Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA) Oleh: Santi Indriani Abstract Principle permits issued to PT. Mitra Ogan Regent in the absence of an EIA study contradict UUPLH and PP No.27 of 1998 on EIA. Because of all the businesses that have an impact on the environment must be accompanied by an EIA document. EIA as a legal instrument to be made in accordance with the procedures and provisions, and not just as a fulfillment of administrative requirements. Before issuing permits local governments should analyze the principle of advance planning activities to be carried out by PT. Mitra Ogan in this case the opening of oil palm plantations. Then on the basis of consideration of the impact that would result from such development should also involve community participation. The provisions of Article 5 (3) that every person has the right to play a role in environmental management in accordance with laws and regulations applicable. Keywords: Principle permits, AMDAL, local goverment
Pendahulauan Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam UUD 1945. Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA sedang Studi di Magister Hukum FH UNSRI
54
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari implementasi otonomi daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Sebagai salah satu dampak dari otonomi daerah yaitu desentralisasi. Maka Kabupaten Ogan Komering Ulu berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan pada prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pada prinsipnya penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di kabupaten dan kota. Asas dekonsentrasi tercermin dari pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur atau bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sementara itu tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan wajib melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, maka pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yaitu pada pasal 10 (2) yang berbunyi: “Dalam urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah diluar urusan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud meliputi: urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Urusan yang wajib dan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten merupakan urusan yang berskala kabupaten, di mana urusan tersebut meliputi: perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan dan pemanfaatan serta pengawasan tata ruang, penyeleggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya dan urusan wajib lainnya. Terhadap peningkatan pembangunan dan kesehjateraan masyarakat di Kabupaten OKU, pemerintah daerah dalam hal ini melakukan terobosan melalui pemberian izin prinsip pembukaan lahan oleh PT. Mitra Ogan di wilayah Kecamatan Semidang Aji Kabupaten OKU. Namun persoalan izin yang dikeluarkan oleh bupati ini masih debatable antara eksekutif dengan legislatif. Bahwa pembangunan ataupun pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Semidang Aji belum ada studi amdalnya, namun bupati telah mengeluarkan izin prinsip yang diberikan kepada PT. Mitra Ogan sebagai investor yang memperoleh Hak Guna Usaha (HGU). PT. Mitra Ogan sebagai investor besar perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Semidang Aji Kabupaten OKU Sumsel ini, sudah memiliki izin prinsip dari bupati seluas 9.650 hektare lahan untuk pembuatan kebun sawit. Perkebunan yang menerapkan pola kemitraan juga mendapatkan dukungan masyarakat di 10 desa. "Dari 9.650 hektare, yang bisa digarap sekitar 8 ribu hektare. Sebab sebagian lahan merupakan lahan produktif milik warga. Dari jumlah tersebut yang berhasil dibuka mencapai 4.300 hektar. Mayoritas lahan yang telah dibuka ternyata milik masyarakat yakni 3.300 hektar sedangkan sisanya 1.000 hektar lahan milik desa. Kawasan perkebunan kelapa sawit yang akan dicetak tersebar di 10 desa dalam Kecamatan Semidang Aji. Seluruh tanah desa yang telah digarap telah mendapat persetujuan dari kades beserta perangkatnya dan Badan
55
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Perwakilan Desa (BPD). Sedangkan tanah masyarakat yang telah digarap semuanya hasil penyerahan dan tak satupun yang diperoleh dengan cara pembebasan atau pembelian. Sebelum pemberian izin pembukaan perkebunanan kelapa sawit ini berdasarkan rekomendasi paripurna pansus pembahasan RAPERDA. Pansus merekomendasikan pembangunana dan pembukaan perkebunan kelapa sawit di Semidang Aji untuk ditunda terlebih dahulu karena belum adanya studi AMDAL. Namun bupati tidak mengindahkan rekomendasi pansus terkait izin pembukaan lahan tersebut. Bahkan yang paling miris adalah lahan masyarakat tidak dapat digarap lagi. Selain itu pemerintah daerah kurang memperhatikan dampak kerusakan lingkungan hidup yang akan diakibatkan dari pembukaan lahan tersebut. Sebelumnya, investasi perkebunan sawit di Kecamatan Semidang Aji oleh PT. Mitra Ogan harus dibatalkan. "Izin prinsip yang dimiliki dan dikeluarkan bupati tanpa sepengetahuan dewan dan tanpa adanya kajian AMDAL (Harian OKU EKSPRES, 1 Juni 2011:11). Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, pada tulisan ini ada beberapa hal yang sangat menarik untuk dikaji dan dianalisis, terkait izin prinsip yang dikeluarkan oleh Bupati OKU yang tanpa dilandasi dengan kajian AMDAL yang jika kita kaitkan dengan ketentuan UUPLH sudah barang tentu bertentangan dengan peraturan perundangundangan, selanjutnya dalam hal pemberian izin pembukaan lahan akan dikaitkan juga dengan UU sektoral yaitu UUPA terutama berkenaan dengan penyerahan kewenenangan Bidang pertanahan menurut medebewind (tugas pembantuan). Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU terhadap PT. Mitra Ogan Terkait Pembukaan Lahan Perkebunanan Kelapa Sawit Tanpa Adanya Kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdasarkan konstitusi dan berkedaulatan hukum, ada tiga konsep dari negara yang berkonstitusi yaitu: a) pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; b) Pemerintah dilaksanakan menurut hukum berdasarkan pada ketentuan –ketentuan umum bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi; c) pemerintahan berkonstitusi berarti peerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan beruuupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. (Tahir Azhary, 1992:63). Perumusan unsur-unsur negara hukum ini tidak terlepas dari falsfah dan sosio-politis yang melatarbelakanginnya, terutama pengaruh falsafah individualisme yang menempatkan individu atau warga negara sebagai premus interperes dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak individu menempati posisi yang significan. Semangat membatasi kekuasaan negara ini semakin kental setelah lahirnya adagium yang menyatakan bahwa power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutly (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalahgunakan). Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintahan tercantum didalam konstitusi sehingga sering dakatakan bahwa negara berdasarkan konstitusi (Sri Soemantri, 1987:2-3). Pada tataran implementasi negara hukum memiliki karakteristik dan model yang beragam, terlepas dari berbagai model negara hukum tersebut, boediono mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap menuju kesimpulan bahwa yaitu negara merupakan negara yang akan mewujudkan harapan para warga negara akan kehidupan yang tertib, adil dna sejahtera jika negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main (Boediono Kusumahamidjodjo, 1999:147).
56
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Pengertian perizinan Menurut pendapat Spelt dan Ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit yaitu sebagai berikut: Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undangan atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan (dalam Philipus M. Hadjon, 1993:3). Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pda suatu peaturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi suatu keadaan yang buruk. Tujuannya adalah untuk mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya hanya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya. Unsur-Unsur perizinan Bedasarakan uraian sebelumnya bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk ditetapkan pada peristiwa hukum konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Ada beberapa unsur dalam perizinan yaitu: 1) Instrumen Yuridis; dalam negara hukum moderen, tugas kewenangan pemerintah tidk hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan (rust en order), tetapi juga mengupayakan kesehjateraan umum (bestuursang). Tugas dan keweangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai saat ini masih dipertahankan. Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan pemerintah untuk untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan izin ini dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya,sebagaimana telah ditetapkan diatas (Ridwan H.R, 2006:2-3); 2) Peraturan perundang-undangan; pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan tindakan hukum pemerintah. Sebagai tindakan hukum maka harus ada wewenanag yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan asas legalitas . Tanpa dasar wewenang tindakan hukum tersebut menjadi tidak sah. Oleh karena itu dalam membuat dan menerbitkan izin haruslah adanya dasar wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (Ridwan H.R., 2006:212); 3) Organ Pemerintah; organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintah baik ditigkat Pusat maupu ditingkat daerah (Ridwan H. R., 2006: 213). Yang menjadi fokus analisis adalah izin yang dikeluarkan oleh Bupati OKU; 4) Peristiwa Kongkret; izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk ketetapan, yang digunakan pemerintah dalam menghadapi suatu peristiwa yang bersifat konkret dan individual. Peristiwa konkret adalah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu ,orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. (Ridwan H. R., 2006:216); 5) Prosedur dan Persyaratan; pada umumnya permohonnan izin harus menempuh prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping
57
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
harus menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus mmenuhi persyaratanpersyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihakoleh pemerintah atau pemberi. Subsistem Hukum Lingkungan Hidup Menurut Mattias Finger krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal, teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak, rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideology yang akhirnya merugikan lingkungan tindakan dan tingkah laku menyimpang dari aktor-aktor negara yang „tersesat‟, mulai dari korporasi transnasional hingga CEOs; merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme serta individuindividu yang tidak terbimbing dengan baik. Beranjak dari hal tersebut, maka pada umumnya menurut Finger jalan yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan akan dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang lebih baik, teknologi baru dan berbeda; penguatan komitmen politik dan publik; menciptakan gagasan dan ideologi baru yang prolingkungan (green thinking); penanganan terhadap aktor-aktor “sesat” serta merubah pola kebudayaan, tingkah laku, dan kesadaran tiap tiap individu (Matthias Finger, 2006:125). Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya bersifat praktis, konseptual, ekonomi saja, tetapi juga masalah etika baik sosial maupun bisnis, yang dilindungi oleh hukum pidanan tidak hanya alam, flora dan fauna /the ecological approach) tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat gradasi lingkungan hidup (the antroposentris approach) dengan demikian muncul istilah the environmental laws carry penal sancsion that protect a multimedia of interest (Muliadi, 1997:156). Permasalahan lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Disisi lain perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi angkasa, gunung, perut bumi dan dasar laut dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya hayati. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undangundang tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan yangmemiliki arah dan ciri yang serupa. Oleh karena itu sifat Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mengatur ketentuan pokok, asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Koesnadi Hardja Soemantri, 1999:67). Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup perlu diikuti tindakan berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesehjateraan umum seperti tercantum didalam UUD 1945. Lahirnya UUPL merupakan dasar ketentuan pelaksanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang bulat, utuh didala m satu sistem. Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memuat prinsip tersebut, yaitu dalam pasal 3 UU No.23 tahun 1997 yang telah diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang maksudnya adalah “Pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan”.
58
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Prinsip intergeneration equity merupakan prinsip yang menjadi acuan dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) begitu pentingnya prinsip itu sehingga perlu dituangkan dalam suatu deklarasi yang bertaraf internasional. Pembangunan ekonomi dengan eksploitasi sumber-sumber alam beserta dampakdampaknya akan menjadi beban yang harus dibayar mahal oleh generasi yang akan datang akibat kerusakan lingkungan hidup. Pemenuhan kebutuhan ekonomi oleh generasi sekarang yang tidak seimbang, akan meninggalkan persoalan-persoalan yang akan dihadapi oleh generasi yang akan datang, sehingga prinsip intergeneration equity menjadi prinsip dasar dalam pembangunan. Menurut Lucas Prakoso (2010:48), intergeneration equity dapat didekati dari beberapa model: 1) Preservasionist model; metode pendekatan ini bertolak dari adanya kemauan dari generasi sekarang untuk tidak merusak dan menghabiskan sumber-sumber kekayaan alam, melainkan memeliharanya untuk kepentingan generasi yang akan datang 2) Opulence Model; model pendekatan ini menyatakan bahwa generasi sekarang dapat mengkonsumsi kekayaan alam dengan sepuas-puasnya serta mencapai kesejahteraan semampunya. Dasar pikiran dari model ini adalah bahwa generasi yang akan datang itu akan ada atau tidak, memaksimalkan konsumsi yang ada sekarang bagi generasi yang akan datang ; 3) Technology Model; pendekatan model ini menyatakan bahwa kita tidak perlu menaruh perhatian terhadap lingkungan untuk kelangsungan generasi yang akan dating karena inovasi teknologi akan memungkinkan kita untuk mengenalkan pada sumber pengganti yang tidak terbatas, dan; 4) Eviromental Economic Model; argumentasi Model ini menyatakan bahwa jika kita memperhitungkan dan mempergunakan sumber-sumber kekayaan dengan layak, maka kita akan dapat memenuhi kewajiban kita pada generasi mendatang, prasarana ekonomi yang kita kembangkan selanjutnya akan berpedoman pada pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Pada dasarnya, dalam padnangan Muhammad Erwin (2009:79), semua usaha dan kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya yang penting terhadap lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik termasuk sosial budaya, guna dijadikan pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Dalam ketentuan Pasal 22 (1) UUPLH Menetapkan bahwa setiap rencana kegiatan yang mungkin dapat menimbulkan dampak besar dan penting, diwajibkan untuk memiliki AMDAL. Didalam Pasal 22 ayat 2 ditentukan kriteria dampak tersebut: a) besarnya jumlah penduduk yang akan; b) terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; c) Luas wilayah penyebaran dampak; d) intensitas dan lamanya dampak berlangsung; e) banyaknya komponen lingkungan hidup Lain yang akan terkena dampak; f) sifat kumulatif dampak; g) berbalik atau tidak berbaliknya dampak;dan atau, dan; h) Kriteria lain sesuai denganPerkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ketentuan PP No. 27 Tahun 2009 tentang AMDAL Pasal 1, analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL), adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan.
59
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Berdasarkan PP No. 27/1999 dalam ketentuan Pasal 3 (1) bahwa usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi; a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b) eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan; d) pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup; e) kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; f) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan; g) alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; h) proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi; i) pelestarian kawasan konservasi sumberdaya dan/atau perlindungan cagar budaya; j) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik; k) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; l) penerpan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar; m) untuk mempengaruhi lingkungan hidup, dan; n) kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahan negara. Dalam pembuatan AMDAL ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka acuan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan tentang AMDAL, pada pasal 14 (1) Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan hidup disusun oleh pemrakarsa; (2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Dalam ketentuan Pasal 7 PP No. 27/1999 menetapkan pula bahwa Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Selain itu didalam ketentuan tersebut juga menetapkan bahwa Pemohon izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) yang diberikan instansi yang bertanggung jawab. Sehubungan dengan izin prinsip yang dikeluarkan Bupati kepada PT.Mitra Ogan yang tidak disertai terlebih dahulu Kajian AMDAL berkenaan dengan pembukaan lahan perkebunan Kelapa sawit seluas 9.000 hektar menurut analisis saya merupakan rencana kegiatan yang mempunyai dampak besar bagi lingkungan hidup, karena dampak yang diakibatkan oleh pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut termasuk kegiatan yang memiliki resiko bagi lingkungan hidup. Dikeluarkannya izin prinsip Bupati OKU terhadap pembukaan kebun kelapa sawit oleh PT. Mitra Ogan tanpa disertai dengan kajian AMDAL menurut saya kedudukannya cacat hukum, sebab secara prosedural dan substansi pemberian izin sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya bahwa Izin ini merupakan instrumen yuridis yang memiliki unsurunsur yang tidak boleh bertentangan dengan UU. Namun kenyataannya izin yang diberikan Bupati ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UUPLH dan melanggar ketentuan PP No. 27/1999 yang berkenaan dengan kajian AMDAL. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Mitra Ogan sebagai investor, yang akan melakukan pembukaan lahan Perkebunana kelapa sawit sudah tentu menimbulkan dampak yang besar bagi lingkungan hidup. Adapun dampak besar yang akan muncul akibat pembukaan lahan tersebut pada dasarnya secara umum dapat berakibat pada Lingkungan Hidup antara lain: 1. Dampak Lingkungan akibat Konversi Hutan dan Gambut: a) degradasi lingkungan: pembukaan hutan dan gambut, apalagi dilakukan dengan cara membakar, akan mengeluarkan emisi karbon yang sangat besar; b) penurunan tingkat kesuburan tanah
60
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
akibat penggunaan bahan‐bahan kimia perkebunan seperti pupuk, pestisida dan herbisida. Hal tersebut jelas akan memercepat pemanasan global; 2. Degradasi Sumber Air: a) daerah tangkapan dan pinggiran sungai juga dikonversi jadi kebun sawit; b) pencemaran air sungai oleh limbah dan bahan‐bahan kimia; c) perkebun sawit. Juga 45% sumber air utama saat ini sedang dalam keadaan kritis dan 60 sungai sebagai sumber air masyarakat mesti segera direhabilitasi; d) di Kalimantan Tengah setidaknya 6 sumber air masyarakat rusak permanen akibat perkebunan sawit (Sajarwan, 2008); e) Penguasaan sumber daya air yang terdapat di perkebunan oleh perusahaan bisa mencapai 95 tahun (usia HGU), dan; f) kehilangan keanekaragaman hayati; hilangnya keanekaragaman hayati yang dilindungi akibat pembukaan hutan dan gambut jadi kebun sawit. Selain permasalahan tidak adanya kajian AMDAL, investasi yang dilakukan PT. Mitra Ogan juga tidak disertai dengan MoU yang jelas mengenai perjanjian pembagian keuntungan maupun terkait komposisi kebun plasmanya, sehingga dapat berakibat pada kerugian masyarakat, dimana masyarakat hanya akan menjadi penonton didaerah sendiri atau bahkan menjadi kuli kasar ditanahnya sendiri. Adapun dampak lain yang sudah dialami daerah ini adalah penebangan kayu atau hutan desa yang dilakukan oleh PT. Mitra Ogan ini sudah memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan disekitarnya, ditambah rusaknya infrastruktur yang diakibatkan oleh keluar masuknya alat-alat berat juga sebagai dampak dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan hidup. Adanya indikasi intimidasi dalam pembebasan lahan juga seharusnya menjadi bahan pertimbangan, pemanfaatan hutan desa tidak bisa hanya mendapat persetujuan kades dan perangkatnya saja, melainkan harus dimusyawarahkan dengan masyarakatnya juga. Pihak pemerintah seharusnya tidak membatasi hak-hak masyarakat untuk berperan aktif dalam mengontrol kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. bahkan sebaliknya harus mendukung proses penguatan peran dan hak-hak masyarakat dengan cara memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan mulai dari tingkat perencanaan, perizinan, proses AMDAL, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan (Muhamad Erwin, 2009:122). Dengan berjalan pada koridor hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan UU, secara yuridis normatif sebelum mengeluarkan Izin Prinsip pemerintah daerah hendaknya menganalisis terlebih dahulu perencanaan kegiatan yang akan dilakukan oleh PT.Mitra Ogan dalam hal ini pembukaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian atas dasar pertimbangan dampak yang akan diakibatkan oleh pembangunan tersebut juga perlu melibatkan peran serta masyarakat. Dalam ketentuan Pasal 5 (3) bahwa setiap orang berhak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat meliputi : mengajukan keberatan, dengar pendapat, cara-cara lain menurut UU. Peran serta masyarakat ini dapat juga dilakukan dalam proses penilaian AMDAL, artinya Bupati sebelum mengeluarkan izin tersebut mewajibkan PT.Mitra Ogan untuk membuat kajian AMDAL dimana terhadap kajian AMDAL ini masyarakat mempunyai peranan untuk menilai dokumen AMDAL terlebih dahulu sebab didalam ketentuan Pasal 7 (2) UUPLH ketentuan pelaksanaan peran serta masyarakat ini dengan cara: a) meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan kemitraan; b) menumbuhkan kemampuan dan kepeloporan; c) meneimbulkan ketanggapasegeraan masyarakat untuk melakukan pengawan sosial; d) memberikan saran dan pendapat, dan; e) menyampaikan informasi dan pendapat.
61
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Perlu diketahui bahwa pembangunanan yang dilakukan tentulah diharapkan dapat membawa manfaat berupa keadaan yang menguntungkan, meskipun pada sisi lain akan berhadapan dengan resiko lingkungan (enviromental risk) suatu keadaan yang merugikan. Permasalahan yang paling banyak muncul yang memberi peluang bagi berkembangnya masalah hukum lingkungan hidup salah satunya adalah peran serta pemerintahan dalam hal ini kewenangan memberikan izin. Dengan dalil untuk mempercepat pembangunan, meningkatkan kesehjateraan masyarakat, dan untuk kemaslahatan masyarakat, terkadang izin yang dkeluarkan ini bersifat unprosedural dan bertentangan dengan undang-undang. Dalam prakteknya bupati mengeluarkan izin tanpa adanya kajian AMDAL terlebih dahulu, tanpa meminta paritispasi masyarakat atau masukan dari berbagai pihak. Padahal kajian AMDAl adalah merupakan instrumen yang paling utama, sebelum perijinan dikeluarkan. Belum lagi permasalahan yang kompleks adalah dalam prakteknya, AMDAL lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan administrasi daripada substansinya. Artinya pesatnya permintaan AMDAL merupakan mata rantai kewajiban dalam urusan perizinan dalam suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk mendapatkan akad kredit atau izin investasi. Proses transparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen AMDAL bagi masyarakat tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan masyarakat yang terkena dampak tidak mengetahui pasti adanya suatu kegiatan atau aktivitas. AMDAL sebagai salah satu instrumen untuk mengamankan pembangunan maupun kegiatan usaha hendaknya memang dijadikan sebagai syarat utama yang tidak dapat ditolerir oleh pemerintah tertuma instansi yang mengeluarkan keweanangan izin dalam konteks kegiatan administrasi negara, dimana sebagai instrumen utama AMDAL harus dilakukan secara sepenuhnya, sungguh-sungguh sejak tahap perencanaan,pelaksanaan maupun tahap penilaian. Instrumen AMDAL ini seharusnya dijadikan oleh pemerintah daerah sebagai salah satu upaya untuk mencegah perusakan lingkungan hidup yang akan memberikan dampak bagi generasi –generasi bangsa di masa yang akan datang. Permasalahan izin bupati yang tanpa disertai Kajian AMDAL menurut penulis jika tidak dibatalkan, maka dapat dilakukan gugatan administrasi sebagaimana diatur didalam ketentuan UUPLH mengenai gugatan administratif pada ketentuan Pasal 93 (1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila: a) badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL; b) badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKLUPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPLdan/atau; c) badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Walaupun PP no 27/1999 telah lama berlaku, gambaran keadaan yang telah dicapai dalam kurun waktu tersebut masih belum optimal. Kerusakan lingkungan akibat pembangunan ini salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian terhadap penerapan AMDAL, terjadinya penyimpangan-penyimpangan, adanya peraturan yang dirasakan kurang operasional dan tidak adanya sistem pengawasan efektif. AMDAL seharusnya dilakukan seawal mungkin dalam daur proyek yaitu bersama-sama dengan eksplorasi, telaah kelayakan rekayasa, dan telaah kelayakan ekonomi sehingga AMDAL menjadi sebuah komponen integral dalam telaah kelayakan proyek.(Muhamad Erwin:57) sebabsebab penting tidak efektifnya AMDAL ialah : 1. Pelaksanaan AMDAL yang terlambat sehingga tidak dapat lagi mempengaruhi proses perencanaan tanpa menyebabkan penundaan pelaksanaan program atau proyek dan menaikan biaya proyek
62
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
2. Kurangnya pengertian pada sementara pihak tentang arti dan peranan AMDAL sehingga AMDAL hanya dilaksanakan sekedar untuk memenuhi peraturan perundangundangan atau disalahgunkan untuk membenarkan suatu proyek. 3. Belum cukup berkembangnya teknik AMDAL untuk dapat dibuatnya dan dengan rekomendasi spesifik dan jelas. 4. Kurangnya keteranpilan pada Komisi AMDAL untuk memeriksa laporan AMDAL 5. Dan belun adanya pemantauan yang baik untuk mengetahui apakah rekomendasi AMDAL yang tertera didalam RKL benarbenar digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan dilaksanakan dalam implementasi proyek (Otto Soermawarto, 2001:72) Menelaah kondisi yang terjadi saat ini berkenaan dengan izin operasional pemerintahan daerah sebagai penyelengara urusan pemerintahan di daerah bersama DPRD, menurut asas otonomi dan pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya sesuai denga ketentuan UUD 1945. Artinya dalam menjalankan fungsi penyelengaraan negara peran serta DPRD menurut penulis juga sangat kuat dalam hal ini, sebab DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat diharapkan dapat memberikan masukan, kritik dan pengawasan kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga fungsi kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan kewenangan eksekutif berjalan sesuai dengan koridor hukum. Selain itu lembaga swadaya masyarakat hendaknya khususnya dibidang lingkungan hidup hendaknya pula mampu memberikan kritisi terhadap Pemerintah daerah dalam hal ini memegang peranan sebagai bentuk kontrol dan peran serta masyarakat khususnya terhadap segala usaha dan kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan hidup. Hubungan Antara Izin Prinsip Bupati dalam Kerangka Hukum Pertanahan di Indonesia yang Diatur dalam Ketentuan UUPA sebagai Landasan Hukum yang Berlaku Sektoral dalam Konteks Otonomi Daerah Ketentuan UU no 32 tahun 2004, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempatsesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai kosekwensi dari otonomi daerah setiap daerah berhak untuk mengatur dan mengurus daerahnya ats prakrsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat diwilayah tersebut. Kebijkan Dasar UUD 1945, dalam ketentuan Pasal 18 (2), (5), dan (7), pemerintahan daerah propinsi dan kabupaten mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Berkenaan dengan makalah ini, penulis akan menguraikan perihal izin lokasi pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Mitra Ogan yang telah dianalisis dengan ketentuan UUPLH dan aturan-atiran pendukung lainnya, selanjutnya dalam konteks pemanfaatan hak atas tanah yang diberikan oleh Bupati ini akan dianalisis kembali dengan menggunakan ketentuan UU yang berlaku sektoral yaitu UUPA dan UU pendukung lainnya. Sehingga dapat dilihat bahwa ada hubungan yang signifikan terkait izin yang dikeluarkan Pemerintah daerah dengan ketentuan UUPLH dengan UU sektoral lainnya pada tataran yuridis normatif. Seringkali kepala daerah mengeluarkan ijin lokasi perkebunan sawit tanpa pernah membuat atau melihat terlebih dahulu tata ruang di wilayah tersebut. Bagi perusahaan mendapatkan ijin lokasi, berarti diberi kewenangan untuk melakukan pembukaan atau
63
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
pembersihan lahan. Keadaan ini bertentangan dengan UUPA No. 5/1960 di mana perusahaan pemilik HGU-lah yang berhak melakukan pembukaan, penanaman dan perawatan kebun. Sebelum membahas mengenai izin bupati terhadap kasus diatas, perlu diketahui bahwa sepanjang mengeani pertanahan, otonomi yang seluas-luasnya itu dalam kerangka ketentuan UU yang berlaku yaitu UUPA di mana didalam hal ini terbatas pada tugas pembantuan (medebewind). Tugas wewenang apa yang di medebewind kan perlu disesuaikan dengan pasal 18 UUD 1945 tetapi bukan dalam bentuk otonomi dala arti mengatur dan mengurus pemerintah daerah, tetapi tugas pembantuan juga terbatas pada kewenangan-kewenangan tertentu saja (Boedi Harsono, 2008:1). Kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota ada yang bersifat urusan wajib, dan pilihan. Yang merupakan urusan wajib tersebut dalam pasal 13 ayat (1) dan pasal 14 ayat (1). Sepanjang mengenai bidang pertahanan urusan yang bersifat wajib merupakan urusan pelayanan pertahanan yang akan diukur dengan peraturan pemerintah, tetapi hingga saat ini belum ada. Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “Pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah ebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintahan daerah mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan”. Perlu diperhatikan bahwa urusan kewenangan pemerintah tersebut tidak khusus hanya mengenai pertanahan. Karena itu masih menjadi persoalan apakah yang dinyatakan dalam ayat (2) pasal tersebut seluruhnya berlaku juga terhadapa urusan pelayanan pertanahan, yang disebut dalam pasal 13 dan 14. Urusan yang menjadi urusan pemerintah disebut dalam ayat 3 meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional dan agama. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintah, menurut ayat (4) pemerintah dapat melaksanakannya sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah. Yang terakhir bentuknya adalah tugas pembantuan atau medebewind. Selain isi ayat 1 sampai dengan ayat 4 diatas perlu diperhatikan apa yang ditentukan dalam pasal 10 ayat 5. Ayat tersebut menetapkan bahwa “selain urusan pemerintah yang disebut dalam ayat 3 di atas”, masih ada urusan lain yang kewenangannya ada pada pemerintah pusat. Di antara urusan tersebut termasuk juga bidang pertanahan yang oleh pasal 33 ayat 3 UUD RI dan pasal 2 UUPA kewenangannya ditugaskan kepada negara. Pelaksanaan urusan kewenangan pemerintah menurut ayat 5 adalah; a) diselenggarakan sendiri sebagai urusan pemerintah; b) dilimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (dekonsentrasi); atau; c) ditugaskan sebagain urusan kepada pemerintah daerah dan atau pemerintah desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Apa yang ditentukan oleh ayat 5 tersebut sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan adalam UUPA seperti dikemukakan diatas yaitu bentuk medebewind/tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan menurut ketentuan pasal 13 dan 14 meliputi urusan pemerintahan yang “secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan kondisi kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Urusan bidang pelayanan pertanahan tidak memenuhi kriteria tersebut. Maka kewenangan daerah onpropinsi, kabupaten dan kota yang merupakan tugas pembantuan, tidak meliputi urusan bersifat pilihan. Maka tugas pelayanan pertanahan terbatas pada urusan yang bersifat wajib, dengan bentuk tugas pembantuan. Kewenangan yang dimedebewind-kan: Penentuan kewenangan dibidang pelayanan pertanahan yang akan di
64
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
tugaskan kepada pemerintahan daerah, tentu akan memperhatikan paradigma baru, seperti digariskan dalam pasal 18 UUD RI 1945, disampaing kenyataan bahwa kemampuan masing-masing daerah propinsi, kabupaten dan kota sangat beragam. UU 32/2004 bahkan menunjuk pada adanya kewenangan yang concurrent, dan harus mempertimbangkan pemenuhan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. maka pelaksanaan harus kasual dan bertahap. Berkenaan dengan izin yang dikeluarkan oleh Bupati OKU terhadap investor, jika kita analisis izin lokasi sampai dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) merupakan serangkaian kegiatan yang berkesinambungan secara yuridis normatif, sebab alur hukumnya harus dijadikan sebagai landasan yuridis dalam konteks pembukaan perkebunan kelapa sawit ini. Dapat dilihat dari bagan berikut ini:
Izin Lokasi Dasar Hukum Peraturan Menteri Agaria/Kepala BPN No. 2 Tahun 1999 Tentang Ijin Lokasi
Izin Usaha Perkebunan
Dasar Hukum 1. UU Perkebunan 25 Ha – 100.000 Ha 2.Kepmentan. No.26/Permentan/05.140/2/ 2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
Pelepasan Kawasan Hutan
HGU
Dasar Hukum : Kep. Bersama Menhut, Mentan dan Kepala BPN. Nomor : 364/Kpts No. 18 Th. 2004 2. Kepmentan. No.26/Permentan/ 05.140/2/2007 Tentang Pedoman Ijin Usaha Huta Kpts-11/90, 519/Kpts/HK.050/7/90 dan 23-VIII-1990 Tentang Ketentuan Pelepasan Izin Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Usaha Pertanian dan Perkebunan
Dasar Hukum: UU No. 5/1960 dan UU No. 25 /2007 Tentang Penanaman Modal
Berdasarkan alur hukum yang diuraikan ini bahwa mulai dari proses pemberian izin lokasi sampai dengan izin usaha perkebunan serta pelepasan kawasan hutan dan memperoleh hak guna usaha harus berdasarkan prosedur hukum yang benar. Dalam hal pelepasan kawasan hutan yang merupakan milik masyarakat desa di Kecamatan Semidang Aji seluas 4.300 hektar. Mayoritas lahan yang telah dibuka ternyata milik masyarakat yakni 3.300 hektar sedangkan sisanya 1.000 hektar lahan milik desa. Kawasan hutan ini meskipun merupakan lahan tidur tetap harus berdasarkan dengan ketentuan izin pelepasan kawasan hutan dan harus mendapat izin sesuai dengan pedoman yang diatur didalam ketentuan peratura perundang-undangan. Artinya izin lokasi perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembukaan lahan tersebut bukan hanya didasarkan pada izin dari kepala desa dan perangkat desa. Sebab kita sangat memahami bahwa tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan maka hendaknya pengaturan penguasan, pemilikan dan
65
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
perizinan seharusnya diarahkan pada semakin terjaminnya tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, ataupun pemelihraan tanah dan lingkungan hidup sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud . Setelah izin-izin yang berkenaan dengan pembukaan dan pelepasan kawasan hutan, maka diberikan pula hak guna usaha yang dasar hukumnya diatur dalam ketentuan UUPA. Hak guna usaha adalah hak yang diberikan berdasarkan ketentuan UUPA kepada warga negara indonesia dalam rangka pemanfaatan usaha diatas tanah dalam jangka waktu tertentu. Dalam ketentuan pasal 4 PP no 40 tahun 1996 tentang HGU, Hak guna bangunan dan hak pakai menetapkan bahwa tanah yang dapat diberikan hak guna usaha adalah: a) tanah yang diberikan dengan HGU adalah tanah negara; b) dalam hal tanah yang akan diberikan HGU tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan, dan; c) pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketetnuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannyapelepasan hak terebut dengan tata cara yang diatur di dalam UU. Beradasarkan ketentuan tersebut di atas meskipun pelaksanaan otonomi daerah dalam konteks tugas pembantuan ini hendaknya harus berlandaskan aturan hukum yang jelas, sebab izin dari kepala desa dan aparatur desa saja tidak cukup dijadikan dasar bagi PT. Mitra Ogan untuk langsung membuka lahan perkebunan di Kecamatan Semidang Aji. Selain itu jika seluruh prosedur ketentuan UU telah dilaksanakan pemegang HGU yang diatur didalam pasal 12 PP No. 40 tahun 1996 berekwajiban untuk: a) membayar uang pemasukan kepada Negara; b) melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/ atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; c) mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; d) membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal HGU; e) memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f) menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU; g) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah HGU tersebut hapus, dan; h) menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Penutup Berdasarkan uraian tulisan di atas,maka dapat ditarik kesimpulan antara lain: 1. Bahwa izin prinsip yang dikeluarkan Bupati kepada PT. Mitra Ogan tanpa adanya kajian AMDAL bertentangan dengan UUPLH dan PP No.27 tahun 1998 tentang AMDAL. Sebab terhadap segala usaha yang menimbulkan dampak besar bagi lingkungan hidup harus disertai dengan dokumen AMDAL. AMDAL sebagai instrumen yuridis harus dibuat sesuai dengan prosedur dan ketentuan dan bukan hanya sebagai pemenuhan syarat administrasi. Sebelum mengeluarkan izin prinsip, pemerintah daerah hendaknya menganalisis terlebih dahulu perencanaan kegiatan yang akan dilakukan oleh PT. Mitra Ogan dalam hal ini pembukaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian atas dasar pertimbangan dampak yang akan diakibatkan oleh pembangunan tersebut juga perlu melibatkan peran serta masyarakat. Dalam ketentuan Pasal 5 (3) bahwa setiap orang berhak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
66
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat meliputi: mengajukan keberatan, dengar pendapat, cara-cara lain menurut UU. 2. Terhadap kewenangan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit pada dasarnya ada beberapa alur hukum yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin lokasi, izin usaha perkebunan, pembukaan lahan di kawasan hutan serta hak guna usaha. Di mana terkait permasalahan otonomi daerah, masih tetap harus berlandaskan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral.
DAFTAR PUSTAKA Azhary, Tahir. 1992. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang Erwin, Muhammad. 2009. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia; Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan Kusumahamidjojo, Boediono. 1999. Ketertiban yang Adil Problematika Filsafat Hukum. Jakarta: Grasindo Matthias Finger. 2006. “Which Governance for Sustainable Development? An Organizational and Institutional Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan Matthias Finger, Eds., The Crisis of Global EnvironmentalGovernance: Towards a New Political Economy of Sustainability. New York: Routledge Taylor & Francis Group Muliadi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Prakoso, Lucas. 2010. “Urgensi Intergeneration Equity dalam Hukum Lingkungan”. Dalam Jurnal Varia Peradilan Edisi 26 No.301. Jakarta, 2010. Soemantri, Koesnadi Hardja. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Soemantri, Sri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni Spelt N. M. dan J. B. J. M. Ten Berge. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Disunting oleh Philipus M.Hadjon. Surabaya: Yuridika Ridwan, H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
67
Santi Indriani; 54 -68
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Peraturan Perundang-Undangan dan Sumber lainnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Harian Umum OKU EKSPRES, Edisi 1 Juni 2011, Halaman 11
68
Santi Indriani; 54 -68