IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar pertimbangan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra perkebunan tebu di Pulau Jawa dan Kabupaten Cirebon dipilih karena merupakan kabupaten dengan produksi terbesar di Jawa Barat, atau sekitar 39 persen produksi tebu Propinsi Jawa Barat berasal dari kabupaten ini. Di Kabupaten Cirebon terdapat tiga pabrik gula yaitu PG Sindang Laut, PG Tersana Baru, dan PG Karangsuwung. PG Sindang Laut dipilih karena PG Sindang Laut memiliki produktivitas kedua terbesar dan memiliki akses paling dekat dengan pusat Kota Cirebon. Selain itu, dibandingkan dengan yang lain, PG sindang laut memiliki akses transportasi terdekat menuju kantor Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan Pusat Koperasi Petani Tebu Rakyat (Puskopetra). Hal ini sangat diperlukan oleh peneliti terkait dengan koordinasi mengenai kondisi di lapang kepada pengurus APTRI dan Puskopetra. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2010. 4.2. Metode Penentuan Sampel Petani tebu yang akan menjadi sampel adalah petani tebu rakyat yang berada di wilayah kerja PG Sindang laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Alasan dipilihnya Perkebunan Tebu Rakyat (PTR) karena menurut Susila dan Sinaga (2005) perkebunan tebu rakyat lebih responsif terhadap kebijakan pemerintah, dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta. Adapun jumlah petani tebu yang diteliti sebanyak 13 orang petani yang dipilih berdasarkan metode accidental sampling dan snowball sampling. Metode ini dipilih karena pertimbangan tidak tersedianya data yang jelas mengenai jumlah petani tebu dan alamat tempat tinggal petani tebu. Metode accidental sampling dilakukan dengan medatangi tempat-tempat yang diduga petani tebu sering berada di sana seperti kantor APTRI, Puskopetra, Dewan Perwakilan Cabang APTRI, dan koperasi. Sedangkan metode snowball sampling peneliti lakukan hanya pada Kecamatan Astanajapura dengan pertimbangan bahwa kecamatan ini memiliki 33
produksi tebu terbesar kedua serta memiiliki akses transportasi terdekat ke pusat Kota Cirebon. 4.3. Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian yang menggunakan metode kasus (case study). Metode kasus adalah prosedur dan teknik penelitian tentang subjek yang diteliti berupa individu, lembaga, kelompok, atau masyarakat, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara rinci tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu yang kemudian akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. 4.4. Data dan Instrumentasi Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara langsung dengan petani tebu. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan pengurus APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), Puskopetra (Pusat Koperasi Petani Tebu Rakyat) dan Koperasi Petani Tebu Rakyat Sakarosa yang kompeten serta pengamatan (observasi) secara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari KPTR (Koperasi Petani Tebu Rakyat), APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), Koperasi Petani Tebu Rakyat Sakarosa, literatur dan instansi yang terkait dengan penelitian yang akan dikaji, seperti Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Dewan Gula Indonesia, Dinas Perkebunan Kabupaten Cirebon, internet, dan Bahan Pustaka lainya yang relevan. Sedangkan instrumen yang akan dipakai untuk mendapatkan data berupa alat pencatat dan penyimpan elektronik baik berupa flashdisk dan camera. 4.5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu mulai dari bulan April sampai Juni 2010. Adapun metode yang digunakan selama pengumpulan data adalah metode observasi langsung, wawancara, dan browsing internet.
34
4.6. Metode Pengolahan Data Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian terdiri atas beberapa tahapan. Pertama adalah penentuan input usahatani tebu. Tahapan kedua adalah pengalokasian input ke dalam komponen tradable dan non tradable. Tahap berikutnya adalah penentuan harga bayangan input dan output serta pengalokasian input dan output ke dalam komponen biaya domestik dan asing. Pengalokasian input ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing Input/output Bibit tebu Pupuk Phonska Pupuk ZA Herbisida Insektisida Pengolahan lahan Tenaga Kerja Bunga Modal Sewa lahan Tebang angkut Pajak Irigrasi Penanganan Gula Kristal Putih
Tradable (%) 0 29 29 51 51 100 0 0 0 0 0 0 0 100
Non tradable(%) 100 71 71 49 49 0 100 100 100 100 100 100 100 0
Sumber : Tabel Input-Output, BPS dalam Tarsono (2006)
Harga bayangan menggunakan penyesuaian seperti yang dilakukan Gittinger (1986). Penentuan harga bayangan dengan mengeluarkan distorsi akibat kebijakan pemerintah atau akibat kegagalan pasar. Dalam penelitian ini untuk menentukan harga sosial komoditas yang diperdagangkan didekati dengan harga batas (border price). Untuk komoditas yang selama ini diekspor digunakan harga fob (free on board) dan untuk komoditas yang diimpor digunakan harga cif (cost insurance freight). Setelah harga bayangan diperoleh, maka dilakukan analisis dengan menggunakan matriks analisis kebijakan (PAM) Setelah itu, dilakukan 35
pengujian dengan harga output sebelum kebijakan penurunan tarif impor diberlakukan. Analisis secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan PAM. Dalam penelitian ini Policy Analysis Matrix (PAM) dikemukakan oleh Monke dan Pearson (1998) akan digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap tingkat daya saing dari tebu lokal. Dua macam analisis yang dapat diperoleh dari penggunaan model PAM ini, yaitu analisis keuntungan dan analisis dampak kebijakan yang mempengaruhi harga output, harga input, dan keuntungan. Bentuk model PAM ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Biaya Uraian Nilai finansial (harga privat) Nilai Ekonomi (harga sosial) Dampak kebijakan dan distorsi pasar
Penerimaan
Input tradable
Faktor domestik
Pendapatan
A
B
C
D1
E
F
G
H2
I3
J4
K5
L6
Keterangan : 1. Keuntungan Privat 2. Keuntungan Sosial 3. Transfer Output 4. Transfer Input, Untuk Input Tradable 5. Transfer Faktor, Untuk Non Tradable 6. Transfer Bersih 7. Rasio Biaya Privat atau PCR 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau DRC 9. Koefisien Proteksi Output Nominal atau NPCO 10. Koefisien Proteksi Input Nominal atau NPCL 11. Koefisien Proteksi Efektif atau EPC 12. Koefisien Keuntungan atau PC 13. Rasio Subsidi Bagi Produsen atau SRP
: D = A-B-C : H = E-F-G : I = A-E : J = B-F : K = C-G : L = D-H atau I-J-K : = C/(A-B) : = G/(E-F) : = A/F : B/F : (A-B)/(E-F) : = D/H : = L/E
Sumber : Monkey and Pearson (1998) dan Pearson et al. (2004)
Metode PAM dapat memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam menelaah isu yang berkaitan dengan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada dan juga untuk mengetahui bagaimana dampak suatu investasi publik terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Metode PAM ini dibentuk berdasarkan 36
pada beberapa kumpulan data yang kemudian dijabarkan dengan berbagai rumus seperti pada Tabel 6. Tabel PAM ini dapat digunakan untuk menghitung tingkat keuntungan privat (sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual), menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, dan menghitung transfer effect sebagai dampak dari suatu kebijakan tertentu. Tabel PAM (Tabel 6) terdiri atas tiga baris dan empat kolom. Baris pertama merupakan perhitungan yang didasarkan harga akual (harga privat) yang terjadi di pasar (finansial), yaitu harga yang telah dipengaruhi kebijaksanaan pemerintah dan secara riil diterima atau dibayarkan oleh petani, pedagang, atau pengolah dalam sistem usahatani. Usaha dapat dikatakan menguntungkan apabila selisih antara pendapatan dan seluruh biaya minimal sama dengan nol. Baris kedua merupakan perhitungan dengan harga sosial atau harga bayangan, yaitu harga yang mengambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesunguhnya bagi unsur-unsur biaya maupun output. Usaha dapat dikatakan layak apabila selisih antara pendapatan sosial dan seluruh biaya sosial lebih besar atau sama dengan nol. Baris ketiga merupakan perhitungan antara harga pasar dan harga bayangan. Selisih perhitungannya menunjukan dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap input maupun output. Apabila selisih diantaranya menunjukan nilai negatif atau positif, hal ini menunjukkan adanya campur tangan pemerintah dalam penentuan harga, baik yang bersifat mendukung ataupun menghambat. Apabila nilainya nol menunjukan bahwa tidak ada campur tangan pemerintah dalam penentuan harga dan kondisi yang terjadi adalah pasar persaingan sempurna (Monke dan Pearson 1998). Dari matriks PAM dapat dilakukan beberapa analisis yaitu : 1.
Analisis Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial a. Privat Profitability (PP); D = A – (B+C) Keuntungan
privat
merupakan
indikator
daya
saing
(competitiveness) dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan yang ada. Apabila D > 0 maka sistem komoditi itu memperoleh profit diatas normal yang mempunyai implikasi 37
bahwa komoditi itu mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. b. Social Profitability (SP); H = E – (F+G) Keuntungan sosial merupakan indikator keungulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan efisien. Apabila H > 0 dan nilainya makin besar, berarti sistem komoditi makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, bila H < 0, berarti sistem komoditi tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Untuk komoditi tertentu, daerah yang mempunyai SP lebih besar akan memperoleh prioritas lebih tinggi untuk pengembangan komoditi tersebut. 2. Analisis Keunggulan Kompetitf (PCR) dan Keunggulan Komparatif (DRC) a. Privat Cost Ratio (PCR) = C/(A-B) Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan berapa banyak sistem komoditi tersebut dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif yakni break event setelah membayar keuntungan normal (D=0). Jelas perusahaan lebih menyukai D > 0 dan ini dapat diraih jika C < (A-B). Maka usaha penanganan biaya faktor domestik dan biaya input tradable adalah bertujuan untuk memaksimumkan profit. Dengan demikian PCR menunjukan kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga privat. Apabila nilai PCR < 1 dan makin kecil, berarti sistem komoditi tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuan itu meningkat. b. Domestik Resource Cost Ratio (DRC) = G/(E-F) Rasio biaya sumberdaya domestik adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga sosial. Nilai DRC merupakan indikator 38
kemampuan sistem komoditi membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial. Apabila DRC > 1 berarti sistem komoditi tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Kegiatan ini akan memboroskan sumberdaya domestik yang langka karena memproduksi komoditi dengan biaya sosial yang besar daripada biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan
lain,
maka
melakukan
impor
akan
lebih
efisien
dibandingkan dengan memproduksi sendiri. Sebaliknya apabila nilai DRC < 1 dan nilainya makin kecil berarti sistem komoditi makin efisien, mempunyai daya saing yang makin tinggi dan mampu hidup tanpa bantuan dan intervensi pemerintah serta mempunyai peluang ekspor yang makin besar. Dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, komoditi dengan nilai DRC lebih kecil akan memperoleh prioritas lebih tinggi dalam pengembangannya. Beberapa asumsi yang harus dipenuhi agar konsep DRC dapat diterapkan dalam analisis ekonomi yaitu (Pearson et al.2004) 1) Ada pengaruh dari pemerintah pada nilai tukar. 2) Ada pengaruh dalam pengembangan komoditas yang dianalisis, berupa peraturan dan pembatasan dari pemerintah. 3) Output bersifat tradable. 4) Biaya produksi dari tambahan satu output ditentukan oleh hubungan input-output (teknologi) yang konstan dan harga relatif faktor input tetap 5) Harga bayangan input dan output serta nilai tukar uang yang dapat dihitung dan mewakili biaya sumberdaya sosial yang sebenarnya. 3.
Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output a.1. Output Transfer (OT) = A-E Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai OT menunjukan terdapat 39
kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berada. Nilai OT positif menunjukan besarnya transfer (insentif) dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen. Dengan kata lain masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya apabila OT bernilai negatif. a.2. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) = A/E Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer output. NPCO menunjukan dampak kebijakan (kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi) yang menyebabkan divergensi antara harga privat dan sosial terhadap harga output. Apabila NPCO > 1 berarti pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga efisiensinya (harga dunia). Penurunan tarif impor produk pertanian secara bertahap akan menurunkan nilai A, karena harga produk menurun, sehingga nilai NPCO secara bertahap akan menurun. b. Kebijakan Input b.1. Transfer Input (IT) = B-F Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Nilai IT positif menunjukan besarnya transfer (insentif) dari produsen kepada pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor. b.2. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) = B/F Koefisien input proteksi nominal merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. NPCI menunjukan dampak kebijakan 40
(kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi) yang menyebabkan divergensi antara harga privat dan harga sosial untuk input yang diperdagangkan (tradable input). Apabila NPCI > 1, berarti pemerintah menaikan harga input tradable di pasar domestik di atas harga efisiensinya (harga dunia). Hal ini membawa implikasi sektor yang menggunakan harga input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli input produksi. Penurunan tarif impor input secara bertahap akan menurunkan nilai B, karena harga input menurun, sehingga NPCI menurun. Sebaliknya jika nilai NPCI < 1, berarti pemerintah menurunkan harga input tradale di pasar domestik di bawah harga efisiensinya. Hal tersebut dapat pula menunjukan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri. b.3. Transfer Factor (FT) = C-G Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukan perbedaan harga privat dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT menunjukan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada input tradable. Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan negatif). Jika nilai FT positif berarti ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif. c.
Kebijakan Input Output c.1. Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F) Koefisien proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara koefsien output nominal. Nilai EPC mengambarkan sejauh mana kebijakan pemerntah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. EPC menunjukan tingkat transfer kebijakan dari pasar produk dan input yang diperdagangkan. Apabila EPC > 1, berarti pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di 41
atas harga efisiensinya. Dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen domestik berjalan dengan efektif. Sebaliknya jika EPC < 1, berarti kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan efektif. Penurunan tarif impor secara simultan untuk output dan input akan menurunkan nilai EPC. Namun seperti halnya NPCO atau NPCI nilai EPC juga mengabaikan efek transfer dari kebijakan pasar faktor. Oleh karena itu, koefisien tersebut bukan merupakan indikator yang lengkap mengenai insentif. c.2. Net Transfer (NT) = D-H Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT > 0, menunjukan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sebaliknya jika NT bernilai negatif. c.3. Profitability Coeffisien (PC) = D/H Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara hubungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. PC merupakan indikator yang lebih lengkap dibandingkan dengan EPC, yang menunjukan dampak insentif dari semua kebijakan (harga output, harga input, dan faktor domestik) dan oleh karenanya merupakan proteksi dari transfer kebijakan bersih (net policy transfer). Jika PC > 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Penurunan secara simultan tarif impor secara bertahap pada output dan input yang diperdagangkan serta adanya subsidi akan menurunkan nilai PC, sedangkan kebijakan yang efisien pada faktor domestik (terutama bunga bank) akan meningkatkan nilai PC. Sebaliknya jika nilai PC < 1, menunjukan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. Berarti produsen harus mengeluarkan sejumlah dana kepada masyarakat atau konsumen.
42
c.4. Subsidy Ratio to Produce; (SRP) = L/E Rasio subsidi produsen menunjukan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan antara besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditi pertanian. Nilai SRP juga dapat dipecah menjadi tiga bentuk melihat secara terpisah dampak transfer pada output, input yang diperdagangkan, dan faktor domestik. Apabila nilai SRP negatif menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan (opportunity cost) dan sebaliknya jika nlai SRP positif.
43