di dalam ruang kultural pasca Orde Baru memungkinkan anak muda melakukan eksperimentasi terhadap berbagai gagasan dan praktik-praktik yang tidak mungkin mereka lakukan ketika menjadi individu yang pasif di bawah rezim Orde Baru.
Anak muda adalah inisiator bagi munculnya ruang-ruang alternatif, yaitu ruang-ruang baru yang bersifat lokal yang mendorong lebih banyak keterlibatan warga lokal dalam produksi budaya.
Demokratisasi yang mendorong keterbukaan dan kebebasan berekspresi menjadikan
anak muda memiliki sesuatu yang lebih kuat sebagai basis identitas mereka, yaitu kemudaan itu sendiri. Menjadi muda secara usia sudah
cukup untuk menjadi identitas bersama yang mengatasi perbedaan-perbedaan lain seperti agama, suku maupun ideologi politik. Penguatan identitas muda ini memungkinkan munculnya gerakan anak muda yang lebih bersifat cair, meluas, inklusif dan fleksibel.
85
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Di tengah kondisi ini, semangat anak muda yang tengah meluap tersebut bersinggungan dengan kepentingankepentingan berbagai lembaga donor pembangunan yang mulai melihat anak muda sebagai subjek penting yang harus diberdayakan dalam proses pembangunan dan dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Kedua faktor ini turut mempengaruhi menjadi populernya berbagai organisasi serta inisiatif-inisiatif anak muda berbasis isu seperti isu anti-korupsi, lingkungan hidup, kesehatan, disabilitas, termasuk juga isu-isu yang cukup sensitif seperti lintaskeyakinan (interfaith) maupun LGBTIQ. Beberapa faktor tersebut dapat dikatakan berpengaruh terhadap pergeseran kecenderungan pergerakan anak muda, serta memberikan kebaruan terhadap karakteristik pergerakan anak muda itu sendiri. Jika dulu organisasi anak muda secara umum terbagi ke dalam dua tipe, yaitu organisasi berbasis identitas kemahasiswaan seperti universitas, fakultas, departemen dan kedaerahan dan organisasi anak muda berorientasi politik atau religi, maka kini keterlibatan anak muda dalam organisasi-organisasi di luar kampus seperti dalam sektor NGO atau independen menjadi fenomena baru yang mewarnai gerakan anak muda di Indonesia.Organisasi-organisasi anak muda ini bergerak dengan beragam tujuan mulai dari peningkatan kemawasan (awareness) tentang isu tertentu hingga advokasi di level kebijakan.
86
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Secara organisasional, struktur organisasi anak muda kontemporer juga relatif sederhana dengan jumlah anggota yang sedikit. Aliansi Remaja Independen, sebuah organisasi anak muda yang terbentuk sejak tahun 2007 dan tersebar di beberapa kota di Indonesia seperti Bogor, Pati, Solo, Lombok, Kupang dan Makassar, hanya beranggotakan tidak lebih dari 80 anak muda. Kita dapat membandingkan jumlah ini dengan KNPI yang memiliki struktur organisasi yang tersusun dari tingkat Dewan Pimpinan Pusat (Nasional) sampai dengan pengurus kecamatan. Pengurus Kecamatan (PK) KNPI Setu, Tangerang Selatan, misalnya, pada tahun kepengurusan 2012-2015 memiliki struktur yang terdiri dari 1 ketua, 8 wakil ketua, 1 sekretaris, 8 wakil sekretaris, 1 bendahara, 8 wakil bendahara dan 8 komisi yang beranggotakan 25 orang.
Struktur organisasi anak muda kontemporer yang “hemat” ini kemudian disiasati dengan karakteristik berikutnya: kekuatan jaringan dan kesukarelawanan (volunteerism). Dalam berjejaring, peranan dari media baru seperti internet pun sangat signifikan. Ade Armando pernah menyebutkan bahwa “kalangan yang paling responsif memanfaatkan media baru untuk tujuan demokratisasi adalah gerakan masyarakat sipil”, tanpa terkecuali organisasi-organisasi anak muda. Selain itu, anak muda di mana saja, selama ia memiliki minat dan perhatian yang sama atas suatu isu, dapat menjadi bagian dari sebuah organisasi anak muda sebagai volunteer. Volunteer inilah yang menjadi basis dalam kegiatan-kegiatan organisasi untuk mempopulerkan isu kepada masyarakat yang lebih luas. Jaringan dan volunteer merupakan dua senjata utama bagi organisasi anak muda kontemporer ini untuk untuk menghubungkan isu-isu anak muda yang pada dasarnya saling terkait satu sama lain, penguatan kapasitas untuk mencapai tujuan bersama (seperti perubahan kebijakan publik) serta memperluas dampak gerakan di tengah masyarakat, tidak hanya pada tatanan lokal tetapi juga pada tatanan global.
87
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Peluang atau Tantangan? Minimnya rekognisi pemerintah terhadap keberadaan dan kerja-kerja organisasi ini di tengah masyarakat. Di satu sisi, minimnya rekognisi ini, untuk sementara, mencegah terkooptasinya organisasi-organisasi anak muda oleh kepentingan-kepentingan politik elit. Namun di sisi lain, organisasi anak muda ini membutuhkan“siasat”tersendiri untuk membuat kebutuhan serta aspirasi mereka didengar oleh pemerintah dan pembuat kebijakan.
Volunteerism, yang merupakan karakteristik penting yang mempengaruhi organisasi anak muda saat ini bersifat lebih cair dan inklusif jika dibandingkan organisasi kepemudaan terdahulu. Namun demikian, karena sifatnya yang cair dan tidak terikat, komitmen para relawan terhadap organisasi merupakan suatu permasalahan yang secara konstan terus
membayang-bayangi keberlangsungan kegiatan organisasi. Pada gilirannya hal ini pun berpengaruh terhadap profesionalisme dan kapasitas kerja organisasi. Muncul anggapan bahwa kerja dari organisasi-organisasi anak muda ini banyak yang lebih bersifat temporer, berorientasi jangka pendek (atau bahkan hanya berorientasi proyek) dan tidak profesional. Pengelolaan yang kurang baik dari organisasi terhadap para relawan tentu amat berpengaruh terhadap keberlangsungan kegiatan organisasi dan, secara ekstensif, dapat berpengaruh terhadapkeberlangsungan pergerakan anak muda di Indonesia di waktu mendatang. Hal yang berikutnya menjadi tantangan bagi pergerakan anak muda (secara umum)dan organisasi anak muda di Indonesia (secara khusus) adalah menemukan filosofi dancommon ground dari gerakan anak muda. Dalam pengamatannya mengenai organisasi anak muda kontemporer di Indonesia, Maesy Angelina (2011) berargumen bahwa saat iniwacana populer seolah-olah mensyaratkan kemudaan sebagai satu-satunya syaratgerakan anak muda, ketika definisi tersebut pun memiliki bias-biasnya tersendiriseperti kelas sosial dan gender. Menurut Angelina, gerakan anak muda perluberkembang dari gerakan berbasis aktor menjadi gerakan yang dipandu oleh sebuah filosofi mendasar mengenai apa yang ingin diperjuangkan gerakan ini untuk anak muda, terlepas apa pun isu yang akhirnya dipilih. Diperlukan sebuah visi atau agenda bersama
untuk menentukan arah gerakan anak muda Indonesia. 88
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Referensi: Angelina, Maesy. (2011).Siapakah ‘Anak Muda’ dalam Gerakan Anak Muda. http:// www.academia.edu/812230/Siapakah_ Anak_Muda_dalam_Gerakan_Anak_ Muda_Who_are_the_Youth_in_Youth_ Movements Armando, Ade. (2011). Media Baru bagi Kaum Digital Natives: Demokrasi atau Kesia-siaan?, Jurnal Prisma Vol. 30, No. 2, hal. 89-98,“Gerakan Pemuda 1926-2011: Persatuan Terhenti, Kesatuan Asimetris. BE Julianery, “Optimisme Kepemimpinan Muda”, Artikel Jajak Pendapat Kompas 01 November 2010.
Juliastuti, Nuraini. (2011).Alternative Space as New Cultural Movement: Landscape of Creativity, inKunci Cultural Studies Center Member Magazine, 7 October 2009, in Paramaditha, Intan. Praktik Kultural Anak Muda: Narasi 1998 dan Eksperimen, Jurnal Prisma vol. 30, No. 2. Nugroho, Yanuar & Adeline Tumenggung. (2005). Marooned in The Junction: Indonesian Youth Participation in Politics. Part of Go! Young Progressives in Southeast Asia. Friedrich Ebert Stifftung.
89
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Lekuk Gerakan Anak Muda Muhamad Isomuddin
Meraba gerakan anak muda di Indonesia dengan menapaktilasi waktu lampau bukanlah persoalan mudah untuk menarasikan awal mula kemunculannya. Mungkin hari sumpah pemuda salah satu momentum yang menandai gerakan anak muda Indonesia. Sumpah menjadi bahasa sakral sekaligus penegasan atas semangat pemuda berbentuk gerakan bersama untuk menuju titik kulminasi bernama kemerdekaan. kedua momentum reformasi, dimana aktivis muda banyak terlibat dalam proses meruntuhkan rezim orde baru. Dua momentum di atas mewarnai geliat gerakan anak muda yang terus diceritakan sebagai ghirah pergerakan.
90
Jurnal Youth Proactive Vol.2
apa yang menjadi tujuan bersama gerakan anak muda di tengah kepungan globalisasi yang membuat situasi sedemikian cair? Apa yang digerakan dan
Melihat konteks sekarang,
mengerakan anak muda sekarang? Bagaimana gerakan dihidupi anak muda di tengah arena kemajuan teknologi yang serba terhubung tanpa ada tedeng aling-aling? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi perlu untuk menilik gerakan anak muda sekarang dan mengetahui perbedaan gerakan yang ada pada masa sebelumnya. Sebelum beranjak terhadap gerakan anak muda, mungkin akan lebih elok dengan melucuti makna anak muda itu sendiri. Pendefinisian anak muda kerap diarahkan dalam tabulasi deret ukur usia, seperti yang tertuang dalam UndangUndang Pemuda maupun petuah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).1 Definisi dalam tabulasi usia membonsai makna dari keluasan anak muda itu sendiri. Meminjam bahasa essay Aria yang menyitir definisi Siegel, bahwa kemudaan tidak terbatas umur seperti yang diangankan dalam Undang-Undang Kepemudaan.2
Lihat Undang-Undang Kepemudaan dan konvensi PBB tentang anak muda.
1
http://indoprogress.com/2014/12/pemuda-remaja-danalay-dari-politik-revolusioner-menjadi-sekadar-gayahidup/ diakses pada tanggal 01 Oktober 2015, pukul 14.00 WIB
2
Dalam masyarakat tradisional pengertian pemuda ditentukan sebagai tahap tersendiri dari busur kehidupan. Dalam pengertian lain menyebutkan bahwa pemuda melebihi dari busur kehidupan dengan corak otonomnya yang membedakan dengan masyarakat tradisional melalui penentangan yang sistematis.3 Makna anak muda yang multitafsir tidak menjadikan diri kita untuk terjerembab dalam kubangan definisi. Menelisik gerakan anak muda dalam bingkai sejarah kemudian bertolak untuk menilik kabar anak muda sekarang adalah satu ikhtiyar meraba gurat nadi kesejarahan. Sejarah kebangkitan pemuda Indonesia lahir dari rahim situasi perjuangan melawan penjajahan. Berbagai bentuk gerakan pemuda muncul dari berbagai penjuru daerah yang serentak meneriakan kemerdekaan. Ben Anderson menjelaskan dalam buku revolusi pemuda akan pentingnya posisi anak muda dalam sejarah perlawanan merebut kemerdekaan. Kata pemuda yang dulu biasa saja dengan cepat memperoleh pancar cahaya yang menakutkan dan kejam.4 Posisi pemuda sangat penting dalam andil perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah.
Ben Anderson, Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, Hal 22
3
4
Ibid 21
91
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dua momentum penanda gerakan pemuda, sumpah pemuda dan reformasi ’98 masih diceritakan dalam setiap sela diskusi gerakan. Sumpah pemuda menjadi momen yang tidak dapat dipisahkan ketika berbicara eksistensi pemuda Indonesia. Ia seolah menjadi rujukan baku dari anak muda yang ingin membangun bangsa dari berbagai sisi. Tidak ada argumen-argumen yang “mencengangkan” dari pembahasan sumpah pemuda yang dibicarakan setiap tahun. Namun tak mudah untuk mematahkan semangat yang menjadi ruh di dalamnya. 92
Maka tak aneh, setiap hari sumpah pemuda selalu diperingati sebagai suatu ritual untuk mengingat kiprah anak muda dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Kemudian gerakan reformasi yang dipelopori aktivis mahasiswa masih menjadi rujukan diskursus pergerakan mahasiswa. Berdiskusi untuk mempertajam analisa dan mempertebal garis ideologi dan pengorganisiran basis massa ialah suasana ‘khas’ dalam cerita pergerakan mahasiswa. Gerakan anak muda yang dipelopori banyak mahasiswa kemudian meletus pada Mei 1998 dengan turunnya Soeharto dari presiden.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Lalu bagaimana gerakan anak muda sekarang setelah kemerdekaan dan reformasi telah diraih? Zely Ariane menerjemahkan rasa terganggunya akan dua generasi aktivisme yang berbeda dalam sebuah tulisa berjudul “Mengenal (Generasi) Aktivisme Kita”5 dapat mengantarkan untuk mendeskripsikan gerakan anak muda sekarang. Adanya perbedaan generasi heroik-dramatik dan generasi resah kritis dalam pendekatan, strategi transformasi sosial dan dalam sudut situasi politik yang menghimpit. Perbedaan generasi aktivisme tidak untuk ditarik pada ranah romantisme sejarah reformasi. Walaupun romantisme ini masih hidup dalam aktivisme generasi 2000 ke atas (hanya menangkap euforia reformasi, bukan aktor). Mungkin generasi yang terjerembab romantisme reformasi menciptakan ilusi kembalinya pergerakan ’98, tanpa mengamalkan pembacaan geliat politik dan sosial yang berubah. Agak tepat yang dikatakan Walter Benjamin, “masa lalu hanya ditangkap sebagai citraan yang bersinar seketika dan kemudian lenyap tanpa bekas”.6 Tentu reformasi adalah etos peristiwa sejarah yang bisa terulang kembali pada ruang dan waktu yang berbeda namun tidak untuk tiruannya.
http://indoprogress.com/2015/03/mengenal-generasiaktivisme-kita/ diakses pada tanggal 01 Oktober 2015, pukul 15.00 WIB
5
Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Matahari: Yogyakarta, 2004, Hal. 37)
6
93
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Permasalahan pada dekade rezim orde baru tidak dapat disamakan dengan situasi sekarang. Sergapan modernitas yang kini mengepung berbagai lini, menumbuhkan banyak masalah baru. Mashall Berman mengatakan bahwa modernitas tidak hanya ditandai oleh dialektika kebaruan, akan tetapi dialektika kecepatan.7 Situasi yang dihadapkan pada era yang mengagungkan kecepatan menimbulkan menguapnya berbagai masalah yang kemudian seolah lenyap tanpa bekas begitu saja. Dunia yang menggagungkan kebaruan dan percepatan menyasar pada bentuk sosial, kebudayaan dan merangsek masuk pada sendi ekonomi politik. Logika kecepatan dan percepatan dalam ranah ekonomi politik diperbincangkan dalam eksistensi laku lampah kemajuan.8 Kita paksa untuk mengikuti kecepatan yang tak pernah hendaki sebelumnya. Doa pembangunan yang dipanjatkan oleh bangsa Indonesia untuk mewujudkan modernitas secara kafah (sempurna), menuntut kebaruan dan kecepatan. Anak muda diseret-seret untuk mengadaptasi perubahan yang mereka sendiri tidak mengerti perubahan untuk apa dan siapa. Taklid buta sedang diajarkan dalam kurikulum modernitas.
7
Ibid,82
8
Ibid 81
94
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Di sisi lain, Kecepatan teknologi sudah memanjakan ruang komunikasi dan informasi secara massif. Tak usah lagi keluar kamar atau berbincang dengan tetangga apalagi sampai berjibaku turun ke masyarakat, lewat sebidang layar kita sudah bisa mengetahui sajian permasalahan. Realitas sosial seolah-olah sudah dibingkai dalam deret angka dalam tanggga grafik. Sungguh sebuah suguhan yang memanjakan akan kecepatan pengetahuan. Perolehan pengetahuan lewat kemajuan teknologi informasi menjadi sangat efektif untuk menangkap perkembangan yang ada. Namun di pihak lain, menunggalkan teknologi media informasi dengan masih banyaknya keterbatasan terlihat naif dalam membaca realitas sosial. Misalnya saja, pegiat media informasi tidak merepresentasikan semua pihak. Kedua, Framing media yang ditambah dengan berbagai kepentingan di dalamnya menggiring pada dominasi wacana. Maksudnya
penggunaan teknologi yang banyak digandrungi anak muda dalam memperoleh informasi secara otomatis berpengaruh terhadap pembacaan realitas sosial.
Kemajuan teknologi juga digunakan gerakan anak muda sebagai media menyampaikan aspirasi dan respon akan realitas sosial. Gerakan lewat media sosial kian ramai dan diminati anak muda, yang kini dikenal dengan istilah click activism. Informasi dengan cepat tersebar dan memicu satu gerakan online melalui hastag, petisi atau foto profil. Cara gerakan online terbilang sangat efektif dalam membangun wacana publik. Dalam sebuah workshop Youth Camp, AE Priyono menyoroti fenomena click activism sebagai model gerakan baru. Di sisi lain AE Priyono menekankan bahwa perubahan terjadi karena sebuah pembentukan sistem, bukan konstruksi media sosial.9 Mungkin kita dapat mengambil dalam pembacaan atas salah satu masalah kemiskinan. Bagaimana anak muda menganalisis dan merespon kemiskinan yang terjadi di masyarakat? Apakah kemiskinan dinilai sabagai satu masalah sistemik Workshop Mata Muda yang diselenggarakan Transparancy International Indonesia (TII) bulan Desember 2014, Jakarta.
9
95
Jurnal Youth Proactive Vol.2
tanggung jawab sosial atau hanya sekedar merespon rasa iba dan belas kasihan? Ketika melihatnya sebagai satu masalah sistemik artinya masyarakat dijadikan sebagai subjek untuk mengetas masalah yang ada. Namun ketika memperlakukan dengan rasa iba masyarakat hanya menjadi objek. Layaknya tontonan program telivisi yang mengedepankan citra dan mengkomoditikan keibaan tersebut. Merespon dengan rasa iba sebagai bentuk tanggung jawab moral itu wajib, namun mengentaskan kemiskinan ialah masalah tanggung jawab sosial yang sistemik. Berangkat dari pembacaan masalah di atas, kita dapat melihat
kecenderungan gerakan anak muda dalam membaca realitas sosial, apakah lebih menekankan pada gerakan populer atau gerakan yang mengakar pada basis masyarakat dengan menyelesaikan masalah secara sistemik. John Fiske membedakan
antara Perubahan sosial radikal menghasilkan redistribusi pokok kekuasaan dalam masyarakat, sering dideskripsikan sebagai revolusi dan terjadi titik kritis yang tidak sering
terjadi dalam sejarah. Namun perubahan populer adalah proses yang terus menerus berlangsung, ditunjukkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuasaan dari bawah ke atas dari orang-orang dalam sistem. Hal tersebut menghasilkan capaian-capaian kecil bagi kaum lemah.10 Modernitas yang melingkupi ruang realitas sosial sekarang, tidak dapat diacuhkan begitu saja karena ia telah merangsek masuk pada sendi-sendi sosial. Hal ini membuat satu tantangan bagi anak muda dalam menatap modernitas dengan gagah tanpa harus terperosok ke dalam pusaran. Di sisi lain anak muda harus memiliki pembacaan analisa baru akan akar masalah yang ada. Peluang modernitas perlu dimanfaatkan sebagai satu kekuatan baru untuk mencapai satu “kemenangan”. Masyarakat harus menjadi basis gerakan dari situasi yang semakin cair. Gerakan anak muda harus lahir dari ruang realitas dengan membaca masalah dan kebutuhan yang ada di sekitar. Istilah deliberatif gerakan anak muda yang berbasiskan kebutuhan lokal setidaknya dapat menjadi daya tawar dari situasi yang sedemikian cair.
John Fiske, Memahami Budaya Populer, Jalasutra, Yogyakarta, 2011, hal. 219.
10
96
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Mata Muda:
Sudut Pandangnya Anak Muda
97
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dimana Kita, Saat KPK Dilemahkan? Hilmiah Berbagai kasus korupsi yang kian merajalela membuat masyarakat semakin berkoar-koar dilapangan, namun sayangnya hal ini tidak banyak didengarkan. Seperti salah satu kasus korupsi di sekolah yang merupakan hasil temuan dan catatan pengaduan oleh Youth Report Center (YRC) pada tahun 2015 ini, seorang pelapor berinisial P mengadukan sebuah kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak sekolah SMA sederajat di salah satu SMA di Provinsi NTB, dimana terdapat manipulasi atas data empat orang siswa yang tercatat mendapatkan
98
dana sumbangan berupa uang beasiswa sebesar Rp 1.200.000,00/ semester. Manipulasi ini terungkap, setelah ditelusuri ternyata keempat siswa tersebut sudah tidak dianggap lagi sebagai siswa di sana karena mereka menikah di usia anak atau usia sekolahnya. Entah dari mana terbersit niat dan tindakan negatif yang menjurus yang dilakukan oleh pihak sekolah, dana bantuan untuk keempat siswa tersebut bisa dicairkan, dengan cara memanfaatkan empat siswa pengganti lainnya yang masih aktif bersekolah.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Modus yang diterapkan melalui pemalsuan identitas keempat siswa, dimana mereka yang dimanfaatkan dengan disogok sebelumnya oleh pihak sekolah dengan memberikan uang imbalan sebesar Rp 50.000,- dari Rp 1.200.000,- dana yang dicairkan per siswa tadi. Sisa dari dana yang dicairkan semuanya dikantongi oleh pihak sekolah. Berdasarkan laporan yang diterima, sisa dana tersebut tidak diketahui kemana pemanfaatannya oleh siswa yang dimanfaatkan ini. Modus yang ada menunjukkan bahwa empat siswa yang dimanfaatkan ini juga sebelumnya diberikan beberapa kode arahan agar ketika dipanggil oleh pihak bank yang mencairkan dana mereka langsung paham. Keempat siswa di sarankan untuk menghafal nama orang tua siswa yang sudah berhenti sekolah tersebut, sehingga ketika dipanggil identitas palsunya sang siswa pengganti mengangkat tangan, dan ketika ditanya tentang
nama orang tua siswa yang asli, siswa pengganti pun sudah harus menghapalnya, sehingga itu akan memperkuat bahwa benar siswa tersebut adalah penerima dana sumbangan di sekolah. Alhasil, dana tersebut cair dan sudah dikantongi oleh para pihak sekolah yang bersangkutan. Modus-modus korupsi seperti ini dapat dikatakan sudah membudaya dikalangan masyarakat awam atau pedesaan di beberapa daerah di inodnesia ini. Bagaimana tidak,
sebagian besar orangorang yang notabenenya berpendidikan sarjana dan bahkan duduk di kursi pejabat memanfaatkan kepintaran/kebusukan akal fikir untuk merebut hak orang-orang miskin yang ada. Mereka secara sadar
telah melakukan berbagai kasus korupsi kecil-kecilan namun besar dikemudian hari. Apalagi pengaruhnya dimasyarakat pun sangat besar. Jika tetap seperti ini maka secara langsung para pendidikan di sekolah atau orangorang berpendidikan lainnya yang memiliki watak yang sama sepert ini, sudah tentu jelas akan mencetak generasi yang korup, bukan anti korup.
99
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Sangat tentu disayangkan tentunya jika para generasi siswa yang sekolah di tempat tersebut akan dibodoh-bodohi oleh pihak sekolahnya. Karena kekurangan ilmu pengetahuannya tentang korupsi atau awam akan tempat mengadu dan sebagainya,maka sudah tentu jelas semua siswa yang mengenyam pendidikan di berbagai sekolah di Indonesia ini, terutama di daerah pedesaan, akan tutup mata di hadapan kasus yang seperti tadi. Bukan karena mereka merasa takut saja untuk melaporkan sekolahnya, melainkan mereka tidak tahu bahwa mereka dijadikan korban sasaran untuk kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak sekolahnya tersebut. Untuk itu keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk penanganan kasus korupsi yang kian merajalela di negeri kita ini sudah barang tentu jelas diperlukan. Jika KPK dilemahkan dengan kesalahan-kesalahan kecil atau hanya ungkapan negatif dari pihak lainnya, maka lambat laun kasus korupsi tidak hanya terjadi di ranah pendidikan atau pemerintahan saja, melainkan akan lebih besar lagi pengaruhnya keranah lebih besar. Maka dari itu, KPK harus dijaga dan lebih dikembangkan lagi, Karena secara nyata kinerjanya di lapangan sangat positif dalam menanggulangi kasus korupsi, yang mana ditunjukkan dengan 100
adanya beberapa kasus korupsi yang sudah ditangani. Bahkan para koruptor yang notabennya adalah para pejabat kini sebagian besarnya menjadi sasaran pihak KPK untuk segera dijobloskan kepenjara karena tindakan korupsi mereka. Namun, seiring dengan berjalannya aktivitas kerja KPK yang banyak membongkar habis seluk beluk aktivitas korup, membuka kemungkinan bagi adanya kelompok yang anti KPK ini beraksi untuk melawan serta memfitnah KPK. Kelompok ini bahkan akan mencari-cari kinerja yang salah dari KPK. Tentu ini adalah suatu tindakan jahat yang tidak bermoral sama sekali. Karena
Jurnal Youth Proactive Vol.2
kinerja yang memberikan manfaat besar untuk masyarakat dan juga berkontribusi untuk negara justru malah diperangi habis-habisan. Bagi saya, tindakan ini sungguh adalah aktivitas yang salah. Bagi kami para aktivis anti korupsi akan terus peduli dengan agenda anti korupsi, kinerja dari pihak KPK tetap gesit, cepat, dan tegas dalam mengambil langkah atau untuk menjobloskan para koruptor ke penjara sangatlah didukung. Melalui gerakan sosial kelompok muda di berbagai daerah, kami akan turut andil untuk menyuarakan dukungan terhadap kinerja KPK. Karena sebagai aktivis anti korupsi, kami yang terlibat
di Youth Report Center (YRC) yang pro-rakyat, akan terus mengupayakan dan berusaha untuk melanjutkan dukungan terhadap kinerja KPK di tingkat anak akar rumput. Berdasarkan
pemantauan yang ada bahwa melalui media televisi yang menayangkan beberapa kasus korupsi yang sudah ditangani oleh KPK, secara serentak rakyat turut mendukung dengan sepenuh hati agar KPK bisa berkerja lebih luas dan lebih gesit lagi. Jadi, secara langsung masyarakat yang notabenenya tidak berpendidikan pun mengerti dan paham apa itu korupsi yang secara sederhana dipahami sebagai “ngambil uang rakyat”, dengan kata yang demikian, otomatis rakyat pun sadar bahwa mereka juga tengah menjadi korban dari tindakan korupsi, sehingga secara serentak mereka mempunyai kepentingan untuk mendukung keberadaan dan kerja KPK, bukan sebaliknya.
Sebagaimana pernyataan yang diungkapkan oleh Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amien Rais, ia menyatakan sikapnya untuk menolak kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan “Saya menentang setiap usaha yang datang dari mana pun untuk melakukan kriminalisasi terhadap KPK,” kata Amien di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 6 November 2009.1 Bersama dengan kelompok masyarakat yang luas, pernyataan ini tentu saja sangat kami dukung dan acungi jempol. Bagi kami, siapapun yang menyuarakan akan dukungannya terhadap kinerja KPK serta menolak kriminalisasi KPK, kami turut berbaris bersama mereka. Dengan catatan mereka yang bersuara tidak hanya sekedar berkehendak melainkan merealisasikan apa yang menjadi kehendak tersebut dalam tindakan nyata, bukan sebaliknya. Sehingga dengan kita berada di posisi yang tepat yakni di barisan peduli KPK.
Dikutip dari http://politik.news.viva.co.id/news/ read/103453tolak_kriminalisasi_kpk___demonisasi_polri
1
101
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Bertindak Cerdas untuk Melawan Kultur Kerja Korup Yam Saroh Berbicara tentang kultur maka tidak akan jauh – jauh dari istilah budaya. Dalam Bahasa inggris istilah budaya disebut dengan “culture” yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “kultur”. Secara semantik pengertian “culture” dalam Bahasa inggris adalah “the way of life, especially the general customs and beliefs, of a particular group of people at a particular time”, yang artinya cara pandang dalam hidup, khususnya yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan, dari suatu kelompok tertentu pada waktu tertentu. Menurut Koentjaraningrat (2003:72) kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian kultur berarti merupakan cara pandang suatu kelompok terhadap hidup yang diakui bersama oleh kelompok tersebut, yang mencakup cara berpikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak diwaktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kultur itu bersifat dinamis, terdapat kemungkinan untuk berkembang dan meluas atau bahkan sebaliknya tergantikan dan terhapuskan. Pada dasarnya kultur tidak hanya mencakup gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat tetapi juga yang berdampak negatif, salah satu contohnya adalah kultur korup.
102
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Apa itu korup? Kata korup berkaitan erat dengan istilah korupsi dan koruptor. Secara umum kita sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan tidak bermoral yang dengan sengaja menggunakan wewenang dan kekusasaan untuk kepentingan pribadi dengan niat untuk memperkaya diri sendiri. Menurut Kemdikbud dalam bukunya pendidikan anti korupsi memberikan pengertian korupsi sebagai perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya dan koruptor adalah oknum/ orang yang melakukan tindakan korupsi. Dalam buku yang sama Kemdikbud menjelaskan korup adalah sifat busuk yang diidentikkan dengan sifat yang suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
kultur korup adalah cara pandang, gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dengan cara yang busuk, dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatan yang disandang untuk kepentingan pribadinya sendiri. Dengan
demikian
Di negeri kita tercinta, Indonesia, dunia
103
Jurnal Youth Proactive Vol.2
kerja seolah sudah terikat dan tidak terlepas dari kultur korup. Hal ini tidak hanya merambah dunia kerja pemerintahan namun juga sudah merambah ke kehidupan masyarakat kecil dan awam. Salah satu buktinya adalah budaya memberikan sejumlah uang hanya untuk memastikan bahwa lamaran pekerjaan yang diinginkan di perusahaan yang dituju diterima. Jadi di daerah tempat tinggal saya ada sebuah perusahaan kayu yang dianggap bonafit oleh masyarakat, dan mereka beranggapan bahwa jika ada orang yang bisa melamar pekerjaan dan diterima bekerja disana maka hidupnya akan sejahtera. Pandangan masyarakat yang demikian ternyata oleh beberapa oknum dari mandor disana dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan dari orang – orang yang melamar pekerjaan disana. Tepatnya ada salah satu saudara jauh saya yang melamar di perusahaan tersebut dan harus memberikan uang sebesar dua juta rupiah sebagai syarat jika dia ingin diterima bekerja disana. Oknum mandor tersebut beralibi bahwa hal ini sudah biasa dan semua karyawan baru memang diminta untuk memberikan sejumlah uang yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku koruptif masyarakat kita semakin miris
dan memprihatinkan, karena masyarakat kita sudah mulai memandang tindakan menyogok/ menyuap demi untuk mendapatkan pekerjaan adalah hal yang wajar. Bahkan sebagian masyarakat
menilai itu sebagai wujud terima kasih karena telah diberikan pekerjaan. Pandangan ini sudah mulai
menyimpang dan memberikan ruang gerak yang bebas terhadap para pelaku tindakan korupsi dan semakin membebaskan langkah mereka untuk mengepakkan sayap-sayap korup mereka. Jika dibiarkan maka sudah pasti akan berdampak terhadap kehancuran bangsa kita nantinya. 104
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Masyarakat yang sejak awal mendapatkan pekerjaan sudah memberikan uang suap, maka dapat dipastikan kinerja mereka pun juga akan kurang maksimal. Cara bekerja mereka akan cenderung terpengaruhi bagaimana caranya untuk mendapatkan kembali uang yang telah mereka berikan diawal sebagai jaminan untuk mendapatkan pekerjaan mereka. Maka profesionalisme kerja akhirnya luntur dan tergantikan dengan ambisi untuk mencari uang yang sebanyak– banyaknya sebagai ganti uang mereka yang telah mereka suapkan. Hal ini yang kemudian menjadi virus dan akan terus menyebar dan mengakar hingga ke bawah. Oleh karena itu kita sebagai generasi muda yang menyadari titik pangkal penyebaran kultur korup ini harus mampu membekali dan memahamkan diri tentang pandangan masyarakat kita yang menyimpang, tentang tindakan suap menyuap yang mereka anggap lumrah dan biasa. Cara yang bisa kita lakukan sekarang untuk melawan kultur kerja korup yang sudah mengakar di negara kita ini tidak lagi harus dengan berdemo saja di depan gedung – gedung pemerintahan, tetapi kita juga harus menjadi generasi yang cerdas dan bertindak tegas untuk menghentikan tindak korupsi yang telah mengakar dimasyarakat kita dengan memulainya dari diri kita sendiri.
Lalu cara cerdas apakah yang bisa kita lakukan? Banyak beberapa hal sepele yang dijadikan maklum oleh masyarakat kita yang sebenarnya hal itu menggiring kita menjadi pribadi yang korup, salah satunya adalah kebiasaan telat dan mencontek di sekolah. Dua kebiasaan ini terlihat seperti sudah menjadi hal biasa dilakukan. Bahkan hal yang menyakitkan adalah ketika ada teman yang dengan nada bercanda melabelkan ‘jam karet’ adalah jam Indonesia. Mungkin hal ini terdengar sepela tetapi penghargaan terhadap waktu adalah hal dasar yang menunjukkan nilai kita sebagai manusia yang berprinsip kuat untuk tidak melakukan dan terlibat dalam kultur korup. Hal lain yang semakin menyayat hati adalah tindakan mencontek dan plagiarisme di kalangan siswa dan mahasiswa, hanya demi nilai yang bagus mereka rela mencontek pekerjaan teman mereka dan membawa kunci jawaban pada saat ujian. Hal ini bukan hanya isapan jempol belaka, bahkan saya
pernah melakukan wawancara dan observasi di satu sekolah di daerah tempat tinggal saya
pada saat UNAS masih dijadikan patokan kelulusan siswa; dari 30 siswa di
kelas rata–rata hanya ada 2 sampai 5 siswa saja yang tidak membeli kunci jawaban pada saat ujian nasional. Dari 5 orang
yang tidak membeli kunci jawaban, ada 2 – 3 orang mencontek jawaban temannya. Ketika saya memeriksa kembali dengan beberapa teman yang mengajar di sekolah–sekolah yang lain, ternyata mereka juga menyatakan bahwa hal demikian sudah wajar dan maklum. 105
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dengan alasan UNAS itu titik akhir mereka, dan mereka harus mendapatkan nilai yang bagus agar mereka lulus, sehingga di beberapa sekolah bahkan pembelian kunci jawaban itu dikoordinir oleh siswa dan diketahui oleh guru–guru mereka. Ini artinya kultur korup sudah menggerogoti generasi kita sejak usia muda. Tidak terbayangkan ternyata dari 30 generasi muda, kita hanya mempunyai 2 diantara mereka yang unggul dan tidak korup. 2 dibandingkan dengan 28, jumlah ini sungguh menyayat hati bukan? Cara yang cerdas bagi kita sekarang untuk melawan kultur korup ini adalah dengan menanamkan 9 nilai anti korupsi (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil) minimal dari satuan terkecil (diri sendiri). Jika masing – masing dari kita sadar dan mau sejak dini menanamkan nilai – nilai anti korupsi dalam diri kita masing – masing maka kita juga akan dengan mudah mengkampanyekan sikap anti
106
korupsi kepada lingkungan keluarga dan masyarakat melalui cerminan sikap dan perbuatan kita. Penanaman 9 nilai anti korupsi ini harusnya juga sudah mulai diintegrasikan ke dalam mata pelajaran anak di sekolah, terutama anak ditingkat PAUD, TK dan SD. Anak – anak ditingkat pendidikan tersebut seharusnya ditekankan untuk menjiwai dan mengamalkan 9 nilai anti korupsi tersebut secara bertahap dan berkelanjutan. Jika pondasi awal karakter anti korupsi ini sudah dibangun dengan kokoh pada diri anak – anak Indonesiamaka untuk kedepannya disaat mereka tumbuh menjadi seorang remaja dan dewasa tidak sulit bagi kita untuk menjauhkan generasi penerus bangsa kita dari kultur korup yang telah mengakar.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Hal cerdas lain yang bisa kita lakukan untuk melawan tindakan korupsi yang terjadi di instansi pemerintahan adalah dengan memahamkan diri kita tentang peraturan perundang–undangan yang ada, dan tidak memberikan sela serta kesempatan bagi oknum– oknum koruptor untuk meminta uang kepada kita dengan embel–embel biaya administrasi. Media sosial
bisa menjadi alat bagi kita untuk berbagi dan bertukar pikiran serta pengalaman dengan teman, para ahli dan bahkan dengan pemerintah sendiri tanpa ada ruang yang membatasi. Kita bisa menanyakan atau berbagi pengalaman tentang hal – hal ganjal atau pelanggaran yang berbau koruptif yang terjadi disekitar kita atau bahkan yang kita alami sendiri. Contohnya ketika di jalan raya kita diberhentikan oleh seorang oknum kepolisian dan dengan lantangnya oknum polisi tersebut menilang kita dan meminta sejumlah uang sebagai denda atas tilang yang diberikan kepada kita. Sebagai manusia yang cerdas hendaknya kita menanyakan apa kesalahan kita dan kenapa kita ditilang. Pemahaman terhadap undang–undang peraturan dan pelanggaran lalu lintas di jalan raya juga sangat diperlukan karena dengan begitu kita dapat membedakan surat tilang warna merah dan biru, sehingga kita
mampu menanyakan kepada pihak kepolisian dan meminta surat tilang yang bisa kita bayarkan dendanya melalui bank. Jika kita masih awam terhadap masalah seperti ini, maka memanfaatkan media internet yang ada di ‘smartphone’ untuk mencari informasi dan bertanya kepada ahli atau orang yang dianggap mengerti akan menjadi pemecahan masalah yang cerdas, sehingga kita akan mampu untuk berargumen dan menyampaikan pembelaan kita secara ilmiah dan empiris jika ternyata terbukti oknum polisi tersebut hanya asal – asalan menilang kita untuk mencari uang ceperan. Dengan demikian hal tersebut meminimalkan usaha para oknum koruptor untuk memalak kita dengan alasan peraturan dan perundang-undangan abal–abal.
107
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Memahami dan mengerti setiap detail peraturan dan perundang–undangan yang ada akan membuat kita mampu untuk melawan tindakan korupsi dengan cerdas. Upaya ini tidak lagi membutuhkan otot dan cara kasar yang sering kali merugikan masyarakat kita sendiri. Jika selama ini kita selalu dibodohi dengan rangkaian peraturan dan perundang – undangan yang dibuat sendiri oleh para koruptor, maka kita sebagai generasi emas harus mampu juga membekali diri dengan cara cerdas agar kita tidak bisa lagi dibodohi. Faktor penyebaran kultur korup di negara kita ini sebagian besar terjadi karena kita sebagai masyarakat sering awam
108
dan tidak memahami peraturan dan perundang–undangan kita sendiri, sehingga memudahkan para oknum untuk menjerat kita dengan undang–undang yang tidak jelas. Oleh karena itu pembekalan diri dengan sadar peraturan dan perundang– undangan tindakan korupsi dan anti–korupsi akan menjadi modal untuk kita melawan kultur korup dengan cara diplomatis, dan perlawanan dengan cara ini akan terlihat lebih cerdas dan tidak anarki.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
NEGATIVE LEADERSHIP
sebagai Upaya untuk Mengurangi Pemimpin Korup Yasmin J. Durrani
‘Power tends to corrupt’ adalah salah satu pick-upline paling populer di kalangan aktivis pergerakan anti korupsi maupun para politisi yang mengklaim bersih dari korupsi. Walaupun pick-up line ini kerap dikutip dan diteriakkan kala para aktivis turun ke jalan, tak banyak orang yang mengetahui maksud di balik kalimat tersebut. Ada dua pertanyaan penting di balik pick-upline tersebut, yaitu: how and why does power corrupts leader?
Pada dasarnya, kepemimpinan selalu berpusat pada dua hal yaitu kekuasaan dan pengaruh si pemimpin terhadap massa. Pemimpin memiliki kecenderungan menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk memastikan segala sesuatu berjalan sesuai apa yang mereka harapkan. Hal ini membuat setiap pemimpin terbagi menjadi dua golongan, yaitu socialized power leader dan personalized power leader. Ada perbedaan sederhana pada keduanya. Socialized power leader akan menggunakan kekuasaan mereka untuk menguntungkan kalangan lain, terutama kalangan yang telah memilih mereka. Sementara itu, personalized power leader cenderung mengambil keuntungan pribadi dari kekuasaan yang mereka miliki. Tanpa banyak disadari, kekuasaan membawa dua efek yang kontradiktif terhadap para pemegangnya— kekuasaan bisa membuat para pemimpin lebih asertif dan percaya diri bahwa 109
Jurnal Youth Proactive Vol.2
keputusannya mampu mengubah hajat hidup banyak orang, sementara di sisi lain kekuasaan akan membuat para pemimpin berubah menjadi lebih egosentris. Hal inilah yang membuat pemimpin kerap membuat keputusan yang bias.
Kala memegang kekuasaan, pemimpin cenderung tidak mampu melihat sesuatu dari perspektif rakyatnya—sebuah ironi mengingat para pemimpin kerap mengasosiasikan mereka dengan rakyat kecil kala kampanye. Terdapat sebuah
perubahan pola pikir kompleks pada setiap pemimpin saat mereka akhirnya mendapatkan kekuasaan yang diidamidamkan sebelumnya. Mengapa Pemimpin Korup Cenderung ‘Abadi’? Dalam data yang dikeluarkan oleh Transparency International Global Corruption Report dan Forbes tahun 2004, Soeharto menempati urutan pertama pemimpin paling korup di dunia. Ferdinand Marcos, mantan diktator Filipina, menempati urutan kedua. Peringkat ketiga ditempati oleh Mobutu Sese Seko, diktator Zaire. Dari ketiga mantan pemimpin tersebut, terdapat suatu kecenderungan yang berpola. Ketiga nama tersebut merupakan pemimpin dari negara dunia ketiga (third world country). Selain Soeharto,
Marcos, dan Seko, pemimpin paling korup dunia lainnya cenderung memiliki gaya kepemimpinan otoritarianisme. Mereka memimpin dalam waktu lama sebelum akhirnya turun. 110
Lantas, mengapa para pemimpin korup itu dapat memegang kekuasaan dalam jangka waktu yang lama dan kerap diberikan toleransi oleh rakyatnya? Sejarah evolusi menjelaskan bahwa sebagai social animal, manusia diprogram untuk memimpin dan dipimpin. Semua social animals yang memiliki otak berkapasitas tinggi seperti apes (gorila dan simpanse), serigala, dan manusia dipimpin oleh semacam hierarki yang mendominasi. Setiap individu yang duduk di garis hierarki tersebut memiliki semacam karisma yang membuat individu-individu lainnya mematuhi apa yang mereka perintahkan, walaupun perintah-perintah tersebut bisa jadi berpotensi ‘merusak’ individu yang tidak bersalah (Stanley Milgram: 1967)
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Jean Lipman-Blaumen, seorang profesor Organizational Behavior di Claremont Graduate University telah mempelajari apa yang disebutnya sebagai toxic leaders, alias pemimpin berbahaya. Menurut Blaumen, toxic leaders adalah tipikal pemimpin dengan perilaku destruktif sekaligus disfungsi karakteristik yang memberikan efek serius pada pengikut-pengikutnya. Toxic leaders akan meninggalkan para pengikutnya dengan keadaan yang jauh lebih buruk ketimbang saat mereka mulai mendukungnya. Blaumen percaya bahwa pemimpin-pemimpin paling korup di dunia sekalipun tetap akan dihormati dan ditoleransi karena pada dasarnya manusia memiliki sistem kepercayaan dan pengharapan terhadap
para pemimpinnya. Sistem kepercayaan dan pengharapan tersebut membuat manusia tetap menoleransi tindakan destruktif pemimpinnya karena manusia secara alamiah ingin mendapatkan rasa aman dan diayomi, dua hal yang bisa diharapkan manusia dari manusia lain yang menjadi tipikal pemimpin.
111
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Mencegah Korupsi dengan Psikososial Isu-isu mengenai korupsi seringkali dikaitkan dengan teori psikososial, sebuah konsep psikologi yang menitikberatkan pada lingkungan dan interaksi sosial. Secara praktik, sebuah sistem pemerintahan adalah sistem yang penuh dengan motivasi serta interaksi sosial. Setiap motivasi dan interaksi sosial tersebut berimplikasi pada sifat kepemimpinan yang ada di lingkungan sosial. Sayangnya, sifat kepemimpinan yang ada kerap berbaur dengan kekuasaan tak sehat. Alasannya, kekuasaan membuat seorang pemimpin bersikap impulsif ketimbang memikirkan terbaik terbaik untuk orang lain (Galinsky, Gruenfeld&Magee: 2003). Jon K. Maner dan Charleen R. Case, dua psikolog sosial asal Amerika Serikat mengadakan eksperimen untuk mengetahui bagaimana kekuasaan mampu mengarah kepada sesuatu yang bersifat negatif, atau korup. Pada percobaan ini mereka menyimpulkan
bahwa seorang individu yang telah diberi kekuasaan cenderung berusaha keras untuk mempertahankannya. Karena sifat alamiah
inilah, korupsi dan penyuapan serta berbagai tindakan kriminal relevan akan dilakukan si pemimpin untuk mempertahankan tampuk kekuasaan mereka.
112
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Dalam risetnya, Maner dan Case berargumen bahwa sifat natural
pemimpin untuk bersikap korup dapat dicegah dengan budaya perilaku positive leadership. Hampir setiap pemimpin memiliki sisi insecurity saat mereka menemukan anggota kelompok yang dianggap lebih pintar. Alasannya, anggota
yang lebih pintar seringkali dianggap ancaman serta dipandang sebagai rival tak terduga dari sang pemimpin. Anggota yang cerdas bisa saja ‘membuka kedok’ dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh pemimpin atau bisa jadi anggota kelompok cerdas tersebut memanfaatkan kelemahan pemimpin untuk mendapatkan kekuasaan baru. Inilah yang bisa kita sebut sebagai positive leadership.
113
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Positive leadership dapat diimplementasikan dengan berbagai cara. Pemimpin dapat tetap memberi keputusan dominan walaupun ada anggota yang dianggap lebih pintar dengan catatan pemimpin tersebut mesti memberikan keputusan secara demokratis. Cara ini kerap membuat pemimpin mampu memikirkan keputusan dari perspektif lain (perspektif yang menguntungkan semua pihak, bukan golongannya saja) karena mereka khawatir terdesak posisinya oleh si anggota yang cerdas. Cara ini tentu saja sangat sederhana untuk meminimalisir adanya keputusan subjektif dari pemimpin.
114
Berkurangnya keputusan subjektif tentu saja akan mengurangi kecenderungan munculnya korupsi dan tindakan-tindakan kriminal relevan lainnya. Siapa kira insecurity bisa berperan sebesar ini?
Jurnal Youth Proactive Vol.2
115
Jurnal Youth Proactive Vol.2
PHOTO Gallery
INTEGRITY GOES TO YOU
116
Jurnal Youth Proactive Vol.2
SERI DISKUSI NGOPI
YOUTH CONFERENCE ON ANTI CORRUPTION
117
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Call for Articles! Youth Proactive mengajak kalian yang peduli dan tertarik pada isu antikorupsi, transparansi, akuntabilitas, pendidikan politik, gerakan anak muda (serta isu terkait lainnya) untuk menulis bersama kami!
Ketentuan: Kirimkan tulisanmu ke
[email protected] dengan subyek YouthProactiveNamaPenulis-JudulTulisan
Tulisan terpilih akan dimuat di website atau media publikasi Youth Proactive lainnya, serta diulas di media sosial (Facebook & Twitter) Youth Proactive.
118
o Karya pribadi & orisinil o Bersifat aktual atau eksplorasi o Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik & benar o Diketik dengan jenis font Arial, ukuran 11, spasi 1,5 o Panjang tulisan sekitar 500-1500 kata
Ditunggu ide dan ceritanya!
Stand With Us Against Corruption!
Jurnal Youth Proactive Vol.2
WRITER’S BIO Alia Faridatus Solikha
lahir di Bogor, 9 Juni 1994. Saat ini sedang menjalani kuliah semester akhir program sarjana reguler di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Ilmu Administrasi Negara angkatan 2012. Aktivitas yang diikutinya sampai pertengahan tahun 2015 ini adalah menjadi relawan di sebuah NGO antikorupsi yaitu Transparency International Indonesia. Sebelumnya, Alia juga pernah aktif dalam Forum Studi Islam FISIP UI 2014 dan memegang amanah sebagai Ketua Departemen Kemuslimahan.
Apriliyati Eka Subekti (Lia) adalah mahasiswi tingkat akhir prodi akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Putri kelahiran Batam, 30 April 1995 ini sangat gemar membaca dan menulis berbagai esai. Karena menaruh kepedulian yang tinggi akan hal-hal antikorupsi, Lia aktif dalam komunitas Spesialisasi Anti Korupsi (SPEAK) STAN.
Ardi Yunanto
adalah seorang editor, penulis, desainer grafis, dan pengelola program seni-budaya. Bersama sejumlah rekan, ia pernah menyunting buku Stiker Kota (2008) dan Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta (2013); serta pernah menjadi editor jurnal online Karbon dari 2007 hingga 2013 dan pemimpin redaksi proyek majalah kehidupan pria Bung! (2011-2012). Selain bekerja lepas, sejak 2015 ia menjadi salah seorang pengelola Institut ruangrupa—divisi edukasi baru di ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta.
119
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Donny Ardyanto adalah direktur Penelitian dan Pengembangan di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sebelum bergabung YLBHI, ia aktif di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) sebagai Peneliti Senior di isu korupsi dan reformasi sektor keamanan. Saat ini Donny juga masih menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi Partai Serikat Rakyat Independen (PSRI). Di YLBHI, Donny memfokuskan diri pada penelitian kebijakan, terutama di bidang hak asasi manusia, reformasi sektor keamanan, dan akses terhadap keadilan di Indonesia. Donny juga mewakili YLBHI sebagai Co-Chair di Kelompok Kerja Nasional Piloting Goal 16 Sustainable Development Goals (SDGs). Donny telah bekerja dengan beberapa LSM antikorupsi dan HAM sejak masih berstatus mahasiswa di Jurusan Kriminologi FISIP UI, antara lain di Indonesia Corruption Watch, KontraS, berantaS, GeRAK Indonesia, dan Imparsial. Dia juga memperolehgelar Master dalam bidang Manajemen Pembangunan Sosial dari Universitas Indonesia.
Fadhil Fadhli lahir di Kabupaten Jenepoto, 1 Februari 1993. Pria yang akrab disapa Fadhil ini menempuh pendidikan S1 di STIE UniSadhuGuna (Business School) dengan beasiswa penuh. Fadhil juga dipercaya menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Microeconomics. Pada tahun 2013-2014, dia menjabat sebagai wakil ketua badan eksekutif mahasiswa. Pria yang menghabiskan 18 tahun hidupnya di Sulawesi Selatan ini memiliki kemahiran dalam bermain musik salah satunya gitar.
120
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Hilmiah adalah seorang aktivis muda dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sejak 2010, dia menjadi satusatunya wanita yang memiliki keterlibatan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kesibukan lainnya, Hilmiah merupakan volunteer di Youth Report Center, project inisiasi Youth Department Transparency International Indonesia, dan menjadi konselor desa dengan wilayah kerja Kabupaten Lombok Barat. Hilmiah memiliki tujuan hidup untuk selalu berkontribusi aktif dalam gerakan pemuda dan memajukan perempuan serta kaum marjinal.
Hizkia Yosie Palimpung
saat ini sibuk sebagai peneliti dan direktur riset di Purusha Research Cooperative. Kesibukan lain adalah menyelesaikan studi doctoral di Departmen Filsafat Universitas Indonesia. Pria yang akrab disapa Yosie ini juga merupakan seorang penulis aktif di Harian Indoprogress. Sosoknya sangat terkenal karena tulisannya yang sangat kritis terkait kapitalisme global kontemporer, tata dunia dan psikoanalisis. Sejak tahun 2011, dia menjadi dosen di beberapa universitas ternama di Indonesia salah satunya adalah Universitas Indonesia. Yosie menyelesaikan studi sarjana dari Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Airlangga pada tahun 2008 dan program pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia di tahun 2010.
121
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Maulida Raviola lahir di Denpasar, 14 Maret 1989. Ia menamatkan program studi S1 Sosiologi di Universitas Indonesia tahun 2012 dan sempat bekerja untuk beberapa program anak muda yang diselenggarakan oleh Oxfam & Hivos (2012) dan Yayasan Jurnal Perempuan (2009 – 2012), sebelum akhirnya bersama beberapa temannya ikut mendirikan Pamflet, sebuah organisasi anak muda yang bertujuan untuk mendukung dan memperkuat pergerakan anak muda di Indonesia untuk perubahan sosial & budaya. Saat ini, ia menjabat sebagai Koordinator Umum Pamflet, setelah sebelumnya menjabat sebagai Koordinator Divisi Youth Movement (2013-2015) dan Koordinator Divisi Youth Studies (Maret-Juli 2015) di Pamflet. Selain isu anak muda, Maulida juga memiliki ketertarikan terhadap tema-tema seperti kajian budaya (cultural studies), serta gender dan feminisme. Ia dapat dikontak melalui e-mail di
[email protected].
Muhamad Isomuddin
lahir pada 1 Maret 1992 di kota Cirebon, Jawa Barat. Ia masih berproses belajar dalam kehidupan kampus di jurusan Akidah Filsafat di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nur Djati kota Cirebon. Aktivitas kesehariannya adalah menghabiskan waktu dengan organisasi anak muda SOFI Institute (Social Movement for Indonesia), dimana ia diberi kepercayaan untuk menjadi Direktur Utama-nya. SOFI Insititute menjadikan pemberdayaan masyarakat sebagai isu strategis dalam setiap langkahnya. Mempelajari kohesi sosial dan memetakan desa menjadi salah satu bidang yang ditekankan untuk menuju isu strategis SOFI Institute. Selain bergulat di dunia organisasi, ia juga berdagang di pasar tradisional. Untuk menjalin pertemanan, dapat menghubungi
[email protected] untuk menentukan warung kopi mana yang akan dikunjungi.
122
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Titi Anggraini saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Sebelum di Perludem, ia pernah menjadi Ketua Tim Asistensi/Tenaga Ahli di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dari tahun 2008-2010. Lahir di Palembang, 12 Oktober 1979, ia merupakan lulusan program pascasarjana Fakultas Hukum UI pada tahun 2005. Saat studi S1-nya, ia terpilih sebagai Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Hukum UI. Di luar kesibukannya di Perludem, ia juga seorang penulis yang giat. Salah satu publikasinya adalah “Buku Pengawasan Pemilihan Umum 1999: Pertanggungjawaban Pengawas Pemilihan Umum Tahun 1999 Tingkat Pusat”, yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1999.
Yam Saroh lahir di Jombang, 29 April 1989. Saat ini dia sedang menempuh program pascasarjana di Universitas Negeri Malang jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Kesibukan lainnya, dia merupakan seorang pengajar di Universitas Kristen Cipta Wacana (UKCW). Bersama teman-temannya, dia mendirikan komunitas sosial bernama Suara Difabel Mandiri di Jombang, sekaligus menjabat sebagai wakil ketua. Selain bergerak di dunia difabel, Saroh merupakan manager di Komunitas Lingkungan Rumah Hijau.
123
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Yasmin J. Durrani adalah mahasiswi berusia 18 tahun yang sedang mengambil kuliah jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan di Universitas Pendidikan Indonesia. Yasmin pernah menjadi perwakilan di Youth Integrity Camp 2014. Sosok wanita periang kelahiran 21 Maret 1997 ini berasal dari Bandung dan sangat menggemari musik bergenre Britpop. Diluar kesibukan kuliahnya, dia sedang mencoba untuk mempelajari dunia sepak bola dan menjadi penulis feature sepak bola yang baik. Tim sepak bola favoritnya adalah Tottenham Hotspurs.
Yudi Adiyatna adalah adalah mahasiswa semester
akhir Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelum masuk di dunia perkuliahan, Yudi pernah menjadi buruh di salah satu warehouse retail terbesar di Indonesia. Pengalaman kerasnya ini yang memberikan tekad penuh untuk melanjutkan pendidikan dan bergelut di dunia sosial. Saat ini Yudi aktif di Youth Proactive Transparency International Indonesia (TII) untuk mengkampanyekan dan melakukan gerakan antikorupsi di kalangan anak muda. Yudi memiliki ketertarikan terhadap isu demokrasi, lingkungan hidup dan pendidikan. Yudi merupakan seorang alumi Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan dan training Environmentalist WALHI, terhitung sejak tahun 2012. Kesibukan lainnya adalah kegiatan advokasi lingkungan hidup seperti penolakan penambangan pasir laur di Serang Banten dan penolakan reklamasi di Teluk Jakarta. Pria ini memiliki hobi menanam mangrove di tepi pantai dan mengajar di Taman Baca yang dikelolanya.
124
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Editor Muhammad Ridha, atau biasa disapa “Ridho”, merupakan Chief Editor Left Book Review (LBR) IndoProgress dan Editor Jurnal IndoProgress. Ridho baru saja menyelesaikan Program Pascasarjana Magister di Sir Walter Murdoch School, Murdoch University pada tahun 2015 ini dengan konsentrasi di bidang Studi Pembangunan. Pada tahun 2008, ia mendapat gelar sarjana (S1) dari Jurusan Ilmu Politik FISIP UI. Lahir di Jakarta, 18 November 1986, Ridho merupakan anggota Partai Rakyat Pekerja dan pernah menjadi peneliti di Pusat Kajian Politik UI. Di luar kesibukannya sebagai editor dan peneliti, ia juga aktif menjadi pembicara di berbagai forum; salah satunya World Social Forum di Dakkar, Senegal pada tahun 2011.
Layouter Syennie Valeria lahir dan besar di Bogor. Pada tahun 2005 ia memutuskan pindah ke Jakarta untuk melanjutkan studi jurusan Desain Komunikasi Visual. Awalnya, ia lebih banyak membuat ilustrasi dan menjadi Best Junior Illustrator di Indonesia Graphic Design Awards 2009. Setelah 3,5 tahun menjadi desainer grafis di advertising agency lokal dan multinasional, kini ia lebih banyak mengerjakan proyek yang berhubungan dengan grafis/konsep kreatif dan menjadikan ilustrasi hanya sebagai hobi. Saat ini ia menikmati hidup dengan bekerja sebagai freelancer. Beberapa karyanya dapat dilihat di www.syeva.blogspot.com atau instagram @syvalerie.
BEHIND THE JOURNAL 125
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Tim Penyusun Pradipa P. Rasidi Lulus dari Ilmu Politik Universitas Indonesia dengan fokus kajian agama dan politik. Pernah ikut serta di Forum Studi Islam FISIP UI dan Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPCI), serta membantu pengembangan JariUngu.com, database anggota parlemen untuk Pemilu 2014. Selain gemar membaca, bermain biola, dan rajin menabung, Pradipa juga suka menulis: pernah menulis di The Jakarta Post dan Koran Tempo, tapi lebih sering menggerutu di Facebook dan Twitter. Saat ini mengelola media sosial dan website Youth Department Transparency International Indonesia sambil masih menekuni pengembangan website (UI/UX design).
Rukita Widodo, seorang pecinta musik dan film yang lahir pada tanggal 30 Oktober 1989. Setelah lulus dari Sosiologi UI pada tahun 2012, ia mengawali pengalaman kerjanya di Pamflet, sebuah organisasi non-profit yang bergerak di bidang kepemudaan dan HAM. Kerjanya di Pamflet telah menghubungkannya dengan organisasi non-profit lain seperti Yayasan Rumah Energi, UNICEF, Transparency International Indonesia, dan Public Virtue Institute. Sejak September 2014 hingga sekarang, ia bekerja di Transparency International Indonesia sebagai Youth Program Officer. Terkadang ia mengisi waktu luangnya dengan volunteering di bidang film.
126
Rienta Primaputri merupakan relawan aktif di Youth Proactive angkatan 2 sejak tahun 2014. Dia banyak bergulat dalam pengurusan sosial media dan pembuatan Jurnal Youth Proactive. Di luar kesibukan menyelesaikan pendidikan Strata 1 di President University jurusan Hubungan Internasional, mahasiswa aktif yang berdomisili di Bekasi ini juga merupakan pengurus inti dari organisasi Internasional bernama ASEAN Youth Organization HQ. Pada tahun 2014, dia mendapatkan penghargaan sebagai Youth Global Ambassador setelah menyelesaikan project penelitian ‘Horreya’ bersama Arab Program for Human Rights Activists di Mesir yang difasilitasi oleh AIESEC American University Cairo. Disamping kegemarannya membaca Journal of Democracy, dia adalah seorang penikmat seni.
Jurnal Youth Proactive Vol.2
127
Jurnal Youth Proactive Vol.2
Jalan Senayan Bawah no. 17, Blok S, Rawa Barat, Jakarta 12180 T: 021 - 720 8515 | F: 021 - 726 7815 www.ti.or.id | www.youthproactive.com @TIIndonesia | @YouthProactive 128