IVANA PAULINE HANDOJO -ie-
JEJAK SAPUTANGAN
nulisbuku.com 1
SINOPSIS Puisi Khalil Gibran selalu menjadi fenomena tersendiri bagi Sandra, gadis mungil yang merantau ke Bali untuk menemukan jati dirinya. Sebagai pecinta karya seni dalam berbagai cara, Sandra membuktikan dirinya bahwa hal yang tak terucap, dapat tertulis. Karena dengan tulisan semuanya mampu memberi warna dan nilai, terutama cinta yang selama ini ia nantikan. Sehelai saputangan dan sebatok kelapa seakan menjadi tanda dan isyarat untuk menemukan jejak-jejak belahan hatinya. Namun benarkah isyarat itu yang menjadi jawaban atas setiap penantiannya di akhir kisah? Atau mungkin hanya kesemuan? Atau hanya persinggahan yang membuatnya mencicipi rasa pahit dan manis akan kehidupan? 2
Panjat menimang, Entah raga dan jiwa diracik untuk saling meminang satu dengan dua, dilematis, Entah apa rasa yang teruntai Seperti garis tanpa awal seperti titik ENOL yang tak menetas Bukan pecahan Hanya percampuran dengan bulatan Fakta menjadi faham. Tandas menabrak dinding kemelut Dimana panjatan itu, atau pijakan? Semua hanya menghampa Enol dan tak berbalas Sedari daritadi,Semu…sekat…Jarak…waktu… Dan yang hadir hanya diam Bukan untuk dihadirkan tapi menghadirkan fana Hampa, fana. Semuanya bulat tanpa sudut Itulah bola mata yang berkasat tanpa kehadiran Dinding kemelut, saksinya… 3
Aroma buku membius, melarutkan Sandra dalam ketenangan di hari libur yang terlupakan ini. Tiga lukisan besar dan beberapa pajangan foto-foto alam, mengepung rak-rak yang telah tersusun rapi. Bergentayangan menghiasi sudut. Kedua bola matanya terhipnotis dengan satu lukisan. Hitam putih warna mutlak dasarnya, tergambar sepasang kaki insan. Terlihat sepadan, senada, namun berbeda bentuk dan ukuran. Kiri dan kanan, namun bukan hanya satu insan namun sepasang insan. Terlihat jelas perbedaan kaki kaum “Adam dan Hawa”. Ada satu tulisan dibawah gambar itu : „Sepasang, seiya, sekata‟, dalam kebersamaan. @Obscure.Luce, 1997. Melepas pandangannya sejenak, memerankan mata penglihatannya yang tertuju pada tatanan rak demi rak. Ditelusuri dari atas ke bawah, kiri ke kanan untuk menemukan genre buku kesukaannya „SASTRA‟. Ternyata berada di rak ketiga dari pintu masuk itu. Matanya berbinar manakala karya Khalil Gibran bersengatan dengan mata hatinya. Diambilnya satu kumpulan tulisan pujangga sepanjang masa itu. Seketika, matanya bertabur bintang, hatinya tersentuh dan jiwanya mengudara, saat quote Khalil Gibran terjangkit kembali di lembar ingatannya, ini quote kesukaannya: „Pohon adalah syair yang ditulis bumi pada langit. Kita tebang pohon itu dan menjadikannya kertas dan diatasnya kita tulis kehampaan kita‟ -Khalil Gibran4
Sandra tak sempat untuk mengamati pria itu dari kejauhan. Hanya berlari panik dengan segera dan menghampiri pria itu. Aneh…Hangat…Tak asing, mata Sandra tertuju pada saputangan yang menutupi sebagian wajahnya. Tatapan mata tajam itu seakan menyuarakan. “Tolong, Mbak!! 'Tolong bantu aku untuk berdiri!”, mohon pria itu sambil merintih kesakitan Terlihat keringat membasahi sekujur tubuhnya, luka-luka di pergelangan kaki dan sikunya. Darah itu berbaur dengan permukaan kulitnya. Terlihat memar dan ia hanya menahan tubuhnya dengan tangan kirinya. “Auuu, auuu…. Perih! tambah pria itu “Aduh, kok bisa jatuh, Mas?” ucap Sandra mengawali perkataan pertama yang keluar dari bibirnya “Iya licin, baru hujan, jatuh dari motor.” “Sini biar kubantu, apa yang bisa kulakukan?” jerit Sandra dengan kepanikan. “Jujur aku takut darah,” tambahnya “Iya tolong bantu, Tangan dan kaki ini sakit sekali tak bisa digerakkan.”, balas pria itu “Ayo, biar kupapah ke gazebo itu ya..” 5
Ada jejak kaki yang terekam dalam tumpahan pasir. Entah darimana asalnya, tak terlintas sosok yang menjejaki. Perjalanan sepertinya diwakili dengan jejak kaki, karena hanya arah itu yang disorot. Kemanakah jejak kaki itu mengiring akhir kisah ini?
Jawabannya terekam di buku Jejak Saputangan!
6