ISSN 2252 - 4487 Volume.4 | No.4 | Desember 2015 – Februari 2016
1. Perbedaan Kompres Hangat dan Terapi Air Putih Dalam Perawatan Pasien Demam Tifoid Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Kuat Sitepu ...........................................................................................................................
1-11
2. Hubungan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas dalam Dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Appendiktomi di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Fredy Kalvind Tarigan ........................................................................................................ 12-21 3. Pengaruh Perawatan Infus Terhadap Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap yang Terpasang Infus Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kumpulan Pane Tebing Tinggi Ni Nyoman Ayu Tamala Hardis .......................................................................................... 22-30 4. Perbedaan Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Napas Dalam) pada Psien Hipertensi Primer Di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Sei Rampah Agustina Simamora .............................................................................................................. 31-41 5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Herri Novita Tarigan ......................................................................................................... 42-50 6. Pengaruh Pemberian Posisi Miring Kanan dan Miring Kiri terhadap Pencegahan Dekubitus pada Pasien Stroke di Rumah Sakit Umum Kumpulan Pane Tebing Tinggi Dewi Frintina Silaban .......................................................................................................... 52-59
ISSN : 2252 - 4487
NERSTRA-NEWS JURNAL ILMIAH PROGRAM STUDI KEPERAWATAN D.III AKPER MEDISTRA LUBUK PAKAM Volume : 4, No : 4
Desember 2015 – Pebruari 2016
DAFTAR ISI 1. Perbedaan Kompres Hangat dan Terapi Air Putih Dalam Perawatan Pasien Demam Tifoid Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Kuat Sitepu............................................................................................................................
1-11
2. Hubungan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas dalam Dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Appendiktomi di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Fredy Kalvind Tarigan ......................................................................................................... 12-21 3. Pengaruh Perawatan Infus Terhadap Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap yang Terpasang Infus Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kumpulan Pane Tebing Tinggi Ni Nyoman Ayu Tamala Hardis .......................................................................................... 22-30 4. Perbedaan Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Napas Dalam) pada Psien Hipertensi Primer Di Rumah Sakit Umum Sultan Sulaiman Sei Rampah Agustina Simamora .............................................................................................................. 31-41 5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Herri Novita Tarigan .......................................................................................................... 42-50 6. Pengaruh Pemberian Posisi Miring Kanan dan Miring Kiri terhadap Pencegahan Dekubitus pada Pasien Stroke di Rumah Sakit Umum Kumpulan Pane Tebing Tinggi Dewi Frintina Silaban ........................................................................................................... 52-59
PENGANTAR REDAKSI Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan ridhoNya telah terbit Jurnal Ilmiah Program Studi Keperawatan D.III Akper MEDISTRA Lubuk Pakam dengan nama NERSTRA-NEWS yang merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan berkala setiap Tiga bulanan, yaitu periode Januari– Juni dan Juli – Desember. Kami mengharapkan untuk terbitan periode berikutnya para Peneliti / Dosen dapat meningkatkan kualitas maupun mutu dari tulisan ini, sehingga memungkinkan sebagai bahan rujukan dalam melakukan kegiatan penelitian. Dalam kesempatan ini Redaksi mengucapkan terimakasih kepada para Peneliti / Dosen dan semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan jurnal ilmiah ini. Semoga Program Studi Keperawatan D.III Akper MEDISTRA Lubuk Pakam, sukses dan maju.
Salam,
Redaksi
PENGURUS Pelindung
: 1. Drs. Johannes Sembiring, M.Pd Ketua Yayasan MEDISTRA Lubuk Pakam 2. Drs. David Ginting, M.Pd, M.Kes Ketua STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam
Penanggungjawab
: Rosita Ginting, SH BAA Akper MEDISTRA Lubuk Pakam
Pimpinan Redaksi
: Kuat Sitepu, S.Kep, Ns, M.Kes
Sekretaris Redaksi
: Desideria Yosepha Ginting, S.Si.T, M.Kes
Redaktur Ahli
: 1. 2. 3. 4. 5.
Tahan Adrianus Manalu, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.MB Jul Asdar Putra Samura, SST, M.Kes Efendi Selamat Nainggolan, SKM, M.Kes Christine Vita Gloria Purba, SKM, M.Kes Grace Erlyn Damayanti Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep
Koordinator Editor
: 1. 2. 3. 4. 5.
Basyariah Lubis, SST, M.Kes Dameria, SKM, M.Kes Rahmad Gurusinga, S.Kep, Ns,M.Kep Fadlilah Widyaningsih, SKM Luci Riani Br. Ginting, SKM, M.Kes
Sekretariat
: 1. Tati Murni Karo-Karo, S.Kep, Ns, M.Kep 2. Sri Wulan, SKM 3. Raisha Octavariny, SKM, M.Kes
Distributor
: 1. Layari Tarigan, SKM 2. Arfah May Syara, S.Kep, Ns
Penerbit
: STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam Jl. Sudirman No. 38 LubukPakam, K0de Pos : 20512 Telp. (061) 7952262, Fax (061) 7952234 e-mail :
[email protected] Website: medistra.ac.id
Diterbitkan 2 (Dua) kali setahun, Bulan Januari - Juni dan Juli – Desember.
PERBEDAAN KOMPRES HANGAT DAN TERAPI AIR PUTIH DALAM PERAWATAN PASIEN DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG LUBUK PAKAM KUAT SITEPU, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Warm compress is a procedure mengguanakan cloth/towel so aked with warm water, which attach to specific body parts.Terapi water is theact of providing clients with mineral water to drinkas much ashalfa glassof water firstand then made up tospend 2 liters water. Before doing water therapyis done first measurement of body temperature. The purpose of this study was to determine idenfying degree drop in body temperature before and after the treatment in the control group and intervention. This study was aquasi-experimental with pretest post test control group design method. This research was conducted in Deli Serdang Hospital Lubuk pakam with samples and acontrol group of 10 respondents 10 respondent sintervention group obtained by purposive sampling. Analysis of the data usedis thet test-dependent and independen. This research was conducted18-20 June 2015 instrumentin this study is the observation sheet. From thet-test results-dependent measure ments obtaine daverage body temperature before water therapy is 2 and water therapy after 1 to the value of P=0.00. So we can conclude there is significant beforeand after the intervention. From thettestresults-obtained in denpendent averagebody temperature measurement after water therapy1,10. Averagebody temperature measurement after 1,80 in the control group and the difference inaverage body temperature emeasure mentis1.30 with a P value = 0.03. This shows the difference between Terapindrop in body temperature water and the control group. From the results of this current study was recommended to hospital, need socialization and adoption of more intensive water therapy considering cheap, easy to implement and with out side effects. makanan,tapi tidak akan bias hidup tanpa oksigen dan air. Air yang dimaksud disini bukan teh,kopi,susu,jus,minuman bersoda atau alkohol. Semua minuman ini tidak akan membersihkan tubuh dan melakukan detoksifikasi,tapi justru akan membuat tubuh akan dipenuhi zat-zat kimia. Untuk mendapatkan keajaiban dan kahsiat air putih, anda harus meminum air putih yang sehat dalam takaran tertentu.Setiap hari, dianjurkan untuk mengkonsumsi sekira 2 hingga 3 liter air putih,
Latar Belakang Masalah kesehatan merupakan salah satu msalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di Negara Indonesia, Derajat kesehatan bangsa,sebab anak sebagai penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dan meneruskan pembangunan bangsa. Air merupakan komponen kedua paling penting untuk manusia setelah oksigen. Manusia akan dapat bertahan hidup dalam beberapa waktu walaupun tanpa asupan
1
bergantung kepada kebutuhan tubuh masing-masing. Jika hal ini tidak dipenuhi, kemungkinan besar tubuh akan mengalami dehidrasi. Air merupakan sebuah komponen yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Air dan manusia berbanding lurus.kualitas hidup manusia akan bergantung pada sejauh mana ia dapat menghargai dan mengali potensi air lebih jauh. Hal inilah yang membuat air menjadi anugrah terindah untuk kehidupan manusia. Suhu badan pada kondisi demam dapat digunakan sebagai salah satu ukuran penting yang dapat memberi petunjuk mengenai memburuk atau membaiknya keadaan penderita. Demam merupakan suatu pertanda adanya gangguan kesehatan dan hanyalah suatu keluhan dan bukan suatu diagnosis.Sebagai suatu keluhan demam merupakan keluhan kedua terbanyak setelah nyeri, jadi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diketahui lebih banyak tentang demam (Kadang, 2009). Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh sebagai akibat dari infeksi atau peradangan sebagai respon terhadap invasi mikroba, selsel darah putih tertentu mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal dengan sebagai pirogen endogen yang memiliki banyak efek untuk melawan infeksi (Sherwood, 2001). Deman adalah keadaan dimana terjadi kenaikan suhu hingga 38,0°C atau lebih.Ada juga yang mengambil batasan lebih dari 37,8°C. Sedangkan bila suhu tubuh lebih dari 40,0°C disebut demam tinggi (Hiperpireksia),(Julia, 20009 ). Secara garis besar ada dua kategori demam yaitu demam infeksi dan
demam non infeksi.Demam infeksi merupakan demam yang terjadi sebagai respon tubuh terhadap peningkatan set-point seperti flu, radang tenggorokan, gondongan, campak, demam berdarah, demam Thypoid, GE dan sebagainya. Demam noninfeksi yaitu peninggian suhu tubuh karena pembentukan panas berlebihan tetapi tidak disertai peningkatan set-point seperti pada penderita gondok/keracunan aspirin (Widjaja,2009). Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) mengemukakan jumlah kasus demam di seluruh dunia mencapai 18-34 juta, merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Jayanti, 2011). Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 1633 juta kasus demam tifoid diseluruh dunia dengan kejadia 500-600 ribu perkasus kematian tiap tahun (R, Aden,2010). Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya.Anak merupakan yang paling rentan terkena demam, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa.Di hampir semua daerah endemik (Husan, 2011). Demam masih merupakan masalah serius di seluruh dunia terutama pada wilayah yang sanitasinya buruk.World Health Organization (WHO) mencatat secara global
2
bahwa insidensi demam adalah 21 juta kasus setiap tahunnya.Angka kematian insidensi global tersebut mencapai 1-4 % dan 90% kematian tersebut terjadi di Asia. Kasus-kasus pada daerah endemis cenderung untuk mengalami kegagalan pengobatan terhadap beberapa antibiotik yang disebut Multi-Drugs Resistance (Jayanti, 2011). Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk . Meskipun angka kejadian demam turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai Negara berkembang , diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia . Di Negara maju perkiraan angka kejadian demam lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2-0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Selatan (Jayanti, 2011). Di negara maju kasus demam terjadi secara sporadik dan sering juga berupa kasus impor atau bila ditelusuri ternyata ada riwayat kontak dengan karier kronik. Di negara berkembang kasus ini endemik. Diperkirakan sampai dengan 90 - 95 % penderita dikelola sebagai penderita rawat jalan. Jadi data penderita yang dirawat di rumahsakit dapat lebih rendah 15 – 25 kali dari keadaan yang sebenarnya (Jayanti, 2011). Diseluruh dunia diperkirakan antara 16 – 16,6 juta kasus baru demam ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya.Di Asia, sekitar 1015% anak-anak mengalami demam yang berhubungan dengan gejala-
gejala atau tanda dari suatu penyakit (Graneto, 2010). Suatu penelitian epidemiologi di masyarakat Vietnam khususnya di delta Sungai Mekong, diperoleh angka insidensi 198 per 100.000 penduduk dan di Delhi India sebesar 980 per 100.000 penduduk. Suatu laporan di Indonesia diperoleh sekitar 310 – 800 per 100.000 sehingga setiap tahun didapatkan antara 620.000 – 1.600.000 kasus. Di Jawa Barat menurut laporan tahun 2000 ditemukan 38.668 kasus baru yang terdiri atas 18.949 kasus rawat jalan dan 19.719 kasus rawat inap (Rudianto, 2012). Di Indonesia demam masih merupakan penyakit Demam dengan angka kejadian yang masih tinggi, diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk pertahun ; atau kurang lebih sekitar 600.000- 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1992-1996 tercatat 550 kasus demam yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63-5,13 % (Suriadi, 2010). Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun1981sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% (Suriadi, 2010). Survey tahun 2001 di Indonesia menunjukkan bahwa demam menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit utama penyebab kematian dengan prevalensi 9.4% dengan 170.324 kasus (Setiadi, 2011).
3
Survei pada tahun 1990 diberbagai Rumah Sakit Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 53,8 % yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Sedangkan menurut hernawati pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 rumah sakit di Indonesia mengalami peningkatan angka penderita demam sebesar 32,552 atau 39.562 kasus (Widodo, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Sumut di Medan, angka kejadian (insiden rate) kasus demam pada tahun 2005 mencapai 3.569/100.000 penduduk. Sementara pada tahun 2007 sebesar 34,10/100.000 penduduk, pada tahun 2008 sekitar 34,30 /100.000 penduduk dan pada tahun 2010 hingga akhir September mencapai 36,52 /100.000 penduduk, meski cenderung mengalami peningkatan namun masih dibawah angka ratarata Nasional, sebesar 55/100.000 penduduk (Emelia, 2011). Selain cara diatas upaya – upaya yang dapat kita lakukan untuk menurunkan suhu tubuh yaitu mengenakan pakaian yang tipis, banyak minum, banyak istirahat, beri kompres, beri obat penurun panas. Ada beberapa teknik dalam memberikan kompres dalam upaya menurunkan suhu tubuh antara lain kompres hangat basah, kompres hangat kering ( buli – buli ), kompres dingin basah, kompres air biasa, kompres dingin kering, bantal dan selimut listrik, lampu penyinaran, busur panas (Yohmi, 2009). Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam diperoleh data pada periode
Januari tahun 2013 sampai dengan Mei tahun 2015 sebanyak 150 yang mengalami demam tifoid. (Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. 2015). Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Perbandingan kompres hangat dan terapi air putih dalam penurunan suhu tubuh pada pasien tifoid di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Tujuan Penelitian Mengetahui perbandingan tindakan kompres hangat dan terapi air pitih dalam penurunan suhu tubuh pada pasien tifoid di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Mengidentifikasi rerataderajat suhu tubuh sebelum diberikan kompres hangat. a. Mengidentifikasi rerataderajat suhu tubuh sesudah diberikan kompres hangat dan air putih pada kelompok intervensi. b. Mengidentifikasi perbedaan rerataderajatsuhu tubuh sebelum dan sesudah diberikan kompres hangat. c. Mengidentifikasi perbedaan rerataderajatsuhu tubuh sebelum dan sesudah diberikan kompreshangat dan air putih pada kelompok intervensi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, karena metode ini sebagai metode ilmiah screntific karena telahmemenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit, objektif, terukur, rasional, dan sistematis. Data penelitian pada penelitian kuantitatif berupa angka-
4
angka dan analisis menggunakan statistic (Sugiono,2010). Penelitian ini adalah penelitian koomperatif yaitu penelitian untuk mengkaji perbandingan terhadap pengaruh subjek. Penelitian kooperatif dalam ilmu keperawatan sering digunakan pada penelitian klinis maupun komunitas (Nursalam,2010).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Analisis Univariate Tujuan analisis univariate ini adalah untuk menggambarkan distribusi frekuensi, mean, dan standar deviasi pada variabel karakteristik responden berdasarkan karakteristik umum responden (usia, jenis kelamin, dan suku bangsa) dan hasil pengukuran suhu tubuh pada kelompok kontrol dan intervensi. a. Usia dapat dilihat bahwa jumlah responden kelompok intervensi berdasarkan usia maka responden yang berusia 15-20 tahun sebanyak 4 orang (40 ), yang berusia 21–30 tahun sebanyak 3 orang (30 ) yang berusia 31-40 tahun sebanyak 3 orang (30 %). Sedangkan jumlah responden kelompok kontrol berdasarkan usia maka responden yang berusia 15-20 tahun sebanyak 4 orang (40 ), yang berusia 21–30 tahun sebanyak 4 orang (40 ) yang berusia 31-40 tahun sebanyak 2 orang (20 %). b. Jenis Kelamin Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah responden kelompok intervensi dan kelompok control berdasarkan jenis kelamin maka responden jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang (60 %) dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang (40 %).
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Waktu penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni sampai dengan September 2015. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah pasien tifoid yang dirawat di RSUD Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang berdasarkan data yang diperoleh dari medical record RSUD record Januari - April 2015 adalah berjumlah 150 orang. Sampel penelitian adalah anggota keluarga dengan pasien yang tinggal di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Metode Pengumpulan Data Data primer yang diperoleh langsung dari sekala suhu tubuh sebelum dan sesudah dilakukan tindakan kompres hangat dan terapi air putih dalam penurunan suhu tubuh pada pasien tifod di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari rekam medik RSUD Serdang Lubuk Pakam dengan mengambil data pasien demam tifoid yang dirawat inap pada tahun 2013 dan 2015.Data sekunder yang diperoleh pada ini adalah 150 orang yang terkena demam tifoid.
5
Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok kontrol adalah 1,10 (95% CI : 0,35-1,04), dengan standar deviasi (SD) 0,483. Pengukuran suhu terendah 1 dan tertinggi 2. Sedangkan rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok intervensi adalah 1,20 (95% CI : 0,35-1,04), dengan standar deviasi (SD) 0,516 Pengukuran suhu terendah 1 dan tertinggi 2. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rerata pengukuran suhu tubuh sebelum diberikan kompres hangat dan air putih adalah diantara 0,23 sampai dengan 0,96.
Distribusi Intensitas pengukuran suhu Sebelum Dilakukan Intervensi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Bulan Juni 2015 Kelomp ok
Mea n
SD
Kontrol
1,80
0,44 2
Interven si
1.80
0,44 2
Minimal Maksim al 1–2 1–2
P Valu e 0,12 0,87 0,35 1,04
Dari tabel. di atas diketahui bahwa rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok kontrol adalah 1,80 (95% CI : 0,12-0,87), dengan standar deviasi (SD) 0,442. Pengukuran suhu terendah tubuh 1 dan tertinggi 2. Sedangkan rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok intervensi adalah 1,80 (95% CI : 0,35-1,04), dengan standar deviasi (SD) 0,442 Pengukuran suhu terendah 1 dan tertinggi 2. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rerata pengukuran suhu tubuh sebelum diberikan kompres hangat dan air putih adalah diantara 0,23 sampai dengan 0,96. Distribusi Intensitas pengukuran suhu Sesudah Dilakukan Intervensi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Bulan Juni 2015 Kelomp ok
Mea n
SD
Kontrol
1,80
0,48 3
Interven si
1.80
0,31 6
Minimal Maksima l 1- 2
Analisis Bivariate Tujuan analisis bivariate ini adalah untuk menjelaskan atau mengetahui apakah ada pengaruh atau perbedaan yang signifikan antarasebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan intervensi. Analisis bivariate dilakukan setelah karakteristik masing-masing variabel diketahui. Perbedaan Rata-rata derajat pengukuran suhu Sebelum Dan Sesudah perlakuan Antara Kelompok Kontrol Dengan Kelompok Intervensi
P Valu e
Kelo mpok Kontr ol
0,12 0,87 0,35 1 - 1,04 2
Interv ensi
6
Pengu kuran suhu Sebel um Sesud ah Sebel um Sesud ah
Ni lai 10 10 10 10
M ea n 1,8 0 1,3 0 1,8 0 1,1 0
S D 0,4 42 0,1 53 0,4 22 0,3 16
P Va ule 0,0 1
0,0 0
Hasil analisis berdasarkan tabel menunjukan bahwa rata-rata penurunan suhu tubuh pada responden kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi adalah 1,80 dengan standar deviasi 0,442. Rata-rata penurunan suhu tubuh sesudah dilakukan intervensi menjadi 1,30 dengan standar deviasi 0,153. Berdasarkan hitungan matematis selisih penurunan rata-rata pengukuran nyeri sebelum dan sesudah intervensi 0,5. Dengan menggunakan uji statistik beda dua mean berpasangan (paired t test) diperoleh nilai P = 0,01 ( = 0,05), Hal ini menjelaskan bahwa rerata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok kontrol mengalami penurunan yang bermakna. Hasil analisis rerata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok intervensi sebelum dilakukan intervensi adalah 1,80 dengan standar deviasi 0,442. Rerata pengukuran suhu tubuh sesudah dilakukan intervensi menjadi 1,10 dengan standar deviasi 0,316. Berdasarkan hitungan matematis selisih penurunan rerata pengukuran nyeri sebelum dan sesudah intervensi 0,7. Dengan menggunakan uji statistik beda dua mean berpasangan (paired t test) diperoleh nilai P = 0,00 ( = 0,05), Hal ini menjelaskan bahwa rerata pengukuran nyeri pada responden kelompok intervensi mengalami penurunan yang bermakna.
tifoid di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Derajat Penurunan Suhu Tubuh Sebelum Dilakukan Perlakuan Pada Kelompok Kontrol Di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Dari hasil rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok kontrol adalah 1,80 dengan standar deviasi (SD) 0,442 Pengukuran nyeri terendah 1 dan tertinggi 2. Sedangkan rata-rata pengukuran suhu tubuh pada Derajat Penurunan Suhu Tubuh Sebelum Dilakukan Perlakuan Pada Kelompok Intervensi Di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Dari hasil rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok responden kelompok intervensi adalah 1,80 dengan standar deviasi (SD) 0,442. Pengukuran nyeri terendah 1 dan tertinggi 2. Tifoid menurut Smelzer (2010) adalah penyakit sitemik akut yang disebabkan infeksi salmonella thypi. Shemonella thypil adalah kuman gram negative yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan anaerob fakulaitif yang memfermentasikan glukosa dan mereproduksi nitrat menjadi nitrit. Derajat Penurunan Suhu Tubuh Sesudah Dilakukan Perlakuan Pada Kelompok Kontrol Di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Dari hasil rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok kontrol adalah 1,30, dengan standar deviasi (SD) 0,153. Pengukuran suhu terendah 1 dan tertinggi 2. Derajat Penurunan Suhu Tubuh Sesudah Dilakukan Perlakuan Pada Kelompok Intervensi Di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
Pembahasan Pada laporan ini akan diuraikan perbedaan kompres hangat dan terapi air putih dalam perawatan demam
7
Dari hasil rata-rata pengukuran suhu tubuh pada responden kelompok intervensi adalah 1,10, dengan standar deviasi (SD) 0,316. Pengukuran suhu terendah terendah 1 dan tertinggi 2. Air yang dikonsumsi adalah sesuai dengan kebutuhan tubuh adalah cara yang terbaik untuk membersihkan tubuh dari racun-racu. Air tubuh tersebut dalam bentuk darah dan cairan lain yang harus selalu dibersihkan. Jika lebih kental, maka jantung akan bekerja lebih keras untuk menyaring berbagai kotoran dan racun untuk keluar dari tubuh dan mendistribusikan nutrien kebagian tubuh lainnya. Pengaruh Pemberian Kompres Hangat Dan Terapi Air Putih Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Dari hasil penelitian didapatkan ratarata intensitas pengukuran suhu sebelum perlakuan (pre test) pada kelompok kontrol adalah 1,80. Sesudah perlakuan (post test) pada kelompok kontrol adalah 1,30. Sedangkan rata-rata intensitas pengukuran suhu sebelum perlakuan (pre test) pada kelompok intervensi adalah 1,80. Sesudah perlakuan (post test) pada kelompok intervensi adalah 1,10. Berbagai faktor dapat mempengaruhi intensitas nyeri diantaranya adalah usia seseorang. Pada tabel 4.1. didapatkan usia paling banyak adalah kategori 15-20 tahun yaitu sebanyak 4 orang (40 ). Toleransi terhadap demam akan terus meningkat sesuai dengan usia yang masih rendah. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin berkurang penyebab
demam merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependent sample t test/paired t test menunjukkan bahwa rerata pengukuran suhu sebelum pada kelompok kontrol = 1,80 ratarata pengukuran suhu sesudah pada kelompok kontrol = 1,30 dan selisih penurunan rata-rata pengukuran suhu sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol = 0,5. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara sebelum dan sesudah kompres panas. Maka hipotesa dalam penelitian ini diterima berarti ada pengaruh yang signifikan terhadap penurunan intensitas nyeri flebitis akibat pemasangan terapi intravena sebelum dan sesudah dilakukan kompres panas. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji independent sample t test/pooled t test menunjukkan bahwa rerata pengukuran suhu sebelum pada kelompok intervensi = 1,80. Ratarata pengukuran suhu sesudah pada kelompok intervensi = 1,10 dan selisih rerata pengukuran suhu sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi = 0,7. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan penurunan intensitas suhu antara kontrol dan intervensi dimana pemberian kompres hangat menyebabkan vasodilatasi sedangkan kompres hangat dan terapi air putih memberikan rangsangan dingin sementara. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori pada buku konsep dan proses keperawatan nyeri oleh Prasetyo, S.N (2010) yang menyatakan bahwa salah satu penanganan suhu tubuh
8
adalah dengan terapi non farmakologis yaitu stimulasi kutaneus, misalnya pemberian kompres panas. Efek panas menyebabkan pelebaran pembuluh darah, meningkatkan sirkulasi darah, dan oksigenasi jaringan sehingga dapat mencegah kekakuan otot, menghilangkan rasa nyeri, menenangkan dan relaksasi. Dalam melaksanakan penelitian terapi air putih ini, peneliti menyarankan agar mengonsumsi air putih hangat dan bukan yang dingin untuk mencegah terjadinya efek yang tidak diharapkan seperti perut kembung, mual, dan efek lainnya setelah mengonsumsi air putih dingin. Menurut Lumbanraja (2009), untuk menurunkan suhu tubuh yang paling tetap bagi penderita demam salah satu nya adalah dengan banyak minum air hangat selain ditambah dengan obat-obatan. Banyak minum air hangat akan mempercepat gula keluar melalui keringat, air akan lebih mudah diserap oleh lambung, dan merupakan sumber tenaga serta energi, sementara minum air es, akan merusak lambung, usus duabelas jari, empedu dan pancreas
2. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rata-rata derajat pengukuran suhu sebelum perlakuan (pre test) pada kelompok intervensi adalah 1,80 3. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rata-rata derajat pengukuran suhu Sesudah perlakuan (post test) pada kelompok kontrol adalah 1,30 4. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rata-rata derajat pengukuran suhu Sesudah perlakuan (post test) pada kelompok intervensi adalah 1,10. 5. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependent sample t test/paired t test menunjukkan bahwa rerata pengukuran suhu sebelum pada kelompokintervensi = 1,80. Rata-rata pengukuran suhu sesudah kelompok intervensi = 1,30 dan selisih penurunan rata-rata pengukuran suhu tubuh sebelum dan sesudah = 0,5. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi dengan signifikansi yaitu 0,01( = 0,05). Maka hipotesa dalam penelitian ini diterima yang berarti ada pengaruh yang signifikan terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien tifoid sebelum dan sesudah dilakukan kelompok intervensi. 6. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan pengaruh kompres hangat dan terapi air putih dalam perawatan pasien demam tifoid di RSUD deli serdanga lubuk pakam Tahun 2015: 1. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rata-rata derajat pengukuran suhu sebelum perlakuan (pre test) pada kelompok kontrol adalah 1,80
9
independen sample t test/pooled t test menunjukkan bahwa rata-rata sesudah pada kelompok intervensi = 1,80. Rata-rata sesudah pada kelompok kontrol = 1,10 dan selisih rata-rata pengukuran suhu tubuh sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi = 0,7 dengan nilai p = 0,00 ( = 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan penurunan intensitas penurunan suhu tubuh pada pasien tifoid antara kelompok intervensi dankelompok kontrol
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2008. Prosedur Penelitian . PT Rineka Cipta, Jakarta. Atun, 2010.Diabetes Melitus. Penerbit Kreasi Wacana, Bantul Aziz, Alimul, Hidayat. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Salemba Medika, Jakarta. Burn, 2009.Insulin resistance versus insulin deficisncy in non insulin dependent diabetes mellitus problem and prospect.http://www.detikhea lth.com. Diakses tanggal 15 Maret 2015.
Saran Melalui penelitian ini diharapkan pasien dapat menerapkan pemberian kompres hangat han terapi air putih apabila mengalami demam pada pasien tifoid. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu intervensi keperawatan non farmakologis dalam penanganan demam, mengingat cara ini lebih murah, mudah dilaksanakan dan tanpa efek samping dibanding caracara farmakologis. Diharapkan bagi peneliti untuk dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai pengetahuan dalam bidang keperawatan. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk menggali lebih dalam faktorfaktor yang mempengaruhi pemberian terapi ar putih pada pasien demam dengan populasi yang lebih besar dan tempat penelitian yang berbeda pula.
Ekowati, 2009.Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik (PSP) penderita diabetes mellitus mengenai pengelolaan diabetes mellitus dengan kendali kadar gula darah. Yogyakarta Charles, 2010.Panduan latihan kebugaran fisik ( yang efektif dan aman). Lukman Offset, Yogyakarta Ekowati, 2006.Pengaruh Terapi Relaksasi Terhadap Kontrol Glikemik Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Purwokerto: http://www.care.diabetesjour nal.Diakses tanggal 15 Maret 2015 Fitria,
10
2009.Diabetes. Venus, Yogyakarta
Penerbit
Hendra, 2011.Mengenal dan Merawat Diabetes. http://www.pikiranrakyat.com Diakses tanggal 15 Maret 2015 Husni,
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan Edisi 1. Graha Ilmu, Yogyakarta. Soegondo, 2012.Diabetes Mellitus Penyakit Kencing Manis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
2010.Pengaruh relaksasi terhadap penurunan gula darah pasien DM jenis NIDDM.Diakses tanggal 15 Maret 2015
Suyono, 2007.Modifikasi gaya hidup sehat cegah timbulnya penyakit DM .http://www.swaranet.com. Diakses tanggal 10 Februari 2015
Kemenkes RI, 2011. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pengobatan Penyakit DM Edisi ke-4. Jakarta. Diakses tanggal 15 Maret 2015
Tandra, 2008.Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta
Kuswandi, 2008.Asuhan keperawatan diabetes mellitus. http://www.diabetesmelitus.c om .Diakses pada tanggal 20 Februari 2015.
Tamsuri, Anas, 2007. Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri. EGC, Jakarta. Wiramihardja, 2010.Senam Kesehatan. Nuha Medica, Yogyakarta.
Notoatmodjo, S. 2007. Metode penelitian kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Wilson, 2006.Pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan gula darah pasien DM jenis NIDDM di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Kudus.STIKES Ngudi Waluyo, Semarang
Prasetyo, S. N. 2010. Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta Sastroasmoro, Sudigdo. 2011. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. CV. Sagung Seto, Jakarta.
11
HUBUNGAN TEKNIK DISTRAKSI RELAKSASI NAFAS DALAM DENGAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI APPENDIKTOMY DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DELI SERDANG LUBUK PAKAM Fredy Kalvind Tarigan, S.Kep, Ns, M.Kes Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Appendicitis was the obstruction of the appendix causes inflammation, ulceration and necrosis. Action against diseases of the appendix was to surgically take out the appendix, called appendictomy. Relaxation techniques patients can control themselves when there was discomfort or pain, physical and emotional stress on pain. Based on obtained from Deli Serdang Hospital Medical Record LubukPakam in January to December 2015, there were patients treated with appendiktomy much as 121 people. This study aims to determine the relationship distraction techniques relaxation breath in the intensity of pain in patients post-op appendectomy at the General Hospital of Deli SerdangLubukPakam2015. This type of research was pre experiment (pre-experiment) with a model of one group pretest posttest design. The population in this research was the entire postsurgery appendictomy and a sample of 10 people, engineering samples of the total sampling, methods of collected data by interviewing indirectly by used observation sheet. Results of statistical test by used test dependent sample t-test / paired t test showed that pvalue was 0.002 (p Value <0.05), which means there was a relationship distraction techniques relaxation breath in the intensity of pain in patients post-op appendectomy. For that was expected to nurses in order to implement relaxation techniques reduce pain intensity in patients post-op. menjadi makanan favorite bagi mereka, ada pula yang Latar Belakang Manusia mempunyai sifat yang mengkomsmsi secara berlebih,karena selalu ingin melakukan aktivitasnya secepat mungkin. Pola hidup yang dampak negatifnya salah satu seperti ini sangat mempengaruhi penyakit yang timbul adalah kesehatan masing-masing individu apendisitis (Ozawa, 2010). terutama dalam hal makanan. Apendisitis adalah obstruksi dari Kebanyakan orang mengkomsumsi usus buntu menyebabkan makanan cepat saji karena berbagai peradangan, ulserasi dan necrosis. macam kesibukan dan mencari Jika necrosis menyebabkan usus kepraktisan dalam mengkomsumsi buntu ruptur, maka isi usus mengalir makanan. Ada juga yang keruang peritoneal, selanjutnya mengkomsumsi makanan yang dapat mengakibatkan peritonitis. Penyakit menimbulkan permasalahan seperti usus buntu paling banyak ditemukan jambu biji, jengkol,dan cabai. pada pasien berusia 10-30 tahun. Mereka tidak peduli dengan dampak Bila terjadi pada usia lebih tua dari yang dihasilkan karena sudah
12
itu, maka kemungkinan bisa sangat serius (Gayle, 2007). Manisfestasi klinis dimulai dengan sakit perut yang tidak jelas penyebabnya dan timbulnyapun secara bergelombang dan serta biasanya dimulai didaerah epigastric/umbilical. Rasa sakit ini manjadi lebih intens lagi di titik Mc,Burney, yang terletak di pojok quadran bawah sebelah kanan. Pada pemeriksaan, nyeri tekan pada RLQ bisa ditandai sebagai nyeri tekan rebound, yang terjadi ketika perawat atau dokter melakukan pemeriksaaan (dengan tangan) RLQ kemudian melepaskan tekanan tangan. Biasanya juga timbul nausea, anorexia, muntah-muntah, dan penurunan suhu tubuh. Posisi paling nyaman bagi pasien adalah berbaring miring dengan lutut melipat. Bila sakitnya tiba-tiba hilang, berarti usus buntu pecah (Robin, 2007). Tindakan terhadap penyakit usus buntu adalah dengan jalan operasi mengambil usus buntu, yang disebut appendictomy. Operasi ini dilakukan jika kondisi peradangan bersifat lokal dan tidak terjadi ruptur (robek). Operasi abdomen yang lebih ekstensif(laparatomy abdominal) harus dilakukan jika usus buntu ternyata pecah. Pembentukan absess merupakan komplikasi serius usus buntu yang pecah (Charlene, 2007). Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan tegnologi. Tak luput juga kemajuan ilmu dibidang kesehatan dan semakin cangihnya tegnologi banyak pula ditemukan berbagai macam teori baru, bahkan penyakit baru dan termasuk bagaimana pengobatannya. Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan di bidang
kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Pemberian analgesik biasanya dilakukan untuk mengurangi nyeri non faramkologi dalam strategi penanggulangan nyeri, disamping metode TENS (Transcutaneons Electric Nerve Stimulation), biofeedack, placebo dan distraksi relaksasi. Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi mambuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosional pada nyeri (Potter & Perry, 2006). Menurut Carpenito (2007) kebutuhan rasa nyaman adalah suatu keadaan yang membuat seorang merasa nyaman, terlindungi dari ancaman psikologis bebas dari rasa sakit terutama nyeri. Perubahan rasa nyaman akan menimbulkan perasaan yang tidak enak atau tidak nyaman dalam berespon terhadap stimulus yang berbahaya. Respon fisik meliputi perubahaan keadaan umum, wajah, denyut nadi, pernafasan, suhu tubuh, sikap badan, dan apabila nafas smakin berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok, sedangkan respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat mengurangi system imun dalam peradangan, serta menghambat penyembuhan respon yang lebih parah akan mengarah pada ancaman merusak diri sendiri (Corwin, 2007). Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi. Manajemen nyeri dengan melakukan
13
teknik relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan pernafasan diafragma, tehnik relaksai progesif, guided imagery, dan meditasi. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa relaksasi nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri pascaoperasi (Brunner & Suddart, 2006). Berdasarkan penelitian organisasi kesehatan dunia atau sering disebut World HealthOrganization (WHO) menganalisa data nasional dari 32.782 pasien dengan appendisitis akut. Insiden appendiktomy akut lebih tinggi di negara maju dari negara berkembangan. Appendik akut yang menjalani appendiktomy antara 2011 dan 2012 sebanyak 75,2%. Sedangkan di Amerika Serikat terdapat 70.000 kasus kejadian appendiktomy setiap tahunya. Kejadian appendiktomi di Amerika Serikat memiliki insiden 12 kasus per 10.000 anak pertahunya antara kelahiran sampai anak tersebut berumur 4 tahun. Kejadian appendiktomy 1,1 kasus per 1000 orang pertahunya di Amerika Serikat (WHO, 2015). Berdasarkan data yang didapat menurut DEPKES RI, jumlah pasien yang menderita penyakit appendiktomi di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk di Indonesia. Appendiktomy merupakan penyakit urutan ke empat terbanyak di indonesia pada tahun 2008, jumlah pasien rawat inap karena penyakit appendiktomy pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada diurutan ke empat setelah dispepsia (34.029 pasien
rawat inap), gastritis dan dudenitis (333.035 pasien rawat inap). Pada rawat jalan, kasus appendiktomy menduduki urutan ke lima (Adam, 2008). Berdasarkan yang didapat dari Rekam Medik RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam untuk bulan Januari sampai Desember 2012 tercatat penderita yang di rawat dengan apendiktomy sebanyak 71 orang dengan rincian 26 pasien wanita dan 45 pasien pria. Sedangkan pada januari sampai desember 2015 , tercatat penderita yang di rawat dengan appendiktomy sebanyak 121 orang dengan rincian 58 pasien wanita dan 63 pasien pria. Pada bulan februari sampai mei 2015 tercatat jumlah pasien yang dirawat dengan appendiktomi sebanyak 36 orang. Hal ini membuktikan tingginya angka kesakitan dengan kasus appendiktomi. Penyebab appendisitis adalah kurangnya mengkomsumsi serat dan gaya hidup yang tidak sehat. Hingga tidak dapat dihindari, penyakit appendiktomy menjadi kasus tersering yang diderita oleh klien dengan nyeri abdomen akut. Dari jumlah ini, mayoritas mereka masih mengalami penderitaan nyeri pasca bedah karena pengelolaanya yang belum adekuat. Pengelolaan nyeri pasca bedah bukan saja merupakan upaya mengurangi penderitaan klien, tetapi juga meningkatkan kualitas hidupnya. Telah terbukti bahwa tanpa pengelolaan nyeri pasca bedah yang adekuat penderita akan mengalami gangguan fisiologi maupun psikologis yang pada gilirannya secera bermakna menigkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Salah satu
14
tindakan pengobatan nyeri tanpa obat untuk bisa membantu mengurangi nyeri setelah operasi adalah diberikan tehnik distraksi dengan cara teknik nafas dalam. Teknik distraksi dapat menurunkan prostalglandin dengan menghambat proses inflamasi (Akbar, 2009). Nyeri telah lama menjadi subjek yang sulit dimengerti. Namun pemahaman tentang nyeri saat ini telah mengalami revolusi. Awalnya pengertian nyeri hanya menitik beratkan pada sensasi yang disebabkan oleh adanya cedera atau penyakit. Saat ini telah berkembang dengan penjelasan mengenai proses yang lebih kompleks dan mengikutsertakan dimensi emosi dan kognitif selain sensorik. Sebagai dasar dari mekanisme nyeri adalah adanya jaras penghantar nyeri, yang bekerja menerima impuls dari perifer, serta menghantarkannya ke susunan saraf pusat sehingga dapat diterjemahkan sebagai sebuah persepsi yang sensasi yang tidak menyenangkan atau mengancam. Proses ini menyangkut empat kejadian yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi, yang melibatkan berbagai macam struktural baik saraf sensoris perifer, medula spinalis serta struktur yang lebih tinggi di batang otak dan korteks. Proses yang kompleks ini melibatkan berbagai mediator kimia dan reseptornya. Demikian pula dengan proses blokade nyeri yang berkaitan dengan usaha mengontrol atau mereduksi nyeri. Blokade ini dapat terjadi pada setiap tingkatan proses dari mekanisme terjadinya nyeri, baik di perifer, tingkat spinal ataupun supraspinal. Blokade nyeri ini dapat merupakan hasil dari
intervensi secara farmakologis ataupun non-farmakologis. Sebagai dokter anestesiologi, nyeri adalah hal yang dihadapi dalam praktek sehari-hari, terutama nyeri akut akibat pembedahan. Karena itu pemahaman yang baik mengenai patofisiologi dan juga blokade nyeri menjadi suatu keharusan sebagai bekal penanganan nyeri (Akbar, 2009). Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh teknik distraksi relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post op appendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini apakah ada hubungan menggunakan teknik distraksi relaksasi terhadap intensitas nyeri pada pasien post op appendiktomi di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Tahun 2015. Tujuan Peneliti Untuk mengetahui hubungan teknik distraksi relaksasi nafas dalam dengan intensitas nyeri pada pasien post-op appendiktomi di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri sebelum dilakukan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Post-Op Appendiktomy di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Untuk mengidentifikasi intensitas nyeri setelah dilakukan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Post-Op Appendiktomy
15
di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015.
Pasien Post-Op apendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah pre eksperimen (pra experiment) dengan model rancangan one group pretest postest (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan distraksi relaksasi nafas dalam dengan intensitas nyeri pada pasien post-op appendiktomi di RSUD Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015.
Distribusi Frekuensi Dan Persentase Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Tehnik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Post-Op apendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Nyeri Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Terkontrol Nyeri Berat tak Terkontrol Total
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s/d September 2015.
% 20,0 80,0 -
10
100,0
Tabel di atas menunjukkan bahwa intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam yaitu responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 2 orang (20,0%) dan responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 8 orang (80,0%). Intensitas Nyeri Sesudah Dilakukan Tehnik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Post-Op apendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita penyakit post op apendiktomi yang dirawat di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dalam hal ini diketahui jumlah populasi pada bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2015 adalah sebanyak 26 orang. Sampel dalam penelitian ini menggunakan metode Total sampling dimana sluruh jumlah populasi yang telah ditetapkan dalam penelitian ini sluruhnya akan dijadikan sample. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
N 2 8 -
Distribusi Frekuensi Dan Persentase Intensitas Nyeri Sesudah Dilakukan Tehnik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Post-Op apendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
DAN
Hasil Penelitian Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Tehnik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Pada
Intensitas Nyeri
16
Frekuensi
Persent
Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Terkontrol Nyeri Berat tak Terkontrol Total
(f) 3 6 1 -
ase (%) 30,0 60,0 10,0 -
dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam.
-
-
10
100,0
Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Tehnik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Post-Op apendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
PEMBAHASAN
Tabel diatas dapat dilihat bahwa intensitas nyeri sesudah dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam yaitu responden yang tidak mengalami nyeri sebanyak 3 orang (30,0%), responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 6 orang (60,0%) dan responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 1 orang (10,0%).
Kenyamanan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh setiap orang bagaimanapun keadannya, begitu juga dengan pasien pasca operasi. Semua pasien pasca operasi akan mengalami nyeri setelah efek anestesi hilang. Nyeri pasca operasi akan berdampak pada aktifitas sehari-hari dan istirahat serta tidurnya sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu menajemen farmakologis dan manajemen non farmakologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam yaitu responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 2 orang (20,0%) dan responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 8 orang (80,0%) Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya,setiap orang mempunyai rangsangan nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yangsama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur,
Tabulasi Hasil Bivariat Tabel Jumlah Sampel, Mean, Standar Deviasi, pValue Nyer i
Pre test Postt est
N
10
Ratarata
3,250
Paired Test Standar 95% Deviasi Confidence Interval Upper Low er 1,616
2,769
3,71 4
p V a l u e 0 , 0 0 2
Dari tabel diketahui bahwa rerata nyeri 3,250 dengan standar deviasi (SD) 1,616. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rerata nyeri sebelum dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam 8,82 dan sesudah diberikan teknik distraksi relaksasi nafas dalam adalah 5,52. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,002 (α=0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara nyeri sebelum dan sesudah
17
sosial budaya, statusemosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien (Lismidar, 2007). Menurut Potter & Perry (2008) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat. Menurut Gillis (2009) laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri, sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat menahannyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri,kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan,
alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Alimul, 2008). Intensitas Nyeri Sesudah Dilakukan Tehnik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Post-Op apendiktomi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Intensitas nyeri sesudah dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam yaitu responden yang tidak mengalami nyeri sebanyak 3 orang (30,0%), responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 6 orang (60,0%) dan responden yang mengalami nyeri sedang sebanyak 1 orang (10,0%). Menurut Carpenito (2000) kebutuhan rasa nyaman adalah suatu keadaan yang membuat seseorang merasanyaman, terlindungi dari ancaman psikologis, bebas dari rasa sakit terutamanyeri. Perubahan rasa nyaman akan menimbulkan perasaan yang tidak enakatau tidak nyaman dalam berespon terhadapstimulus yang berbahaya.Rasa nyeri merupakan stresor yang dapat menimbulkan stress danketegangan dimana individu dapat berespon secara biologis dan perilaku yangmenimbulkan respon fisik dan psikis. Respon fisik meliputi perubahan keadaanumum, wajah, denyut nadi, pernafasan, suhu badan, sikap badan, dan apabilanafas makin berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok,sedangkan respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress yangdapat mengurangi sistem imun dalam peradangan, serta menghambatpenyembuhan respon yang lebih parah akan mengarah
18
pada ancaman merusak diri sendiri (Corwin, 2006). Teknik relaksasi merupakan teknik pereda nyeri yang banyak memberikan masukkan terbesar karena teknik relaksasi dapat mencegah kesalahan yang berlebihan pasca operasi. Adapaun relaksasi dapat mempertahankan komponen sistem saraf otonom (SSO) dalam keadaan homeostasis sehingga tidak terjadi peningkatan suplai darah, mengurangi kecemasan dan ketakutan dan dapat beradaptasi dengan nyeri selama proses perawatan (Rosemary M, 2006).
skeletal dalam nyeri pasca-operatif atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Jacobson dan Wolpe menunjukkan bahwa relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan. Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri stress fisik dan emosi pada nyeri (Potter, 2008).
Hubungan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Dengan Intensitas Nyeri Pada Pasien PostOp Appendiktomi Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependen sample ttest/paired t test menunjukan bahwa rerata nyeri 3,250 dengan standar deviasi (SD) 1,616. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rerata nyeri sebelum dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam 8,82 dan sesudah diberikan teknik distraksi relaksasi nafas dalam adalah 5,52. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,002 (α=0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik distraksi relaksasi nafas dalam. Beberapa penelitian, telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pascaoperasi. Ini mungkin karena relatif kecilnya peran otot-otot
Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistic dan pembahasan tersebut diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa Hubungan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Dengan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post-Op Appendiktomi Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015: 1. Intensitas Nyeri Pada Pasien Post-Op Appendiktomi sebelum dilakukan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam yaitu mayoritas nyeri sedang sebanyak 8 orang (80,0%). 2. Intensitas Nyeri Pada Pasien Post-Op Appendiktomi sesudah dilakukan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam yaitu mayoritas yang mengalami nyeri ringan sebanyak 6 orang (60,0%).
19
3. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependen sample t-test/paired t test menunjukan bahwa pValue yaitu 0.002 (p Value < dari 0.05) yang berarti ada Hubungan Teknik Distraksi Relaksasi Nafas Dalam Dengan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post-Op Appendiktomi Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015.
Carpenito, Lynda Juall. 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi : 8. EGC. Jakarta. Charlene, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Salemba Medika. Doenges, Marilyn E. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC. Engram, Barbara. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. EGC. Jakarta. Hendra. 2007. Kamus Kedokteran. Jakarta : Penerbit Djambatan. Hidayat. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. Kusyati, Eni. 2006. Keterampilan Dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. __________. 2012. Keterampilan Dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Lismidar. 2007. Proses Keperawatan. Universitas Indonesia. Jakarta. Marilyn. 2011. Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta : Penerbit Erlangga. McCloskey, dkk. 2009. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi kedua Jakarta: PT. Gramedia Utama. Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit Rineka cipta. Nursalam. 2008. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta :
Saran Agar dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memberikan asuhan keperawatan terutama dalam memperhatikan cara penanganan nyeri non farmakologis Agar dapat menerapkan pelaksanaan teknik relaksasi terutana yang mengalami masalah nyeri. Diharapkan agar dapat menerapkan teknik relaksasi apabila terjadi nyeri sehingga dapat menjadikan pasien mandiri. Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya dapat lebih mengembangkan bahan masalah peneliti tentang faktor mengatasi nyeri. DAFTAR PUSTAKA Ali. 2012. Dasar-Dasar Keperawatn. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Alimul, Aziz. 2007. Metode Penelitian Keperawatan Dan teknik Analisis Data. Jakarta : Penerbit Salemba Medika. Astawan. 2009. Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan.
20
Infomedia __________. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Potter, P.A, Perry A.G. 2008. Buku Ajar Fundamental keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC. Price, dkk. 2009. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku 2. Edisi 4. Jakarta : EGC. Riwidikdo. 2008. Statistik Kesehatan : Belajar Mudah Teknik Analisa Data Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press. Sarwono, Jonathan. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. Setiadi. 2009. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu Smeltzer, S. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2.Edisi 8. Jakarta : EGC
21
PENGARUH PERAWATAN INFUS TERHADAP KEJADIAN FLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP YANG TERPASANG INFUSDI RUANG MELUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) DELI SERDANG LUBUK PAKAM NI NYOMAN AYU TAMALA HARDIS, S.Kep, Ns, M.Kes Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Plebitis represent inflammation of vena which because of chemical iritasi and also mechanic. This matter was shown with existence of red area, pain in bone and of in pricked area or as long as vena. Incident of Plebitis mount as accorded to the duration installation of intravenous band. Dilution complication or drug which was (especially pH), size measure and place of kanula entered. Installation of band of IV inappropriate, and entry of mikroorganisme at the time of pricking. This research aim to to know influence of treatment of infus to occurence of phlebitis at patient take care of to lodge which was attached by infus in Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Year 2015. This research was quantitative research with design eksperimental quasy. This research take place from year 2011. Pursuant to result of statistical test by used test of t-test showed that pValue that was 0.001 meaning pValue from 0,05. Hence was ha accepted meaning there was there was influence of treatment of infus to occurence of phlebitis at patient take care of to lodge which was attached by infus. Suggested to all nurse so that payed attention treatment of infus in order not to happened phlebitis. Infeksi yang didapat di rumah sakit atau disebut juga dengan infeksi nosokomial merupakan penyebab yang cukup bermakna terhadap angka morbiditas dan mortalitas.Terjadinya penyebaran nosokomial disebabkan adanya interaksi diantara ketiga pokok di rumah sakit yaitu host, agent, dan environment sehingga prinsip pencegahannya adalah dengan memutuskan mata rantai interaksi (tranmisi) ketiga elemen tersebut, karena untuk mengontrol ketiganya cukup sulit, maka sasaran yang paling mudah adalah dengan cara mengontrol tranmisi, misalnya dengan meningkatkan pengetahuan personil rumah sakit tentang infeksi nosokomial, bagi penderita yang
Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia khususnya keperawatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan merupakan masalah yang sangat penting untuk dikaji dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.Kinerja tenaga kesehatan yang baik merupakan jembatan dalam menjawab jaminan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan terhadap pasien baik yang sakit maupun sehat.Kunci utama dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah perawat yang kompeten sesuai dengan bidangnya (Cahyono, 2008).
22
dirawat, melakukan semua prosedur kerja dengan benar dan sempurna baik perawatan, tindakan serta penggunaan atau pemilihan alat yang baik juga merupakan cara untuk mencegah infeksi nosokomial. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka akan berresiko lebih besar untuk terjadi infeksi nosokomial oleh karena tindakan keperawatan (Hadi, 2007). Salah satu bentuk infeksi nosokomial adalah infeksi melalui jarum infus (flebitis).Flebitis merupakan infeksi yang berkaitan dengan pemakaian kateter vena perifer.Terapi intra vena digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. System terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dapat dilakukan secara kontinu dan penderitapun merasa lebih nyaman jika dibandingkan dengan cara lainnya. Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infuse, salah satunya adalah phlebitis (Millam, 2008). Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik.Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena.Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan
tempat kanula dimasukkan.Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Seno, 2010). Angka kejadian flebitis di Negara Eropa dan Amerika Serikat terendah yaitu 1% dan di Negara Asia hingga 40%. Pada tahun 2007, suatu prevalensi meliputi 55 rumah sakit di 14 negara berkembang pada empat wilayah World Health Oreganization (WHO) yaitu Eropa, Mediterenia Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat) menemukan 8,7% dari seluruh pasien di rumah sakit menderita phlebitis. Jadi setiap 1,4 juta pasien di seluruh dunia terkena komplikasi infeksi di rumah sakit (Waluyo, 2008). Angka kejadian flebitis di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang prevalensi flebitis pada pasien yang mendapat terapi intravena, angka standar flebitis yang direkomendasikan oleh INS (Infusion Nurses Society) adalah 5%. Penelitian yang dilakukan oleh Masiyati (2010) didapatkan angka kejadian flebitis paling besar dalam waktu pemasangan infus 96-120 jam sebesar 60%. Penelitian Pujasari (2012) di RSCM Jakarta tepatnya di ruang rawat inap penyakit dalam, ditemukan 11 kasus flebitis dari 109 pasien yang mendapat cairan intravena, dengan rata-rata kejadian 2 hari setelah pemasangan dan area pemasangan di vena metacarpal. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fitria (2012), angka kejadian flebitis di RSU Mokopido Tolitoli pada tahun 2012 mencapai 42,4%. Angka kejadian infeksi melalui jarum infus di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dilaporkan
24
terdapat 53,8% penderita yang mengalami flebitis akibat pemasangan infus ketika dirawat di rumah sakit (Widiyanto, 2006).Kejadian flebitis di RSUP. Dr. Sardjito Jogjakarta mencapai 27,19 %, Sedangkan di RSUD Purworejo ditemukan kasus flebitis sebanyak 18,8% kasus (Saryati, 2006).Angka kejadian flebitis di RSUD Bayudono Kabupaten Boyolali dilaporkan bahwa terdapat 62,3% pasien yang mengalami flebitis akibat pemasangan infus (Bayu, 2009). Meskipun setiap ruangan mempunyai protap cara pemasangan dan perawatan infus, namun dalam pelaksanaannya perawatan infus seperti memeriksa tempat penusukan setiap hari, mengganti balutan pada pasien yang terpasang infus, dan lain-lain, dalam kenyataannya masih ada yang tidak melakukannya. perawatan infus merupakan tindakan yang tepat untuk mencegah terjadinya flebitis. Pencegahan flebitis tidak hanya berfokus pada saat pemasangan infus saja, akan tetapi sesudah pemasangan infus harus di lindungi sepenuhnya dari terjadinya komplikasi. Mencegah dan minimalkan efek dari terapi intravena terutama terjadinya flebitis maka perawatan infus harus di upayakan secara optimal.Perawat yang memperhatikan prinsip aseptik, dapat mengurangi kejadian flebitis (Brunner, 2008). Informasi yang didapat penulis dari bagian Pusat Pengendalian Infeksi (PPI) berdasarkan pelaporan infeksi nosokomial di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012, angka kejadian flebitis di RSUP Haji Adam Malik Medan adalah sebanyak 146 pasien terjadi flebitis dari 38.803
pasien. Penelitian Pasaribu (2013), angka kejadian flebitis di Rumah Sakit Haji Medan didapatkan 52 orang (52%) mengalami flebitis dari 100 orang sampel yang diteliti. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang di kota Lubuk Pakam sebagai tempat rujukan di daerah, berfungsi menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti mendapatkan data dari rekam medik bahwa jumlah pasien yang mendapatkan terapi intravena di ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang pada tahun 2013 sebanyak 847 orang dan yang mengalami flebitis sebanyak 6,2% sedangkan pada periode Januari-Juni 2015, dari keseluruhan pasien yang dilakukan pemasangan infus berjumlah 283 orang, 51 orang (18,07%) diantaranya mengalami flebitis. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat kejadian flebitis dijumpai pada pasien yang dilakukan pemasangan infus.Hal ini menunjukkan presentase pasien yang mengalami infeksi lokal yakni flebitis masih cukup besar, oleh karena masih di atas standard yang direkomendasikan oleh INS (Intravenous Nurses Society) yaitu 5%. Dampak yang terjadi dari infeksi yang diakibatkan pemasangan infus adalah flebitis, padahal flebitis dapat dicegah dengan salah satunya melakukan pemasangan infus sesuai dengan Standar Operating Procedure (SOP) dan pelaksanaan perawatan infus.Berdasarkan data di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
25
pengaruh perawatan infus terhadap kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus di Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015.
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang terpasang infus di Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang pada periode Januari-Juni 2015, dari keseluruhan pasien yang dilakukan pemasangan infus berjumlah 283 orang. Semua pasien yang terpasang infus pada bulan Juli di Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah ada pengaruh perawatan infus terhadap kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus di Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015. Untuk mengetahui kejadian flebitis sebelum dilakukan perawatan infusdi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015. Untuk mengetahui kejadian flebitis sesudah dilakukan perawatan infusdi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015.
Metode Pengukuran Data Pada penelitian ini menggunakan lembar kuesioner pada perawaatn infus dan lembar observsasi pada kejadian flebitis. 1. Perawatan Infus Tindakan pelaksanaan perawatan infus pada pasien yang terpasang infus dengan menggunakan SOP. Perawataninfus dilakukan dalam 1 hari selama 3 hari.
METODE PENELITIAN
2. Kejadian flebitis Untuk mengetahui kejadian flebitis maka megunakan lembar observasi yang berpedoman pada skor visual flebitis yaitu: a. Tidak ada tanda phlebitis (tempat suntikan tampak sehat) = 0 b. Tanda dini phlebitis (apabila salah satu dari tanda berikut yaitu nyeri pada tempat suntikan, eritema pada suntikan) = 1 c. Phlebitis dini (dua dari tanda berikut jelas yaitu nyeri pada tempat suntikan, eritema pada suntikan dan pembengkakan) = 2 d. Moderat phlebitis (semua dari tanda berikut jelas nyeri pada tempat suntikan, eritema pada suntikan, indurasi) = 3 e. Awal tromboplebitis (semua dari tanda berikut jelas yaitu nyeri
Jenis penelitian ini adalah penelitian quasy eksperimental design (eksperimen semu). Desain penelitian ini adalah one group pre and post test design yaitu penelitian yang menggunakan satu kelompok subjek, pengukuran dilakukan sebelum dan setelah perlakuan (saryono, 2008). Yaitu melihat perbedaan kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus sebelum dan sesudah diberikan perawatan infus. Lokasi penelitan di laksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang. Waktu penelitian di mulai Juli – September 2015.
26
pada tempat suntikan, eritema pada suntikan, indurasi, venous cord teraba) = 4 f. Tromboplebitis (semua dari beikut jelas yaitu nyeri pada tempat suntikan, eritema pada suntikan, indurasi, venous cord teraba, demam) = 5 HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
Flebitis Sesudah Dilakukan Perawatan InfusDi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015
3,40
2,19
Pengaruh perawatan infus terhadap kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015.
Tabel Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kejadian Flebitis Sebelum Dilakukan Perawatan InfusDi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015
Sebelum
Sesudah
Standar Deviasi (SD) 0,452
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden rata-rata responden yang mengalami kejadian plebitis yaitu 2,19dengan standar deviasi 0,452.
Kejadian Flebitis Sebelum Dilakukan Perawatan InfusDi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015
Mean
Mean
DAN
Hasil Penelitian
Kejadian Flebitis
Kejadian Flebitis
Tabel Jumlah Sampel, Mean, Standar Deviasi, pValue Kejad ian Flebit is
Standar Deviasi (SD) 0,535
Pre test Postte st
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden rata-rata responden yang mengalami kejadian plebitis yaitu 3,40dengan standar deviasi 0,535.
N
Rat arat a
2 1
1,3 3
Paired Test Stan 95% dar Confidence Devi Interval asi Upp Lo er wer 0,51 3
1,6 29
1,03 8
pVal ue
0,00 9
Dari tabel diketahui bahwa rerata kejadian flebitis 1,33 dengan standar deviasi (SD) 0,513. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini nilai tertinggi rata-ratakejadian flebitis sebelum dilakukan perawatan infus 1,629 dan sesudah diberikan perawatan infus adalah 1,038. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,009 (α=0,05) maka dapat disimpulkan hipotesa dalam penelitian diterima yaitu
Kejadian Flebitis Sesudah Dilakukan Perawatan InfusDi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kejadian
27
bahwa ada pengaruh perawatan infus terhadap kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015.
angkakejadian infeksi melalui jarum infus dilaporkan terdapat 53,8% penderita yang mengalami plebitis akibat pemasangan infuse ketika dirawat di rumah sakit (Widiyanto, 2006). Kejadian Flebitis Sesudah Dilakukan Perawatan InfusDi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015
PEMBAHASAN Kejadian Flebitis Sebelum Dilakukan Perawatan InfusDi Ruang Melur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015
Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik.Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Seno, 2010). Berdasarkan analisa dan iterpretasi data yang didapat bahwa responden rata-rata responden yang mengalami kejadian plebitis yaitu 2,19dengan standar deviasi 0,452. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa salah satu cara mencegah terjadinya flebitis adalah dengan melakukan tindakan pemasangan infus sesuai dengan prosedur dan menjaga kebersihan saat akan melakukan pemasangan infus. Menurut teori bahwa Flebitis adalah suatu peradangan pada pembuluh darah (vena) yang dapat terjadi karena adanya injury misalnya oleh faktor (trauma) mekanik dan faktor
Pada kondisi tertentu, pemberian cairan intra vena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh.Langkah ini efektif untuk memenuhi kebutuhan cairan eksternal secara langsung. Secara umum, tujuan terapi intra vena adalah untuk memenuhi kebutuhan cairan pada klien yang tidak mampu mengkonsumsi cairan oral secara adekuat, menambah asupan elektrolit untuk menjaga kesimbangan elektrolit, menyediakan glukosa untuk kebutuhan energi dalam proses metabolisme, memenuhi kebutuhan vitamin larut air, serta menjadi media untuk pemberian obat melalui vena (Chayatin, 2007). Berdasarkan analisa dan iterpretasi data yang didapat bahwa responden rata-rata responden yang mengalami kejadian plebitis yaitu 3,40dengan standar deviasi 0,535. Dari hasil penelitian dapat diasumsikan bahwa flebitis dapat terjadi karena infeksi silang yang terjadi selama infus terpasang, untuk meminalkan kejadian flebitis maka perlu dilakukan tindakan yang dapat mencegah terjadinya flebitis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Manungkusumo bahwa
28
kimiawi, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada endothelium dinding pembuluh darah khususnya vena.Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan.Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya, ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme saat penusukan).
akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infuse, salah satunya adalah phlebitis (Millam, 2008). Berdasarakan analisa dan iterpretasi data yang didapat bahwa rerata kejadian flebitis 1,33 dengan standar deviasi (SD) 0,513. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini nilai tertinggi rata-ratakejadian flebitis sebelum dilakukan perawatan infus 1,629 dan sesudah diberikan perawatan infus adalah 1,038. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,009 (α=0,05) maka dapat disimpulkan hipotesa dalam penelitian diterima yaitu bahwa ada pengaruh perawatan infus terhadap kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015. Meskipun setiap ruangan mempunyai protap cara pemasangan dan perawatan infus, namun dalam pelaksanaannya perawatan infus seperti memeriksa tempat penusukan setiap hari, mengganti balutan pada pasien yang terpasang infus, dan lain-lain, dalam kenyataannya masih ada yang tidak melakukannya. perawatan infus merupakan tindakan yang tepat untuk mencegah terjadinya flebitis. Pencegahan flebitis tidak hanya berfokus pada saat pemasangan infus saja, akan tetapi sesudah pemasangan infus harus di lindungi sepenuhnya dari terjadinya komplikasi. Mencegah dan minimalkan efek dari terapi intravena terutama terjadinya flebitis maka perawatan infus harus di upayakan secara optimal.Perawat yang memperhatikan prinsip aseptik, dapat mengurangi kejadian flebitis (Brunner, 2008).
Pengaruh perawatan infus terhadap kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Tahun 2015 Salah satu bentuk infeksi nosokomial adalah infeksi melalui jarum infus (plebitis).Plebitis merupakan infeksi yang berkaitan dengan pemakaian kateter vena perifer.Terapi intra vena digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. System terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dapat dilakukan secara kontinu dan penderitapun merasa lebih nyaman jika dibandingkan dengan cara lainnya. Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya
29
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistic dan pembahasan tersebut diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh perawatan infus terhadap kejadian flebitis pada pasien rawat inap yang terpasang infus nilai p= 0,009 (α=0,05). Agar dapat menerapkan asuhan keperawatan terutama dalam memperhatikan faktor penyebab plebitis sehingga dapat menurunkan kejadian plebitis di rumah sakit. Agar dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memberikan asuhan keperawatan terutama dalam memperhatikan penyebab plebitis. Agar dapat memperhatikan lama pemasangan infus agar dapat mencegah terjadinya plebitis. Agar dapat meningkatkan mutu pelayanan pada pasien dalam pencegahan phlebitis di rumah sakit. Diharapkan dapat memperhatikan faktor lainnya yang menjadi penyebab kejadian phlebitis pada pasien yang dirawat dirumah sakit.
30
PERBEDAAN TEKANAN DARAH SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN LATIHAN SLOW DEEP BREATHING (NAFAS DALAM) PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER DI RUMAH SAKIT UMUM SULTAN SULAIMAN SEI RAMPAH AGUSTINA SIMAMORA, S.Kep, Ns, M.Kep ABSTRACT Hypertension was often called a silent disease because patients generally do not know the disease of hypertension, before his blood pressure checked. In the nonpharmacological therapy offered various strategies for lowering blood pressure as slow deep breathing exercises (deep breath). Based on a preliminary survey that researchers do at Regional General Hospital (Hospital) Deli Serdang found that the number of people with hypertension in the year 2013 as many as 435, while from January to May 2015 the number of people with diabetes mellitus are as much as 97 people. This type of research was pre experiment (pre-experiment) with a model of one group pretest posttest design. This study aims to determine differences in blood pressure before and after a slow deep breathed exercises (deep breath) in patients with primary hypertension in General Hospital (Hospital) Deli SerdangLubukPakam 2015. The population in this research are all patients with hypertension and sample 10 people, engineering samples of the total sampling, methods of collected data by interviewing indirectly by used observation sheet, data analysis used Paired Sample t-test then there was a difference in blood pressure before and after a slow deep breathed exercises (deep breath) at patients with primary hypertension. Based on test results obtained statistical p-value ≤ 0.05 was p = 0.019. For it was expected that health workers in order to apply the Slow Deep Breathing (Breath In) as one of the activities carried out mainly in patients with hypertension that can lower blood pressure. Latar Belakang Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari.Ditengah menjamurnya makanan siap saji yang banyak mengandung lemak dan meningkatnya taraf hidup masyarakat perkotaan membawa perubahan pola hidup individu. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan pola penyakit terutama
penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup seseorang. Salah satu penyakit tersebut adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi yang merupakan penyakit kardiovaskuler (Efendi, 2010). Menurut data WHO (World HealthOrganization) setiap tahunnya di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun
31
2025 dari 972 juta orang mengidap hipertensi 333 juta di Negara maju termasuk Indonesia. Menurut beberapa penelitian menunjukan bahwa orang-orang Afrika-Amerika memiliki penderita hipertensi yang jumlahnya kira-kira 1/3 lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih. Menurut data sekitar 1/3 orang kulit hitam berusia antara18-49 tahun dan 2/3 yang berusia diatas 50 menderita hipertensi. Pada tahun 2010 penduduk usia lanjut diseluruh dunia di perkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8% menderita hipertensi yang disebabkan oleh gaya hidup yang salah.Gaya hidup yang sering mengakibatkan terjadinya hipertensi adalah mengkonsumsi makanan cepat saji, merokok, minum alkohol (Muhammadun, 2010). Sekitar 50 juta (21,7%) orang dewasa Amerika yang menderita hipertensi, Thailand 17%, Vietnam 34,6%, Singapura 24,9%, Malaysia 29,9%. Dan menurut perkiraan, sekitar 30% pendko3j5quduk dunia tidak terdiagnosa adanya hipertensi. Hal ini disebabkan tidak adanya gejala atau gejala ringan bagi mereka yang menderita hipertensi.Sebagian besar penyebab dari hipertensi (95%) tidak diketahui dan disebut hipertensi kronis atau hipertensi esensial. Hanya sebagian kecil (5%) penderita hipertensi yang diketahui penyebabnya, yaitu akibat penyakit lain di tubuh diantaranya koartasio aorta,kelainan ginjal, dan lainnya (Edial, 2010). Di Amerika Serikat, orang meninggal setiap 2 menit karena tekanan darah tinggi dan komplikasinya. Pola makan yang salah sangat berpengaruh terhadap penyakit ini. Saat ini terjadi
perubahan gaya hidup masyarakat, khususnya berkaitan dengan konsumsi makanan, segala penyakit yang dialami seseorang terkait erat dengan pola hidupnya, gaya hiduplah yang menjadi faktor utama penyebab hipertensi(Arief, 2010). Hipertensi menduduki peringkat ke 3 di Indonesia dengan besar kunjungan 413.355 kasus, dari 10 pola penyakit terbanyak pada rawat jalan di Rumah Sakit di Indonesia (Depkes, 2010). Prevalensi hipertensi berkisar antara 0,65%-28,6%, angka tertinggi di Sukabumi sebesar 28,6% dan terendah di Lembah Baliem Papua 0,65%. Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan(Muhamad, 2011). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2009, prevalensi hipertensi yang disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat adalah 89.3% (pengkuran standart WHO yaitu pada batas tekanan darah normal 160/90 mmHg). Pada tahun 2010 prevalensi penderita hipertensi karena gaya hidup yang tidak sehat mencapai 92,1% (pengukuran standart Depkes yaitu pada batas tekanan darah normal 150 / 80 mmHg) (Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), 2010). Kasus hipertensi di wilayah Indonesia nampaknya bakal terus menunjukan grafik menanjak, pasalnya tingkat kegemukan (obesitas) orang Indonesia semakin besar. Lima provinsi dengan tingkat kegemukan tertinggi adalah, Kalimantan Timur, Maluku Utara, Gorontalo, DKI `Jakarta, Sulawesi Utara. Secara Nasional, prevalensi obesitas umumnya pada laki-laki
33
adalah 13,9 % atau jauh lebih rendah dibanding rata-rata wanita yang mencapai 23,8 % (Anna, 2011). Pada umumnya orang yang menyukai makanan asin dan gurih, terutama makanan-makanan cepat saji yang banyak mengandung lemak jenuh serta garam dengan kadar tinggi. Mereka yang senang makanmakanan asin dan gurih berpeluang besar terkena hipertensi. Kandungan Na (Natrium) dalam garam yang berlebihan dapat menahan air (retensi) sehingga meningkatkan jumlah volume darah. Akibatnya jantung harus bekerja keras memompa darah dan tekanan darah menjadi naik. Selain itu pola gaya hidup seseorang, mempunyai peranan yang sangat penting dalam terjadinya penyakit hipertensi. Faktor ketidakseimbangan makanan, baik kualitas maupun kuantitasnya akibat gaya hidup seseorang merupakan faktor terjadinya resiko penyakit degeneratif termasuk hipertensi. Perilaku demikian dapat berakibat terjadinya penumpukan lemak tubuh yang merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi (Nurochmah, 2001). Hipertensi sering disebut sebagai silent disease karena pada umumnya pasien tidak mengetahui terkena penyakit hipertensi, sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder.Hipertensi juga di kenal sebagai heterogeneous
group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial ekonomi (Andarmoyo, 2012). Hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat (public health problem) dan akan menjadi masalah bila tidak di tanggulangi sejak dini. Penatalaksanaan pada hipertensi meliputi terapi non farmakologi dan farmakologi.Pengobatan hipertensi untuk saat ini sangat mahal tidak semua kalangan mampu berobat ke rumah sakit (Depkes, 2007). Pengobatan alami bagi hipertensi adalah olahraga, terapi yoga, isrirahat dan masih banyak pengobatan yang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi penurunan tekanan darah pasien setelah melakukan latihan slow deep breathing di RSUD, Deli Serdang Lubuk Pakam 2015. Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem syaraf simpatis dan parasimpatis. Terapi relaksasi progresif terbukti efektif dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi (Beavers, 2008). Hipertensi kadang tidak di sadari oleh penderita, sebelum memeriksa tekanan darahnya. Faktor penyebab dari hipertensi itu sendiri seperti perubahan gaya hidup seperti merokok, obesitas dan stress psikososial. Karena angka prevalensi hipertensi di Indonesia yang semakin tinggi maka perlu adanya penanggulangan diantaranya terapi farmakologi atau non farmakologi (Junaidi, 2010). Pada terapi non farmakologi ditawarkan berbagai strategi untuk menurunkan tekanan darah seperti
latihan slow deep breathing (nafas dalam).Bahwa latihan nafas dalam bukanlah suatu bentuk dari aktifitas fisik, ini merupakan relaksasi jiwa dan tubuh yang bisa di tambahkan daalam berbagai rutinitas guna mendapatkan efek relaks. Bernafas dengan diafragma akan menghasilkan banyak oksigen yang mencapai sel-sel tubuh sehingga pertukaran karbondioksida dan oksigen dapat secara maksimal (Andarmoyo, 2012). Tekanan darah yang dalam keadaan tinggi akan menurun, karena oksida nitrit merupakan vasodilasator yang penting untuk mengatur tekanan darah. Terapi non farmakologis mudah dilakukan dan tidak mengeluarkan biaya juga belum terlalu banyak masyarakat penelitian atau akan hal ini maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian non farmakologis yang dapat menurunkan tekanan darah dengan latihan slow deep breathing (nafas dalam) (Breavers, 2008). Berdasarkan survey pendahuluan yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang didapatkan bahwa jumlah penderita hipertensi pada tahun 2013 sebanyak 435 sedangkan pada bulan Januari-Mei 2015 terdapat jumlah penderita diabetes melitus sebanyak 97 orang. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien Hipertensi PrimerDi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015”
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) pada pasien hipertensi primerdi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Untuk mengetahui tekanan darah pada pasien hipertensi primer sebelum dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. Untuk mengetahui tekanan darah pada pasien hipertensi primersesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah pre eksperimen (pra experimen) dengan model rancangan one group pretest postest, karena penelitian ini diarahkan untuk melihat bagaimana pengaruh latihan slow deep breathing (nafas dalam) terhdap tekanan darah. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian akan dilaksanakan diRumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam. Waktu penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Juli – September 2015. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitan ini adalahseluruh pasien hipertensi periode Januari-Mei 2015 terdapat jumlah penderita diabetes melitus sebanyak 97 orang.
35
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2009).Perhitungan besar sampel menggunakan rumus uji estimasi proporsi. Rumus perhitungan besar sampel adalah: Z 1 a P 1 P 2 n d 1,96 x0,5 x0,5 n 0,05 n 9,8 n 10 Keterangan: n : Besar Sampel Z 1 a : Nilai Z pada derajat 2
kemaknaan (baisanya 95%= 1,96) P : Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,5) d : derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10), 5% (0,05), atau 1% (0,01). Berdasarkan perhitungan diatas, besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 10 responden.Untuk membatasi karakteristik dari sampel, dilakukan kriteria pemilihan yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
Distribusi Kategori Penilaian Tekanan Darah Pada Pada Pasien Hipertensi Primer Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 No
Kategori
1 2 Total
Ringan Sedang
Frekue nsi (Orang ) 10 10
Persentase (%)
100,0 100,0
Tabel di atas menunjukkan bahwa tekanan darah sebelum dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) yaitu seluruh responden memiliki tekanan darah sedang. Tekanan Darah Pada Pada Pasien Hipertensi PrimerSesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Penilaian tekanan darah Sesudah dilakukan senam disajikan pada tabel berikut ini:
DAN
Tekanan Darah Pada Pada Pasien Hipertensi PrimerSebelum Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Penilaian tekanan darah sebelum dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) disajikan pada tabel berikut ini:
No
Kategori
1 2 Total
Ringan Sedang
Frekuensi (Orang) 6 4 10
Tabel di atas menunjukkan bahwa tekanan darah sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) yaitu mayoritas responden memiliki tekanan darah ringan yaitu 60 orang (60,0%).
Persentase (%) 60,5 40,5 100,0
Tabulasi Hasil Bivariat Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien Hipertensi PrimerDi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Tekanan Darah
Sebelum Sesudah
Paired Test Ra Rata-rata tarat a
161,86 140,50
21,36
Breathing (Nafas Dalam) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Masalah – masalah kesehatan yang ada sekarang ini dipengaruhi oleh pola hidup, pola makan, faktor lingkungan kerja, olah raga dan stress. Perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia (Meningkatnya kandungan lipid di dalam darah), diabetes melitus dan lain-lain. Tetapi data epidemiologi di Indonesia masih belum banyak.Hal ini disebabkan penelitian epidemiologic sangat mahal biayanya (FKUI, 2009).Dari hasil distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa tekanan darah sebelum dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) yaitu seluruh responden memiliki tekanan darah sedang. Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis ketika seseorang menggalami peningkatan tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Arief, 2010). Hipertensi sering disebut sebagai silent disease karena pada umumnya pasien tidak mengetahui terkena penyakit hipertensi, sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu hipertensi primer dan
pValue Standar Deviasi
95% Conf idenc e Inter val Upper
0,497
Lo we r 0,6 44
0,0 70
0,0 19
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah pertama 161,86, pada pengukuran kedua didapatkan tekanandarah 1,50, terlihat nilai mean antara pengukuran pertama dan kedua 21,36 dengan standar deviasi (SD) 0,497. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,019 ≤ α=0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) pada pasien hipertensi primer. Pembahasan Dari hasil pembahasan ini peneliti mencoba menjawab pertanyaan awal yang mendasar masalah penelitian yaitu apakah ada Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien Hipertensi Primer. Tekanan Darah Pada Pada Pasien Hipertensi PrimerSebelum Dilakukan Latihan Slow Deep
37
hipertensi sekunder. Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien hipertensi dan 10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder.Hipertensi juga di kenal sebagai heterogeneous group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial ekonomi (Andarmoyo, 2012). Hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat (public health problem) dan akan menjadi masalah bila tidak di tanggulangi sejak dini. Penatalaksanaan pada hipertensi meliputi terapi non farmakologi dan farmakologi.Pengobatan hipertensi untuk saat ini sangat mahal tidak semua kalangan mampu berobat ke rumah sakit (Depkes, 2007). Tekanan Darah Pada Pada Pasien Hipertensi PrimerSesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015 Senam adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta terencanayang dilakukan secara tersendiri atau berkelompok dengan maksudmeningkatkan kemampuan fungsional raga untuk mencapai tujuan tersebut.Dalam bahasa Inggris terdapat istilah exercise atau aerobic yang merupakansuatu aktifitas fisik yang dapat memacu jantung dan peredaran darah sertapernafasan yang dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan perbaikan dan manfaat kepada tubuh. Senam berasal dari bahasayunani yaitu gymnastic (gymnos) yang berarti telanjang, dimana pada zaman tersebut orang
yang melakukan senam harus telanjang, dengan maksud agarkeleluasaan gerak dan pertumbuhan badan yang dilatih dapat terpantau (Suroto,2010). Dari hasil distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa tekanan darah sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) yaitu mayoritas responden memiliki tekanan darah ringan yaitu 60 orang (60,0%). Hipertensi kadang tidak di sadari oleh penderita, sebelum memeriksa tekanan darahnya. Faktor penyebab dari hipertensi itu sendiri seperti perubahan gaya hidup seperti merokok, obesitas dan stress psikososial. Karena angka prevalensi hipertensi di Indonesia yang semakin tinggi maka perlu adanya penanggulangan diantaranya terapi farmakologi atau non farmakologi (Junaidi, 2010). Pada terapi non farmakologi ditawarkan berbagai strategi untuk menurunkan tekanan darah seperti latihan slow deep breathing (nafas dalam).Bahwa latihan nafas dalam bukanlah suatu bentuk dari aktifitas fisik, ini merupakan relaksasi jiwa dan tubuh yang bisa di tambahkan daalam berbagai rutinitas guna mendapatkan efek relaks. Bernafas dengan diafragma akan menghasilkan banyak oksigen yang mencapai sel-sel tubuh sehingga pertukaran karbondioksida dan oksigen dapat secara maksimal (Andarmoyo, 2012). Tekanan darah yang dalam keadaan tinggi akan menurun, karena oksida nitrit merupakan vasodilasator yang penting untuk mengatur tekanan darah. Terapi non farmakologis mudah dilakukan dan tidak
mengeluarkan biaya juga belum terlalu banyak masyarakat penelitian atau akan hal ini maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian non farmakologis yang dapat menurunkan tekanan darah dengan latihan slow deep breathing (nafas dalam) (Breavers, 2008).
makanan, baik kualitas maupun kuantitasnya akibat gaya hidup seseorang merupakan faktor terjadinya resiko penyakit degeneratif termasuk hipertensi. Perilaku demikian dapat berakibat terjadinya penumpukan lemak tubuh yang merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi (Nurochmah, 2001). Relaksasi merupakan suatu kondisi istirahat tubuh dan jiwa (pikiran,kemauan dan perasaa) (Kurwandi, 2011) dalam Fitri Ananda (2011). Pasien dapat diminta untuk meletakkan satu tangan diatas perut, menarik nafas dalam melalaui hidung, menahan sebentar, dan mengeluarkannya melalui hembusan bibir. Slow Deep Breathing (teknik relaksasi nafas dalam ) adalah suatu teknik asuhan keperawatan yang dalam hal ini perawat mengajarkan klien bagaimana melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenisasi darah (Smeltzer dan Base, 2002) Slow Deep Breathing (teknik relaksasi nafas dalam) adalah cara melakukan tarik nafas dalam secara perlahan-lahan melalui hidung dan di hembuskan melalui mulut. Relaksasi merupakan suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan stres dan rasa nyeri (Kristiwati, 2010).
Pengaruh Senam Lansia Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi di Panti Jompo Harapan Jaya Marelan Medan Tahun 2015 Rata-rata tekanandarah pertama 161,86, pada pengukuran kedua didapatkan tekanandarah 1,50, terlihat nilai mean antara pengukuran pertama dan kedua 21,36 dengan standar deviasi (SD) 0,497. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,019 ≤ α=0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) pada pasien hipertensi primer. Pada umumnya orang yang menyukai makanan asin dan gurih, terutama makanan-makanan cepat saji yang banyak mengandung lemak jenuh serta garam dengan kadar tinggi. Mereka yang senang makanmakanan asin dan gurih berpeluang besar terkena hipertensi. Kandungan Na(Natrium) dalam garam yang berlebihan dapat menahan air (retensi) sehingga meningkatkan jumlah volume darah. Akibatnya jantung harus bekerja keras memompa darah dan tekanan darah menjadi naik. Selain itu pola gaya hidup seseorang, mempunyai peranan yang sangat penting dalam terjadinya penyakit hipertensi. Faktor ketidakseimbangan
39
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Perbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien Hipertensi PrimerDi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2015: 1. Tekanan darah sebelum dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) yaitu seluruh responden memiliki tekanan darah sedang. 2. Tekanan darah sesudah dilakukan latihan slow deep breathing (nafas dalam) yaitu mayoritas responden memiliki tekanan darah ringan yaitu 6 orang (60,0%). 3. AdaPerbedaan Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) Pada Pasien Hipertensi Primer. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji dependen sample ttest/paired t test menunjukan bahwa pValue yaitu 0.019 yang berarti p Value < dari 0.05. Saran Agar dapat menerapkan latihan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) dalam upaya penurunan tekanan darah. Agar dapat menerapkan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan terutama pada penderita hipertensisehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Agar dapat menerapkan pelaksanaan Slow Deep Breathing (Nafas Dalam) terutana pada penderita hipertensisehingga tidak menimbulkan kenaikan tekanan darah yang dapat mencegah komplikasi akibat hipertensi. Agar dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memberikan asuhan keperawatan terutama dalam mengatasi masalah pada penderita hipertensi. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya sehingga dapat lebih mengembangkan bahan masalah peneliti tentang cara penangan tekanan darah pada penderita hiperensi. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Penelitian Jakarta.
S. 2008. Prosedur . PT Rineka Cipta,
Arief. 2010. Tetap Tersenym Melawan Hipertensi. Atma Media, Yogyakarta. Arifin. 2010. Senam Lansia. http://www.pengaturan_posisi.com. Diakses tanggal 15 April 2015 Arjatmo. 2005. Hipertensi. Erlangga, Jakarta. Bandiyah. 2009. Perkembangan.Refika Bandung.
Psikologi Aditama,
Depkes RI. 2009. Perilaku Hidup Lanjut Usia..http://www.mornimg. comp. com/ Hubungan Antara Hipertensi Dan Lansia. Diakses tanggal 10 Maret 2015
Djoelham. 2010. Lanjut Usia : http://Djoelham.blogspot.com. Diakses tanggal 25 Maret 2015
Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba, Jakarta.
Edial.2010. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Graha Ilmu, Yogyakarta Efendi. 2010. Ilmu Penyakit Dalam. Rineka Cipta, Bandung Elokdyah. 2010. Stroke Dan Hipertensi. Pustaka Hidayah, Jakarta.
Puspita. 2009. Perawatan Pasien Penyakit dalam. Mitra Cendikia, Yogyakarta. Rasyid. 2008. Hipertensi Dan Ginjal. Agriwidya, Jakarta Setiadi. 2009. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Hendra. 2008. Konsep Pengetahuan :http://ajangberkarya.wordpress.com. Diakses tanggal 10 Maret 2015
Shadine. S, 2010. Hipertensi. Airlangga University Press, Surabaya.
Kholid. 2009. Tetap sehat diusia lanjut. Genius, Yogyakarta. Kusmana. 2009. Program Olahraga tekanan Darah Tinggi. PT Intan Sejati, Klaten
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan . ALFABETA, Bandung. Sukartini. 2010. Modifikasi gaya hidup sehat cegah timbulnya penyakit Hipertensi .http://www.swaranet.com. Diakses tanggal 10 Maret 2015.
Margiyati. 2010. Pengaruh Senam Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah.http://nursingbegin.com. Diakses tanggal 14 Januari 2015 Muhammad. 2010. Tekanan Darah Tinggi Buku Kita, Jakarta. Muhammadun. 2010.Hidup Bersama Hipertensi. In Books, Yogyakarta. Muwarni. 2009.Hidup Bersama Hipertensi. In Books, Yogyakarta. Notoadmadjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. PT Rineka Cipta, Jakarta Nurochmad. 2001. Asuhan keperawatan dengan klien hipertensi. http://www.hipertensi.com .Diakses pada tanggal 10 Maret 2015. Nugroho. 2009. Penanganan Hipertensi.Pusta78 yaka Pelajar, Yogyakarta.
Susalit. 2007. Pemahaman Keluarga Tentang KesehatanLansia. Pustaka Bangsa Press, Medan. Suroto. 2010. Panduan latihan kebugaran fisik ( yang efektif dan aman). Lukman Offset, Yogyakarta Wahyudi. 2007. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi: http ://dinkes.kolon progokab.go.id. Diakses 17 Maret 2015 Wilkins. 2010.Senam Kesehatan. Nuha Medica, Yogyakarta.
41
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PEMASANGAN KATETER URETRA MENETAP DI RUMAH SAKIT GRAND MEDISTRA LUBUK PAKAM HERRI NOVITA TARIGAN, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Catheter Urin represent a[n action by including pipe into containing kemih with aim to to assist to to [release] the urin. installation of Catheter urin can become the action saving. Mostly infection of channel kemih because of bacterium, but virus and mushroom also can become its cause. Bacterium infection often because of Escherichia coli.infection of Channel kemih often happened daughter and woman. One of its caus shorter woman urethra so that easier bacterium kontaminanobtain;get to access to containing this kemih. Research is to know the factors related to infection of channel kemih installation of kateteruretramenetapdiGrand Medistra of deep hollow of pakam of 2014.Penelitian year this [done/conducted] with the analytic descriptive research type with the approach of cross sectional. Sampel in this research use technic purposive sampling limited during 7 day summed uply 25 people as data responder obtained use the sheet Interview and observation and test with the test of chi-square and computer aid. From research result [done/conducted] 25 responder people earning result p ?( p 0,011<0,05) explaining there factors related to infection of channel kemih installation of kateteruretramenetapdiGrand Medistra of deep hollow of pakam year 2014. Thereby Ho refused and ha accepted. Pursuant to research result of catheter installation too old can cause the infection. urin, untuk menghasilkan drinase pascaoperasi pada kandung kemih,daerah pagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smelzter,2010). Menurut WHO, Infeksi saluran kemih (ISK) adalah penyakit infeksi yang kedua tersering pada tubuh sesudah infeksi saluran pernafasandan sebanyak 8,3 juta kasus dilaporkan pertahun. Infeksi ini juga lebih sering dijumpai pada wanita dari pada laki-laki (BPSI, 2010).
Latar belakang Kateter urin merupakan suatu tindakan dengan memasukkan selang kedalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan urin. Pemasangan kateter urin dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa,khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi lain,yaitu: untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kamih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran
51
Kateter urin merupakan suatu tindakan dengan memasukkan selang kedalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan urin.Pemasangan kateter urin dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi lain, yaitu: untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperasi pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan caracara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smelzter, 2010). kateterisasikandung kemih adalah dengan memasukkan selang pelastik atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urine yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemiha atau atau klien yang mengalami obstruksi (Potter, dkk,2010). Infeksi saluran kemih adalahinfeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri,akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya.Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh Escherichia coli.Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita.Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita
yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih (Corwin, 2009). Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminasi lebuh muda memproleh akses ke kandung kemih, uretra yang pendek meningkatkan kemungkinan mikroorganisme yang menempel di lubang uretra (Corwin,2009).Perbandingan kejadian infeksi saluran kemih antara perempuan dan laki-laki 9:1(Betz,dkk, 2009) Hampir 10 juta yang datang ke dokter untuk memeriksakankesehatannya adalah pasien infeksi saluran kemih (ISK).Wanita 50 kalilebih banyak dari pada laki-laki. 1 dari 5 wanita mengalami ISK dibandingkan pria, perempuan lebih rentan terinfeksi saluran kemih.Penyebabnya adalah saluran uretra (saluran yang menghubungkan kantungkemih ke lingkungan luar tubuh) perempuan lebih pendek (sekitar 3-5 cm).Berbeda dengan uretra pria yang panjang, sepanjang penisnya, sehinggakuman sulit masuk (Toto Suharyanto, 2009). Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi yang mengenai ginjal, ureter, kantung kencing, atau urethra.Semakin dekat ke ginjal (semakin atas), maka makin serius tingkat infeksinya.ISK bagian atas mengenai ginjal disebut pyelonefritis, bagian bawah mengenai kantung kencing (cystitis) dan urethra (urethritis). ISK dapat dibagi menjadi simpel dan complicated. 52
Simpel bila hanya mengenai organ system saluran kemih tanpa meyebar ke seluruh tubuh, sementara complicated bila disebabkan oleh kelainan anatomis dan sudah menyebar ke bagian lain dari tubuh. ISK lebih sering terjadi pada dewasa (hanya terjadi 1-2% pada anakanak).Tapi pada anak lebih serius dan lebih bahaya.Menjadi alasan 7 juta kunjungan ke dokter di AS.Merupakan kelompok infeksi kedua tersering setelah infeksi saluran pernafasan.Lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria, karena saluran urethra wanita lebih pendek.40% dan 12% pria pernah mengalami ISK selama hidupnya.ISK yang tidak diobati sering menjadi pyelonefritis, sampai dengan gagal ginjal.1-3% pasien pyelonefritis meninggal (Indrak Muhtadi, 2012). Infeksi saluran kemih yang sering di temukan terhitung 6 sampai 8 juta kunjungan klinik setiap tahun. Mayoritas kasus didominasi oleh wanita.1dari 10 orang di amerika serikat mengalami infeksi saluran kemih semasa hidupnya ,wanita 50 kali lebih banyak dari pada pria (suharyono, dkk,2009). Tindakan pemasangan kateter membantu pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi. Namun tindakan ini bisa juga menimbulkan masalah lain seperti infeksi, trauma pada uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya rangsangan berkemih terjadi akibat pemasangan kateter dalam waktu yang lama mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan
tonusnya. Apabila hal ini terjadi dan kateterdilepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya (Smelzter, 2010). Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Lubuk Pakam,kejadian infeksi saluran kemih sebanyak 54 orang dengan jumlah pasien wanita sebanyak 35 orang (13 pada lansia, 22 pada dewasa usia 25-54 tahun) dan dengan jumlah laki-laki sebanyak 19 orang. Kejadian infeksi saluran kemih diatas didampingi oleh diagnosa yang lain diantaranya adalah retensi urine (inkontinensia urine), Cystitis, hematuria, batu saluran kemih dan seluruhnya dengan penggunaan kateter uretra. Dari uraian diatas peneliti memandang perlu untuk melakukan penelitian bagaimana hubungan pemasangan kateter uretraterhadap infeksi saluran kemih pada pasien di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. TujuanPenelitian Untuk mengetahui Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam. Untuk mengetahui adakahhubungan lama terpasang kateter dengan kejadian infeksi saluran kemih. Untuk mengetahui hubungan kateter yang tidak hygine dengan infeksi saluran kemih. Membandingkan klien yang terpasang kateter berdasarkan jenis 53
Jumlah Pendidikan SMP
kelamin terhadap inpeksi saluran kemih.
SMA
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini di laksanakan di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Lubuk Pakam. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan bulan September 2015.
SARJANA Jumlah
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Karakteristik Responden Karakteristik responden yaitu meliputi,jenis umur, jenis kelamin pendidikan, dan adalah sebagai berikut: Tabel Distribusi Karakteristik RespondenDi RSUD deli serdang lubuk pakam tahun 2015.
26-30 31-35 Jumlah Jenis kelamin Laki laki perempuan
N
6 9 10
% 24, 0 36, 0 40, 0
25 15 10
13 10 2 15
100 52, 0 40, 0 8,2 100
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa umur responden yang terbanyak adalah antara 31-35 tahun yaitu sebanyak 10 orang (40,0%), dan umur responden paling sedikit 20-25 tahun yaitu sebanyak 6 orang (24,0%). dan Responden yang memiliki jenias kelamin terbanyak adalah laki laki terbanyak adalah 15 orang (60,0%) dan responden yang berjenis kelamin perempuan paling sedikit yaitu sebanyak 10 orang (40,0%). Responden yang memiliki pendidikan terbanyak adalah SMP sebanyak 13 orang (52,0%), dan responden dengan pendidikan paling sedikit adalah Sarjana sebanyak 2 orang (8,0%). Hubungan Infeksi Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Hubungan Infeksi Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap di Grand Medistra lubuk pakam yang diamati meliputi pemasangan kateter uretra baru,pemasangan kateter uretra lama,pemasangan kateter uretra sangat lama. Penilaian pengkategorian Hubungan Infeksi Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap dapat dilihat dari lembar wawancara dari total skor yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pengkategorian Hubungan Infeksi Pada Pemasangan Kateter Uretra
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pasien yang hendak dipasang kateter uretra di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam Lubuk Pakam. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri.Jadi sampel dalam penelitian ini adalah 25 orang.
Karakteristik Responden Umur 20-25
25
100 60, 0 40, 0
54
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang memiliki Infeksi Saluran Kemih terjadi sebanyak 18 orang (72,0%), dan responden dengan Infeksi Saluran Kemih tidak terjadi yaitu 7 orang (28,0%). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015. Faktor-Faktor Yang Hubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam No
1 2
Hubungan Infeksi Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap pemasangan kateter uretra baru pemasangan kateter uretra lama pemasangan kateter uretra sangat lama Total
N
%
7
28,0
10
40,0
8
32,0
25
100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki pemasangan kateter uretra baru sebanyak 7 orang (28,0%), dan responden yang memiliki pemasangan kateter uretra lama sebanyak 10 orang (40,0%).dan responden yang memiliki pemasangan kateter uretra sangat lama sebanyak 8 orang (32,0%). Infeksi Saluran KemihPada Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap di RSUD yang diamati meliputi Infeksi Saluran Kemih terjadidan Infeksi Saluran Kemih tidak terjadi. Penilaian pengkategorian Infeksi Saluran Kemih dapat dilihat dari lembar observasi dari total skor yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 Infeksi Saluran Kemih Infeksi Saluran Kemih terjadi Infeksi Saluran Kemih tidak terjadi Total
N
%
18
72,0
7
28,0
25
100
Tabel Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Hubunga n Infeksi Pada Pemasan gan Kateter Uretra Menetap Baru
Infeksi Kemih terjadi
2
8,0
5
Lama
9
1
Sangat lama jumlah
7
36, 0 28, 0 72, 0
20, 0 4,0
1 7
N
%
Saluran
total
Tidak terjadi n %
n
P val ue % 0,01 1
1 8
7
28,0 40,0
4,0
1 0 8
28, 0
2 5
100, 0
32,0
Hasil analisis Hubungan Infeksi Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap denganInfeksi Saluran Kemih diperoleh bahwa dari 7 orang responden pada kategoriPemasangan Kateter Uretra baru terdapat 2 orang (8,0%) yang memiliki Infeksi Saluran Kemih terjadi dan 5 orang (20,0%) yang memilik Infeksi Saluran Kemih tidak terjadi . Dari 10 55
orang responden pada kategori Pemasangan Kateter Uretra lama terdapat 9 orang (36,0%) yang memilki Infeksi Saluran Kemih terjadi dan 1 orang (4,0%) yang memilk Infeksi Saluran Kemih tidak terjadi . Hasil uji statistik pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa p= 0,011 < 0,05. Hal ini dapat diartikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara Berhubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam
pasien tidak mampu melakukan urinasi. Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi lain,yaitu: untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kamih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drinase pascaoperasi pada kandung kemih,daerah pagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smelzter,2010). Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal itu sendiri,akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya.Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh Escherichia coli.Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita.Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih (Corwin, 2009). Infeksi Saluran KemihPada Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Kateter urin merupakan suatu tindakan dengan memasukkan selang kedalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan urin.Pemasangan kateter urin dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu
Pembahasan Hubungan Infeksi Pada Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Dari hasil distribusi frekuensi dapat dilihat hasil dengan menggunakan wawancara bahwa responden memiliki pemasangan kateter uretra baru sebanyak 7 orang (28,0%), dan responden yang memiliki pemasangan kateter uretra lama sebanyak 10 orang (40,0%).dan responden yang memiliki pemasangan kateter uretra sangat lama sebanyak 8 orang (32,0%).Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut maka memang benar bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan sakit akan terganggu keamanan dan kenyamanan karena pemasangann kateter. Kateter urin merupakan suatu tindakan dengan memasukkan selang kedalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan urin. Pemasangan kateter urin dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa,khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau 56
melakukan urinasi. Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi lain, yaitu: untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperasi pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan caracara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smelzter, 2010). kateterisasikandung kemih adalah dengan memasukkan selang pelastik atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urine yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemiha atau atau klien yang mengalami obstruksi (Potter, dkk, 2010). Dari hasil distribusi frekuensi dapat dilihat hasil dengan menggunakan lembar observasi bahwa responden yang memiliki bahwa responden yang memiliki Infeksi Saluran Kemih terjadi sebanyak 18 orang 72,0%), dan responden dengan Infeksi Saluran Kemih tidak terjadi yaitu 7 orang (28,0%).Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa seseorang yang mengalami pemasangan kateter terlalu lama akan mudah terinfeksi dan apabila pasien dalam keadaan terlalu aktif maka makin cepat pula rasa sakit yang dirasakan di tempat pemasangan. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan chi square diperoleh hasil nilai p (p value) = 0,011 ( p < α= 0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa hipotesa alternatif diterima yaitu terdapatFaktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminasi lebuh muda memproleh akses ke kandung kemih, uretra yang pendek meningkatkan kemungkinan mikroorganisme yang menempel di lubang uretra (Corwin,2009). Perbandingan kejadian infeksi saluran kemih antara perempuan dan laki-laki 9:1(Betz,dkk, 2009) Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi yang mengenai ginjal, ureter, kantung kencing, atau urethra.Semakin dekat ke ginjal (semakin atas), maka makin serius tingkat infeksinya.ISK bagian atas mengenai ginjal disebut pyelonefritis, bagian bawah mengenai kantung kencing (cystitis) dan urethra (urethritis). ISK dapat dibagi menjadi simpel dan complicated. Simpel bila hanya mengenai organ system saluran kemih tanpa meyebar ke seluruh tubuh, sementara complicated bila disebabkan oleh kelainan anatomis dan sudah menyebar ke bagian lain dari tubuh. Tindakan pemasangan kateter membantu pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi. Namun tindakan ini bisa juga menimbulkan masalah lain seperti infeksi, trauma 57
pada uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya rangsangan berkemih terjadi akibat pemasangan kateter dalam waktu yang lama mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Apabila hal ini terjadi dan kateterdilepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya (Smelzter, 2010). Hasil penelitian ini Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh fitri dengan judulHubungan pemasangan kateter uretra terhadap infeksi saluran kemih Diruang Rawat Inap Rsud Sumedang,Rancangan penelitian menggunakan survei analitik. Dan instrumen penelitian memakai kuesioner.sampel 85 pasien rawat inap dengan uji validitas menggunakan chi square dimana p value= 0,02. sehinggan ada hubungan pemasangan kateter uretra terhadapinfeksi saluran kemih.
orang, dan responden yang berjenis kelamin laki laki sebanyak 15 orang. b. Berdasarkan hasil penelitian dari 25 responden bahwa mayoritas responden memiliki pemasangan kateter uretra baru sebanyak 7 orang (28,0%), dan responden yang memiliki pemasangan kateter uretra lama sebanyak 10 orang (40,0%). dan responden yang memiliki pemasangan kateter uretra sangat lama sebanyak 8 orang (32,0%). c. Berdasarkan hasil penelitian dari 25 responden bahwa responden yang memiliki Infeksi Saluran Kemih terjadi sebanyak 18 orang 72,0%), dan responden dengan Infeksi Saluran Kemih tidak terjadi yaitu 7 orang (28,0%). d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015. dengan nilai p value 0,011(α <0,05).
KESIMPULAN DAN SARAN Saran Diharapkan agar dapat sebagai masukan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya keperawatan dan Sebagai bahan bacaan diperpustakaan Medistra Lubuk Pakam. Diharapkan agar dapat Sebagai informasi tentang pemasangan kateter terhadap infeksi saluran kemih dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit yaitu tentang pencegahan infeksi karena kateter dapat dicegah.
Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan yang telah ada di bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwaFaktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Saluran Kemih Pada Pemasangan Katetr Uretra Menetap Di Grand Medistra Lubuk Pakam Tahun 2015 a. Karakteristik responden yang didapat dari hasil penelitian bahwa mayoritas responden yang berumur 31-35 tahun sebanyak 10 orang, mayoritas responden yang berpendidikan SMP sebanyak 13 58
Diharapkan pasien mendapat kenyamanan dari pemasangan kateter secara Bagi septic sehingga terhindar dari infeksi saluran kemih (ISK) karena pemasangan kateter. Diharapkan hasil penelitian ini diharapakan berguna untuk pengetahuan ,pengalaman dalam pencapaian ilmu riset keperawatan dan sebagai data awal dan informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya agar lebih baik.
Suharyanto, Toto, 2009. Asuhan Keperawan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. CV Trans info Media, Jakarta. Uliyah, M, 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik Untuk kebidanan, Salemba Medika, Jakarta. Yono, 2009. Infeksi Nosokomial. http;//www.dinkesbengkulu.go.id
DAFTAR PUSTAKA Betz, CL, 2009. Buku Keperawatan Pediatri, Edisi 5. Buku Kedikteran EGC, Jakarta Corwin, E, 2009. Buku Fatofisiologi, Edisi Revisi. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hassan, R, 2009. Ilmu kesehatan anak. Infomedika, Jakarta Machfuedz, I, 2009. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran, Fitramaya, Yogyakarta. Murwani, A, 2009. Keterampilan Dasar Peraktek Klinik Keperawatan, Fitramaya, Yogyakarta. Notoatmodjo, S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan , Edisi Revisi. PT Rineka Cipta, Jakarta. Purnomo, B, 2009. Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua,CV Sugeng Seto, Jakarta. Rizki, M, 2009. Kejadian Retensio Urine Dan Infeksi Saluran kemih Pasca Sekcio Secaria dengan Kateter Menetap.http;//www.repository.usu.a c.id Setiadi, 2009.Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan, Edisi 1 Graha Ilmu, Yogyakarta. Sugiyono, 2009.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Alfabeta, Bandung. 59
PENGARUH PEMBERIAN POSISI MIRING KANAN DAN MIRING KIRI TERHADAP PENCEGAHAN LUKA DEKUBITUS PADA PASIE STROKE DI RUMAH SAKIT UMUM KUMPULAN PANE TEBING TINGGI DEWI FRINTINA SILABAN, S.Kep, Ns, M.Kep Dosen Akper MEDISTRA Lubuk Pakam ABSTRACT Efforts should be made to prevent pressure sores due to long bedrest was to provide good care of them by changed the position of the right and left lateral oblique every 2 hours. Regulatory action or replacement beneficial position to avoid pressure sores (decubitus) and prevent shortened of muscles and ligaments. In a preliminary study conducted by researchers observation in Deli Serdang Hospital Lubuk Pakam of service quality indicator reports Hospital period January to December 2013 that of the 78 patients treated with bed rest are patients with decubitus wounds 17.65% around 14 people. In June 2015 there were 26 patients with stroke. This study aimed to determine the effect of a tilted position of the right and left lateral decubitus sores prevention in stroke patients at the General Hospital (Hospital) Deli Serdang Lubukpakam 2015. This research was pre experiment (pre-experiment) with one group pretest design model posttest. The population in this research was the entire stroke patients treated were exposed to pressure sores and a sample of 10 people, the sample was purposive sampled techniques, methods of collected data by interviewing indirectly by used the observation sheet. The results of the statistical test used the test dependent sample t-test / paired t test showed that the p value is 0.001 (p Value
Latar Belakang Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang memiliki banyak fungsi, yaitu upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan, dan kesehatan penunjang. Agar rumah sakit dapat melaksanakan pelayanan kesehatan secara efektif, efisien, dan bermutu diperlukan suatu ukuran yang pasti mengenai mutu pelayanan kesehatan tersebut, baik menyangkut upaya peningkatan kesehatan, pencegahan terjadinya penyakit dan
gangguan kesehatan, pemeliharaan dan pengobatan terkait dengan penyakit atau masalah kesehatan, dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Suriadi, 2009). Luka tekan (dekubitus) merupakan masalah serius yang sering terjadi padapasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasienstroke, fraktur tulang belakang atau penyakit degeneratif. Stroke adalah deficit neurologist akut yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena. Selain hal tersebut, mengakibatkan peningkatan biaya perawatan, lama perawatan di rumah sakit, juga akan memperlambat program rehabilitasi (pemulihan kesehatan) bagi pasien (Sutanto, 2008). Insiden dan prevalensi terjadinya lukadekubitus pada tahun 2012 di Amerika Serikat cukup tinggi, 5-11 % dari 321 terjadi di tatanan perawatan akut (acute care), 15-25 % dari 342 di tatanan perawatan jangka panjang (longterm care), dan 7-12 % dari 361di tatanan perawatan rumah (home health care) (Mukti, 2013). Purwaningsih (2011), melakukan penelitian menghitung angka kejadian dekubitus di ruang A1, B1, C1, D1, dan ruang B3 IRNA I Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Oktober, didapatkan hasil dari 40 pasien yang tirah baring, 40 % didapatkan pasiendekubitus. Penelitian Setyajati (2011) menunjukkan angka kejadiandekubituspadapasien tirah baring yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta bulan Oktober, angka kejadiandekubitus sebanyak 38,18 % dari 269. Angka ini relative tinggi dan akan semakin meningkat jika tidak dilakukan upaya dalam mencegah terjadinya dekubitus (Setyaji, 2009). Pada pasien stroke dengan gangguan mobilisasi, pasien hanya berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut sehingga terbentuk luka tekan.
Tindakan pencegahan dekubitus harus dilakukan sedini mungkin dan terus menerus, sebab pada pasien stroke dengan gangguan mobilisasi yang mengalami tirah baring di tempat tidur dalam waktu yang cukup lama tanpa mampu untuk merubah posisi akan berisiko tinggi terjadinya luka tekan (dekubitus). Gangguan mobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadianluka tekan (Suriadi, 2009). Dekubitus menjadi masalah yang serius karena dapat mengakibatkan lama perawatan di rumah sakit serta memperlambat program rehabilitasi bagi penderita. Selain itu dekubitus juga dapat menyebabkan nyeri yang berkepanjangan, rasa tidak nyaman, meningkatkan biaya dalam perawatan dan penanganannya serta menyebabkan komplikasi berat yang mengarah ke sepsis, infeksi kronis, sellulitis, osteomyelitis, dan meningkatkan prevalensi mortalitas pada klien lanjut usia (Setiyawan, 2008). Namun di beberapa rumah sakit pada tahun 2012 didapat prevalensi terjadinya dekubitus 17%-25% dari 625 dan dua dari tiga pasien dari 541 yang berusia 70 tahun atau lebih akan mengalami dekubitus. Di antara pasien dengan kelainan neurology, angka kejadian dekubitus setiap tahun sekitar 5%-8 % dan sampai 7%-8 % dari 864.Namun hal ini menjadi perhatian yang cukup untuk menangani dekubitus agar dapat di cegah terjadinya dekubitus (Alfon, 2008). Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya dekubitus akibat tirah baring lama adalah dengan memberikan perawatan yang baik diantaranya dengan merubah
posisi miring kanan dan miring kiri setiap 2 jam.Tindakan pengaturan atau penggantian posisi bermanfaat untuk menghindari luka tekan (dekubitus) serta mencegah pemendekan otot dan ligament.Pada umumnya karena fase pemulihan stroke yang cukup lama dan pasien lama tidak bergerak, luka tekan pada tonjolan-tonjolan tulang tidak dapat terhindari.Daerah-daerah seperti tulang ekor, punggung, panggul dan tumit merupakan tempat paling sering untuk terjadinya luka tekan (Morison, 2009). Hasil penelitian Dwiyanti (2012) menunjukan bahwa pada subyek yang mengalami dekubitus terjadi pada ketujuh perawatan dengan diagnosa stroke.Pasien stroke dengan gangguan mobilisasi beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya penekanan pada bagian tubuh secara terus-menerus akibat ketidakmampuan pasien di dalam mengubah posisi tubuh secara mandiri. Pada pemberian perubahan posisi tirah baring didapatkan angka kejadian dekubitus sebanyak 13,3 % dari 15 pasien dengan stadium 1 pada hari ke-7 perawatan. Penelitian dilakukan oleh Tarihoran E, (2010). Yang berjudul pengaruh posisi miring 30 derajat terhadap kejadian luka tekan grade I pada pasien stroke di RS Siloam Jakarta. Dengan metode quasy eskperimen, pada 33 responden yang terbagi dalam 2 group yaitu kelompok kontrol 16 responden dan kelompok intervensi 17 responden. Gambaran karakteristik dari 33 responden penelitian dimana rata-rata usia responden adalah 65 tahun, dengan usia paling muda adalah 45 dan yang tertua 85 tahun. Intervensi yang
dilakukan adalah dengan posisi miring kearah yang mengalami hemiplegic adalah 1 jam kemudian terlentang 2 jam dan miring kearah yang sehat 2 jam. Didapatkan hasil bahwa pemberian posisi miring 30 derajat untuk mencegah kejadian luka tekan, ditemukan bahwa terdapat 6 (37.5%) responden pada kelompok control mengalami luka tekan.Sedangkan pada kelompok intervensi terdapat 1 (5.9%) responden terjadi luka tekan. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0.039, disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengaturan posisi dengan kejadian luka tekan. Diperoleh pula nilai OR= 9.600, artinya responden yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30 derajat mempunyai peluang 9.6 kali untuk terjadi luka tekan dibanding dengan responden yang diberi perlakuan posisi miring 30 derajat. Pada kelompok intervensi ditemukan satu orang responden yang mengalami luka tekan grade I (Non Blanchable Erythema) pada area sakrum di daerah kuadran kanan atas. Sedangkan pada kelompok kontrol ada 6 responden yang mengalami luka tekan grade I (Non Blanchable Erythema) masingmasing dengan lokasinya: trokanter kanan, trokanter kiri + siku kiri, Trokanter kiri + tumit kiri, tumit kiri, trokanter kanan + siku kanan, sakrum kuadran kanan atas. Penelitian yang dilakukan oleh Young, T (2011) tentang perbandingan posisi miring 30 derajat dengan miring 90 derajat pada 46 pasien. Intervensi yang dilakukan adalah dengan memberikan posisi miring pada 23 pasien dengan posisi miring 30
derajat dan 23 pasien lainnya dengan posisi miring 90 derajat. Yang dilakukan untuk mencegah luka tekan Gr I (nonblancakble Erythema). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa posisi miring 30 derajat lebih efektif mencegah terjadinya luka tekan Grade I pada pasien yang mengalami imobilisasi. Penelitian lain dilakukan oleh Vanderwee (2010) tentang Effectiveness of turning with unequal time intervals on the incidence of pressure ulcer lesions K. Vanderwee (2010). Dengan menggunakan studi eksperimen pada 235 responden yang terbagi dalam 2 group, yaitu 122 responden sebagai kelompok eksperimen dan 113 responden sebagai kelompok control, penelitian ini dilakukan pada tahun 2009 – 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 16,4 % pada kelompok eksperimen mengalami luka tekan (gr 2-4). Sedangkan 21,2 % terjadi luka tekan pada kelompok control. Juga disebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistic antara reposisi 2 jam miring kanan, 4 jam terlentang dan 2 jam miring kiri dengan perubahan posisi secara bergantian setiap 4 jam. Pada studi pendahuluan observasi yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam dari laporan indikator mutu pelayanan Rumah Sakit periode bulan Januari sampai bulan Desember 2013 bahwa dari 78 pasien yang dirawat dengan tirah baring terdapat pasien dengan luka dekubitus 17,65% sekitar 14 orang. Pada bulan Juni 2015 terdapat 26 pasien stroke.Angka ini relatif tinggi dan akan semakin meningkat serta menimbulkan komplikasi jika tidak
dilakukan upaya dalam mencegahnya.Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa pasien stroke yang mengalami gangguan mobilisasi biasanya mengalami luka dekubitus karena tidak dilakukan perubahan tirah baring. Akan tetapi, di Rumah Sakit biasanya perawat melakukan tirah baring hanya pada saat personal hygiene saja.Sehingga perubahan tirah baring tersebut tidak efektif sebagai upaya pencegahan dekubitus. Berdasarkan data di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian posisi miring kanan dan miring kiri terhadap pencegahan luka dekubitus pada pasien stroke di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh pemberian posisi miring kanan dan miring kiri terhadap pencegahan luka dekubitus pada pasien stroke di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015. Untuk mengetahui pencegahan luka dekubitus sebelum dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015. Untuk mengetahui pencegahan luka dekubitus sesudah dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke di di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan eksperimen. Dengan rancangan pre-eksperimen. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik one group pre tes and post test design yaitu suatu penelitian yang dilakukkan untuk menilai suatu kelompok saja secara utuh. Rancangan penelitian menggunakan one group pre test dan post test tanpa menggunakan kelompok pembanding (kontrol), tetapi pada pengujian pertama (pre test) yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (program). Pada penelitian ini peneliti melakukan intervensi yaitu pemberian posisi miring kanan dan miring kiri terhadap subjek penelitian dengan sengaja, terencana, kemudian dinilai pengaruhnya pada pengujian kedua. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Deli Serdang. Rencana kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli – September 2015. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2009).Populasi pada penelitan ini adalahseluruh penderita stroke yang dirawat yang terkena decubitus. Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Setiadi, 2007). Teknik sampling yang digunakan purposive sampling, yaitu tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2008). Perhitungan besar sampel menggunakan rumus uji estimasi proporsi. Rumus perhitungan besar sampel adalah: Z 1 a P1 P 2 n d 1,96 x0,5 x0,5 n 0,05 n 9,8
n 10 Keterangan: n
Z 1a
:Besar Sampel : Nilai Z pada derajat 2
kemaknaan (baisanya 95%= 1,96) P
: Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,5)
d
: derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10), 5% (0,05), atau 1% (0,01).
Berdasarkan perhitungan diatas, besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 10 responden.Untuk membatasi karakteristik dari sampel, dilakukan kriteria pemilihan yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subjek agar dapat diikutsertakan kedalam penelitian (Notoatmodjo, 2007). Kriteria inklusi penelitian ini adalah: 1) Bersedia menjadi responden penelitian dan menandatangi lembar persetujuan menjadi responden yang diberikan. 2) Pasien stroke. 3) Bersikap kooperatif. b. Krteria eksklusi Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi kritria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian (Harun, et al, 2006). 1) Pasien stroke yang menderita luka dekubitus. 2) Pasien yang sudah dianjurkan untuk pulang oleh dokter D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer merupakan data yang didapat dari sumber yang pertama, baik dari individu atau perseorangan seperti wawancara atau hasil pengisian lembar dan lembar observasi yang biasa dilakukan peneliti. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode observasi langsung terhadap pasien sebelum dan sesudah perlakuan. Dalam penelitian ini peneliti memperoleh
data primer dari lembar observasi tersebut dibuat oleh peneliti berdasarkan teori yaitu melihat secara langsung kriteria terhadap proses penyembuhan luka dekubitus yang dimiliki oleh subyek sebagai penderita stroke. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang didapat dari sumber yang kedua, dari tempat penelitian.Data sekunder diperoleh dari Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam.Data tersebut berupa jumlah pasien stroke dan dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam. Variabel dan Defenisi Operasional 1. Variabel Penelitian Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu yaitu benda, manusia ( Sugiyono, 2009).Variable penelitian terdiri dari dua yaitu : a. Variabel bebas (independent) adalah variabel yang mempengaruhi yaitu pemberian posisi miring kiri dan miring kanan. b. Variabel terikat (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi, yaitu luka dekubitus pada pasien stroke. 2. Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan penjelasan semua variable dan istilah yang akan digunakan dalam penelitiansecara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna dalam penelitian (Arikunto, 2007). Metode Pengukuran
Metode pengukuran adalah cara dimana variable dapat diukur dan ditemukan karakteristiknya (Aziz, 2008). 1. Pemberian posisi miring kiri dan miring kanan Memberikan posisi miring kiri dan miring kanan sesuai dengan prosedur pelaksanaan. 2. Luka Dekubitus Pada variable dependent penyembuhan luka diukur dengan menggunakan lembar observasi yang berisi: a. Hireremia reaktif normal (kemerahan) 1) Ya =2 2) Tidak =1 b. Indurasi (Pembengkakan) 1) Ya =2 2) Tidak =1 c. Pucat dan belang-belang 1) Ya =2 2) Tidak =1 d. Hilangnya lapisan kulit permukaan 1) Ya =2 2) Tidak =1 e. Borok, lecet atau bintik-bintik 1) Ya =2 2) Tidak =1 Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan data Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan penelitian setelah pengumpulan data. Data yang masih mentah (raw data), perlu diolah sehingga menjadi informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, pengolahan data dilakukan melalui empat tahapan, yaitu :
a. Editing Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan isian lembar observasi, apakah jawaban yang ada di lembar observasi sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsisten. b. Coding Yaitu merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka/bilangan.Kegunaan dari coding ini adalah untuk mempermudah pada saat analisis data. c. Processing Pemrosesan data dilakukan dengan caramengentry data dari observasi ke program komputerisasi.Tahapan ini dilakukan setelah pengkodean data. d. Cleaning Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry untuk melihat apakah ada kesalahan atau tidak. 2. Analisis data Pada penelitia ini analisis data dilakukan secara bertahap yaitu : a. Univariat Tujuan dari analisis univariat adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti secara sederhana yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang meliputi pencegahan luka dekubitus sebelum dan sesudah dilakukan posisi miring kiri dan miring kanan. b. Bivariat
Analisis ini diperlukan untuk menjelaskan atau mengetahui apakah ada pengaruh atau perbedaan yang signifikan antar variabel independentdengan variabel dependent.Analisis bivariat dilakukan setelah karakteristik masing-masing variabel diketahui.Data dianalisis untuk perhitungan bivariat pada penelitian ini menggunakan PairedSample ttest dengan tingkat kepercayaan 95% (pValue≤α). Pembuktian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis adakah pengaruh pemberian posisi miring kanan dan miring kiri terhadap luka dekubitus pada pasien stroke hemoragikapabila nilai p ≤0,05. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Pencegahan Luka Dekubitus Sebelum Dilakukan Pemberian Posisi Miring Kanan Dan Miring Kiri Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015 Distribusi Frekuensi Kategori Pencegahan Luka Dekubitus Sebelum Dilakukan Pemberian Posisi Miring Kanan Dan Miring Kiri Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015
Pencegahan Luka Dekubitus Pencegahan Luka Dekubitus
Mean
7,54
Standar Deviasi (SD) 2,648
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa rerata nilai pencegahan luka dekubitus sebelum dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke yaitu 7,54 dengan SD (2,648). Pencegahan Luka Dekubitus Sebelum Dilakukan Pemberian Posisi Miring Kanan Dan Miring Kiri Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015 Distribusi Frekuensi Kategori Pencegahan Luka Dekubitus Sesudah Dilakukan Pemberian Posisi Miring Kanan Dan Miring Kiri Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015 Pencegahan Luka Dekubitus Pencegahan Luka Dekubitus
Mean
5,92
Standar Deviasi (SD) 2,963
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa rerata nilai pencegahan luka dekubitus sebelum dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke yaitu 5,92 dengan SD (2,963). Tabel Distribusi Rerata Pencegahan Luka Dekubitus Antara Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Pemberian Posisi Miring Kanan Dan Miring Kiri Penye mbuha n Luka
R Sta Sta p N at nda nda Va ar r lu rat De Ero e
a Pre test Post test
7, 54 5, 92
via si 2,6 48 2,9 63
Sakit Grand Medistra Pakam 2015
r 0,5 16 0,6 75
0, 00 1
1 0
Tabel Rata-rata, Standar Deviasi, Lower, Upper, p Value Penye mbuha R n at Luka arat a
Pre test Postte st
1, 62
Paired Test Sta 95% nda Confide r nce De Interval via Up Lo si pe we r r 0,3 15
2, 61 1
1,1 89
p Va lu e
0, 00 1
Rata-rata pencegahan luka pertama 7,54 dengan standar deviasi (SD) 2,648 pada pengukuran kedua didapatkan rata-rata pencegahan luka 5,92 dengan standar deviasi (SD) 2,963, terlihat nilai mean antara pengukuran pertama dan kedua 1,62 dengan standar deviasi (SD) 0,315. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,001 (α=0,05) maka dapat disimpulkan ada pengaruh pemberian posisi miring kanan dan miring kiri untuk mengurangi luka dekubitus pada pasien stroke. Pembahasan Pencegahan Luka Dekubitus Sebelum Dilakukan Pemberian Posisi Miring Kanan Dan Miring Kiri Pada Pasien Stroke Di Rumah
Lubuk
Kerusakan integritas kulit dapat disebabkan karena trauma pada kulit, tertekannya kulit dalam waktu yang lama, sehingga menyebabkan lesi primer yang dapat memperburuk dengan cepat menjadi lesi sekunder, seperti padaluka tekan atau dekubitus. Akibat dari kerusakan integritas kulit tersebut, akan membutuhkan asuhan keperawatan yang lebih luas (Suriadi, 2006). Dari hasil distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa rerata nilai pencegahan luka dekubitus sebelum dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke yaitu 7,54 dengan SD (2,648). Luka tekan (dekubitus) merupakan masalah serius yang sering terjadi padapasien yang mengalami gangguan mobilitas, seperti pasienstroke, fraktur tulang belakang atau penyakit degeneratif. Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena. Selain hal tersebut, mengakibatkan peningkatan biaya perawatan, lama perawatan di rumah sakit, juga akan memperlambat program rehabilitasi (pemulihan kesehatan) bagi pasien (Sutanto, 2008). Pada pasien stroke dengan gangguan mobilisasi, pasien hanya berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut sehingga terbentuk luka tekan. Tindakan pencegahan dekubitus
harus dilakukan sedini mungkin dan terus menerus, sebab padapasienstroke dengan gangguan mobilisasi yang mengalami tirah baring di tempat tidur dalam waktu yang cukup lama tanpa mampu untuk merubah posisi akan berisiko tinggi terjadinya luka tekan (dekubitus). Gangguan mobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadianluka tekan.Penelitian yang dilakukan Suriadi (2004), di salah satu rumah sakit di Pontianak menunjukkan bahwa gangguan mobilitas merupakan faktor risiko yang signifikan untuk perkembangan luka tekan.Dekubitus merupakan masalah yang serius karena dapat mengakibatkan lama perawatan di rumah sakit serta memperlambat program rehabilitasi bagi penderita. Selain itu dekubitus juga dapat menyebabkan nyeri yang berkepanjangan, rasa tidak nyaman, meningkatkan biaya dalam perawatan dan penanganannya serta menyebabkan komplikasi berat yang mengarah ke sepsis, infeksi kronis, sellulitis, osteomyelitis, dan meningkatkan prevalensi mortalitas pada klien lanjut usia (Setiyawan, 2008).
terus menerus, sebab padapasienstroke dengan gangguan mobilisasi yang mengalami tirah baring di tempat tidur dalam waktu yang cukup lama tanpa mampu untuk merubah posisi akan berisiko tinggi terjadinya luka tekan (dekubitus). Gangguan mobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadianluka tekan.Dari hasil distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa rerata nilai pencegahan luka dekubitus sebelum dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke yaitu 5,92 dengan SD (2,963).
Pencegahan Luka Dekubitus Sebelum Dilakukan Pemberian Posisi Miring Kanan Dan Miring Kiri Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015 Pada pasien stroke dengan gangguan mobilisasi, pasien hanya berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut sehingga terbentuk luka tekan. Tindakan pencegahan dekubitus harus dilakukan sedini mungkin dan
Pengaturan posisi diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek pada kulit. Dengan menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadi dekubitus akibat gaya gesek. Tindakan pengaturan atau penggantian posisi bermanfaat untuk menghindari luka tekan (dekubitus) serta mencegah pemendekan otot dan ligament.Pada umumnya karena fase pemulihan stroke yang cukup lama dan pasien lama tidak bergerak, luka
Merubah posisi adalah mengatur pasien dalam posisi yang baik dan mengubah secara teratur dan sistemik, hal ini merupakan salah satu aspek keperawatan yang penting. Masyarakat mempunyai persepsi mengenai postur pasien stroke yang khas (Typical Stroke Patient).Sebenarnya hal ini dapat dicegah dengan mengatur posisi pasien dengan tepat sedini mungkin.Posisi pasien harus diubah setiap 2-3 jam berupa terlentang, miring ke sisi yang sehat dan miring ke sisi yang sakit (Enny, 2008).
tekan pada tonjolan-tonjolan tulang tidak dapat terhindari.Daerah-daerah seperti tulang ekor, punggung, panggul dan tumit merupakan tempat paling sering untuk terjadinya luka tekan (Kanopi, 2011). . Pengaruh Tindakan Perawatan Luka Terhadap Penyembuhan Luka Pada Pasien Dengan Ulkus Diabetik Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2013 Rata-rata pencegahan luka pertama 7,54 dengan standar deviasi (SD) 2,648 pada pengukuran kedua didapatkan rata-rata pencegahan luka 5,92 dengan standar deviasi (SD) 2,963, terlihat nilai mean antara pengukuran pertama dan kedua 1,62 dengan standar deviasi (SD) 0,315. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p= 0,001 (α=0,05) maka dapat disimpulkan ada pengaruh pemberian posisi miring kanan dan miring kiri untuk mengurangi luka dekubitus pada pasien stroke hemoragik. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya dekubitus akibat tirah baring lama adalah dengan memberikan perawatan yang baik diantaranya dengan merubah posisi miring kanan dan miring kiri setiap 2 jam.Tindakan pengaturan atau penggantian posisi bermanfaat untuk menghindari luka tekan (dekubitus) serta mencegah pemendekan otot dan ligament.Pada umumnya karena fase pemulihan stroke yang cukup lama dan pasien lama tidak bergerak, luka tekan pada tonjolan-tonjolan tulang tidak dapat terhindari.Daerah-daerah seperti tulang ekor, punggung, panggul dan tumit merupakan tempat paling
sering untuk terjadinya luka tekan (Morison, 2009). Hasil penelitian Dwiyanti (2012) menunjukan bahwa pada subyek yang mengalami dekubitus terjadi pada ketujuh perawatan dengan diagnosa stroke.Pasien stroke dengan gangguan mobilisasi beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya penekanan pada bagian tubuh secara terus-menerus akibat ketidakmampuan pasien di dalam mengubah posisi tubuh secara mandiri. Pada pemberian perubahan posisi tirah baring didapatkan angka kejadian dekubitus sebanyak 13,3 % dari 15 pasien dengan stadium 1 pada hari ke-7 perawatan. Penelitian dilakukan oleh Tarihoran E, (2010). Yang berjudul pengaruh posisi miring 30 derajat terhadap kejadian luka tekan grade I pada pasien stroke di RS Siloam Jakarta. Dengan metode quasy eskperimen, pada 33 responden yang terbagi dalam 2 group yaitu kelompok kontrol 16 responden dan kelompok intervensi 17 responden. Gambaran karakteristik dari 33 responden penelitian dimana rata-rata usia responden adalah 65 tahun, dengan usia paling muda adalah 45 dan yang tertua 85 tahun. Intervensi yang dilakukan adalah dengan posisi miring kearah yang mengalami hemiplegic adalah 1 jam kemudian terlentang 2 jam dan miring kearah yang sehat 2 jam. Didapatkan hasil bahwa pemberian posisi miring 30 derajat untuk mencegah kejadian luka tekan, ditemukan bahwa terdapat 6 (37.5%) responden pada kelompok control mengalami luka tekan.Sedangkan pada kelompok intervensi terdapat 1 (5.9%)
responden terjadi luka tekan. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0.039, disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengaturan posisi dengan kejadian luka tekan. Diperoleh pula nilai OR= 9.600, artinya responden yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30 derajat mempunyai peluang 9.6 kali untuk terjadi luka tekan dibanding dengan responden yang diberi perlakuan posisi miring 30 derajat. Pada kelompok intervensi ditemukan satu orang responden yang mengalami luka tekan grade I (Non Blanchable Erythema) pada area sakrum di daerah kuadran kanan atas. Sedangkan pada kelompok kontrol ada 6 responden yang mengalami luka tekan grade I (Non Blanchable Erythema) masing-masing dengan lokasinya: trokanter kanan, trokanter kiri + siku kiri, Trokanter kiri + tumit kiri, tumit kiri, trokanter kanan + siku kanan, sakrum kuadran kanan atas. Penelitian yang dilakukan oleh Young, T (2011) tentang perbandingan posisi miring 30 derajat dengan miring 90 derajat pada 46 pasien. Intervensi yang dilakukan adalah dengan memberikan posisi miring pada 23 pasien dengan posisi miring 30 derajat dan 23 pasien lainnya dengan posisi miring 90 derajat. Yang dilakukan untuk mencegah luka tekan Gr I (nonblancakble Erythema). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa posisi miring 30 derajat lebih efektif mencegah terjadinya luka tekan Grade I pada pasien yang mengalami imobilisasi. Penelitian lain dilakukan oleh Vanderwee (2010) tentang
Effectiveness of turning with unequal time intervals on the incidence of pressure ulcer lesions K. Vanderwee (2010). Dengan menggunakan studi eksperimen pada 235 responden yang terbagi dalam 2 group, yaitu 122 responden sebagai kelompok eksperimen dan 113 responden sebagai kelompok control, penelitian ini dilakukan pada tahun 2009 – 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 16,4 % pada kelompok eksperimen mengalami luka tekan (gr 2-4). Sedangkan 21,2 % terjadi luka tekan pada kelompok control. Juga disebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistic antara reposisi 2 jam miring kanan, 4 jam terlentang dan 2 jam miring kiri dengan perubahan posisi secara bergantian setiap 4 jam. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil uji statistic dan pembahasan tersebut diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa pengaruh pemberian posisi miring kanan dan miring kiri terhadap pencegahan luka dekubitus pada pasien stroke di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam 2015: 1. Rerata nilai pencegahan luka dekubitus sebelum dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke yaitu 7,54 dengan SD (2,648). . 2. Rerata nilai pencegahan luka dekubitus sebelum dilakukan pemberian posisi miring kanan dan miring kiri pada pasien stroke yaitu 5,92 dengan SD (2,963).
3. Ada pengaruh pemberian posisi miring kanan dan miring kiri terhadap pencegahan luka dekubitus pada pasien stroke nilai p= 0,001 (α=0,05). Saran 4. Bagi Pasien Agar dapat lebih memeperhatikan kembali faktor yang dapat mencegah terjadinya luka dekubitus. 5. Bagi Rumah Sakit Agar dapat lebih memperhatikan kemampuan perawat sehingga dapat menerapkan pelaksanaan pemberian posisi miring kiri dan kanan yang dapat mencegah terjadinya luka. 6. Bagi Perawat Rumah Sakit Agar dapat memperhatikan perkembangan luka dan dapat menerapkan asuhan keperawatan terutama pada pasien yang mengalami luka. 7. Bagi Peneliti Selanjutnya Agar dapat meningkatkan penelitian menegnai faktor penyebab terjadinya luka dekubitas dan cara penyembuhannya
DAFTAR PUSTAKA Alfon. 2008. Pengaruh Pengaruh Posisi Lateral Inklin 300 TerhadapKejadian Dekubitus Pada Pasien Stroke. http://etd.eprints.ums.ac.id/44 62/1/J210050012.pdf. Diunduh pada tanggal 21 April 2015.
Dwiyanti, S, 20012. Manajemen Penelitian.Jakarta : Rineka Cipta. Enny. 2008. Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke dan Serangan Jantung Pencegahan dan Pengobatan alternative. Keenbooks. Fitriani. 2006. Hubungan Dekubitus dengan Stroke. http://dinkesbanggai.wordpress. com. Diunduh pada tanggal 20 April 2015 Junaidi. 2006. Manajemen Luka. EGC, Jakarta Irfan, Muhammad. 2010. Fisioterapi bagi Insan Stroke.Yogyakarta : Graha Ilmu Kanopi, Bambang. 2011. Keterampilan Dasar Massage. Yogyakarta : Muha Medika. Lumbantobing, S.M. 2009. Stroke.Balai Penerbit FK UI, Jakarta. Mukti. 2005. Pengaruh Irigasi Luka Pada Pasien dengan gangguan Mobilitas Fisik.. http://www.medicastore.com. Diunduh Pada Tanggal 21 April, 2015 Morison. 2009. Petunjuk Perawatan Pasien Pasca Stroke di Rumah. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan.Jakarta Rineka Cipta.
:
PT
pdf. Diunduh pada tanggal 13 April 2015.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika.
Sutrisno, Alfred. 2007. Stroke ?You Must Know Before You Get It. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sastroasmoro, Sudigdo dan Ismael, Sofyan. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : Sagung Seto. Setyajati. 2011. Pengaruh Irigasi Luka Terhadap Luka Dekubitus. http://www.medicastore.com. Diunduh Pada Tanggal 20 April 2015 Setiawan. 2008. Ulkus Dekubitus Bedsores. http://www.medicastore.com. Diunduh pada tanggal 11 April 2015. Sutanto, Hidayat. 2008. Pengaruh Irigasi Luka Pada pasien Imobilisasi.http://etd.eprints.u ms.ac.id/4462/1/J210050012.
Suriadi. 2009. Perawatan Luka Edisi 1. Sagung Seto, Jakarta. Tarihoran, E. 2010.Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Vanderwee. 2010. Penyakit Pemicu Stroke.Yogyakarta : Muha Medika. Wahyuningsih. 2005. Pedoman Perawatan Pasien.Jakarta : Buku Kedokteran ECG. Young, T. 2011. Awas Stroke, Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan dan Pencegahan. Yogyakarta.