JIWA TEMPAT DAN ARSITEKTUR YANG BERETIKA1
Amos Setiadi2
Arsitektur bersifat terbuka dalam berbagai titik pandang. Perkembangan arsitektur akhir-akhir ini cenderung menolak modernisasi-rasionalisasi. Namun penolakan yang tidak proposional membahayakan perkembangan karena pada dasarnya rasional itu bagian dari manusia yang tidak bisa ditinggalkan. Ego telah merusak dunia (ber-arsitektur), oleh karena itu, saat ini adalah saatnya melakukan “the turning point of culture” (titik balik peradaban) dalam arsitektur yang beretika, merevisi peradaban ber-arsitektur yang rasional-mekanistik yang terpusat pada diri (ego) dengan peradaban ber-arsistektur yang holistik-ekologis yang didasari oleh kearifan intuitif, dengan kembali meperhatikan aktivitas Eco.
Kata-kata Kunci: Jiwa tempat, kearifan lokal
PENDAHULUAN Ruang dalam arsitektur dalam tulisan ini dipandang dari sisi sebagai bentuk dari ruang eksistensial manusia.3 Ruang eksistensial itu sendiri dapat dicitrakan secara stabil oleh seseorang dalam lingkungannya, melalui persepsi skemata seseorang. Kesadaran ruang (space consciousness) ditentukan oleh skemata berdasar pengalaman orang itu sendiri. Skemata ruang dapat beragam, dan seseorang dapat memiliki lebih dari satu skemata yang dapat memberikan kepuasan pada dirinya dalam berbagai situasi. Skemata ditentukan oleh latar belakang budaya sebagai hasil orientasi terhadap lingkungan secara afektif. Skemata dibangun melalui arketipe, kondisi sosial dan budaya.4
1
Disampaikan pada seminar : Dimensi Etika dalam Berarsitektur, UAJY, 25-26 Juni 2009 Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta 3 Schulz, Christian Norberg, 1971, Existence, Space & Architecture, Praeger Publishers, New YorkWashington, hlm 12 4 Ibid, hlm 11 2
Sebagai contoh, berdasarkan penelitian (Setiadi, 2006) terlihat bahwa masyarakat kampung tradisional di Yogyakarta sebagian relatif mudah menyesuaikan terhadap pengaruh dari luar (global) dan sebagian masih memegang tradisi.5 Masyarakat setempat yang sebagian masih bersifat tradisional (melestarikan tradisi Jawa) belum dapat lepas dari irama kosmik, sedangkan pendatang ada yang mampu berhubungan dengan ciri masyarakat profan. Bagi masyarakat lokal, kosmos memiliki sejarah yang tidak terikat waktu dan diwariskan turun temurun, dalam bentuk arketipe, sebagai media berkomunikasi dan menyampaikan pesan budaya setempat.
KEARIFAN INTUITIF SEBAGAI BAGIAN DALAM ETIKA (BER)ARSITEKTUR Postmodern sebagai reaksi atas Modernisme sering disebut sebagai fenomena budaya global dalam segala bidang termasuk bidang arsitektur. Hal ini ditandai oleh perubahan cepat atas nilai-nilai, budaya dan gaya hidup. Diskusi tentang paham postmodern ibarat kontras dengan hal yang berlawanan, karena istilah tersebut memiliki pengertian yang sangat longgar dan telah digunakan untuk memayungi segala aliran pemikiran yang seringkali tidak berkaitan satu sama lain. Ada kecenderungan yang mengidentikkan paham postmodern dengan kelompok post-strukturalis yang umumnya terdiri atas penganut paham neo-Nietzchean, sehingga paham postmodern sering dianggap identik dengan dekonstruksi. Istilah “post” itu sendiri menimbulkan banyak perdebatan, karena dapat diinterpretasikan sebagai pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan versi Lyotard atau pembenaran aspek tertentu dari kemodernan versi David Griffin. Postmodern juga “dicurigai” sebagai bentuk radikal dari paham modern itu sendiri, yaitu “kemodernan yang bunuh diri” versi Baudrillard, Derrida, dan Foucault. Namun demikian ada yang menganggap bahwa Postmodern merupakan wajah arif paham Modern yang telah sadar diri versi Giddens, bahkan Modernisme yang belum selesai sebagaimana versi Habermas sehingga juga disebut sebagai “Neo-Modernisme”. Akhiran “isme” memberi kesan sebagai sistem pemikiran tunggal tertentu, padahal istilah Postmodernisme dipergunakan di segala bidang dan menjadi label untuk berbagai pemikiran, demikian pula dalam arsitektur. Bertolak dari kritik atas Strukturalisme, Derrida menawarkan sebuah konsep yang disebutnya dengan dekonstruksi, sebagai upaya melepaskan diri dari keterikatan atas 5
Setiadi, Amos, 2006, Persistensi Pola dan Tipe Jalan di Kampung Tradisional Yogyakarta, Makalah dalam Seminar Mahasiswa Program Doktor UNPAR, April 2006, Bandung
logosentris, transenden, metafisika dan teologi melalui kreativitas tanda.6 Hipersemiotika dalam dekonstruksi mendorong pembongkaran kode/konvensi tanda dan membiarkannya dalam kondisi penangguhan makna (defer). Seluruh tanda menjadi relatif dalam pengertian bisa bermakna apapun, bahkan tidak bermakna. Hal ini disebabkan oleh rusaknya prinsip identitas yang membangun bahasa. Postmodern menciptakan pluralisme makna sekaligus juga relativisme makna. Arsitektur bersifat terbuka dalam berbagai titik pandang. Pada kasus studi penelitian kampung tradisional (Setiadi, 2006), dipahami sebagai arsitektur yang bersifat terbuka dengan masuknya ragam gagasan dan bahkan saling berlawanan dalam tata ruang kampung. Dalam hal ini, paham Dekonstruksi memandang hal demikian sah-sah saja.7 Namun sejak hampir lima dekade lalu terjadi perubahan signifikan dalam teori arsitektur dan perencanaan kota. Pada kurun waktu tersebut muncul kritik atas generalisasi dan pandangan fungsionalisme. Penganut paham Modern menyatakan bahwa “rumah adalah sebuah mesin” (La maison est une machine a habiter) sehingga bangunan lepas dari konteks.8 Pemahaman ini membentuk kota ibarat mesin yang besar dan kering.9 Paham Modern diwarnai dengan karya-karya arsitektur yang berciri mekanis, universal dan seragam (modern architecture is a giant enterprise fot the degradation of human habitat).10 Sedangkan Postmodernisme muncul sebagai reaksi atas Modernisme. Paradigma
Cartesian-Newtonian
didorong oleh
pemahaman
antroposentris
yang
bermetaformose dalam Positivisme. Paham yang mengutamakan keragaman budaya melalui artikulasi keragaman arsitektur lokal yang unik merupakan perlawanan atas paham Modern dan mengupayakan keragaman makna (multivalency). Sifat Postmodernisme yang menghargai keragaman dan kreatifitas menawarkan jalan keluar alternatif yang berbeda bahkan bertentangan (rebelliousness creativity).11 Karakteristik kemodernan yang menonjol adalah bahwa dunia menjadi semacam representasi dan manusia adalah subjek. Klaim Postmodernis tentang “matinya modernisme” dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan tentang “subjek” dan 6
“dunia
objektif”.
Paradigma
holistik
adalah
pandangan
ontologis
yang
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika Tafsir Kultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, hlm 287 7 Ibid 8 Capon, David Smith (1999), Architecture Theory Volume Two – Le Corbusier’s Legacy, John Wiley & Sons, New York 9 Seperti yang terlihat pada kota Chandigarh, sebuah karya Le Corbusier yang memperoleh carte blanche dari Nehru untuk membangun sebuah model kota modern di India 10 Ellin, Nan, 1996, Postmodern Urbanism, Blackwell Publisher Inc, Cambridge 11 Lim, William S.W (ed), 2002, Postmodern Singapore, Utopia Press Pte. Ltd., Singapore
mendekonstruksi pemikiran; bahwa realitas itu merupakan sistem jaringan yang menghubungkan bagian satu sama lain menurut pola dalam keseluruhan dan selalu dalam proses perubahan. Dualisme merupakan persoalan klasik filosofis sejak abad XVII, ketika pandangan ini mendasari sains modern. Pandangan dualisme hingga kini meenyusup ke visi, sistem nilai dan kebudayaan modern. Karakter pokoknya bercorak
“serba terpilah” dan
“dikotomis” seperti: subjek-objek, fakta-nilai, manusia-alam, manusia-Tuhan, “aku”-“yang lain”, borjuis-proletar, sakral-profan, suci-sekuler, Timur-Barat.12 Budaya modern menurut Capra sarat dengan nilai maskulinitas dan cenderung mengabaikan makna feminimitas.13 Karakter pembangunan fisik yang dicerminkan oleh Modernisme menjadi “keras, impersonal, egoistik, dan materialistik”. Sifat-sifat “lembut, personal, altruisme, spiritual” sebagai sifat yang muncul dari feminimitas diabaikan. Norma egois yang muncul kurang mempedulikan lingkungan dan pihak yang menerima dampak. Paradigma mekanistik sains Cartesian-Newtonian telah dianggap usang, tidak lagi dipakai untuk melanjutkan kehidupan di dunia ini karena ternyata telah membawa kerusakan hebat dimuka bumi. Ego telah merusak dunia, oleh karena itu menurut Capra, saat ini adalah saatnya melakukan “the turning point of culture” (titik balik peradaban), merevisi peradaban
yang rasional-mekanistik yang terpusat pada diri (ego) dengan
peradaban holistik-ekologis yang didasari oleh kearifan intuitif, dengan kembali meperhatikan aktivitas Eco. Capra berkesimpulan bahwa peradaban modernsime telah mencapai kejenuhannya karena terlampau “mengeras”. Oleh karena itu peradaban modern telah mulai menukik untuk akhirnya tenggelam digantikan oleh peradaban baru. Di satu sisi, arsitektur modern yang mewabah dengan gaya internasional (international style) yang cenderung seragam, tidak memberi ruang berimajinasi. Unsur lokal (kearifan lokal) cenderung terabaikan. Di sisi lain, arsitektur bukanlah produk massal yang diekspor ke seluruh tempat. Arsitektur merupakan karya dan cermin semangat jaman, serta memiliki keunikan, jati diri dan karakter setempat. Oleh karenanya, Venturi mengecam gejala penolakan terhadap tradisi yang menyebabkan pemiskinan bahasa visual, disain yang terlampau rasional, karena pada hahekatnya manusia adalah juga makhluk yang emosional. “high tech” seyogyanya juga diperkaya dengan “high touch”. Nalar dan 12
Heriyanto, Husain, 2003, Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan menurut Shadra dan whitehead, Teraju, Jakarta 13 Capra, Fritjof, 2000, Titik Balik Peradaban. Terjemahan dari judul asli: The Turning Point, Science and Raising Culture., Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
rasa harus diolah menjadi satu dan bukan dipilih salah satu. Pilihan seharusnya bukan yang bersifat “either-or” tetapi “both-and”.14 Demikian pula, Abel menolak konsep dua kutub yang mengkontradiksikan. Seperti halnya Venturi, ia mengusulkan solusi “new” and “old”. Selanjutnya dua kutub ekstrim “modern” dan “tradisional” yang semula bersifat kontradiktif, menjadi pasangan yang bersifat komplementer ini dapat diperpanjang mencakup “rasional dan romantik”, “empirik dan intuitif”, “objektif dan relatif”, “sadar dan bawah sadar”, “universal dan partikular”, “mekanistik dan organik”. Pada pandangan ini, membangun karya arsitektur baru yang serasi di suatu lingkungan bersejarah dapat dilakukan.15 Dari titik tolak filsafat di atas dapat dipahami bahwa pandangan yang bertujuan menjaga kelestarian alam, lingkungan binaan dan way of life dalam konteks membentuk karya (ruang) yang bermakna (kearifan lokal) sangat dipengaruhi oleh paham Historicism, Contextualism, dan Formalism. Dalam lingkup makna inilah posisi etika berkiprah di lingkup arsitektural, selaras dengan misinya melestarikan lingkungan budaya dan alam.
RUANG YANG BERJIWA TEMPAT Perkembangan arsitektur akhir-akhir ini cenderung menolak modernisasirasionalisasi. Penolakan yang tidak proposional membahayakan perkembangan karena pada dasarnya rasional itu bagian dari manusia yang tidak bisa ditinggalkan. Menurut Abel, “the attack on rationality is no less than an attack on an individual’s fundamental ability to attain control.16 Oleh sebab itu, Neo-rationalist berpendapat bahwa rasionalitas hendaknya tidak perlu ditentang, tetapi dipandang sebagai “the negotiation of meaning in the built environment”. Membangun identitas dalam arsitektur salah satunya dengan mengikuti paham strukturalis. Strukturalisme adalah pola pikir kategorik yang menganggap segala sesuatu bisa dikelompok kelompokkan/dipilah-pilah satu sama lain. Strukturalisme memandang karya arsitektur sebagai suatu konstruksi dari tanda-tanda. Keterkaitan tanda-tanda dalam struktur itulah yang akan mampu memberi makna yang tepat. Kampung tradisional dalem merupakan objek arsitektur yang senantiasa berubah, baik dalam struktur maupun detailnya. Pada bagian tertentu melalui suatu mekanisme kontrol yang ketat dapat relatif 14
Venturi, Robert, 1977, Complexity and Contradiction in Architecture, 2nd edition, The Architectural Press, London 15 Abel, Christ, 1997, Architecture and Identity, Toward a Global Eco-Culture, Architectural Press, Butterworth, Heinemann, hlm 87 16 Ibid
tetap dan terhindar dari aneka perubahan itu (persistent), yang berpeluang menjadi unsur pembentuk makna. Sebagai contoh, penelitian tentang ruang kampung (Setiadi, 2006) ditemukan bahwa setiap warga kampung memiliki hubungan emosional dalam waktu yang cukup lama dengan beberapa unsur dalam kampung itu sendiri. Gambaran tentang kampung tersebut terpateri ke dalam memorinya dan memunculkan makna tertentu dalam dirinya. Seringkali pemaknaan terhadap citra sebuah kampung tidak utuh dan tidak berlanjut, kadangkala hanya berupa potongan-potongan (fragmen) dan bercampur baur dengan keinginan seseorang.17 Makna (dan jiwa) tempat bukan hanya karena kejelasan tempat itu sendiri tetapi juga karena keunikannya, yang memiliki potensi untuk menjadi simbol yang kuat dari kompleksitas budaya masyarakatnya. Bila citra visual mudah ditangkap, maka dapat memberi ekspresi makna yang kuat. Sebagai contoh dalam penelitian tentang kampung tradisional (Setiadi, 2006) kejelasan struktur dan identitas kampung tradisional merupakan langkah awal dari penjelmaan simbol-simbol makna kampung tradisional itu sendiri. Perasaan “meruang” yang dialami oleh masyarakat di ruang-ruang publik di kampung tradisional dalam penelitian tsb dipahami sebagai “tabungan” penelusuran memori ruang kampung yang hidup dan sebagai dasar munculnya makna secara utuh. Membentuk citra visual kampung tradisional dapat dimulai dengan mengindetifikasi identitas kampung tradisional itu sendiri. Identitas tidak bisa diciptakan secara seketika (instant). Pencapaiannya melalui hirarki tertentu yang teratur dan berulang. Identitas kampung tradisional merupakan jejak peradaban yang ditampilkan sepanjang sejarah kampung itu sendiri, selaras dengan pernyataan Schulz tentang spirit of the place (genius loci) saebagai berikut: “A place is a space which has a distinct character”.18 Identitas dan makna tidak harus tunggal, namun didasarkan pada realitas masa kini dengan tetap mempertahankan kekhasannya sehingga memiliki keunikan. Kearifan lokal dapat tercipta dari kemampuan masyarakat untuk menerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif melahirkan ciptaan baru yang unik dan tidak teradapat dalam wilayah asal budaya tersebut. Dalam menjelaskan relasi arsitektur terhadap lingkungan alamnya, Schulz berteori bahwa arsitektur bagaikan sebuah puisi yang tujuannya untuk
17
Lynch, Kevin, 1979, The Image of the City, MIT Press, Cambrirdge, hlm 4 Schulz, Christian Norberg, 1984, Genius Loci, Towards a Fenomenology of Architecture, Rizzoli, New York 18
membantu manusia tinggal di suatu tempat dengan nyaman dan menyenangkan melalui pengenalan dan pemahaman atas konteks.19 Diyakini bahwa setiap tempat memiliki karakter. Fenomenologi karakter menuntut penelitian terhadap unsur-unsur penentu yang memunculkan karakter. Setiap kegiatan pada suatu tempat juga memiliki karakter yang berbeda. Sebagai contoh; rumah mencirikan tempat berlindung, kantor mencirikan serba praktis, rumah ibadah mencirikan tempat yang teduh. Konsep Barat lebih banyak memberi perhatian kepada dinding, karena dinding sangat menentukan karakter ruang kawasan suatu kota. Kecenderungan Venturi dalam menelaah facade bangunan sampai pada kesimpulan bahwa arsitektur terletak pada dinding pembatas antara “luar dan dalam”. Pada bagian tersebut, menurutnya ruang dan karakter bermuara secara maksimal.20 Dengan demikian, arsitektur menjadi suatu gubahan rupa dan ruang yang memancarkan kekayaan makna dan pesan. Dalam melakukan interpretasi suatu objek dapat memanfaatkan pengalaman langsung. Memberi informasi faktual dianggap penting dalam proses interpretasi, demikian juga menggugah emosi. Interpretasi dapat berperan menggugah, menghibur dan mungkin juga mengubah karakter seseorang. Fakta yang tersimpan diberbagai tempat tidak selalu menjadi informasi yang bermakna, sehingga perlu interpretasi yang tepat. Interpretasi merupakan cara untuk menjelaskan pandangan kelompok budaya tertentu kepada yang lain, ataupun memaknai sesuatu dari masa lalu ke kehidupan sekarang. Selain itu juga untuk menyampaikan pesan tertentu kepada kelompok yang beragam. Interpretasi membantu membentuk keterkaitan dengan warisan masa lalu. Artefak atau objek dapat menceritakan kisahnya sendiri sepanjang waktu, sehingga apabila suatu kehilangan bangunan-bangunan dan tempat-tempat bersejarahnya dapat disebut telah kehilangan memorinya. Interpretasi merupakan pengejawantahan pemaknaan yang dimunculkan kembali melalui rekonstruksi, penyusunan kembali nilai-nilai dan tingkah laku yang ada dibalik objek yang diamati. Aspek positif dari Postmodernisme adalah kontribusinya menawarkan
konsep
transformasi, sehingga arsitek berpeluang untuk aktif berkreasi dalam proses perubahan suatu bentuk arsitektural. Transformasi akan berhasil bila responsif terhadap berbagai dinamika. Masalah yang mendasar pada transformasi adalah semantik. Transformasi terbebani oleh konotasi makna visual karena perubahan bentuknya. Hal ini berhubungan
19
Ibid Venturi, Robert, 1977, Complexity and Contradiction in Architecture, 2nd edition, The Architectural Press, London 20
dengan bentuk dan formasi. Dekonstruksi yang dapat terjadi bukan proses natural, karena itu memaksakan transformasi dapat membingungkan
karena yang ada adalah
ketidakpastian. Hal ini berpotensi untuk membuat kekeliruan interpretasi dan kesalahan konsepsi atas suatu objek arsitektural. Dengan kata lain; interpretasi makna atas objek tersebut akan berbeda.
PENUTUP Collective unconsciousness dan mengungkap Jiwa Tempat Memori umumnya meninggalkan jejak (traces) yang berfungsi sebagai tanda (sign) atau sebagai petunjuk memori. Suatu permukiman tua banyak menyimpan memori masa lalu. Sehingga relasi antara arsitektur, bentuk permukiman dan sejarahnya harus selalu menjadi pertimbangan utama dalam merancang pengembangan kawasan permukiman tsb. Ekspresi kolektif arsitektur pada kawasan merupakan rangkaian memori dari berbagai bentuk arsitektur masa lalu. Oleh karena itu untuk dapat mengapresiasi maknanya, seharusnya tidak cukup melihat dari sudut formal fungsional saja tetapi dengan pengamatan bentuk dan penafsiran makna yang dikandungnya.21 Dalam bahasa Rossi; the locus of the collective memory. Karena adanya bentuk yang tetap persisten dan permanen, meski fungsinya berubah-ubah. Rossi meyakini adanya otonomi dari tatanan arsitektural dan menekankan arti penting dari monumen dan penghayatan ruang. Ia mengemukakan hipotesisnya tentang analogous city. Mendisain dengan analogi berarti meminjam bentuk lama tetapi tanpa melibatkan makna lama, karena makna telah berubah dengan berjalannya waktu. Bagi Rossi, “the quality of architecture – the quality of the human creation – is the meaning of the city”. 22 Ruang kampung tradisional merupakan gudang sejarah. Karena itu, sulit membayangkan untuk mempelajari fenomena yang berlangsung di dalamnya tanpa melalui sejarah. Menurut Kostof: “the more we know about cultures, about the structure of society in various of history in different parts of the world, the better we are able to read their built environment.23 Hal ini dapat dibaca dengan melihat ruang kampung tradisional sebagai material artifact, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak. Dalam hal ini kampung tradisional dilihat sebagai sintesis dari serangkaian nilai-nilai.
21
Boyer, M, Christine, 1994, The City of Collective Memory, The MIT Press, Cambridge Mass, hlm 19 Rossi, Aldo, 1982, The Architecture of the City, The MIT Press, Cambridge, hlm 130 23 Kostof, Spiro, 1991, The City Shaped, Thames and Hudson, Hongkong, hlm 10 22
Konsep memori telah mendapatkan tempat yang baik dalam arsitektur, meskipun bukan tanpa kritik. Sejarah merupakan suatu pendirian yang disepakati, namun terbuka terhadap kritik. Monumen seperti halnya sejarah yang dapat terus berdiri menghubungkan masa lalu ke masa depan karena adanya kesepakatan dan kemauan. Sedangkan waktu menuntut adanya perubahan yang membutuhkan kesepakatan dan pendirian. Kesepakatan dan pendirian seharusnya terbuka untuk diperdebatkan. Dengan adanya debat akan terjadi perubahan. Dalam hal ini memori tidak bisa didebat, sedangkan sejarah bisa. Tetapi tidak berarti sejarah melenyapkan memori, karena memori tetap diperlukan untuk menguji sejarah secara kritis (through memory toward history). Tokoh dalam arsitektur kota, Kevin Lynch melakukan pengamatan melalui lima elemen citranya yang klasik namun ia telah mengaku gagal dengan metode itu untuk bisa sampai ke tingkat makna. Metoda yang melengkapinya agar bisa sampai mengungkap makna dan jiwa tempat yaitu “collective unconsciousness” dari objek arsitektural.24 Meminjam teori Freud, bila seseorang kurang perhatian atau tidak punya perhatian terhadap sesuatu, maka ini dapat digolongkan sebagai unconscious atau preconscious. Dari pintu masuk ini, dapat dibuat kategori mana ingatan kolektif masyarakat yang tergolong sadar (conscious) dan mana yang tidak sadar (unconscious) atau setidaknya yang prasadar preconscious).
PUSTAKA 1. Abel, Christ, 1997, Architecture and Identity, Toward a Global Eco-Culture, Architectural Press, Butterworth, Heinemann 2. Boyer, M, Christine, 1994, The City of Collective Memory, The MIT Press, Cambridge Mass Schulz, Christian Norberg, 1971, Existence, Space & Architecture, Praeger Publishers, New York-Washington 3. Capon, David Smith (1999), Architecture Theory Volume Two – Le Corbusier’s Legacy, John Wiley & Sons, New York 4. Capra, Fritjof, 2000, Titik Balik Peradaban. Terjemahan dari judul asli: The Turning Point, Science and Raising Culture., Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 5. Ellin, Nan, 1996, Postmodern Urbanism, Blackwell Publisher Inc, Cambridge 6. Kostof, Spiro, 1991, The City Shaped, Thames and Hudson, Hongkong 7. Lim, William S.W (ed), 2002, Postmodern Singapore, Utopia Press Pte. Ltd., Sing 8. Lynch, Kevin, 1979, The Image of the City, MIT Press, Cambrirdge Heriyanto, Husain, 2003, Paradigma Holistik Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan menurut Shadra dan whitehead, Teraju, Jakarta 9. Rossi, Aldo, 1982, The Architecture of the City, The MIT Press, Cambridge 10. Schulz, Christian Norberg, 1984, Genius Loci, Towards a Fenomenology of Architecture, Rizzoli, New York 24
Jung, C, Gustav, 1987, Menjadi Diri Sendiri, terjemahan dari judul asli: Aion Researches into the Phenomenology of the Self, Gramedia, Jakarta, hlm 57
11. Setiadi, Amos, 2006, Persistensi Pola dan Tipe Jalan di Kampung Tradisional Yogyakarta, Makalah dalam Seminar Mahasiswa Program Doktor UNPAR, April 2006, Bandung 12. Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika Tafsir Kultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta 13. Venturi, Robert, 1977, Complexity and Contradiction in Architecture, 2nd edition, The Architectural Press, London