SEMINAR HERITAGEIPLBI 2017 | PEMBICARA KUNCI
Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur Widjaja Martokusumo
[email protected] Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Abstrak Dinamika pembangunan dan modernisasi acapkali tidak memberikan ruang bagi upaya pelestarian dan perlindungan warisan budaya. Keberadaan diskrepansi dalam struktur masyarakat membatasi pengungkapkan apresiasi terhadap warisan budaya pada umumnya. Selain itu, realitas sosial yang mendukung nilai-nilai arsitektur/seni bangunan masih berupa fragmen-fragmen yang tidak mudah dikaitkan satu sama lain secara arsitektural. Kondisi tersebut menyebabkan penafsiran warisan budaya menjadi hal kritikal dalam kegiatan pelestarian arsitektur/lingkungan binaan. Akibatnya, kegiatan pelestarian menjadi tidak mudah dilakukan. Kegiatan pelestarian arsitektur berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari kerangka modernisasi pembangunan. Dengan demikian, upaya pemanfaatan warisan budaya perlu disertai upaya pemaknaan agar pelestarian memiliki kontribusi nyata bagi komunitasnya. Oleh karena itu, kegiatan pelestarian perlu mempersoalkan kembali aspek non bendawi, nilai dan makna, yang seringkali diabaikan dan disalahartikan, sehingga pelestarian warisan budaya tidak terbatas pada aspek fisik. Makalah ini menyatakan bahwa upaya pemahaman pelestarian sebagai sebuah proses diharapkan dapat membuka sejumlah penafsiran baru untuk dikritisi, khususnya makna dan nilai, integritas dan autentisitas serta signifikansi. Kata-kunci : autentisitas, integritas, pelestarian arsitektur, pemaknaan tempat, warisan budaya
Pendahuluan
In Asia, the physical, human-made components of heritage are not only inextricably linked to but also arise from the natural geography and environmental setting of their respective cultures and serve as the setting for more intangible expressions of cultural traditions (Hoi An Protocol, 2009) Signifikansi budaya atau dikenal dengan cultural significance merupakan sebuah pernyataan tentang mengapa sebuah objek lanskap budaya (bangunan, struktur dan tempat) menjadi penting untuk dilestarikan. 1 Dari pengalaman empiris dan diskursus yang berkembang selama ini, penetapan signifikansi dilakukan melalui penelusuran terhadap nilai-nilai keungulan yang terkandung. Penelusuran tersebut umumnya meliputi sejumlah aspek dan pertimbangan khusus, seperti usia, kesejarahan, relasi dengan ilmu pengetahuan dan/atau sosial-budaya. Dari hasil penelusuran tersebut disusun sebuah pernyataan eksplisit tentang nilai dan kepentingannya untuk dilestarikan, dan pengungkapan fenomena masa lalu, menjelaskan relevansinya dengan masa kini, serta kegunaannya untuk pemahaman pada masa depan. Istilah lain untuk cultural significance adalah cultural heritage significance atau seringkali disebut sebagai cultural heritage value, yang berarti nilai keunggulan/signifikansi budaya. 1
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 1
Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur
Namun demikian, seringkali pertimbangan dalam penetapan signifikansi objek/warisan budaya yang terjadi hanya terbatas pada ranah fisik, physical-based approach, justru mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perlindungan nilai dan maknanya (Taylor/Lennon, 2012). Menurut Wells (2010), pendekatan pelestarian klasik/konvensional tersebut berawal sudah dari sejak zaman abad 19. Masih menurut Wells (2010) pendekatan ini ternyata mendorong objek menjadi teralienasi dengan komunitasnya. Pengalaman empiris justru menujukkan adanya anggapan tidak boleh membangun di dalam kawasan cagar budaya, atau hanya sekedar mempertahankan saja tanpa upaya kreatif. Hal ini terjadi, karena nilai-nilai yang ditanamkan seringkali jauh berbeda dengan konteks, serta bagaimana komunitas terkaitnya memaknainya. Dalam hal ini layak dipersoalkan kembali esensi dari pelestarian objek an sich dengan pelestarian nilai/makna yang terkandung (value-based). Kegiatan pelestarian mengalami sejumlah fase baik secara ontologis maupun epistimologisnya. Perkembangan tersebut tidak lain akibat dinamika pembangunan dan perkembangan wacana, termasuk kesadaran akan keragaman nilai dan pola berpikir (Smith, 2006). Belum lagi, adanya diskrepansi dalam struktur masyarakat sebagai akibat dari pergeseran bentuk masyarakat dari feodal-agraris menjadi demokratis-industrial, secara tidak langsung juga menyebabkan sulitnya pengungkapkan apresiasi terhadap warisan budaya pada umumnya dan terhadap karya arsitektur pada khususnya (Martokusumo, 2014). Hal ini terjadi karena realitas sosial yang mendukung nilai arsitektur/seni bangunan menjadi fragmen-fragmen yang tidak mudah dikaitkan satu sama lain secara arsitektural. Tulisan ini membahas pemahaman dan pola pikir yang sudah terbentuk, mengingat penetapan signifikansi akan menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan pelestarian. Adapun maksud dari peninjauan ulang ini lebih kepada upaya untuk membuka diskursus dan mempersoalkan sisi dan dimensi tak teraga/non bendawi (intangible) dalam kegiatan pelestarian (Blake, 2002; Smith, 2006; Martokusumo, 2014). Lebih lanjut dinyatakan upaya pemahaman kegiatan pelestarian, penetapan signifikansi dan penyusunan kebijakan, sebagai proses dapat membuka sejumlah penafsiran baru untuk dikritisi, khususnya makna dan nilai, integritas dan autentisitas serta signifikansi. Dari Monumen Menuju Lanskap Budaya
The cultual landscape construct proposes that heritage places are not isolated islands and that there is as interdependence between people, social structures and the (physical) landscape (Ken Taylor, 2012) Istilah lanskap budaya atau Kulturlandschaft (Jerman) diperkenalkan oleh Otto Schlüter (1908), dan kemudian dipadankan dengan kata cultural landscape dalam bahasa Inggris. Konteks wacana lanskap budaya dibentuk dari hasil kajian geografi budaya (cultural geography) serta diskursus sejarah dan arkeologi (historical and archaeological discourses) pada periode akhir 1980/awal 1990an. Secara paralel, pada periode tersebut terjadi pula pergeseran pemahaman konsep warisan budaya yang berfokus terbatas pada monumen dan situs arkeologi serta karya arsitektur monumental menuju kepada sebuah perkembangan sistem nilai yang mencakup wacana lanskap budaya dan lingkungan dalam arti luas, misalnya nilai-nilai tak teraga, warisan vernakular, pelibatan komunitas dan kesejarahan dlsb. (Kurokawa, 1994; Pereira, 2007; Engelhardt, 2007; Lennon/Taylor, 2012). Pemahaman lanskap budaya dapat dijelaskan melalui kutipan di dalam makalah Sauer (1925) berjudul The Morphology of Landscape: “The cultural landscape is fashioned from a natural
landscape by a cultural group. Culture is the agent, the natural area is the medium, the cultural landscape is the result" . Wacana lanskap budaya ini menjadi semakin marak pada saat ini, khususnya sejak diterimanya konsep tersebut oleh World Heritage Convention-UNESCO pada tahun 2 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Widjaja Martokusumo
1992 (Rosmalia/Martokusumo, 2014). Salah satu pemicunya adalah perlunya pemahaman kritis tentang konteks lokal. Pergeseran pemahaman konsep warisan budaya tersebut juga mengakibatkan adanya konflik di dalam implementasi pelestarian dalam konteks dunia bukan Barat. Konsep perlindungan lanskap budaya dari perspektif Barat (di Eropa) didasari oleh pemikiran tentang sejarah seni ( art historian) dan fokus kepada monumen tunggal (objek fisik). Tidak heran apabila physical-based approach ini lebih cenderung menghasilkan upaya preservasi dan rekonstruksi objek. Hal ini merujuk secara eksplisit keberadaan fase eksistensi fisik. Dalam prakteknya, pendekatan ini seringkali mengabaikan proses-proses dinamik dan konteks sosial yang justru secara kental membingkai upaya pelestarian sebagai sebuah entitas yang utuh (Taylor/Lennon, 2012 dan Wells, 2010) Sebagaimana diketahui sejak periode 1980an, pun gagasan pelestarian mulai dikait-kaitkan dengan prinsip keberkelanjutan, karena pada periode tersebut isu (kerusakan) lingkungan tengah memuncak, dan mendominasi wacana pembangunan lingkungan. 2 Keberlanjutan bukanlah sekedar pada pengelolaan sumber daya alam, namun mencakup upaya pemanfaatan dari warisan budaya, arsitektur dan lingkungan binaan, yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya komunitasnya (Martokusumo, 2014). Sesungguhnya lingkup dari substansi dan tipologi objek pelestarian telah mengalami proses yang dinamis sejak periode 1960-1980, yang ditandai dengan penggunaan istilah cultural property oleh UNESCO, dan istilah cultural heritage (Stovel, 2008). Dilema pelestarian cultural heritage dan natural heritage dipersoalkan oleh Taylor/Lennon (2012), karena terjadi beda pandangan antara pemikiran Barat dan Timur. Pada satu sisi, hegemoni nilainilai Barat memang secara tegas memisahkan antara sifat natural dan cultural, sehingga ranah cultural lebih banyak digunakan pada monumen dan situs-situs besar. Di sisi lain, natural heritage hanya dibatasi dalam ranah sains tentang gagasan murni alam/lingkungan alami ( wilderness) sebagai sesuatu yang terpisah dari masyarakatnya. Berbeda dengan di Barat, dunia Timur tidak memisahkan antara cultural (binaan) dan natural (alami). Bahkan sejumlah bukti-bukti properti bersejarah di negara-negara Asean menunjukkan bahwa adanya hubungan erat antara komunitas lokal dengan tempat. Hal ini dapat diamati pada subak yang telah didaftarkan sebagai situs warisan dunia (world heritage site) UNESCO pada tahun 2012 (Gbr. 1). Kasus subak di Bali memperlihatkan secara eksplisit bahwa sistem nilai (organisasi) masyarakat tradisional memiliki hubungan asosiatif yang mendalam dengan pengelolaan lingkungannya, khususnya sistem pengairan sawah, sebagai bagian dari keyakinan budaya (cultural beliefs). Oleh karenanya, relasi budaya-lingkungan/alam (culture-nature) dan teraga - tak teraga (tangible-intangible) merupakan pembentuk upaya apresiasi penting antara aspek kultural dan keragaman hayati dan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan. Contoh subak menjelaskan bahwa pendekatan holistik dimana relasi erat antara manusia-alam/lingkungan menjadi bertolak belakangan jika “dibaca” melalui kerangka pemikiran Barat yang memisahkan manusia dengan alam. Dengan demikian tidak aneh, bila dari sejumlah kasus di kawasan Asia Pasifik, korelasi kuat antara lanskap budaya dengan nilai-nilai lokal dan nasional, selanjutnya membentuk dasar-dasar bagi perlindungan lanskap (lingkungan) secara berkelanjutan (Taylor/Lennon, 2012). Jika direnungkan lebih dalam, maka pemahaman terhadap lanskap budaya merupakan sebuah perkembangan sistem nilai yang luas, dan sekaligus menyatakan sebuah bentuk keberadaan (being) upaya-upaya perlindungan warisan budaya/alam yang sejatinya merupakan sebuah proses dinamis (Pahl, 2003; Smith, 2006; Taylor/Lennon, 2012; Martokusumo, 2015)
Lihat saja buku karya Rachel Carson (1907-1964), seorang ahli Biologi, berjudul Silent Spring (Der stumme Frühling). Buku yang terbit pada 27 September 1962 tersebut, dianggap sebagai penggerak gerakan lingkungan 2
hidup.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| 3
Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur
Gambar 1: Persawahan dengan sistem Subak Sumber: http://seatrekbali.com/subak-the-cultural-landscape-of-bali (diunduh 15 Maret 2017)
Sejak pengakuan istilah lanskap budaya kedalam tataran diskusi World Heritage pada tahun 19923, dikenal tiga kategori lanskap budaya, yakni 1) lanskap budaya hasil buah pikir, kreasi/ciptaan dan pengelolaan masyarakat, 2) lanskap budaya yang berkembang secara organik/alami dan 3) lanskap budaya asosiatif yang merujuk kepada objek/elemen-elemen alami serta memiliki hubungan asosiatif dengan aspek religi, artistik, budaya dan nilai-nilai tak teraga lainnya. Dalam Talyor/Lennon (2012) dinyatakan bahwa penggunaan kategorisasi tersebut dalam konteks Asia-Pasifik dinilai masih sulit. Oleh karenanya, Sirisrisak dan Akagawa (2007) dalam Taylor/Lennon (2012) mencoba mengusulkan adanya pembagian tujuh jenis lanskap budaya untuk rona urban dan rural Asia. Adapun hal-hal tersebut meliputi: 1) lanskap budaya berupa desain taman, 2) lanskap yang memiliki hubungan asosiatif istimewa dengan rona alami lingkungan, 3) lanskap yang terkait dengan agrikultur, perikanan dan kehutanan, 4) lanskap budaya yang terkait dengan agama dan kepercayaan, 5) lanskap budaya yang berkaitan dengan penduduk asli, 5) historic urban landscape dan lanskap periode modern/industri. Dari uraian di atas, dapat disampaikan bahwa pelestarian mengalami perkembangan dan pergeseran fokus secara dinamis. Kini, fokus kepada objek monumen dan pertimbangan terhadap aspek sejarah telah mengalami perluasan. Aspek sejarah bukanlah menjadi satu-satunya pertimbangan. Seringkali pelestarian kurang dan cenderung untuk dipahami secara dangkal, misalnya termasuk pandangan/anggapan tidak boleh membangun di dalam kawasan cagar budaya. Berangkat dari dinamika dan kompleksitas yang ada, terdapat sejumlah aspek lain ( intangible), seperti isu sosial, politik, budaya, religi dan ekologis, yang justru berpotensi untuk didialogkan guna membuka peluang 3
World Heritage Convention 1992 menjadi instrumen legal pertama yang mengakui keberadaan lanskap budaya (Taylor/Lennon, 2012). 4 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Widjaja Martokusumo
pemahaman baru. Warisan budaya berupa arsitektur dan lingkungan urban (fabrics) mengindikasikan adanya hubungan erat antara komunitas dengan wadah lingkungannya, termasuk juga bagaimana komunitas memaknainya (Jivén/Larkham, 2003). Integritas dan Autentisitas Setiap kegiatan pelestarian memiliki persoalan dan situasi yang berbeda, khususnya bila dikaitkan dengan sistem nilai masyarakatnya (Martokusumo, 2015). Nilai, etika, perspektif serta kelaziman lokal bersifat relatif terhadap prinsip-prinsip global pelestarian. 4 Oleh karenanya, selain prinsip pelestarian yang berasal dari rujukan internasional, mutlak diperlukan pertimbangan lokal yang lebih kontekstual dalam penilaian dan pengelolaan aset bersejarah/warisan budaya tersebut. 5 Dalam kaitan ini, pemahaman filosofis terhadap konsep integrity dan authenticity dalam pelestarian menjadi penting (Martokusumo, 2015). Pendekatan pelestarian berbasis nilai (value-based approach) didasari oleh konsep integritas (integrity) dan autentisitas (authenticity) (Jokilehto, 2006a; Taylor/Lennon, 2012). Konsep integritas menyatakan bahwa pelestarian perlu dilakukan dengan pertimbangan aspek keutuhan, mengingat bangunan cagar budaya merupakan sebuah relik dari masa lalu dengan muatan informasi penting pada zamannya. Menurut Pereira (2007) istilah integrity dalam Piagam Venisia 1964 dipahami sebagai suatu keutuhan (wholeness), bermakna logis/rasional (soundness) atau kelengkapan (completeness), serta diartikan sekaligus sebagai ekspresi aspek-aspek material dalam warisan/cagar budaya. Integritas digunakan untuk menyatakan tentang identifikasi dari kondisi fungsional dan historis sebuah tapak/situs (lih. Jokilehto, 2006c) atau dipahami sebagai kemampuan dari objek cagar budaya untuk bertahan dan mempertahankan signifikansinya dalam kurun waktu tertentu (Stovel, 2007). Dalam konteks objek bangunan/arsitektur Orbașli (2008) mengusulkan bahwa konsep integritas mencakup sejumlah hal, sebagai berikut: a) integritas fisik, yang mengilustrasikan hubungan antara berbagai material bangunan, b) integritas estetika, c) integritas struktural, d) integritas desain e) integritas/keutuhan/kesatuan bangunan terhadap lingkungannya, dan f) integritas profesi yang tergabung dalam tim kerja pelestarian. Dalam prakteknya mengembalikan objek bangunan kepada kondisi semula menjadi suatu tantangan bagi konsep integritas itu sendiri, karena kesesuaian tersebut bersifat relatif. Oleh karenanya, diperlukan pengetahuan dari berbagai disiplin pengetahuan.
Dalam kegiatan pelestarian terdapat dua rujukan penting, yakni Piagam Venesia 1964 (Venice Charter 1964) dan Piagam Burra (Burra Charter 1979, 1999 dan 2013) dari ICOMOS Australia. Kedua panduan tersebut menjadi rujukan penting dalam penetapan cultural significance serta arahan pengelolaan dari cultural dan natural heritage. Namun demikian, perspektif Eurocentris yang menjadi basis dan mendominasi pemikiran-pemikiran UNESCO, ICOMOS dan institusi terkaitnya pun mulai mendapat perlawanan (lihat Logan, 2001; Wells, 2010 dan Petzet, 2013) 4
5
Dalam diskusi pelestarian dan pengelolaan aset bersejarah (Logan, 2001; Bandarin, 2011 dan Petzet 2013), penerapan sistem acuan berskala global telah menimbulkan perdebatan, karena munculnya reaksi dari sejumlah komunitas lokal. Konflik tersebut mengakibatkan adanya pergeseran sistem konservasi warisan bersejarah dunia (world’s cultural heritage conservation system) menuju kepada pendekatan kultural yang bersifat relatif. Pengakuan muatan dan identitas lokal dan sistem konservasi global yang cenderung seragam sudah disadari oleh UNESCO. Dalam hal ini Nara document on Authenticity (1994) merupakan bukti pengakuan konteks lokal dalam kegiatan pelestarian di Asia-Pasifik. Oleh karena itu penyusunan substansi tentang nilai dan autentisitas Dokumen Nara sangat umum dan lentur, sebagaimana dijelaskan sbb.: It is thus not possible to base judgments of value
and authenticity on fixed criteria. On the contrary, the respect due to all cultures requires that heritage properties must be considered and judged within the cultural contexts to which they belong. (Rhyne, 1995) Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| 5
Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur
Autentisitas memiliki arti keaslian, dan bahkan mengandung makna kebenaran. Isu kebenaran dalam bangunan/artefak yang menjadi objek pelestarian dapat diamati pada relasi antara keaslian material bangunan dan semangat yang mendasari fase awal proses perancangannya. Meski autentisitas merupakan sebuah kriteria penting, namun demikian objek pelestarian tidak saja semata-mata hanya ditentukan oleh keaslian material awal, namun juga ditentukan oleh sejumlah lapisan dan jejak perubahan yang terjadi. Keutuhan khas dari tinjauan kesejarahan inilah yang menjadi penentu pengelolaan objek pelestarian (Hubel, 2011). Secara rinci, konsep autentisitas di dalam diskusi umum pelestarian ini terkait dengan hal-hal sbb.: a) desain dan bentuk, b) teknik, tradisi dan proses pembangunan, c) tempat, konteks, d) material bangunan dan e) fungsi dan kegiatan. Namun demikian, konsep authenticity dalam kegiatan pelestarian tidak dipamahami secara kaku (Jokilehto, 2006b). Berbeda dengan pemahaman dunia Barat tentang autentisitas yang menekankan pada ranah material, Larkham (1996) menerangkan bahwa pemahaman di dunia Timur, konsep autentisitas justru berada pada aspek kelestarian (conserving) tradisi membangun yang menjamin eksistensi artefak tersebut. Gagasan ini diulas oleh Pendlebury (2009) dan Orbașli (2008) melalui contoh kasus kuil besar Shinto di Ise, Jepang. 6 Sebagaimana dijelaskan di dalam Dokumen Nara (1994), pembongkaran dan rekonstruksi bangunan kuil secara berulang setiap 20 tahun adalah sebuah mekanisme pelestarian tradisi membangun (intangible) yang tidak terbatas pada budaya material (tangible), namun sesungguhnya mengilustrasikan sebuah siklus kehidupan -perubahan dan dinamika- yang sarat makna, sebagai bagian dari keyakinan ajaran Shinto (bandingkan Wells, 2010 dan Jokilehto, 2006a). Jadi, dalam hal ini bukan hanya keaslian bangunan sebagai artefak (fisik) yang dipertahankan, namun bangunan dipahami sebagai bagian dari proses pelestarian nilai, pengetahuan dan tradisi khas (Gbr. 2). Hal ini kembali menegaskan, bahwa pelestarian dalam banyak aspek sangat tergantung terhadap interpretasi serta pemahaman (Wells, 2010; Moravánsky, 2003; Mörsch dalam Wohlleben/Meier, 2003). Pemahaman nilai dan autentisitas tersebut harus dilihat melalui perspektif budaya dimana warisan tersebut itu berada, sebagaimana telah dinyatakan di dalam Dokumen Nara sebagai berikut:
All judgements about values attributed to cultural properties as well as the credibility of related information sources may differ from culture to culture, and even within the same culture. It is thus not possible to base judgements of values and authenticity within fixed criteria. On the contrary, the respect due to all cultures requires that heritage properties must be considered and judged within the cultural contexts to which they belong.
Konsep autentisitas yang diusung oleh Piagam Venisia sebenarnya lebih merujuk kepada konteks pelestarian teknologi konstruksi batu kuno di Eropa (fabric-based approach). Kondisi tersebut tidak relevan dengan konteks Asia, dimana banyak bangunan (konstruksi) kayu memerlukan perawatan/perbaikan rutin (Jokilehto, 2006a). Wells (2010) menjelaskan pentingnya menyertakan pemahaman kekinian dimensi sosial, budaya dan unsur pengalaman dari objek/benda cagar budaya (people-centered architectural conservation), pada doktrin/tradisi Barat yang bersifat fabric-based approach. 6 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017 6
Widjaja Martokusumo
Gambar 2: Kompleks kuil besar Shinto di kota Ise, Mie perfecture. Sumber: http://blog.grio.com/2016/03/5-essential-japanese-design-principles.html (diunduh 3 April 2017)
Oleh karenanya, mutlak diperlukan argumen dan pertimbangan kritis tentang konsep autentisitas, termasuk penetapan signifikansi budaya objek pelestarian. Sebagai sebuah alat bantu, protokol Hoi An (2009) mengusulkan dimensi-dimensi autentisitas (Gbr.3). Selain terbagi kedalam dimensi lokasi/tempat, bentuk/desain serta fungsi, terdapat dimensi kualitas tak teraga (immaterial qualities) yang penting dalam konteks Asia. Selanjutnya, tetap perlu direnungkan bahwa dari pengalaman-pengalaman serta keragaman budaya yang ada, penetapan kriteria umum/standar untuk menyatakan signifikansi berdasarkan autentisitas niscaya sulit. Oleh karenanya, untuk dapat memahami autentisitas, kriteria yang digunakan harus fleksibel/lentur dan tidak kaku, merujuk kepada sistem nilai setempat, mengingat adanya dinamika dalam nilai-nilai budaya (Bandarin, 2011). Terlepas dari perkembangan dinamis makna kedua konsep di atas, tetap perlu digarisbawahi bahwa isu dari autentisitas dan integritas sangat relevan dengan pendekatan ideal terhadap pelestarian, yakni melindungi dan mengungkapkan nilai-nilai (values) dari objek pelestarian.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| 7
Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur
Gambar 3: Dimensi Autentisitas Sumber: Protokol Hoi An (UNESCO Bangkok), 2009 Pelestarian Berkelanjutan Adanya sejumlah batasan dari pemahaman kegiatan pelestarian yang ada dan meningkatnya tantangan kegiatan pelestarian dalam konteks pembangunan sekarang, membawa kepada suatu keadaan, dimana diperlukan upaya ekstra untuk meredefinisi kembali lingkup, proses dan nilai dari pelestarian. Pelestarian sesungguhnya merupakan mekanisme management of change yang sama sekali tidak menafikan perubahan. Perubahan tersebut perlu dikelola dengan baik, agar pembangunan dapat memberikan kualitas yang diharapkan (Martokusumo, 2015). Dari perjalanan kegiatan pelestarian, terdapat sejumlah isu-isu lokal (local value systems) yang perlu diperhatikan dengan cermat (Bandarin, 2011). Pendekatan global dalam pelestarian pun sudah sewajarnya dapat mengakomodasi keragaman sistem nilai dan praktek-praktek pelestarian di lapangan. Sejumlah isu yang perlu digaribawahi dalam kegiatan pelestarian, termasuk penetapan signifikansi dan kebijakan pelestraian, adalah: Nilai dan Makna. Dinamika pembangunan menyebabkan adanya perubahan-perubahan signifikan dalam hal menyikapi kegiatan pelestarian warisan budaya. Diawali dengan orientasi kepada bangunan yang memiliki nilai monumental, lantas berkembang dengan melibatkan dimensi sosial dalam pelestarian, dan kini mencakup sistem nilai yang lebih luas, dimana nilai estetika dan simbolik objek/tempat menjadi penting. Dalam wacana lingkungan binaan, konsep living heritage dimana nilai-nilai kehidupan intangible values yang terus mendampingi keberadaan artefak melalui ungkapan dari wadah fisik, menjadi dasar bagi penciptaan lingkungan yang lebih inklusif, kontekstual dan berkualitas. Autentisitas dan integritas Sebagaimana telah dijelaskan keragaman budaya menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam memahami konsep autentisitas dan integritas. Penetapan tentang nilai (values) dan makna (meaning) dari artefak yang akan dilestarikan perlu merefleksikan suara komunitas sebagai pengguna/pemilik. Kini, konsep komunitas pun berubah tidak saja para penghuni dan penduduk, namun juga mencakup penglaju, turis, migran dlsb. Terkait penetapan batas-batas kawasan yang dilestarikan, juga tidak saja sekedar ditentukan oleh batasan fisik. Dengan adanya dinamika dan 8 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Widjaja Martokusumo
konteks lokal yang unik (local value systems), maka disarankan penyusunan strategi pelestarian dan mekanisme pengelolaan kawasan bersejarah tersebut dapat merespons ambivalensi dan dinamika pembangunan dalam konteks perkembangan jangka panjang. Signifikansi Kultural Signifikansi kultural ini merupakan sebuah konsep untuk membantu dalam mengidentifikasi sifat dan menilai/menaksir nilai yang membuat suatu tempat atau objek berharga bagi masyarakat pada masa lalu, kini dan masa depan. Setidaknya pernyataan signifikansi budaya menjelaskan secara eksplisit pemahaman terhadap sejumlah nilai yang dianggap penting pada masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Dari pemahaman kritis terhadap lanskap budaya, dapat dipahami bahwa setting tempat ataupun kawasan kota dapat menjelaskan bagaimana lapisan-lapisan keunggulan yang terbentuk sebagai hasil dari rangkaian proses panjang, serta sesungguhnya pun dapat dipahami sebagai sebuah matriks antara nilai budaya dan elemen alami. Hal tersebut sebenarnya tidak lain adalah konstruk dari lanskap budaya itu sendiri. Untuk itu diperlukan investigasi lanjut agar kriteria penyusunan konsep dapat lebih terukur. Pelestarian sebagai Manajemen Perubahan Pelestarian warisan budaya di Asia, sebagaimana juga disampaikan di dalam protokol Hoi An (2009), akan selalu berupa sebuah bentuk negosiasi yang mewadahi aspirasi nilai dari sejumlah pemangku kepentingan. Hal inilah, yang menggarisbawahi keberadaan fleksibilitas/kelenturan ( negotiated state of mind) sebagai nilai yang melekat erat di dalam proses berbudaya di Asia. Dalam proses tersebut, tanpa disadari dinamika sosial ekonomi telah mempengaruhi perubahan peran kawasan sejarah (warisan budaya) dalam kehidupan masyarakat modern. Seringkali peran ini kurang dan tidak dikenali dengan benar, dan cenderung untuk dipahami secara dangkal, termasuk anggapan tidak boleh membangun di dalam kawasan cagar budaya. Dalam wacana pelestarian, perubahan sebagai sesuatu yang pasti, seringkali tidak mudah untuk diinterpretasikan, dan hal ini telah menjadi tantangan sejak lama. Perubahan sosial dan fisik seringkali dilihat sebagai sebuah bagian terpisah dalam upaya pelestarian nilai, sehingga seringkali prinsip-prinsip dan praktek pelestarian sulit untuk menentukan batasan dari perubahan itu sendiri. Tidak heran, bila yang sering terjadi adalah subjektivitas menjadi mendominasi persepsi, selain keputusan yang bersifat ad hoc, ketika melakukan assessment terhadap perubahan tersebut. Berbasiskan hal tersebut identifikasi makna dan peran baru warisan budaya sebagai sumber daya baru diperlukan untuk tetap memelihara artefak dan kawasan bersejarah secara berkelanjutan. Dalam hal ini perlu dicermati kembali esensi dari pelestarian objek per se dengan pelestarian nilai/makna yang terkandung. Dengan kata lain, upaya pendefinisian kembali peran dari seni bangunan/arsitektur harus senantiasa dipahami sebagai sebuah kontinum, termasuk tinjauan terhadap nilai/makna, konsep autentisitas dan integritas serta signifikansi kulturalnya. Artinya, refleksi terhadap perubahan ataupun pergeseran peran dari kawasan/tempat/objek bersejarah untuk merespons dinamika dan mensinergikan pembangunan (kerangka modernisasi) dengan strategi pelestarian merupakan keniscayaan. Pendekatan spesifik perlu dikembangkan dan diformulasikan sedemikian rupa, sehingga pelestarian tidak lain adalah sebuah strategi manajemen perubahan.
Daftar Pustaka Bandarin, F. (2011). A new international instrument: the proposed UNESCO Recommendation for the Conservation of Historic Urban Landscapes, Informationen zur Raumentwicklung, Heft 3/4. Blake, J. (2002). Developing a New Standard-setting Instrument for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage. Elements for consideration. revised edition. Paris: UNESCO. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| 9
Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur Engelhardt, R.A. (2007). Comment in his keynote presentation (unpublished) to Heritage and Development, 12th International Conference of National Trust, INTACH, New Delhi 3-5 Desember. Hubel, A. (2011). Denkmalpflege, Geschichte, Themen, Aufgaben , Eine Einführung, Stuttgart: Philipp Reclam jun. GmbH. Jivén, G./Larkham, P.J. (2003). Sense of Place, Authenticity and Character: A Commentary dalam Journal of Urban Design, Vol. 8 No.1, 67-81. Jokilehto, J. (2006a). Considerations on Authenticity and Integrity in World Heritage Context. City & Time 2 URL: http://www.ceci-br.org/novo/revista/docs2006/CT-2006-44.pdf (diunduh 26.07.2015). Jokilehto, J. (2006b). World Heritage: Defining the Outstanding Universal Value. City & Time 2 URL: http://www.ceci-br.org/novo/revista/docs2006/CT-2006-45.pdf (diunduh 5 September 2015). Kurokawa, K. (1994). Philosophy of Symbiosis. London: Academy Edition . Larkham, P.J. (1996). Conservation and the city. London: Routledge. Lennon, J.L. & Taylor, K. (eds). (2012). Managing Cultural Landscapes. London: Routledge. Logan, W.S. (2001). Globalizing Heritage: World Heritage as a Manifestation and Challenges from the Periphery. Paper of a CHCAP project “UNESCO: an agency of cultural globalization?”. Martokusumo, W. (2015). Arsitektur dan Pelestarian: Menuju Pengelolaan Berkelanjutan Bangunan dan Lingkungan Cagar Budaya. Orasi Ilmiah Forum Guru Besar ITB, 25 September 2015. Martokusumo, W. (2014). Belajar dari Masa lalu: Memahami Masa Kini dan Merangkul Masa Depan dalam D. Tanuharja (ed.) Inspirasi Majapahit (Artikel Penelitian Arkeologi Terapan Indonesia PATI), FIB UGM dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo, ISBN 978-602-70039-4-1. Moravánsky, Á. (2003). Architekturtheorie im 20. Jahrhundert, Wien Orbașli, A. (2008). Architectural Conservation. Principles and Practice. Oxford: Backwell Publishing. Pahl, J. (2003). Stadtgestalt als Prozess. Bergish Gladbach: Heider Druck GmbH. Pereira, H. N. (2007). Contemporary trends in conservation: culturalization, significance and sustainability. City & Time 3 (2): 2. [online] URL: http://www.ct.ceci-br.org (diakses 18 Maret 2017). Pendlebury, J. (2009). Conservation in the Age of Concensus. London: Routledge. Petzet, M. (2013). Denkmalpflege-Internationale Grundsätze in Theorie und Praxis, 1. Auflage, Berlin: Hendrik Bäßler Verlag. Rhyne, C.S. (1995). The First International Document
for Diverse Cultural Values in Conservation: The Document of Nara, American Institute for the Conservation of Historic and Artistic Works, St Paul Minnesota. Rosmalia, D./Martokusumo, W. (2014).The Kesunean River Revisited: Some Notions on the Role of Urban Landscape Elements in Cirebon, West Java, Indonesia, Nakhara Journal of Environmental Design and Planning, Chulalongkorn University Thailand, hal . 77-84, ISSN: 1905-7210. Smith, L. (2006). Uses of Heritage, New York: Routledge. Stovel, H. (2008). Challenges in Moving from Architectural Conservation Education to Heritage Conservation Education, dalam Stefano F. Musso dan Luisa de Marco (eds.). (2008). Perspective on Heritage Education, Teaching Conservation/Restoration of the Architectural Heritage Goals, Contents and Methods, hal. 268-373. Stovel, H. (2007). Effective use of authenticity and integrity as World Heritage qualifying conditions. City & Time. vol. 2, Nr. 3. Wells, J.C. (2010). Valuing Historic Places; Traditional and Contemporary Approaches. http://docs.rwu.edu/saahp_fp/22 diunduh tanggal 4 Sept. 2015). Wohlleben, M. & Meier, H-R. (2003). Nachhaltigkeit und Denkmalpflege. Beiträge zu einer Kultur der Umsicht. Hochschulverlag AG adn der ETH Zürich.
10 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017