Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
RANCANGAN PEMENUHAN PROSES PERMINTAAN INTERNAL DAN PENDISTRIBUSIAN SEDIAAN FARMASI (OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN) PADA JASA LAYANAN KESEHATAN DI KOTA SURABAYA Abi Hanif Dzulquarnain | Indrianawati Usman, dan Yetty Dwi Lestari Free Researcher | Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga ABSTRAK Pada industri kesehatan, aktivitas rantai pasokan yang terkait dengan produk farmasi (obat-obatan dan bahan habis pakai medis) sangat penting untuk memastikan pengobatan standar yang tinggi bagi pasien dan memberikan pasokan produk farmasi yang cukup untuk apotek. Tujuan dari reseacrh ini adalah untuk menggambarkan proces pemetaan penyelidikan internal dan distribusi untuk produk farmasi yang berkembang antara Dinas Kesehatan Kota Surabaya Satuan Farmasi, Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), dan Puskesmas bersama dengan isu-isu kemudian merumuskan proposal untuk aliran proses mengurangi masalah. Metode penelitian berdasarkan studi kasus cross sectional dengan analisis deskriptif kemudian dilakukan dengan metode analisis kuantitatif atau kualitatif. Semua data telah dikumpulkan kemudian dianalisis dasar konsep proses pemetaan Data Flow Diagram (DFD) sebagai proses pemetaan rantai pasokan cocok untuk produk farmasi. Hasil penelitian menunjukkan ada 4 (empat) masalah pada proses rantai pasokan produk farmasi, mereka (1) ketersediaan stok produk farmasi di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), (2) kemampuan pasokan produk farmasi dari Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), ( 3) akurasi perencanaan produk farmasi dari Puskesmas, dan (4) defisit produk farmasi di Puskesmas. Farmasi proses rantai pasokan produk dalam pelayanan kesehatan di kota Surabaya perlu renovasi dan meningkatkan. Data dan informasi integrasi kemudian bertukar antara Dinas Kesehatan Kota Surabaya Satuan Farmasi, Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), Dan Puskesmas adalah kunci utama dan fokus untuk mengurangi atau meminimalkan masalah saat proses rantai pasokan produk farmasi. Kata kunci: Proses Pemetaan, produk farmasi (obat-obatan dan medis habis), layanan healtcare, rantai pasokan Kesehatan ABSTRACT On healthcare industries, supply chain activity that related with pharmaceutical product (drugs and medical consumables) was very important to ensure high standard treatment for patient and provide sufficient pharmaceutical product supply to drugstore. The purpose of this reseacrh was to depict mapping proces of internal inquiry and distribution for pharmaceutical product evolving between Dinas Kesehatan Kota Surabaya Unit Farmasi, Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), and Puskesmas along with the issues then formulate a proposal for process flow reduce the issues. The research method based on cross sectional case study scheme exert descriptive analysis then utilized with analytical method either quantitative or qualitative. All data have collected then analyzed base on mapping process concept Data Flow Diagram (DFD) as a suitable supply chain mapping process for pharmaceutical product. Research result shown there were 4 (four) issues on pharmaceutical product supply chain process, they were (1) pharmaceutical product stock availability in Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), (2) pharmaceutical product supply ability from Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), (3) the accuracy of pharmaceutical product planning from Puskesmas, and (4) pharmaceutical product deficit at Puskesmas. Pharmaceutical product supply chain process in healthcare service at Surabaya city need remodelling and improving. Data and information integration then exchange between Dinas Kesehatan Kota Surabaya Unit
- 164 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Farmasi, Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), dan Puskesmas is main key and focus to reduce or minimalize current issues on pharmaceutical product supply chain process. Keywords : Mapping process, Pharmaceutical product (drugs and medical consumables), Healtcare services, Healthcare supply chain
PENDAHULUAN Dalam kurun beberapa dekade terakhir, sektor pelayanan kesehatan telah berubah dengan cepat. Banyaknya sektor pelayanan kesehatan mengakibatkan meningkatnya persaingan dan kebutuhan untuk mampu memberikan pelayanan yang lebih efektif dan efisien menjadi faktor kunci. Banyak sektor pelayanan kesehatan memulai proyek-proyek dibidang logistik pasien, clinical pathway, maupun pertukaran data dan integrasi vertikal (Aptel and Pourjalali, 2001). Dalam industri kesehatan, rantai pasokan yang terkait dengan produk farmasi sangat penting dalam memastikan standar yang tinggi perawatan untuk pasien dan memberikan kecukupan pasokan obat untuk apotek (Mustafa and Potter, 2009). Negara Indonesia sebagai salah satu Negara dunia dengan jumlah penduduk terbanyak, menghadapi tantangan dalam bidang kesehatan, salah satunya adalah masalah penyediaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan). Oleh karenanya, kontrol terhadap seluruh supply chain tersebut menjadi lebih sulit dibanding industri manufaktur lainnya (Kiely, 2004). Semakin panjang dan dinamis rantai pasokan tersebut, maka aktivitas forecasting dan demand planning menjadi sangat penting (Mustamu, 2007). Pelayanan Kesehatan di Kota Surabaya dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya (DKK), dengan dibantu oleh 2 (dua) Unit Pelaksana Teknis (UPT) yakni Puskesmas dan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). Dinas Kesehatan Kota Surabaya sebagai satuan Dinasp pelaksana tata laksana teknis dan administrasi kesehatan berwenang dalam melakukan pengadaan (purchasing) seluruh kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan ke distributor melalui sistem lelang (tender). Selain itu Dinas Kesehatan Kota Surabaya juga berperan dalam mengatur prsediaan obat dan perbekalan kesehatan selama 1 tahun dan tahun berikutnya. Konsep persediaan yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya adalah dengan menggunakan konsep pull, dimana hal ini menunjukkan Dinas Kesehatan Kota Surabaya memaksimalkan jumlah
kebutuhan data yang terdapat dilapangan guna dapat dirumuskan atau diformulasikan jumlah kebutuhan yang mampu dipenuhi oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Konsep pull yang digunakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya saat ini menyebabkan masalah terkait dengan persediaan dari sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan), yakni masalah yang berhubungan dengan pendistribusian dari sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dan masalah yang berhubungan dengan permintaan internal dari sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan). Hospital/ Clinic Primary Manufacture
Secondary Manufacture
Manufacture Distribution Centre
Inventory Mass production
Wholesaler
Inventory Push production
Pharmacy Pull production
Source: Based on Shah (2004) and Morton (2003)
Gambar 1. Alur rantai pasok (supply chain) dalam bidang pelayanan kesehatan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan gambaran alur proses permintaan internal dan pendistribusian sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang melibatkan antara Dinas Kesehatan Kota Surabaya Unit Farmasi, Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), dan Puskesmas beserta hambatan dan kendala didalamnya, serta memformulasikan usulan alur proses yang dapat mengurangi hambatan dan kendala tersebut. Healthcare Supply Chain Lingkungan rantai nilai (value chain) semakin menantang adalah menempatkan tekanan pada organisasi kesehatan untuk mencari peluang untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya sambil terus meningkatkan kualitas pelayanan (Hanna dan Sethuraman, 2005). Supply chain management jauh lebih kompleks dalam perawatan kesehatan dari industri lain karena dampak terhadap kesehatan masyarakat yang membutuhkan pasokan medis yang
- 165 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
memadai dan akurat sesuai dengan kebutuhan pasien (Beier, 1995). Meskipun demikian, masih terdapat kesempatan yang signifikan untuk meningkatkan kinerja pada keseluruhan rantai pasokan (McKone-Manis et al., 2005). Sejumlah teknik manajemen supply chain yang berbeda telah diadopsi dalam beberapa tahun terakhir, namun hambatan dalam mengimplementasikan konsep tersebut masih terjadi. Sektor kesehatan tampaknya memiliki keunikan dalam melaksanakan praktik konsep manajemen supply chain. Beberapa penulis (McKone-Manis et DINAS KESEHATAN KOTA SURABAYA
GUDANG FARMASI KESEHATAN (GFK)
Delivering (pengiriman sediaan farmasi sesuai dengan dokumen dan kontrak tender)
Gudang utama GFK (replenish antara bulan 7 - 12 tiap tahun)
Distributor sediaan farmasi (penentuan distributor dilakukan dengan tender, beserta seluruh dokumen pembelian menggunakan prinsip tender)
Order process (menetapkan jumlah dan jenis sediaan farmasi) hingga tengah tahun)
Order decision (menetapkan jumlah dan jenis sediaan farmasi) (dilakukan pada awal tahun)
al., 2005) beberapa titik hambatan seperti kurangnya dukungan eksekutif, ketimpangan atau konflik kepentingan, kebutuhan akan pengumpulan data dan pengukuran kinerja, serta kurangnya pendidikan antara organisasi dengan mitra rantai pasokannya. Meskipun perilaku dinamis diamati dalam healthcare supply chain (Samuel et al, 2010) hambatan praktik terbaik terhadap efisiensi dalam rantai pasokan masih berlaku seperti: tujuan yang saling bertentangan, kurangnya keterampilan dan pengetahuan SCM, teknologi berkembang, preferensi dokter, kurangnya standar kode, dan berbagi informasi terbatas (Callender dan Grasman, 2010).
Penggunaan sediaan farmasi di Pustu, Posyandu, dan Pusling
Penggunaan sediaan farmasi di Puskesmas induk
Inventory monitoring sediaan farmasi di gudang Puskesmas (dilakukan harian sampai bulan ke-2)
Penerimaan LPOPO Puskesmas (waktu tunggu administrasi 3-4 hari)
Permintaan sediaan farmasi (dilakukan 1 kali dalam 2 bulan menggunakan LPLPO)
Order checking (ketersediaan sediaan farmasi di gudang utama) Order preparation (menyiapkan sediaan farmasi berdasar LPLPO) Confirmation and delivering (waktu tunggu 3 - 7 dari waktu administrasi)
Inventory replenishment (pengecekan jumlah dan jenis sediaan farmasi diterima)
Gudang obat Puskesmas induk Data pooling (merekap perencanaan kebutuhan sediaan farmasi tahunan Puskesmas) (dilakukan pada tiap akhir tahun)
Gudang obat Pustu, Posyandu, dan Pusling
Inventory monitoring sediaan farmasi
Gambar 2. Alur proses sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan)
Shah (2004) mengemukakan bahwa dalam menerapkan kajian rantai pasok dalam bidang pelayanan kesehatan, terdapat beberapa elemen-elemen didalamnya. Elemen-elemen tersebut didapatkan berdasarkan hasil kajian-kajian ilmiah peneltian yang dilakukan oleh beberapa atau sekelompok peneliti yang menghendaki jawaban untuk menerapkan sistem manajemen rantai pasok dalam bidang jasa pelayanan kesehatan. Berikut akan dijelaskan elemen-elemen tersebut. 1. Product live cycle Setelah bahan aktif dipatenkan, mungkin diperlukan waktu delapan tahun untuk mengembangkan produk menjadi sesuatu yang dapat dipasarkan (Papageorgiou et al., 2001).
Setelah paten berakhir, produk alternatif dapat memasuki pasar, atau perusahaan dapat mengurangi harga produk (Lauer, 2004). Teknologi baru memperpendek siklus hidup (McKone-Manis et al., 2005), menciptakan tekanan baru pada saluran distribusi. 2. Profit margin Produk farmasi yang memiliki nilai yang tinggi per unit, margin operasi kecil di sektor grosir khususnya (Morton, 2003). Salah satu penyebab dari hal ini adalah kontrol atas harga yang diselenggarakan oleh rumah sakit, pengecer dan produsen (Lauer, 2004).
- 166 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
3. Forecasting Sulit untuk memprediksi kebutuhan yang tepat untuk obat. Salah satu masalah adalah ketersediaan data yang akurat tentang konsumsi. Namun, kurangnya tata nama standar untuk produk kesehatan, ditambah preferensi dokter menciptakan ketidakpastian lebih lanjut (Lauer, 2004, McKone-Manis et al., 2005).
4. Lack of supply chain education Kesadaran konsep manajemen rantai pasokan, terutama di dalam rumah sakit, rendah (Lauer, 2004). Oleh karena itu, manajer tidak benar dilengkapi untuk mengontrol persediaan obat.
METODE PENELITIAN Berdasarkan sistem analisisnya termasuk penelitian deskriptif. Dengan metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal (west, 1982). Jenis penelitian deskriptif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif self report research, dimana data yang dikumpulkan berasal dari satu orang atau peneliti sebagai observer dengan menggunakan lembar observasi.
Dalam penelitian self-report ini akan menggunakan teknik observasi secara langsung, yaitu individu yang diteliti dikunjungi dan dilihat kegiatannya dalam situasi yang alami. Berdasarkan metode analisis penelitian ini menggabungkan antara metode analisis kuantitaif dan kaulitatif, dimana analisa kuantitatif digunakan untuk mendukung traingulasi data yang dilakukan melalui metode analisis kualitatif.
Pedagang Besar Farmasi (PBF) Wholeseller
Dinas Kesehatan Kota Surabaya Unit Farmasi
Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) 1. Alur dan proses penerimaan obat dari PBF 2. Alur dan proses penerimaan pesanan obat dari Puskesmas 3. Alur dan proses pendistribusian obat ke
Isu proses supply chain
1. Proses dan alur pemesanan obat ke GFK 2. Proses dan alur pendistribusian obat dalam Puskesmas
Isu proses supply chain Puskesmas (UPT) 1. 2. 3. 4. 5.
Wilayah Surabaya Utara Wilayah Surabaya Timur Wilayah Surabaya Pusat Wilayah Surabaya Selatan Wilayah Surabaya Barat
Persepsi : 1. Kualitas obat dikirim oleh GFK 2. Capat tanggap GFK 3. Proses pemesanan dan
Desain proses kegiatan Supply Chain sediaan farmasi di Kota Surabaya
Usulan rancangan desain proses Supply Chain sediaan farmasi Kota Surabaya
Gambar 3. Kerangka Penelitian
- 167 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Data Primer Data primer merupakan utama yang dihasilkan dari hasil interview dengan pelaku di sektor kesehatan baik di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit farmasi, Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), maupun Puskesmas. Data primer menggunakan instrument interview berupa kuisioner dengan sifat semistructured dan structured (Cooper dan Schindler, 2011). Semistructured interview diberikan kepada pemangku kepentingan tertinggi di masing-masing lokasi penelitian. Pada lingkungan Dinas Kesehatan unit farmasi, kuisioner interview diberikan kepada kepala unit kefarmasian dan kasi/ kasubag bagian perencanaan dan pengadaan (purchasing) sediaan farmasi. Pada lingkungan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) kuisioner interview diberikan kepada kepala GFK dan penanggung jawab pada bagian administrasi, penerimaan obat, dan pendistribusian obat. Pada lingkungan Puskesmas kuisioner interview diberikan kepada apoteker Puskesmas sebagai penanggung jawab utama sediaan farmasi di Puskesmas. Structured interview diberikan kepada staff maupun tenaga lainnya selain pemangku kepentingan dimana informasi yang diberikan akan mendukung informasi yang diberikan oleh pemangku kepentingan tertinggi. Pada lingkungan Dinas Kesehatan Kota Surabaya Structured interview tidak diberikan. Pada lingkungan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) diberikan kepada staf selain pemangku kepentingan tertinggi dan penanggung jawab bagian. Pada lingkungan Puskesmas diberikan kepada asisten apoteker dan apoteker penanggung jawab. Data Sekunder Data sekunder merupakan data berupa hasil laporan, rekap, maupun catatan yang berkenaan dengan sediaan farmasi. Pengambilan data sekunder dilakukan di 3 (tiga) lokasi penelitian baik di Dinas Kesehatan Kota Surabaya, lingkungan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), maupun Puskesmas. Pada lingkungan Puskesmas data sekunder yang dikumpulkan yakni dokumen LPLPO (Lembar Permintaan dan Lembar Pemakaian Obat) dalam kurun waktu 3 tahun terhitung semenjak tahun 2012-2014 dan dokumen PK-IK (Prosedur Kerja – Instruksi Kerja) sebagai dokumen yang digunakan dalam penatalaksanaan teknis di unit Apotek. Pengolahan dan Analisa Data Secara Kuantitatif Pengolahan dan analisa data secara kuantitatif merupakan bentuk pengolahan dan analisa untuk melihat pengaruh antara kinerja pelayanan kefarmasian di
Puskesmas dan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dengan isu permasalahan dalam proses pemesanan dan pendistribusian sediaan farmasi. Metode analisa kuantitatif menggunakan pendekatan cut of point, Tam et al (2001) membuat sebuah metode untuk memastikan derajat kebutuhan kriteria. Kuesioner yang berisi kriteria-kriteria yang ada dibagikan ke sejumlah responden yang memiliki pengalaman dan keahlian di bidang inventori untuk diberikan penilaian. Penilaian dibagi menjadi 3 (tiga) dimana bila suatu elemen dinilai sangat penting (very important) maka akan diberi skor 3, cukup penting (somewhat important) diberi nilai 2, dan tidak penting (not important) diberi nilai 1 [Tam & al 2001]. Seluruh penilaian responden dikumpulkan, kemudian dirataratakan untuk tiap elemen. Seluruh kriteria diurutkan dari nilai tertinggi ke terendah. Kemudian dicari nilai cut off dengan rumus :
nilai maksimum – nilai minimum jumlah kategori
Jumlah kategori adalah 4 skala (kategori penilaian dalam kuisioner).
Process
External Entity
Data Store
Data flow lines
Source: Gane and Sarson (1977)
Pengolahan dan Analisa Data Secara Kualitatif Pendekatan pada studi kasus menggunakan bagan alur, dimana pada bagan alur ini tergambar alur distribusi obat-obatan dimulai dari obat pemesanan obat-obatan hingga obat sampai ke tangan pemesan. Guna memudahkan penggambaran bagan alur, proses alur akan dikonversi kedalam simbol-simbol dimana tiap simbol memiliki makna dan artinya masingmasing. Sajian bagan alur akan memudahkan pembaca untuk menemukan dan menentukan titik mana yang menjadi hambatan dalam pendistribusian obatobatan dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya ke Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) yang akhirnya menuju ke Puskesmas. Pemetaan proses (mapping process) adalah teknik untuk model aliran proses bisnis dalam bentuk grafik untuk memvisualisasikan sebenarnya proses dalam organisasi dan mencari perbaikan agar lebih efektif (Paper et al., 2001). Aguilar-Save'n (2004) memberikan gambaran tentang banyak alat pemetaan proses. Dalam penelitian ini, digunakan Data Flow
- 168 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Diagram (DFD) teknik untuk model kedua Proses manajemen persediaan saat ini dan masa depan dalam organisasi. Recker et al. (2006) mempelajari perbedaan kemampuan representasi seluruh proses menuju teknik pemodelan dan menyimpulkan bahwa DFD merupakan salah satu metode terbaik dalam mewakili struktur
sistem. DFD merupakan peta proses yang menggunakan empat simbol yang berbeda dan mewakili komponen utama yakni antara lain (1) entitas eksternal, (2) data yang tersimpan dan disimpan, (3) arus data dan (4) proses.
HASIL DAN PEMBAHASAN
karan informasi dan data antara Puskesmas dengan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) sebagai penyuplai kebutuhan obat FORNAS. Hal ini mengindikasikan perlu ada perbaikan dalam hal pertukaran data dan informasi yang terjalin antara Puskesmas dengan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) yang mengarah menjadi lebih baik kedepan.
Gambar 5.Perbandingan antara kebutuhan obat FORNAS dibutuhkan dengan jumlah diterimakan tahun 2012 - 2014
Hasil studi lapangan menunjukkan adanya ketimpangan selama kurun waktu 3 tahun terhadap kebutuhan dengan jumlah yang dikirim. Gambaran ini menunjukkan bahwa terjadi ketidakharmonisan arus pertu-
- 169 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Perbandingan antara jumlah obat FORNAS terpakai dengan jumlah obat FORNAS diterimakan selama kurun waktu 3 tahun menunjukkan bahwa pemakaian obat FORNAS hampir mendekati dengan jumlah obat FORNAS yang dikirim. Hal ini membenarkan pendapat dari apoteker dan asisten apoteker yang menyatakan bahwasannya obat FORNAS di gudang Puskesmas tidak dapat bertahan hingga jadwal pemesa-nan obat FORNAS berikutnya datang. Selain gambaran tersebut juga membenarkan kejadian kelangkaan obat FORNAS, pengura-ngan jumlah obat FORNAS yang diberikan ke pasien, maupun substitusi obat FORNAS dengan obat lainnya yang memiliki efek dan kandungan yang hampir sama. Secara tidak langsung kondisi ini menunjukkan adanya ketidakharmonisan hubungan pertukaran data dan informasi antara Puskesmas dengan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dimana GFK meskipun mengetahui adanya fenomena tersebut dilapangan namun GFK harus mengambil langkah dan kebijakan untuk tetap harus mensuplai obat FORNAS ke 62 Puskesmas yang ada di Kota Surabaya di tiap bulannya. Oleh karenanya diperlukan hubungan yang mendukung pertukaran data dan informasi antara Puskesmas dengan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) yang mampu meminimalkan fenomena kekuarangan obat FORNAS di Puskesmas, namun GFK masih mampu untuk mensuplai ke seluruh 62 Puskesmas sesuai dengan kebutuhannya. Gambar 6. Perbandingan antara jumlah obat FORNAS terpakai dengan jumlah diterimakan tahun 2012 - 2014
- 170 -
Data flow lines
Data Store
Source: Gane and Sarson (1977)
External Entity
Process
Keterangan :
Gambar 7. Data Flow Diagram (DFD) proses supply chain pelayanan kesehatan di Kota Surabaya
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
- 171 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Gambar 7 tergambar proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang melibatkan 3 (tiga) entitas berbeda yakni Puskesmas, Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dan Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian berdasarkan metode pemetaan proses (mapping process) Data Flow Diagram (DFD). Proses supply chain ketiga entitas tersebut melibatkan 19 (sembilan belas) proses kegiatan dan 11 (sebelas) macam simpanan data (data store). Rangkaian proses supply chain tersebut didapatkan berdasarkan triangulasi data hasil wawancara diketiga entitas tersebut, dan rangkaian proses supply chain sediaan farmasi tersebut selalu sama dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (tahun 2012 – 2014). Secara ringkas kesembilan belas macam proses dan kesebelas macam simpanan data, dapat terangkum kedalam 7 kegiatan proses supply chain. 1. Pooling data Proses supply chain dimulai dari data pooling yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dimana data pooling menggabungkan seluruh permintaan akan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di 62 Puskesmas Kota Surabaya. Data pooling akan dijadikan patokan bagi Dinas Kesehatan untuk menentukan jumlah dan jenis sediaan farmasi untuk pemenuhan pelayanan kefarmasian di Puskesmas selama 12 bulan. 2. Order decision Proses pooling data yang memakan waktu antara 2-3 bulan bagi Puskesmas untuk merekap jumlah kebutuhan dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dibtuhkan selama 12 bulan akan menjadi patokan utama bagi Dinas Kesehatan Kota untuk melakukan order decision. Keluaran dari order decision adalah terpetakan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan), dimana nantinya keputusan dari order decision akan diterjemahkan oleh bagian pengadaan (purchasing). Bagian pengadaan (purchasing) merupakan entitas eksternal Dinas Kesehatan Kota dimana bagian pengadaan merupakan entitas milik Pemerintah Kota Surabaya yang bertugas untuk mengatur jalannya dan mekanisme pelelangan (tender) seluruh kegiatan di instansi Pemerintah Kota. 3. Order process Order process merupakan rangkaian kegiatan terpanjang dimana rangkaian order process memerlukan waktu antara 5 – 6 bulan. Order process sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan)
melibatkan pihak eksternal untuk pemenuhan pengadaan (purchasing) sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yakni distributor kefarmasian (Pedagang Besar Farmasi (PBF)). Hasil dari order process adalah pemenuhan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) sesuai dengan dokumen kontrak pengadaan (purchasing), diamna item sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) akan diantar langsung oleh distributor kefarmasian (Pedagang Besar Farmasi (PBF)) ke Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). 4. Penerimaan LPLPO Puskesmas Penerimaan LPLPO Puskesmas ke Gudang Farmasi Kesehatan merupakan kegiatan rutin bulanan yang dilakukan oleh Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). Dalam LPLPO terdapat rekap jumlah pemakaian sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas, jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) diminta, dan sisa stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Puskesmas. LPLPO yang diberikan ke Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) akan dijadikan sebagai patokan utama bagi Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) untuk menentukan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang akan dipenuhi ke Puskesmas. 5. Order checking dan order preparation Order checking dan order preparation merupakan pasangan proses di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) yang menentukan pemenuhan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) ke Puskesmas. Order checking menekankan pada permintaan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di gudang utama GFK dengan permintaah di LPLPO, sementara order preparation menekankan pada penentuan jumah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) diminta di LPLPO untuk dipenuhi oleh Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) berdasarkan ketersediaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di gudang utama GFK. 6. Confirmation dan delivery Confirmation dan delivery merupakan tahap akhir di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dimana manajemen Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) telah selesai memproses permintaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dan sediaan farmasi (obat dan perbekalan) siap untuk diambil oleh Puskesmas yang bersangkutan.
- 172 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
7. Inventory replenishment dan inventory monitoring
Dengan demikian inventory monitoring akan menghasilkan keluaran berupa data pemakaian sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas, dimana data tersebut akan digunakan oleh Puskesmas untuk menentukan jumlah dan jenis sediaan farmasi yang akan diminta ke Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) untuk dilakukan isi ulang (inventory replenishment)
Inventory replenishment dan inventory monitoring merupakan rangkaian di Puskesmas dimana kedua rangkaian tersebut bertujuan untuk mengontrol sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Puskesmas. Inventory monitoring menekanka pada jumlah dan jenis sediaan farmasi dipakai dan dikeluarkan oleh Puskesmas setiap harinya yang direkap hingga satuan bulan. Keterangan
Process
External Entity
Data Store
Data flow lines
Source: Gane and Sarson (1977)
Gambar 8. Isu permasalahan dalam proses supply chain pelayanan kesehatan di Kota Surabaya
Isu 1. Ketersediaan Stok Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) Isu ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) telah diketahui ketidakmampuannya oleh seluruh Puskesmas di Kota Surabaya. Personil apoteker maupun asisten apoteker Puskesmas telah memberikan pernyataan bahwa stok di Gudang Farmasi Kesehatan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan bulanan penggunaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) real dilapangan. Akibatnya apoteker Puskesmas sering mengganti satu jenis obat kosong dengan jenis obat lain yang memiliki kemiripan, meskipun bertentangan dengan resep yang diberikan oleh dokter Puskesmas. Akibat
lebih lanjut dari isu ketersediaan stok di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) adalah kekosongan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) tertentu dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan pula, sehingga Puskesmas harus menanggung untuk mengganti sediaan farmasi (obat dan perbekalan) yang mengalami kekosongan tersebut dengan jenis sediaan farmasi lainnya atau apabila tidak dapat digamtikan oleh jenis sediaan farmasi lainnya maka dengan terpaksa pasien Puskesmas harus beli secara mandiri di apotek umum. Ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) merupakan nilai yang didapatkan dengan melakukan perhitungan persentase antara penerimaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) puskesmas dari Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dalam kurun
- 173 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
12 bulan dengan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas untuk 12 bulan.
Berdasarkan kondisi ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) pada kurun waktu 3 tahun didapatkan rata-rata ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) kurang dari 50% baik untuk sediaan farmasi obat yang tergolong satuan FORNAS, satuan non FORNAS, dan non obat. Kurangnya ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) hingga mencapai setengah dari jumlah yang seharusnya ada dan tersedia di gudang utama GFK. Tujuan dalam kontrol persediaan adalah untuk mempertahankan persediaan yang seimbang sehingga pelayanan kepada pelanggan untuk setiap item persediaan dipertahankan dalam batas yang tepat (Wild, 1993). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan stok tersedia di gudang utama GFK tidak mencukupi. Isu 2. Kemampuan Suplai Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) Isu kemampuan suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) merupakan isu ketidakmampuan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dalam mensuplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) ke tiap Puskesmas di Kota Surabaya. Seringkali Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) mengurangi jumlah suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) tanpa terlebih dahulu memberitahukan ke pihak Puskesmas, sehingga Puskesmas tidak mendapat kepastian jenis dan jumlah sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) mana yang tidak mampu disuplai oleh Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). Hal ini mengakibatkan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas habis sebelum masa permintaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) berikutnya.
Gambar 9. Persentase ketersediaan stok sediaan farmasi di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) tahun 2013-2014
Kemampuan suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) merupakan nilai yang didapatkan dengan melakukan perhitungan persentase antara penerimaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) puskesmas dari Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dalam kurun 12 bulan dengan pemakaian sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) real di Puskesmas dalam kurun 12 bulan.
- 174 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Berdasarkan hasil tren selama kurun 3 tahun disimpulkan bahwa kemampuan suplai sediaan farmasi Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) ke seluruh Puskesmas di Kota Surabaya mengalami penurunan, sehingga jumlah suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dipastikan akan habis sebelum permintaan berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada tiap tahun kondisi gudang utama GFK tidak mampu untuk mensuplai kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan). Mustaffa dan Potter (2009) menekankan bahwa isu serupa juga terjadi di lingkup supply chain layanan kesehatan di Malaysia, dimana mereka mengatakan persediaan (stock) sediaan farmasi di wholesaler dapat mengalami defisit dan tidak mampu mensuplai ke beberapa klinik dibawahnya. Lebih lanjut Mustaffa dan Potter (2009) mengatakan terdapat 4 (empat) kondisi yang mungkin dapat dipenuhi oleh wholesaler, yakni: 1. Jumlah sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dikirim sesuai dengan jumlah permintaan klinik pemesan. 2. Jumlah sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dikirim kurang dari jumlah permintaan klinik pemesan. 3. Tidak dapat dilakukan pengiriman sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) ke klinik pemesan. 4. Jumlah sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dikirim lebih dari jumlah permintaan klinik pemesan.
Gambar 10. Persentase kemampuan suplai sediaan farmasi Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) tahun 2012 - 2014
Isu 3. Ketepatan Perencanaan Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) Ketepatan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) perlu untuk mendapat perhatian lebih. Pasalnya laporan perencanaan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas tahunan dan penggunaan sediaan farmasi bulanan Puskesmas semua diinput secara komputerisasi dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Oleh karenanya model perencanaan penggunaan dan tren penggunaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) harus dimatangkan agar dapat teraplikasikan dengan akurat dan detail ke seluruh Puskesmas. Selama ini model perencaan penggunaan sediaan farmasi hasnya berdasar pada pemakaian ratarata dimana keakuratan dengan menggunakan pemakaian rata-rata telah terbukti tidak efektif dan efisien bagi kinerja kefarmasian di Puskesmas. Perencanaan dengan metode dan model yang sesuai akan menuntun pada hasil perencanaan akurat
- 175 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
dengan tingkat keefektifan dan keefisienan yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat digunakan sebagai database bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya untuk mengambil keputusan kebijakan dan kebijaksanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan). Ketepatan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas merupakan nilai yang didapatkan dengan melakukan perhitungan persentase antara pemakaian sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) real di Puskesmas dalam kurun 12 bulan dengan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) untuk kurun 12 bulan. Gambar 11. Persentase ketepatan perencanaan kebutuhan sediaan farmasi Puskesmas tahun 2012 - 2014
Berdasarkan hasil tren ketepatan perencanaan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas dalam kurun 3 tahun yakni pada tahun 2012 – 2014 didapatkan kesimpulan bahwa ketepatan perencanaan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan) Puskesmas sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perencanaan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang selama ini digunakan oleh Puskesmas sangat tidak efektif dan efisien. Fenomena bullwhip effect menjadi salah satu fenomena yang terjadi dalam pemenuhan sediaan farmasi yang dipengaruhi oleh ketidakefektifan dan ketidakefisienan perencanaan kebutuhan sediaan farmasi. Dikarenakan permintaan sediaan farmasi sangat bervariasi dan frekuensi permintaan yang tinggi, maka kecenderungan untuk terjadi bullwhip effect yang dengan kata lain akan menyebabkan beberapa kerugian pada pihak manajemen layanan kesehatan dalam menyediakan pasokan obat. Sulit untuk memprediksi kebutuhan yang tepat untuk obat. Salah satu masalah adalah ketersediaan data yang akurat tentang konsumsi. Namun, kurangnya tata nama standar untuk produk kesehatan, ditambah preferensi dokter menciptakan ketidakpastian lebih lanjut (Lauer, 2004, McKone-Manis et al., 2005). Isu 4. Defisit Sediaan Farmasi (Obat Dan Perbekalan Kesehatan) Defisit sediaan farmasi merupakan gambaran nyata kekurangan dalam jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Pusksmas. Akibat
- 176 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
dari defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) tersebut menjadikan Puskesmas harus melakukan beberapa langkah strategis untuk mempertahankan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) agar dapat bertahan hingga jadwal permintaan berikutnya tiba. Beberapa akibat nyata dari defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Puskesmas antara lain: 1. Menurunnya kinerja unit kefarmasian karena defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) 2. Sering terjadi substitusi sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) 3. Sering terjadi pengurangan jumlah dan dosis dari resep dokter 4. Sering terjadi pembelian obat diluar apotek Puskesmas 5. Pengadaan obat mandiri di Puskesmas yang bertentangan Keseluruhan langkah yang diambil oleh Puskesmas tersebut bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi Puskesmas yang secara langsung mengurangi kinerja pelayanan Puskesmas utamanya dalam pelayanan kefarmasian. Defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas merupakan nilai yang didapatkan dengan melakukan perhitungan persentase antara selisih dari pemakaian sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) real di Puskesmas dalam kurun 12 bulan dan penerimaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dari Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) kurun 12 bulan yang dipersentasekan dengan penerimaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dari Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) kurun 12 bulan.
Gambar 12. Persentase defisit sediaan farmasi Puskesmas tahun 2012 - 2014
Berdasarkan hasil data tren selama 3 tahun terhadap defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dapat disimpulkan bahwa sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) habis sebelum jadwal pemesanan berikutnya. Akibat dari kekosongan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) membuat Puskesmas harus melakukan permintaan mendadak (urgent orders) ke Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), dengan harapan sediaan farmasi dapat terpenuhi dengan segera. Mustaffa dan Potter (2009) mengungkapkan status permintaan mendadak (urgent orders) memiliki perlakuan yang berbeda dengan status permintaan normatif. Status permintaan mendadak harus diproses dengan sesegera mungkin dan dikirim sesegera mungkin. Lama waktu yang dibutuhkan menjadi fokus perhatian status permintaan mendadak (urgent orders). Lebih lanjut Mustaffa dan Potter (2009)
- 177 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
menjelaskan tidak jarang status permintaan mendadak (urgent orders) lebih banyak dibandingkan dengan status permintaan normal. Beberapa penelitian mengemukakan hampir 1/3 bentuk permintaan akan obat berstatus permintaan mendadak (urgent orders), hal ini menunjukkan adanya masalah yang cukup serius terkait permintaan stok obat dipenyedia layanan kesehatan serta manajemen pengadaan yang kurang memadai dan mencukupi. Masalah ini memerlukan intervensi tidak hanya dari pihak penyedia layanan jasa kesehatan, namun juga pihak penyedia obat dengan memberikan informasi-informasi ketersediaan obat di gudang besar (wholeseller). Desain Rancangan Perbaikan Proses Supply Chain Manajemen supply chain yang efektif pada akhirnya menekankan pada prinsip-prinsip pemanfaatan sistem terintegrasi yang efisien dari supplier, produsen produk, pelanggan, dan arus informasi. Logistik yang efisien melibatkan proses jaminan bahwa produk, barang, dan jasa dapat diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang benar, lokasi, dan jadwal untuk meminimalkan biaya dan memaksimalkan efisiensi (Ang dan Griffin, 2008). Desain rancangan supply chain bagi pelayanan jasa di Kota Surabaya merupakan bagian dari layanan kepemerintahan di bidang kesehatan, dimana terdapat perbedaan dengan layanan non kepemerintahan di bidang kesehatan. Dalam layanan kepemerintahan di bidang kesehatan pengambilan keputusan bersifat semtral atau terpusat, dimana setiap keputusan yang berhubungan dengan pelayanan layanan kesehatan harus mendapatkan persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, sehingga tiap unit pelayanan kesehatan tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan mandiri. Akibatnya proses pengambilan keputusan yang seharusnya dapat dilakukan dengan segera tidak dapat dilakukan sehingga mempengaruhi keefektifan dan keefisienan unit-unit pelayanan kesehatan. Proses supply chain layanan kesehatan Kota Surabaya yang melibatkan 3 (tiga) entitas berbeda telah terbukti menimbulkan kerenggangan sehingga memunculkan beberapa isu permasalahan dalam proses supply chain tersebut. Proses supply chain pada pelayanan kesehatan di Kota Surabaya memiliki kekurangan yakni tidak adanya integrasi informasi yang jelas antara ketiga entititas (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Gudang Farmasi Kesehatan, dan Puskesmas) sehingga hambatan komunikasi sering menimbulkan perbedaan diantara ketiganya yang tak jarang pula menurunkan kinerja diantara ketiganya.
Menindaklanjuti permasalah tersebut maka kolaborasi dan pertukaran data dan informasi menjadi kunci untuk meminimalkan isu permasalahan dalam proses supply chain. Kolaborasi mengacu pada hubungan kooperarif supply chain yang diperkuat baik secara formal maupun informal, langsung dan tidak lansung antar organisasi, mitra supply chain, dan pelanggan untuk meningkatkan operasi bisnis (Blanchard, 2007). Kolaborasi merupakan Istilah yang berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda dan sesuai dengan Blanchard (2007) dapat digunakan secara bergantian untuk menggambarkan multidimensi tingkat terpadu manajemen rantai pasokan. Kolaborasi mempromosikan pemahaman yang terpisah antara budaya organisasi, integrasi, dan saling ketergantungan dengan berbagi visi perusahaan, nilai-nilai, dan tujuan bisnis (Atchison dan Bujak, 2001). Saling ketergantungan di antara beragam mitra rantai suplai tidak boleh dihindari, tetapi harus dirangkul dan dikolaborasikan bersama (Van Victor, 2011). Praktek rantai pasokan kolaboratif mendukung keseimbangan keseluruhan tujuan yang dapat membantu untuk menengahi konflik yang mencegah praktek bisnis yang efektif dan menguntungkan (Ireland dan Crum, 2005). Keadaan saling tergantung antara berbagai pemangku kepentingan dapat membawa manfaat yang signifikan bagi penciptaan nilai dalam hubungan antarorganisasi dan juga dapat meningkatkan hubungan intra-organisasi (Sytch dan Gulati, 2008). Keberhasilan proses kolaboratif direalisasikan dengan rencana menyelaraskan antara berbagai anggota supply chain dengan tujuan mencapai sinkronisitas, efisiensi pengambilan keputusan, dan efektif praktek rantai pasokan saat bersama di tengah asimetri informasi sering signifikan (Stadtler, 2009). Strategi komunikasi kolaboratif melibatkan orang yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama dan memaksimalkan daya beli agregat dengan berkontribusi terhadap kepemilikan lini produk antara beberapa lapisan peserta di seluruh organisasi (Seifert, 2003). Data Flow Diagram (DFD) proses supply chain pelayanan kesehatan di Kota Surabaya menunjukkan beberapa isu permasalahan yang apabila ditelusuri lebih mendalam berhubungan dengan hambatan komunikasi. Rancangan Data Flow Diagram (DFD) terbaru memberikan gambaran solusi yang akan meminimalkan hambatan komunikasi tersebut. Dalam literatur, JIT, stockless dan pendekatan VMI adalah tiga strategi yang diimplementasikan dalam supply chain pada sektor kesehatan. (Mustaffa dan Potter, 2009). Masalah utama dengan menerapkan
- 178 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
- 179 -
Gambar 13. Rancangan proses supply chain pelayanan kesehatan di Kota Surabaya yang meminimalkan isu permasalahan dengan menggabungkatan antara IT influence dengan entity collaboration
External Entity
Data flow lines
Process
Keterangan
Meskipun sistem VMI, JIT, dan stockless diusung untuk meminimalkan hambatan komunikasi, hal ter-
sebut belum sesuai untuk diterapkan di sistem pelayanan kesehatan kepemerintahan di Kota Surabaya, penulis menekankan pada perbaikan jaringan komunikasi diantara ketiga entitas
Data Store
JIT dan sistem stockless adalah permintaan yang berfluktuasi dan sulit diprediksi (Kowalski, 1986).
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Meminimalkan isu 1. Permasalahan Ketersediaan Stok Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) Di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) Isu permasalahan ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) merupakan bukti ketidakmampuan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) untuk mensuplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dikarenakan stok yang tersedia di gudang utama tidak mencukupi kebutuhan seluruh Puskesmas. Isu permasalahan ini timbul akibat adanya kesenjangan antara proses permintaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang diminta oleh masingmasing Puskesmas dengan proses pengecekan status sediaan farmasi yang terhubung ke gudang utama GFK. Dikarenakan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan) di gudang utama GFK tidak akan mengalami penambahan jumlah untuk waktu yang cukup lama, maka persediaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) akan berkurang menurut deret hitung. Kelemahan nyata yang terlihat adalah jumlah pasokan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) tambahan yang disuplai ke gudang utama GFK untuk dapat memenuhi kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan) di Puskesmas. Hingga saat ini proses informasi yang terjalin antara Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit farmasi belum terjalin dengan baik, dalam artian alur dan arus pertukaran informasi dan data belum terjalin dengan baik. Usulan rangkaian proses yang akan meminimalkan isu tersebut adalah membangun sebuah jembatan antara Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian dengan Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). alur dan arus pertukaran informasi dan data difokuskan untuk dapat terlapor harian atau minguan, dan bukannya bulanan seiring dengan kegiatan stok opname Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). Adanya data dan informasi yang terhubung dari Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian akan menjadi bahan pertimbangan dan acuan dasar penetapan jumlah dan jenis kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) tahunan. Meminimalkan Isu 2. Permasalahan Kemampuan Suplai Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) Isu permasalahan kemampuan suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) merupakan bukti pengurangan jumlah stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang dikirim ke tiap Puskes-
mas. Normatifnya kemampuan suplai dari sebuah gudang utama sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) berada pada kisaran 90% - 99%. Angka ini berarti apabila suplai dari gudang utama GFK mampu berada pada kisaran persentase tersebut, maka otomatis masalah kelangkaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang terjadi di Puskesmas akan berkurang. Isu permasalahan ini timbul akibat adanya kesenjangan antara proses pengecekan status sediaan farmasi di gudang utama GFK ke bagian administrasi Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), dimana bagian administrasi ini akan menentukan berapa jumlah sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang akan dikirim. Otomatis kesenjangan ini akan berlanjut pada proses penerimaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang diterima oleh tiap Puskesmas dan mempengaruhi status sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di gudang Puskesmas. Rangkaian proses supply chain yang terjalin antara entitas Puskesmas dan Gudang Farmasi Kesehatan terdapat 7 macam simpanan data (data storage), dimana ke-7 macam simpanan data tersebut apabila dikelola dengan baik akan memberikam suatu gambaran informasi yang utuh bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian. Usulan rangkaian proses yang meminimalkan isu permasalahan yang terjadi adalah dengan menggabungkan simpanan data (data storage) antara Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dan Puskesmas. Penggabungan ini akan melahirkan satu form kombinasi khusus yang akan dilaporkan secara berkala ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian sebagai entitas pengambil kebijakan pengadaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) tahunan. Apabila Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian mendapat informasi utuh tentang kondisi nyata dilapangan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) maka akan meyakinkan bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian untuk mengambil keputusan strategis. Meminimalkan Isu 3. Permasalahan Ketepatan Perencanaan Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) Isu permasalahan ketepatan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas merupakan bukti ketidaktepatan metode perencanaan obat tahunan maupun bulanan yang selama ini digunakan oleh tiap Puskesmas dalam melakukan perencanaan dan permintaan sediaan farmasi (obat
- 180 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
dan perbekalan kesehatan) ditiap tahun maupun bulan. Perencanan kebutuhan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) merupakan hubungan informasi antara Puskesmas dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian dimana hubungan ini telah terjalin dengan diisikannya simpus Puskesmas yang berisikan jumlah dan jenis sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) terpakai harian di Puskesmas. Namun fakta dilapangan menunjukkan masih adanya kesenjangan diantara 2 (dua) entitas ini, sehingga memunculkan isu permasalahan dalam proses supply chain diantara keduanya. Sebagai entitas pengambil kebijakan dan keputusan Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit farmasi dapat memberikan perhatian langsung kepada Puskesmas tanpa harus melalui Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). Usulan rancangan desian supply chain yang dapat meminimalkan isu tersebut adalah dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit farmasi membuat update/pembaharuan rumusan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) baik untuk jangka tahunan maupun bulanan. Hal ini penting dilakukan mengingat jumlah pertumbuhan Puskesmas tiap tahun tidak sebanding dengan jumlah pertumbuhan penduduk terlayani kesehatan. Model perumusan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) baik untuk jangka tahunan maupun bulanan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun adalah sama untuk seluruh Puskesmas di Kota Surabaya, tanpa memperhitungkan luasan cakupan wilayah, tren penyakit, dan jumlah pengunjung terlayani.
Puskesmas untuk membeli obat secara mandiri di apotek luar, merupakan gambaran ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam pelayanan kefarmasian. Kondisi ini dialami hampir diseluruh Puskesmas di Kota Surabaya pada tiap bulannya, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (tahun 2012 – 2014). Isu permasalahan timbul akibat ketidaktahuan atau kurangnya koordinasi antara Puskesmas dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya sebagai entitas yang memiliki otoritas untuk melakukan pengadaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) ditiap tahunnya. Isu defisit sediaan farmasi secara tidak langsung merupakan bentuk evaluasi bagi entitas Dinas Kesehatan Kota Surabata unit kefarmasian dna Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). Tingginya nilai defisit mengindikasikan bahwa pelayanan kefarmasian masih belum pada taraf efektif dan efisien. Usulan dalam rangkaian proses supply chain yang meminimalkan isu permasalahan tersebut adalah dengan menjembatani dengan laporan rutin ke pihak Dinas Kesehatan Kota Surabaya berupa form defisit bulanan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Puskesmas. Dengan adanya pertukaran informasi dan data tersebut akan menjadikan bahan evaluasi bagi pihak Dinas Kesehatan Kota Surabaya untuk menentukan arah kebijakan dan perbaikan pelayanan kefarmasian kedepannya.
Dengan disusunnya model perumusan terbaru untuk perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) baik untuk jangka tahunan maupun bulanan akan menstabilkan model perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) mendekati kondisi nyata kebutuhan dilapangan. Meminimalkan Isu 4. Permasalahan Defisit Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) Isu permasalahan defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Puskesmas merupakan bentuk ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Kondisi seperti kosongnya sediaan farmasi dalam jumlah dan jenis tertentu, mensubstitusi obat resep dokter dengan obat jenis lain yang memiliki efek dan kandungan sama, habisnya sediaan farmasi di Puskesmas sebelum masa permintaan obat selanjutnya, mengurangi jumlah obat resep untuk mempertahankan stok obat di gudang Puskesmas, bahkan memaksa pengunjung - 181 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
SIMPULAN Berdasarkan hasil telaah data primer dan data sekunder dan dilakukan analisis dengan pendekatan kualitatif-kuantitatif, maka didapatkan kesimpulan Rancangan Pemenuhan Proses Permintaan Internal dan Pendistribusian Sediaan Farmasi (Obat dan Perbekalan Kesehatan) pada Jasa Layanan Kesehatan di Kota Surabaya, adalah sebagai berikut. 1. Proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) pada layaanan kesehatan di Kota Surabaya, disimpulkan: a. Proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) melibatkan 3 (tiga) entitas berbeda yakni (1) Dinas Kesehatan Kota Surabata unit farmasi, (2) Gudang Farmasi Kesehatan (GFK), dan (3) Puskesmas dimana fokus pada proses supply chain (obat dan perbekalan kesehatan) adalah pemenuhan permintaan internal dan pendistribusian.
FORNAS, 50,0% - 70,0% untuk obat satuan non FORNAS, dan 33,3% - 63,3% untuk non obat (perbekalan kesehatan), yang dengan demikian disimpulkan terdapat isu terkait kemampuan suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Gudang Farmasi Kesehatan (GFK). c. Dalam kurun waktu 3 tahun (2012 – 2014) ketepatan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas ratarata sebanyak 31,7% - 41,7% untuk obat satuan FORNAS, 18,3% – 38,3% untuk obat satuan non FORNAS, dan 15,0% – 26,7% untuk non obat (perbekalan kesehatan) yang dengan demikian disimpulkan terdapat isu terkait ketepatan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas. d. Dalam kurun waktu 3 tahun (2012 – 2014) defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas rata-rata sebanyak 8,3% - 43,3% untuk obat satuan FORNAS, 6,7% - 33,3% untuk obat satuan non FORNAS, dan 15,0% - 68,3% untuk non obat (perbekalan kesehatan) yang dengan demikian disimpulkan terdapat isu terkait defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Puskesmas.
b. Penggambaran proses supply chain menggunakan pendekatan peta proses (mapping process) yakni Data Flow Diagram (DFD). c. Rangkaian proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) melibatkan 19 (sembilan belas) proses kegiatan mulai dari entitas Puskesmas hingga entitas Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian. d. Rangkaian proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) melibatkan 11 (sebelas) simpanan data (data store) mulai dari entitas Puskesmas hingga entitas Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian. 2. Isu permasalahan dalam proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) pada layaanan kesehatan di Kota Surabaya, disimpulkan: a. Dalam kurun waktu 3 tahun (2012 - 2014) ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) rata-rata sebanyak 30,0% – 43,3% untuk obat satuan FORNAS, 26,7% - 40,0% untuk obat satuan non FORNAS, dan 16,7% - 36,7% untuk non obat (perbekalan kesehatan), yang dengan demikian disimpulkan terdapat isu terkait ketersediaan stok sediaan farmasi di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK).
e. Rangkaian proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang berjalan hingga saat ini terbukti tidak meningkatkan kinerja layanan kesehatan dalam bidang kefarmasian yang mendukung efektif dan efisien kerja. 3. Rancangan proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang meminimalkan isu permasalahan, disimpulkan: a. Meminimalkan isu permasalahan ketersediaan stok sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) di Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) dengan membuat simpanan data (data storage) berupa status inventori Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) yang terlapor secara mingguan/ bulanan ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian.
b. Dalam kurun waktu 3 tahun (2012 – 2014) kemampuan suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) Gudang Farmasi Kesehatan (GFK) ke Puskesmas rata-rata sebanyak 63,3% - 73,3% untuk obat satuan - 182 -
b. Meminimalkan isu permasalahan kemampuan suplai sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) adalah dengan membuat simpanan data (data storage) yang berisikan data penggunaan sediaan farmasi dan jumlah sediaan farmasi tersedia di gudang utama dan terkirim
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
ke Puskesmas berdasar permintaan Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian.
d. Meminimalkan isu permasalahan defisit sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) adalah dengan membuat simpanan data (data storage) berupa jenis dan jumlah sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang mengalami defisit sebelum masa permintaan berikutnya ke pihak Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian.
c. Meminimalkan isu permasalahan ketepatan perencanaan sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) adalah dengan memberikan update perhitungan/rumusan permintaan sediaan farmasi bulanan dan tahunan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya unit kefarmasian ke masing-masing Puskesmas yang disesuaikan dengan kondisi eksisting tiap kawasan Puskesmas. REKOMENDASI 1. Melakukan kajian evaluasi kembali rangkaian proses supply chain sedian farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) dalam pemenuhan permintaan dan pendistribusian dikarenakan proses supply chain sediaan farmasi (obat dan perbekalan kesehatan) yang digunakan hingga saat ini terbukti menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan kerja layanan kefarmasian di Kota Surabaya. 2. Menetapakan penggunaan IT influence dan entity collaboration sebagai salah satu aspek yang menjadi penengah isu permasalahan supply chain selama ini.
4. Menetapan KPI (Key Performa Indikator) pada Puskesmas, Gudang Farmasi Kesehatan, dan Dinas Kesehatan Unit Kefarmasian sebagai salah satu acuan performa dalam melakukan evaluasi kinerja. 5. Melakukan rancangan alur desain supply chain sediaan farmasi yang mengintegrasikan ketiga entitas sebagai rancangan pengembangan kedepan.
3. Membagi peran pengadaan sediaan farmasi antara Dinas Kesehatan dengan Gudang Farmasi, dimana Gudang Farmasi diberikan wewenang untuk melakukan pengadaan pada sediaan farmasi esensial sementara Dinas Kesehatan melengkapi dengan pengadaan sediaan farmasi berdasarkan program tahunan Kesehatan Kota Surabaya.
- 183 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Gambar 14. Usulan alur supply chain sediaan farmasi di Kota Surabaya kedepan
- 184 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
DAFTAR PUSTAKA Aguilar-Save´n, R. 2004, “Business process modelling: review dan framework”, International Journal of Production Economics, Vol. 90 No. 2, pp. 129-49. Alt, S. (1997), “Airforce JIT deal won't fly with current rags”, Hospital Materials Management, Vol. 22 No. 12, p. 12 Altricher, F. dan Caillet, T. 2004, “SCM in a pharmaceutical company”, in Stadtler, H. dan Kilger, C. (Eds), Supply Chain Management dan Advanced Planning: Concepts, Models, Software dan Case Studies, Springer-Verlag, New York, NY, pp. 355-70. Ang, D. dan Griffin, T. (2008), “Supply chain management for higher education”, The Business Review, Cambridge, Vol. 11 No. 2, pp. 28-33. Aptel, O. dan Pourjalali, H. (2001), “Improving activities dan decreasing costs of logistics in hospitals: a comparison of US dan French hospitals”, The International Journal of Accounting, Vol. 36 No. 1, pp. 65-90. Arshider, K.A., Deshmukh, S.G., 2008. Supply chain coordination: perspectives, empirical studies dan research directions. International Journal of Production Economics Vol. 115 No. 2, pp. 316–335. Atchison, T.A. dan Bujak, J.S. (2001), Leading Transformational Change: The Physician-executive Partnership, Health Administration Press, Chicago, IL. Beier, F.J. 1995, “The management of the supply chain for hospital pharmacies: a focus on inventory management practices”, Journal of Business Logistics, Vol. 16 No. 2, pp. 153-73. Bertrdan, J.W.M., Wortmann, J.C. dan Wijngaard, J. 1990, Production Control. A Structural dan DesignOriented Approach, Elsevier, Amsterdam/Oxford. Blanchard, D. (2007), Supply Chain Management Best Practices, John Wiley dan Sons, Hoboken, NJ. Burgress, K., Singh, P.J. dan Koroglu, R. 2006, “Supply chain management: a structured literature review dan implications for future research”, International Journal of Operations & Production Management, Vol. 26 No. 7, pp. 703-29. Bowersox, Donald J. dan David J. Closs. 1996. “Logistical Management: the integrated supply chain process. International Edition. Singapore: McGraw-Hill Copper, Donald R. dan Pamela S. Schlinder. 2011. Business Research Methods International Edition. Vol 11 Singapore: McGraw-Hill Gane, C. dan Sarson, T. (1977), Structured Systems Analysis: Tools dan Techniques, McDonnell Douglas Corporation, St Louis, MO. Gattorna, J.L. 1998, Strategic Supply Chain Alignment: Best Practice in Supply Chain Management, Gower, Aldershot. Haksama, S., Ernawaty., dan Budiono. (2004). “Perencanaan Strategik Puskesmas dengan Pendekatan Rerangka Balance Scorecard di Puskesmas Pucang Sewu Surabaya”. Karya Ilmiah. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM). Universitas Airlangga Harldan, C.M. 1996, “Supply chain management: relationships, chains dan networks”, British Journal of Management, Vol. 7 No. 1, pp. 183-92. Harldan, C.M. dan Caldwell, N.D., 2007, “Barriers to supply chain information integration: SMEs adrift of eLdans”, Jounal of Operations Management, Vol. 26 No. 6, pp. 1234-54. Hanna, V. dan Sethuraman, K. (2005), The Diffusion of Operations Management Concepts into the Health Care Sector, Melbourne Business School, Melbourne. Ireldan, R.K. dan Crum, C. (2005), Supply Chain Collaboration: How to Implement CPFR dan Other Best Collaborative Practices, J. Ross Publishing, Boca Raton, FL. Kementrian Kesehatan R.I., 2009. Sistem Kesehatan Nasional: Bentuk dan Cara Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan. April 2009. Departemen Kesehatan R.I. - 185 -
Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Tahun XXVI, No. 2 Agustus 2016
Kumar, Arun. dan Ozdamar, Linet., 2005, “Procurement Performance Measurement System in the Health Care Industry”, Vol. 18 No. 2, pp. 152-166 Kiely, Dan., 2004, “The State of Pharmaceutical Industry Supply Planning dan Demdan Forecasting”, The Journal of Business Forecasting Method dan System, Vol. 23 Np. 3 pp. 20-22 Knudsen, D. (1999), “Procurement performance measurement system”, licentiate dissertation, Department of Design Sciences, Lund University, Lund. Kowalski, J.C. (1986), “Just-in-time for hospitals – so what's new?”, Hospitals Materials Management, Vol. 11 No. 11, pp. 6-9. Lauer, C. (2004), “Excellence in supply chain management”, Modern Healthcare, Vol. 34 No. 50, pp. 29-32 McKone-Sweet, K.E., Hamilton, P. dan Willis, S.B. (2005), “The ailing healthcare supply chain: a prescription for change”, Journal of Supply Chain Management, Winter, pp. 4-17. Mentzer, J.T. 2004, Fundamentals of Supply Chain Management: Twelve Drivers of Competitive Advantage, Sage Publications, Thousdan Oaks, CA. Mustaffa, Noorfa Haszlinna. dan Potter, Danrew., 2009, “Healthcare supply chain management in Malaysia: a case study”, Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 14 No. 3 pp. 234-243 Mustamu, Ronny H., 2007, “Manajemen Rantai Pasokan Indutri Farmasi di Indonesia”, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 9 No. 2 pp. 99-106 Mustamu, Ronny H., 2000, “Mempersiapkan Ritel Farmasi Untuk Menghadapi Persaingan Masa Depan”, Dimensi Manajemen dan Kewirausahaan, Vol 2, No. 1 Morton, R. 2003, “Doctors of speed”, Transportation dan Distribution, March, pp. 20-4. Papageorgiou, L.G., Rotstein, G.E. dan Shah, N. (2001), “Strategic supply chain optimization for the pharmaceutical industries”, Industrial dan Engineering Chemistry Research, Vol. 40, pp. 275-86. Paper, D.J., Rodger, J.R. dan Pendharkar, P.C. (2001), “A BPR case study at Honeywell”, Business Process Management Journal, Vol. 7 No. 2, pp. 85-99. Recker, J., Rosmann, M., Indulska, M. dan Green, P. (2006), Business Process Modeling: A Maturing Discipline?, Business Process Management Centre Report, BPM-06-20, available at: BPMcenter.org (accessed 3 April 2006). Roark, D.C. (2005), “Managing the healthcare supply chain”, Nursing Management, February, pp. 36-40. Seifert, D. (2003), Collaborative Planning, Forecasting, and Replenishment: How to Create a Supply Chain Advantage, American Management Association, New York, NY. Shah, N. 2004, “Pharmaceutical supply chains: key issues dan strategies for optimization”, Computers dan Chemical Engineering, Vol. 28, pp. 929-41. Stadtler, H. (2009), “A framework for collaborative planning dan state-of-the-art”, OR Spectrum, Vol. 31 No. 1, pp. 5-30. Sytch, M. dan Gulati, R. (2008), “Creating value together”, MIT Sloan Management Review, Vol. 50 No. 1, pp. 12-13. Van Weele, A.J. 2000, Purchasing dan Supply Chain Management, Thomson Learning, Boston, MA. VanVactor, J.D. (2010), Collaborative Communications: A Case Study Within the US Army Medical Logistics Community, VDM Publishers, Saarbrucken. Van Vactor, J.D. (2011), A Case Study Of Collaborative Communications Within Healthcare Logistics, Leadership in Health Services, Vol. 24 No. 1, 2011 pp. 51-63. Vries, Fan de. dan Huijsman, Robert., 2011, “Supply chain management in health services: an overview”, Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 16 No. 3 pp. 159-165. - 186 -