ISSN : 2087-05950
Referensi
ANALISis POLITIK DWI BULANAN Volume II Tahun 4 Desember 2011
I M KA G TENTAN
T
erbitan Referensi adalah analisis dwi bulanan tentang ABC Politik dalam format terbitan. Referensi hadir dalam skema keengganan mayoritas untuk mengunyah jurnal-jurnal berat dan terkesan sebagai projek pemenuhan harsat kaum intelektual belaka. Di sisi lain budaya massa yang berkembang lebih gandrung pada karya-karya dengan nuansa dan format dangkal, instan dan sesaat. Politik tidak hanya sebagai nalar kebinatangan untuk berkuasa, mistifikasi terhadap realitas serta justifikasi terhadap sebuah kemenangan. Politik merupakan suatu bangunan nilai (value), keutamaan (virtue) serta etika (ethic) sebagai peralatan memajukan peradaban manusia. Disinilah dibutuhkan media sebagai ranah pembelajaran bersama, pendokumentasikan peristiwa dan pemaknaan terhadap situasi. Referensi memberikan ruang ekspresi kepada kalangan politisi, aktifis dan penulis muda yang kadang tak tertampung oleh media mainstream. Referensi tidak hadir dalam ruang kosong yang terpisah dari realitas yang berkembang. Namun mencoba membuka ruangruang komunikasi diantara Pols dan Vols dalam ranah politik. Karena ia berperan sebagai komunikator, maka ia akan adaptif, responsif, dan eksploratif terhadap kebutuhan Pols dan Vols. Referensi juga menyediakan kanal feedback dalam ragam bentuknya seperti ketertarikan, kesadaran pembaca, pencerahan, ataupun pemikiran tandingan dalam ruang diskusi setiap tema yang akan dipilih pada setiap edisi. Referensi hadir dari proses kerjasama Populis Institute, Institute for Walfare Democracy, serta Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia.
SENARAI
Referensi
ANALISis POLITIK DWI BULANAN
Pemimpin Umum: Willy Aditya Redaktur Ahli: Gusti Kurniawan Noor Cholish Redaktur Pelaksana: Bayu Agni Redaksi: Rifqi Hasibuan Husni Rohman Arif Rahman Hakim Darisman David Krisna Alka Fanny Yuli Chaniago Muhammad Jindan Marketing: Citra Ali Fikri M Fauzan Mufid IT: Kurniawan Mas’ud Cover: M. Bakkar wibowo Lay Out: Kurniawan Mas’ud Ridho Pamungkas Alamat Redaksi Jl. Peningkatan I No. 40 Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan 12870 Telepon 021-8302433 Email Redaksi:
[email protected] [email protected]
Editorial Kebebasan Mahasiswa Berpartai
2
Resume Diskusi Kebebasan Mahasiswa Berpartai: Mencari Jalan Politik Gerakan Mahasiswa
6
Artikel Utama Gerakan Mahasiswa Indonesia Pasca Reformasi: Mau Kemana? (Fanny Yulia Chaniago)
17
NKK/BKK, Tonggak Depolitisasi Mahasiswa Indonesia (Noor Cholis)
27
Kolom Gerakan Mahasiswa Cordoba 1918: Contoh Baik yang Tak Kunjung Kita Konkretkan (Arif Rahman Hakim)
37
Gerakan Mahasiswa dan Percobaan Demokrasi (Husni Rahman)
44
Berkaca pada Perancis 1968 (Bayu Agni)
48
Gerakan Mahasiswa dan Partai Politik: Studi Kasus Korea Selatan (Darisman)
57
Demokrasi Arab; Dari Generasi Apolitik Menuju Generasi Politik (David Krisna Alka)
65
PROFIL Profil Willy Aditya : Penerus Kepeloporan Mahasiswa (Rifqi Hasibuan & M Taufiq)
70
catatan Cinta Segitiga Aktivis Mahasiswa, LSM dan Partai Politik (Muhammad Jindan)
84
EDITORIAL
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
2
Kebebasan Mahasiswa BerpARTAI
D
alam khasanah bahasa Indonesia, hanya sedikit frase yang lazim menggunakan istilah “maha”. Di antara yang sedikit itu adalah mahasiswa. Dari sisi terminologi, mahasiswa sudah menyandang predikat yang sangat agung, setara dengan istilah-istilah ketuhanan dan kalangan penguasa. Entah siapa yang berinisiatif menggunakan istilah ini. Entah apa juga yang mendasari pilihan kata yang secara tidak langsung menyejajarkan mahasiswa dengan konsep-konsep teologi dan kekuasaan itu. Yang pasti, mahasiswa yang lahir dari kronik modernitas ini memang menoreh catatan penting dalam sejarah. Berdirinya universitas dan lahirnya mahasiswa telah menempatkan dirinya sebagai pendorong gerakan sosial yang efektif selain proses industrialisasi, mobilitas spasial, perkembangan teknologi dan persebaran demokrasi. Dalam panorama politik Indonesia, mahasiswa juga meninggalkan jejak-jejak yang nyata dalam setiap patahan sejarah.
Gelombang awal pergerakan nasional hingga masa Reformasi, aktual mencatat keterlibatan para pemuda terpelajar itu sebagai aktor penting. Meskipun begitu, eksistensi mahasiswa sebagai aktor perubahan tak pernah lepas dari dinamika pasang surut. Kondisi saat ini menggambarkan tren gelombang surut yang meredam entitas gerakan mahasiswa. Heroisme mereka saat berjajar di atas demarkasi antara Orde Baru dan Reformasi seolah tinggal epilog dalam catatan akhir edisi pergerakan. Banyak pengamat mengibaratkan gerakan mahasiswa seperti Superman. Dia muncul pada saat-saat kritis, memainkan laga heroik menghadang kriminal yang sedang beraksi, setelah itu pergi lagi. Laga Superman tak pernah menunjukkan aksi sistematis dan berkelanjutan dalam mencerabut atau menanggulangi permasalahan. Adegan inilah yang tengah berlangsung dalam konteks gerakan mahasiswa Indonesia saat ini.
3
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Pada masa pergerakan nasional, mahasiswa dan kalangan terpelajar menampilkan diri dalam garis depan perjuangan. Tokoh-tokoh pendiri republik ini menyadari potensi pergerakan yang tersimpan dalam entitas mahasiswa. Tak ingin menyiakan potensi itu, terbentuklah organ-organ mahasiswa saat usia republik ini masih belia. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) yang kemudian menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), adalah organisasi mahasiswa yang lahir pada tahun 1947, diikuti oleh Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Saat itu, organ-organ mahasiswa terbentuk sebagai wadah ideologisasi dan sayap politik dari partai-partai yang ada. Mahasiswa kala itu sadar bahwa para founding father melakukan aktualisasi secara ideologis dan secara politis dalam kerangka kebangsaan, bukan dalam kepentingan akademis atau kepentingan kampus semata. Meraka juga sadar bahwa kepentingan bangsa tidak bisa diselesaikan secara sektarian, tapi harus terintegrasi lintas sektoral yang terikat dalam simpul kebangsaan.
Lebih jauh lagi, para aktivis mahasiswa dan juga tokoh-tokoh bangsa kala itu sadar sepenuhnya, bahwa persoalan republik adalah persoalan politik. Untuk aktualisasi politik itulah partai politik lahir dalam persalinan modernitas. Pada usia awal republik ini, instrumen politik tidak satusatunya disandang oleh partai politik, karena Pemilu pertama tahun 1955 memberi ruang keterlibatan yang luas. Ormas, bahkan individu diperbolehkan mengikuti Pemilu paling demokratis dalam catatan republik itu. Meskipun begitu, sebagian besar tokoh bangsa tetap berpendirian bahwa partai politik yang paling layak menjadi instrumen perjuangan ideologi dan kepentingan bangsa. Tak mengherankan, jika partai politik saat itu benar-benar menjadi alat ekspresi kebangsaan yang diperagakan oleh segenap warga. Tak juga perlu diperdebatkan bahwa gerakan mahasiswa kala itu adalah bagian dari dinamika dan ekspresi partai politik. Perkawinan ideologis antara gerakan mahasiswa dengn partai politik itu terpaksa menjalani talak satu setelah peristiwa ‘65.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Angkatan ’66 adalah trend baru dalam tradisi gerakan mahasiswa kala itu. Gerakan yang menjadi pionir kejatuhan orde lama ini membentangkan jarak dengan partai politik, dan menandai awal identifikasi sebagai gerakan moral. Awal dekade 70 an, kembali gerakan mahasiswa menunjukkan geliatnya. Menyongsong Pemilu pertama Orde Baru tahun 1971, eks angkatan ‘66 berkonsolidasi mengusung gerakan Golongan Putih (Golput). Pada tahun 1972, mereka kembali turun jalan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang disertai penggusuran besar-besaran. Tak ingin membiarkan api menyala dalam sekam, pemerintah segara bersikap. Partikel bebas cenderung lebih liar dibanding partikel-partikel yang bersenyawa dalam satu molekul. Para aktivis mahasiswa harus diikat lagi dalam satu wadah yang lebih memudahkan pemerintah untuk mengontrol. Tahun 1972 juga berkumpullan
Referensi
4
organ-organ mahasiswa lama yang terberai seiring peristiwa ’65. Mereka berkumpul dengan ketentuan baru, yaitu larangan bagi anggotanya untuk terlibat dalam kepengurusan partai politik. Hal itu disertai dengan sanksi pengeluaran bagi anggota yang terlibat. Talak dua bagi gerakan mahasiswa dan partai politik. Faktanya, cerai paksa yang direkayasa pemerintah Orde Baru ini tidak serta-merta menyurutkan gairah pergerakan yang terkandung dalam diri mahasiswa. Terbukti, dua tahun setelah konsolidasi Cipayung, meletus pergerakan besar yang dikomandoi oleh mahasiswa. Peristiwa itu dikenal dengan nama Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Akibat lanjutnya, pemerintah semakin ketat mengontrol Dewan Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Puncak dari kucing-kucingan antara mahasiswa dan pemerintah adalah terbitnya SK 0156/ U/1978 tentang Normalisasi Kebijakan
5
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Kampus (NKK), disusul dengan SK Menteri P&K no.037/U/1979 tentang Badan Kordinasi Kemahasiswaan (BKK). Talak tiga untuk gerakan mahasiswa. Jangankan berparti, untuk sekedar berpolitik pun sudah tak ada lagi ruang bagi mahasiswa. Dewan Mahasiswa dibubarkan, diganti dengan badan baru yang anggotaanggotanya dipilih dan dikontrol oleh pejabat kampus. Perceraian antara gerakan mahasiswa dan partai politik itu diikuti dengan impotensi pergerakan secara menyeluruh. Penataran P4 yang diterapkan kemudian, bukan sekedar media pendidikan warga negara, tapi juga alat untuk mengebiri setiap aktivitas poltiik dalam lingkungan-lingkungan formal. Tuntas sudah upaya memotong generasi pergerakan di negeri ini. Organisasiorganisasi Cipayung sebagai representasi gerakan mahasiswa yang masih bertahan saat itu telah mengalami transplantasi gairah pergerakan, diganti dengan mental korporasi yang membungkuk pada kepentingan Orde Baru. Hal itu terbukti pada gelombang pergerakan berikutnya. Pada tahun 1998, ketika sejarah kembali mentakdirkan lahirnya gelombang baru pergerakan mahasiswa, kelompok Cipayung tidak banyak mengambil peran. Massa mahasiswa yang meluber ke jalanjalan mayoritas adalah massa spontan yang tergerak oleh propaganda gerakan-gerakan mahasiswa bawah tanah yang mengalami hibernasi selama tahun-tahun beku NKK/ BKK. Sayang, musim semi pergerakan yang kembali membiakkan gerakan mahasiswa disekujur negeri itu tidak diakhiri dengan pembuahan yang manis. Komite-komite aksi yang bermekaran kala itu harus kembali layu,
saat dihadapkan pada mekanisme Pemilu. Gerakan mahasiswa yang di satu sisi tidak anti politik, namun di sisi lain gamang untuk memasuki arena politik formal dipaksa untuk kembali ke “habitatnya” lantaran kegamangannya. Kembali gerakan mahasiswa mengalami gagal panen. Hama-hama oportunis kembali menyerbu kursi-kursi kekuasaan yang kosong. Tak mengherankan, jika reformasi saat ini masih belum sesuai harapan. Kaum mahasiswa sebagai kekuatan pelopor yang menggeser musim Orde Baru, justru banyak yang mengabaikan kebutuhan untuk melanjutkan perubahan. Namun dialektika sejarah terus berjalan. Gerakan mahasiswa seperti sedang menunjukkan gelagat reinkarnasinya. Sebuah kelompok gerakan mahasiswa telah menyatakan dirinya sebagai bagian inheren dari dinamika politik, yang direpresentasikan oleh Partai Politik. Mereka mendeklarasikan diri dan mengabarkan kepada semua khalayak bahwa gerakan mahasiswa harus kembali menjadi bagian dan terpisahkan dari perjuangan partai politik. Gelagat ini belum menjadi endemi positif bagi kelompok-kelompok yang lain. Sebagian masih bertahan dan alergi dengan keterlibatan dan keterusterangan terhadap partai politik. Sebagian yang lain bahkan mencibir dengan sematan-sematan miring. Tentu itu adalah hak mereka dan biarkan itu menjadi dialektika setiap kelompok. Namun satu hal, semangat zaman ini membutuhkan penyegaran kembali bentuk dari pergerakan mahasiswa. Apalagi di tengah situasi politik Indonesia saat ini. Kita tunggu saja waktu untuk menjawabnya.
KUSI DIS
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
6
Resume Diskusi:
Kebebasan Mahasiswa Berpartai: Mencari Jalan Politik Gerakan Mahasiswa
S
ejarah selalu berulang, begitu kata orang. Meski tidak kembali pada titik semula namun posisi yang paralel dengan titik tersebut selalu terjadi. Jika digambarkan, gerak sejarah ini seperti gerak spiral, berputar sambil melakukan gerak maju. Seperti sejarah politik Indonesia. Presiden pertama negara ini digulingkan secara perlahan (kudeta merangkak) oleh Jenderal Soeharto – setelah sebelumnya sang presiden diirongrong oleh demonstran. Tiga puluh dua tahun kemudian sang Jenderal digulingkan
oleh kekuatan penentangnya, setelah sebelumnya berjuta-juta demonstran juga memintanya untuk lengser. Demikian juga gerakan mahasiswa di Indonesia. Ia pernah lahir dari rahim politik praktis, dipisahkan oleh kekuasaan, kemudian secara perlahan mulai pedekate kembali. Setidaknya ini ditandai dengan lahirnya organ gerakan mahasiswa Liga Mahasiswa NasDem (LMN) yang secara terbuka menyatakan diri sebagai bagian dari Partai NasDem – partai yang baru saja dinyatakan lolos oleh Kemenkumham beberapa waktu lalu.
7
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
LMN mungkin bukan fenomena, sebab belum ada kelompok-kelompok gerakan mahasiswa lainnya yang “mengikuti” jejaknya. Tetapi sebagai sebuah dialektika sejarah gerakan mahasiswa, kehadiran LMN menjadi ruang sekaligus pencetus diskursus soal perlukah gerakan mahasiswa “kembali ke khittahnya” dengan menjadi bagian dari partai politik, sebagaimana dulu HMI dengan Masyumi, PMII dengan NU, CGMI dengan PKI, GMNI dengan PNI, dan yang lainnya. Majalah Referensi edisi kali ini mengetengahkan tema tersebut dalam diskusi ke sembilan yang di adakan di Populis Institute, Jakarta. Referensi memandang tema tersebut sebagai tema yang menarik, dan perlu diulas secara komprehensif. Hadir dalam diskusi tersebut Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ton Abdillah, Ketua Presidium Pegerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Parlindungan Simarmata, Ketua Bidang Perjuangan Politik Kampus Liga Mahasiswa NasDem (LMN) Dedy Helsyanto, mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa (Dema) UGM Gusti Kurniawan, dan Mantan Aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Noor Cholis. Perlu pembagian tugas Tampil sebagai pembicara pertama adalah Ton Abdillah. Ton menuturkan, di era Orde Baru proses depolitisasi mahasiswa melalui NKK/BKK sangat mempengaruhi gerakan mahasiswa (GM) yang dampaknya amat terasa hingga hari ini. Pola gerakan yang dibangun pada masa itu dilakukan secara bawah tanah, dalam bentuk lingkar studi atau kelompok diskusi hingga menjadi organisasi-organisasi yang berandil besar dalam Reformasi ‘98. Sayangnya Reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto tidak menghasilkan perbaikan sistem yang
seperti diharapkan oleh GM itu sendiri. Gerakan mahasiswa malah terlihat gamang menyikapi perubahan situasi dan gagap mengambil peran-peran politiknya. Berkaitan dengan hubungan mahasiswa dan partai politik, Ton berpandangan bahwa pernah terjadi hubungan GM dengan partai politik. Pada masa Orde Lama banyak organisasi mahasiswa menjadi underbow partai politik seperti HMI dengan Masyumi, CGMI dengan PKI, atau GMNI dengan PNI. Kebanyakan aktivis mahasiswa era ini belakangan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau menjadi birokrat Orde Baru. Sementara di era demokrasi liberal saat ini, pemilik kapital dipandang lebih memiliki pengaruh lebih kuat daripada partai politik. Sebenarnya ide maupun praktek gerakan mahasiswa yang berafiliasi pada partai politik merupakan hal yang wajar dan mendukung dinamika GM itu sendiri. Tetapi Ton mengingatkan bahwa tantangannya adalah kecenderungan resistensi yang sangat besar dari kalangan mahasiswa maupun kalangan kampus lainnya. Hal ini tidak lepas dari track record parpol di masa lalu yang cenderung berperilaku buruk dan jauh dari kepentingan rakyat. Berkaca pada kondisi seperti itu, revitalisasi partai politik memang perlu dilakukan. Sementara mahasiswa, sebagai kaum intelektual, bisa menjadi pelopor dalam hal ini. Diakui Ton bahwa di era demokrasi modern saat ini, gerakan mahasiswa memang perlu mendekatkan diri pada partai politik karena partai politik adalah satusatunya saluran politik yang bisa mengubah kebijakan Negara. Ton kemudian menawarkan satu formulasi peran gerakan mahasiswa yakni keharusan
Vol II Tahun 4 Desember 2011
adanya pembagian tugas diantara gerakan mahasiswa itu sendiri: siapa yang akan berperan di wilayah politik formal dan siapa yang akan bekerja di level grassroot. Perlu Perhitungan Kekuatan Pembiacara berikutnya adalah Parlindungan Simarmata. Dalam paparannya, dia menyatakan perbedaan orientasi antara gerakan mahasiswa dan partai politik. Partai politik cenderung berorientasi pada bagaimana dia berkuasa, sementara mahasiswa berfokus pada wilayah akademis. Dalam realitasnya, perbedaan kepentingan tersebut tidak akan bertemu. Dalam kondisi saat ini, ruang yang tersedia bagi mahasiswa dalam partai politik sangatlah kecil. Menurut Parlindungan, biasanya kader baru harus “mengantri” cukup lama untuk bisa masuk dalam lingkaran pengurus partai karena pola pengkaderan partai yang lemah dan sistem rekrutmen yang tidak terbuka. Parlindungan menyatakan sikap pesimisnya terhadap relasi partai politik dengan gerakan mahasiswa. Ada kekhawatiran yang cukup besar pada kebanyakan mahasiswa bahwa sikap kritis mereka akan terbungkam bila menjadi underbow partai politik. Menguatkan argumentasinya, Parlindungan mengungkapkan bahwa banyak mantan aktivis mahasiswa yang berada di lingkaran kekuasaan saat ini cenderung berperilaku kontraproduktif terhadap gerakan mahasiswa, misalnya dengan terseret kasus korupsi, ikut andil menelurkan kebijakankebijakan anti-rakyat, dan sebagainya. Di sisi lain organisasi ekstra kampus seperti PMKRI, HMI, IMM, dan lain-lain juga kesulitan untuk mengembangkan organisasinya di tengah gempuran pragmatisme yang melanda mahasiswa.
Referensi
8
Parlindungan menegaskan, bila gerakan mahasiswa hendak masuk dalam lingkaran partai politik, mahasiswa harus memperhitungkan kekuatannya terlebih dahulu. Jangan sampai mahasiswa kehilangan fungsi kontrol terhadap kekuasaan justru karena salah mempertimbangkan strategi politiknya. Menurutnya, kaderkader organisasi mahasiswa yang telah duduk di lingkaran kekuasaan atau jajaran pemerintahan sebaiknya diperlakukan sebagai supporting system. Itu dilakukan sebagai upaya mempertahankan independensi dan idealisme gerakan mahasiswa dari berbagai pengaruh kepentingan politik yang bertarung. Tak Perlu Lagi Berpura-Pura Liga Mahasiswa NasDem (LMN) merupakan organisasi mahasiswa yang secara tegas menyatakan diri bergabung dan menjadi tulang punggung partai NasDem. Merujuk pada sejarah, Wakil Presiden Mohamad Hatta pernah mengeluarkan Maklumat X pada tahun 1945 yang menyatakan agar dibentuk partai-partai politiik untuk kebutuhan pelaksanaan pemilihan umum dalam waktu dekat. Beriringan dengan pendirian parpol, muncul organisasi-organisasi gerakan mahasiswa yang meleburkan diri sebagai bagian dari partai-partai yang ada saat itu. Maka bagi Dedy, wakil dari LMN dalam diskusi ini, bergabungnya organisasi mahasiswa dalam partai politik bukanlah hal baru. Mahasiswa Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) ini menyatakan, keberadaan LMN diawali dari kritik dan otokritik terhadap gerakan mahasiswa dan partai politik pasca reformasi. Gerakan mahasiswa saat ini cenderung bergerak secara pragmatis dan tidak terorganisir. Begitupun dengan partai politik. Mereka
9
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
sering berperilaku kotor dan cenderung tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Berangkat dari asumsi itu, menurut Dedi, diperlukan organisasi (mahasiswa) baru dengan budaya baru, yang bisa memunculkan harapan akan adanya perubahan sosial di Indonesia. Dia menekankan bahwa dalam organisasi yang budaya (prasangka) negatifnya sudah telanjur melekat, akan sulit untuuk melakukan perubahan. Partai NasDem sebagai partai baru yang mengusung gerakan perubahan, menjadi pilihan yang tepat untuk melakukan restorasi di Indonesia. Kesepakatan terhadap gagasan inilah yang menjadi dasar bagi Liga Mahasiswa NasDem untuk siap dipimpin dan memimpin dalam proses perubahan tersebut. Lebih jauh Dedy menyarankan agar gerakan mahasiswa tidak perlu lagi malu-malu dan berpura-pura untuk menyatakan diri sebagai bagian dari kekuatan partai politik tertentu, karena kenyataan saat ini sangat jelas menunjukkan bahwa dalam setiap kali aksi mahasiswa, pasti banyak prasangka yang mengaitkannya dengan kepentingan politik tetentu. Untuk itu lebih baik gerakan mahasiswa mempertegas identitas politiknya. Keberpihakan secara diam-diam, tertutup, dan personal seperti praktek yang selama ini sering terjadi, perlu diubah secara terbuka dan kolektif/organisasional. Dalam arah gerak ke depan, Dedi menandaskan bahwa Liga Mahasiswa NasDem akan selalu bersikap kritis dan membangun budaya intelektual kolektif. Yang Menjadi Pr Adalah Mempertahankan Idealisme Pembicara berikutnya adalah Noor Cholis. Mantan aktivis SMID ini menjelaskan bahwa saat ini dia sedang melakukan pendokumetasian sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Hal ini dilakukannya
sebagai salah satu upaya pelurusan kembali wacana gerakan mahasiswa dan bahan historis bagi peran dan posisi yang akan diambil gerakan mahasiswa dalam arus perubahan. Dalam paparannya, dia menjelaskan bahwa wacana “kiri” selalu menjadi referensi dalam setiap fase gerakan mahasiswa. Kiri berarti bersikap oposan terhadap kekuasaan yang otoriter, pro-perubahan untuk keadilan, berorientasi pada rakyat atau kerakyatan, dan sebagainya. Kondisi mahasiswa yang apatis dan pragmatis saat ini tidak dapat dilepaskan dari peran Orde Baru yang melakukan depolitisasi pada mahasiswa. Kebijakan NKK/BKK yang dicetuskan di era Mendikbud Daoed Joesoef secara sistematis berhasil menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik. Mahasiswa disibukkan dengan persoalan akademik melalui sistem SKS dan pembatasan tahun kuliah serta dikanalkan dalam kegiatan yang sebatas hobi melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Dari situlah muncul istilah organisasi intra dan ekstra kampus serta pertentangan-pertentangan keduanya. Organisasi intra dipandang tidak kritis, tunduk, dan menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Sementara itu organisasi ekstra dipandang tidak membumi dan gagal secara akademik karena aktivitasnya yang lebih banyak berada di luar kampus. Dalam masa itu, gerakan mahasiswa, terutama aktivis organisasi ekstra kampus, melakukan otokritik atas pola dan kesalahan gerakan era sebelumnya. Mereka merevitalisasi gagasan gerakan sekaligus “mengelabui” struktur kekuasaan dengan bergerak di luar kampus, menjauhi isu-isu elit, dan mulai mengorganisasi kelompok grassroot. Advokasi dalam kasus pembangunan Waduk Gajah Mungkur,
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Peristiwa Badega, dan lain-lain, menjadi karakteristik mahasiswa pada masa NKK/ BKK. Mengenai gerakan mahasiswa kekinian, Cholis berpendapat bahwa sah-sah saja jika mahasiswa hendak memasuki kancah politik yang lebih praktis dalam wadah partai politik. Jika dilakukan secara terbuka dan kolektif menurutnya itu lebih bagus karena akan memperkaya khasanah politik gerakan. Tantangannya adalah bagaimana mahasiswa atau organisasi mahasiswa tersebut mempertahankan idealismenya, mengingat ranah politik formal adalah sesuatu yang jauh berbeda dengan dinamika mahasiswa baik di kampus maupun dalam organisasi mahasiswa. Tidak Ada Gap Antara Gerakan Mahasiswa Dengan Politik Sebagai pembicara selanjutnya, Gusti Kurniawan menegaskan bahwa sejak awal tidak ada gap antara gerakan mahasiswa dengan politik. Menurutnya terdapat kecenderungan hipokrit dalam tubuh sebagian besar organisasi gerakan mahasiswa saat ini, karena ketidakmauannya memperjelas peran dan posisi mereka dalam arena politik. Mereka berusaha
Referensi
10
bertahan pada terminologi kontrol moral dan menghindari wilayah gerakan politik. Faktanya, dalam setiap tuntutannya, gerakan mahasiswa tidak pernah jauh dari wilayah politik. Wacana gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral sebenarnya justru mengaburkan arah gerakan itu sendiri karena memosisikan gerakan mahasiswa di menara gading. Ini sesungguhnya tidak lepas dari setting Orde Baru dalam rangka mengamankan dan melanggengkan kekuasaannya. Gusti mengutarakan kekagumannya pada Liga Mahasiswa NasDem karena hari gini masih ada gerakan mahasiswa yang mau tunduk dan siap dipimpin oleh organisasi yang lebih maju. Ini merupakan sikap yang progesif dalam proses perkembangan ideologi dan strategi gerakan sosial. Sebab faktor ideologi berperan besar bagi arah gerak dan eksistensi sebuah gerakan. Melihat lagi ke masa lalu, pada gerakan mahasiswa ’98 terlihat adanya ketidaksiapan untuk terlibat dalam proses perubahan lebih lanjut pasca tumbangnya rezim. Hal ini ditandai dengan tidak adanya kontrol terhadap arah reformasi. Masih ada kewajiban gerakan mahasiswa yang belum dituntaskan. Untuk itu dia sangat berharap
11
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
gerakan mahasiwa mau belajar pada sejarahnya dan bertindak lebih maju untuk memperbaiki kondisi bangsa. Dalam sistem demokrasi, partai politik adalah ruang yang bisa menjadi pendorong hal tersebut. Di saat partai politik seperti miskin gagasan untuk melakukan perubahan sosial, saat itulah gerakan mahasiswa sebagai gerakan kaum intelektual harus bisa menunjukan identitas dan jatidirinya dengan melakukan revitalisasi fungsi partai politik. Dalam hal ini, faktor ideologi memainkan peran pentingnya sebagai alat kontrol secara internal sekaligus guide bagi proses perkembangan berikutnya. Mengembalikan Khittah Gerakan Mahasiswa Dalam sesi tanya jawab, Willy Aditya, bertanya apakah terminologi gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral merupakan political engineering dari rezim untuk mencabut GM dari induk politiknya? Jika hanya berpolitik, menyitir Noer Cholish, bagi Willy itu sudah biasa. Misal demonstrasi, advokasi, dan sebagainya. Hal yang baginya tak masuk akal adalah justru setelah 13 tahun Reformasi, kecenderungan anti partai politik sangat besar di kalangan GM sendiri. Hal kedua menurut Willy, apa yang disampaikan oleh Noer Cholish tentang idealisme adalah hal yang terlalu menyederhanakan persoalan. Mengapa kita tak berbicara mengenai konstruksi ideologis atau konstruksi politik saja? Toh, fakta hari ini mengatakan bahwa kebutuhan GM untuk memasuki ranah politik (dan dengan demikian berarti instrumen politik) secara kolektif tidak pernah terjadi. Mengapa tidak ada kelompok/organisasi gerakan mahasiswa yang menyatakan diri secara sadar dan kolektif bahwa mereka bergabung dan dipimpin oleh sebuah partai politik?
Di sisi lain ketiadaan ikatan politik yang jelas dan kolektif antara organisasi gerakan mahasiswa dengan partai politik berakibat muncul dan menguatnya ikatan patronclient/feodalistik (seperti tradisi abangadik), hal yang justru sebenarnya harus dihilangkan dari tradisi politik Indonesia. Gagasan menghadirkan kembali partai politik ke dalam kampus bagi Willy tidak akan menggerus organisasi-organisasi gerakan mahasiswa seperti yang ditakutkan sebagian besar orang, malah sebaliknya, justru melakukan revitalisasi dan mengembalikan khittah sejati gerakan mahasiswa seperti halnya yang dilakukan Soekarno dengan mendirikan PNI atau Douwes Dekker yang mendirikan Indische Partij. Kecenderungan gerakan mahasiswa dan organisasi-organisasinya saat ini yang sangat anti-partai politik tersebut lebih mengarah kepada sikap politik yang kekanak-kanakan (infantile disorder), karena hanya melihat aktor – seperti dikotomi gerakan mahasiswa dan partai – bukan situasi obyektif. Sementara situasi obyektifnya sudah jelas: adakah alat sirkulasi kekuasaan selain partai politik? Jika situasinya seperti Pemilu tahun 1955 yang bisa diikuti oleh organisasi kemasyarakatan atau bahkan individu, maka partai politik bisa jadi tak dipandang penting dan perlu untuk dimasuki. Tetapi saat ini semua pintu menuju kekuasaan selain partai politik tertutup, dan itulah yang harus dicermati oleh gerakan mahasiswa. Aneh, manakala provider-provider seluler, perusahaan-perusahaan consumer goods, kendaraan bermotor, dan bisnis-bisnis swasta lain diijinkan masuk kampus dalam bentuk sponsorship dan sebagainya, namun partai politik tak memiliki kesempatan yang sama untuk itu hanya karena asumsi: jika partai politik masuk kampus maka mahasiswa akan menjadi pragmatis. Aneh, betapa orang bisa
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dibiarkan untuk menjadi konsumeris namun tak dibiarkan untuk menjadi sadar politik. Aneh, karena orang mengingkari takdirnya sebagai zoon politicon dan hanya menerima dirinya sebagai zoon economicus. Di sisi lain, seharusnya tidak ada lagi pemilahan organisasi intra dan ekstra kampus. Mengapa organisasi-organisasi seperti HMI, PMKRI, IMM, GMNI, dan sebagainya tidak berusaha untuk kembali ke dalam kampus dan tetap terkerangkeng oleh dikotomi ekstra-intra? Seperti diketahui bahwa gerakan mahasiswa seringkali vokal, lantang, dan kritis terhadap struktur kekuasaan politik namun justru mandul ketika berada di dalam kampus dan harus berhadapan dengan dekan dan rektor. Bagi Willy kesadaran semacam ini adalah kesadaran yang metafisis karena melompati realitas materialnya. Nyatanya gerakan mahasiswa yang lantang menyuarakan demokratisasi di luar kampus justru tak mampu membangunnya di dalam kampus. Kampus tetap menjadi entitas yang represif, feodal, dan bahkan berkecenderungan iliberal. Kampus tidak mengakui hak dan kebebasan bagi mahasiswa untuk menjadi berbeda. Penanya lain, Kori Kurniawan, bertanya apakah gerakan mahasiswa selamanya akan menjadi koboi yang hanya turun beraksi saat ada persoalan, membersihkan jalanan, lantas pergi (kembali ke kampus) setelah masalah dianggap terselesaikan, seperti yang diungkapkan Soe Hok Gie? Toh Soe Hok Gie sendiri mengakui bahwa mau tak mau gerakan mahasiswa harus masuk ke dalam dunia politik. Dalam prakteknya, menurutnya, aksi-aksi yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa yang katanya berada di ranah gerakan moral ini ternyata seringkali menjadi alat atau pesanan dari partai-partai
Referensi
12
politik. Gerakan, yang menyatakan diri sebagai gerakan moral, ternyata tidak lepas dari intervensi pertarungan kekuasaan antar partai politik. “Apakah gerakan mahasiswa akan sanggup berbuat banyak tanpa memasuki wilayah politik?” tanyanya lagi. Penanya ketiga, Iwan, mengingatkan bahwa dalam undang-undang dinyatakan jika usia pemilih minimal adalah 17 tahun. Hal itu menunjukkan bahwa orang berpolitik adalah karena “disuruh” oleh negara dan bukan oleh dorongan individu. Segmentasi pembicaraan seharusnya diperluas bukan lagi sekedar mahasiswa, karena mahasiswa sudah pasti harus mendapat porsi lebih untuk bicara mengenai politik. Harus ada perluasan segmen agar terjadi proses regenerasi politik secara umum. Caranya bisa dilakukan dengan civic education sebagai pengenalan dan pembekalan kepada siswa/pelajar baik dari tingkat dasar hingga tingkat atas, baik oleh perorangan maupun komunitas. Bagi Iwan politik adalah suatu proses, sedangkan politik sebagai lembaga adalah persoalan yang lain, oleh karena itu upaya untuk membangun bangsa seharusnya dimulai dari unit-unit terkecil tersebut. Pilihan atau Keharusan? Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Ton Abdillah berpandangan, mahasiswa harus berpolitik, jawabannya adalah ya. Namun apakah untuk itu apakah harus berpartai, adalah persoalan pilihan. Basis gerakan mahasiswa bagi Ton adalah gerakan moral dan gerakan intelektual. Artinya proses pergulatan intelektual mengenai situasi obyektif di luar kampus (melalui berbagai media seperti diskusidiskusi) akan melahirkan gerakan moral dalam bentuk pemihakan terhadap kemanusiaan. Bagi IMM wacana organisasi mahasiswa yang menyatakan diri secara
13
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
terbuka sebagai bagian dari partai politik adalah sebuah asupan energi tambahan. Betapa tidak, jangankan IMM (yang membawa label Muhammadiyah pada namanya) maupun organisasi yang eksplisit berafiliasi terhadap partai politik, organisasiorganisasi mahasiswa yang relatif netralpun seringkali masih menemui kesulitan untuk dapat hidup dan berkembang di berbagai kampus. Yang diizinkan hanyalah organisasi intra kampus seperti BEM, UKM, dan sebagainya. Ide tentang partai masuk kampus adalah hal yang positif karena akan membuka kembali peluang untuk melakukan kampanye dan penguatan peran politik di dalam kampus. Akan tetapi di sisi lain Ton juga mencontohkan bagaimana kekecewaan sebagian besar massa Muhammadiyah (termasuk IMM) dalam kasus Century terhadap partai yang dianggap memiliki kedekatan ideologis dengan mereka yaitu PAN. Kekecewaan tersebut bisa jadi akan lebih besar apabila IMM menyatakan diri sebagai organisasi mahasiswa yang resmi berada di bawah kepemimpinan PAN. Atas dasar itulah pilihan-pilihan politik di IMM untuk berada
di luar partai politik adalah pilihan yang bisa disebut paling rasional. Toh sebagai organisasi kader, IMM mempersilakan kader-kadernya untuk terlibat atau masuk ke dalam partai politik meski hal itu tidak berlaku bagi para pengurusnya. Untuk organisasi-organisasi mahasiswa yang relatif baru berdiri mungkin pilihan afiliasi secara kolektif, langsung, dan terbuka terhadap partai politik adalah hal yang tidak terlalu sulit. Namun tidak demikian bagi organisasi-organisasi yang sudah relatif lama seperti IMM, HMI, GMNI, dan lain-lain, meskipun Ton sendiri mengakui bahwa latar belakang didirikannya organisasi-organisasi tersebut pada awalnya adalah bagian dari upaya kaderisasi bagi partai politik. Di atas semuanya, Ton menegaskan bahwa apapun pilihan politik yang diambil oleh masing-masing organisasi gerakan mahasiswa, partai politik adalah sebuah keniscayaan bagi siapapun yang berbicara tentang perubahan dan kekuasaan. Terlepas dari adanya pintu-pintu yang lain seperti calon independen dan sebagainya, partai politik masih merupakan satu-satunya
Vol II Tahun 4 Desember 2011
pintu atau alat yang paling signifikan dalam konteks kekuasaan. Sependapat dengan Ton, bagi Parlindungan keterlibatan dalam partai politik adalah soal pilihan. Artinya jangan sampai diskursus mengenai hal ini terjebak pada arti/definisi mengenai politik, partai politik, gerakan mahasiswa, organisasi mahasiswa, dan lain-lain. Namun benar menurutnya bahwa pendidikan dan pembinaan politik harus diberikan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pelajar dan mahasiswa, apalagi jika melihat kecenderungan pelajar dan mahasiswa hari ini yang sudah sedemikian apatis. Sedangkan pandangan bahwa gerakan acapkali muncul atas dasar titipan isu atau intervensi partai politik menurut Parlindungan memang benar terjadi dan oleh karenanya PMKRI memilih untuk tidak memasuki ruang-ruang tersebut, terlebih karena aturan PMKRI sendiri menyebutkan bahwa anggota organisasi (baik pengurus maupun non pengurus) yang terlibat sebagai anggota partai politik akan dicabut status keanggotaannya dari organisasi (PMKRI) dan
Referensi
14
hanya akan berstatus sebagai anggota biasa (dengan hak bicara), bukan anggota mutlak (dengan hak suara). Parlindungan memandang tak ada persoalan dengan wacana partai masuk kampus, sepanjang hal tersebut diarahkan pada penguatan dan peningkatan semangat berjuang organisasi gerakan mahasiswa. Sementara lewat Dedy, LMN berpendapat bahwa wacana partai politik masuk kampus adalah hal yang baru dan memang sangat dibutuhkan. Secara hukum tidak ada larangan untuk itu, meski pengalaman menunjukkan bahwa jika partai politik memasuki kampus maka akan menimbulkan situasi yang tidak kondusif berupa konflik politik-ideologi antar organisasi/partai dalam kampus. Itulah yang memunculkan resistensi berupa kekhawatiran dan sikap defensif terhadap wacana ini, meski sebenarnya masih sangat subyektif dan relatif. Bagi Dedy kekhawatiran ini bukan hal yang tak bisa dijawab, karena pertama, tidak ada larangan secara hukum untuk itu. Kedua, jika wacana ini bisa direalisasi maka akan menjadi proyek percontohan dan
15
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
pembelajaran bagi praktek politik yang lebih dewasa dan sadar mengingat mahasiswa adalah intelektual organik yang bisa menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah. Untuk mewujudkan gagasan itu tentu saja membutuhkan kesiapan di kalangan mahasiswa, oleh karena itulah Liga Mahasiswa NasDem hadir dengan secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai organisasi yang berafiliasi dengan Partai NasDem. Hal kedua yang disampaikan Dedy adalah cara atau strategi agar gagasan ini bisa diterima oleh semua. Dedy sendiri secara pribadi menyatakan alasannya bergabung dalam Liga Mahasiswa NasDem sebagai ekspresi dari kekhawatiran atas situasi pasca Reformasi yang tak kunjung membuahkan perubahan yang signifikan dan malah melahirkan situasi yang semakin tak menentu. Alasan lain adalah pengalaman di masa lalu dimana organisasi gerakan mahasiswa sering ditunggangi oleh kepentingan politik yang tengah bertarung di ranah kekuasaan. Pada LMN dia menemukan harapan baru yaitu sebuah organisasi baru dengan format, model, dan kultur perjuangan yang baru, terutama untuk dapat berperan serta aktif dalam memajukan perubahan yang selama 13 tahun pasca Reformasi ini menurutnya tak signifikan. Harapan baru tersebut semakin menguat oleh visi dan misi restorasi yang diusung oleh Liga Mahasiswa NasDem, yang secara terbuka menyatakan membawa semangat yang sama dengan semangat dan cita-cita para founding father bangsa dan negara ini. Antara Previlege Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial-Politik Kaum Intelektual: Counter-Political Engineering Sebagai Proses Penyebarluasan Kesadaran Politik
Sementara Gusti menjawab berbagai pertanyaan di atas dengan mengulang kembali bahwa asal muasal kemandulan dan kesadaran politik di kalangan mahasiswa adalah NKK/BKK. Kebijakan itu, sebagaimana produk-produk kebijakan Orde Baru lain, berhasil menghasilkan kultur yang luar biasa kuat dan tak bisa digerus begitu saja bahkan setelah sekian belas tahun Reformasi. Depolitisasi produk Orde Baru itulah yang sebenarnya harus dilawan karena membuat mahasiswa menjadi semacam lumpen proletariat—merujuk pada terminologi Revolusi Perancis. Lumpen proletariat adalah satu lapisan masyarakat yang tercerabut dari akarnya. Mahasiswa produk NKK/BKK, yang berwatak lumpen ini seolah menjadi kelas sosial tersendiri yang merasa hebat dengan berbagai kelebihannya tapi sebenarnya tidak memiliki akar: tak dekat dengan masyarakat, tak dekat pula dengan kekuasaan. Miskin biaya untuk menolong masyarakat karena tak punya anggaran tersendiri, miskin kekuatan politik pula untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara. Hal yang paling bisa dilakukan hanya demonstrasi namun toh bagi Gusti itu tak bisa mengubah apapun selain sebagai trigger factor (pemicu). Dari situasi produk NKK/BKK itulah Gusti memandang positif gagasan kebebasan mahasiswa untuk berpartai. Memang belum teruji dan terbukti bahwa ide tersebut bakal berhasil, namun keberanian organisasi seperti Liga Mahasiswa NasDem untuk mewujudkan wacana baru ini menurut Gusti adalah sebuah upaya “repolitisasi” terhadap mahasiswa dan kampus setelah sekian lama dibungkam oleh kultur produk NKK/ BKK sekaligus mereorganisasi instrumen politik yang lebih besar dan berkemampuan mengubah negara yaitu partai politik. Partai politik Indonesia hari ini melupakan hakikat
Vol II Tahun 4 Desember 2011
sejatinya sebagai organisasi: mengorganisasi masyarakat. Yang dilakukan hanyalah memobilisasi atau lebih parah lagi membeli suara. Melalui gagasan yang diusung Liga Mahasiswa NasDem, mahasiswa, yang mengklaim diri sebagai agen perubahan, seharusnya bisa menjadi jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan partai politik sembari secara internal melakukan repolitisasi. Gagasan dan praktek progresif seperti inilah yang dalam pandangan Gusti memiliki moral yang jelas, tak seperti organisasi-organisasi mahasiswa atau gerakan mahasiswa lain yang tak memiliki orientasi dan arah perjuangan yang pasti selain menjadi koboi kertas. Lahirnya kesadaran politik di kalangan mahasiswa bagi Gusti adalah keharusan, mengingat mahasiswa memiliki previlege tersendiri di tengah masyarakat. Terlebih saat ini dimana biaya kuliah sangat tinggi. Menjadi mahasiswa tak selalu berarti menjadi lebih pintar dibanding kelompok masyarakat yang lain, tapi menjadi mahasiswa sudah pasti adalah lebih beruntung oleh karena itu tugas, beban, dan tanggungjawabnya seharusnya juga menjadi lebih besar. Berdasar hal-hal yang telah diuraikannya Gusti berharap Liga Mahasiswa NasDem akan menjadi volunteer dan pioneer yang terus menghadirkan dan mendesakkan wacana repolitisasi kampus dan mahasiswa untuk menggerus depolitisasi produk NKK/BKK. Sedangkan Cholish, yang sependapat dengan Gusti bahwa politik adalah hak semua warga negara, menjelaskan bahwa mengingat previlege yang dimilikinya, politik adalah suatu keharusan bagi mahasiswa. Menanggapi Willy, Cholish menyatakan bahwa pemahaman masyarakat tentang menjadi aktivis atau mahasiswa yang sadar
Referensi
16
politik adalah menjadi idealis. Apapun makna idealis itu. Secara sarkas Cholis mendefinisikan idealisme versi masyarakat adalah menjadi oposisi abadi, kalau bisa jangan kaya, dan sebagainya. Oleh karena itu sebenarnya dibutuhkan diseminasi pemahaman bahwa menjadi aktivis adalah menjadi individu yang mampu menjaga konsistensi terhadap komitmen-komitmen perjuangannya. Cholish sendiri menyadari kesalahankesalahan yang dilakukan gerakan mahasiswa ’98, seperti bagaimana gerakan yang terlalu fokus pada satu atau beberapa isu sentral seperti “Turunkan Soeharto”. Tapi ini tak bisa sepenuhnya disalahkan karena memang cuma itu yang paling mampu dipikirkan dan didesakkan oleh gerakan mahasiswa pada saat itu (terlebih mengingat banyaknya kelompok yang terlibat dan dengan begitu menyaratkan adanya kompromi). Pada akhirnya setelah isu-isu sentral ini “dimenangkan” gerakan mahasiswa memang benar-benar kebingungan dan kehilangan arah. Tentang political engineering terhadap gerakan mahasiswa seperti yang diungkapkan Willy, menurut Cholish jika memang demikian, sebenarnya gerakan mahasiswa bisa melakukan re-engineering dan counter-engineering terhadap hal itu. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan Liga Mahasiswa NasDem. Memang tidak semudah membalik telapak tangan karena hal ini berkaitan dengan struktur kekuasaan tapi counter merupakan langkah hal yang perlu dijalani.
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
UTA
17
M A
Gerakan Mahasiswa Indonesia Pasca Reformasi: Mau Kemana ?
Oleh: Fanny Yulia Chaniago (Aktivis Liga Mahasiswa NasDem)
Dekade 90-an: Semangat Baru Gerakan Mahasiswa Awal ‘90-an gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali dengan keluar dari ‘pola dan zona aman’ kelompok diskusi, yang sebelumnya menjadi alternatif di bawah represi negara. Model gerakan jalanan yang sebelumnya dihindari kembali dihadirkan. Isu-isu yang lebih merakyat mulai ‘disambungkan’ dengan isu-isu yang sifatnya lebih politis seperti di era ’70-an. Pada 29 Oktober 1988, 125 mahasiswa Fakultas Filsafat UGM mengisi Jalan Malioboro Jogjakarta, menuntut penghapusan NKK/BKK. Dalam semangat Sumpah Pemuda 1928 mereka menuntut kebebasan berekspresi dan berorganisasi di kampus dengan demokrasi yang bebas dan bersih. Saat itu mereka tidak menamakan aksinya dengan kata ‘demonstrasi’, hanya sekedar sowan ke kantor DPRD Propinsi. Di bawah Menteri P&K Prof. Dr. Fuad Hassan, pada 28 Juli 1990, kebijakan NKK/BKK dicabut dan diganti SK Pra 1945 PERISTIWA: Terbentuknya Kelompok Studi Indonesia yang berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia dan Kelompok Studi Umum yang berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. KARAKTER: Kelompok Studi, maju dalam gagasan dan praktek politik pra kemerdekaan. AKTOR: Soekarno, Moh. Hatta, Sjahrir, dll.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
0457/0/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Kebijakan itu disusul SK 403/U/1990 yang menetapkan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) sebagai satu-satunya lembaga kemahasiswaan intra-kampus yang diakui, dengan Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di dalamnya. Tapi mahasiswa tetap menuntut otonomi kampus, yakni kampus yang bebas dari pengaruh kooptasi dan korporatisme negara termasuk birokrasi kampus. Sebagai respon berdirilah DEMA (Dewan Mahasiswa) di UGM tahun 1994, yang diikuti oleh UI dan berbagai perguruan tinggi lain sebagai model lembaga kemahasiswaan yang independen. Sebelumnya, di awal ’90-an itu pula, para mahasiswa UGM mendirikan KPM UGM (Komite Pembelaan Mahasiswa UGM), yang bergerak di seputar isu akademis (seperti SPP, biaya POTMA/Persatuan Orang Tua Mahasiswa, dan lain-lain), dan KR (Komite Rakyat), yang bergerak di luar kampus dan melakukan advokasi atas kasus-kasus rakyat. Langkah ini menjadi kelahiran baru semangat dan keberanian mahasiswa menentang rezim. Kurun waktu 1990-1994 muncullah LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), DMPY (Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta), dan SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta) di Yogyakarta.1 Di Jakarta lahir 1
Dua organisasi terakhir adalah sempalan FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta), sebuah jaringan gerakan mahasiswa pada akhir ’80-an yang pecah setelah kongres pertamanya tahun 1991. DMPY
1945
Referensi
18
FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta), Solidaritas Mahasiswa Jakarta, dan Forum Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI), di Semarang berdiri Solidaritas Mahasiswa Semarang. Kesemuanya mengkutub pada dua jaringan nasional terbesar: FAMI dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). SMID dalam perkembangannya berafiliasi terhadap Persatuan Rakyat Demokratik (PRD), yang pada kongresnya di tahun 1996 bermetamorfosa menjadi Partai Rakyat Demokratik. Di tengah konsolidasi besar SMID dan FAMI, kelompok mahasiswa dari Yogyakarta, Medan, Jakarta, Lampung, dan Sulawesi menyelenggarakan workshop di Bandar Lampung di tahun 1993 dan mendirikan sebuah jaringan nasional bernama Komite Pendidikan Nasional (KPN) pada 1994. KPN, yang dalam perjalanannya menjadi Front Mahasiswa Nasional (FMN), adalah jaringan dengan kepemimpinan otonom di masingmasing kota. Pergerakan mahasiswa pada era ini biasanya menggunakan komite aksi setiap kali menggelar unjuk rasa dengan isu seputar HAM dan demokratisasi di sektor berikutnya menjadi PPPY (Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta) yang bergabung dengan beberapa jaringan nasional FAMI (selanjutnya menjadi FPPI/ Front Perjuangan Pemuda Indonesia), sedangkan SMY belakangan tergabung dalam jaringan SMID. Selepas bergabungnya SMY ke jaringan SMID salah satu faksi SMY, Kelompok RODE UII, memisahkan diri dan membentuk Serikat Mahasiswa UII (SM UII). Kelompok ini adalah sentrum awal FKMY dan Komite Rakyat sekaligus salah satu inisiator KPN/FMN.
1947 Terbentuk juga Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) untuk daerah-daerah yg masih berada dalam pendudukan Belanda.
PERISTIWA:Berdasar Maklumat X 3 November 1945 tentang pembentukan partai politik lahirlah organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi terhadap partai politik. Pada 1947 lahirlah HMI, PMKI, dan PMKRI. KARAKTER: Organisasi mahasiswa berafiliasi terhadap partai politik. PERISTIWA : Kongres I PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) di Malang.
AKTOR: HMI, PMKRI, PMKI, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djogjakarta (PMD), Masjarakat Mahasiswa Malang (MMM), Sarekat Mahasiswa Indonesia, Persatuan Pelajar Perguruan Tinggi Malang, dll
19
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
mahasiswa dan masyarakat secara umum, namun tetap mengarah pada perlawanan terhadap rezim Soeharto. Edward Aspinall, dalam Opposing Suharto: Compromize, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), melihat gerakan mahasiswa juga ‘bertalian darah’ dengan LSM melalui koneksi yang terbangun dari komite aksi dekade sebelumnya. Misalnya, organisasi Indonesia Front for The Defense of Human Right (INFIGHT), koalisi aktivis LSM-LSM kecil, dan kelompok mahasiswa, khususnya di Jawa Tengah. Fenomena kedekatan dengan LSM ini menjadi bentuk baru koordinasi nasional pergerakan mahasiswa radikal yang melibatkan elemen kemasyarakatan. Beberapa LSM era ini dikenal sangat aktif dalam aksi-aksi advokasi mereka atas kasus rakyat.SebutsajaYayasanKepodang(Jakarta), yang mengadvokasi kaum miskin perkotaan bersama kelompok-kelompok studi mahasiswa seperti Wahana Pembebasan dan Depok School. Lainnya adalah Yayasan Maju Bersama (Jakarta), sebuah LSM Perburuhan yang aktif mengorganisasi dan mengadvokasi buruh bersama kelompok studi mahasiswa UI, Forum Belajar Bebas (FBB). Di Jawa Timur, Yayasan Cakrawala Timur aktif mengorganisasi buruh di Tandes (Gresik), Sidoarjo, dan Surabaya bersama FKMS (UNAIR dan ITS).
1996 atau dikenal dengan ‘Kudatuli’ (Kudeta Dua Tujuh Juli). Setelah peristiwa tersebut, rezim Soeharto memburu setiap aktivis mahasiswa. Tak hanya aktivis SMID dan PRD, yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut dan dinyatakan ilegal, namun juga aktivis kelompok lain seperti jaringan FAMI dan KPN. Itulah pukulan besar bagi gerakan mahasiswa ’90-an. Denyutnya melambat sesaat sebelum menemukan momentum pada tahun berikutnya: 1997.
Rentang 1994-1996, terjadi peningkatan perjuangan melawan otoritarianisme Orde Baru dalam bentuk demonstrasi, advokasi, maupun konsolidasi organisasi gerakan, yang diakhiri dengan meletusnya peristiwa 27 Juli
Menjelang akhir 1997, saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti berbagai krisis lain, para aktivis mahasiswa makin memantapkan diri menuntut mundurnya Soeharto. Pasca peristiwa 27 Juli 1996,
1954
1956
PERISTIWA:GMNI berdiri
PERISTIWA:CGMI berdiri
KARAKTER: Berafiliasi terhadap partai politik
KARAKTER: Berafiliasi terhadap partai politik AKTOR: CMB (Bandung), CMY (Yogyakarta), GMI (Bogor)
1957 PERISTIWA:28 Februari 1957 - mahasiswa mendirikan Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Banyak pihak yg memandang MMI sbg tandingan PPMI yg banyak didominasi CGMI dan GMNI KARAKTER: Dinamika pertentangan ideologi dan politik menguat
Vol II Tahun 4 Desember 2011
geliat awal kembali dimulai: aksi DEMA UGM beberapa minggu setelah peristiwa berdarah tersebut. Setelah itu muncullah elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat temporer dengan mengusung warna ideologi masing-masing namun dipersatukan oleh keinginan bersama: menjatuhkan rezim totaliter Soeharto. Elemen-elemen aksi ini biasanya berwujud ‘komite aksi’, yang mana merupakan ‘kepanitiaan sementara’ dari kelompok-kelompok gerakan dalam rangka merespon satu-dua isu/persoalan tertentu.2 Dengan komite aksi, pelibatan massa yang lebih luas akan dimungkinkan karena sekat-sekat antar organisasi telah terlebur dalam kepemimpinan komite. Secara genealogis, komite aksi semacam ini sebenarnya merupakan ‘kelanjutan’ dari komite-komite aksi yang terjun dalam advokasi kasus-kasus rakyat di era ’80-an (misal komite 45 perguruan tinggi yang menentang pembangunan waduk Kedung Ombo, seperti FKMY, atau komite lain yang menolak kenaikan tarif listrik) serta ’90an awal (seperti LMMY, FKMIJ, dan KPM UGM). Komite-komite aksi ini menggantikan 2
Beberapa aksi diantaranya adalah Komite Anti Penindasan Pers pada Oktober 1996, aksi pencabutan 5 Paket UU Politik dan penolakan Pemilu 1997 oleh Komite Rakyat Independen (Solo) yang menggelar di kampus UNS pada 10 Oktober 1997, aksi di gedung DPR/MPR oleh Forum Senat Mahasiswa se-Jabotabek (FKSMJ), aksi tolak Soeharto oleh Komite Nasional Penegak Demokrasi (KNPD) dan Komite Penegak Demokrasi Indonesia pada pertengahan 1997 di Yogyakarta, atau aksi boikot Pemilu di Lampung oleh Persatuan Mahasiswa dan Pemuda Lampung (PMPL) untuk memboikot Pemilu 1997. Aksiaksi oleh komite-komite serupa bertebaran di sepanjang 1997-1998.
1960 PERISTIWA:PMII berdiri KARAKTER: Berafiliasi terhadap partai politik
Referensi
20
peran kepemimpinan partai, dalam masa dimana tak ada satupun partai politik yang mampu dan berani melakukan guiding atas pergerakan melawan Orde Baru. Melalui kepeloporan komite aksi demonstrasi besarbesaran merebak di berbagai kota di tanah air dan mengkristal menjadi gerakan massa. Sebagaimana konflik tahun 1977-1978, kembali militer menumpahkan darah mahasiswa dalam insiden Trisakti yang menewaskan empat orang, yang hingga saat ini (tentu saja) penyelesaian kasusnya masih abu-abu. Sebelumnya, sepanjang Maret-Mei ‘98 bentrok mahasiswa dan rakyat versus militer terjadi di Semarang, Solo, Medan, Jember, Malang, dan Yogyakarta. Beberapa korban jiwa jatuh akibat kebrutalan militer dan polisi anti huru-hara. Gejolak meluas dengan kerusuhan massa di Solo dan Jakarta pada 13-15 Mei 1998 hingga pendudukan gedung MPR/DPR oleh puluhan ribu mahasiswa yang datang dari berbagai kota dengan tuntutan Sidang Istimewa MPR dan pengunduran diri Soeharto. Di bawah tekanan aksi mahasiswa yang bergelombang dan sorotan internasional atas berbagai kasus kerusuhan, pimpinan MPR/DPR tak punya pilihan lain kecuali mendukung. Pada 18 Mei 1998 MPR/DPR secara resmi meminta Soeharto mundur. Krisis yang dirasakan rakyat membuat dukungan atas aksi mahasiswa datang dari berbagai elemen sosial seperti pelajar, buruh, kaum miskin perkotaan, dan golongan kelas menengah perkotaan yang selama ini
1955-1966 PERISTIWA:Persaingan politik mahasiswa dalam Dewan Mahasiswa di kampus-kampus dan dalam PPMI KARAKTER: Dinamis, sbg hasil dari kontestasi politik partai-partai. Dinamika tsb diturunkan dlm program di masing-masing organisasi mahasiswa spt penelitian, pengkaderan, dll AKTOR: Persaingan utamanya adalah antara HMI-PMKRI-PMKI di satu pihak dengan CGMI-PNI di pihak lain.
1961 PERISTIWA:Kongres V PPMI, CGMI dan GMNI merebut posisi-posisi kepemimpinan PPMI. HMI dan Germasos yang tersingkir dari PPMI membentuk SOMAL, yg aspirasinya berdekatan dengan MMI AKTOR: CGMI, GMNI, GERMINDO, PERHIMI, PMKRI, GMKI vs HMI & Germasos
21
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dirugikan oleh kebijakan rezim Soeharto. Tak dapat diabaikan pula dukungan LSMLSM yang kritis terhadap rezim Soeharto dan menyokong mahasiswa habis-habisan pada puncak aksi mahasiswa 1998. Tekanan perubahan yang dahsyat saat itulah yang memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 19983. Gerakan mahasiswa 1998, yang berperan sentral dalam penggulingan Soeharto, nampaknya telah belajar dari kesalahan gerakan mahasiswa 1974 dan 1978: kekuatan gerakan tak akan membesar jika terjebak pada eksklusivitas dan tak melibatkan rakyat. Gagap Tertatih Pasca Reformasi Setelah Reformasi, mahasiswa dan rakyat Indonesia mengalami euphoria demokrasi. Pesta pora itu diam-diam menggeser rel pergerakan, mengarahkan lokomotifnya ke arah yang melenceng dari tujuan awal. Aktivis mahasiswa berdebat dan terpecah: antara pilihan untuk ikut serta dalam politik praktis dan mengambil jalan intra-parlemen atau tetap bergerak di jalan, menggalang aksi massa, dan menjadi kekuatan ekstra3
Tepat sebelum mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 beberapa aktivis hilang karena diculik orang tak dikenal. Sebelumnya peristiwa serupa juga terjadi, yaitu menjelang Pemilu Mei ’97 dan dua bulan sebelum Sidang Umum MPR Maret 1998. Pada Mei 1998 itu juga 9 korban penculikan Maret ’98 muncul kembali tapi tak satupun korban penculikan ’97 dan Mei ’98 ditemukan. Dari total 23 orang hilang, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), sementara beberapa dari 13 orang yang masih hilang hingga saat ini diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus, Cijantung, Jakarta.
1966
PERISTIWA: 25 Oktober 1966 - pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
parlemen. Hasilnya sudah barang tentu Reformasi dan Pemilu 1999 tak sepenuhnya mencuci bersih sisa Orde Baru dari inangnya, meski kampanye pembersihan sisa Orba dan militer dari panggung politik terus didesakkan misalnya lewat aksi ratusan ribu mahasiswa dan rakyat pada Sidang Istimewa MPR 10-13 November 1998.4 Kaum gerakan gagal menangkap momen dengan sama sekali absen dari panggung politik formal, yang sejatinya adalah keniscayaan bagi perubahan. Keikutsertaan dalam politik praktis sebenarnya telah dimulai salah satu organ pergerakan yaitu PRD. Partai baru ini menjadi peserta pemilu multipartai pertama semenjak tahun 1985. Namun PRD, yang pada akhirnya hanya memperoleh sekitar 400 ribu suara, juga gamang: apakah akan sepenuhnya memperjuangkan kepemimpinan muda dan menggeser orangorang yang terindikasi masih bernafas Orde Baru? Kegamangan ini terlihat dalam slogan ‘Coblos PRD atau Boikot Pemilu’, yang tak 4
Tujuh belas orang tewas dalam peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I ini akibat bentrok massa vs polisi dan militer yang dibantu Pam (Pengamanan) Swakarsa. Sisa Orba dan militer kembali menguat saat pemerintahan transisi mendesakkan RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya) dan berbuntut pecahnya demonstrasi besar-besaran yang memicu terjadinya Tragedi Semanggi II pada 24 September 1999. Pada peristiwa ini seorang mahasiswa UI, Yun Hap, meninggal karena ditembak. Di Lampung 2 mahasiswa Unila tewas direnggut peluru di depan Koramil Kedaton pada 28 September 1999, sementara di Palembang seorang mahasiswa meninggal oleh tusukan bayonet di depan Makodam II/Sriwijaya pada 5 Oktober 1999.
1970 KARAKTER: Efek dari peristiwa G30S/PKI. KAMI PERISTIWA:Protes mahasiswa menentang didirikan sebagai alat pressure terhadap Soekarno kenaikan BBM untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya KARAKTER: Protes kebijakan dan kritik atas AKTOR: HMI, PMKRI, GMKI, PMII, Mahasiswa gerakan mahasiswa sebelumnya yang menjadi Pancasila (Mapancas), SOMAL (Sekretariat alat sekaligus jembatan menuju posisi Bersama Mahasiswa Organisasi-organisasi Lokal), kekuasaan. Muncullah term moral force. IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia), Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), PELMASI (Pelopor AKTOR: Dewan Mahasiswa Mahasiswa Sosialis Indonesia).
Vol II Tahun 4 Desember 2011
mendapat respon dari kelompok-kelompok gerakan yang lain dan memilih abstain. Organisasi gerakan mahasiswa lain, yang memillih jalur ekstra-parlemen, tetap menggalang konsolidasi nasional selepas Reformasi. Sepanjang 1999-2003 Komite Pendidikan Nasional (KPN), yang berubah nama menjadi Forum Mahasiswa Nasional pada 1997, mengkonsolidasi komite-komite aksi yang tersebar di berbagai daerah dan mempertemukannya dengan jaringan DEMA-UGM (yang pada 2000 berganti nama sebagai Serikat Mahasiswa Merdeka UGM) dan KB-UI. Dengan menyamakan langgam kerja organisasi, menghidupkan kembali organisasi tingkat kota dan tingkat kampus, pengorganisasian dan perjuangan massa baik di tingkat kampus maupun kota, organisasi ini akhirnya membangun kepemimpinan nasional dari pusat hingga daerah pada 2003 dan memilih Willy Aditya (DEMA-UGM) sebagai Ketua Umum. Nama Forum Mahasiswa Nasional sendiri berganti dengan Front Mahasiswa Nasional (FMN), yang menunjukkan watak perjuangan lebih tegas dari sekedar jaringan nasional, dengan platform demokratisasi pendidikan, demiliterisasi dan de-Orba-isasi, serta anti-imperialisme. Pada periode ini pula jaringan organisasi gerakan mahasiswa lain mengkonsolidasikan diri dalam Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI).5 5
Jaringan ini diinisiasi oleh KAM Widya Mataram dan SEKAM UMY (keduanya Yogyakarta) dan masih ‘bertalian darah’ dengan kelompok Rode, yang pada akhir ’90-an membentuk Solidaritas Mahasiswa Untuk
1971
22
Sebelumnya hal serupa dilakukan oleh jaringan FAMI. Melalui kongresnya pada 13 November 1998 di Magelang, mereka mengonsolidasikan jaringan mahasiswa seperti PPPY, FAMPERA (Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat), dan KMPD (Komite Mahasiswa Pecinta Demokrasi) di Yogyakarta, FAMRED (Forum Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi) di Jakarta, FAMPR (Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat) di Purwokerto, Formajo (Forum Mahasiswa Jombang), dan lain-lain untuk membentuk FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia). Sedangkan komite-komite aksi bentukan SMID/PRD di berbagai kota seperti KMKD, DRMS, DRRS, DRRB, dan SMPTA di Solo, KPRP dan KNPD di Yogyakarta, PMPL di Lampung, ABRI di Surabaya, KERAS di Semarang, KOMRAD di Jakarta, GMIP Bandung, dan sebagainya membentuk Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) pada 12 Juli 1999, setelah sebelumnya mencoba berkonsolidasi dalam Rembug Nasional Mahasiswa Indonesia (RNMI) di tahun yang sama. Hal menarik di masa ini adalah munculnya beberapa geliat kecil yang tak cukup ‘heroik’ namun menoreh sejarah di tengah kegamangan gerakan mahasiswa. Setelah sebelumnya melakukan aksi peringatan Hari Tani pada 24 September 1998 di dalam kampus UGM, pada medio Kedaulatan Rakyat (SMKR) di Yogyakarta. SMKR adalah salah satu kelompok inti dalam jaringan KPN. Jaringan SMI dideklarasikan sebagai organisasi nasional pada 17 Agustus 2006.
1972 PERISTIWA: Demonstrasi menentang pembangunan TMII
PERISTIWA: 28 Mei 1971 - Kampanye Golongan Putih (menolak Pemilu)
Referensi
1973 PERISTIWA: Demonstrasi anti korupsi 23 Juli 1973 - Pada tahun ini pula dibentuk KNPI sebagai salah satu alat kontrol terhadap aktivitas pemuda & mahasiswa. Grup Cipayung pada awalnya menolak lembaga ini
23
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
1999 DEMA-UGM menginisiasi gerakan demokratisasi kampus dan pendidikan murah. Gerakan tersebut, yang diawali dengan aksi mahasiswa tiap seminggu sekali di area kampus UGM, membesar menjadi Komite APIK (Aliansi Pendidikan Indonesia untuk Kerakyatan) dengan menggandeng sejumlah lembaga intra kampus seperti Pers Mahasiswa (Balairung, Bulaksumur, SINTESA, FREEDOM, Lumut) dan kelompok ekstra-kampus seperti KPRP/LMND, KAPAK (Komite Aksi Pendidikan Anti Kapitalis), LSA (Lingkar Studi Alternatif), dan lain-lain. Isu sentral Gerakan Berbasis Kampus ini adalah privatisasi pendidikan, akibat dikeluarkannya PP 61/1999 di era Mendikbud Juwono Sudarsono6, serta tuntutan demokratisasi pendidikan. Gerakan tersebut memuncak dalam demonstrasi Komite APIK pada peringatan Ulang Tahun Emas UGM (Dies Natalis ke-50), 19 Desember 1999, di Gedung Graha Sabha Pramana UGM yang menjadi tempat dilaksanakannya pesta Dies Natalis. Setelah itu Komite APIK bergerak 6
PP 61/1999 berubah menjadi PP 153/2000 yang menjadi cikal bakal UU Sisdiknas 2003 dan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) No.9/2009. Meski pada akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada akhir Maret 2010 karena dianggap inkonstitusional, faktanya biaya kuliah telanjur naik sejak diterapkannya sistem Ujian Masuk (UM) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri terkemuka seperti UGM dan UI, sedangkan persentase mahasiswa yang diterima sebagian besar adalah melalui UM. Sedikit saja yang diterima melalui SMPTN (Seleksi Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri). Penerapan UM berdasar pada PP 153/2000, dimana setiap calon mahasiswa baru harus membayar sejumlah sumbangan tertentu (minimal Rp.2 juta di UGM) plus biaya SPP yang berada di atas angka 500 ribu per semester. Ini semua telah diprediksi Komite APIK dan jaringannya.
lebih maju dengan membentuk “Jaringan Kerja Nasional untuk Pendidikan” bersama organisasi veteran ’98 lain seperti KB-UI dan Wahana Pembebasan (tergabung dalam POKJA Pendidikan UI), GMIP ITB, GEMA IPB, dan AMUK UNS. Ini sebenarnya merupakan bentuk konsistensi dari tuntutan yang telah ada pada masa pemberlakuan NKK/BKK dan SMPT dan dapat dikatakan sebagai jaringan nasional gerakan mahasiswa pertama yang menuntut demokratisasi pendidikan dan pendidikan murah setelah berpuluh tahun. Hanya saja pada tahun 2003 tuntutan ini dijawab lain dan jauh bertentangan dengan cita-cita mahasiswa. Pemerintah, berbasis PP 153/2000, mengeluarkan kebijakan otonomi kampus lewat UU Sisdiknas No.20/2003, cikal bakal UU BHMN/BHP. Kebijakan itu secara gamblang mengecilkan peran negara dan pemerintah dalam operasional perguruan tinggi dan meleluasakan pimpinan universitas dalam mencari sumber pendanaan. Tingginya biaya kuliah bersama pengetatan masa studi membuat konsentrasi mahasiswa tidak lagi pada esensinya sebagai intelektual yang terlahir dan dibesarkan rakyat, namun menjadi pribadi-pribadi yang dipaksa harus berpikir untuk dan tentang dirinya sendiri: kuliah, lulus dan mendapatkan ijazah, lalu melebur dalam kerumitan dan kegelisahan jaman modern yang tak terselesaikan. Sesungguhnya kalangan pergerakan mahasiswa terus mencoba mendobrak situasi ini dengan tetap menunjukkan geliatnya. Pada tahun 2000 kelompok-
1974 PERISTIWA:
KARAKTER: Anti politik dan ekonomi kapitalis. Isu demonstrasi: ganyang korupsi, bubarkan 15 Januari 1974 - Malapetaka 15 Januari. Demo jabatan asisten pribadi presiden, turunkan harga. dilakukan pada saat kedatangan ketua IGGI, JP Pemerintah mengeluarkan SK 028/1974 Pronk dan berklimaks pada saat penyambutan (Petunjuk-Petunjuk Kebijaksanaan Dalam PM Jepang Kakuei Tanaka Rangka Pembinaan Kehidupan Kampus) sebagai reaksi atas peristiwa Malari. SK ini 28 Oktober 1974 - Kongres I KNPI. Setelah adalah alat kontrol terhadap aktivitas dewan meletusnya Malari, kelompok mahasiswa mahasiswa dan majelis permusyawaratan Cipayung menerima pendirian KNPI & mahasiswa melalui pimpinan-pimpinan bergabung di dalamnya. perguruan tinggi
1977
Vol II Tahun 4 Desember 2011
kelompok gerakan mahasiswa di Yogyakarta menerjunkan anggota-anggotanya ke wilayah Batang, Pekalongan, dalam advokasi kasus antara masyarakat melawan PT. Pagilaran. Puncaknya adalah ketika mahasiswa dan petani Pagilaran beberapa kali mengadakan demonstrasi di Yogyakarta di tahun tersebut. Setahun berikutnya mahasiswa dan jaringan organisasi tani serta LSM mengadakan rangkaian aksi menolak penggunaan pupuk organik di kampus UGM yang digunakan sebagai tempat Seminar Bioteknologi yang disponsori oleh perusahaan internasional, Monsanto. Geliaat yang sama juga dilakukan aktivis mahasiswa di Jakarta, Bandung, dan Nusa Tenggara Barat dengan tetap mengintegrasikan gerakan mahasiswa dengan persoalan-persoalan riil masyarakat seperti pada periode-periode sebelumnya. Selain itu mereka juga tetap berusaha
PERISTIWA: Protes Pemilu 1977 yang dianggap penuh kecurangan dan penolakan terhadap Soeharto sebagai presiden. Demonstrasidemonstrasi merebak di Jakarta, Bogor, Surabaya, Medan, Bandung, Makasar, Palembang. Isu utama di era ini adalah Anti militer, anti Soeharto Oktober 1977 - militer menyerbu kampus ITB untuk merepresi demonstrasi delapan ribuan mahasiswa
Referensi
24
mengkritisi sistem pendidikan seperti yang ditunjukkan pada gelombang penolakan UU Sisdiknas di tahun 2003-2004. Namun nampaknya upaya-upaya tersebut masih tetap membentur dinding tak terseberangi karena mahasiswa secara umum telah telanjur kembali dihalau ke dalam gerbang kampus, terjebak dalam gelombang deideologisasi dan membentuk masyarakat akademis yang apolitis dan anti-politik (lagi). Mahasiswa Kini, Apa yang Dinanti? Negara ini kembali dikendalikan rezim fasis. Itu telah dipahami setiap mahasiswa yang masih tersisa dalam arus pergerakan. Hanya saja, nalar mahasiswa Indonesia kekinian sudah telanjur terperangkap dalam jargon dan mitos masa lalu dengan mengamini depolitisasi sampah NKK/BKK yang manifes dalam bentuk penolakan mentah-mentah
November 1977- Demo ribuan mahasiswa ITS di Surabaya dan ribuan mahasiswa IKIP Jakarta & UI. Pada momen ini muncullah Ikrar Mahasiswa 1977. Demo diblokir tentara dan kendaraan lapis baja agar tak melibatkan rakyat. KARAKTER: Mobilisasi mahasiswa melalui Dewan Mahasiswa
25
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
terhadap politik praktis. Sebagian besar mahasiswa masih percaya terhadap kekuatan politik jalanan dengan mobilisasi massa, menafikan aspirasi dalam koridor politik, hingga menganggap keikutsertaan atau semua proses dalam ruang politik tersebut sebagai hal yang menjijikkan. Mahasiswa terjebak dalam dilema: hidup dalam budaya ‘independensi’ buta buah reformasi ataukah menjadi manusia politik yang aktif. Dilema itu terwujud dalam praktek afiliasi bawah tangan dan malu-malu terhadap partai politik. Kebimbangan dan sikap hipokrit di atas dapat dilihat secara gamblang pada sikap gerakan mahasiswa yang terpecah akibat pertarungan politik elit di seputar isu Bruneigate-Buloggate yang sukses melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2001. Hal sama terulang setahun berikutnya dimana kepemimpinan Presiden Megawati digugat oleh lawanlawan politiknya, juga dalam heboh skandal Century yang mendominasi isu sepanjang 2009 hingga saat ini. Kerap bersatu tapi tak jarang pula terpecah, kembali mahasiswalah yang menjadi alat penekan utama, dengan tak menyadari (atau tak mau terangterangan mengakui) keterpimpinannya oleh partai politik. Akan tetapi dengan mudah pula kita mencari kasus-kasus yang tak sesuai dengan citra-citra heroik tersebut. Jika melongok ke kantong-kantong eks aktivis mahasiswa saat ini, kecenderungan untuk menjadi anggota LSM merupakan opsi mainstream akibat semangat ‘independensi’ dan emoh politik
yang bercampur minimnya skill dan daya saing untuk terjun di dunia yang lebih profesional. Mahasiswa kembali menjadi produk menara gading, memiliki visi pergerakan namun tidak memiliki kesadaran ideologis untuk mengorganisasikannya. Ironisnya, dalam ilusi massal ini pahlawan-pahlawan baru berguguran demi mendedikasikan diri untuk perbaikan bangsa dan kehidupan rakyat. Pada 9 Desember 2011 Sondang Hutagalung meninggal dalam aksi bakar diri sebagai wujud protes terhadap pemerintah yang tak memiliki komitmen serta keberpihakan terhadap rakyat yang menjadi konstituen utamanya, sementara pada 24 Desember 2011 tunas-tunas muda gugur oleh peluru polisi dalam pembubaran demonstrasi rakyat korban perusahaan tambang di Bima, Nusa Tenggara Barat. Miris, manakala naluri pembelaan yang jujur dan ikhlas semacam itu tak tersalur sebagai gerakan politik yang lebih signifikan hanya karena ilusi netralitas dan independensi bercampur dengan praktek politik partai yang penuh kebobrokan dan pengkhianatan. Sementara itu di satu sisi, setelah Reformasi 1998, organisasi-organisasi gerakan mahasiswa (di luar kelompok Cipayung) gagap untuk terlibat dalam proses politik berupa demokrasi prosedural hasil reformasi. Mereka terpecah dalam beberapa ‘suara’: Dewan Presidium Nasional, Boikot Pemilu 1999, sedangkan yang lain memilih terlibat secara malu-malu (seperti menjadi pemantau Pemilu independen, dsb). Di sisi lain kelompok gerakan mahasiswa Cipayung,
1978 10 Januari 1978: Demo besar-besaran peringatan 12 tahun Tritura. Militer kembali menyerbu kampus UI, ITB, ITS. Pimpinan mahasiswa ditangkap, fungsionaris Dewan Mahasiswa (DEMA) masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), pimpinan universitas diteror & diintimidasi karena melindungi anak didiknya. Beberapa pers dibredel, termasuk pers mahasiswa (misal Gelora Mahasiswa) Terbitknya SK Mendikbud No.28/1978 tentang wewenang & peran Civitas Akademika
21 Januari 1978 - dikeluarkannya SK Pangkopkamtib No.02/Kopkam/I/1978 tentang pembekuan DEMA sebagai reaksi atas peristiwa 1977-1978. Mendikbud Syarif Thayeb mengeluarkan Instruksi Menteri P&K 01/U/1978 sebagai langkah operasional pembekuan DEMA 31 Januari 1978 - pemerintah mengeluarkan SK Mendikbud 1256/U/1978 tentang penetapan NKK
Vol II Tahun 4 Desember 2011
yang sebenarnya justru memiliki sejarah politik yang kuat di era ’60 hingga ’70-an, juga tak mampu mendobrak depolitisasi kampus produk NKK/BKK—sebuah ruang yang sebenarnya justru telah terbuka pasca reformasi—pun tak mau mengisi panggung politik formal secara terbuka. Kelompokkelompok ini sudah terlalu nyaman dengan posisinya di luar kampus dan terpisah dengan dinamika massa-nya. Sebagian besar dari kelompok ini bahkan secara eksplisit menyatakan pencabutan status keanggotaan/kepengurusan dalam AD/ ART-nya atas keterlibatan kader/pengurus/ anggota organisasinya dalam partai politik. Ini jauh dari langkah dekonstruksi terhadap kebijakan depolitisasi Orde Baru, namun justru sebaliknya: keberhasilan politik NKK/ BKK. Jelas sudah, dua hal pokok yang harus dilakukan gerakan mahasiswa pasca Reformasi adalah pertama, menjebol depolitisasi dan deorganisasi mahasiswa serta kedua, terlibat aktif dalam proses politik formal agar arena penentuan kebijakan tersebut tak disesaki para pencoleng dan petualang politik seperti kenyataan hari ini. Atas dasar itulah pada 9 November 2011 sebuah organisasi pergerakan mahasiswa baru didirikan, Liga Mahasiswa NasDem. Organisasi yang secara eksplisit menyatakan diri menjadi bagian dari partai politik ini, Partai NasDem, didirikan sebagai organisasi yang hendak mencetak intelektual-intelektual organik dan individu yang berkompeten dalam ilmu
19 April 1978 - Mendikbud mengeluarkan SK 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Dari sinilah muncul sistem SKS dan pembatasan masa studi. Sebagai pelengkap, pemerintah mengeluarkan SK 037/1978 tentang Bentuk Penataan Kembali Kehidupan Kampus yang berisi Bentuk dan Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Kebijakan ini lazim dikenal sebagai Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Untuk menjalankan BKK diterbitkanlah Instruksi Dirjen
Referensi
26
pengetahuan, sekaligus produsen kader yang utama bagi partai politik yang membawa misi Restorasi Indonesia tersebut. Ini adalah keberanian luar biasa sekaligus lompatan sejarah besar-besaran karena dengan demikian organisasi itu akan membawa kembali tradisi politik berpartai ke dalam kampus yang sebelumnya diberangus oleh penguasa selama puluhan tahun. Apabila para pendahulunya, DEMA UGM dan FMN, masih sebatas memperjuangkan misi demokratisasi pendidikan dan pendidikan murah tetapi tanpa kepemimpinan politik, organisasi yang baru ini telah melengkapi kesemuanya. Antonio Gramsci telah memberi landasan kritis bagi kondisi kekinian pergerakan mahasiswa Indonesia: gerakan sosial adalah gerakan yang selalu memiliki daya cipta kreasi sehingga tidak terjebak dalam pola-pola yang tak dapat menyediakan efektivitas tujuan yang diharapkan. Pola dan stategi gerakan seharusnya berpijak pada realitas dan secara komprehensif memuat semua esensi entitas mahasiswa itu sendiri. Selanjutnya barulah mahasiswa dapat menjalankan fungsi sosial politik, dengan idealisme yang mengakar.
Pendidikan Tinggi No.002/DJ/Inst/1978 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi 11 Maret 1978 - Sidang Umum MPR dengan salah 1 keputusannya adalah GBHN MPR/1978 yang menetapkan KNPI sebagai wadah tunggal organisasi pemuda dan penambahan Menteri Muda Urusan Pemuda dalam Kabinet Pembangunan V
KARAKTER: Depolitisasi & deorganisasi Pembekuan DEMA sebagai instrumen suara mahasiswa selama ini Mengurung aktivitas mahasiswa dalam kesibukan studi. Instrumennya adalah pemberlakuan sistem SKS dan pembatasan masa studi Mendepak organisasi-organisasi mahasiswa seperti grup Cipayung keluar dari kampus & terserap dalam KNPI Pembentukan Senat Mahasiswa Fakultas &
Referensi
UTA
27
Vol II Tahun 4 Desember 2011
M A
NKK/BKK, Tonggak Depolitisasi Mahasiswa Indonesia
R Oleh: Noor Cholis (Bekerja sebagai penerjemah lepas dan penulis, saat ini sedang melakukan penelitian tentang gerakan mahasiswa Yogyakarta 1988-1998).
umah yang terletak tidak jauh dari STOVIA itu selalu terlihat ramai orang berkumpul. Mereka adalah para mahasiswa yang bertamu untuk mendiskusikan masalah-masalah sosial politik dengan tuan rumah. Rumah itu milik Ernest François Eugène Douwes Dekker (lazim dipanggil Nes oleh kawan-kawannya, keponakan pengarang Belanda Multatuli), aktivis politik Indo-Belanda yang menjadi duri dalam daging bagi pemerintah Kolonial Belanda. Salah seorang mahasiswa yang sering datang dan kelak menjadi teman seperjuangan Douwes Dekker adalah Soewardi Soerjoningrat. Terlibat dari dekat dan berteman akrab dengan beberapa mahasiswa pribumi yang aktif, Douwes Dekker menyaksikan pembentukan Boedi Oetomo (Usaha Luhur) pada tahun 1908. Walaupun di kemudian hari muncul kontroversi tentang semangat nasionalisme dan kaitannya dengan perlawanan terhadap kolonialisme, pada umumnya Boedi Oetomo diakui sebagai organisasi 1980
-
Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas. SMF mengurusi aktivitas di bidang kesejahteraan mahasiswa, minat & bakat/ hobi mahasiswa, pengembangan penalaran Kontrol atas aktivitas mahasisw amelalui BKK (yang dibentuk dengan Instr. Dirjen PTNo.002/DJ/Inst/1978). Struktur BKK adalah: Pembantu Rektor III dibantu Pembantu Dekan III, Unit Kegiatan Mahasiswa, dan BKK Tingkat Fakultas (PD III, Kajur, perwakilan mahasiswa)
PERISTIWA: Melengkapi kebijakan BKK, terbitlah SK Mendikbud 0230/U/1980 tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan tingkat Universitas atau Institut
1984 PERISTIWA:
KARAKTER: Deorganisasi dan depolitisasi:
26 Maret 1984 - Rapat Kerja Nasional Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan yang menghasilkan Pola Pembinaan Mahasiswa (POLBINMAWA) sebagai pedoman mengatur kegiatan kemahasiswaan.
Lembaga mahasiswa beserta seluruh kegiatan kemahasiswaannya dikontrol melalui BKK
KARAKTER: Korporatisme negara melalui struktur pimpinan universitas
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Indonesia modern pertama dan titik tolak “kebangkitan nasional”. Yang jelas, para mahasiswa yang suka berdiskusi di ruang tamu dan perpustakaan Nes itu kelak selalu disebut-sebut ketika generasi mahasiswa jauh sepeninggal mereka membicarakan aktivitas politik. Di samping itu, Kebangkitan Nasional di kemudian hari dipandang sebagai sumber legitimasi peran politik mahasiswa yang diperkuat oleh Sumpah Pemuda 1928. Kedua peristiwa tersebut membuat mahasiswa dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa. Selanjutnya pada masa Revolusi Kemerdekaan mahasiswa dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, identitas dan peran politik mahasiswa semakin diperkuat oleh keberhasilan protes-protes mahasiswa tahun 1966, yang tergabung dalam KAMI, dalam menumbangkan rezim Soekarno. Keberhasilan ini menempatkan mahasiswa bersama militer sebagai pendiri Orde Baru. Dari tinjauan selayang pandang di atas bisa disarikan dua hal yang mendorong kemunculan kesadaran subjektif mahasiswa yang menggerakkan aktivitas politiknya, yaitu, intelektualitas—kombinasi antara watak ilmiah (kritis-subjektif) dengan pengetahuan sistematis sehingga mahasiswa mampu menilai keadaan masyarakatnya— dan identitas khas yang mereka punyai berkat peran-peran politik yang pernah dimainkan mahasiswa generasi sebelumnya.
Referensi
28
Kesadaran ini membuat mahasiswa menjadi kelompok elit dengan peran yang bisa dikatakan legendaris dalam penumbangan Demokrasi Terpimpin dan naiknya Orde Baru ke tampuk kekuasaan. Aliansi mahasiswa, militer, dan teknokrat akhir 1960-an dan awal 1970-an itu akhirnya bubar ketika terjadi perpecahan dalam tubuh KAMI, menyusul persoalan bagaimana mendefinisikan peranan mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana seharusnya tugas serta masa depan eksponen angkatan ‘66. Tentu saja juga kekecewaan terhadap rezim yang tadinya mereka bela. Seiring waktu, mahasiswa menemukan peran yang sesuai dengan predikat intelektual yaitu sebagai kekuatan moral. Pengertian kekuatan moral (moral force) dikembangkan Arief Budiman, salah satu pemimpin Gerakan Mahasiswa Menggugat, yaitu “mahasiswa adalah kekuatan moral yang berusaha mengoreksi pemerintah, bukan kekuatan politik yang berniat menggulingkan atau mengganti pemerintahan.”1 Kritik-kritik mereka tertuang dalam Gerakan Mahasiswa Menggugat, Gerakan Menentang TMII, Gerakan Golput (Golongan Putih), Komite Anti Korupsi, dan lain sebagainya. Buntutnya, mau tak mau mahasiswa tidak hanya keluar dari aliansi segitiga dengan militer dan teknokrat, melainkan juga berdiri berhadap-hadapan 1
Edward Aspinall, Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia, Stanford University Press, Stanford, California, 2005, h. 118.
1985 PERISTIWA: Pemerintah menerbitkan UU No.8 (FISIPOL UGM), Arena (IAIN Yogyakarta), tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan Manunggal (UNDIP), Universitas (USU), dll. dan asas tunggal Pancasila Bermunculan kelompok studi (KS) di berbagai PT di banyak daerah KARAKTER: Deorganisasi, depolitisasi, dan deideologisasi. Misal dalam pasal 8, 12, 15, 16 KARAKTER: Pergeseran format aktivitas PERISTIWA: Bermunculan lagi pers mahasiswa mahasiswa dari aksi massa dan organisasi menjadi aksi informasi, dari politik praktis ke seperti Balairung (UGM, 29 Oktober 1985), politik teoritis, dari gugatan politis terhadap Solidaritas (Unas, Juli 1986), Politica (Unas, Oktober 1985). Selain itu pers-pers mahasiswa kekuasaan menjadi aksi penyadaran subyektif lain seperti Himmah (UII), Warta UI (UI), Sintesa masyarakat
AKTOR : 1.
Pers Mahasiswa Balairung, Arena, Manunggal, Solidaritas, Himmah, dll
2.
KS Thesa (Bandung), KS Proklamasi & KS Indonesia (Jakarta), KS Girli & KS Palagan (Yogyakarta), KS Surabaya, dll
29
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dengan rezim Orde Baru yang ditopang oleh kawan-kawan aliansinya tersebut. Tidak semua memang, karena banyak tokoh mahasiswa yang masuk dalam lingkaran elit Orde Baru. Pasang surut relasi mahasiswa, militer, dan teknokrat dalam perjuangan menegakkan Orde Baru menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa didengar bahkan didukung oleh rezim sejauh menguntungkan, seperti yang terjadi sepanjang 1966-1973, tetapi ketika protes gerakan mahasiswa mulai membahayakan rezim tak segan menggunakan kekerasan untuk menindak aksi mahasiswa, sebagaimana kita ketahui dalam peristiwa 1974 dan 1978. Pengalaman berurusan dengan kelompokkelompok mahasiswa mengajarkan kepada rezim Orde Baru bahwa tindakan represif saja tak cukup ampuh meredam aktivitas politik mahasiswa. Karena itulah rezim menerapkan kebijakan depolitisasi melalui berbagai metode korporatisasi mahasiswa dan birokrasi kampus. Mengingat berbagai organisasi massa mahasiswa ekstra universitas, misalnya HMI, PMII, GMNI, PMKRI dan GMKI, mempunyai ikatan erat dengan partai politik—karena memang organisasi-organisasi tersebut merupakan underbow partai-partai pada zaman sebelumnya—maka rezim Orde Baru mulai melakukan langkah-langkah de-parpolisasi dengan melucuti pengaruh organisasiorganisasi tersebut di kampus. Langkah ini dibarengi dengan pembentukan Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada tanggal 23 Juli 1973. Organisasi korporasi ini disediakan bagi mahasiswa dan pemuda menyusul dibentuknya wadah tunggal bagi petani yaitu Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) bagi nelayan, dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) bagi buruh. KNPI dimotori Jenderal Ali Murtopo bersama para eks aktivis ‘66 yang merapat ke kekuasaan seperti Abdul Gafur, David Napitupulu, dan Akbar Tanjung. Organisasi ini bertujuan melucuti kekuatan politik mahasiswa yang tumbuh menjadi kekuatan tersendiri sejak tahun 1957, yaitu ketika kerjasama antara mahasiswa dan militer terjalin. Mahasiswa bukannya tak melawan upaya pembentukan KNPI yang dirintis selepas Pemilu 1971 oleh tokoh Golkar (Golongan Karya) Median Sirait. Forum mahasiswa yang dikenal dengan sebutan Kelompok Cipayung, terdiri atas HMI, PMII, GMNI, PMKRI dan GMKI, pada tanggal 9 Oktober 1972 menyatakan: Bahwa keanekaragaman dalam latar belakang sosial kulturil merupakan realitas, yang juga tercermin dalam kehidupan generasi muda. Bahwa kehadiran generasi muda dalam bentuknya seperti sekarang, di satu pihak merupakan pencerminan dari realitas sosial yang ada dan di lain pihak adalah dalam rangka mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Adalah keyakinan dan tekad kami bahwa keanekaragaman
PERTENGAHAN HINGGA AKHIR '80-AN PERISTIWA: Era BKM (Badan Koordinasi Mahasiswa), FK (Forum Komunikasi), dan Komite Aksi. Di era ini mahasiswa mulai kembali menghembuskan isu-isu hak sosial-politik mahasiswa dan masyarakat dalam bentuk jaringan seperti dalam kasus Kedungombo, Badega, Kacapiring, dll.
Ujung Pandang 10 Desember 1987: Peringatan Hari HAM, Apel Siaga oleh mahasiswa UGM, ITB, dan UII
Akhir 1987-1988: demo anti PORKAS ke Menpora, demo skorsing mahasiswa IAIN Jakarta ke Depag, demo protes UU Diknas ke Depdikbud, demo mahasiswa Filsafat UGM pada hari Sumpah 1987: Rusuh di Ujung Pandang dalam demo Pemuda ke DPRD Yogyakarta, demo anti kebijakan penggunaan helm. Aktivis mahasiswa NKK/BKK mahasiswa ISI pada kedatangan kembali ditangkapi. Pada akhir ‘87 ini mahasiswa Mendikbud Fuad Hassan ITB berunjukrasa sebagai solidaritas atas kasus
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
30
kelompok generasi muda bukan merupakan alasan untuk tidak terjalinnya kerja sama dan persatuan dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa.2
Pada mulanya KNPI hanya dibentuk di Jakarta sebagai pusat berkumpulnya para pemimpin organisasi pemuda. Tetapi setelah peristiwa Malari tahun 1974 dan KNPI dikembangkan di berbagai daerah, unsur-unsur Kelompok Cipayung terpaksa menerima keberadaan KNPI, bahkan terserap ke dalamnya. Lebih jauh, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 028/1974 para mahasiswa diharuskan minta izin kepada rektor apabila hendak mengadakan kegiatan, sedangkan organisasi ekstra mahasiswa wajib bergabung dalam KNPI yang saat itu sedang dikembangkan di tingkat daerah. Pada tanggal 28 Oktober 1974 KNPI menyelenggarakan Kongres I dan berhasil menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan sejak saat itulah KNPI menjadi wadah tunggal organisasi pemuda sementara organisasi mahasiswa diserap ke dalamnya. Wajar jika sepanjang 1974-1976 aktivitas mahasiswa mululu diwarnai protes terhadap Surat Keputusan 2
Ridwan Saidi, Analisis Keberadaan dan Aktivitas KNPI (1973-1992), Yayasan Piranti Ilmu, Jakarta, 1992, dikutip dalam Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, h. 36.
18 Maret 1989: Bentrok ribuan mahasiswa di kampus IAIN Sunan Gunung Jati dalam demo menentang penangkapan mahasiswa di Kacapiring yang terlibat dalam advokasi kasus tanah tersebut 12 April 1989: Aksi tiga ribu mahasiswa Bandung dan Jakarta di depan Poltabes Bandung menuntut pembebasan kawan-kawan mereka yang ditangkap pada aksi 18 Maret dan aksi di Kacapiring.
Menteri tersebut. Baru pada pertengahan 1977 hingga awal 1978 aktivitas mahasiswa kembali bercorak politis, beriringan dengan pelaksanaan Pemilu dan Sidang Umum MPR. Isu utama yang diusung mahasiswa adalah demokrasi, isu yang melekat pada gerakan mahasiswa pasca kemerdekaan. Untuk meredam aksi-aksi mahasiswa, penguasa menempuh cara-cara persuasif berupa pengiriman para teknokrat untuk berdialog dengan para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi usai Pemilu 1977. Upaya pemerintah ini justru membuat pemerintah kehilangan muka karena kedatangan para teknokrat tersebut ditolak mentah-mentah oleh para mahasiswa tiga perguruan tinggi paling berpengaruh di Indonesia: Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Gerakan mahasiswa yang dikoordinasi oleh Dewan Mahasiswa ini meluas ke daerah-daerah lain, bahkan Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia menyatakan diri sebagai DPR Tandingan.
KARAKTER: Gerakan mahasiswa mulai berwatak politis dan populis, dengan terlibat atau melibatkan masyarakat. Kebanyakan mulai bermuatan ideologis. Benih-benih organisasi pergerakan mahasiswa yang lebih modern diawali dari era ini. AKTOR : -
Badan Koordinasi Mahasiswa Jakarta (BKMJ) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung (BKMB)
-
Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), Forum Komunikasi Mahasiswa Malang (FKMM), GM Forsal (Semarang), SEMESTA (Salatiga), KPMB (Bandung) Kelompok Mahasiswa Jakarta (KMJ) dan Kelompok Mahasiswa Bandung (KMB) Komite Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO)
31
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Warna politis gerakan ini semakin mengental ketika isu mulai membidik langsung jantung kekuasaan, dengan menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Namun konsolidasi Orde Baru telanjur tuntas seiring terjungkalnya Jenderal Soemitro dan naiknya pamor Jenderal Ali Murtopo, yang dengan demikian mengukuhkan dominasi posisi rezim sementara kekuatan masyarakat sipil kian melemah. Maka ketika sepanjang 19771978 mahasiswa berupaya mengoptimalkan kembali peran sebagai moral force, dengan menempatkan diri sebagai katalisator dan ujung tombak perubahan politik, sambutan dari kelompok-kelompok yang diharapkan tak kunjung datang. Hasilnya ketika aksiaksi mahasiswa memuncak, ribuan tentara menyerbu dan menduduki kampus-kampus tanpa perlawanan politik dari tingkat elit seperti sebelumnya. Langkah-langkah represif pemerintahan yang kalap disusul oleh perumusan kebijakan depolitisasi mahasiswa secara lebih sistematis. Kedudukan formal KNPI sebagai wadah tunggal organisasi pemuda dituangkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) hasil Sidang Umum MPR 1978, sementara satu pos menteri dalam Kabinet Pembangunan III ditambahkan, yaitu Menteri Muda Urusan Pemuda (dijabat oleh Abdul Gafur), untuk melaksanakan program pembinaan generasi muda. Langkahlangkah pengendalian terhadap organisasi intra kampus dilakukan di bawah payung SK Pangkopkamtib No. 02/Kopkam/I/1978 tanggal 21 Januari 1978 tentang pembekuan 1980-1990 PERISTIWA: Muncul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Ornop LSM sebagai salah 1 alternatif gerakan pada periode ini. LSM bergerak dengan melakukan advokasi dan pemberdayaan masyarakat secara langsung atas dukungan lembaga donor (program).
Dewan Mahasiswa. Surat Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Intruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1/U/1978 yang ditandatangani oleh Dr. Sjarif Thajeb pada 31 Januari 1978. Upaya penjinakan kegiatan politik mahasiswa di kampus makin gencar di bawah menteri pendidikan pengganti Sjarif Thajeb, Dr. Daoed Joesoef, yang kelak namanya tak terpisahkan dari NKK/BKK. Tak lama setelah dilantik sebagai Menteri P & K, Daoed Joesoef pada tanggal 19 April 1979 mengeluarkan SK No. 0156/ U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus, yang sejatinya merupakan pedoman normatif bagi kampus yang oleh sang menteri dipandang telah berubah menjadi arena politik praktis. Menurut Daoed Joesoef, kampus sebagai arena politik harus dihindari karena tidak sesuai dengan fungsi universitas sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian, yang diharapkan mencetak pekerja intelek (knowledge worker) yang diperlukan bagi teknostruktur. Artinya jika hendak menjadikan diri faktor penting dalam masyarakat, mahasiswa harus menjalankan faktor yang sesuai dengan hakikat kemahasiswaan, yaitu faktor penalaran dan pemikiran individual. Identitas hakiki mahasiswa adalah manusia penganalisis (man of analysis). Bukan berarti mahasiswa tidak bisa menjalankan aktivitas politik tanpa keluar dari hakikatnya sebagai mahasiswa, tetapi jika hendak melakukan aktivitas politik ia harus menanggalkan predikat kemahasiswaan. Pemikiran Daoed Joesoef
1990 PERISTIWA:
28 Juli 1990 - Kebijakan NKK/BKK dicabut, diganti SK 0457/O/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Setelah itu disusul SK 403/U/1990 yang menetapkan pemberlakuan Senat Mahasiswa AKTOR: LP3ES, Bina Swadaya, Bina Desa, Perguruan Tinggi (SMPT) sebagai satu-satunya WALHI, Imparsial, YLBHI, Wahid Institute, lembaga mahasiswa yang diakui di tingkat Setara Institute, Maarif Institute, KONTRAS, JIL, universitas, dengan Senat Mahasiswa Fakultas dll (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
AWAL '90-AN PERISTIWA: Terbentuknya Komite Mahasiswa (KM) dan organisasi-organisasi perlawanan/pergerakan mahasiswa yang lebih solid dan modern KARAKTER: Gerakan mahasiswa mulai menunjukkan watak ideologis, dengan organisasi yang lebih tertata dan solid dalam jaringan nasional, namun belum memasuki ranah kepemimpinan politik
Vol II Tahun 4 Desember 2011
ini menafikan eksistensi mahasiswa sebagai kekuatan politik dan memasukkannya sebagai bagian dari kelompok pemuda, maka di sinilah fungsi KNPI yang dibangun sejak 1973. Berkenaan dengan politik, Daoed Joesoef membaginya dalam tiga pengertian yaitu politik dalam arti konsep, politik dalam arti kebijakan (policy), dan politik dalam arti percaturan (politics). Penjabarannya sebagai berikut: Apabila mahasiswa bergerak dalam artian pertama, artinya ia melaksanakan hak politiknya sesuai dengan hakikat kemahasiswaannya... Apabila ia “berpolitik” dalam bentuk “aksi dan kebijakan” (politik dalam pengertian kedua), ia sebenarnya melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan hakikat kemahasiswaannya dan karena itu tidak pantas memakai predikat mahasiswa. Aksi-aksi beginilah yang telah mengubah kampus dari dunia berpikir menjadi satu arena politik (politik dalam pengertian ketiga), mengubah dunia mahasiswa menjadi dunia sindikat.3 3
Daoed
Joesoef,
Normalisasi
Kehidupan
Kampus,
Referensi
32
Di tingkat konsep saja sudah jelas bahwa NKK berniat memberangus aktivitas politik mahasiswa. Niat itu semakin terlihat jelas ketika serangkaian kebijakan yang dikeluarkan Departemen P & K mengacu pada NKK, yakni SK Menteri No. 037/U/1978 tentang Bentuk Penataan Kembali Kehidupan Kampus dan Instruksi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 002/DJ/Inst/1978 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Penataan Kembali Lembaga-Lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. SK No. 037/U/1978 ini secara implisit melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa dan hanya mengizinkan pembentukan organisasi di tingkat Fakultas yakni Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). NKK menentukan bahwa SMF adalah lembaga eksekutif yang dibatasi pada tiga bidang: (1) bidang kesejahteraan mahasiswa; (2) bidang minat mahasiswa (kegemaran seperti olahraga dan kesenian); dan (3) bidang pengembangan pemikiran mahasiswa. Yang paling penting dari SK ini adalah pemberian kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mahasiswa. Sementara itu Instruksi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 002/DK/Inst/1978 tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Kembali Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1979, h. 8.
1992 AKTOR : Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) UGM, Komite Mahasiswa (KM) ITB Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) pada '91 dan Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY) pada '90 Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY) dan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta (SMY), yang berdiri setelah 'pisah jalan' pada kongres FKMY I tahun
1991. DMPY pada perkembangannya bergabung dengan beberapa kelompok FAMI dan mendeklarasikan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) FAMI Komite Rakyat (KR) di Yogyakarta. Sebagian besar aktivis KR ini adalah mahasiswa UGM
PERISTIWA: 12 ribu mahasiswa UGM dan kampus lain di Yogya didampingi rektor UGM, Prof. Koesnadi Harjosoemantri, mengadakan aksi ke DPRD menentang UU Lalu Lintas No.14/1992
33
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Lembaga-lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi merupakan penjelasan teknis lebih lanjut bagi pelaksanaan NKK. Instruksi inilah yang sering disebut BKK karena memuat ketentuan dibentuknya Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang bertugas mengawasi jalannya kegiatan mahasiswa. Ketentuan-ketentuan dalam BKK ini memberi kekuasaan sangat besar kepada rektor dan pembantu rektor dalam menentukan kegiatan mahasiswa, bahkan mereka berhak sepenuhnya memilih mahasiswa tertentu sebagai pimpinan lembaga-lembaga kemahasiswaan. Ringkasnya, dengan NKK/BKK rezim Orde Baru lebih banyak menyerahkan tindakan pengamanan terhadap mahasiswa kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta pimpinan universitas. Upaya Orde Baru mematikan aktivitas politik mahasiswa dilengkapi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pengganti Daoed Joesoef, dengan konsep Wawasan Almamater. Konsep itu menghendaki universitas menjadi lembaga yang melakukan institusionalisasi, profesionalisasi, dan transpolitisasi dalam pembangunan. Setiap sivitas akademika bebas untuk berpolitik sesuai dengan ketentuan yang berlaku tetapi harus dilakukan di luar kampus dan tidak boleh membawa nama universitas. Kesuksesan depolitisasi mahasiswa ini dituturkan oleh Arbi Sanit satu dekade kemudian: Sudah diprihatinkan oleh banyak pengamat dan sudah dibuktikan oleh 1993
proses Pemilu 1987, ternyata sistem pembinaan kemahasiswaan dewasa ini menghasilkan orang-orang apatis politik. Jangankan melibatkan diri dalam proses politik, beropini dan berdiskusi secara kritis tentang kemasyarakatan dan politikpun mahasiswa tidak bersedia. Lebih dari itu mereka malah takut untuk berpolitik atau menyatakan sikap politik secara terbuka.
NKK/BKK terbukti ampuh meredam aktivitas politik mahasiswa. Setidaknya untuk beberapa waktu mahasiswa menjadi apatis. Tetapi semua hal di dunia ini selalu memiliki efek samping negatif. Karena tidak “kerasan” di kampus, para mahasiswa yang gejolak politiknya tak tertampung oleh organisasi intra dan ekstra kampus yang ada justru menjalin hubungan cair dengan berbagai elemen masyarakat yang tidak mudah dikontrol karena bukan partai politik. Sebutan tentang OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang sering dikaitkan dengan gerakan mahasiswa boleh jadi melambangkan kesadaran bahwa rezim mafhum akan efek negatif NKK/BKK bagi penguasa. Bahan Bacaan: Edward Aspinall, Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia, Stanford University Press, Stanford, California, 2005 Daoed Joesoef, Normalisasi Kehidupan Kampus, Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Kebudayaan, Jakarta, 1979.
1994
PERISTIWA: Pendirian Dewan Mahasiswa UGM Pendirian jaringan pendidikan nasional sebagai organisasi mahasiswa yang independen (pendidikan organisasi) bernama Komite Pendidikan Nasional (KPN) di Lampung antar Deklarasi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk beberapa organisasi mahasiswa di Indonesia Demokrasi (SMID). Beberapa organisasi yang Mahasiswa Unpad (Bandung) mendirikan Aktivis-aktivis mahasiswa yang tergabung dalam tergabung dalam SMID adalah Solidaritas Keluarga Aktivis (KA) Unpad dan membangun SMID dan Komite Rakyat UGM mendirikan payung Mahasiswa Jakarta (SMJ), Solidaritas jaringan dengan beberapa kampus di perjuangan, Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) Mahasiswa Semarang (SMS), dan Solidaritas Bandung. KA Unpad juga terlibat dalam Mahasiswa Yogyakarta (SMY). Sebagian KARAKTER: Gerakan mahasiswa makin pengorganisasian rakyat melalui Biro Advokasi kelompok SMY yang tak bersepakat dengan fusi mengental secara ideologi dan organisasi. Ide Rakyat (BAR) ke SMID memisahkan diri & membentuk SM UII kepemimpinan politik masih berupa jaringan PERISTIWA: Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR menuntut penghapusan SDSB
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/ BKK, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998,
Referensi
34
François Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, LP3ES, Jakarta, 1989
TABEL BEBERAPA “KEBIJAKAN” DEORGANISASI DEPOLITISASI DAN DEIDEOLOGISASI Kebijakan/Tahun/Tentang
Deorganisasi
Depolitisasi
SK 028/U/1974 tentang Petunjuk-Petunjuk Kebijaksanaan Dalam Rangka Pembinaan Kehidupan Kampus. (Kebijakan ini dikeluarkan pasca peristiwa Malari.)
Organisasi ekstra universitas (Forum Komunikasi Organisasi Mahasiswa Ekstra Universiter) tidak dapat beraktivitas di dalam kampus & wajib bergabung dengan KNPI. Otonomi lembaga intra universitas dicabut.
Aktivitas kemahasiswaan wajib seijin pimpinan perguruan tinggi/rektorat. Pers Mahasiswa berada di bawah kontrol rektorat & Menteri Penerangan (melalui Peraturan Menteri Penerangan No.01/Per/Menpen/1975).
SK Pangkopkamtib/ 02/ KOPKAM/I/1978: pembekuan kegiatan Dewan Mahasiswa.
Membekukan sentral aktivitas mahasiswa di dalam kampus, yaitu Dewan Mahasiswa, setelah sebelumnya organisasi-organisasi ekstra universitas juga “dipaksa keluar” dari kampus untuk berintegrasi dalam KNPI.
Tuduhan subversif (UU No.11/ PnPs/1963) terhadap aktivitas Dewan Mahasiswa diiringi pendudukan kampus-kampus oleh militer dan penangkapan para aktivis Dewan Mahasiswa.
Instruksi Menteri I/U/1978 tentang Pembubaran Dewan Mahasiswa.
Membubarkan sentral aktivitas mahasiswa: Dewan Mahasiswa
Membubarkan saluran politik mahasiswa yang selama bertahun-tahun telah terbukti menjadi media paling efektif bagi aspirasi dan dinamika intelektual mahasiswa.
Tap MPR IV/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Penetapan KNPI sebagai satusatunya organisasi pemuda, termasuk mahasiswa.
Kontrol pemerintah melalui KNPI, terutama melalui anggaran yang disediakan dalam APBN.
SK 28/U/1978 tentang Batas-Batas Permainan Civitas Academica.
Deideologisasi
Penerapan batas-batas aktivitas mahasiswa, termasuk aktivitas politik.
1994-1996 nasional, namun yang termaju adalah didirikannya PERISTIWA: Peningkatan eskalasi gerakan payung bersama antara KR dan SMID: PRD mahasiswa dan gerakan rakyat. Salah satunya melalui interaksi kelompok-kelompok gerakan AKTOR: mahasiswa dengan LSM - SMID, SMY, SMS, SMJ, SM UII. SM UII dibentuk kelompok Rode UII, salah satu AKTOR: sentrum awal FKMY. - Yayasan Cakrawala Timur dan FKMS mengorganisasi buruh di area Tandes, - SM UII, Serikat Mahasiswa Bandar Lampung Sidoarjo, dan Surabaya. (SMBL), FKMM, dan beberapa organisasi - Yayasan Kepodang mengadvokasi kaum mahasiswa lain bergabung dalam jaringan miskin perkotaan bersama kelompok studi KPN
-
mahasiswa Wahana Pembebasan dan Depok School Yayasan Maju Bersama mengorganisasi sektor perburuhan bersama kelompok mahasiswa sastra UI, Forum Belajar Bebas. Demikian juga dengan YLBHI dan WALHI
35
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Kebijakan/Tahun/Tentang
Deorganisasi
Depolitisasi
Deideologisasi
SK 0156/U/1978 tentang pedoman normatif Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan SK 1256/U/1978 tentang penetapan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Menjauhkan mahasiswa dari aktivitas-aktivitas organisasi dengan menyibukkan mereka dalam mengejar tuntutan akademik. Operasionalisasinya adalah melalui pemberlakuan: 1. Sistem Satuan Kredit Semester (SKS) 2. Sistem Indeks Prestasi (IP) dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3. Masa studi maksimum (7 tahun)
Dalam NKK mahasiswa boleh berpolitik hanya dalam pengertian “konsep” dan bukan “kebijakan” maupun “arena”. Pendeknya, mahasiswa dilarang berpolitik praktis. Operasionalisasinya adalah melalui pemberlakuan: 1. Sistem Satuan Kredit Semester (SKS) 2. Sistem Indeks Prestasi (IP) dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3. Masa studi maksimum (7 tahun)
Mahasiswa diarahkan menjadi man of analysis, intelektual murni, yg menjauhi persoalan-persoalan riil di luar kampus/dunia pendidikan. Operasionalisasinya adalah melalui pemberlakuan: 1. Sistem Satuan Kredit Semester (SKS) 2. Sistem Indeks Prestasi (IP) dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3. Masa studi maksimum (7 tahun)
SK 037/U/1978 tentang Bentuk Penataan Kembali Kehidupan Kampus, Instruksi Dirjen Dikti 002/DJ/ Inst/1978 tentang PokokPokok Pelaksanaan Penataan Kembali LembagaLembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dan SK Mendikbud 0230/U/J/1980 tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan Tingkat Universitas/Institut.
Pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas: 1. Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) 2. Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) Pembentukan, pengarahan & perkembangan organisasi ini berada di tangan Rektor atau Pembantu Rektor III (urusan kemahasiswaan) sebagai penanggungjawab.
1. Supervisi/penyeliaan atas aktivitas kemahasiswaan oleh petugas khusus dari KOREM yang berkoordinasi langsung dengan Rektor atau Ketua BKK (Pembantu Rektor III) 2. Pembentukan unit-unit kegiatan kemahasiswaan yang berdasar pada bidang kesejahteraan, minat dan perhatian, atau pengembangan penalaran. 3. Ketua & Sekretaris unit-unit kemahasiswaan diangkat oleh Ketua BKK dengan persetujuan Rektor.
SK 0319/U/1983 tentang Wawasan Almamater.
Mahasiswa tidak diijinkan berpolitik di dalam kampus. Ini menegaskan orientasi NKK: mahasiswa tak diijinkan untuk berpolitik praktis.
1996 23 Maret 1996: deklarasi Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) yang dibidani FKMIJ dan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Jakarta (FKPMJ) 24 April 1996: rusuh di Ujung Pandang dalam demonstrasi menentang kenaikan BBM. Rusuh terjadi setelah demonstran diserbu tentara hingga ke dalam kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI). Tank dan panser masuk kampus
dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena menganut paham Marxisme-Leninisme. Semua gerakan mahasiswa dianggap PRD. Seminggu setelahnya, DEMA UGM mengadakan aksi memprotes represivitas negara. Selain itu di Yogyakarta Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA) didirikan oleh PPPY (Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta, dulunya 7 Juli 1996: Kasus 27 Juli meletus. PRD, SMID, DMPY) sebagai antisipasi terhadap represi PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia), dan pasca 27 Juli. Jakker (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat)
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
Kebijakan/Tahun/Tentang
Deorganisasi
Depolitisasi
UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pemberlakuan organisasi tunggal untuk seluruh segmen masyarakat termasuk di dalamnya KNPI untuk pemuda, dengan mahasiswa di dalamnya.
Kontrol pemerintah atas seluruh organisasi kemasyarakatan.
SK 0457/O/1990 tentang Panduan Umum Organisasi Kemahasiswaan.
Pemberlakuan organisasi tunggal kemahasiswaan sebagai alternatif dari Dewan Mahasiswa: 1. Di tingkat universitas/institut adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). 2. Di tingkat fakultas adalah Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF), Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). 3. Anggota SMPT adalah ketuaketua SMF, BPMF, dan UKM.
36
Deideologisasi Pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi kemasyarakatan.
1997 Di Bandung didirikan Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan (GMIP). Oktober 1996: mahasiswa Yogyakarta terlibat dalam aksi Komite Anti Penindasan Pers di Balairung UGM. Aksi ini diakhiri oleh represi polisi. KARAKTER:
PERISTIWA: Awal krisis moneter Indonesia. Gerakan mahasiswa mulai mengerucut pada isu Bersamaan dengannya aksi-aksi mahasiswa militerisme dan anti Orde Baru. terus bergulir, biasanya dengan komite aksi,
agar dapat melibatkan lebih banyak elemen masyarakat dan memisah sekat-sekat antar organisasi. Komite aksi biasanya dibentuk untuk merespon beberapa isu tertentu. 1 April 1997 Komite Penegak Demokrasi Indonesia mengadakan aksi boikot Pemilu 1997 di Yogyakarta. Di Lampung, Persatuan Mahasiswa dan Pemuda Lampung (PMPL), dan Medan (Forum Aksi utk Demokrasi/FAD) juga turun ke jalan dengan isu yang sama.
Referensi
KOLO
37
Vol II Tahun 4 Desember 2011
M
Gerakan Mahasiswa Cordoba 1918: Contoh Baik yang Tak Kunjung Kita Konkretkan “The universities have thus become faithful mirrors of these decadent societies” The Cordoba Manifesto
H
Oleh: Arif Rahman Hakim (Sekjen Liga Mahasiswa NasDem)
ari-hari musim dingin sekitar bulan Maret 1918, sekelompok mahasiswa di Universitas Cordoba, Argentina Utara bergerombol dan berseru seperti tak hirau dengan udara dingin yang beku, sebeku sistem pendidikan yang usang, feodal, dan karatan kala itu. Anakanak muda dalam fase mondig yang enerjik itu seperti tak punya takut menentang zaman. Mereka dengan gagah berani mendeklarasikan sebuah gerakan yang akan dicatat sejarah karena pengaruhnya yang signifikan dalam dunia gerakan mahasiswa. Bahkan mendekati seabad setelah huru-hara di Universitas itu, semangat perjuangan mereka masih menyala sebagai inspirasi.
21 Mei 199 : Persatuan Perjuangan Pemuda 10 Desember 1997: Komite Nasional Penegak Yogyakarta (PPPY) mengadakan aksi kampanye Demokrasi (KNPD) terlibat bentrok dengan polisi Golput. Pada bulan ini pula beberapa aktivis hilang dalam aksi peringatan Hari HAM di Yogyakarta. diculik orang-orang tak dikenal. 26 Desember 1997 ribuan mahasiswa FKSMJ menduduki gedung DPR/MPR menuntut 2 Agustus 1997: Angkatan Muda Semarang pencabutan NKK/BKK. mengkampanyekan isu anti Orde Baru. 10 Oktober 1997: Komite Rakyat Independen melakukan aksi menuntut pencabutan 5 paket UU Politik dan anti Soeharto di UNS Surakarta.
KARAKTER: Isu-isu meruncing ke anti Orde Baru, anti Soeharto, dan anti militer. Di tahun ini pula berhembus wacana Suksesi Kepemimpinan Nasional. Beberapa isu saja yg menyertakan
problem pendidikan. Gerakan mahasiswa ‘97 secara organisasi lebih mencair dengan pembentukan komite-komite aksi. Selain dapat melibatkan lebih banyak massa dan mendobrak sekat antar organisasi, juga dapat 'menyamarkan' organisasi inti dari alat represi negara terutama pasca 27 Juli.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Manifesto Cordoba, demikian mereka menyebutnya, telah memberi pengaruh yang kuat bagi reformasi dan demokratisasi pendidikan serta kualitas perjuangan politik mahasiswa. Resonansi gerakannya telah menyebar melintasi batas negara dan waktu. Para pemimpin Gerakan Cordoba 1918 telah sampai pada kesimpulan bahwa perbaikan persoalan-persoalan pendidikan harus bertautan dan menjadi bagian integral dari penyelesaian persoalan-persoalan nasional. Dari Docencia Libre Hingga Mass University Gerakan Mahasiswa Cordoba 1918 telah menjadi “patok sejarah” bagi sebuah gerakan emansipatoris dan demokratisasi di universitas. Gerakan tersebut menunjukkan pemahaman yang unggul akan teori dan praktek dimana para aktivis gerakan 1918 mampu memformulasi isu ke dalam tuntutan yang sederhana, praktis, dan sangat mudah dipahami oleh massa. Ambil contoh dalam konsep otonomi kampus, para aktivis bahkan mampu menyodorkan konsep mereka melalui pembentukan cogobierno (semacam lembaga pemerintahan) yang melibatkan mahasiswa, dosen, alumni, serta pegawai kampus. Kritikan para aktivis terhadap sistem pendidikan yang kolot dan feodal juga mampu mereka kumandangkan melalui gagasan docencia libre, siapapun bisa menjadi guru. Lebih maju lagi, mereka mengenalkan konsep universitas untuk rakyat (mass university) dimana perguruan tinggi
Referensi
38
membuka seluas-luasnya akses pendidikan bagi rakyat, terlebih karena Gerakan Cordoba ingin mendorong perguruan tinggi untuk menjadi bagian aktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat. Mengenalkan konsep full-time professor, full-time student, memberikan pelatihan dan kursus kepada kaum buruh, jelas merupakan praktek yang sangat maju untuk ukuran borjuis kecil seperti mahasiswa. Secara umum, Butir-butir Reformasi dari Gerakan Cordoba 1918 dapat diuraikan sebagai berikut1: 1. Pelembagaan partisipasi mahasiswa dalam dewan universitas, bersamasama dengan pengajar dan alumni melalui sistem tripartite. 2. Keterkaitan antara politik mahasiswa dan politik nasional dalam rangka mobilisasi universitas menuju penyelesaian masalah-masalah ekonomi, sosial, dan politik. 3. Memperluas fungsi universitas, misalnya memberikan kursus bagi kaum buruh sehingga mempererat solidaritas universitas dengan proletariat. 4. Membebaskan biaya pendidikan dan membuka akses pendidikan seluasseluasnya kepada pendaftar yang memenuhi syarat, untuk menghilangkan karakter universitas abad 19 yang elitis dan kolot dan menggantinya dengan 1
Schugurensky, Daniel. “Selected Moments of the 20th Century”. The Ontario Institute for Studies in Education of the University of Toronto (OISE/UT). Ontario. 2002
1998 PERISTIWA: 25-26 Februari 1998: mahasiswa UI mengadakan aksi anti Orde Baru di kampus Salemba. 27 Februari 1998: ribuan mahasiswa ITS mengadakan aksi ke DPRD Surabaya menuntut mundurnya Soeharto. Aksi ini dipimpin bekas rektor mereka, Marsetio Donoseputro. Di Bandung Front Indonesia Muda Bandung (FIMB) juga mengadakan aksi dengan isu serupa.
Hal sama dilakukan oleh ratusan mahasiswa Universitas Muria (Kudus) dan Unsoed (Purwokerto) di kota masing-masing 3 Maret 1998: ratusan mahasiswa IAIN Yogyakarta menuntut pertanggungjawaban Orde Baru. 5 Maret 1998: 20 mahasiswa UI mendatangi gedung DPR/MPR, menyatakan penolakan atas LPJ Presiden, sementara mahasiswa IKIP Rawamangun turun ke jalan. Di hari yang sama
39
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dogmatisme, dan mengganti teologi dengan disiplin positivis. 8. Pemilihan dekan atau rektor secara terbuka dan kompetitif untuk menghindari nepotisme dan patronase serta mendukung promosi profesor berbasis jasa dan prestasi, bukan senioritas. 9. Memperluas dan memperbanyak pelatihan melalui sekolah-sekolah profesional. 10. Mengembangkan konsep “Universitas Kehidupan” sebagai sebuah pengalaman kolektif yang akan mendorong pengembangan konsep full-time professor dan full-time student dalam masyarakat.
universitas yang demokratik, modern, dan merakyat (mass university). 5. Mempertahankan otonomi kampus dengan tetap mengakui otoritas negara. 6. Melembagakan kebebasan akademik, termasuk mengimplementasikan konsep “mengajar bebas” (docencia libre) untuk menjamin pluralisme akademis dan menghapus monopoli fungsi guru. 7. Mempromosikan gagasan-gagasan baru, metode pengajaran yang inovatif, mengganti sistem ujian, tidak ada pemaksaan kehadiran di kelas, menolak
15 ribu mahasiswa UGM turun ke jalan menolak Soeharto, demikian juga dengan mahasiswa di Bogor. Pada bulan ini beberapa aktivis kembali hilang diculik orang-orang tak dikenal.
Bagaimana para mahasiswa di Cordoba menjelaskan persoalan-persoalan pendidikan maupun demokrasi di kampus? Berikut penggalan dari naskah Manifesto Cordoba2: “We, members of the free republic, have just broken the last chain which, in the twentieth century, still attached us to the old monarchical and monastic domination. We have resolved to call everything by its proper name. Cordoba has redeemed itself. From today on we can count in our country one shame fewer
2
Dikutip secara utuh dari Rotblat, Miguel (2011): “The Latin American Student Movement”. mimeo. New University Thought.
mahasiswa UKI, IISIP, ISTN, dan Atmajaya
12 Maret 1998: 50 ribu mahasiswa UGM turun dlm aksi bersama para dekan, dosen, dan mantan rektor mereka (T. Jacob & Koento Wibisono) menyerukan reformasi total.
17 Maret 1998: kerusuhan pecah dalam demonstrasi mahasiswa UNS Solo, demikian juga di ITS dan UNAIR Surabaya.
13 Maret 1998: 15 ribu mahasiswa UI turun aksi dalam isu reformasi. Aksi yang sama dilakukan
25 Maret 1998: Solo kembali membara oleh
bentrokan mahasiswa vs polisi. 35 mahasiswa luka berat. Bentrok dan rusuh kembali berulang sepanjang 15-17 April 1998 di UNS, lalu 7-8 Mei 1998 di kampus UMS dan UNS. 2-4 April 1998: demonstrasi di Bulaksumur UGM yang digalang DEMA UGM, KPRP, dan LMMY diserbu aparat. Ratusan terluka oleh kebrutalan polisi, termasuk Timur Angin, putera penyair Seno Gumira Adjidarma. 2 Mei 1998: mahasiswa Bandung,
Vol II Tahun 4 Desember 2011
and one liberty more. The miseries which remain are the liberties which we lack. We do not think we are deceiving ourselves — the resoundings of the heart tell us so; we are making a revolution, we are living a vital American hour. . . “Up to now the universities have been the secular refuge of mediocrity, the salary of ignorance, the safe hospital for all intellectual invalids, and — what is worse — the place where all forms of tyranny and insensibility found the chair where they could be taught. The universities have thus become faithful mirrors of these decadent societies which offer the sad sight of a senile immobility. That is why science, facing these closed and shuttered houses, remains silent or mutilated and grotesque, merely serves bureaucracy. When, in a fleeting period of liberalism, the university opened its doors to the higher spirits, it very soon repented and made the existence of those spirits within its walls impossible. That is why the natural forces under such regimes carry education towards mediocrity, and that is why the vital development of the university bodies is never the fruit of an organic process, but only the breath of revolutionary periodicity. . . “Our university regime — even the most recent one — is anachronistic. It is based on a sort of divine right — that of the university staff. It is created by itself. It is born and dies in itself. It maintains an Olympian indifference. The Cordoba University Students Association rises up in arms to struggle against this regime, and understands that this struggle may cost its own existence. It demands a
Referensi
40
strictly democratic government and affirms that the university demos, its sovereignty, its right to choose its own government depends mainly on the students themselves. The authority of a rector or a teacher in a student center can never be based on the power of rules of conduct, which are foreign to the very substance of study. In a student center, authority cannot be implemented through demands, but through suggestion and love, i.e. through teaching”.
Gagasan yang sedang disuarakan oleh para mahasiswa Cordoba tersebut tidak hanya dialamatkan kepada mahasiswa Argentina atau mahasiswa Universitas Cordoba, namun juga kepada Kaum Bebas (free men) di Amerika Latin seperti yang ditegaskan dalam kalimat pembukaan Manifesto tersebut: “La Juventud Argentina de Córdoba a los Hombres Libres de Sudamérica”3. Dari poin ini, Manifesto Cordoba telah mampu memunculkan semangat solidaritas internasional dengan menjebol sekat-sekat Negara-Bangsa. The Radicals in Power Ketika membicarakan Manifesto Cordoba, sangat penting untuk mengenali kondisi masyarakat Argetina saat itu. Peristiwa penting yang mengiringi kelahiran manifesto bersejarah itu adalah Pemilu 1916 yang 3
Terjemahan bebas dari kalimat tersebut “Dari kaum Muda Cordoba Argentina Manusia-Manusia Merdeka di Amerika Latin”. dari naskah Manifesto Cordoba, sumber: manifiestodecordoba1918.blogspot.com/.
adalah: kepada Dikutip http://
Yogyakarta,dan Medan bentrok melawan polisi dalam demonstrasi menentang kenaikan BBM. Ratusan terluka oleh kebrutalan aparat.
direpresi polisi dan tentara. Demikian juga di Solo. Di Yogyakarta 3 orang meninggal, di Solo 6 orang tewas diterjang peluru.
5 Mei 1998: Medan membara oleh keganasan polisi yang membubarkan aksi damai mahasiswa.
12 Mei empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak dalam aksi damai di kampus.
13-14 Mei: kerusuhan pecah di Solo dan Jakarta, 7 Mei 1998: demonstrasi mahasiswa Universitas yang merebak menjadi penjarahan, pembakaran, penghancuran simbol-simbol kesenjangan sosial, Jayabaya diserbu polisi, 52 terluka parah. dan kekerasan etnis. Ratusan meninggal, lainnya 8 Mei 1998: demonstrasi di UGM dan sekitarnya menderita akibat luka fisik dan mental. Etnis
41
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
memunculkan Don Hipolito Yrigoyen sebagai presiden. Secara politik, tahun 1916 adalah tahun pertama Argentina memasuki periode The Radicals in Power, yang berlangsung hingga 1930. Terpilihnya Yrigoyen sebagai presiden dari The Radical Civic Union (UCR) mengakhiri dominasi kubu konservatif selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Dikenal sebagai “Bapak Orang Miskin”, Yrigoyen berhasil mengangkat standar hidup kelas pekerja di Argentina. Meski UCR gagal meraih suara mayoritas di parlemen (45% dari total pemilih)4, namun Yrigoyen dengan dukungan pemilihnya (yang umumnya kelas menengah dan kaum pekerja) percaya diri melakukan gerakan reformasi di segala bidang mulai dari agraria, perburuhan, perpajakan, hingga pendidikan. Gayung pun bersambut. Gerakan reformasi itu disambung dan diterjemahkan secara jitu di sektor pendidikan oleh mahasiswamahasiswa Cordoba. Secara sosiologis, kelas menengah Argentina saat itu memang sedang mengonsolidasikan diri baik secara ekonomi maupun politik. Gerakan Cordoba 1918 secara faktual adalah gambaran dari posisi politik kelas menengah (perkotaan) yang sedang menguat, yang diwakili oleh kaum mahasiswa dan intelektual kampus. Gerakan Cordoba 1918 memiliki keterkaitan dengan kebangkitan Modernisme dan Welfare State 4
Bahkan dari 80 RUU yang disodorkan oleh pihak Eksekutif, hanya 26 yang divoting. Selebihnya ditolak. (http://en.wikipedia.org)
Tionghoa menjadi sasaran utama. Beberapa gedung dan fasilitas pemerintahan di berbagai daerah diduduki massa.
yang menandai sebuah periode maju dari perekonomian Argentina kala itu. Kombinasi antara kemajuan ekonomi, kebangkitan kelas menengah, dukungan dari kaum pekerja, dan kepemimpinan yang radikal dari Presiden Irigoyen, adalah lebih dari cukup untuk menghasilkan Gerakan Cordoba 1918. Pelajaran bagi Indonesia Tujuan-tujuan maju dari Gerakan 1918 secara luas telah diadopsi oleh berbagai organisasi gerakan mahasiswa, baik di Argentina maupun di negara-negara lain. Pada tahun yang sama, Manifesto Cordoba
meninggal 18-21 Mei: ratusan ribu mahasiswa menduduki (Leonardus gedung DPR/MPR menuntut mundurnya Ginting) dan Soeharto. Pada 21 Mei ini pula ratusan ribu 9 kembali. 13 massa mahasiswa dan rakyat turun ke jalanorang yang jalan di Medan, Bandung, Solo, dan Yogyakarta masih hilang dalam 1 tuntutan reformasi. Soeharto mundur, sampai Habibie mengambil alih pemerintahan. Tepat sekarang sebelum pengunduran diri Soeharto, beberapa aktivis lagi-lagi hilang. Di saat sama 9 orang diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis yang hilang pada Maret '98 muncul kembali. Dari Kopassus, Cijantung. total 23 orang hilang, 1 orang ditemukan
Vol II Tahun 4 Desember 2011
juga diaplikasikan di Universitas Buenos Aires dan universitas-universitas lain di Argentina. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Manifesto Cordoba diadopsi dalam ManifestoFederacionUniversitariaArgentina tahun 1920, bahkan menginspirasi gerakangerakan mahasiswa dan kaum muda era 60an seperti gerakan Generasi Bunga (Flower Generation) atau yang paling terkemuka adalah pemberontakan mahasiswa di Prancis tahun 1968. Manifesto Cordoba pernah menjadi inspirasi di Indonesia ketika pada tahun 1999 mahasiswa bergerak menuntut adanya Otonomi Kampus walaupun pada kelanjutannya tuntutan tersebut dibelokkan oleh pemerintah menjadi otonomi dalam versi yang berbeda. Otonomi oleh mereka ditafsir untuk lebih mengedepankan aspek pembiayaan (ekonomi) sehingga lebih beraroma komersialisasi pendidikan dan berdampak munculnya high cost education. Sebagai kelanjutan dari gerakan reformasi 1998 perjuangan mahasiswa terhadap otonomi kampus belum bersifat nation wide, terlebih karena kalangan aktivis belum mampu menjelaskan dengan gamblang apa yang dimaksud dengan otonomi kampus versi mahasiswa. Hasilnya, dukungan dari kalangan mahasiswa sendiri sebagai kekuatan pokok perubahan di dalam kampus sangatlah minim. Isu tersebut hanya muncul dan berhembus kuat di beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka yang diproyeksikan menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) seperti UI, UGM, ITB, dan IPB.
KARAKTER: Gerakan massa dipelopori organisasi-organisasi pergerakan yang solid. Komite aksi menjadi penjembatan efektif dalam melibatkan massa yang lebih luas & public figure. Sayangnya tak ada kepemimpinan politik terpusat yang memandu gerakan progresif ini sehingga momentum tersebut diambil alih dan dimanfaatkan elit-elit politik yang selama ini menjadi oposisi Soeharto. AKTOR: jaringan DEMA UGM, SMID-PRD, KPN, FAMI, FPPI, dan HMI MPO tak pelak lagi
Referensi
42
Dalam merespon isu Otonomi Kampus para aktivis di beberapa perguruan tinggi Indonesia bahkan sempat membangun korespondensi dan komite aksi yang terhubung antar kampus. Umurnya pun tergolong lama jika dibandingkan dengan komite-komite aksi lainnya yang berbasis isu-isu politik atau ekonomi. Di UGM, komite aksi yang menaruh perhatian pada isu BHMN bertahan dari tahun 1999 hingga 2003 meski harus bermetamorfosa ke dalam berbagai nama dan bentuk. Kritik terbesar bagi komite-komite aksi tersebut adalah ketidakmampuan untuk menggalang seluas-luasnya kekuatan di dalam maupun luar kampus, baik di kalangan dosen, pegawai, orangtua/wali, partai politik, bahkan mahasiswa itu sendiri. Pelajaran berharga dari Gerakan Mahasiswa Cordoba 1918 di Argentina adalah political blocking yang mampu mereka bangun vis a vis dengan kelompok status quo dan kemampuan menggalang seluas-luasnya kekuatan baik di dalam maupun di luar kampus, salah satunya dengan memberikan kursus bagi kaum buruh sehingga mempererat solidaritas universitas dengan kaum marjinal. Kemampuan Gerakan Cordoba 1918 dalam membangun isu dan jaringan merupakan salah satu resultan dari gerakan yang berkarakter solidarity maker: kemampuan untuk membangun solidaritas lintas kelompok-kelas dalam masyarakat.
adalah pemain utama yang menggerakkan massa di periode ini. 10-13 November 1998: Sidang Istimewa MPR (era pemerintahan transisi Habibie). Pecah kerusuhan Semanggi I. 17 tewas dalam bentrok rakyat vs PAM Swakarsa yang dibantu militer. Salah satu ketetapan SI MPR 1998 ini adalah diadakannya Pemilu multi partai 1999. Gerakan mahasiswa masih tenggelam dalam euforia reformasi. Momen politik raib ditelan
oportunisme elit yang selama ini mengincar kekuasaan. Sementara organisasi-organisasi pergerakan, baik yang lokal maupun jaringan nasional, masih sibuk berkutat dengan sekatsekat eksistensi antar organisasi dan masa lalunya, namun gagap menatap pintu-pintu menuju panggung politik yang telah mereka buka. Gerakan mahasiswa juga sudah terlupa akan musuh utama mereka, NKK/BKK, karena larut dalam kegembiraan bercampur kegamangan itu.
43
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Gerakan Cordoba 1918 menjelaskan dengan sangat konkret urgensi intelektual/kaum terpelajar muda dalam gerakan perubahan, seperti diungkapkan oleh Antoni Gramsci bahwa dalam kondisi represivitas negara sebagai alat borjuasi, maka di sanalah intelektual akan berperan melakukan kontra hegemoni terhadap rezim sebagai barisan pelopor gerakan rakyat. Tetapi sekali lagi Mahasiswa dan Gerakan merupakan dua hal yang bisa jadi sangat akrab namun sekaligus bisa sangat berseberangan, maka di antara kedua hal itu harus ada organisasi yang berdiri dan memandu kekuatan mahasiswa untuk mendekatkannya kepada cita-cita perubahan. Melalui berorganisasi dan berpartai kita dapat mulai mengonkretkan cita-cita perubahan tersebut. Epilog Keberhasilan gerakan mahasiswa Cordoba 1918 bukanlah sesuatu yang sekonyongkonyong turun dari langit. Ia adalah pengejawantahan dari gelombang besar reformasi di sektor pendidikan yang digalakkan para aktivis mahasiswa dengan melibatkan seluas-luasnya komponen perjuangan. Ia adalah bagian dari perjuangan panjang kaum pembebas dari generasi-generasi terdahulu. Persis seperti diungkapkan oleh Ernest Mandels dalam pamfletnya: “Perjuangan kami adalah perpanjangan dari perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau bahkan 2.000 tahun lalu ketika budakbudak pertama memberontak terhadap tuannya”.
Bahan Bacaan: Mandels, Ernest. “Gerakan Mahasiswa: Teori dan Praktek”. Edisi online Manifiesto de la F.U. De Cordoba. Edisi online Rotblat, Miguel. “The Latin American Student Movement”. mimeo. New University Thought. 2011 Schugurensky, Daniel. “Selected Moments of the 20th Century”. The Ontario Institute for Studies in Education of the University of Toronto (OISE/UT). Ontario. 2002
1999 PERISTIWA: Pemilu 1999: PDI-P menjadi pemenang, namun sisa Orde Baru masih tetap menunjukkan taringnya dengan perolehan suara Golkar yang menempati peringkat kedua. Partai pelopor reformasi, PRD, hanya memperoleh sekitar 400 ribu suara. Gerakan mahasiswa terpecah belah kembali. Sebagian menyatakan Golput dan memboikot Pemilu, sebagian mendua, sebagian terlibat
PMPL (Lampung), KERAS (Semarang), secara malu-malu dalam komite pengawas Pemilu, dsb. Cek kosong kekuasaan telah KOMRAD (Jakarta), dll. Sebelumnya pada diberikan secara gratis dari mahasiswa pada elitFebruari 1999 diadakan Rembuk Nasional elit politik Mahasiswa Indonesia I dan dilanjutkan Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia II pada Maret12 Juli 1999: Liga Mahasiswa Nasional untuk April 1999. Ini merupakan agenda konsolidasi Demokrasi (LMND) dideklarasikan. Organisasi ini terbentuk dari beberapa kelompok eks SMID, gerakan mahasiswa pasca Reformasi. Kedua forum ini berakhir deadlock. dan komite-komite aksi bentukannya selama periode 1996-1998 seperti KPRP dan KNPD Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September (Yogya), GMIP (Bandung), ABRI (Surabaya), 1999, dimana bentrok mahasiswa dan rakyat vs
M KOLO
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
44
Gerakan Mahasiswa dan Percobaan Demokrasi
‘I welcome the birth of the CGMI, I give CGMI my blessing, so rise up! (Sukarno) Pemilu 1955 dan Gerakan Mahasiswa Pemilu 1955 menjadi tonggak baru bagi Republik. Pembukaan dari sebuah fase eksperimentasi gerakan state building pasca proklamasi kemerdekaan 1945. Pemilu 1955 terlaksana ditengah suasana ketidakstabilan yang banyak dipengaruhi oleh pemberontakan daerah dan keterpurukan ekonomi nasional. WalaupunPemilu 1955 tidak serta merta menjadi solusi bagi permasalahan saat itu, tetapi Pemilu pertamat ersebut diakui sebagaipemilu terpenting dalam sejarah perjalanan Republik. Oleh: Husni Rahman (Staf Bappenas)
Pemilu 1955 menghasilkan empat kekuatan politik dominan dengan corak ideologis masing-masing, yakni PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), dan PKI (16,36%).1 Pemilu ini oleh banyak kalangan dipandang sebagai pemilu paling demokratis dalam perjalanan sejarah demokrasi elektoral 1
www.kpu.go.id
meninggal dan ratusan terluka karena digempur polisi dari beberapa arah. RUU PKB dipandang sebagai konsolidasi sisa Orde Baru & militer, oleh karenanya mendapat penentangan yang meluas di Indonesia. Kembali gerakan mahasiswa dipersatukan oleh isu nasional tanpa ada kepemimpinan politik yang membimbing kesadaran maju mereka. polisi kembali terjadi saat demonstrasi menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Seorang mahasiswa
tewas ditusuk di depan Makodam II/Sriwijaya. Kedua insiden ini terjadi dalam aksi penolakan RUU PKB.
April-Desember 1999: rangkaian demonstrasi di kampus UGM oleh DEMA UGM menuntut demokratisasi kampus dan sistem pendidikan, memuncak dalam bentuk aksi seribu obor oleh 28 September 1999: dua mahasiswa Lampung tewas Komite Aliansi Pendidikan Indonesia untuk Kerakyatan (Komite APIK) pada perayaan Dies ditembak di depan Koramil Kedaton, Lampung. Natalis UGM ke-50 (Ulang Tahun Emas) di 5 Oktober 1999: seorang mahasiswa Palembang Graha Sabha Pramana yang menjadi tempat
45
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
di Republik. Ricklefs (2001) menggambarkan bahwa partai-partai peserta Pemilu 1955 berkampanye dengan penuh semangat, dan hasilnya pun menunjukkan kesetiaankesetiaan politik pada saat itu.2 Salah satu faktor yang berandil besar dalam kesuksesan pemilu1955 ialah karena partai-partai berhasil mengintegrasikan dirinya dengan kelompok-kelompok besar masyarakat.3 Pengintegrasian dimaksud salah satunya dilakukan melalui pengorganisiran massa di berbagai sektor, diantaranya adalah massa mahasiswa. Selain untuk menggalang dukungan, partai-partai memandang 2
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2001, hal. 495
3
Herbert Feith, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta: PustakaSinarHarapan, 1995
mahasiswa sebagai kelompok masyarakat terpelajar yang diharapkan dapat mensuplai kader-kader maju untuk menduduki posisi strategis kepartaian. Oleh karena itu, pada kurun waktu tersebut, mulai terlihat organisasi-organisasi mahasiswa yang “dekat” dengan partai tertentu, diantaranya seperti GMNI dengan PNI, Germasos dengan PSI, PMII dengan NU, HMI dengan Masyumi, dan CGMI dengan PKI. Intervensi partai di kalangan universitas bagai pisau bermata dua; di satu sisi intervensi itu menimbulkan pengotakan mahasiswa secara ideologis yang mempertajam ikatanikatan kesukuan, agama, daerah, dsb. Akan tetapi, disisi lain, masuknya partai di lingkungan kampus menjadi langkah awal bagi penonjolan peran mahasiswa di
1999-2000 pesta. Aksi Komite APIK ini membawa isu penolakan atas PP 61/1999 (cikal bakal PP 153/2000 dan UU Sisdiknas No.20/2003).
PERISTIWA: Pembentukan Jaringan Kerja Nasional untuk Pendidikan. Jaringan ini adalah respon secara nasional atas isu PP 61/1999. Terlibat dalam jaringan ini adalah Komite APIK, Gerakan ini 'mengerjakan PR' gerakan KB-UI, GMIP ITB, Wahana Pembebasan, GEMA mahasiswa yang tertinggal: demokratisasi sistem IPB, AMUK UNS. pendidikan. Diinisiasi DEMA UGM, Komite APIK menjadi komite aksi luas yang melibatkan Persma Konsolidasi jaringan KPN dengan jaringan LUMUT, Persma Sintesa, Persma Mahkamah, DEMA UGM, membentuk Forum Mahasiswa Komite Anti Pendidikan Kapitalis (KAPAK), LMND Nasional (FMN). Konsolidasi organisasi dan UGM, Lingkar Studi Alternatif (LSA). ideologi gerakan mahasiswa ini melibatkan
DEMA UGM, PMB Purwokerto, KB UI, SM UII, FIM-B, KA Unpad, FMKR Palembang, FKMM Mataram, KMPR Jombang, SMPR Surabaya,SMBL Lampung, Samudra Malang, KAMUS-PR Surabaya, dll
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dalam kegiatan politik angkatan muda.4 Dengan adanya “politisasi” di kalangan kampus maka akan mengembalikan posisi gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik. Hal itu mengingat pada periode awal ’50an terdapat upaya untuk melumpuhkan aktivitas politik mahasiswa dengan sloganslogan “Kebebasan Akademik” dan “Kembali Ke Kampus”.5 Terdapat tiga organisasi dominan yang mewarnai peta pergerakan mahasiswa pada kurun waktu tersebut, yakni GMNI, CGMI, dan HMI. Pertama, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang lahir pada tanggal 23 Maret 1954, menggunakan Marhaenisme sebagai asas perjuangan organisasi. GMNI berusaha menumpas kapitalisme global di Indonesia sampai ke akar-akarnya, dan membangun tatanan baru demi terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.6 Kedua, CGMI (Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia), lahir pada tahun 1956 sebagai fusi dari tiga organisasi kecil dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor. CGMI yang kemudian “dekat” dengan PKI terkenal dengan trilogi mahasiswa CGMInya , yakni Studi, Organisasi, dan Revolusi. Selain dekat dengan PKI, organisasi ini juga sangat dekat dengan Bung Karno sehingga
Referensi
46
sering disebut Soekarno Youth.7 Ketiga, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) berdiri pada 1947 merupakan organisasi mahasiswa pertama yang menggunakan asas Islam. HMI di fase awal merupakan organisasi yang memiliki watak tegas dalam menentukan garis ideologi perjuangannya. Karakteristik HMI sangat dipengaruhi situasi saat itu yang sarat politik aliran, perang ideologi, dan semangat anti-kolonialisme.8 What is to be done? Dinamika gerakan mahasiswa pada periode demokrasi liberal memberikan banyak pelajaran bagi gerakan mahasiswa dalam konteks kekinian. Ada beberapa aspek penting yang perlu ditekankan guna mereformulasi dan mereposisi gerakan mahasiswa kontemporer. Pertama, gerakan mahasiswa haruslah memiliki platform yang tegas. Platform ini disesuaikan dengan konteks dimana gerakan mahasiswa itu hadir. Gerakan mahasiswa pada tahun ’50an memiliki watak dan sikap yang tegas terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Platform ini yang kemudian diterjemahkan ke dalam program dan sikap politik gerakan mahasiswa dalam merespon berbagai isu. Kedua, gerakan mahasiswa harus senantiasa memiliki perspektif “politik”. Perspektif ini
4
ArbiSanit, SistemPolitik Indonesia: Kestabilan, PetaKekuatanPolitikdan Pembangunan, Jakarta: Rajawali Press, 1981, hal.76
7
5
Nur Farid, Gerakan Mahasiswa Indonesia, artikel tanpa tahun dan penerbit
Anton Lucas, What Make an Acitivist? Three Indonesia Life Histories, The University of Sydney: Indonesian Studies Working Papers, 2010
8
6
www.gmni.or.id
Arif Gunawan, 60 Tahun HMI, Menuju Kerakyatan, http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/05/opi04. htm
2001 PERISTIWA: Gerakan mahasiswa kembali menggeliat secara nasional dlm isu BuloggateBruneigate yg berujung pada desakan mundur terhadap Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kelompok mahasiswa terbagi 2 kubu berseberangan: Kontra Gus Dur Pro Gus Dur.
memandang persoalan tersebut sebagai skenario yang memiliki peralatan politik yang cukup memadai dan rekayasa sisa-sisa Orde Baru dan militer. Meski mendapat dukungan massa cukup besar melalui Front Anti Orde Baru-Anti Militer, Gus Dur akhirnya mundur karena konsolidasi sisa Orde Baru di tingkat parlemen dan tubuh militer terlalu kuat untuk dilawan Front yang masih berwatak ekstra parlemen ini.
Kelompok pro Gus Dur merapatkan diri dengan KARAKTER: Berkarakter politis. Yang kelompok anti Orde Baru-anti Militer, yang memenangkan pertarungan (lagi-lagi) adalah
AKTOR: Kontra Gus Dur: KAMMI, HMI, GMNI, IMM Pro Gus Dur: PMII, Front Anti Orde Baru-Anti Militer: FMN, FPPI, LMND
47
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Ketiga, partai politik dapat menghindarkan gerakan mahasiswa dari kemungkinan menjadi gerakan moral semata. Gerakan moral memiliki dua kelemahan, yakni peluang rezim untuk memoderasi kritik gerakan; dan gerakan moral berhenti pada diskursus normatif.9 Sifat gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral hanyalah propaganda rezim yang menginginkan matinya daya kritis mahasiswa. Disamping itu, sebagai sebuah gerakan politik, gerakan mahasiswa harus dapat memperluas jangkauan isu agar tidak bersifat elitis dan sektoral. Hal itu dapat dilakukan melalui pembauran dengan gerakan massa lain, seperti gerakan buruh, petani, gerakan lingkungan, dsb.
dapat ditumbuhkan melalui berbagai cara, diantaranya membangun hubungan dengan partai politik. Selain sebagai pembelajaran politik, gerakan mahasiswa dapat mensuplai kader-kader maju untuk menduduki posisi strategis kepartaian. Bagi partai politik, universitas menyediakan sumber daya manusia potensial bagi persemaian kultur intelektual di internal partai. Partai yang mengedepankan intelektualitas sudah seharusnya menaruh harapan besar pada para mahasiswa dengan status keistimewaannya.
Hanya saja, integrasi gerakan mahasiswa dengan partai politik akan selalu menimbulkan resistensi dari kelompok mahasiswa yang alergi politik. Kelompok yang menganggap bahwa mahasiswa adalah segelintir elit masyarakat yang “suci” dan tinggal di “menara gading” sehingga tidak pantas terjun ke politik praktis yang “kotor”. Cara pandang ini sangat dipengaruhi nuansa warisan rezim NKK/BKK yang berusaha mendepolitisasi mahasiswa agar bebal terhadap kondisi masyarakat. Justru dengan menggabungkan diri dengan partai maka mahasiswa dapat memperjuangkan program dan aspirasinya ke level yang lebih tinggi.
9
Donny Gahral Adian, Setelah Gerakan Moral, Kompas, 27 Januari 2011
2003
AKHIR 2001-2002 PERISTIWA: Demonstrasi anti Presiden Megawati merebak, terutama setelah kenaikan BBM pada pertengahan tahun. Gerakan mahasiswa kembali terfragmentasi: - Pro Megawati - Anti Megawati - Anti Imperialisme-militerisme Kelompok ketiga dilatarbelakangi oleh merebaknya isu terorisme yang dipandang sebagai skenario imperialisme internasional.
Periode ini gerakan mahasiswa kembali terlihat dalam karakter yang politis dan terfragmentasi, dengan afiliasi politik bawah tangan (malu-malu). Kelompok pro pemerintah: GMNI Kontra: HMI, PMII, IMM, KAMMI, LMND, dll Anti Imperialisme-militerisme: FMN, FPPI
PERISTIWA: 18 Mei 2003: kongres pendirian Front Mahasiswa Nasional (FMN). Eks ketua DEMA UGM, Willy Aditya, ditunjuk memimpin organisasi baru ini. Perubahan nama “Forum” menjadi “Front” menunjukkan watak organisasi yang lebih terpimpin sebagai alat perjuangan.
M
Referensi
48
KOLO
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Berkaca pada Perancis 1968
J
Oleh: Bayu Agni (Musisi, Peneliti Populis Institute)
ika anda adalah seorang pemuda yang tinggal di Paris pada pertengahan tahun 1968 mungkin itu adalah saat dimana anda akan diliputi kekhawatiran akan berbagai ancaman, kemungkinan, dan ketidakpastian. Di saat yang sama anda adalah seorang pemberani yang meyakini secara penuh kebenaran ide yang hidup dan berkecambah dalam pikiran dan anda tahu pasti: seluruh ide dan keberanian itu hidup juga di kepala hampir semua orang di sekitar anda. Apakah anda mahasiswa, pelajar, pengangguran, buruh pabrik, pekerja kantoran, guru, dokter, dosen, kaya, miskin, itu semua tak penting. Semua anda muda dan memberontak: mengubah dunia sesuai dengan apa yang ada dalam kepala anda. Peristiwa Perancis ’68 bukanlah api yang sekonyongkonyong menyala seperti adegan sulap. Ia adalah pemberontakan yang prosesnya telah “dicicil” bertahuntahun sebelum itu hingga akhirnya meruap menjadi pemberontakan bereskalasi massif. Ia juga bagian tak terpisahkan dari pergolakan mahasiswa Eropa di tahun-
2003-2004
2005
Juli 2004: Pemilu Presiden-Wakil Presiden, PERISTIWA: Kenaikan BBM dan TDL 100% disambut berbagai demonstrasi di Indonesia. Tak menghasilkan pasangan SBY-JK. seperti yang terdahulu, dalam aksi-aksi Dalam momen politik ini gerakan mahasiswa penolakan kali ini peran gerakan mahasiswa tak sudah tak terlalu berdinamika. Organisasiterlalu besar. Pembesaran justru terjadi pada organisasi gerakan mahasiswa relatif tak aksi-aksi rakyat. mengalami pembesaran signifikan, baik di dalam maupun di luar kampus. Salah satu penyebab April 2004: Pemilu Legislatif, dimenangi Partai utamanya adalah situasi umum dunia pendidikan dan kemahasiswaan yang telah jauh berubah Golkar. akibat tingginya biaya pendidikan. PERISTIWA: Gerakan mahasiswa kembali menggeliat dalam gelombang penolakan UU Sisdiknas 20/2003. Biaya pendidikan semakin tinggi dan menghasilkan generasi-generasi baru yang makin apatis, apolitis, dan anorganis. FPPI, FMN, LMND terlibat dalam front melawan UU tersebut.
49
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
tahun yang berdekatan seperti di Budapest (1958) dan Praha (1968). Tapi tak seperti layaknya sejarah pemberontakan yang timbul dari situasi sosial dan ekonomi yang terpuruk, pemberontakan Perancis ’68 justru sebaliknya, ia lahir dalam perekonomian yang kekenyangan oleh booming kapitalisme pasca Perang Dunia II dan kucuran dana Marshall Plan. Pada tahun-tahun itu instrumen politik formal baik oposan maupun yang berkuasa, apakah itu liberal, konservatif, nasionalis, radikal, komunis, sosialis, dan lain-lain, nampak duduk mapan di parlemen untuk bersamasama mewujud menjadi konservatisme baru bernama transaksi politik. Kecenderungan ini nampak pada Partai Komunis Perancis (PCF/ Parti Communiste Francais) berikut serikat buruhnya, CGT (Confederation Generale du Travail), Partai Radikal, SFIO (Section Francaise de I’Internationale Ouvriere Internasionale seksi Perancis), maupun partai-partai yang belakangan bergabung dalam koalisi FGDS (Federation de la Gauche Democrate et Socialiste) yang sebagian besar tak berkutik atau malah mendukung kebijakan-kebijakan konservatif-militeristik Charles de Gaulle, termasuk dalam hal politik ekspansionis Perancis atas Aljazair. Di sisi lain periode pasang naik kapitalisme pada masa itu membuka kontradiksikontradiksi di dalamnya dimana satu juta orang dan hampir separuh penduduk dibayar dengan upah sangat rendah, hanya satu level di atas tingkat subsisten, sedangkan 2006 PERISTIWA: 17 Agustus 2006: pendirian Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Masih memiliki “hubungan darah” dengan Solidaritas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR), salah satu organisasi inti KPN/FMN, dan dengan demikian berhubungan pula dengan SMY dan FMKY.
lebih dari satu juta orang tak bekerja alias menganggur.1 Ini tentu saja menjadi pukulan telak bagi nalar intelektual kaum mahasiswa yang justru sedang mengalami peningkatan jumlah dari sekitar 175.000 pada tahun 1958 menjadi sekitar 514.000 pada 19682 karena pada saat yang sama pemerintah justru memotong anggaran jaminan sosial, tak bergeming dalam sikapnya atas Aljazair, Kamboja, dan Vietnam (Kedua), serta memotong anggaran pendidikan dan juga memberlakukan kebijakan kontrol ketat di dalam kampus. Inilah yang melatarbelakangi apa yang selanjutnya meledak menjadi salah satu pemberontakan terbesar dalam sejarah yang justru lahir di salah satu negeri pusat kapitalisme maju. Pemberontakan yang diawali oleh kelompok mahasiswa dan pelajar yang belakangan menyeret hampir seluruh lapisan masyarakat. Riak-Riak Menjadi Gelombang Sempat terlelap sejak aksi besar puluhan ribu mahasiswa dan buruh perihal konflik Aljazair yang menjadi salah satu faktor ditandatanganinya Perjanjian Evian (1962), akhir 1967 mahasiswa kembali bergejolak. Dipicu oleh kebijakan pemotongan jaminan sosial dan anggaran pendidikan yang berujung pada pemecatan Roman Goupil, seorang anggota CAL (Commites d’Actions Lyceens/Komite Aksi Pelajar) dengan 1
Seale, Patrick dan Maureen McConville, “Pemberontakan Mahasiswa: Revolusi Perancis, Mei 1968,” Yayasan Litera Indonesia, Agustus 2000.
2
Singer, Daniel, “Prelude To Revolution: France in May 1968”, Hill and Wang, Mei 1970, 44-45
2006-2009 PERISTIWA: Aksi-aksi mahasiswa sporadis, lokalistik, dan biasanya berbias elit seperti mengangkat isu Pilkada, korupsi, dsb. Memuncak pada 2008-2009 dalam isu “cicak vs buaya” yang berujung pada skandal Bank Century. Skandal ini ditengarai melibatkan banyak kelompok politik dan instansi pemerintah. Isu yang mendominasi sepanjang 2008-2009 ini ini tak terselesaikan hingga sekarang.
KARAKTER: sebagian besar organisasi mahasiswa disibukkan oleh persoalan internal organisasi yang ber-vis a vis dengan mahalnya biaya kuliah, tuntutan untuk menyelesaikan pendidikan, sulitnya lapangan kerja, dan besarnya tekanan ekonomi masyarakat.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
tuduhan penghasutan untuk pemogokan di Lycee Condorcet. Solidaritas merebak dalam gejolak yang berlangsung di bulan-bulan berikutnya: insiden gambar penis oleh kaum enrages (kelompok anarkis) yang dimotori Daniel Cohn-Bendit di kolam renang yang sedianya akan diresmikan Menteri Pendidikan pada Januari 1968, pendudukan Gedung Sosiologi Universitas Nanterre yang berujung pecahnya pertempuran antara ribuan mahasiswa melawan regu-regu polisi, dan mogok nasional mahasiswa di Hari Valentine 1968. Bertepatan momen-momen ini adalah 2009
Referensi
50
sentimen anti perang Vietnam yang mendunia, tak terkecuali di Perancis. Hasilnya, di bulan Maret 1968 ribuan orang turun ke jalan dimana untuk pertama kalinya mahasiswa bersatu dengan para pelajar dalam satu bendera, CVN (Commitee National Vietnam), dalam demonstrasi anti perang yang berbuntut penangkapan atas lima aktivis (tiga pelajar, satu mahasiswa, dan satu aktivis anti perang) atas tuduhan penyerangan terhadap fasilitas milik Amerika Serikat. Sebagai wujud protes sekaligus solidaritas atas penangkapan tersebut, dan tentu saja peristiwa-peristiwa sebelumnya, adalah Gerakan 22 Maret dimana rapat akbar
2010-2011
PERISTIWA: Gerakan mahasiswa masih tetap abstain secara politik. Geliatnya masih tetap sporadis, seperti dalam kasus-kasus korupsi, kasus Ahmadiyah, kasus Nazaruddin, Melinda 8 Juli 2009: Pemilu Presiden. SBY terpilih kedua Dee, bank Century, Pilkada, dll. kalinya bersama Boediono, seorang akademisi KARAKTER: Penurunan dinamika gerakan. UGM, sebagai wakilnya. Organisasi-organisasi gerakan mahasiswa hampir semuanya tenggelam ditelan isu-isu yang silih berganti dalam hitungan hari. Problem kepemimpinan politik dan depolitisasi kampus masih tak terjamah dan tak terpecahkan.
2011
PERISTIWA:
9 April 2009: Pemilu Legislatif dimenangi oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P.
PERISTIWA: 9 November: Lompatan besar dalam khasanah gerakan mahasiswa Indonesia terjadi dengan dideklarasikannya Liga Mahasiswa NasDem.
51
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
mahasiswa berubah menjadi pendudukan atas gedung administrasi Universitas Nanterre. Respon dari pihak kampus adalah penutupan dan penghentian kegiatan perkuliahan, sementara ujian akan tetap diselenggarakan di bawah pengawasan polisi. Kebijakan tersebut diboikot mahasiswa dan sejak hari itu hingga April 1968 demonstrasi dan bentrokan tak pernah mereda hingga mulai memuncak pada 2-3 Mei 1968. Universitas Sorbonne menjadi pusatnya. Kampus diduduki dan bentrokan melawan polisi tak terhindarkan sore harinya. Bentrok meluas hingga melibatkan masyarakat sekitar. Ratusan terluka dan ditangkapi, termasuk Daniel Cohn-Bendit dan Jaques Sauvageot (pimpinan UNEF/Union National de Estudiants de France – Serikat Mahasiswa Nasional Perancis). Tuntutan pembebasan segera dilayangkan dalam bentuk aksi belasan ribu orang pada 6 Mei dan meluas dalam skala 24 jam ke wilayah-wilayah sekitar. Di Boullevard St.Germain pecah perang 12 jam antara mahasiswa dan masyarakat melawan kekerasan polisi, antara paving block melawan senapan, pentungan, dan granat3. Ratusan orang ditangkapi hari itu. Sehari setelah itu puluhan ribu massa terkumpul di Sorbonne dan segera membangun barikade-barikade di sekitar Latin Quarter. 3
Ibid, 126-127
Tujuannya adalah menjadi produsen utama kader Partai NasDem, partai yang mengusung misi Restorasi Indonesia. Bagi organisasi ini, kader partai haruslah individu-individu yang intelek dan kompeten dalam hal ilmu pengetahuan maupun organisasi. Misi Liga Mahasiswa NasDem adalah “Kembalikan Kebebasan Mahasiswa Berpartai” dan dengan demikian memulai kembali “perang” melawan depolitisasi-deorganisasi-deideologisasi kampus produk NKK/BKK.
Pada 9 Mei Dewan Revolusioner terbentuk, tersusun dari organisasi-organisasi mahasiswa, pelajar, aktivis-aktivis ’60an awal (aktivis anti perang Aljazair), dan kelompok profesional seperti guru, dokter, dan dosen (seperti SNESup/Syndicat National de l’Enseignement Superieur – Serikat Pengajar Universitas, dipimpin oleh Alan Geismar), yang segera membangun kontak dengan dua serikat buruh terbesar: CGT dan CFDT (Confederation Francaise Democratique du Travail – serikat buruh yang berafiliasi dengan PSU/Parti Socialiste Unifie). Sore 10 Mei polisi menyerbu Latin Quarter. Pertempuran dahsyat pecah dan brutalisme polisi mulai menyasari fasilitasfasilitas publik. Polisi menyerang penduduk, menerobos ke rumah-rumah setempat, dan menghancurkan semua yang ada di sekelilingnya, maka kerusuhanpun meluas hingga malam hari dengan melibatkan masyarakat sekitar (atau yang dikenal sebagai Nights of Barricades). Ratusan terluka dan masuk rumah sakit. Setelah Latin Quarter diduduki polisi, massa mengalihkan diri untuk menduduki Universitas Strasbourg pada 11 Mei. Otonomi atas pemerintahan Perancis diproklamirkan. Peristiwa di dua hari yang berdarah ini mendapatkan simpati publik dan segera diikuti dengan pemogokan nasional yang diserukan oleh CGT dan FEN (federasi serikat pengajar Perancis) pada 13 Mei dalam bentuk pawai ratusan ribu orang di jalanan Paris sebagai bentuk solidaritas dan simpati rakyat terhadap perjuangan mahasiswa.
KARAKTER: Organisasi gerakan mahasiswa yang sadar secara ideologi dan organisasi serta terpimpin secara politik di bawah partai. Organisasi ini bukan underbow, melainkan backbone/tulang punggung bagi partai. 9 Desember 2011: seorang aktivis GMNI, Sondang Hutagalung, meninggal karena melakukan aksi bakar diri dalam aksi peringatan Hari HAM. Aksinya tersebut dipicu oleh kekecewaannya yang akut terhadap pemerintah.
24 Desember 2011: tiga aktivis LMND, HMI, dan IMM meninggal ditembak polisi dalam pembubaran aksi rakyat korban perusahaan tambang di Bima, NTB.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Seruan itu disambut oleh pemogokan 10-15 juta pekerja di seluruh Perancis. Pendudukan atas pabrik oleh serikat buruh terjadi di sana-sini, seperti yang dilakukan buruh Sud Aviation Nanterre dan buruhburuh Renault. Puncaknya pada 19-20 Mei seluruh Paris mogok total akibat pemogokan para pekerja pos, telekomunikasi, dan transportasi baik darat, laut, maupun udara, yang belakangan menyeret juga lapisan-lapisan yang lebih mapan seperti kalangan profesional, seniman, wartawan, artis, dan olahragawan. Di hari-hari minggu terakhir Mei 1968 itu ratusan komite rakyat bertebaran menguasai kota seperti di Nantes dan St.Nazaire (sekitar Brittany), dimana komite rakyat menduduki kantor-kantor pemerintahan dan memproklamirkan diri sebagai pemerintahan baru di kota tersebut. Barikade dan penghadang jalan dibangun di sekitar kota, kupon bensin dan izin bepergian dikeluarkan, sementara buruh-buruh mulai menjalin kerjasama dengan petani untuk mengambil hasil panen dan menyediakan kebutuhan logistik setempat melalui tokotoko maupun agen penyalur yang baru didirikan. Dalam sekejap harga jatuh karena perantara-perantara telah dilenyapkan
Referensi
52
sementara kontrol harga diberlakukan dengan ketat melalui pengawas-pengawas dari komite rakyat4. Apa yang semula diawali oleh protes-protes spontan di seputar isu lokal dan ekonomis seperti hak dan kebebasan dalam kampus dan pabrik, anggaran pendidikan, anggaran jaminan sosial, kenaikan upah pekerja, pembebasan para aktivis yang ditahan, berubah menjadi isu-isu politis dan bersifat nasional: menuntut mundur Presiden De Gaulle serta pembentukan pemerintahan yang lebih demokratis. Pemberontakan mahasiswa telah menjadi pemberontakan rakyat yang diiringi praktek lebih maju dan revolusioner: pembentukan soviet-soviet (komite pemerintahan otonom oleh rakyat) 4
Lorimer, Doug, “Pelajaran-Pelajaran Dari Revolusi (yang gagal) 1968, http://indomarxist.tripod.com/00000041. htm
53
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
yang segera menggantikan fungsi-fungsi pemerintahan setempat. Apa yang semula hanya menjadi slogan dan jargon jalanan seperti “Kekuasaan berada di jalanan, bukan di Parlemen” telah hidup dan menjadi kenyataan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Konsesi, Kekosongan Kepemimpinan, dan Kemandulan Partai “Progresif”: Akhir Gerakan Mei 1968 Ledakan gerakan massa menjadi gerakan politik tersebut berdampak besar baik secara nasional maupun internasional. Di Perancis perekonomian nasional lumpuh akibat mogoknya buruh pertambangan, transportasi, telekomunikasi, dan jalannya pemerintahan. Pabrik-pabrik mengalami kerugian akibat mogoknya para pekerja, gedung dan kantor-kantor pemerintahan kosong sehingga fungsi-fungsi pemerintahan lokal terhenti. Demoralisasi mulai merebak di tubuh militer dan polisi, sebagian malah mulai terseret dalam arus gerakan, seperti yang terjadi di barak-barak prajurit di Vincennes dimana komite-komite prajurit telah mulai didirikan. Secara internasional gerakan tersebut juga berpengaruh terhadap ledakan gerakan massa di Berlin, Roma, dan Buenos Aires, dan dengan demikian menjatuhkan reputasi pemerintahan Gaulle dan Pampidou (perdana menteri saat itu). Panik oleh situasi ini pemerintahan Gaulle segera mengadakan perundingan dengan perwakilan-perwakilan serikat buruh dan mengumumkan tawaran referendum pada 24 Mei. Pada 27 Mei Pampidou mencapai kata sepakat dengan perwakilan buruh dalam Perjanjian Grenelle dimana disepakati kenaikan upah minimum serta tunjangan kerja (berkisar dari 4-75%), pemotongan jam kerja dan perbaikan kondisi kerja, pengupahan selama mogok,
serta percepatan masa pensiun—sebuah pencapaian terbesar dalam sejarah gerakan buruh Perancis selama duapuluhan tahun terakhir5. Kaum gerakan menolak tawaran referendum sementara sebagian besar arus bawah gerakan buruhpun menolak kesepakatan perundingan kerja terbaru itu. Keseluruhannya diekspresikan dalam demonstrasi puluhan ribu mahasiswa dan pelajar di Paris hari itu hingga 28 Mei. Namun begitu sebagian massa buruh menerima kesepakatan tersebut yang berarti satu hal: terbelahnya gerakan massa. Dalam situasi mengambang ini SFIO, PCF, dan PSU— dua yang terakhir ini adalah partai terbesar setelah partai yang berkuasa—justru tak bergeming dan menunggu diadakannya pemilu. PCF dan SFIO bahkan lebih memilih untuk mendamaikan dan meredam gerakan massa. Bagi mereka penggantian atau pengambilalihan kekuasaan bukanlah opsi, hal terbaik adalah mempersiapkan koalisi sayap kiri untuk memenangi pemilu dan merebut parlemen. Sementara PSU yang lebih condong pada gerakan tak 5
Singer, Daniel, “Prelude To Revolution: France in May 1968”, Hill and Wang, Mei 1970, 182-183
Vol II Tahun 4 Desember 2011
mampu menginisiasi kelompok lain untuk membesarkan tekanan. Dukungan aktif hanya datang dari Pierre-Mendes France, seorang PSU anti kolonialis dan eks-Partai Radikal yang didepak karena penentangannya terhadap rezim Gaullist. Melihat situasi tersebut Jenderal Charles De Gaulle, yang terpaksa kabur ke BadenBaden (Jerman Barat) pada 29 Mei, segera menyusun rencana bagi segala kemungkinan pengambilalihan kekuasaan dengan memusatkan 70.000 tentaranya di sekitar Verdun untuk merebut Paris. Ini menimbulkan ketakutan di tubuh PCF dan partai-partai sayap kiri lainnya yang membuat mereka mendesak dan membujuk gerakan buruh untuk menerima tawaran pemerintah. Kompromi pemerintah dengan partai-partai yang merepresentasikan mayoritas rakyat serta terbelahnya gerakan massa akibat kesepakatan ketenagakerjaan inilah yang dalam sekejap melumpuhkan gerakan. Pada 30 Mei pemerintah mengumumkan pembubaran Assemblee Nationale dan diselenggarakannya pemilihan umum pada 23 Juni, sedang sehari berikutnya pemerintah mengumumkan perombakan kabinet. Sementara itu serangan terhadap gerakan oleh kelompok-kelompok paramiliter sayap kanan yang di-back-up militer kembali terjadi dan bentrokpun kembali pecah selama beberapa hari, hingga pada 10 Juni seorang aktivis tewas dalam kerusuhan melawan polisi pada pemogokan puluhan ribu buruh Renault. Esoknya seorang buruh tertembak mati dan pertempuran besar melawan polisi kian meluas sehingga pemerintah mengumumkan diberlakukannya keadaan darurat pada 12 Juni. Pada 13 Juni seluruh organisasi radikal mahasiswa dan pelajar dinyatakan illegal,
Referensi
54
segala bentuk demonstrasi dilarang dalam dalih “masa tenang periode kampanye”. Sejumlahkelompok revolusioner dibubarkan, arus penggalangan dananya diputus. Pada 16 Juni polisi didukung tentara menyerbu Sorbonne dan mengusir para demonstran yang mendudukinya. Penangkapan atas tokoh-tokoh pemberontakan dilancarkan di seluruh Perancis tak terkecuali Alain Krivine, ketua JCR (Jeunesse Communiste Revolutionnaire/Pemuda Komunis Revolusioner), organisasi yang berperan besar dalam mengendalikan gerakan sejak diawalinya pada Desember 1967 hingga Mei 1968. Dalam situasi demikian partai-partai oposisi dan sayap kiri seperti PCF dan SFIO tetap bungkam dan menyandarkan harapan pada pemilu meski nuansa kekerasan dan kecurangan terpapar gamblang di depan mata mereka, seperti dalam kasus ditembakmatinya juru kampanye PCF pada 29 Juni. Dengan sebagian besar mahasiswa, pelajar, buruh, dan kaum muda menolak memberikan suara sebagai bentuk protes dan kekecewaan terhadap partai-partai sayap kiri dan koalisinya dalam pemilu (FGDS), sementara yang lain tak memilih karena dianggap tak dapat, tak diizinkan, atau di bawah umur, maka kemenangan mutlak diraih rezim De Gaulle melalui UDR (Union pour la Defense de la Republique). Inilah kemenangan mutlak pertama dalam sepanjang sejarah Pemilu Perancis dan ini pulalah akhir dari pemberontakan Mei 1968. Pentingnya Kepemimpinan dan Platform Umum Gerakan Sejak percik awal kelahirannya, keterputusan antara gerakan massa dengan instrumeninstrumen politik formal memang telah terjadi. Ini tak lepas dari sikap kooperatif PCF
55
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dan SFIO yang memang mengikuti kebijakan “koeksistensi damai dengan kapitalisme” Komunis Internasional di bawah Uni Sovyet, terutama dalam rangka membendung meluasnya komunisme Cina. Keterputusan ini ditunjukkan sejarah dalam demonstrasi UNEF di lapangan Bastille pada 27 Oktober 1960 yang menentang pendudukan Perancis atas Aljazair sementara di sisi lain PCF dan serikat buruhnya, CGT, bersama SFIO mendukung kebijakan pendudukan tersebut (Perdana Menteri saat itu, Guy Mollet, berasal dari SFIO) dan menentang demonstrasi. Ketidakpuasan atas sikap PCF inilah yang melahirkan JCR, yang terlepas dari kekuatannya untuk mengorganisasi dan mengendalikan secara penuh gerakan massa hingga ke detil-detil operasionalnya, namun hingga saat-saat akhir gejolak Perancis ’68 tak mampu bermetamorfosa menjadi instrumen politik yang bisa mentransfer gerakan massa menjadi kemenangan politik yang lebih signifikan: pengambilalihan kekuasaan politik. Dalam Dewan Revolusioner yang terbentuk pada 9 Mei 1968 tak ada satupun partai progresif yang terlibat, pun demikian kaum pergerakan tak sanggup membangun keterhubungan yang dapat “menyeret” mereka dalam arus gerakan perubahan.
Partai sayap kiri yang relatif mendukung gerakan Mei 1968, PSU, tak cukup memiliki daya tawar politik yang kuat di parlemen dan hanya terlibat dalam konteks dukungan dan simpati personal terhadap gerakan. Kelompok-kelompok seperti CGT dan CGDT, FEN, SNESup, CAL, MAU (Mouvement d’Action Universitaire/Gerakan Aksi Universitas—para aktivis veteran kampanye anti perang Aljazair), maupun UJC-ML (Union des Jeunesse Communistes-MarxistesLeninistes—Serikat Pemuda Komunis MarxisLeninis), kesemuanya lebih memperlihatkan watak sebagai organisasi massa atau komite aksi sementara dalam konteks gerakan massa yang berorientasi kekuasaan (dalam hal ini direpresentasikan oleh Negara), partai politik mutlak dibutuhkan keberadaannya. Peran dan fungsi seperti representasi, rekruitmen dan pembentukan elit, perumusan tujuan bersama, artikulasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi dan mobilisasi politik, serta pengorganisasian pemerintahan, jelas bukan peran dan fungsi yang bisa dijalankan oleh organisasi massa, komite aksi, atau bahkan front revolusioner sekalipun. Tanpa kehadiran partai politik seberapapun dahsyatnya gerakan massa akan menabrak dinding yang tak terseberangi, sebab kekuasaan dan otoritas
Vol II Tahun 4 Desember 2011
politik formal terletak pada Negara beserta alat-alatnya serta hanya dapat direbut melalui jalan kekerasan (pemberontakan atau kudeta) atau sebaliknya, jalan damai (elektoral, parlementer). Itu bukanlah hal yang sanggup dibebankan melulu kepada Dewan Revolusioner Paris ’68 mengingat beragamnya tujuan dan kepentingan di dalamnya serta belum tunduknya militer terhadap gerakan. Tanpa instrumen politik yang memimpin, memandu, membimbing, dan mengarahkan strategi dan taktiknya baik secara parlementer maupun ekstra parlementer, praktek revolusioner dalam peristiwa Paris ’68—yang sekalipun telah menunjukkan embrio perebutan kekuasaan—terbukti kalah. Problem kepemimpinan dan kebutuhan akan partai politik seperti dipaparkan di atas telah menjelaskan satu hal: gerakan mahasiswa adalah bagian dari gerakan sosial dan bersama dengan elemen-elemen gerakan sosial yang lain mau tak mau harus bersifat partisan. Faktanya di satu sisi gerakan Mei ‘68 tak bersifat partisan, sementara di sisi lain partai yang seharusnya mengambilalih kepeloporan dan kepemimpinan atas gerakan massa itu sendiri gagal menjalankan tugas dan perannya, seperti yang dipertontonkan oleh PCF maupun SFIO. Inilah pelajaran sejarah yang diberikan oleh peristiwa Perancis Mei 1968: gagasan kaum muda dan intelektual mengenai perubahan sosial-ekonomi dan politik secara mendasar dalam masyarakat mau tidak mau harus diimbangi pula dengan gagasan mengenai instrumen beserta langkah-langkah politik untuk mewujudkannya (dan tentu saja keberanian untuk memulainya). Absennya kepemimpinan atas gerakan dalam peristiwa Paris 1968 semakin lengkap dengan ketiadaan platform umum dan turunan-turunannya berupa taktik,
Referensi
56
strategi, dan metode yang menjelaskan langkah-langkah yang harus diambil pada tiap tahap perkembangan gerakan. Bagaimana massa menjadi bimbang lalu terbelah oleh konsesi yang ditawarkan pemerintah pada 27 Mei dan bagaimana gerakan bisa benar-benar abstain dalam pemilihan umum yang akhirnya dimenangi secara telak oleh rezim Gaulle nampaknya cukup untuk menjelaskan hal tersebut. Hal terakhir ini juga memberi pelajaran berharga bahwa kaum pergerakan—dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa—tak bisa begitu saja meninggalkan realitas material yang terus berkembang. Dalam alam kemapanan kapitalisme yang mengagungkan “demokrasi liberal” beserta mekanisme politik parlementariannya, sikap anti parlementarianisme (yang sering kita dengar dalam slogan umum seperti “boikot pemilu” dan sebagainya) seringkali malah menjadi kontraproduktif karena dengan demikian justru memberikan cek kosong kekuasaan secara gratis kepada kelompokkelompok yang menguasai sumber-sumber kekuasaan, yang celakanya biasanya adalah status quo. Bagaimanapun otoritas politik atas sumbersumber kekuasaan seperti ekonomi, militer, hukum dan aparat-aparatnya, berada di tangan Negara. Peristiwa Perancis 1968 menunjukkan bahwa sikap semacam itu justru merugikan capaian-capaian besar yang telah diraih gerakan massa melalui aksi-aksi ekstra parlementernya, hanya dengan “tiga langkah mati”: secara ekonomi (pemberian konsesi kepada gerakan buruh), secara militer (pemusatan pasukan di Verdun), dan secara politik (pembubaran National Assemblee dan tawaran referendum/pemilihan umum), tiga langkah otoritatif yang hanya dapat dilakukan melalui kekuasaan atas Negara.
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
KOLO
57
M
Gerakan Mahasiswa dan Partai Politik: Studi Kasus Korea Selatan
Sebelum Pembantaian Kwangju tahun 1980, mayoritas Korea melihat Amerika sebagai sekutu dalam perjuangan demokrasi. Kwangju terkena kenaifan pandangan atas dunia Barat ini dan hasilnya sebagian besar orientasi pergerakan yang didasarkan pada “kebencian kelas menengah atas kediktatoran militer” berubah menjadi “perjuangan nasionalis untuk kemerdekaan dari intervensi asing dan akhirnya unifikasi” (Shin, 1995). Pendahuluan Gerakan mahasiswa selalu dipandang sebagai entitas yang mengancam otoritas kekuasaan. Negara, dengan kekuasaannya, pada akhirnya selalu “memenjarakan” mahasiswa dalam urusan akademik semata dan menjauhkan mereka dari permasalahan sosial dan politik bangsanya sendiri.
Oleh: Darisman (Aktivis Liga Mahasiswa NasDem dan Perburuhan)
Dibanding negara lain, gerakan mahasiswa di Korea Selatan sudah menjadi tradisi yang melekat di kalangan intelektual muda, yaitu untuk tetap kritis terhadap negara. Jaringan yang kuat, penguasaan lembaga formal di kampus, serta penggunaan media massa yang massif, menjadi ciri pergerakan mereka disamping selalu menjalin kekuatan dengan kelompok sektoral lainnya. Gerakan mahasiswa di Korea Selatan berkontribusi besar dalam membangun sistem politik yang demokratis, termasuk dengan menggulingkan rezim otoriter yang dengan demikian mempengaruhi perubahan sistem politik negeri ginseng itu.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Pada masa pendudukan Jepang di Korea (1910-1945), konsentrasi perjuangan gerakan mahasiswa terfokus pada upaya memerdekakan diri. Sedangkan di masa rezim Syngman Rhee (1945-1960), gerakan mahasiswa terkonsentrasi pada proses penggulingan pemerintahan yang korup. Pada masa rezim militer Park Junghee (19601979), protes mengarah pada tindakan represif pemerintah yang menerapkan sistem Yushin. Dalam setiap fasenya, warna ideologi gerakan cenderung mengarah pada pemikiran Marxis, sementara strategi perjuangannya masih sebatas bagaimana menggulingkan rezim yang berkuasa. Adalah pembantaian Kwangju, pada tahun 1980, yang telah menjadi pemicu perubahan gerakan mahasiswa baik dari segi ideologi maupun strategi politik. Tulisan ini mencoba menangkap perdebatan politik dan keterlibatan gerakan mahasiswa dalam politik formal pasca peristiwa pembantaian tersebut. Sekilas Sejarah Gerakan Mahasiswa Korea Di masa pendudukan Jepang (1910-1945), mahasiswa melakukan pergerakan melalui pemogokan dan membangun organisasiorganisasi rahasia dalam perjuangan kemerdekaan Korea. Setelah memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, tiga tahun kemudian Korea dibagi menjadi dua bagian yakni Utara dan Selatan. Korea Utara berpaham komunisme, sementara Korsel berpaham kapitalisme, yang kemudian berujung pada konflik ideologis antara kedua Negara hingga saat ini. Sejak Perang Korea (1950-1953), pemerintah Korsel menerapkan ideologi anti-komunisme dan melakukan penekanan terhadap gerakan anti-pemerintah dengan selalu mengasosiasikannya sebagai kelompok pro komunis.
Referensi
58
Pada tahun 1960, terjadi sebuah gerakan besar yang dipelopori oleh mahasiswa. Gerakan yang disebut “Revolusi April” ini berhasil menggulingkan rezim diktator Syngman Rhee, yang merupakan presiden pertama Korea Selatan setelah kemerdekaan dari Jepang. Rakyat Korsel, terutama kalanganmahasiswa,meletupkanamarahnya ketika Pemilihan Umum Presiden pada 16 Maret 1960 yang dimenangi kembali oleh Syngman Rhee. Mahasiswa menganggap Pemilu berlangsung penuh manipulasi dan kecurangan. Merasa muak pada pemerintah, mahasiswa mulai melakukan aksi secara besar-besaran dan berhasil menggagalkan Syngman Rhee untuk kembali berkuasa. Secara politik jatuhnya Presiden Syngman Rhee bersama Wakil Presiden Lee Ki Poong setidaknya disebabkan oleh empat hal: (1) pemerintahan Syngman Rhee yang tidak demokratis dan korup; (2) penanganan represif aparat kepolisian terhadap para demonstran terutama mahasiswa; (3) keberhasilan media massa sebagai mediator dalam melakukan konsolidasi politik bagi para oposisi; (4) dukungan militer terhadap tuntutan gerakan mahasiswa yang mendesak pemerintahan Syngman Rhee dibubarkan.1 Periode ‘70-an dikenal sebagai masa kegelapan karena negara dikontrol oleh rezim militer yang represif. Rezim ini mengeluarkan kebijakan populernya yang dikenal sebagai sistem Yushin. Sistem Yushin dirancang Presiden Park Junghee untuk melanggengkan kekuasaan secara absolut, dimana kontrol yang kuat dari pemerintah terhadap lembaga-lembaga publik termasuk lembaga pendidikan diterapkan. Dalam periode ini banyak aktivis mahasiswa yang ditangkap dan dipenjarakan. Tercatat 1
Muhammad Umar Syadat hasibuan, Gerakan Mahasiswa Paska 1998, FISIP UI, 2010
59
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
sebanyak 1.889 mahasiswa ke kantor polisi, 119 diantaranya dipenjarakan.2 Represivitas tersebut memaksa gerakan mahasiswa menggunakan strategi bawah tanah dan memperkuat propaganda dengan penyebaran informasi melalui selebaran. Demonstrasi pertama melawan Sistem Yushin berlangsung pada 2 Oktober 1974 di Universitas Nasional Seoul. Setelah demonstrasi ini, gerakan anti-Sistim Yushin menyebar, tidak hanya di berbagai universitas di seluruh negeri tetapi juga di kalangan pekerja, agamawan,wartawan, dan warga lainnya. Perjuangan ini meluas menjadi sebuah perjuangan nasional dengan slogan “Gulingkan Sistem Yushin”.
2
Jeong Hogi, Gerakan Mahasiswa Korea: Kasus Mayor dan Karakteristiknya
Rezim Park Junghee merespon aksi-aksi demonstrasi itu dengan mengeluarkan kebijakan yang menyatakan tidak diperbolehkannya diskusi-diskusi mengenai pemerintahan. Mereka yang melanggar aturan ini akan dibawa ke pengadilan darurat dan dihukum tanpa surat perintah dari petugas pengadilan. Pada saat yang sama Pemerintahan Park melakukan pembersihan pejabat publik yang dianggap anti pemerintah, mengendalikan media pers, dan mengampanyekan demonstrasi anti-komunis Nasional. Pada 26 Oktober 1979, Presiden Park Junghee dibunuh oleh salah satu rekannya, Kim Jae Kyu, yang menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Pusat Korea. Banyak yang beranggapan dengan kematian Park Junghee sistem Yushin juga akan berakhir. Namun yang terjadi sebaliknya: Mayor Jenderal Chun Doo Hwan, yang mengambil kekuasaan setelah pembunuhan Presiden Park Junghee, justru melanjutkan sistem yang penuh represi terhadap rakyatnya. Pengambilalihan kekuasaan ini direspon mahasiswa dengan melakukan protes besar-besaran secara kontinyu. Protesprotes tersebut ditanggapi dengan tindak kekerasan yang brutal dan salah satunya adalah peristiwa Kwangju, yang menjadi titik balik strategi perjuangan gerakan mahasiswa Korea Selatan.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi wartawan “kekurangan komunis”.4
Peristiwa Kwangju Pembantaian Kwangju dimulai ketika Pasukan Khusus Angkatan Bersenjata Korea, yang telah berperang bersama Amerika Serikat di Vietnam, menyerang sebuah aksi damai mahasiswa di Universitas Chonnam dengan bayonet dan peluru. Peristiwa yang terjadi pada Mei 1980 itu menyebabkan jatuhnya korban dari mahasiswa dan warga. Jumlah korban jiwa resmi versi pemerintah adalah sekitar 200, namun mahasiswa dan masyarakat bersikeras bahwa 2000-an orang telah dibantai dalam peristiwa ini.3 Segera setelah peristiwa pembantaian ini, pemerintah melakukan tindakan represif dengan melakukan pelarangan terhadap demontrasi dan aktivitas politik antipemerintah lainnya. Pada bulan Juni 1980 pemerintah melakukan penangkapan terhadap 329 politisi, profesor, pendeta, wartawan, dan mahasiswa. Tindakan berikutnya, rezim militer membersihkan ribuan pejabat publik yang dianggap bermasalah secara ideologis, serta memaksa koran dan media penyiaran mengusir 3
Henry Scott-Stokes, Jai-eui Lee, Dae Jung Kim; The Kwangju uprising: eyewitness press accounts of Korea’s Tiananmen
60 yang anti-
Selanjutnya rezim militer memaksa media pemberitaan untuk mematuhi pedoman dari Kementerian Informasi dan Budaya, yang mencakup antara lain perintah untuk memberikan label pro-komunis terhadap demonstran anti-pemerintah. Ini bukan hal baru. Sejak Perang Korea, penguasa militer menyadari bahwa penggambaran semua lawan pemerintah sebagai komunis adalah yang terbaik bagi kepentingan mereka, baik domestik maupun internasional. Bahkan, pada pasukan khusus yang dikirim untuk melakukan aksi brutal menekan warga Kwangju diberikan informasi bahwa kota itu sedang “dijarah oleh komunis”. Insiden Kwangju merangsang mahasiswa untuk mempertimbangkan kembali peran dan strategi gerakan mahasiswa dalam perubahan sosial. Gerakan mahasiswa mengalami perdebatan ideologi dan strategi gerakannya pada masa ini: apakah akan mefokuskan diri untuk memperkuat gerakan di tingkat “Minjung” (akar rumput) atau terlibat dalam perjuangan langsung untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat karena berdasar perjalanan sejarah, penggulingan rezim tidak selalu berdampak pada perbaikan sistem pemerintahan yang demokratis. 4
ibid
61
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Perdebatan Pasca Pembantaian Kwangju Sejak insiden Kwangju, pemerintah menghadapi krisis legitimasi dan dukungan masyarakat. Insiden Kwangju juga membawa reaksi negatif terhadap kebijakan AS di Korea Selatan. Mahasiswa bersikeras bahwa sesuai dengan pakta militer antara Korea Selatan dan AS, manuver divisi infanteri dalam insiden Kwangiu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan langsung atau kepatuhan rahasia komandan Angkatan Darat AS yang ditempatkan di Korea.5 Pada saat yang sama gerakan mahasiswa dihadapkan pada pertanyaan apakah mereka akan berpartisipasi secara langsung dalam pemilihan Majelis Nasional dan pemilihan Presiden atau tidak. Dalam sebuah demonstrasi di Seoul National University pada 11 Desember 1980, muncul banyak selebaran aksi yang membuat terkejut tidak saja mahasiswa tetapi juga pihak pemerintah. Isi selebaran ini oleh pemerintah dianggap lebih radikal daripada sebaran-selebaran sebelumnya. Dalam selebaran yang berjudul “Anti-Imperialisme, Anti-Fasisme” tersebut tertulis: “Tujuan akhir kami adalah memiliki sebuah negara kesatuan nasional yang diprakarsai oleh Minjung (akar rumput). Tujuan ini hanya dapat diwujudkan melalui kemenangan perjuangan Minjung, yang dapat dicapai dengan mengusir rezim penguasa fasis dan mencapai persatuan nasional melalui kerjasama buruh, petani, dan intelektual progresif .... Selama Minjung belum memiliki kekuatan, mahasiswa harus harus berperan sebagai kekuatan utama dalam perjuangan Minjung .... Kita harus membuang gagasan bahwa demonstrasi adalah alat penekan yang kuat. Demonstrasi bisa efektif bila 5
Kim, Minho (1988). ‘The development of student activism in the 1980s’, History Criticism 1.
dilakukan dengan bijaksana. Ini adalah satusatunya cara ...6 Selebaran tersebut dibuat oleh kelompok mahasiswa yang menamakan diri Mulim. Kelompok ini secara jelas menyatakan bahwa gerakan mahasiswa harus tetap menjadi kekuatan utama dalam gerakan sosial. Mereka juga menekankan persiapan jangka panjang untuk perjuangan Minjung. Setelah Kelompok Mulim, muncul kelompok lain yang disebut Haklim. Kelompok ini mengritik logika Mulim dan menyatakan bahwa peran gerakan mahasiswa adalah untuk terus-menerus mengajukan pertanyaan dan mengkritisi rezim melalui perjuangan langsung. Kelompok Haklim bertahan dengan pendirian bahwa peran sentral buruh dalam transformasi sosial masyarakat menjadi hal utama dalam perjuangan kelas. Haklim kemudian mencoba menggabungkan mahasiswa dan gerakan buruh. Perdebatan antara kelompok Mulim vs Haklim dilanjutkan dengan perdebatan antara ‘Flag vs Anti-Flag’. Perdebatan ini juga diawali oleh serangkaian pamflet yang berjudul ‘Flag’, yang lebih menyajikan penalaran mengenai arah gerakan mahasiswa. Kelompok Flag percaya bahwa gerakan mahasiswa harus mengambil peran sebagai kekuatan revolusioner utama bersama dengan gerakan buruh. Gerakan mahasiswa perlu menjadi kekuatan terdepan dalam perjuangan politik dan dalam jangka panjang tujuannya harus mendukung gerakan buruh, yang merupakan kekuatan utama dalam revolusi.7 Bertentangan dengan pemikiran kelompok 6
Ilsongjeong (1988). History of Debates on Student Movement. Seoul: Ilsongjeong
7
Kim, Minho (1988). ‘The development of student activism in the 1980s’, History Criticism 1.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Flag, kelompok antiFlag berpendapat bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan non-kelas dan perannya adalah untuk menyediakan dan memperluas dasar-dasar organisasi Minjung. Kelompok antiFlag mengatakan bahwa gerakan mahasiswa adalah semacam detonator. Gerakan mahasiswa perlu fokus pada pengorganisasian mahasiswa.8 Singkatnya, kelompok Flag lebih memprioritaskan perjuangan kelas politik dan dukungan terhadap gerakan buruh sementara di sisi lain kelompok anti-Flag lebih menekankan pada pengorganisasian mahasiswa di kampus. Dampaknya, kelompok Flag mempengaruhi organisasi mahasiswa yang bersimpati pada hubungan yang kuat antara gerakan mahasiswa dan pergerakan buruh serta protes politik di luar kampus, sementara kelompok antiFlag berkontribusi terhadap aktivitas pemerintahan mahasiswa dan kemudian berdirinya beberapa organisasi mahasiswa nasional. Sementara perdebatan Mulim vs Haklim dan Flag vs anti-Flag terus berlangsung, diskursus menyangkut transformasi sosial yang lebih luas dan kompleks, yang disebut CNP (CivilNational-People), mulai terjadi. CNP terdiri dari Civil Democratic Revolution (CDR), National Democratic Revolution (NDR), dan 8
ibid
Referensi
62
The People’s Democratic Revolution (PDR). Diskursus itu dimulai pada tahun 1984 dan dikembangkan oleh Liga Pemuda untuk Demokratisasi, sebuah organisasi pemuda semi-legal, dengan mengajukan dua persoalan mendasar: pertama, siapa kelas utama yang menjadi kekuatan pendorong revolusi? Kedua, jenis hubungan apa yang harus dibangun antara gerakan revolusioner dan oposisi Partai Demokratik Baru? Beberapa isu diangkat dan dibahas seperti kondisi sosial ekonomi masyarakat Korea Selatan, konflik utama antara kelas sosial dan antara Korea Selatan dengan negaranegara lain, peran gerakan mahasiswa yang berkaitan dengan gerakan sosial secara keseluruhan, serta peran pemerintahan militer Korea Selatan dan kekuatan asing, dan lain-lain. Kelompok-kelompok yang bergabung dalam CNP memiliki interpretasi yang berbeda dalam masalah ini. Gerakan Mahasiswa dan Pemilu Sebelum pemilihan Majelis Nasional ke-12 pada 12 Februari 1985, terdapat perdebatan sengit di kalangan mahasiswa tentang reaksi
63
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
yang tepat untuk pemilihan umum dan masalah kerjasama dengan pihak oposisi. Pada awalnya kebanyakan sikap yang muncul adalah menentang pemilihan umum dengan argumen bahwa Pemilu hanya mereproduksi kekuasaan yang ada. Namun belakangan mayoritas mahasiswa mulai menyadari kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran politik melalui proses pemilu sebagai sarana menciptakan struktur politik alternatif. Isu penting tambahan yang diangkat adalah apakah gerakan mahasiswa akan bekerja sama dengan partai oposisi yang baru dibentuk, Partai Sinmin, atau tidak. Mahasiswa yang menentang kerjasama dengan partai-partai oposisi menekankan bahwa partai-partai oposisi memiliki kesamaan, yaitu kecenderungan oportunis, untuk berkompromi dengan rezim militer. Di sisi lain mahasiswa yang menyepakati kerjasama dengan pihak oposisi menekankan taktik yang lebih fleksibel dalam menghadapi pemilu dan kerjasama dengan partai oposisi “atas dasar realitas”. Mereka percaya bahwa partai oposisi memiliki kemampuan lebih untuk memobilisasi massa daripada kelompok sosial lainnya. Dalam perjuangan untuk perubahan sosial, mahasiswa mulai berkonsentrasi untuk memobilisasi semua kekuatan termasuk partai oposisi. Terlepas dari kontroversi isu kerjasama dengan pihak oposisi, mahasiswa bersepakat untuk mengadakan kerjasama sementara. Partai Sinmin, yang menjadi partai oposisi pertama di Majelis Nasional ke-12, meningkatkan hasrat masyarakat untuk melakukan Amandemen Konstitusi dengan melakukan advokasi pemilihan presiden secara langsung sebagai janji utama dalam platform mereka. Aktivis mahasiswa terbagi dalam dua kubu yang berbeda mengenai hal ini. Mahasiwa di Jamintu menganjurkan
amandemen konstitusi pemilihan langsung. Menurut mereka perjuangan mengubah konstitusi adalah bagian dari perjuangan anti-fasis dan demokratis. Hal ini dapat merangsang kesadaran politik rakyat untuk pemulihan hak-hak sipil mereka. Singkatnya, pemilu dapat menjadi langkah tambahan menuju demokrasi mengingat iklim politik yang ada saat itu. Sementara itu mahasiswa di Minmintu mengkritik Jamintu dengan bersikeras mendirikan sebuah konstitusi baru daripada mengubahnya. Mereka percaya bahwa amandemen konstitusi tidak lebih dari sebuah konspirasi reformatif kaum borjuis liberal. Namun pada akhirnya kecenderungan yang lebih dominan adalah dukungan terhadap amandemen konstitusi untuk pemilihan presiden secara langsung. Penutup Sejarah mencatat bahwa gerakan mahasiswa Korea Selatan selalu menjadi pelopor dalam perubahan sosial. Berefleksi pada fase gerakan sebelumnya yang berhasil mengulingkan rezim dan juga kegagalan dalam mengawal proses demokrasi yang dibajak rezim militer, gerakan mahasiswa 1980-an di Korea Selatan kembali dipaksa mempertanyakan peran dan strategi gerakan sosialnya. Peristiwa Kwangju mendorong aktivis gerakan sosial dan intelektual yang kritis untuk terus mencari model-model ideologi dan strategi alternatif yang bisa memberi jawaban substantif untuk mengawal proses demokratisasi. Proses itu membawa mereka masuk dalam ruang pergulatan gagasan keterlibatan dalam wilayah politik formal dan/atau memperkuat pengorganisasian “Minjung” sehingga memperkaya khasanah intelektual dan keberagaman strategi politik gerakan mahasiswa.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Melalui partai politik, mahasiswa masuk dalam gelanggang politik formal sebagai salah satu jalan menjawab persoalan bangsa. Mereka meyakini bahwa gerakan mahasiswa tidak lagi harus selalu berada di ruang romantisme heroik jalanan, tapi harus lebih maju dengan secara kolektif memasuki ruang pertarungan gagasan dalam demokrasi modern untuk menuntaskan tugas suci mereka. Di Indonesia, gerakan mahasiswa pasca Reformasi ’98 terlihat gamang menjawab tantangan realitas yang berkembang. Tuntutan mundur terhadap rezim tidak dibarengi oleh kesiapan menyelesaikan persoalan setelahnya. Ruang politik yang terbuka ditinggalkan begitu saja hingga tak terkontrol oleh para pelopor Reformasi itu sendiri dan membuat ruang politik formal sebagai penentu kebijakan Negara diisi oleh orang-orang yang jauh dari cita-
Referensi
64
cita awal gerakan tersebut. Akibatnya, demokratisasi yang diperjuangkan menjadi tak terarah dan masalah bangsa tak pernah terselesaikan. Secara kolektif nampaknya terdapat kekhawatiran pada diri aktivis mahasiswa untuk masuk dalam ruang-ruang yang memang terlanjur mereka anggap “kotor” itu. Ruang-ruang tersebut cenderung dijauhi dan hanya dimanfaatkan secara individual. Padahal sebagai sebuah entitas politik, gerakan mahasiswa tidak hanya bertugas untuk meruntuhkan rezim kemudian pergi dari gelanggang, tetapi harus terlibat secara kolektif dalam perbaikan bangsa melalui saluran-saluran demokrasi yang sudah mereka buka sebelumnya. Ruang politik formal harus menjadi ruang pendidikan politik bagi warga sekaligus kontrol terhadap pemerintahan.
65
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Melalui proses diskusi dan otokritik yang panjang, gerakan mahasiswa di Korea Selatan berani mempraktekkan teori maju dalam gerakan mahasiswa modern yaitu bergabung dengan partai politik untuk memenangkan Pemiihan Umum dan melakukan perubahan sistem dari dalam. Keberanian langkah ini memang bukannya tanpa pertentangan di tubuh mahasiswa itu sendiri. Langkah itu harus disertai perhitungan yang matang. Banyak yang beranggapan masuknya gerakan mahasiswa dalam percaturan politik formal akan mendistorsi kepentingan rakyat, namun tidak sedikit pula yang percaya bahwa strategi ini akan efektif dalam mendorong perubahan sosial menuju bangsa yang lebih mandiri dan demokratis.
Referensi : Hyaeweol Choi, The societal impact of student politics in contemporary South Korea, Kluwer Academic Publishers.1991. Rob Prey, Visions of Democracy; The Communication and Transformation of Revolutionary Ideologies in South Korea, Simon Fraser University, Canada Luc Walhain, Democracy on the back-burner: an evaluation of South Korea’s student movements in the 1980s, Bowling Green State University Kim, Kapsung, The Student Movement in Korea, 1997 Henry Scott-Stokes, Jai-eui Lee, Dae Jung Kim; The Kwangju uprising: eyewitness press accounts of Korea’s Tiananmen Muhammad Umar Syadat hasibuan, Gerakan politik Mahasiswa paska 1998, FISIP UI, 2010 Jeong Hogi, Gerakan Mahasiswa Korea: Kasus Mayor dan Karakteristiknya Kim, Doh-jong. 1991. “The Politics of the Korean Student Movement: Its Tradition, Evolution, and Uniqueness.” Ph.D. diss., Arizona State University. Ilsongjeong (1988). History of Debates on Student Movement. Seoul: Ilsong~eong.
M KOLO
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
66
Demokrasi Arab; Dari Generasi Apolitik Menuju Generasi Politik “Satu-satunya tenaga ampuh yang akan dapat melawan sebab-sebab kemerosotan dalam suatu bangsa, ialah dengan membentuk individu yang berkepribadian. Individu-individu yang demikian itu sudah dapat menyatakan arti hidup yang sesungguhnya. Mereka membukakan cara-cara baru yang membuat kita mulai melihat, bahwa lingkungan kita bukan sesuatu yang suci dan tak dapat diganggu gugat, melainkan masih perlu diperbaiki” (Muhammad Iqbal)
K
Oleh David Krisna Alka (Peneliti Populis Institute)
ebajikan demokrasi itu bukan hanya terletak di Timur maupun Barat. Kebajikan itu bisa terletak di mana saja, termasuk di Arab (Timur Tengah). Begitu pula nyala sumbu api demokrasi, bisa menyala di negara manapun. Si penyala api demokrasi itu bisa siapa saja; mahasiswa, politisi, bahkan pedagang asongan. Di Tunisia, seorang pedagang asongan, Mohamed Bouazizi, membakar diri karena dagangannya berupa buahbuahan dan sayuran yang merupakan satu-satunya gantungan hidupnya disita polisi. Peristiwa itu menyulut protes besar-besaran di seluruh Tunisia, negara Arab kecil di Afrika Utara dengan penduduk hanya sekitar 10 juta jiwa, menggores sejarah besar di Timur Tengah. Dari situlah jalan-layang aksi unjuk rasa rakyat Arab yang dikenal dengan sebutan ”Arab Springs”, terbangun menyambung dari Tunisia ke Mesir, lalu Libya, Yaman,
67
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dan Suriah. Pemimpin Arab yang memiliki nama besar satu per satu bertumbangan: Presiden Tunisia Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak, pemimpin Libya, Moammar Khadafy, dan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Presiden Suriah Bashar al-Assad tinggal menunggu waktu. Sebagian negara Arab monarki, seperti Maroko dan Bahrain, juga tak luput dari terjangan angin musim semi Arab itu. Raja Maroko Mohammed VI terpaksa melakukan amandemen konstitusi yang memberi kekuasaan lebih besar ke pemerintah sipil. Hampir semua tuntutan rakyat di beberapa negara Timur Tengah adalah membuka kran demokrasi di negara masing-masing. Sa’id Hawwa, tokoh spiritual Ikhwanul Muslimin mengatakan, “Menolak demokrasi merupakan langkah bunuh diri, mereka akan diperintah oleh rezim-rzim paling buruk yang memaksakan apa yang mereka takuti dari demokrasi. Kenapa harus takut berdemokrasi.” Generasi Pemicu Demokrasi Gejolak politik di sejumlah negara Timur Tengah terjadi akibat krisis ekonomi dan mandeknya demokrasi. Kaum muda melancarkan revolusi untuk memperbaiki keadaan dan membangun masa depan yang lebih baik. Salah satu pemicu utama pergolakan di Timur Tengah adalah kemiskinan. Masyarakat kelas bawah sengsara dan penganggur bertambah. Keadaan itu terasa kian menyesakkan karena kelompok elite politik dan penguasa justru bergelimang harta. Elite menguasai kekayaan negeri, bahkan korup. Pada saat bersamaan, sebagian rezim di Timur Tengah terlalu lama berkuasa— ada yang berkuasa lebih dari 40 tahun— cenderung otoriter, dan represif. Akibatnya, rakyat tertekan. Masalah demokrasi menjadi
penyebab utama kejatuhan rezim. Mereka butuh demokrasi, setelah itu ekonomi. Rakyat di negara manapun berharap keduanya bisa terpenuhi. Menurut Ibrahim Bushro (2011), krisis ekonomi dan demokrasi itulah yang mendorong kaum muda di Timur Tengah melancarkan demonstrasi. Mereka berjuang menumbangkan rezim otoriter demi demokrasi dan pengembangan ekonomi ke arah lebih baik. Mereka menggunakan jaringan teknologi komunikasi mutakhir, seperti Facebook dan Twitter. Kaum muda yang tertekan bergerak untuk perubahan dan membangun masa depan. Mark Lynch (2011), profesor ilmu politik dan hubungan internasional dari George Washington University, AS, mengaku tercengang dengan kekuatan gerakan rakyat di Tunisia dan Mesir yang dilakukan tanpa satu pusat koordinasi (terdesentralisasi) dan tidak melalui jalur-jalur oposisi resmi seperti partai politik, yang seharusnya menjadi saluran perubahan politik. Sesaat sebelum Ben Ali digulingkan, kolumnis Abdelrahman al-Rashed menulis dalam surat kabar Ash-Sharq al-Awsat: “Segala apa yang menghalangi protes dan pembangkangan sipil hanyalah penghalang psikologis.” Howard A. Dought dalam reviewnya tentang buku Youth in a Suspect Society: Democracy or Disposability? Karya Henry Giroux, menjelaskan, bagaimana politik yang berselingkuh dengan ekonomi yang menghisap rakyat cenderung menghasilkan kebijakan-kebijakan opresif dan diskriminatif terhadap generasi muda. Pelayanan sosial, kesehatan, pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja—semua sarana yang mestinya dinikmati secara bebas dan menjadi indikator penting dari sebuah negara demokrasi—telah tertawan oleh
Vol II Tahun 4 Desember 2011
kepentingan ekonomi. Akibatnya tidak semua orang mendapatkan akses bebas ke sumbersumber dasariah tersebut. Dampaknya mereka terabaikan, termarginalkan dan menjadi “sampah” masyarakat (disposal). Berita satelit dan media sosial bisa menghindari taktik otokratik dan bisa dengan cepat menyatukan frustrasi kaum muda yang terisolasi, menggabungkan banyak wilayah ke dalam sebuah gerakan yang meluas. Api pemberontakan menyebar ke negara-negara Arab lainnya. Gerakan revolusioner di Tunisia telah diamati dengan dekat melalui saluran televisi satelit regional dan saluran Internet di seluruh Timur Tengah dimana angka pengangguran yang tinggi, populasi kaum muda yang membengkak, inflasi yang terus meroket dan kesenjangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin memperbanyak “bahan bakar ke api.” Merekalah, kaum muda dan mahasiswa menari tari gelombang perubahan di Timur Tengah. Mereka, penggerak utama yang apolitik, maniak situs-situs jejaring sosial dan pecinta teknologi informasi. Banyak yang mengatakan mereka adalah Facebook
Referensi
68
Generation atau Net Generation tapi ada juga yang memuji mereka sebagai Miracle Generation. Jajak pendapat yang diadakan Litbang Kompas (21/3/2011) mengulas beberapa ciri kaum muda apolitik. Mereka cenderung konsumtif, berorientasi pada diri sendiri dan tak bergairah untuk terlibat dalam organisasi-organisasi kepemudaan. Disimpulkan pula bahwa jumlah mereka cenderung makin meningkat. Survei Litbang Kompas baru-baru ini (28/10/2011) kembali menegaskan kecenderungan generasi muda yang semakin individualis dan berorientasi pada kepentingan diri, yang juga berarti semakin apolitis. Namun jangan buru-buru mendiskreditkan mereka. Kita perlu memahami mengapa mereka menjadi apolitis. Yang menarik, mereka ditunjang oleh teknologi informasi, kini generasi apolitik menjelma menjadi kekuatan baru yang amat ditakuti rezimrezim otoritarian. Rezim-rezim ini sering salah tingkah dan tampak bodoh dengan berupaya membatasi dan memblokir komunikasi dunia maya; dunia yang paling digandrungi generasi apolitik. Namun di balik
69
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
tampilan lahiriah yang apolitik, sebenarnya terdapat sebuah kebenaran paradoksal dalam diri mereka. Mereka memang pragmatis, bergerak bebas dan tak terkungkung oleh ideologi apa pun. Itu terjadi karena dunia politik memang gemar mempolitisasi ideologi dan menjadikannya slogan kosong belaka. Jika mereka memilih diam, itu bukan karena mereka tak peduli. Mereka hanya takut tercemar oleh kebusukan rezim korup yang memang enggan dan takut dengan perubahan. Bagi generasi apolitik satu-satunya ideologi yang hakiki adalah kemerdekaan hati nurani yang didorong oleh rasa kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Dalam sebuah wawancara dengan CBS News (13/2/2011), Wael Ghonim, tokoh utama di balik revolusi Mesir mengatakan, “Kita akan menang sebab kita tidak mengerti politik, sebab kita tidak mengerti permainan kotor mereka. Kita akan menang karena air mata kita keluar dari hati kita”. Semakin giat sebuah rezim membentuk generasi apolitik, semakin kuat pula kemungkinan ia akan diturunkan oleh generasi yang sama. Rezim yang berikhtiar melanggengkan kekuasaannya melalui politik yang melahirkan generasi apolitik, satu saat kelak akan bertemu dengan karmanya. Pergerakan kaum muda Mesir menuntut reformasi konstitusi di Mesir, pembentukan sebuah pemerintahan transisi, pembebasan tahanan politik dan penghapusan pengadilan pembelaan diri bagi warga sipil, mengakhiri status darurat di negara itu dan menjamin kebebasan demokrasi. Demokrasi yang mulai tumbuh di wilayah ini, kini menyoal persoalan-persoalan baru. Hendak kemana arah perubahan di Mesir atau kawasan Timur Tengah lainnya?
Sayap Organisasi Mahasiswa Tunisia yang sebelumnya diperintah oleh rezim diktator dan koruptif Ben Ali, kini telah beralih ke pemerintahan baru. Partai An Nahda menang dalam pemilu 23 Oktober 2011 lalu dengan 41,47 persen suara. Belum lama ini, Partai An-Nahdah dan anggota koalisi berkuasa dalam Majelis Konstituante Tunisia, mengumumkan pembentukan gerakan mahasiswa bernama “Ennahda’s Youth at University” (EYU). Menurut Abdelkarim Harouni, anggota Majelis Konstituante yang mewakili distrik Tunis 1 dan juga Presiden sayap pemuda AnNahdah, “Kami menghendaki adanya ruang kebebasan dan konsensus di universitasuniversitas di Tunisia.” Tujuan aktivitas EYU ialah restorasi lingkungan politik yang moderat di dalam universitas. Inisiatif ini akan membantu penyolidan tujuan-tujuan revolusi, menguatkan kembali identitas Arab-Tunisia di negara kita, dan membela hak para mahasiswa untuk bersatu dan berorganisasi politik.
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Menurut Zied Boumekhla, seorang mahasiswa magister dan anggota aktif sayap pemuda An-Nahdah, EYU akan memainkan peran penting dalam mengonsolidasi berbagai pergerakan yang dipimpin mahasiswa, yang dahulu dilarang selama rezim Ben Ali. EYU berusaha untuk membangun iklim dialog yang sehat diantara berbagai kelompok mahasiswa yang memiliki ideologi berbeda-beda. Ia menyatakan bahwa EYU tidak menentang Tunisia Student Union (Persatuan Mahasiswa Tunisia) yang dituding termasuk kelompok kiri. Ia juga mengungapkan keyakinan EYU bahwa pergerakan mahasiswa yang berbedabeda dapat tumbuh dan eksis bersamasama, berkat adanya (apa yang disebutnya) sebagai sebuah atmosfir pluralistik baru di kampus-kampus Tunisia. Komite pemuda An-Nahdah ikut aktif secara politik sepanjang berlangsungnya revolusi. Mereka menyelenggarakan pertemuan pada 17 Desember (2010) di Sidi Bouzid, yang dulu diorganisir oleh seorang anak muda, Omar Weld Ahmed. Mereka juga ikut serta dalam aksi duduk di Kasbah, dan membantu kampanye An-Nahdah selama proses pemilihan. Partai ini tidak menjadikan politik Islam sebagai politik Islamisasi an sich, tetapi melalui kebijakan yang persuasif dengan membuktikan kinerja mereka kepada rakyat. Konsep politik yang implementatif dan subtantif. Secara tidak langsung agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Arab tampaknya hanya berperan dalam bentuk doktrinnya tentang keadilan, anti kezaliman, dan ajaran persamaan tentang manusia di depan Tuhan dan sejarah. Sudah tiga pemimpin puncak Arab itu terguling: Tunisia, Mesir, dan Libya. Yang lain tampaknya akan menyusul: Suriah, Yaman, Bahrain, dan
Referensi
70
mungkin dalam jangka panjang Arab Saudi, Moroko, Kuwait, dan Qatar. Semua rezim ini, menurut Ahmad Syafii Maarif (2011) pada dasarnya adalah rezim korup, arogan, dan “semau gue”. Rakyat ditempatkan pada posisi “taat” kepada penguasa dengan legitimasi dalil-dalil keagamaan. Terlepas siapa yang memerintah Mesir, Tunisia dan negara Arab lainnya pascapemilu, yang terpenting adalah lingkungan politik demokratis di dunia Arab. Dalam lingkungan politik demokratis, opini umum menjadi barometer pemerintah mengambil keputusan dan kaum muda dan mahasiswa baik generasi apolitik maupun generasi politik menjadi backbone (tulang punggung) dari gerakan demokrasi. Seperti kata Iqbal di atas, “Mereka membukakan cara-cara baru yang membuat kita mulai melihat, bahwa lingkungan kita bukan sesuatu yang suci dan tak dapat diganggu gugat, melainkan masih perlu diperbaiki”.*** Referensi Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kitab Bhavan, 2000. Henry A. Giroux, Youth in a Suspect Society: Democracy or Disposability? New York: Palgrave Macmillan, 2009. h t t p : / / i n t e r n a s i o n a l . ko m p a s . c o m / read/2011/12/19/02255447/Dari. Tunisia.ke.Mesir. http://www.islamedia.web.id/2011/12/ partai-islam-nahdah-meluncurkansayap.html
Referensi
PRO
71
Vol II Tahun 4 Desember 2011
FIL Profil Willy Aditya
Penerus Kepeloporan Mahasiswa
“Darahku merah, dan akan kumerahkan Indonesia”
K
ata-kata itu meluncur dalam orasi seorang mahasiswa baru di depan rekan-rekannya. Pagi itu, Agustus 1997, ribuan mahasiswa baru berkumpul di pelataran Auditorium Sekip Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka mengikuti pekan orientasi pengenalan kampus, Opspek. Diam-diam seiring kegiatan itu, sekelompok mahasiswa melakukan “pengorganisiran,” operasi senyap para aktivis pergerakan dalam merekrut calon-calon kader. Represifitas rezim yang mengharamkan politik kampus kala itu, memaksa mereka bergerak secara rahasia.
Tak banyak kalangan yang mengetahui operasi ini, termasuk para mahasiswa baru yang sedang larut dalam luap kegembiraan. Tak terpikir di benak mereka bahwa gerakgeriknya diamati para aktivis pergerakan. Salah satu target operasi rahasia itu adalah mahasiswa yang sedang berorasi di atas mimbar bebas opspek itu. Perkenalan dengan Dunia Pergerakan Mahasiswa baru itu bernama Willy Aditya. Jauh dari Solok, Sumatera Barat, dia merantau berburu ilmu di kampus biru yang terletak di kawasan Bulaksumur, Yogyakarta. Setelah urung dari cita-cita masa kecilnya untuk memasuki dinas
Vol II Tahun 4 Desember 2011
militer, dia bertekad mengasah kapasitas akademik di Kota Pelajar itu. Lulus tanpa tes dari INS Kayu Tanam, di memilih Jurusan Manajemen Hutan UGM. Semester pertama, Willy langsung aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Pers mahasiswa “Lumut” adalah aktivitas kemahasiswaan pertamanya. Dia juga menginisiasi pembentukan forum diskusi “Selendang Biru” di fakultasnya. Kehadirannya membuat pesat perkembangan organisasi yang rutin membahas tema-tema lingkungan dan kehutanan ini. Dua kegiatan mahasiswa ini merupakan exercise awal yang dilakukan Willy di lingkungan organisasi kampus. Merasa tak puas dengan komunitas homogen, pecinta basket dan sepak bola ini mulai mencari organisasi yang komposisi anggotanya lebih jamak. Proses dialektika Willy mengarahkannya untuk bergabung organisasi Masjid Kampus UGM, “Jamaah Salahuddin.” Saat itu dia memandang organisasi ini independen, intelek, kritis dan berkomitmen sosial tinggi. Salah satu kesannya adalah ketika terlibat pemindahan masjid kampus dari gelanggang mahasiswa ke kawasan Lembah UGM.
Referensi
72
Lokasi pemindahan masjid kala itu masih berupa kuburan, sehingga Willy dan rekanrekannya terlebih dulu melakukan bakti sosial relokasi makam sebelum relokasi masjid. Baginya, bakti sosial adalah bagian dari komitmen mahasiswa yang harus mendarmakan pikiran dan tenaganya untuk masyarakat yang lebih baik. Seiring proses penyelaman keorganisasiannya sebagai mahasiswa baru, sebuah organisasi bernama Dewan Mahasiswa (DEMA) UGM secara intensif mengirim kader-kadernya untuk mendekati Willy. Bagi mereka, lelaki ini adalah kader yang potensial. DEMA adalah salah satu organisasi pergerakan yang lahir dari rahim dinamika kampus UGM. Organisasi ini dideklarasikan tahun 1994 sebagai perlawanan terhadap Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) UGM yang dianggap lembaga korporatif. SMPT tak lebih dari antek kepentingan negara yang dikendalikan oleh rektorat. Sederet aktivis mahasiswa yang tercatat sebagai deklarator DEMA antara lain Ari Sujito, Velix Wanggai, Titok Hariyanto, Gusti Kurniawan, Amril Buomena, Eric Hieric Sirait, dan sederet aktivis lainnya. DEMA
73
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
aktif menggalang berbagai kampanye, mulai dari isu demokratisasi kampus hingga isu HAM dan politik nasional. Setelah melewati berbagai diskusi intensif, akhirnya Willy memutuskan untuk bergabung. Willy melihat ada yang lain dari aktivis-aktivis itu. Spektrum intelektualitas, komitmen nilai serta keberanian bertindak, telah memberinya motivasi baru untuk lebih jauh menyelami dunia pergerakan mahasiswa. Dari organisasi inilah, Willy lebih jauh melakukan pendalaman intelektual dan penajaman praktik organisasi pergerakan, khususnya gerakan mahasiswa. Saat itu, hembusan angin reformasi ’98 juga mulai mengencang. Hal itu turut mempercepat akselerasi pergerakan dan kapasitas seorang Willy. Dari titik inilah, dia memulai episode baru penyelaman hidup yang sarat pelajaran dan dinamika. Masa kecil hingga remaja: mengasah kebersahajaan Selain pertimbangan moral, hal lain yang mendorong laki-laki kelahiran 12 April 1978 ini untuk menyelami pergerakan adalah kebutuhan intelektualitas. Kecenderungan
itu bukan hal baru baginya. Sejak balita, dia sudah memiliki minat intelektual yang menonjol. Salah satu kebiasaan uniknya adalah meminta dibangunkan setiap malam untuk menyimak siaran “Dunia dalam Berita” TVRI. Willy kecil akan marah jika tak dibangunkan. Ayahnya yang juga hobbi membaca, turut mempercepat pengasahan intelektualitasnya. Tak mengherankan, ketika SMP Willy sudah melahap buku-buku yang tak lazim dan tergolong berat bagi remaja seusianya. Beberapa buku yang dia konsumsi antara lain “Di Bawah Bendera Revolusi” karya fenomenal Bung Karno dan “Memoir Bung Hatta.” Menjejak SMA, dia masuk ke INS Kayutanam, sekolah tertua yang didirikan Muhammad Syafe’i pada tahun 1926 di Kota Padang. Di masa inilah, Willy remaja mulai menemukan lingkungan penyalur energi kreatifnya. Di sekolah ini, dia dididik menjadi siswa yang melek akademis dan wacana intelektual, dengan bangunan karakter yang kuat. Salah satu praktik pendidikan sekolah ini adalah pelajaran menanam. Para siswa diharuskan menanam satu pohon, dan menjaganya
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
74
kawan dari berbagai latar, yang turut memperkokoh pemahaman dan sikapnya terhadap keberagaman. Ketika lulus dari INS Kayutanam, Willy menulis pesan dalam buku alumni yang berbunyi, “Ingat INS Kayutanam, Ingat Nasakom.” Dalam pesan itu, Willy menyampaikan bahwa INS Kayutanam saat itu menyerupai miniatur kehidupan yang plural, harmony in difersity.
hingga siap dimanfaatkan. Ini adalah pendidikan tentang memulai sesuatu, merawat, hingga memetik hasilnya. Di sini, Willy juga mulai berkenalan dengan dunia seni dan kesusasteraan. Sastrawan besar A.A. Navis adalah salah seorang pengasuh sekaligus idolanya. Sosok lain yang cukup berpengaruh bagi Willy adalah dua orang guru eksentrik Irman Syah (Ucok) dan Yusril. Mereka banyak menyuntik pemahaman dan kemampuan Willy di bidang seni, kesusasteraan, teater dan teknik menulis. Willy mulai terlibat dalam forum diskusi, ceramah keagamaan, dan aktif menulis berbagai artikel dan puisi secara rutin. Tulisan pertamanya dimuat oleh harian Singgalang. Selain itu, bakat orasinya juga mulai terasah. Kebersamaan dalam proses belajar maupun tinggal di asrama INS selama 3 tahun, juga memberi pelajaran berharga bagi Willy. Dia menjalani interaksi total dengan kawan-
Catatan penting lain yang disimpan Willy dari masa kanak-kanak hingga remaja adalah pelajaran tentang kesederhanaan dan kemandirian. Hidup dalam keluarga yang jauh dari kemewahan, Willy sangat akrab dengan kebersahajaan. Sedari TK, dia harus menempuh berkilo-kilo meter jarak antara rumah dan sekolahnya tanpa diantar orang tua, apalagi pembantu atau supir pribadi. Orang tuanya yang tergolong ekonomi paspasan jarang memberi uang saku. Tapi itu tak membuat Willy kehilangan akal. Sewaktu SD, selepas sekolah dia biasa mendatangi pamannya yang berjualan di pasar. Di sana dia menjajakan plastik kresek untuk orangorang yang sedang bertransaksi. Tak hanya itu, rumah neneknya yang dekat masjid juga memberinya keuntungan. Setiap jum’at dia membuka jasa penyimpanan sepatu atau sendal, dan setiap Ramadhan dia menjual gorengan untuk buka puasa. Uang saku Willy diperoleh dari “bisnis” sampingan ini. Beberapa catatan di atas adalah pelajaran berharga yang mengisi lembar catatan Willy masa kanak-kanak hingga menapak remaja. Pengasahan intelektual, kemandirian, kebersahajaan, semangat hidup dan etos kerja. Pengalaman-pengalaman inilah yang kelak akan mempengaruhi Willy pada lembar-lembar masa berikutnya.
75
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Menapak Jalan Reformasi Ketika menapak dunia kampus, Willy cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Gejolak reformasi ’98 merupakan iklim yang selaras dengan gairah yang sudah tertanam dalam dirinya. Kombinasi antara intelektualitas, keberanian, dan hasrat menembus kebuntuan, adalah ruh yang menggerakkan keterlibatannya dalam dunia pergerakan. Di DEMA, dia berinteraksi dengan banyak aktivis. Siang-malam, bersama kawankawan, Willy tak henti mengelaborasi wacana dan mempertajam praktik. Beberapa aktivis yang berjalin tangan dengannya kala itu antara lain Harry Prabowo, Idham Kholiq, dan lain-lain. Di puncak gelora reformasi, Willy masih terhitung baru dalam dunia ini. Namun demikian dia cukup aktif dalam berbagai penggodokan wacana untuk menentukan sikap dan posisi organisasi dalam gelombang besar perubahan yang sedang terjadi. Kapasitasnya yang di atas rata-rata membuatnya melejit dibanding kawankawan seangkatannya. Dia adalah aktivis muda yang paling bersemangat menyusuri gelombang reformasi. Gelegar pergerakan itu menyusut seiring jatuhnya Soeharto dan terselenggaranya Pemilu 1999. Saat itu, gerakan mahasiswa mengalami kegamangan menyikapi momentum politik formal tersebut. Di satu sisi mereka tak menolak praktik kekuasaan, di sisi lain mereka ragu mengikuti mekanisme yang mereka anggap kompromistis dan tidak selaras dengan gairah pergerakan. Momentum Pemilu ini sekaligus menjadi titik balik gerakan mahasiswa era reformasi.
Saatnya mahasiswa kembali ke kampus. Belajar, kuliah, praktikum, ngegosip, kongkow, dan seterusnya. Demikian banyak kalangan berpendapat seputar lesu darah gerakan mahasiswa itu. Menolak Mundur Namun, gejala lesu darah itu tak berlaku bagi Willy. Satu pemikiran mengganjal di benak Pria berperawakan tambun ini. Sekian banyak darah tertumpah dan nyawa meregang dalam momentum dramatis itu. Pertanyaan yang tersisa, sejauh mana Pemilu 1999 bisa mengawal semangat dan nilai perubahan yang diperjuangkan mahasiswa? Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Penurunan eskalasi politik serta anjuran agar mahasiswa kembali ke kampus justru ditanggapi sebaliknya oleh Willy. Dia punya dua kritik untuk gerakan mahasiswa reformasi. Pertama, gerakan ini bersifat spontan, tanpa arahan dan kesiapan matang untuk mengawal perubahan. Kedua, model gerakan yang terfragmentasi secara sektarian. Antitesis dari hal itu, Willy memproyeksikan perlunya satu gerakan mahasiswa tingkat nasional yang progresif dan terpimpin. Tentu saja, impian itu tidak mudah. DEMA UGM, hanyalah organisasi mahasiswa tingkat kampus. Bentuknya juga tergolong cair, mengingat organisasi ini merupakan presidium mahasiswa, ditambah sebagian anggota sudah aktif di lembaga atau organisasi lain. Willy tak patah arang. Untuk mulai mewujudkan ide itu, langkah pertamanya adalah melakukan transformasi DEMA. Didukung sebagian besar anggotanya, DEMA pada tahun 2000 bertransformasi menuju bentuk yang lebih solid, dan berganti
Vol II Tahun 4 Desember 2011
nama menjadi Serikat Mahasiswa Merdeka (SMM) UGM. Organisasi ini sekaligus mendaulat Willy sebagai pimpinannya. Seiring proses transformasi di dalam DEMA, penggalangan berbagai komite aksi terus dilakukan. Salah satu yang cukup penting adalah Komite Aksi untuk Pendidikan Kerakyatan (Komite APIK). Diinisiasi oleh SMM, komite ini berhasil menggalang belasan lembaga tingkat Fakultas di UGM. Lembaga-lembaga itu mencakup pers mahasiswa, BEM fakultas, dan yang lainnya. Komite APIK dibentuk untuk menyikapi isu komersialisasi pendidikan yang bergulir seiring terbitnya peraturan presiden tentang otonomi kampus. Dalam komite ini, Willy mengonsolidasikan segenap kekuatan mahasiswa progresif yang masih tersisa dan terpecah-pecah setelah masa surut reformasi. Tak hanya di UGM, konsolidasi juga diperluas ke berbagai kampus di Indonesia. Isu yang mencuat saat itu, Negara akan melepaskan tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi, dan menyerahkan urusan pembiayaannya itu pada mekanisme pasar. Berbagai aksi kampus maupun aksi nasional dilakukan oleh Komite APIK. Salah satunya digelar saat perayaan Dies Natalis UGM ke-50 pada tahun 1999. Ratusan mahasiswa melakukan long march keliling kampus, sambil membawa obor karena aksi dilakukan di malam hari. Sontak pihak rektorat kelabakan. Mereka mengira para mahasiswa akan membakar gedung pusat. Ikhlasul Amal sebagai rektor waktu itu, dilarikan lewat pintu belakang. Padahal para demonstran hanya bermaksud menemui rektor untuk berdialog. Periode 1999-2000, hampir semua aksi di
Referensi
76
UGM yang mengusung isu demokratisasi dan pendidikan kerakyatan selalu menempatkan Willy sebagai jenderal lapangan. Willy rajin mendatangi setiap forum diskusi, pers mahasiswa, hingga lembaga-lembaga intra maupun ekstra kampus. Lebih dari itu, isu tersebut juga dia tularkan di kampus-kampus lain. Menggalang Kekuatan Nasional Seiring kampanye demokratisasi kampus, Willy mulai menggalang kekuatan lebih luas. Diskusi dan konsolidasi intensif dilakukan antar organ gerakan. Di level daerah Yogyakarta, konsolidasi melibatkan kelompok mahasiswa di tujuh kampus. Mereka kemudian sepakat membentuk organisasi tingkat daerah bernama Komite Bersama untuk Kedaulatan Rakyat (KIBLAT) Yogyakarta. Lagi-lagi, Willy dipercaya untuk memimpin. Dia didaulat sebagai koordinator pembangunan organisasi tingkat nasional. Sebagai representasi KIBLAT Yogyakarta, diapun berkeliling dari kota ke kota di Indonesia. Tanpa kenal lelah, dia meyakinkan organ-organ gerakan di daerah lain tentang pentingnya organisasi mahasiswa nasional yang kuat dan progresif. Demi melaksanakan amanat itu, tak terhitung pengorbanan yang dikeluarkan. Kuliahnya terbengkalai, IP jeblok hingga nol-koma, berbagai barang miliknya pun banyak dijual, termasuk buku-bukunya. Salah satu yang sangat disesali adalah buku kesayangannya Di Bawah Bendera Revolusi yang harus dia relakan demi sejarah yang tengah dilakoninya. Yang pasti, semua itu tak sia-sia. Tahun 2001, kurang lebih setelah satu tahun malang-melintang dengan konsolidasi nasional, terbentuklah jaringan organisasi
77
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
dengan nama Forum Mahasiswa Nasional (FMN). Organisasi ini mencakup gabungan organ-organ mahasiswa tingkat daerah di 11 provinsi Indonesia, dari Sumatera Barat hingga Nusa Tenggara Barat. Aksi pertama FMN dilakukan pada bulan februari 2002. John Howard yang sedang berkunjung ke UGM menerima “kehormatan” tersebut. FMN menolak kedatangan Perdana Menteri Australia itu karena dipandang membawa agenda liberalisasi pendidikan di indonesia. Massa aksi yang telah dipersiapkan secara matang bergerak sporadis kemudian berkumpul secara tiba-tiba di dekat titik sentral kunjungan sehingga membuat kelabakan rombongan Howard. Willy Aditya tampil sebagai komandan aksi. Kemampuan retorikanya membakar telinga yang punya hajat. Benturan fisik dengan pasukan pengawalpun tak terhindarkan sehingga 14 mahasiswa harus masuk
rumah sakit. Ichlasul Amal sang Rektor menghujat habis-habisan aksi ini. Pagi harinya, harian lokal maupun nasional ramai memberitakan aksi tersebut. Satu tujuan aksi tercapai, penolakan dan wacana kritis tentang otonomi kampus semakin meluas di kalangan masyarakat. Usai kejadian itu integritas Willy kembali diuji. Sanksi drop out (DO) dia terima setelah lama dicap oleh rektorat sebagai “anak nakal” nomor satu di UGM. Aksi menentang kunjungan John Howard ini menjadi momentum penjatuhan sanksi paling ditakuti mahasiswa itu. Seolah pihak rektorat ingin berpesaan, “inilah hukuman bagi mahasiswa yang berani menentang keputusan rektorat.” Untungnya, solidaritas untuk Willy mulai meluas. Dukungan berbagai pihak bermunculan, termasuk dari kalangan kampus UGM sendiri. Berkat simpati beberapa kolega, akhirnya Willy masih bisa
Vol II Tahun 4 Desember 2011
mengambil kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Dan sekali lagi, setiap pengorbanan tak pernah sia-sia. Mei 2003 pada hari ke-18, Willy Aditya bersama kawan-kawan aktivis pergerakan mahasiswa mendeklarasikan pendirian FMN sebagai Front Mahasiswa Nasional. Kembali, dia dipercaya memimpin ribuan anggota organisasi baru ini. Tak kurang 5000 mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti deklarasi tersebut di Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta Timur. Perubahan nama dari “forum” menjadi “front” menandai transformasi organisasi secara kualitatif. Sejak saat itu, organisasiorganisasi di bawah kepemimpinan FMN yang berada di tingkat wilayah mau pun tingkat kampus mulai menggunakan identitas FMN. Kampanye-kampanye pendidikan maupun respon isu politik nasional semakin gencar dilakukan dalam skala lokal maupun nasional. Pendidikan gratis, demokratis, ilmiah, berwawasan nasional dan berkarakter kerakyatan adalah motto perjuangan pendidikan yang diusung FMN. Salah satu tuntutan utama yang disuarakan FMN kala itu adalah 20% APBN untuk pendidikan, di samping isu-isu lainnya. Memuliakan hidup dengan pergerakan Susah payah, tahun 2004 akhirnya Willy menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Filsafat UGM dengan predikat memuaskan. Dia sempat khawatir tidak akan berhasil menyelesaikannya mengingat jarak JakartaYogyakarta. Kampusnya di Jogja sementara aktifitas pergerakan menuntutnya banyak menetap di Jakarta. Bagi Willy, menjadi kaum pergerakan adalah jalan hidupnya. Selepas dari FMN, dia
Referensi
78
mendirikan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), yang di deklarasikan di Jakarta, 22 Agustus 2004. Tak kurang dari 3.000 anggota menghadiri deklarasi itu. Mereka terdiri dari kalangan buruh, petani, pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah. Deklarasi itu sekaligus mengukuhkan kepemimpinan Willy sebagai Sekretaris Jenderal Komite Pusat PRP, posisi pucuk kepemimpinan kala itu. Salah satu agenda PRP adalah membangunan organ-organ gerakan rakyat yang progresif, terutama dari kelompok buruh dan petani. Selama proses itu, Willy mengikuti jejak tokoh-tokoh pergerakan terdahulu dengan melakukan “bunuh diri kelas.” Bersama Arif Rahman Hakim, Dedi Ramanta dan beberapa kawan lain, dia menetap di kawasan buruh kota Tangerang. Berbekal keyakinan dan tekad perjuangan, mereka menjalani hidup apa adanya, tinggal bersama di satu kamar kecil, kumuh, dengan uang pas-pasan untuk misi besar mendidik kesadaran politik kaum buruh. Bentuk lain totalitas terlihat kala Willy bersama PRP melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM di depan Istana Negara. Aksi itu dilakukan tepat pada hari raya Idul Fitri tahun 2005. Sehabis Shalat Ied, dia dan kawan-kawannya langsung membentang spanduk di depan Istana Negara, hingga dibubarkan dan 6 orang di antaranya ditangkap aparat. Tak kurang dua tahun Willy menjalani totalitas ini. Sampai pada suatu titik, dia merasakan ada sesuatu kurang pas dalam membangun gerakan, khususnya di sektor buruh. Di satu sisi, buruh adalah kelompok marjinal yang tersisih oleh sistem, namun di sisi lain mereka memiliki keterbatasan sangat nyata dalam dinamika perjuangan. Hidup mereka sudah habis dalam
79
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
perjuangan bertahan hidup, sehingga sangat sulit untuk ditarik menuju kesadaran politiknya. Pada saat yang sama, Willy mulai terbentur berbagai tuntutan mendasar. Mustahil bagi dia bertahan terus menjadi aktivis, dengan hidup nomaden dan makan seadanya. Tak mungkin juga meminta para buruh untuk mencukupi kebutuhannya sementara ekonomi mereka sendiri sangat terbatas. Kalaupun mereka iuran, itu hanya cukup untuk membiayai kebutuhan minimal organisasi. Akhirnya, mau tak mau dia harus bekerja. Keterlibatannya dalam organisasi pun harus dibagi dengan beban tugas dari kantornya, Voice of Human Rights (VHR). Tahun 2006, akhirnya Willy memilih tidak aktif dalam PRP. Meskipun begitu, penyebab utama Willy non-aktif dari PRP bukanlah faktor pekerjaan, tapi lebih dipengaruhi oleh perbedaan pilihan ideologi dan strategi organisasi. Willy memandang bahwa gerakan rakyat tidak bisa dibangun dengan jalan yang linear dan monoton. Gerakan rakyat harus menjadi bagian aktif dalam dialektika kebangsaan yang sedang berjalan. Dalam kerangka ini, maka gerakan rakyat harus lebih lentur dan fleksibel dalam menempuh jalur-jalur perjuangan baik di level politik formal maupun informal. Begitupun dalam berjejaring, gerakan rakyat harus menjadi mesin aktif yang bisa mengonsolidasikan berbagai elemen, bukan membatasi pergaulan politik. Masih banyak lagi perbedaan pilihan ideologi, poilitik dan strategi serta tata kelola organisasi yang akhirnya mendorong Willy mengambil keputusan untuk nonaktif dari PRP. Seiring dengan masa itu,
datang panggilan beasiswa S2 di Cranfield University. Kembali Willy berkesempatan untuk mempertajam kapasitas intelektualnya. Sembari itu, dia tetap aktif terlibat dalam berbagai forum komunikasi antar aktivis. Salah satu pengalaman di masa ini adalah ketika menjadi pemateri dalam satu forum diskusi di Bandung. Baru saja dia hendak angkat bicara, tiba-tiba sekelompok milisi bersenjata membubarkan forum itu. Mereka menganggap forum itu berniat menghidupkan kembali komunisme – sesuatu yang sudah aneh sebenarnya saat itu. Buntut dari insiden tersebut Willy sempat mengasingkan diri selama beberapa hari. Tak bisa ke lain hati Tahun 2008 Willy mulai memasuki dunia profesional. Dia menjadi salah satu konsultan di lembaga donor asing, GTZ. Saat itu Willy sudah memiliki seorang putera buah perkawinannya dengan Yemmi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
80
memasukkan Sri Sultan HB X dalam bursa calon presiden pada 2009, Willy bergabung dengan Kabinet Indonesia Muda (KIM). Di sini, dia berkumpul dengan para aktivis-aktivis muda yang sudah terjun dalam dunia politik nasional. Beberapa di antara mereka yaitu, Mutia Hafid, Budiman Sudjatmiko, Poempida Hidayatullah, dan banyak lainnya.
Livenda, teman sekolah masa SMP sekaligus masa kuliahnya. Secara ekonomi, GTZ memberikan penghasilan yang terhitung cukup untuk membiayai keluarganya. Kenyataannya, Willy tetap tak bisa lepas dari dunia politik dan pergerakan. Kerinduannya terhadap dunia pergerakan selalu membuatnya terpanggil mengikuti ajakan kawankawannya dalam berbagai momentum. Salah satunya pada tahun 2009 saat Dadang Juliantara, kawan sekaligus mentor politik, mengajaknya bergabung dalam sebuah tim politik. Dia diminta secara khusus untuk bergabung dengan Merti Nusantara, yang mengusung figur Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai calon presiden RI. GTZ pun ditinggalkannya.
Awalnya, Willy masih menganggap KIM seperti forum-forum yang dia ikuti sebelumnya, media konsolidasi aktivis dan politisi muda. Tak disangka, forum itu membawanya pada momentum bersejarah yang mempertemukannya dengan tokoh nasionalis senior, Surya Paloh. Bersama Surya Paloh, Willy diajak mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Willy bahkan menjadi salah seorang konseptor organisasi yang mengusung gagasan Restorasi Indonesia ini. Dalam kepengurusan Nasional Demokrat, dia dipercaya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan.
Dari titik itulah, Willy mulai aktif kembali dalam berbagai momentum dan konsolidasi politik. Pada masa itu pula, dia membangun sebuah lembaga analisis politik bernama Populis Institute. Lembaga ini dibangun guna mendukung kebutuhan aktualisasi wacana, pemikiran, dan berbagai exercise politik yang diperlukan.
Kurang dari dua tahun berdialektika dengan Surya Paloh, begitu banyak pengalaman dan wawasan yang teramu dalam interaksi mereka. Keduanya adalah pimpinan pergerakan yang dari dua generasi berbeda. Sebagai seorang senior, Surya Paloh sangat kaya pengalaman politik dan pergerakan yang dia jalani semasa orde baru. Lebih dari seorang pimpinan, bagi Willy Surya Paloh juga seorang bapak, pembimbing, sekaligus kawan perjuangan yang tangguh.
Selepas dari Merti Nusantara yang gagal
Di sisi lain, Willy di mata Surya Paloh adalah
81
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
sosok muda yang penuh semangat, berani serta kaya wawasan dan inovasi. Satu lagi persamaan mereka, keduanya sama-sama merupakan sosok yang visioner dalam memandang masa depan bangsa. Dari sinilah, Willy merasa kembali menemukan dunia lamanya yang telah diperbaharui. Jika dulu, Willy melintangi dunia pergerakan sebagai aktivis ekstraparlementer, sekarang bersama Surya Paloh dia mulai memasuki dunia politik formal. Mereka berdua adalah kombinasi figur senior dan figur muda dengan kadar pergerakan yang sama kentalnya. Di tengah dinamika bersama Surya Paloh di Nasional Demokrat, Willy masih teringat impian lamanya. Dia telah berhasil membangun organisasi pergerakan progressif berskala nasional. Namun, masih ada satu hal yang belum tuntas, yaitu citacitanya untuk mengembalikan kebebasan mahasiswa berpolitik, khususnya untuk berpartai.
Refleksinya terhadap perjuangan reformasi ’98 masih terus melekat dalam memorinya. Perjuangan mahasiswa selama gelombang reformasi belum menghasilkan output demokratisasi yang optimal karena diserobot oleh para elit politik oportunis. Di sisi lain, mahasiswa masih cenderung apriori terhadap partai politik. Atas pertimbangan itu, dengan dukungan Ketua Umum Nasional Demokrat, Surya Paloh, akhirnya tanggal 9 November 2011 dideklarasikan berdirinya Liga Mahasiswa NasDem. Lagi-lagi dia didapuk sebagai ketua umumnya. Berbeda dengan mainstream organisasi mahasiswa yang cenderung anti partai, LMN didirikan justru sebagai tulang punggung bagi partai politik: Partai NasDem. Karena itulah, semboyan LMN adalah “Belajar, Berpartai dan Berbakti.” Membangun peradaban “Banyak orang membuat sejarah, tapi tak banyak yang membuat peradaban.” Itulah
Vol II Tahun 4 Desember 2011
ungkapan yang dipegang Willy hingga sekarang. Dalam ungkapan itu, termuat pertautan antara nilai individu dan nilai kolektif. Individu hidup dengan tuntutan eksistensinya, tapi tak pernah lepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Itulah ruh pergerakan yang diyakini Willy. Seseorang baru eksis ketika dia berada dalam lingkup kolektif manusia. Solidaritas adalah kata kunci yang menjembatani indivdu dengan ruang sosial. Prinsip itu juga mendasari pilihan Willy untuk terjun kembali ke arena politik dan pergerakan. Willy memandang aktivitas politiknya sebagai jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik baik bagi anakanaknya maupun seluruh anak yang lahir di bumi pertiwi. Bayi-bayi yang terlahir dengan beban utang sebesar 6 juta hari ini, membutuhkan negara yang lebih baik agar bayi-bayi berikutnya tak menanggung beban serupa. Quantum Ikhlas, Willy meresapi nilai itu sebagai pengiring aktivitasnya. Tak usah terlalu pusing memikirkan apa yang akan didapat. Sesuatu yang dilakukan dengan keyakinan sudah menjadi capaian tersendiri.
Referensi
82
Output materiil, adalah efek tak langsung dari perbuatan itu. Kalkulasi yang kelewat ego sentris hanya memperberat langkah. Sebaliknya, tindakan yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh keyakinan akan menghasilkan innovasi dan capaian tak terkira. Banyak sudah catatan di museum-museum rekor. Setiap orang berlomba-lomba memasukkan sejarahnya dalam catatancatatan itu. Tak ada salahnya mengejar itu semua. Namun lebih mulia jika kita bisa menggesernya ke arah perbaikan peradaban. Begitu banyak orang yang berhasil membuat sejarah, tetapi begitu terhitungnya mereka yang mau berpikir tentang kemajuan peradaban. Dan Willy Aditya adalah satu di antara yang terhitung itu. Refleksi Gerakan Mahasiswa Saat ini, tugas tak ringan disandang Willy, yaitu memimpin Liga Mahasiswa NasDem. Selain berat, tugas ini juga tak kalah penting dibanding tugas-tugas kepemimpinan dia sebelumnya. Liga Mahasiswa NasDem adalah gerakan mahasiswa pertama
83
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
yang mendeklarasikan diri sebagai bagian aktif sebuah partai politik, setelah periode panjang depolitisasi gerakan mahasiswa selama Orde Baru. Bukan sekadar organisasi sayap, Liga Mahasiswa NasDem menempatkan diri sebagai tulang punggung penggemblengan kader untuk Partai NasDem. Baginya, ini adalah sintesa dari perjalanan panjang dalam dunia pergerakan, khususnya gerakan mahasiswa. Literatur sejarah indonesia menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa dilahirkan oleh dinamika politik, dan menjadi bagian dari praktik kepartaian. Pada masa Orde Lama, organ-organ mahasiswa tumbuh subur menjadi media kaderisasi yang dijalankan sesuai garis ideologi dan politik partai. Tercatat keberadaan HMI sebagai sayap mahasiswa Partai Masyumi, GMNI sebagai lumbung kader Partai Nasionalis Indonesia, CGMI sebagai pencetak kader-kader PKI, dan seterusnya. Gairah pergerakan dari dalam kampus itu menyusut seiring berakhirnya rezim Orde Lama. Model pemerintahan otoritarianisme birokratik Orde Baru telah menyusutkan berbagai ideologi dalam satu rumus tunggal Pancasila. Politik dikarantina dalam tiga pilihan partai yang sudah dikondisikan oleh pemerintah. Terakhir, ruang organisasipun dibatasi dengan kanal-kanal korporatis yang disediakan oleh negara untuk setiap sektor, mulai dari organisasi pegawai negeri, organisasi pemuda sampai organisasi mahasiswa. Keorganiassian mahasiswa semasa Orde Baru dikanalkan dalam kelompok Cipayung, yang terdiri dari HMI, GMNI, PMKRI, GMKI dan PPMI. Kelompok ini kembali dipersatukan setelah wadah lamanya, PPMI bubar seiring peristiwa kudeta ’65.
Pada tanggal 22 Januar 1972, organ-organ mahasiswa tersebut kembali berkumpul di Cipayung untuk membangun wadah bersama. Tentu saja, wadah bersama ini berbeda warna dengan wadah lama saat rezim Orde Lama. Wadah baru Cipayung ditandai dengan karakter apolitis dari setiap organisasi yang tergabung. Hal itu terlihat pada ketentuan organisasi yang mengatur larangan berpolitik bagi pengurusnya. AD / ART anggota Cipayung bahkan mengatur pemberhentian pengurusnya yang terlibat dalam kepengurusan partai politik. Itu merupakan peraturan yang sangat represif, terlebih ketika diterapkan terhadap gerakan mahasiswa yang notabene lahir dan tumbuh dalam dinamika politik kepartaian. Nuansa depolitisasi semakin kental ketika pemerintah menerapkan kebijakan NKK / BKK pada tahun 1978, yang menandai sterilisasi kampus dari kegiatan politik praktis. Otomatis, kelompok Cipayung sebagai organisasi mahasiswa yang tersisa tak lebih hanya menjadi papan nama gerakan mahasiswa yang terkadang dilibatkan untuk kepentingan klaim dan representasi politik oleh penguasa atau kelompok-kelompok politik tertentu. Tak mengherankan, ketika Orde Baru tergulung oleh arus reformasi, kelompok Cipayung pun tak begitu terlihat kiprahnya. Mayoritas mahasiswa kala itu tergerak secara spontan, sporadis, tumpah ke jalan lalu bermuara pada tuntutan pergantian rezim. Willy, sebagai salah satu aktor yang terlibat dalam Reformasi ’98, merasakan betul vakumnya kepemimpinan mahasiswa kala itu. Maka tekadnya setelah itu adalah membangun organisasi mahasiswa yang
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
84
terpimpin secara nasional dalam kerangka ideologi, politik dan organisasi. Saat inilah dia ingin menuntaskan PRnya yang tersisa, yaitu mengembalikan dialektika gerakan mahasiswa Indonesia sebagai bagian dari partai politik. Ketika organisasi gerakan mahasiswa dinegasikan dari karakter politiknya, maka perlu upaya untuk menegasikannya kembali. Dalam pandangan Willy, saat inilah momentum itu. Saat Surya Paloh memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengawal pergerakan mahasiswa, ketika tersedia instrumen partai politik yang mau mengawal sekaligus menampung dinamika pergerakan mahasiswa, saat itulah hukum negasi menemukan masanya. Saatnya gerakan mahasiswa kembali pada organisasi yang melahirkannya, yaitu partai politik. Inilah yang ada dalam pikiran Willy. Dalam pandangannya, terminologi gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral adalah political engineering dari rezim untuk mencabut GM dari induk politiknya. Akhirnya yang terjadi adalah sesuatu yang tidak masuk akal baginya: setelah 13 tahun Reformasi, kecenderungan anti partai politik sangat besar di kalangan GM sendiri. Dengan LMN, Willy ingin menghilangkan tradisi patron client dalam politik Indonesia,
yang dalam pandangannya itu berasal dari budaya “abang-adik” di kalangan gerakan mahasiswa. Dia juga ingin menghadirkan kembali gagasan partai politik ke dalam kampus. Baginya, ini tidak akan menggerus organisasi-organisasi gerakan mahasiswa seperti yang ditakutkan sebagian besar orang. Sebaliknya, hal ini justru akan merevitalisasi dan mengembalikan khittah sejati gerakan mahasiswa seperti yang dilakukan Soekarno dengan mendirikan PNI atau Douwes Dekker yang mendirikan Indische Partij. Willy memandang, kecenderungan gerakan mahasiswa dan organisasi-organisasinya saat ini yang sangat anti-partai politik, lebih mengarah kepada sikap politik yang kekanak-kanakan (infantile disorder). “Mereka hanya melihat aktor, seperti dikotomi gerakan mahasiswa dan partai, bukan situasi obyektif,” katanya suatu kali. Padahal situasi obyektifnya sudah jelas, alat sirkulasi kekuasaan saat ini hanyalah partai. Semua pintu menuju kekuasaan selain partai politik tertutup, dan itulah yang harus dicermati oleh gerakan mahasiswa.
85
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Di sisi lain, seharusnya tidak ada lagi pemilahan organisasi intra dan ekstra kampus. Organisasi-organisasi seperti HMI, PMKRI, IMM, GMNI, menurut Willy, seharusnya berusaha untuk kembali ke kampus dan tidak terkerangkeng oleh dikotomi yang menyesatkan itu. Dikotomi ini telah membuat gerakan mahasiswa vokal, lantang, dan garang terhadap struktur kekuasaan, namun justru mandul ketika berada di dalam kampus saat berhadapan dengan dekan dan rektor. Akibatnya, kampus tetap menjadi entitas yang represif, feodal, dan bahkan berkecenderungan iliberal. Kampus tidak mengakui hak dan kebebasan bagi mahasiswa untuk menjadi berbeda.
Di sisi lain, politik Indonesia saat ini malah diisi oleh mereka yang berlatar non-politik: para saudagar, para artis, dan orang-orang yang tidak jelas rekam jejaknya dalam aktifitas politik. Politik akhirnya menjadi kabur, menjadi ruang transaksi, jauh dari nilai-nilai luhurnya. Satu kenyataan miris yang disaksikan oleh Willy adalah manakala providerprovider seluler, perusahaan-perusahaan consumer goods, kendaraan bermotor, dan bisnis-bisnis swasta lain diijinkan masuk kampus dalam bentuk sponsorship dan sebagainya, namun partai politik tak memiliki kesempatan yang sama, hanya karena sebuah asumsi: jika partai politik masuk kampus, mahasiswa akan menjadi pragmatis.
Lewat Liga Mahasiswa NasDem, Willy ingin mendudukkan gerakan mahasiswa pada maqom yang semestinya. Lewat LMN Willy ingin mengajak gerakan mahasiswa untuk menyadari bahwa politik adalah ruang yang suci dan alat pengabdian terhadap sesama. Aktor-aktornyalah yang sering membuatnya menjadi kotor karena penyelewengan dan penyalahgunaan. Keterlibatan kembali mahasiswa dalam politik praktis diharapkan bisa membenahi yang melenceng itu, membersihkan yang kotor itu, agar politik kembali menjadi ruang membangun peradaban.
CATATAN
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
86
Cinta Segitiga Aktivis Mahasiswa, LSM dan Partai Politik
M
Oleh Muhammad Djindan (Staf UNDP)
eskipun belum pernah ada penelitian yang menelusuri berapa banyak aktivis mahasiswa di Indonesia yang selepas kuliah melanjutkan sepak terjangnya di dunia LSM, kecenderungan ini tidak bisa dianggap sebagai isapan jempol belaka. Aktivis yang lulus dengan gelar sarjana hukum banyak yang bekerja di lembaga bantuan hukum. Sarjana ekonomi yang terjun mengembangkan lembaga keuangan mikro atau koperasi di tingkat akar rumput juga tidak sedikit. Belum lagi sarjana ilmu sosial yang mengamalkan ilmunya untuk LSM di bidang pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, aktivis mahasiswa yang selepas kuliah langsung terjun ke partai politik justru jarang ditemui. Tulisan ini akan membahas kecenderungan tersebut secara reflektif tanpa pretensi untuk menjadi penafsir tunggal untuk keadaan tersebut. Pada dasarnya orangtua mengirim anaknya ke bangku pendidikan formal di Indonesia demi alasan masa depan. Di sini, masa depan diasosiasikan dengan mapannya pekerjaan yang linear dengan jenjang pendidikan terakhir. Lulusan universitas jelas memiliki nilai lebih di mata
87
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
pemberi kerja dibandingkan dengan lulusan sekolah menengah atas yang sama-sama baru menyelesaikan pendidikannya. Banyak alasan yang melatarbelakangi mahasiswa harapan orang tua ini menjadi aktivis kampus. Beberapa merasa materi dan dinamika kuliah semata tidak cukup mengakomodasi jiwa mudanya yang bergejolak. Ada pula yang dari pergumulannya dengan dunia pendidikan tinggi menemukan bahwa realitas yang ada masih jauh dari ideal sehingga ia merasa perlu turut ambil bagian untuk mengoreksi keadaan tersebut. Apapun latar belakangnya, aktivis kampus adalah label yang sering diberikan kepada mahasiswa yang tidak hanya menghabiskan waktunya untuk kuliah, belajar dan mengerjakan tugas, namun juga melakukan berbagai kegiatan di luar rutinitas akademik. Perlu diketahui bahwa aktivis kampus memiliki karakteristik yang terikat dengan zaman masing-masing. Seorang aktivis di masa NKK/BKK tentu saja berbeda dengan aktivis dalam setting yang lebih kontemporer. Mereka yang menjadi pegiat pers mahasiswa dianggap sebagai aktivis di era depolitisasi kampus saat Orde Baru berkuasa. Sementara dewasa ini label aktivis cenderung lebih sering disematkan kepada mereka yang gemar berdiskusi, demonstrasi, atau vokal di dalam maupun di luar kelas. Ciri yang hampir selalu melekat untuk aktivis di semua zaman adalah keterlibatan mereka dalam organisasi ekstra kampus. Setiap pilihan memiliki sisi positif dan negatif yang tidak dapat dipisahkan, termasuk pilihan menjadi aktivis di kampus. Salah satu manfaat menjadi aktivis adalah semakin meningkatnya wawasan si mahasiswa. Diskusi dan interaksi dengan berbagai kawan seorganisasi dan aktivis lain tentu makin
memperdalam pengetahuan yang tidak semuanya bisa didapat dari bangku kuliah atau ruang perpustakaan. Kemampuan menyampaikan pendapat di muka umum atau dalam forum yang terbatas juga makin terasah. Selain itu, aktivis mahasiswa juga memiliki jaringan yang lebih luas dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak menyibukkan diri dengan kegiatan di luar soal akademis. Di sisi lain, aktivis mahasiswa juga identik dengan lama masa kuliah di luar kewajaran atau IPK Nasakom (nasib satu koma) –yang secara kurang tepat kadang ditempatkan sebagai simbol bagi perlawanan aktivis yang anti kemapanan atau semata-mata hanya akibat dari terlalu asyiknya mereka dengan dunia lain di luar kewajiban akademisnya. Namun demikian, suka tidak suka, masamasa indah menjadi aktivis ini harus segera berakhir ketika mereka mulai menginjak semester puluhan tapi belum menunjukkan tanda-tanda kelulusan dan selepas mereka lulus kuliah. Mereka mulai dibenturkan dengan harapan orangtua saat ia mulai menginjakkan kaki di kampus: lulus dengan nilai yang memuaskan dan menggapai karier yang baik. Pada titik ini setiap aktivis tidak lagi dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang lincah terhadap kawan maupun lawan diskusinya, tapi justru kepada orangtua yang telah membiayai pendidikannya, kepada masyarakat, dan terutama dirinya sendiri. Disinilah kemudian LSM menjadi wadah yang dianggap lebih menarik bagi para aktivis dibandingkan dengan partai politik. Sebelum membahas lebih jauh mengenai pasal ini, ada baiknya kita elaborasi terlebih dahulu secara singkat tentang apa dan bagaimana LSM bekerja. Di era otoritarianisme Orde Baru, LSM menjadi salah satu aktor masyarakat sipil
Vol II Tahun 4 Desember 2011
Referensi
88
LSM yang tegas dalam menghadapi arogansi kekuasaan kala itu.
yang melakukan advokasi kepentingan rakyat dengan bendera isu HAM. Misalnya dalam kasus Kedungombo pada dekade 1980an. Aktivis LSM bersama aktivis gerakan mahasiswa yang terorganisasi melalui kelompok-kelompok studi beserta para pemuka agama di Jawa Tengah dan sekitarnya melakukan pendampingan terhadap penduduk yang tidak menerima ganti rugi tanah secara adil. Hal yang sama juga dilakukan dalam pendampingan atas kasus Badega, Kacapiring, Cimacan, Jatiwangi, Cilacap, dan lain sebagainya. Demikianlah, pada masa dimana partai politik terkooptasi oleh kekuasaan dan hampir semua organisasi kemasyarakatan berada dalam pengawasan yang ketat, LSM menjadi tempat yang dipilih oleh aktivis kala itu untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Terlepas dari hasil advokasi yang dilakukan, upaya konkret seperti ini menunjukkan peran
Seiring riuhnya pembangunan di Indonesia, dekade 1990-an menjadi saksi perkembangan LSM yang semakin pesat. Orang mulai mengelompokkan jenis LSM dengan mengacu pada peran yang diambil menjadi tiga kelompok; LSM plat merah, LSM plat kuning dan LSM plat hitam. LSM plat merah menjadi julukan untuk organisasi masyarakat bentukan pemerintah yang ditujukan untuk mendukung berbagai kebijakan negara sekaligus sarana mobilisasi massa. Sementara LSM plat kuning adalah jenis LSM yang oportunis dan siap menerima isu apapun untuk diangkat asal sesuai dengan sokongan finansial yang diberikan, LSM plat hitam adalah organisasi yang dianggap selalu kritis dengan kebijakan pemerintah dan masih mengedepankan idealisme: tidak mau dibeli oleh lembaga donor maupun pemerintah. Setelah genderang reformasi politik –yang tidak jauh berbeda dengan liberalisasi– ditabuh, pemerintah mulai membuka pintu seluas-luasnya bagi kehadiran lembaga donor dan LSM internasional di Indonesia, yang langsung disambut dengan pembukaan kantor di banyak daerah. Bila dulu lembaga donor hanya mampu mengirimkan uangnya ke Indonesia melalui LSM lokal yang kemudian melaksanakan program sesuai dengan perjanjian dalam proposal, maka sekarang lembaga donor dapat langsung melaksanakan programnya selama mengurus ijin dan lapor pada pemerintah. Dalam melaksanakan operasinya di Indonesia, LSM asing dan lembaga donor
89
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
masih tetap bekerjasama dengan LSM lokal. Ada pula beberapa LSM asing dan lembaga donor yang terikat dengan perjanjian bilateral/ multilateral sehingga memiliki mandat bekerja secara langsung dengan pemerintah. Dapat dikatakan bahwa titik pijak yang diambil oleh LSM dewasa ini telah bergeser bila dibandingkan dengan LSM yang kita kenal pada era Orde Baru. Dengan keterbukaan yang ada, LSM lebih mengedepankan jurus bekerja bersama pemerintah dibanding dengan bekerja sebagai oposan pemerintah atau –dalam kasus lembaga donor– justru menjadi penyandang dana bagi program pemerintah dan tidak lagi menjadi pihak yang menerima bantuan dari pemerintah. Terlepas dari pergeseran peran, mekanisme kerja, maupun ruang yang tersedia dewasa ini, LSM tetap menjadi tujuan yang lebih favorit bagi aktivis mahasiswa ketimbang partai politik. Alasan yang paling mudah diajukan untuk preferensi ini paling tidak ada dua. Pertama, imej partai politik yang kurang dekat dengan masyarakat, cenderung elitis, dan penuh dengan track record buruk. Ambil contoh untuk hal terakhir ini adalah kasus-kasus korupsi, jual beli suara saat Pemilu, atau kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil (dalam kasus partai-
partai pemenang Pemilu atau koalisi di tubuh pemerintahan). Di sisi lain, LSM dianggap sebagai perwujudan civil society yang bekerja secara riil bahu membahu dengan masyarakat. Bekerja memperjuangkan hak petani atas tanah atau mendampingi masyarakat dalam memahami proses perencanaan pembangunan adalah tawaran yang terdengar sangat menarik dan humanis daripada rapat kerja nasional partai ini dan itu. Kedua, serendah apapun standar yang diberikan, LSM lebih memberikan kepastian
penghasilan bagi aktivis yang bekerja untuk mereka. Mengingat kebutuhan atas penghidupan yang tidak dapat
Vol II Tahun 4 Desember 2011
ditolak dan orangtua yang tidak lagi bisa diandalkan untuk terus memberikan sokongan finansial, faktor ini menjadi pertimbangan yang tidak d a p a t diabaikan. Dengan kata lain aktivis mahasiswa merasa bahwa LSM lebih memiliki orientasi atas persoalan konkret masyarakat sekaligus mampu menjadi tumpuan penghidupan, sementara bekerja di sektor yang lain seperti dunia industri atau menjadi pegawai pemerintah tentu saja akan mengikat mereka pada rutinitas dan waktu kerja yang panjang sehingga mengurangi peluang untuk tetap berdinamika dalam alam yang selama ini mereka geluti. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan menjadi aktivis LSM mereka benar-benar mampu mewujudkan perbaikan yang mendasar? Disini para aktivis harus
sadar bahwa sebesar apapun kapasitas sebuah LSM, mereka akan selalu memiliki keterbatasan dalam mendorong perubahan. Karakteristik pertama yang perlu diketahui
Referensi
90
u n t u k memahami keterbatasan peran LSM d a l a m perubahan sosial adalah keterbatasan lingkup isu yang diusung. Kebanyakan L S M mengusung ide spesifik s e m i s a l g e n d e r, pemanasan global, tata kelola pemerintahan, lingkungan hidup, dan seterusnya dalam batas-batas yang sangat praktis yang menyulitkan keterlibatan yang lebih meluas. Beberapa LSM yang lain mungkin menjadi sangat terobsesi dengan isu yang diusung hingga muncul isme-isme yang sangat sektoral seperti environmentalist maupun feminist sementara secara nyata tidak semua persoalan masyarakat dapat dijawab secara menyeluruh oleh gerakan emansipasi sektoral tersebut. Karakteristik kedua yang membatasi LSM adalah program-programnya yang senantiasa fokus ke unit-unit kecil sebagai sebuah percontohan. Bila berhasil dengan pilot project-nya, LSM tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengembangkan keberhasilan tersebut ke daerah lain. Hal ini sangat berkaitan dengan karakteristik ketiga yang selalu ada dalam LSM, yaitu non partisan. LSM selalu membuat jarak dengan partai politik serta menjauhkan setiap program kerjanya dari kepentingankepentingan politik praktis. Akhirnya upaya penyebarluasan keberhasilan pola serta
91
Referensi
Vol II Tahun 4 Desember 2011
metode transformasi sosial hanya bisa dilakukan melalui lobby dan pendekatanpendekatan informal lain di luar mekanisme politik.
saja kenyataan tersebut bukan semata kealpaan partai politik karena pilihan itu juga dilatarbelakangi oleh kebijakan kampus yang menjauhkan partai politik dari mahasiswa.
Kendati demikian harus diakui bahwa perubahan sosial yang mendasar masih jauh panggang dari api sehingga strategi untuk melakukan perubahan sektoral/kecil di tingkat lokal yang diambil LSM juga tidak dapat disepelekan. Mereka sepenuhnya sadar dengan pola kerja dan terbatasnya dampak yang dihasilkan karena perubahan yang mendasar dan menyeluruh masih dan akan selalu menjadi tanggungjawab pranata politik formal. LSM tidak akan pernah mengambil peran-peran tersebut. Oleh karena itu, tak terlalu mengherankan bila sebagian aktivis LSM yang telah bekerja cukup lama dengan masyarakat mulai merasa jengah dengan lambatnya transformasi sosial yang dicita-citakan. Tak sedikit para aktivis LSM yang kemudian berani mengambil sikap dan ambil bagian dalam proses politik dengan menjadi anggota partai atau menceburkan diri dalam proses politik formal seperti maju dalam pencalonan kepala daerah, anggota DPD dan DPR/DPRD, dan lain sebagainya. Dalam prosesnya, para aktivis LSM ini menimang berbagai pilihan dan kemudian memanfaatkan peluang yang terbuka dalam mekanisme politik liberal.
Namun demikian, terlepas dari itu, perspektif partai politik dalam melihat kampus sebagai sebuah arena kontestasi pengaruh juga perlu dikaji kembali dengan lebih mendalam. Kampus yang digadanggadang sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu tidak bisa dilihat secara sama dengan desa, kelurahan, maupun pabrik. Bila desa, kelurahan, atau pabrik menjadi sasaran kantong massa partai politik, hal yang sama tidak bisa diterapkan untuk kampus yang ‘penduduknya’ selalu berganti mengikuti masa studi setiap mahasiswa. Akan lebih tepat bila partai politik menempatkan kampus sebagai tempat untuk menemukan kader-kader partai dan bukan massa/ simpatisan belaka. Adalah jelas bahwa strategi menemukan kader perlu dibedakan dengan strategi membangun kantong massa.
Mesranya relasi antara aktivis kampus dengan LSM dari sudut pandang lain dapat pula dimaknai sebagai kegagalan partai politik menyerap para aktivis ini masuk ke dalam proses kaderisasi mereka. Di kampus, partai politik menggerakkan sayapnya melalui organisasi mahasiswa ekstra kampus yang acapkali tidak mengakui afiliasinya dengan partai politik secara terbuka. Afiliasi tertutup terhadap partai ini kemudian membuat proses kaderisasi partai politik di kampus menjadi semakin tidak jelas. Tentu
Dua strategi kaderisasi yang dapat diambil adalah pengorganisasian secara intensif bagi orang per orang dan pendidikan politik berkelompok. Keduanya relatif sesuai dengan kebutuhan mahasiswa akan relasi interpersonal dan wacana yang ekstensif. Tantangannya adalah bersabar dengan proses karena kedua strategi ini membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kegiatan mobilisasi massa atau menarik simpatisan yang mungkin bisa ditempuh melalui kampanye maupun aksi singkat. Selain itu, melalui pengorganisasian dan pendidikan politik yang diberikan, partai politik perlu menunjukkan kerjakerja riil yang telah dibuatnya bersama masyarakat agar para aktivis ini menemukan kebanggaan dalam berpartai. Pada gilirannya mereka tidak akan lagi berlaku apolitis atau
Vol II Tahun 4 Desember 2011
berlindung dibalik argumentasi obyektivitas non-partisan yang kurang bernalar. Kesimpulan pamungkas bagi refleksi ini kembali kepada keseriusan kinerja partai politik, gerakan mahasiswa, dan LSM terhadap cita-cita perbaikan masyarakat dan bangsa. Jika memang serius terhadap tujuan dan cita-citanya partai politik harus membenahi kapasitas sumber daya manusia mereka, salah satunya adalah melalui kaderisasi. Mengingat nilai lebih yang dimiliki kaum mahasiswa, partai politik perlu menunjukkan bahwa mereka mampu memberikan apa yang selama ini diberikan— atau bahkan lebih—oleh LSM, organisasi gerakan mahasiswa, dan organisasi sosial/ kemasyarakatan. Tentu saja ini bukan semata soal finansial, tapi juga prestasi yang dapat dibanggakan. Sementara itu aktivis mahasiswa harus menyadari peran dan posisinya dalam arena perubahan dan perbaikan masyarakat: tak akan selamanya menjadi mahasiswa,
Referensi
92
tak akan selamanya berdiskusi dan berdemonstrasi, dan tak selamanya pula akan menjadi “gerakan moral” karena perbaikan masyarakat dan peradaban butuh lebih dari sekedar jargon kosong dan upaya moral. Di sisi lain para aktivis LSM-pun butuh menyadari posisinya sebagaimana aktivis gerakan mahasiswa. Terbatasnya ruang lingkup perjuangan untuk capaian-capaian yang lebih jauh sehingga melokalisasi citacita menjadi sekedar kegiatan-isme serta potensi kontraproduktif dari tawaran finansial yang mengaburkan cita-cita para pekerjanya menjadi sebatas demi gaji, keduanya bukan hal yang layak untuk dihadapkan pada sekian banyak problem nyata masyarakat dan bangsa. Tentunya kita tak ingin drama cinta segitiga para aktor ini justru menjauhkan masing-masing dari tugas-tugas pembangunan dan perbaikan peradaban.
“Banyak orang membuat sejarah, tapi tak banyak yang membuat peradaban.” Willy Aditya