IV. PROFIL MASYARAKAT Masyarakat di sekitar TNMB merupakan masyarakat yang hidup dan tinggal di 11 desa daerah penyangga, umumnya terdiri dari etnis Jawa dan Madura. Berikut ini dikemukakan profil masyarakat secara umum, kemudian dilanjutkan dengan sejarah dan profil masyarakat pendarung kedawung yang menjadi objek penelitian ini. Masayarakat pendarung ini merupakan bagian dari kelompok kecil dari masyarakat umum.
A. Masyarakat Umum 1. Jumlah penduduk Jumlah penduduk masyarakat sekitar kawasan TNMB berdasarkan data tahun 2005 seluruhnya berjumlah 94.900 jiwa (29.911 Kepala Keluarga) terdiri atas 46.783 jiwa laki-laki (49,3%) dan 48.113 jiwa perempuan (50,7%). Jumlah penduduk di setiap desa dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3.Jumlah penduduk desa di sekitar kawasan TNMB No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.Banyuwangi Sarongan Kandangan Kebonrejo Jumlah
Luas (km2)
Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan
Jumlah (jiwa)
Kepadatan (jiwa/km2)
283,4 262,8 6,2 77,9 88,9 48,4 51,3 51,5
2.883 2.667 4.294 5.633 2.871 4.629 7.792 4.442
2.832 2.828 4.437 5.303 2.977 4.893 8.158 4.659
5.716 5.495 8.731 10.936 5.848 9.522 15.953 9.101
20,17 20,91 1412 140,45 65,75 196,69 311,04 176,86
27,0 18,1 83,2 998,70
2.931 4.175 4.466 46.783
2.992 4.384 4.650 48.113
5.923 8.559 9.116 94.900
219,36 473,82 109,60 1748,77
Sumber : Monografi Desa, 2005
Penduduk desa yang tinggal di sekitar kawasan TNMB sebagian besar adalah suku Jawa dan Madura. Kepadatan penduduk umumnya menyebar di desa-desa sekitar kawasan, bahkan terdapat perkampungan di tengah kawasan seperti Bandealit, Sukamade dan Rajegwesi. Pola hidup masyarakat terutama di desa Andongrejo, Curahnongko, Sanenrejo dan Curahtakir umumnya masih banyak bergantung hidupnya dengan sumberdaya hutan dari kawasan.
2. Tingkat pendidikan Masyarakat desa sekitar kawasan, umumnya berpendidikan rendah. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keterbatasan sarana pendidikan, jarak antara fasilitas pendidikan dengan pemukiman relatif jauh, serta kurangnya kesadaran orang-tua anak-anak akan manfaat dan pentingnya pendidikan. Kondisi tingkat pendidikan masyarakat disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Tingkat pendidikan masyarakat desa di sekitar kawasan TNMB
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.Banyuwangi
Belum/ Tidak sekolah 2.350 2.934 801 2.735 2.704 756 945 684
Tingkat Pendidikan (orang) Belum Tamat Tamat Tamat Tamat SLTP/ SLTA/ SD/ Sederajat Sederajat Sederajat SD
Tamat Akademi/ PT
Jumlah
341 9 1.025 1.258 960 4.568 3.556 4.723
2.314 2.230 5.302 2.442 1.734 1.037 1.393 1.421
324 190 809 3.203 289 157 468 167
296 36 763 1.270 159 4 265 204
41 11 31 27 13 14 2
5.716 5.495 8.731 10.936 5.859 6.522 6.627 7.199
9. Sarongan 496 990 10. Kandangan 768 1.134 11. Kebonrejo 889 Sumber : Monografi Desa Tahun 2005
2.177 2.908
1.351 2.142 1.702
901 1.560 1.212
8 47 32
5.923 8.559 7.745
3. Penggunaan lahan Desa Andongrejo, Curahnongko dan Curahtakir adalah desa-desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB dan luas lahan pertaniannya dibawah rata-rata, lebih kecil dari < 0,2 ha, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati kawasan TNMB cukup tinggi dibanding desa lainnya. Masyarakat pendarung buah kedawung yang telah berlangsung secara turun temurun adalah sebagian besar berasal dari desa Andongrejo dan Curahnongko. Pola penggunaan lahan di desa sekitar TNMB disajikan pada Tabel 5 berikut.
44
Tabel 5. Pola penggunaan lahan di desa sekitar kawasan TNMB No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo
Jumlah KK
Sawah
1.716 1.311 2.558 3.367 1.633 3.321 5.863 2.817
60,27 60,17 234,00 175,65 15,00 103,00 150,00
Jenis dan luas penggunaan lahan (Ha) Bangun- Tambak Kebun Tegal an / Kolam Rakyat 105,20 33,51 127,20 139,00 89,20 73,00 190,00 112,00
2,00 1,00
2,50 -
153,42 170,02 248,37 177,18 267,17 1.874 468,00 639,00
Jumlah
Ha/ KK
318,89 266,20 375,57 550,18 532,02 1.962,00 763,00 902,00
0,186 0,203 0,147 0,163 0,326 0,591 0,130 0,320
Sumber : Monografi Desa Tahun 2005
4. Perekonomian desa Masyarakat di desa-desa sekitar kawasan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, buruh tani, pekerja kebun, pencari hasil hutan, industri rumah tangga, dan pedagang.
Lebih dari 70% masyarakat sekitar
kawasan hidup sebagai petani atau buruh tani dengan luas pemilikan lahan ratarata sebesar 0,204 Ha/KK. Desa-desa tersebut masih belum mempunyai saluran irigasi teknis sehingga sawah-sawahnya hanya menggantungkan pengairannya dari air hujan (sawah tadah hujan). Jenis mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Jenis mata pencaharian penduduk desa sekitar kawasan TNMB No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11
Desa Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo Kab.B.wangi Sarongan Kandangan Kebonrejo
Jenis Mata Pencaharian Penduduk (orang) Petani PedaPNS/ PertuNela gang ABRI kangan yan Pemilik Buruh
Jasa
Lainlain
Jumlah
1.540 1.230 3.786 1.136 1.808 304 661 260
1.211 1.269 2.177 657 1.906 1.693 3.335 1.410
42 280 447 280 308 153 177 210
54 10 46 47 43 32 52 67
0216 301 166 71 109 26 40 39
53 -
35 5 17 38 8 29 25 30
203 1.664 398 1.291 143 1.084 1.573 80
3.301 4.812 7.031 3.520 4.325 3.321 5.863 2.817
982 3.148 614
1.102 1.438 2.995
39 109 94
112 45 42
19 35 -
235 3 -
16 20 4
896 176 2.075
3.401 4.974 5.824
Sumber : Monografi Desa Tahun 2005
5. Budaya masyarakat Budaya masyarakat sekitar kawasan umumnya dipengaruhi oleh budaya etnis Jawa dan Madura. Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat sekitar dengan nuansa Islam tradisional yang kental (Nahdatul 45
Ulama). Mulai tahun 1977 ada tradisi tahlilan, dzibaan, barzanji dan arisan yang dilakukan masyarakat di langgar setiap malam Jumat. Kesenian tradisional yang berkembang antara lain adalah Jaranan Kepang dan kesenian Kerawitan. Kegiatan gotong royong masyarakat masih tumbuh, yang terlihat antara lain kebiasaan “sambatan” (yaitu kegiatan membantu dalam membangun rumah kerabat/tetangga atau hajatan tanpa upah) pada saat membangun rumah para kerabat dan budaya bersih desa dan setiap ada perkawinan (Riyanto, 2005).
B. Sejarah Masyarakat Pendarung Berdasarkan laporan program Konsorsium FAHUTAN IPB - LATIN (2001) dapat dikutib sejarah desa Curahnongko yang ditulis dengan metoda PRA, seperti dikemukakan berikut ini. Awal cikal bakal berdirinya desa Curahnongko yang merupakan asal muasal masyarakat pendarung dimulai pada tahun 1917 dengan kedatangan Pak Jah dan Pak Rah dua orang pendatang dari Madura. Kemudian mulai tahun 19191921 dilakukan pembabatan hutan untuk perkampungan oleh kelompok Pak Jah dan Pak Rah tersebut. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1929 telah mengeluarkan suatu ketentuan bahwa kawasan hutan Meru Betiri dan sekitarnya perlu dilindungi dan dilestarikan, kemudian ketentuan ini dikuatkan pada tahun 1938 dengan ketetapan dari . Pemerintah Hindia Belanda. Tentera Jepang masuk ke Curahnongko pada tahun 1942. Semua hasil pertanian diminta dan disita Jepang. Makanan tidak ada, mulai pada tahun inilah orang-orang mulai banyak masuk hutan Meru untuk mencari yang bisa dimakan dan membuat pakaian dari kulit pohon ancar. Makanan yang dicari adalah gadung dan ketela pandesi. Kemudian setelah Jepang pergi, pada tahun 1947 Belanda masuk kembali dan membakar perkampungan Curahnongko. Banyak masyarakat kembali masuk dan bahkan mengungsi ke hutan.
Orang-orang di hutan
mengambil segalanya yang bisa dimakan atau dijual, seperti : gadung, madu, buah kemiri, buah kluwek, buah kedawung, buah joho dan lain-lain. Saat itu beberapa orang (termasuk mbah Setomi) mulai mengenal daerah-daerah yang banyak terdapat pohon-pohon kedawung dan jenis lain yang hasilnya laku dijual.
46
Kegiatan masyarakat masuk hutan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil, biasanya terdiri 3 – 5 orang, yang bertujuan mengambil hasil hutan dan biasanya mereka menginap di hutan 2 - 5 hari.
Kegiatan ini biasanya mereka sebut
m’darung, dan kelompok-kelompok kecil tersebut adalah pendarung. Pada tahun 1948 mulai ada pengepul (pedagang pengumpul) tumbuhan obat, namanya Pak Alim, sebelumnya ia menerima pesanan dari luar daerah, biasanya dari Ajung, selanjutnya dia memberitahu para pendarung (mbah Setomi dan beberapa kawannya) bahwa saat ini musim buah tertentu, misalnya Kedawung sudah tua, Kemiri sudah tua dan dapat dipanen. Nanti kalau ketemu diambil dengan taksiran harga per kilo sekian. Jika harganya dirasa cocok, baru orangorang masuk hutan mencari barang yang dipesan pengepul. Jika sebelum masuk hutan tidak punya uang dapat pinjam dahulu ke pengepul, berupa uang atau beras, jagung, cengkeh, dan lain-lain. Pinjaman biasanya dibagi dua, sebagian untuk kebutuhan keluarga di rumah, sebagian untuk bekal masuk hutan bersama gandengan teman masing-masing. Kegiatan mendarung ini berlangsung sampai sekarang dan meluas kepada masyarakat dari desa Sanenrejo dan desa Curahtakir. Perkembangan masyarakat ini terjadi antara lain karena adanya perpindahan dan perkawinan penduduk Curahnongko dengan masyarakat dari luar desa. Hutan Curahnongko mulai dibabat pada tahun 1955 dan ditanami jati milik Perhutani sedang yang melakukan pembabatan adalah masyarakat petani dan yang menanam jati juga masyarakat petani Curahnongko. Sebagai upahnya petani boleh menanam palawija di sekitar tanaman jati yang masih kecil, hasilnya untuk masyarakat petani.
Tanaman palawijanya adalah jagung, padi gogo dan
tembakau. Setelah 3 tahun, tanaman sela ditutup dan petani harus keluar dari areal Perhutani. Model seperti ini juga dilakukan oleh Perhutani di Wonowiri, Kali Tapeh dan Pondok Jati, yang dilakukan berurutan waktunya. Daerah Wonowiri hutan alam primer ditebang pada tahun 1958 dan diganti dengan tanaman Jati. Penanaman Jati pada tahun 1967 dilakukan secara besar-besaran di sepanjang perbatasan hutan alam memanjang ke arah Barat sekitar 2000 ha. Bagi masyarakat petani yang diwakili oleh mbah Setomi pembabatan hutan alam, kemudian diganti dengan Jati itulah awal kerusakan dan kesusahan masyarakat, karena setelah itu air menjadi susah, udara menjadi panas, apalagi kalau kemarau
47
pasti terjadi kebakaran, padahal dulu sama sekali tidak pernah terjadi kebakaran. Sebelum itu kalau mencari madu cukup di sekitar desa saja di pinggir hutan. Biasanya mereka berangkat pagi jam 6 dan paling siang jam 9 sudah kembali dengan membawa 25 botol madu. Mencari tumbuhan obat juga tidak perlu jauhjauh ke dalam hutan, paling sore jam 5 sudah sampai rumah membawa hasil. Setelah menjadi hutan Jati, orang mulai banyak masuk jauh ke hutan sampai ke Meru, Nanggelan, Gergunung, ke tempat-tempat yang dulu terlarang dan angker. Kampung Andongrejo mulai memisahkan diri dari desa Curahnongko menjadi desa Andongrejo pada tahun 1990. Masyarakat pendarung dari desa sekitar TNMB mengambil beranekaragam sumber daya alam hayati yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. Adapun bentuk sumberdaya hayati TNMB yang diambil oleh masyarakat pendarung dapat dikelompokkan sebagai berikut (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004a) : 1. Pengambilan kayu jenis komersial sebagai bahan baku bangunan, perabot rumah tangga (furniture), badan perahu, bahan baku minyak wangi (parfum), dan lain-lain. Jenis kayu komersial yang sering diambil, antara lain : kayu garu (Chicoheton divergen), kayu kembang rekisi (Michelia velutina), kayu selasihan (Cinnamomum porrectum), kayu pacar gunung (Cassine glauca), kayu bindung (Tetrameles mudiflora), kayu suren (Toona sureni), kayu sapen (Pometia tomentosa), kayu kepuh (Sterculia foetida), kayu bendo (Artocarpus elasticus), kayu takir (Duabanga moluccana) dan lain-lain. 2. Pengambilan kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari bagi rumah tangga ataupun dijual ke pasar, bahan bakar industri genteng, dan lain-lain. 3. Pengambilan bambu; seperti bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizastychyum blumei), bambu lampar (Schizastychyum branchyladium) yang diperlukan sebagai bahan baku pengasapan tembakau (sujen dan glantang), kerajinan anyaman bambu (gedhek/dinding rumah), bahan baku industri pembuatan sumpit (chopstick). 4. Pengambilan rotan; seperti rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia elongata)
48
yang diperlukan bahan baku kerajinan sendiri ataupun dijual dalam bentuk rotan asalan ke industri-industri kerajinan. 5. Perburuan satwa; untuk dijual dalam keadaan hidup sebagai binatang peliharaan ataupun berupa daging, tanduk, bulu, kulit, telur dan lain-lain. 6. Pengambilan tumbuhan obat ada sekitar 15 spesies yang banyak diambil, antara lain kedawung. Hasil tumbuhan obat ini umumnya sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan tradisional yang dijual kepada tengkulak. Umumnya masyarakat pendarung ini terbagi kedalam kelompok-kelompok pendarung berdasarkan spesifik kelompok komoditi.
Khusus kelompok
masyarakat pendarung kedawung umumnya adalah juga pendarung komoditi tumbuhan obat lainnya dan termasuk madu.
Tetapi umumnya mereka tidak
mendarung komoditi lainnya selain tumbuhan obat dan madu.
C. Karakteristik Masyarakat Pendarung Kedawung Masyarakat pendarung kedawung berdasarkan penelusuran kembali dengan
menggunakan
acuan
hasil
penelitian
Mujenah
(1993),
dapat
dikelompokkan menjadi suatu kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari sekitar 80 individu, yang berada di tengah-tengah masyarakat sekitar TNMB yang berjumlah sekitar 94.900 jiwa penduduk yang terdiri dari 29.911 kepala keluarga (Balai Taman Nasional Meru Betiri, 2004c). Masyarakat kecil pendarung yang diteliti ini tinggal di desa Andongrejo dan Desa Curahnongko. Diasumsikan masyarakat pendarung dari desa Sanenrejo, Curahtakir dan Wonoasri telah dapat diwakili oleh masyarakat pendarung dari dua desa ini. Desa Andongrejo dan Curahnongko adalah desa-desa yang langsung berbatasan dengan kawasan TNMB dan luas lahan pertaniannya dibawah ratarata, sehingga ketergantungan masyarakat kepada hutan, seperti pengambilan sumberdaya hutan sangat tinggi dibandingkan desa lainnya. Karakteristik masyarakat pemanen kedawung yang berjumlah 80 orang dikelompokkan berdasarkan :
kelas umur, pendidikan, asal etnis, anak dari
pemanen kedawung atau tidak, lama pengalaman memanen kedawung dan umur mulai mengenal kedawung, seperti data pada Tabel 7 berikut ini.
49
Tabel 7. Karakteristik masyarakat pendarung kedawung No.
Karakteristik
Klasifikasi
1.
Kelas umur
< 40 tahun
37
> 40 tahun
43
Tidak pernah sekolah
29
2.
Pendidikan
Jumlah (orang)
Tidak tamat SD
15
Tamat SD
36
22
3.
Etnis
Jawa Madura
58
4.
Anak dari pemanen kedawung
Ya
26
Bukan
54 26
5.
Pengalaman memanen kedawung
< 10 tahun > 10 tahun
54
6.
Umur mulai mengenal kedawung
Sejak kecil
43
Sejak masuk hutan
37
Sejak masuknya TV di desa sejak tahun 1973 mulailah dirasakan oleh Mbah Setomi, Mbah Naam dan beberapa tokoh sepuh lainnya, bahwa mulai terjadi pergeseran-pergeseran persepsi, budaya, pola pikir dan pola hidup masyarakat generasi muda. Tentunya ada yang berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pengetahuan lokal akibat intervensi informasi global, termasuk penggunaan obat-obatan tradisional seperti biji kedawung mulai ditinggalkan masyarakat. Selain tumbuhan obat kedawung, masyarakat pendarung juga mengambil tumbuhan obat berupa : buah kemiri (Aleurites moluccana), buah pakem (Pangium edule), buah kemukus (Piper cubeba), buah joho lawe (Terminalia balerica), buah joho keling (Vitex quinata), buah kapulaga (Amomum cardonomum), buah cabe jawa (Piper retrofractum), buah serawu (Piper canimum), buah bendoh (Entada phaseoloides), sambung otot,
iles-iles
(Amorphophallus sp.), kulit batang pule (Alstonia scholaris), buah arjasa (Agenandra javanica), buah pinang (Areca catechu) dan madu. Nilai jual tumbuhan obat dan madu hasil pemungutan masyarakat pendarung pada tahun 2005 mencapai sekita 336,6 juta rupiah (Dewi, 2007).
50