Ini Jakarta Ini Jakarta. Semangkuk puisi yang diberi metafor kaya rasa dan serpih harap di setiap gelagat laju kala. Orang-orang banyak mendewakan, tapi tak sedikit yang berserapah walau memilih untuk tetap tinggal memijak tanahnya. Langit terkadang murung. Tapi, bingar selalu jadi berita segar setiap lembaran detik dibuka. Saat surya jadi raja, pecahlah kepala orang-orang. Sesekali, amarah meruah mengantar ode bagi hewan-hewan kepada kuping pekak yang telah kebal karena bising. Lalu, hujan jadi rintikan cinta yang selalu siaga menjelma kematian. Cinta dan kematian, tak sejalan tetapi selalu berdampingan. Pula dengan kelahiran yang sesekali jadi hantu. Kicau burung masih ada, tersangkut pada celah pepohon di rindang taman kota. Di suatu tempat, angin laut menyergap melewati pantaipantai. Dia tak pernah singgah jadi sejarah. Hanya lewat, lalu pergi menyisir pasir di bibir senja. Di trotoar nyaris tak ada jeda untuk bernapas puas, walau udara tak habis dihirup manusia yang mangap-mangap sambil mendaki gedung bertangga sejuta. Ini Jakarta. Di sebuah kotak, aku menari sendirian. Dikurung malam, dilindungi dahsyat doa bunda di tanah lahir.
Ini Jakarta, dan baru sejengkal kujelajahi hamparan rumputnya yang selalu berganti warna. #terpaksa disudahi karena harus segera beranjak Sevel Hayam Wuruk, 2 Juni 2013 2.49 AM
You'll hear the piano sound And know someone turned around (Minor Detail, Sondre Lerche)
2
Seteko Kata Hati
Sang Pelindung Sejak awal, aku memang telah ditakdirkan untuk melindungimu, tetapi bukan untuk melindungi hatimu. Ada euforia saat kali pertama aku bertemu dengan kamu. Orang lain juga pernah merasakannya. Di situlah rasa bahagia, haru, dan rasa lain yang identik dengan keindahan bermuara. Karena rasa itu, aku merasa terlahir kembali. Semua rasa itu semakin melangit saat kembara matamu berakhir padaku. Lalu, langit pun terasa semakin kromatis saat pilihan kamu jatuhkan kepadaku. Kurasakan euforia yang tak berkesudahan. Sejak hari itu, aku jadi satu-satunya hal yang paling dekat denganmu. Duniamu mendadak dibagi denganku. Isi kepala kita berfusi. Sejak hari itu, apa yang kamu lihat bisa kulihat juga. Aku menjadi satu-satunya pelindung yang bisa kau andalkan. Kadang, di tengah perjalanan melintasi bising kota, kamu selalu bercerita tentang apa saja. Kadang tentang masa lalumu, tentang bagaimana kamu jatuh hati pada sepeda motor yang setiap hari kita kendarai bersama, bahkan tentang gelisahmu saat ikan-ikan di akuariummu mati. Tetapi, dari semua cerita yang mengalir lirih dari mulutmu dalam setiap perjalanan kita, yang paling membuatku tersentuh adalah kisah tentang cintamu pada seseorang. Seseorang yang kamu cintai sedalam-dalamnya, sepenuhSigit Rais
3
penuhnya, sehebat-hebatnya, tetapi kamu tidak pernah bisa mengungkapkannya. Jujur, aku cemburu pada orang yang kamu maksud itu. Kamu sangat mencintainya, walaupun kamu bergeming dalam kepura-puraan. Kadang, aku ingin egois. Aku pelindungmu yang selalu menyayangi kamu, maka akulah yang seharusnya kamu cintai. Tetapi, tak ada yang bisa memaksakan kehendak hati orang lain. Aku sama sekali tak punya energi untuk menyulap hatimu agar berbalik mencintaiku. Sampailah kebersamaanku denganmu di kilometer ke 2211. Di siang yang garang, pedih cinta datang menyerang, dan hatimu meradang. Orang yang selama ini kamu cintai habishabisan masuk rumah sakit dalam keadaan koma. Malam sebelumnya, kamu memaki-makinya karena pekerjaannya beberapa minggu belakangan ini tidak tuntas. Sebagai supervisor, kamu pandai menyembunyikan rasa cinta mendalammu untuknya. Maka, dengan pikiran profesional, kamu memang sudah sewajarnya melakukan itu. Sayangnya, dia tak setangguh kamu menghadapi badai rasa hati. Apalagi saat orang yang dicintainya membantai hatinya dengan caci-maki karena alasan pekerjaan. Dia limbung, sampai-sampai lengah saat menyeberang jalan. Sebuah bus yang ugal-ugalan tanpa belas kasihan menabraknya hingga tersungkur berdarah-darah di tengah jalan. Beruntung umurnya bisa diperpanjang, walau kini dia tak sadar sedang berada di pembaringan. Aku tahu, kamu menyesal. Apalagi setelah dari buku hariannya kamu tahu bahwa akhir-akhir ini pikirannya 4
Seteko Kata Hati
sedang gusar karena dia mencintaimu. Sama dahsyatnya dengan rasa cintamu padanya. Huh, kamu dan dia membuatku bingung. Saling mencintai, tetapi tidak pernah ada titik temu. Kamu menangis sepanjang jalan. Motor yang kita kendarai melaju tak tentu arah. Setiap orang yang sedang menyeberang, selalu kamu visualisasikan sebagai pujaan hatimu. Hatimu hancur, berdarah-darah, dan aku tak sanggup melindunginya. Ya, seharusnya aku bisa melindungi hatimu seperti aku melindungi kepalamu siang itu. Di kilometer 2211 pada speedometer motormu, kamu menghindari seseorang yang sedang menyeberang. Karena itu, motor kita menabrak separator busway. Kamu dan aku terpental beberapa meter. Kamu beruntung, ada aku yang melindungi kepalamu, walaupun kini ragaku nyaris terbelah dua. Dalam hitungan hari, kamu pulih, tetapi hatimu tidak. Orang yang kamu cintai telah pergi untuk selamanya. Hatimu berlubang. Aku berhasil melindungi kepalamu, tetapi tidak bisa melindungi rapuh hatimu. Tapi, tenang saja. Time will heal. Kini, kepalamu dilindungi oleh helm lain penggantiku. Kupikir, kamu akan membuangku. Ternyata tidak. Di sebuah meja di kamarmu, aku kamu simpan baik-baik setelah dibersihkan. Baiklah, ini kuanggap bentuk pengungkapan bahwa kamu juga mencintaiku, sang pelindungmu. Jakarta, 15 Juni 2013
Sigit Rais
5
Jika Tidur Jika tidur dapat menghapus ingatanku tentang riang di wajahmu, aku memilih untuk terjaga selamanya. Jakarta, Oktober 2011
6
Seteko Kata Hati
Edelweiss dari Merapi Ada seikat edelweiss dari Merapi yang tak jadi diserahkan kepada calon penerimanya. Padahal, semua telah direncanakan sejak jauh hari. Ya, sejak pendar hati itu terasa masih tertuju padaku. Seikat edelweiss itu kusimpan baik-baik, menunggu saat yang tepat untuk diserahkan pada bidadari bulan yang pantas menerimanya. Kupikir, hari ulang tahunnya adalah waktu yang paling tepat untuk menyampaikan semua rasa, luapkan semua kata hati yang istimewa ini, dan memetik bintang. Tapi, tangan-tangan takdir menggiring cerita ke arah yang lain. Andai hari ulang tahunnya datang lebih awal. Ya, sebelum orang lain datang membawakan bunga untuknya. Ya sudahlah. Aku semakin mengerti, kita hanya bisa membuat rencana, dan ada hal lain di luar kendali kita, termasuk kehadiran rencana orang lain yang bisa mengubah banyak rencana kita. Jakarta, Desember 2012
Sigit Rais
7
Aku, Inginku, dan Ketaksempurnaan Kesempatan Inginku sangat sederhana dan tak mengada-ngada. Sekadar merangkum seisi taman, lalu mengekstraksinya ke dalam secangkir kopi rendah kafein. Kita akan mereguknya bersama tanpa khawatir asam lambung meluap dari kolam penuh ikan itu. Inginku bukan celoteh antah-berantah. Bukan pula dongeng yang begitu dirindukan bocah. Ini sekadar celah untuk luapkan kelam isi kepala yang membuncah. Tanpa syarat meruah, aku hanya ingin ciptakan pantulan bulan di sudut lanskap yang pernah kaubingkai. Inginku tak pernah istimewa. Seistimewa kesempatanku yang sama sekali tak pernah sempurna. Sesempurna kokoh pohon di tengah taman, yang utuh dan diandalkan orangorang untuk berteduh atau berpacaran. Ini aku, inginku, dan ketaksempurnaan kesempatan untuk bisa mengunci kenangan denganmu sebelum fajar tiba. #suara hati segelas kopi susu Taman Surapati, 2 Juni 2013, 12.21 AM
8
Seteko Kata Hati
Semenit Lagi Semenit lagi, tampaknya warna langit akan semakin redup, lalu mati. Tetapi, langit akan tetap hidup, dijamuri bintangbintang, dan sesekali disambangi purnama. Tadi, hujan baru saja usai. Ada pelangi yang tak sempat kubingkai. Aku terlalu sibuk menyeka air mata di wajah rumput. Sebetulnya, matahari yang sempat tiada sangat ingin menyinari rumput itu. Tetapi, kesempatan memang tak pernah sempurna untuknya. Langit segera menyeretnya surup di batas horison senja. Besok, mungkin matahari akan kembali untuk rumput. Tetapi, dia tak terlalu yakin bahwa rumput masih menunggunya. Semenit lagi, rumput itu akan lelap berpayung kelam. Kenangan hari ini, mungkin akan dilupakannya. Semenit lagi, seperempat gelas teh jahe akan kuhabiskan, lalu aku pulang, kembali ke titik diam yang masih terus digentayangi rasa takut sepi yang terlalu menusuk.. Kantin, 4 Juni 2013, 5.47 PM
Sigit Rais
9
Sigit Rais Sejak kecil telah jatuh hati pada dunia kepenulisan. Beberapa karya tulisannya, khususnya fiksi, telah dimuat di sejumlah media dan diterbitkan dalam bentuk buku, baik karya tunggal maupun antologi. Buku-buku karyanya, antara lain “Green Jomblo” (2009), Si Dodol VS si Gokil (2009), “Turbulensi” (2011), “Divan dan Hujan” (2012), dan “Chromatic Love” (2013). Selain itu, beberapa karyanya pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional, Institut Perempuan, dan UNICEF. Buku ini berisi tulisan-tulisan yang berasal dari catatan kecilnya sehari-hari yang tersebar di blog, notes jejaring sosial, telepon selular, dan lembar-lembar kertas yang berserak di meja kerjanya. Sekarang, selain bekerja di Jakarta, aktif juga mengelola Geng Menulis Sapulidi. Bisa dikontak melalui twitter @ighiw, sekadar sharing seputar dunia kepenulisan atau berbagi seteko kata hati.
10
Seteko Kata Hati