i
TESIS
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR
MISRAN WAHYUDI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
TESIS
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR
MISRAN WAHYUDI NIM 1390561013
PROGRAM STUDI MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
ii
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
MISRAN WAHYUDI NIM 1390561013
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
iii
Lembaran Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 16 APRIL 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum. NIP. 1946123119760110011
Dr. I Gede Artha, S.H., M.H. NIP. 195801271985031002
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan,S.H.,M.Hum.,LLM. NIP. 1961110119860112001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K). NIP. 195902151985102001
iii
iv
Tesis Ini Telah Diuji Pada tanggal 16 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Nomor : 863/UN14.4/HK/2015 Tanggal 9 April 2015
Ketua
: Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum.
Sekretaris
: Dr. I Gede Artha, SH.,MH.
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS. 2. Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH. 3. Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH.
iv
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini : Nama
:
Misran Wahyudi
Program Studi
:
Ilmu Hukum
Judul Tesis
:
Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 16 April 2015 Yang menyatakan
Misran Wahyudi
v
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan lahir batin kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Menjalankan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar”. Penulisan tesis ini merupakan persyaratan mutlak dalam memperoleh gelar lengkap Magister Hukum (MH) pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Bali. Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari akan segala keterbatasan yang dimiliki,namun dengan segala ikhtiar yang sungguh-sungguh dan disertai doa,maka semua kendala maupun hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mohon bantuan berupa kritik, saran atau masukan yang bersifat membangun dari semua pihak guna mendapatkan kesempurnaan dalam penulisan tesis ini. Semoga dengan penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, khususnya kepada pemangku kebijakan yang terkait dalam mewujudkan sistem peradilan militer yang kredibel dan mandiri. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait. Sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana.
2.
Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH., M.Hum., LLM selaku Kepala Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.
4.
Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum selaku Sekretaris Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.
vi
vii
5.
Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini, sehingga dapat berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan.
6.
Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahannya dalam penulisan tesis ini, sehingga dapat berjalan dengan lancar.
7.
Para Dosen dan Staf Administrasi Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah mendukung kelancaran kegiatan belajar mengajar.
8.
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI di Jakarta yang telah memberikan ijin kuliah di Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.
9.
Kepala Dinas Pengawas Teknis Oditurat Jendral TNI Jakarta Kolonel Chk Endro Nurwantoko, SH., MH yang telah memberikan sumbangsih berupa pemikirannya dan data-data penunjang yang diperlukan.
10.
Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar Kolonel Chk Yonavia, SH., MH beserta staf yang telah memberikan motivasi berupa dukungan moral, sehingga dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lancar.
11.
Letkol Chk Sumantri, SH., Mayor Chk Reman, SH., MH dan Mayor Laut (KH) I Made Adnyana, SH selaku narasumber dalam penulisan tesis ini.
12.
Rekan-rekan Mahasiswa angkatan tahun 2013 Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana atas segala bantuannya informasi, sehingga tesis ini dapat selesai dengan tepat waktu.
13.
Ibu Desak Karin, S.Par yang telah memberikan dukungan berupa pemikirannya dalam menunjang penulisan tesis ini.
14.
Semua pihak yang tidak dapat sebutkan satu per satu, yang telah memberikan bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini.
15.
Keluarga besar penulis yang berada di Yogyakarta atas segala doa serta motivasi yang telah diberikan sampai dengan selesainya tesis ini.
vii
viii
Permohonan maaf yang setinggi-tingginya apabila dalam penulisan tesis ini terdapat kekurangan, karena sesungguhnya sifat manusia adalah tidak sempurna. Namun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar segala kekurangan tersebut tidak mempengaruhi makna dari subtansi yang sesungguhnya. Akhirnya seraya memohon kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan petunjuk, hidayah dan anugerah, sehingga jalan terang selalu menyertai.
Denpasar, 16 April 2015 Penulis
Misran Wahyudi
viii
ix
ABSTRAK
Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu sub sistem dalam sistem peradilan militer di Indonesia. Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI memiliki fungsi utama adalah melakukan penuntutan dalam persidangan di Pengadilan Militer berdasarkan alat bukti yang sah dengan senantiasa memperhatikan norma-norma keagamaan, kemanusiaan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dan harus memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara. Oditur Militer dapat menjalankan fungsinya dengan baik, jika memiliki independensi. Bertitik tolak dengan hal tersebut, adanya kebijakan rencana tuntutan yang dikeluarkan Oditur Jenderal TNI berpotensi dapat mempengaruhi independensi Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian dengan mengambil tema “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar”. Rumusan permasalahan pertama adalah bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Oditur Jenderal TNI. Sedangkan permasalahan kedua adalah upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian ini bersifat bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang berkopeten. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Setelah data primer dan data sekunder lengkap kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan teori hukum. Hasil analisis disajikan secara deskriptif analitis dalam bentuk uraian-uraian sehingga mampu memberi gambaran dan kesimpulan yang jelas. Simpulan pembahasan tesis ini sebagai berikut : Pertama adalah Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Oditur Jenderal TNI menjadikan Oditur Militer karena pada saat membuat surat tuntutan Oditur Militer menjadi tergantung kepada keputusan atasannya. Kedua upayaupaya yang dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer agar memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia adalah upaya-upaya bersifat teknis yang terbagi dalam tiga bidang yaitu bidang teknis penuntutan, bidang pengawasan dan pengendalian, serta bidang pendidikan dan pelatihan, sedangkan upaya bersifat kelembagaan dengan menempatkan lembaga Oditurat berada langsung di bawah kendali Panglima TNI baik secara pembinaan organisasi, prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial. (kata kunci : Oditur Militer, Independensi, Fungsi)
ix
x
ABSTRACT
Military Attorney is one of components in enforcing the law in the military court of justice system. Moreover, the Military Attorney is as general prosecutor in the Indonesian National Armed Forces. Confidently, it has major function in demanding based on legitimating evidences in Military Court. Based on aforementioned statement, Military Attorney consider to religious norm, humanity, and civility. In addition, the dig law and justice are also discovered by concerning the importance of defense and security system of the country. As well, based on its duty, the subject of this study is about “The Independent of Military Attorney of the Indonesian National Armed Forces (TNI) in implementing its function in Military Prosecuting Attorneys III-14 Denpasar”. Afterwards, the first problem is wheter Military Attorney independently achieve its function in Military Prosecuting Attorneys III-14 Denpasar by conducted the plan demans policy as of Military General Attorneyof Indonesian National Armed Forces. Whereas, the second problem iswhether the efforts shoud be accomplished in establishing independent Military Attorney of Indonesian military court of justice system. This research was conducted by empirical legal research methods. Moreover, this study was a descriptive analysis research by using primary data and secondary data. Primary data were obtained by conducting the interviews of sample. Further more, purposive sampling or judgmental sampling was applied in this research. After the primary data and secondary data were completed, a theory was analyzed by using qualitative method. Then,the result of the analysis was presented in descriptive analysis in the form of descriptions that were able to givean overview and appropriate conclusions based on the research problems. Based on this research, it can be concluded that; first, Military Attorney is on duty as general procecutor in Military Prosecuting Attorneys III-14 Denpasar became less independent. It was occured because the implementation of the plan demand policy by Military General Attorney. It can be stated that the demand was only established by upper position. Finally, the judgments are not merely according conscience. Secondly, Military Attorney attempt to independently in military court justice system in three aspects such as technical field of prosecution, field supervision and control, as well as education and training ; while the institutional effort to put Military Prosecuting Attorney intitutions are directly under control of the Commander of the Indonesian National Armed Forces of both organization development, administrative and technical of judicial. (keywords: Military Attorney, Independence, Functions)
xi
xi
RINGKASAN INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR Bab I sebagai awal penulisan tesis ini menguraikan tentang latar belakang masalah, dengan rumusan masalah yaitu : Bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dan upaya-upaya apakah yang harus dilakukan untuk mewujudkan Oditur Militer agar memiliki independensi dalam sistem peradilan pidana militer di Indonesia. Latar belakang penulisan ini berangkat dari adanya perbedaan antara das sollen dan das sein terhadap kebijakan rencana tuntutan oleh Oditur Jenderal TNI (Orjen TNI) yang diberlakukan di seluruh Oditurat termasuk di Oditurat Militer III-14 Denpasar sejak tahun 2006, sehingga penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan sumber data primer yang diperoleh dengan cara observasi secara langsung dan wawancara (intervew) secara langsung dengan nara sumber, sedangkan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis dalam bentuk uraian-uraian, sehingga akan mendapatkan gambaran dan kesimpulan yang jelas. Bab II berisikan tinjauan umum tentang hakekat independensi, Oditur Militer sebagai penuntut umum TNI, sistem peradilan pidana militer di Indonesia, sistem penuntutan di lingkungan Kejaksaan dan kebijakan rencana tuntutan.
xii
xii
Bab III membahas mengenai independensi Oditur Militer dalam melaksanakan
fungsinya
di
Oditurat
Militer
III-14
Denpasar
dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006. Adapun pembahasannya adalah Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006, dikarenakan Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat membuat tuntutan pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi sangat tergantung kepada keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga Oditur Militer tidak dapat menentukan besaran tuntutan secara mandiri sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi tanggung jawabnya. Bab IV membahas mengenai upaya-upaya dalam mewujudkan Oditur Militer agar memiliki independensi dalam sistem peradilan militer, yaitu berupa upaya-upaya bersifat teknis dan upaya bersifat kelembagaan. Upaya-upaya bersifat teknis yang terbagi dalam tiga bidang yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan pengawasan, serta bidang pendidikan dan latihan. Sedangkan upaya bersifat kelembagaan adalah dengan melakukan penempatan lembaga Oditurat baik secara pembinaan organisasi Oditurat, prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial berada langsung di bawah kendali Panglima TNI dan perlunya menempatkan personel TNI sebagai Perwira Penghubung (LO TNI) di Kejaksaan Agung guna memudahkan koordinasi di bidang penuntutan.
xiii
xiii
Bab V adalah penutup yang berisikan simpulan dan saran. Simpulan dalam tesis ini, Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006, dikarenakan Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat membuat tuntutan pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi sangat tergantung kepada keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga Oditur Militer tidak dapat menentukan besaran tuntutan secara mandiri sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi tanggung jawabnya. Selanjutnya dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer dilakukan upaya-upaya yang bersifat teknis maupun secara bersifat kelembagaan. Upaya-upaya yang bersifat teknis terbagi dalam 3 (tiga) bidang yang harus mendapat perhatian khusus guna dilakukan perbaikan, yaitu bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan pengawasan, serta bidang pendidikan dan latihan, sedangkan upaya yang bersifat kelembagaan adalah dengan melakukan penempatan lembaga Oditurat baik secara pembinaan organisasi Oditurat, prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial berada langsung di bawah kendali Panglima TNI. Saran yang dapat diberikan adalah: Pertama agar Orjen TNI untuk mengkaji ulang terhadap kebijakan rencana tuntutan yang telah diberlakukan sejak tahun 2006 dan terkait rencana penuntutan menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 yang terdapat pada Bab V angka 28 huruf h tentang tuntutan, sehingga mampu memberi
xiv
xiv
marwah bagi independensi Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI untuk bersikap profesional, mandiri dan mampu bertanggung jawab penuh terhadap perkara yang ditangani. Kedua agar Pimpinan TNI memperbaiki mekanime teknis di bidang penuntutan, pengendalian dan pengawasan serta pendidikan dan pelatihan bagi Oditur Militer, serta secara kelembagaan agar melakukan kajian yang utuh guna menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal TNI berada langsung dibawah Panglima TNI serta perlunya TNI menempatkan Perwira Penghubung TNI (LO TNI) di Kejaksaan Agung agar memudahkan koordinasi dalam bidang penuntutan.
xv
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM TESIS .........................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER HUKUM ....................
ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ...............................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................
vi
ABSTRAK ........................................................................................................
ix
ABSTRACT ......................................................................................................
x
RINGKASAN ...................................................................................................
xi
DAFTAR ISI .....................................................................................................
xv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR BAB I
xviii
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................
12
1.3. Ruang Lingkup Masalah ..........................................................
13
1.4. Tujuan Penelitian .....................................................................
13
1.4.1. Tujuan Umum ................................................................
13
1.4.2. Tujuan Khusus ...............................................................
13
1.5. Manfaat Penelitian .....................................................................
14
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................
14
1.5.2. Manfaat Praktis ..............................................................
14
1.6. Orisinalitas Tesis .....................................................................
14
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir ...............................
15
1.8. Hipotesis ..................................................................................
29
1.9. Metode Penelitian ....................................................................
29
1.9.1. Jenis Penelitian ..............................................................
29
1.9.2. Sifat Penelitian ...............................................................
30
1.9.3. Data dan Sumber Data ...................................................
31
xvi
xvi
BAB II
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................
32
1.9.5. Teknik Penentuan Sampel .............................................
33
1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data .......................................
34
1.9.7. Lokasi Penelitian ...........................................................
35
TINJAUAN UMUM TENTANG HAKEKAT INDEPENDENSI, ODITUR MILITER SEBAGAI PENUNTUT UMUM TNI, SISTEM PERADILAN PIDANA MILITER, SISTEM PENUNTUTAN KEJAKSAAN, DAN KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN ................................................................
36
2.1. Hakekat Independensi ..............................................................
36
2.2. Oditur Militer SebagaiPenuntut Umum TNI ...........................
38
2.3. Sistem Peradilan Pidana Militer ..............................................
48
2.4. Sistem Penuntutan di Lingkungan Kejaksaan .........................
64
2.5. Kebijakan Rencana Tuntutan ...................................................
72
BAB III INDEPENDENSI ODITUR MILITER DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR DENGAN DIBERLAKUKANNYA KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN .........................................
77
3.1. Maksud dan Tujuan Berlakunya Kebijakan Rencana Tuntutan ...................................................................................
77
3.2. Independensi Oditur Militer Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar Dengan Diberlakukannya Kebijakan Rencana Tuntutan ...................................................
80
BAB IV UPAYA-UPAYA DALAM MEWUJUDKAN ODITUR MILITER YANG MEMILIKI INDEPENDENSI DALAM SISTEM
BAB V
PERADILAN MILITER DI INDONESIA ......................................
107
4.1. Upaya-Upaya Yang Bersifat Teknis ........................................
107
4.2. Upaya Yang Bersifat Kelembagaan ........................................
114
PENUTUP ........................................................................................
137
xvii
xvii
5.1. Simpulan ..................................................................................
137
5.2. Saran ........................................................................................
139
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN
xix
xviii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
TABEL Tabel 1 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2012 .................................
87
Tabel 2 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2013 .................................
89
GAMBAR Gambar 1 Kerangka Berfikir ............................................................................
29
Gambar 2 Karakteristik Sistem Peradilan Militer .............................................
60
Gambar 3 Siklus Mekanisme Rencana Tuntutan ..............................................
79
Gambar 4 Bagan Mekanisme Pelaksanaan Rencana Tuntutan .........................
80
Gambar 5 Struktur Organisasi Babinkum TNI .................................................
120
Gambar 6 Struktur Organisasi Otjen TNI .........................................................
121
Gambar 7 Struktur Organisasi Otjen TNI Yang Ideal ......................................
126
xx
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdasarkan Pasal 30 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. TNI sebagai alat pertahanan negara yang bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas TNI diperjelas dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional
Indonesia,
yaitu
menegakkan
kedaulatan
negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Prajurit TNI adalah warga negara yang memenuhi persyaratan khusus yang ditentukan dalam perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan. Sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 setiap prajurit harus memiliki jati diri sebagai : a. b.
Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia; Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;
1
2
c.
d.
Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama; Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Setiap prajurit TNI dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dituntut agar bersikap profesional sesuai kewenangan dan job description masing-masing. Kemudian di sisi lain setiap prajurit TNI wajib menaati peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat serta menghormati nilai-nilai dasar hak asasi manusia. Paradigma Baru TNI menekankan penegakkan hukum terhadap prajurit TNI yang melakukan pelanggaran hukum harus dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal tindakan yang dilakukan merupakan suatu tindak pidana, harus diselesaikan menurut mekanisme yang berlaku tanpa diskriminasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di atas landasan “setiap orang diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law)”.1 Sesuai asas equality before the law, seorang pelaku suatu tindak pidana harus dikenakan suatu akibat hukum, yang berupa hukuman pidana tanpa membedakan baik sipil maupun militer. Menurut Pompe hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan
1
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 82.
3
apa macam pidananya yang bersesuaian.2 Hukum pidana di dalamnya mengatur perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan sanksi apa yang diterima oleh si pelaku yang melanggar hukum. Sedangkan perbuatan melanggar hukum, yaitu bukan hanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain, tetapi juga suatu perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban yang didasarkan atas hukum (rechtsplicht).3 H.L.A. Hart menyatakan : “The criminal law is something which we either obey or disobey and what its rule require is spoken of as a duty”. If we disobey we are said to „break‟ the law and what we have done is legally „wrong‟, a „breach of duty‟, or an offence”.4 Terjemahan bebas : Hukum pidana merupakan suatu yang kita patuhi atau tidak kita patuhi dan apa yang dituntut oleh ketentuan-ketentuannya dikatakan sebagai kewajiban. Jika kita tidak patuh, kita dikatakan melanggar hukum dan apa yang kita telah lakukan merupakan suatu yang secara legal salah, suatu pelanggaran kewajiban atau sebuah kesalahan. Masih menurut H.L.A. Hart terkait pemidanaan terhadap anggota militer, ia menyatakan :
2
S.R. Sianturi, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Babinkum TNI, Jakarta (Selanjutnya disebut S.R. Sianturi I), h.14. 3
Chaidir Ali, 1978, Yuriprudensi tentang Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige overheidaad), Penerbit Bina Cipta, Bandung, h. 16. 4
H.L.A. Hart, 1997, The Concept of Law : Second Edition, Oxford University Press, New York, h. 27.
4
“A Military example may make the idea of tacit order as clear as it is possible to make it. A Sergeant who him self regulary obeys his superiors, orders his men to do certain fatiques and punishes them when they disobeys”.5 Terjemahan bebas : Satu contoh militer bisa menerangkan ide “perintah secara diam” ini sejelas yang dimungkinkannya. Seorang Sersan, yang dia sendiri taat kepada atasannya, memerintahkan orang-orangnya untuk melakukan tugas tertentu dan menghukum mereka ketika mereka tidak patuh. Dasar
pemidanaan
adalah
alasan
untuk
membenarkan
(rechtsvaardigen) penjatuhan pidana oleh penguasa.6 Sanksi dalam hukum nasional dapat berupa dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu sebagai penghukuman dan sebagai eksekusi sipil.7 Kedua jenis sanksi ini berupa sebentuk kejahatan paksa atau berupa pencabutan paksa atas suatu nilai. Sebagai contoh dalam kasus hukuman mati yang dicabut adalah nyawa seorang individu, sedangkan dalam dalam kasus hukuman badan berupa pemenjaraan. Pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan untuk membentuk suatu keseimbangan agar tumbuh budaya hukum yang dalam masyarakat. Budaya hukum merupakan gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum dan institusi hukum yang bersifat publik.8
5
Ibid, h. 46.
6
S.R. Sianturi I, op cit, h. 123.
7
Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, h. 124.
8
Peter De Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit Nusamedia, Bandung, h. 7.
5
Penegakan hukum Sistem penegakan hukum pidana terpadu (intergrated criminal justice system) merupakan bagian dari sistem penegakan hukum, dan sistem penegakan hukum merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman.9 Bertolak dari pemikiran tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan dalam sistem peradilan pidana terdapat empat sub sistem kekuasaan, yaitu: a.
Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan),
b. Kekuasan Penuntutan (Badan Penuntutan), c.
Kekuasan Mengadili (Badan Pengadilan), dan
d. Kekuasaan Pelaksana Pidana (Badan Eksekusi). Sejalan dengan konsep sistem penegakan hukum pidana terpadu, penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana militer akan berjalan dengan baik apabila aparatur penegak hukumnya bersinergi dan mampu bersikap profesional. Aparatur penegakkan hukum dalam sistem peradilan militer terdiri dari : a.
Penyidik di lingkungan TNI terdiri dari Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum), Polisi Militer (PM) dan Oditur Militer.
b. Kekuasaan penuntutan merupakan kewenangan Oditurat, c.
Kekuasan mengadili merupakan kewenangan Pengadilan Militer di semua tingkatan.
9
H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2012, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit : PTIK, Jakarta, h. 36.
6
d. Kekuasaan pelaksana pidana merupakan kewenagan Lembaga Pemasyarakatan, baik Lembaga Pemasyarakatan Militer maupun Lembaga Pemasyarakat Umum. Oditur Militer sebagai bagian dari aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan militer di Indonesia memiliki fungsi utama melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan di lingkungan TNI. Oditur Militer dalam melakukan penuntutan harus senantiasa memegang teguh nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan. Selain melakukan penuntutan, tugas Oditur Militer adalah melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan Militer yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksananaan putusan pidana bersyarat, serta melaksanakan pemeriksaan tambahan guna melengkapi berkas perkara dari Penyidik Polisi Militer (PM) sebelum dilimpahkan kepada pengadilan di lingkungan peradilan militer atau pengadilan di lingkungan peradilan umum yang berwenang disertai dengan surat dakwaan dan Keputusan Perwira Penyerah Perkara tentang penyerahan perkara. Oditur Militer setelah selesai melaksanakan pemeriksaan terhadap para saksi, terdakwa dan barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Militer, berkewajiban surat tuntutan (requsitoir). Surat tuntutan dibuat secara tertulis dengan mencantumkan tuntutan terhadap terdakwa berupa penghukuman berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, surat dan keterangan terdakwa yang nantinya menjadi dasar bagi hakim untuk
7
menjatuhkan putusan. Putusan hakim tanpa adanya tuntutan Penuntut berakibat putusan batal demi hukum.10 Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Oditur Militer dalam melakukan penuntutan diatur hal-hal sebagai berikut: a.
Oditur melakukan penuntutan bertindak untuk dan atas nama masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
b. Oditur melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. c.
Dalam melakukan penuntutan Oditur senantiasa mengindahkan norma keagamaan, kemanusiaan dan kesusilaan serta wajib menggali nilainilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara. Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di
lingkungan TNI akan berjalan dengan baik apabila memiliki independensi. Makna independensi adalah tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam menentukan keputusan dan mengambil kebijakan, sehingga lembaga yang memiliki predikat independen mempunyai kebebasan dalam menentukan misi yang diembannya. Prinsip independensi (the principle of independence) dihubungkan dengan fungsi Oditur Militer adalah setiap menjalankan tugas, 10
Http://www.politikindonesia.com/hukum/rencana-tuntutan-bisa-jadi-komoditas, diunduh pada hari Sabtu, 03 Mei 2014, jam 04.00 wib.
8
wewenang dan tanggung jawabnya seharusnya harus terbebas dari berbagai intervensi yang bersifat mempengaruhi, namun demikian bukan bebas sebebas-bebasnya, tetapi tetap patuh dan tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Bertolak belakang dengan prinsip independensi yang seharusnya dimiliki oleh setiap Oditur Militer dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, adanya kebijakan rencana tuntutan yang diberlakukan oleh Oditur Jenderal TNI disingkat Orjen TNI sejak tahun 2006 berpotensi mengurangi independensi Oditur Militer dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya selaku penuntut umum. Sesuai dengan Peraturan Panglima TNI Nomor 5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Petunjuk Administrasi Oditurat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang terdapat dalam Bab V angka 28 h tentang tuntutan disebutkan bahwa Oditur melalui Kepala Oditurat Militer/Kepala Oditurat Militer Tinggi harus meminta petunjuk dan arahan Orjen TNI sebelum mengajukan tuntutan: a) Dalam Perkara : (1) Yang diancam hukuman lima tahun atau lebih. (2) Yang sifatnya menonjol. b) Apabila akan menuntut bebas dari dakwaan atau lepas dari tuntutan. Apabila mengacu Peraturan Panglima TNI Nomor 5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 di atas, rencana tuntutan yang seharusnya diajukan kepada Orjen TNI guna dimintakan persetujuan hanyalah perkara yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih, perkara yang sifatnya menonjol maupun jika
9
Oditur Militer akan menuntut bebas terdakwa. Namun dalam prakteknya terdapat fakta yang berbeda ketentuan tersebut, yaitu terhadap perkara pidana yang ancaman pidananya di bawah lima tahun Oditur Militer juga harus mengajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Hal tersebut dapat dilihat dari data rencana tuntutan Oditurat Militer pada kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar tahun 2012, terdapat 41 perkara yang diajukan rencana tuntutan. Dari 41 rencana tuntutan, sebanyak 2 perkara diajukan rencana tuntutan lokal hanya kepada Kaotmil III-14 Denpasar, dan sebanyak 39 perkara diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Selanjutnya dari 39 yang diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI terdiri dari 9 perkara yang ancaman pidananya 5 tahun atau lebih, dan sisanya sebanyak 30 perkara ancaman pidananya kurang dari 5 tahun, sehingga seharusnya tidak layak dimintakan persetujuan Orjen TNI. Keadaan demikian jika terus berlangsung akan membuat Oditur Militer menjadi kurang profesional karena berkurangnya independensi dalam menjalankan penuntutan. Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum yang ada di persidangan secara utuh, namun saat menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa keputusannya menjadi tergantung atasannya. Dengan adanya kebijakan rencana yang merupakan fungsi kontrol, namun di sisi yang lain tidak mengajari setiap Oditur Militer untuk mandiri dan bertanggung jawab secara penuh dalam perkara yang sedang ditanganinya. Begitu juga tidak adanya penjelasan mengenai perbedaan besaran tuntutan yang diajukan Oditur Militer dengan besaran
10
tuntutan persetujuan Orjen TNI menjadi beban tersendiri bagi setiap Oditur Militer. Sebagai contoh Oditur Militer yang semula hanya mengajukan tuntutan pidana berupa pidana penjara namun setelah dimintakan persetujuan dari Orjen TNI justru memerintahkan agar menuntut terdakwa dengan pidana pokok berupa pidana penjara dan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Selain itu dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan akan mempengaruhi efektivitas percepatan penyelesaian perkara, seringkali persidangan yang seharusnya dapat dilaksanakan tetapi harus tertunda karena persetujuan rencana tuntutan belum turun. Kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor : ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006, yang isinya Oditur Militer yang hendak melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI dengan melampirkan faktafakta hukum yang terungkap di persidangan dan hal-hal yang meringankan serta memberatkan dalam perkara pidana yang ancaman pidananya di atas 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. Penekanan ulang kebijakan tentang rencana tuntutan dilakukan oleh Orjen TNI melalui Surat Telegram Nomor : ST/01/2009 tanggal 18 Pebruari 2009 yang isinya setiap Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi yang akan melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI yang dituangkan dalam rencana tuntutan terhadap perkara yang ancaman pidananya dua tahun delapan bulan dan perkara yang ancaman pidananya dua tahun delapan bulan
11
ke bawah, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan dari dinas militer, kecuali terhadap perkara desersi in absensia. Kemudian setelah adanya Peraturan Panglima TNI Nomor 5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009, ternyata kebijakan rencana tuntutan tetap dilanjutkan meski sebenarnya tidak wajib melakukan rencana tuntutan, yaitu melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor : ST/11/2011 tanggal 28 Desember 2011, ST/04/2012 tanggal 31 Januari 2012 dan ditekankan lagi melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor : ST/26/2012 tanggal 21 Desember 2012, yang isinya rencana tuntutan diajukan kepada Orjen TNI terhadap perkara-perkara: a.
Perkara yang akan dituntut kurang dari tiga bulan.
b.
Perkara narkotika dan psikotropika.
c.
Perkara susila yang melibatkan Keluarga Besar TNI.
d.
Perkara yang ancaman pidananya lebih dari dua tahun delapan bulan.
e.
Perkara yang ancaman pidananya kurang dari dua tahun delapan bulan, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan kecuali perkara desersi in absensia.
f.
Perkara yang dimintakan Petunjuk Orjen TNI untuk Tuppera atau Kumplin dan sesuai Petunjuk Orjen tetap diselesaikan melalui Dilmil/Dilmilti. Selain kebijakan rencana tuntutan, hal mendasar terkait dengan
permasalahan independensi Oditur Militer adalah faktor kelembagaan Oditurat yang terjadi tumpang tindih dalam hierarki pertanggung jawaban. Apabila mengacu dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12
31 Tahun 1997, disebutkan pembinaan organisasi dan prosedur administrasi, finansial Oditurat dilakukan oleh Panglima. Kemudian berdasarkan Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, bahwa Oditur Jenderal TNI dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima. Jika mengacu ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan 57 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI) selaku Badan Penuntut Tertinggi di lingkungan TNI berada langsung di bawah kendali Panglima TNI. Namun kenyataan Otjen TNI dalam pembinaan penyelenggaraan Oditurat berada di bawah Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI), dan Otjen TNI bertanggung jawab secara teknis yustisial di bawah pengawasan Jaksa Agung RI selaku Penuntut Tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima TNI. Dengan demikian hierarki pertanggung jawaban Otjen TNI terjadi dualisme pengendali/kepemimpinan, sehingga hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya tarik ulur kepentingan terhadap lembaga Oditurat. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
13
1.
Bagaimana independensi
Oditur Militer dalam melaksanakan
fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006? 2.
Upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Tesis mengenai “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar” akan membahas dua hal, yaitu mengenai independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya selaku Penuntut Umum TNI di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan yang dikeluarkan oleh Orjen TNI sejak tahun 2006 dan upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer agar memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1
Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai independensi Oditur Militer sebagai PenuntutUmum di lingkungan TNI dalam melaksanakan fungsinya dalam sistem paradilan militer.
14
1.4.2
Tujuan Khusus a.
Untuk
menggambarkan
dan
menganalisis
bagaimana
independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya sebagai Penuntut Umum di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan sebelum melakukan penuntutan. b.
Untuk menganalisis upaya-upaya apasaja yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pengembangan hukum pidana di Indonesia yang didalamnya termasuk hukum pidana militer untuk menguatkan teori-teori yang telah ada. 1.5.2 Manfaat Praktis a.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi institusi penuntutan di lingkungan TNI, sehingga dapat dijadikan bahan pembanding dalam membuat kebijakan di bidang penuntutan.
b.
Memberikan atensi berupa gambaran kepada masyarakat maupun praktisi hukum tentang sistem penuntutan yang ada di lingkungan TNI dan ciri khusus yang dimilikinya.
1.6. Orisinalitas Tesis
15
Tesis ini belum ada yang menulis sebelumnnya, adapun sebagai bahan pembanding adalah : a. Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 oleh Mahasiswa Universitas Udayana atas nama Siti Alifah. Tesis ini menitik beratkan pada Sistem Peradilan Militer dalam UndangUndang nomor 31 Tahun 1997, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 dan Kompetensi Peradilan Militer yang akan datang.11 b. Wewenang Peradilan Militer dalam Mengadili Prajurit TNI Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI oleh Mahasiswa Universitas Udayana atas nama AAA. Oka Putu Dewi Iriani. Tesis ini memfokuskan pembahasan pada kewenangan Peradilan Militer mengadili perkara tertentu dan kewenangan Peradilan Militer dalam mengadili Prajurit TNI yang akan datang.12 c. Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia oleh Mahasiswa Universitas Diponegoro atas nama Supriyadi. Tesis ini membahas tentang kebijakan legislatif mengenai hukum pidana militer dalam hukum positif di Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.13
11
Siti Alifah, 2007, “Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar. 12
AAA. Oka Putu Dewi Iriani, 2007, “Wewenang Peradilan Militer dalam Mengadili Prajurit TNI Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar. 13
Supriyadi, 2004, “Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
16
1.7. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir Untuk menganalis data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian, dan untuk menjawab pertanyaan sebagaimana dalam rumusan masalah, maka digunakan landasan teoritis, yang terdiri dari asas-asas hukum, konsepkonsep hukum, doktrin dan teori-teori hukum, yaitu : 1.7.1. Asas-Asas Hukum Menurut Scholten asas hukum adalah kecenderungankecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.14 a.
Asas-Asas Sistem Peradilan Militer Dalam hukum acara pada peradilan militer di Indonesia sesuai Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer berpedoman pada asas-asas yang tercantum dalam tercantum dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman, tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri dalam tata kehidupan militer sebagai berikut: 1) Asas kesatuan komando. Kehidupan
prajurit
TNI/militer
dalam
struktur
organisasinya menempatkan seorang komandan dengan kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh sebab itu seorang komandan
14
Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, h. 5
17
diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana dan berkewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha di lingkungan Tentara Nasional Indonesia yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi. 2)
Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Tentara
Nasional Indonesia, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya.Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando. 3)
Asas kepentingan militer. Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan
negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan, namun dalam proses peradilan
pidana
militer
kepentingan
militer
selalu
diseimbangkan dengan kepentingan hukum. b.
Asas-asas di bidang pengorganisasian militer yaitu :15 1)
15
Asas komando tunggal (unity of command);
S.R. Sianturi, 2010, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Babinkum TNI, Jakarta (Selanjutnya disebut S.R. Sianturi II), h. 16.
18
2)
Asas pembagian tugas yang serasi (homogenus assignment);
3)
Asas delegasi kekuasaan (delegation of authority);
4)
Asas rentang dan penggunaan pengawasan (spanned and spent of control);
5)
Asas rantai komando (chain of command);
6)
Asas kekenyalan (flexibility);
7)
Asas mobilitas (mobility);
8)
Asas keserhanaan (simplicity);
9)
Asas pembekalan sendiri (self sufficiency).
1.7.2. Konsep-Konsep Hukum Menurut Soerjono Soekanto konsep merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah.16 a.
Konsep Mengenai Independensi Independensi atau imparsialitas lembaga peradilan merupakan konsep dari doktrin
separation
of
power
(pemisahan/pembagian kekuasaan) yang dikenalkan oleh Montesquieu.
Montesquieu
menginginkan
pemisahan
/pembagian harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislative power), kekuasaan
16
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum Cetakan III, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, h. 132.
19
menjalankan
undang-undang
(executive
power),
dan
kekuasaan kehakiman (judicial power).17 Menurut Gerald Turkel, kemandirian hukum dan pranata hukum serta personel penegaknya tidak mungkin dipahami kecuali dalam kontek sosial.18 Dalam pandangan Turkel, gagasan tentang kemandirian hukum dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial
dan nilai-nilai
yang sifatnya
nonhukum, di mana hubungan ekonomi, politik, kekuasaan, stratifikasi
dapat
melemahkan
kemandirian,
sehingga
kemandirian sangat berkaitan dengan the rule of law. Jika kadar kemandirian dan kemerdekaan pranata hukum dan penalaran hukum tidak kuat, maka the rule of law akan runtuh menjadi alat dari berbagai kepentingan yang kuat, sehingga kemandirian diartikan sebagai “komitmen yang kuat untuk melaksanakan the rule of law dalam realita”. b.
Konsep Mengenai Oditur Militer (Ormil) Menurut kamus hukum Oditur adalah penuntut umum pada pengadilan tentara.19 Sedangkan Berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, bahwa Oditur adalah pejabat fugsional yang
17
Ikahi, 2012, Varia Peradilan : Majalah Hukum Tahun XXVII No. 323 Oktober 2012, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta Pusat, h. 32. 18
Ahmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Penerbit BP IBLAM, Jakarta, h. 209. 19
Setiawan Widagdo, 2012, Kamus Hukum Cetakan Pertama, Penerbit PT. Prestasi Pustakarya, Jakarta, h. 166.
20
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Oditur adalah satu tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. Oditur Militer dalam melaksanakan tugasnya dilandasi dengan slogan “Jujur, Benar dan Adil” yang memiliki makna suatu kebulatan yang menggambarkan kemuliaan, tekad dan kesungguhan hati untuk melaksanakan tugasnya, harus lurus hati, tidak curang, tulus ikhlas dan berani mengatakan benar itu benar dan yang salah itu salah. 1.7.3. Doktrin Doktrin Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Tri Darma Ekakarma yang berasal dari bahasa Sansekerta, yakni tri berarti tiga, darma berarti pengabdian, eka berarti satu, dan karma berarti perjuangan. Hakikat dari doktrin TNI adalah memberikan suatu pengertian luhur yang merupakan pengabdian tiga matra dalam satu jiwa, tekad dan semangat perjuangan TNI yang dilandasi oleh nilai-nilai yang tekandung dalam Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan Wajib TNI. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut : a.
Sapta Marga 1. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersandikan Pancasila. 2. Kami Patriot Indonesia, mendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.
21
3. Kami Ksatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. 4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia. 5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pemimpin serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit. 6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan didalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa. 7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit. b.
Sumpah Prajurit 1. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan. 3. Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan. 4. menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia. 5. Memegang rahasia segala rahasia tentara sekeras-kelasnya.
c.
Delapan Wajib TNI 1. 2. 3. 4. 5.
Bersikap ramah tamah terhadap rakyat. Bersikap sopan santun terhadap rakyat. menjunjung tinggi kehormatan wanita. Menjaga kehormatan diri di muka umum. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya. 6. Tidak sekali-kali merugikan rakyat. 7. Tidak sekali-kali manakuti dan menyakiti hati rakyat. 8. menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya. 1.7.4. Landasan Teori Teori adalah bagian yang sangat penting dalam menganalisis suatu permasalahan, sehingga akan memudahkan dalam mencari suatu solusi pemecahannya. Radbruch mendefinisikan makna dari teori
22
hukum sebagai : “The task of legal theory is clarification of legal values and postulates up to their ultimate philosophical foundation”.20 Tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai hukum serta postulat-pustulatnya sampai pada landasan filosofisnya yang terdalam. Tesis ini menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedman bahwa efektivitas penegakan hukum tergantung dari 3 (tiga) unsur sistem hukum yang mempengaruhi, yaitu struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. Tentang
struktur
hukum
Lawrence
M.
Friedman
menjelaskan bahwa : “To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction…strukture. Also means how the legislature is organized. What procedures the police department follow, and go. Structure is away, is a kind of crosss section of the legal system. Akind of photograph with free the action”.
20
Jhonny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 179-180.
23
Struktur dalam sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.21 Substansi hukum (substance of the law) dapat dipahami sebagai berikut : “Another aspect of the legal system is its substance. By this is meast the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law goods”. Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.22
21
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law An Introduction, WW. Norton and Company, New York, h. 7. 22
Ibid
24
Sedangkan
mengenai
budaya
hukum
Friedman
berpendapat sebagai berikut : “The third component of legal system, of legal culture. By this we mean people‟s attitudes toward law and legal system their belief, in other word, is the eliminate of social thought and social force which determines how law is used aveded andavused”. Budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.
Sebaik
apapun
penataan
struktur
hukum
untuk
menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.23 b. Teori Kebijakan Hukum Pidana Menurut Barda Nawawi Arief upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tdak lepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare polcy) dan upaya-upaya
23
Ibid
25
untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).24 Tujuan utama dari kebijakan hukum pidana adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Pencegahan dan penanggulangan
kejahatan
dengan
dengan
sarana
penal
merupakan penal policy atau penal law enforcement yang operasionalisasinya melalui tiga tahapan, yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Tahapan aplikasi memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan selain aparatur penegak hukum. Tahapan aplikasi merupakan tahapan yang paling strategis dari penal policy, karena apabila terjadi kesalahan dalam tahap aplikasi justru akan dapat menjadi penghambat bagi kemajuan sistem penegakkan hukum pidana. Selain daripada itu pencegahan dan penanggulangan harus menunjang tujuan kesejahteraan
rakyat
(social
welfare)
dan
perlindungan
masyarakat (social defense). c. Teori Fungsi Hukum Menurut teori utility, Jeremy Bentham berpendapat bahwa tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat luas. Hukum dapat mengorbankan kepentingan individu perorangan demi 24
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 77.
26
kepentingan masyarakat luas terpenuhi. Hukum bertujuan untuk mewujudkan hal-hal yang bermanfaat atau berfaedah bagi orang, dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Oleh sebab itu apa yang bermanfaat belum tentu memenuhi nilai-nilai keadilan. Sedangkan fungsi hukum dalam masyarakat menurut Roscoe Pound adalah law as a tool of social engineering25 Dalam hal ini hukum bukan saja sebagai sekumpulan sistem peraturan, doktrin, dan kaidah atau azas-azas, yang dibuat dandiumumkan oleh badan yang berwenang, tetapi juga proses-proses yang mewujudkan
hukum
itu
secaranyata
melalui
penggunaan
kekuasaan. Oleh karena itu hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya, sehingga hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap rakyatnya. Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan yang secara sah dilindungi, dalam tiga golongan yaitu:26 1)
Kepentingan-kepentingan umum (public interests);
2)
Kepentingan-kepentingan sosial (social interests);
3)
Kepentingan-kepentingan individu (individual interests).
Penggolongan-penggolongan kepentingan tersebut dimaksudkan jika terjadi perselisihan kepentingan dalam proses pembangunan 25
H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, h. 33. 26
W. Friedmann, 1994, Teori & Filsafat Hukum : Idealisme Filosafis & Problema Keadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 141.
27
khususnya benturan kepentingan umum atau sosial dengan kepentingan individu, maka perlu diupayakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan. Harmonisasi kepentingan akan terjadi perubahan-perubahan sosial, serta membawa kemajuan dalam masyarakat dan peradabannya, sehingga hukum akan memilih dan mengakui kepentingan yang lebih utama melalui penggunaan kekuasaan. d. Teori Sistem Peradilan Pidana Muladi mengemukakan bahwa sistemperadilanpidana merupakan suatu jaringan (network) yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksana pidana.27 Makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dibedakan dalam : 1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. 2) Sinkronisasi subtansial (subtancial syncronization), adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. 3) Sinkronisasi
kultural
(cultural
syncronization),
yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan27
Romli Atmasasmita,2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 5.
28
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 1.7.5. Kerangka Berpikir Tesis tentang “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar”, dapat digambarkan dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
29
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar
Latar Belakang Masalah Adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak 2006 dan di sisi lain adanya dualisme wewenang kendali lembaga Oditurat yang berpotensi mengurangi terhadap independensi Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI
Metode Penelitian : Jenis Penelitian Sifat Penelitian Data & Sumber Data Pengolahan dan Analisis Data Lokasi Penelitian
Rumusan Masalah : 1. Bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006 ? 2. Upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan pidana militer di Indonesia?
Landasan Teoritis : Asas-Asas Hukum Konsep-Konsep Hukum Doktrin Landasan Teori
Sasaran : 1. Mengetahui bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya selaku penuntut umum TNI dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006. 2. Mencari upaya-upaya dalam mewujudkan Oditur Militer TNI yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia.
30
1.8. Hipotesis Hipotesis-hipotesis adalah dugaan-dugaan yang belum diuji berkenan dengan hubungan-hubungan di dalam kenyataan.28Hipotesis atau jawaban sementara rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : a.
Jika kebijakan rencana tuntutan tetap diberlakukan, maka Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen.
b.
Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer memiliki independensi dalam sistem peradilan militer, yaitu secara teknis dengan menghapus kebijakan rencana tuntutan dan upaya secara kelembagaan dengan menyatukan kendali Oditurat baik secara teknis yustisial maupun secara organisasi, prosedur dan finansial di bawah Panglima TNI.
1.9.Metode Penelitian 1.9.1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersumber dari data rencana tuntutan Oditur Militer sebelum melakukan penuntutan di Oditurat Militer III-14 Denpasaryang berhubungan dengan fungsi Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI. Pada penelitian ini menggunakan data, maka dengan sendirinya merupakan penelitian empiris.29
28
B. Arief Sidharta, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Fakultas Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, h. 88. 29
Mukti Fajar N.D.dan Achmad, Yulianto, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika, Yogyakarta, h. 32.
31
Penelitian hukum empiris merupakan penelitian lapangan yang bertitik tolak dari data primer yang diperoleh langsung dari masyarakat dan direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas hukum.30 Hukum pada kenyataan dibuat dan diterapkan oleh manusia hidup dalam masyarakat, artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta perilaku manusia yang terkait dengan lembaga hukum tersebut. Kajian dalam tesis ini adalah independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006. 1.9.2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan tujuan untuk menggambarkan secara tepat terhadap suatu peristiwa, gejala dan keadaan yang sebenarnya dari permasalahan tentang independensi Oditur Militer Militer selaku penuntut umum TNI dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar terkait adanya kebijakan rencana tuntutan sejak tahun 2006. Metode diskriptif adalah metode yang bertujuan membuat diskripsi atau gambaran faktual secara sistematis yang akurat dan faktual mengenai data yang terperinci serta fenomena-fenomena yang diteliti.
30
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.
32
Sifat diskriptif dalam penelitian ini disesuaikan dengan metode penelitian dalam menggambarkan tentang fenomena-fenomana yang di teliti. Fakta-fakta yang ada dilakukan dengan suatu interpretasi, evaluasi, dan pengetahuan umum, karena fakta tidak akan mempunyai arti tanpa interpretasi evaluasi dan pengetahuan umum.31 1.9.3. Data dan Sumber Data a.
Data Primer Data primer didapat dari observasi dan wawancara dengan narasumbar yang berhubungan langsung dengan permasalahan yang diteliti, yaitu hasil wawancara dengan Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar maupun data penunjang berupa rencana tuntutan yang ada di Oditurat Militer III-14 Denpasar.
b.
Data Sekunder Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang diambil dari studi kepustakaan (studi dokumentasi) yang terdiri dari : 1)
Bahan hukum primernya berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
31
I.S. Susanto, 1990, Kriminologi, Penerbit Undip, Semarang, h. 15
33
Militer, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, Peraturan Panglima TNI Nomor : Perpang/5/II/2009 tentang
Petunjuk
Administrasi
Oditurat
Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana dan peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan. 2)
Bahan hukum sekunder terdiri dari berbagai macam literatur hukum, jurnal-jurnal hukum dan artikel ilmiah. Bahan hukum sekunder ini didapat dari bacaan yang berupa Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Teknis (Juknis), Standar Operasi dan Prosedur (SOP) yang ada di lingkungan TNI.
3)
Bahan hukum tersier diambil dari kamus hukum dan enslikopedi.
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi secara langsung dan wawancara (intervew) baik secara tertutup (closed interview) maupun secara terbuka (open interview) dengan narasumber yang terkait dengan permasalahan. Wawancara merupakan proses tanya jawab yang
34
berlangsung secara lisan dan bertatap muka dengan dua orang atau lebih
guna
mendapatkan
informasi
serta
keterangan
yang
dibutuhkan.32 Wawancara akan dilakukan dengan Oditur Militer dikantor Oditurat Militer III-14 Denpasar. Pengumpulan
data
sekunder
dilakukan
melalui
studi
kepustakaan. Metode pengumpulan data ini sangat bermanfaat karena dapat dilakukan tanpa menggunakan obyek penelitian teknik studi kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data sekunder dalam bentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dalam
lingkungan TNI, putusan hakim di lingkungan peradilan militer dan publikasi ilmiah lainnya yang relevan dengan tesis ini. 1.9.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan metode non probability sampling dalam bentuk purposive sampling atau judgemental sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan penilaian peneliti mengenai siapa saja yang pantas (memenuhi syarat) untuk dijadikan sampel. Penerapan tata cara sampel tersebut, mempunyai beberapa keuntungan, misalnya :33 1. Tata cara ini tidak mengikuti seleksi secara random, sehingga lebih mudah dan tidak akan banyak menelan biaya.
32
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,
33
Soerjono Soekanto, op cit, h. 196.
h. 83.
35
2. Tata cara ini menjamin keinginan peneliti, untuk memasukkan unsur-unsur tertentu ke dalam sample-nya. Selanjutnya pengambilan sampel secara purposive sampling dengan kriteria narasumber yang diwawancari adalah pihak yang berkopeten dalam bidang penuntutan TNI dalam sistem peradilan militer di wilayah Denpasar Bali, yaitu Oditur Militer di Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar. 1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mengangkat fenomena yang terjadi di lapangan,dengan pengkajian terhadap pemikiran secara mendalam mengenai gejala-gejala yang menjadi obyek penelitian.34 Fenomena yang diangkat dalam tesis ini dibahas dan dikaji menggunakan teoriteori hukum dan diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan normatif dengan yang ada. Kemudian dari hasil analisis tersebut disajikan secara deskriptif analitis dalam bentuk uraian-uraian, sehingga mendapatkan gambaran dan kesimpulan yang jelas dalam membahas masalah yang dikemukakan. Menurut Bambang Sunggono bahwa deskriptif analitis adalah permasalahan yang ada dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian yang berhubungan dengan teori-teori hukum yang ada, sehingga
34
Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, h. 57.
36
memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.35 1.9.7. Lokasi Penelitian Penelitian mengenai “Analisis Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia(TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar, telah dilaksanakan di Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat.
35
h. 134.
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
37
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAKEKAT INDEPENDENDI, ODITUR MILITER SEBAGAI PENUNTUT UMUM TNI, SISTEM PERADILAN PIDANA MILITER, SISTEM PENUNTUTAN DI LINGKUNGAN KEJAKSAAN DAN KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN
2.1
Hakekat Independensi Hakikat independensi ialah secara mendasar memiliki arti bahwa orang mampu untuk menentukan sendiri secara bebas dalam mengambil keputusan, tetapi tetap terikat oleh suatu aturan. Menurut Franz Magnis Suseno, kebebasan di sini terbagi dalam dua jenis, yaitu kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial.36 Hakekat kebebasan eksistensial adalah terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang sifatnya positif. Maksud dari konsep kebebasan ini adalah kebebasan tidak menekankan segi bebas dari apa, tetapi bebas untuk apa. Jadi kebebasan itu mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan manusia yang disengaja dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan hakekat kebebasan sosial berarti suatu keadaan di mana manusia tidak berada di bawah paksaan, tekanan atau kewajiban dan larangan dari pihak manusia lainnya.37 Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial merupakan satu kesatuan utuh dari kebebasan yang dimiliki manusia. Dalam memaknai kebebasan
36
Ahmad Kamil, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h.
37
Ibid, h. 155.
149.
37
38
dihubungkan dengan fungsi suatu lembaga tentunya tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab yang menyertainya. Tanggung jawab merupakan sesuatu yang membatasi kebebasan sosial agar tidak bertabrakan dengan kebebasan orang lain yang dapat memuaskan seluruh tuntutan kebebasan eksistensial manusia yang sesungguhnya memiliki dua dimensi. Pertama, mengandaikan bahwa tanggung jawab merupakan bentuk aturan yang dilegitimasi oleh lingkungan sosial manusia, dalam hal ini disebut masyarakat, untuk menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat sesuai batas wewenang masing-masing. Kedua, tanggung jawab merupakan ungkapan sadar manusia atas kebebasan eksistensial agar digunakan dalam batas-batas yang tidak mengganggu dan menimbulkan kerugian pada orang lain.38 Independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan TNI merupakan prasyarat mutlak demi terjaminnya tegaknya hukum dan keadilan yang merupakan cita-cita dari suatu negara hukum. Prinsip independensi atau kemandirian (the principle of independece) terhadap Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya sebagai penuntut umum TNI harus tercermin pada setiap mengambil keputusan, terutama dalam melakukan penuntutan dalam sistem peradilan militer di Indonesia. Independensi Oditur Militer dan Oditurat terwujud dalam kemandirian oditurat
sebagai
institusi
penuntutan
yang berwibawa,
bermartabat dan terpercaya. Independensi terhadap peran dan fungsi Oditur
38
Ibid, h. 158.
39
Militer dalam hal ini harus terbebas dari berbagai bentuk intervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang berasal dari dalam maupun luar institusinya. Tolok ukur atau batasan independensi Oditur Militer dikaitkan dengan fungsi utamanya adalah melakukan penuntutan dalam sistem peradilan militer di Indonesia terbebas dari pengaruh dan bebas dari paksaan maupun rekomendasi. Jika Oditur Militer sebagai Penuntut Umum di lingkungan TNI dalam melakukan penuntutan tidak independent, tentunya akan berdampak kepada putusan hakim militer nantinya. Tujuan utama penuntutan oleh Oditur Militer selaku penuntut umum adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku guna menentukan apakah orang yang didakwanya dapat dinyatakan bersalah. Oditur Militer dalam melakukan penuntutan juga bertujuan melindungi hak asasi individu, baik yang menjadi korban maupun pelaku tindak pidana. 2.2
Oditur Militer Sebagai Penuntut Umum TNI 2.2.1. Pengertian dan Kewenangan Oditur Militer Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Oditur Militer adalah
40
pejabat fungsional yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan dilingkungan TNI. Oditur adalah satu tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. Profesi Oditur apabila dikaitkan dengan lingkup tugas dalam dimensi penegakan hukum (law enforcement) mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab sesuai Pasal 1 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah sebagai berikut : a. Melakukan penyidikan. b. Pemeriksaan tambahan. c. Penuntutan perkara pidana. d. Melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dan peradilan umum. Tugas wewenang dan tangung jawab Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi merupakan perpanjangan tangan dari tugas, wewenang dan tanggung jawab Oditur Jenderal TNI. Kedudukan Oditurat Jenderal TNI adalah suatu badan yustisi di lingkungan peradilan militer
yang
secara
organisasi,
administrasi
dan
keuangan
berkedudukan dilingkungan Mabes TNI dalam hal ini Babinkum TNI, namun secara teknis yustisial dibawah Jaksa Agung Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 47 dan pasal 48 Undang-Undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, susunan dan kekuasaan Oditurat sebagai berikut:
41
a. Oditurat melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan dilingkungan TNI. b. Oditurat adalah satu tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. c. Pembinaan teknis yustisial dan pengawasan bagi Oditur dilakukan oleh Oditur Jenderal TNI. 2.2.2. Etika Profesi Oditur Militer Oditur Militer dalam mengemban tugas, wewenang dan tanggung jawab yang strategis dalam menegakkan hukum dan keadilan tentunya sering harus menghadapi berbagai tantangan dan godaan baik dalam masyarakat umum maupun dalam masyarakat militer sendiri. Oleh sebab itu Oditur Militer harus dibekali dengan suatu sikap ketangguhan moral berupa ethika profesi Oditur Militer. Etika berasal dari bahasa Yunani “ethikos” yang berarti moral dan dari kata “ethos”yang berarti karakter. Etika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang prilaku yang baik, berupa nilainilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Etika
bertujuan
agar
orang hidup
dengan
baik
dan
berkepribadian luhur (berkarakter) yang sesuai dengan etika moral yang dianut oleh kesatuan atau lingkungan hidupnya. Etika moral ini menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang mencakup teori nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang
42
buruk dan teori tentang perilaku “conduct” tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Etika profesi merupakan etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan standar profesi tersendiri sesuai dengan ketentuan profesi masingmasing demi tegaknya dan kebaikan jalannya profesi. Etika profesi Oditur Militer mengatur tentang nilai-nilai moral, kaedah-kaedah dalam tugas penuntutan dan aturan-aturan tentang prilaku yang seharusnya dan seyogyanya dipegang teguh oleh setiap Oditur Militer dalam menjalankan tugas profesinya. Tujuan akhir atau filosofi dari etika profesi Oditur Militer adalah menegakan hukum, kebenaran, keadilan dan kejujuran dalam suatu perkara pidana sesuai keadilan, kebenaran dan kejujuran yang terdapat dalam alam “das sollen” harus dapat diwujudkan dalam alam “das sein” melalui nilainilai etika profesi yang berisikan kode ethik untuk mencapainya. Nilai-nilai etika profesi yang melekat pada diri seorang Oditur Militer dapat ditemukan dalam: a.
Pancasila yang di jabarkan dalam butir-butir dalam sila-sila pancasila.
b.
Sapta Marga, khususnya marga ke-3 yang berbunyi “Kami ksatria indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran kebenaran dan keadilan”. Artinya segenap prajurit TNI akan menegakkan kejujuran,
43
kebenaran dan keadilan yang merupakan hakekat dari hukum dalam satu nafas dengan disiplin keprajuritan yang didasarkan kepada ketaqwaan kepada Tuhan YME. c.
Sumpah Prajurit, khususnya butir ke-2 yang berbunyi “akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan”. Artinya segenap prajurit TNI dalam mengemban tugasnya mendasarkan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan bersumpah akan patuh dan taat kepada hukum.
d.
Sumpah Perwira, seorang Oditur adalah perwira dan saat dilantik sebagai perwira wajib mengucapkan sebagai berikut: 1) Bahwa saya akan memenuhi kewajiban perwira dengan sebaik-baiknya terhadap Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. 2) Bahwa saya akan menegakkan harkat dan martabat perwira serta menjunjung tinggi Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. 3) Bahwa saya akan memimpin anak buah dengan memberi suri teladan, membangun karsa, serta menuntun pada jalan yang lurus dan benar. 4) Bahwa saya akan rela berkorban jiwa raga untuk membela nusa dan bangsa.
e.
Kode Etik Perwira ”Budhi Bakti Wira Utama”, diantaranya berbuat luhur dengan bersendikan: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Membela Kebenaran dan Keadilan. 3) Memiliki sifat-sifat kesederhanaan.
44
f.
Sumpah
Jabatan
Oditur
Militer,
sebelum
memangku
jabatannya Oditur Militer wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan idiologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang oditur militer yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”. g.
Etika profesi Oditur Militer yang tertuang dalam pusara Babinkum TNI “Jujur Benar dan Adil”. Kalimat “Jujur, Benar dan Adil” adalah motto Babinkum TNI yang dibuat dengan warna kuning emas, melambangkan
suatu
kebulatan
yang
menggambarkan
kemuliaan tekad dan kesungguhan hati personel Babinkum TNI untuk melaksanakan tugasnya. Selanjutnya uraian kata “Jujur” dalam pusara tersebut mengandung arti bahwa dalam melaksanakan tugasnya warga Babinkum TNI harus lurus hati,
45
tidak berbuat curang, tulus ikhlas dan berani mengatakan benar jika itu benar dan yang salah jika itu salah. h.
Asas-asas dan prinsip-prinsip kepemimpinan yang berlaku dalam lingkungan TNI.
2.2.3. Kemampuan Yang Harus Dimiliki Oditur Militer Seorang Oditur Militer dapat melaksanakan profesinya dengan baik jika mempunyai kemampuan sebagai berikut: a.
Kemampuan penilaian berkas perkara dengan benar dan jujur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kemampuan penilaian berkas perkara adalah berkaitan dengan persyaratan formal dan material dalam lingkungan peradilan militer. Kelengkapan tersebut meliputi kelengkapan berkas perkara (terdiri dari sampul Daftar Pemeriksaan Pendahuluan (DPP), nomor DPP dan isi berkas perkara), status tersangka, ada/tidaknya laporan polisi atau pengaduan, dan barang bukti disamping persyaratan material meliputi apakah rangkaian perbuatan tersangka sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
b.
Kemampuan menyusun Berita Acara Pendapat (BAPAT) dan Saran Pendapat Hukum (SPH) dengan benar dan jujur sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Oditur Militer setelah meneliti persyaratan formal dan material dari suatu berkas perkara/DPP, kemudian Oditur
46
Militer
melakukan
pengolahan
perkara
yang
hasilnya
dituangkan dalam Berita Acara Pendapat (BAPAT). Kemudian berdasarkan BAPAT Oditur pengolah, Kepala Oditurat Militer membuat Saran Pendapat Hukum (SPH) berkaitan dengan penyelesaian perkara tersangka kepada Panglima/Komandan/ Kepala Satuan selaku Perwira Penyerah Perkara yang membawahi tersangka tersebut. Isi dari Saran Pendapat Hukum Oditur Militer berupa saran agar perkara tersangka tersebut diajukan kepengadilan militer atau diselesaikan menurut hukum disiplin militer atau ditutup demi kepentingan hukum atau disarankan kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk menutup perkara tersebut demi kepentingan umum/militer. c.
Kemampuan analisis perkara secara yuridis dengan benar dan jujur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Analisis yuridis merupakan analisis dari unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam penyidikan. Dengan adanya analisis yuridis tersebut dapat lebih awal diketahui dan dipertanggung jawabkan apakah perbuatan tersangka cukup atau tidak dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan kepadanya yang nantinya akan dipakai sebagai dasar laporan Oditur Militer kepada Perwira Penyerah Perkara
47
(Papera) dalam Saran Pendapat Hukum (SPH). Apabila perbuatan tersangka cukup memenuhi unsur-unsur tindakan pidana, maka hal tersebut akan dipakai sebagai dasar dalam surat dakwaan maupun tuntutan Oditur. d.
Kemampuan menyusun surat dakwaan dengan benar dan jujur sesuai ketentuan perudang-undangan yang berlaku. Surat dakwaan adalah suatu akta yang dibuat oleh Oditur Militer sebagai Penuntut Umum yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, yang telah dilakukan oleh terdakwa pada suatu waktu dan tempat tertentu. Surat dakwaan Oditur Militer merupakan dasar yang digunakan hakim militer dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pidana di Pengadilan Militer. Dalam dimensi tugas penegakan hukum dalam sistem peradilan militer, kemampuan
menyusun
surat
dakwaan
dengan
cermat
merupakan tugas Oditur Militer yang paling utama. Surat dakwaan bagi Oditur Militer merupakan dasar untuk melakukan penuntutan perkara, pembuktian dan pembahasan yuridis dalam tuntutan pidana (requisitoir) serta sebagai dasar untuk melakukan upaya hukum, dan bagi hakim merupakan dasar pemeriksaan dipersidangan pengadilan dan putusan
yang
akan
dijatuhkan
berkaitan
dengan
terbukti/tidaknya kesalahan terdakwa sebagaimana dimuat
48
surat dakwaan, sedangkan bagi terdakwa merupakan dasar dalam pembelaan dan menyiapkan bukti-bukti sebaliknya dari apa yang telah didakwakan kepadanya. Dengan demikian seluruh isi surat dakwaan yang dapat dibuktikan dalam persidangan harus dijadikan dasar oleh hakim dalam putusannya dan apa yang telah dinyatakan terbukti dalam persidangan harus dapat dikemukakan kembali dalam surat dakwaan. e.
Kemampuan melakukan tuntutan pidana dengan benar, jujur dan adil sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Setelah semua alat bukti yang diperlukan telah diajukan dalam persidangan, selanjutnya Oditur Militer selaku Penuntut Umum sebagai pejabat yang memulai proses perkara pidana tersebut akan menarik kesimpulan dari alat-alat bukti tersebut, fakta-fakta apa yang telah terbukti kemudian mengajukan kepada majelis hakim untuk mendapat keputusan yang tertuang dalam bentuk tuntutan pidana (requisitoir). Tuntutan pidana yang dibuat oleh Oditur Militer disusun dengan sistematis sebagai berikut : 1)
Pendahuluan;
2)
Fakta-fakta persidangan yang terdiri dari: a)
Keterangan para saksi;
b)
Keterangan terdakwa; dan
49
c)
f.
Barang bukti.
3)
Fakta yuridis;
4)
Analisis/pembahasan yuridis;
5)
Kesimpulan;
6)
Tuntutan pidana; dan
7)
Penutup.
Kemampuan upaya hukum dengan benar dan jujur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Upaya hukum dimaksud meliputi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
g.
Kemampuan
melaksanakan
pidana
(eksekusi)
terhadap
putusan pengadilan dengan benar dan jujur sesuai ketentuan perundang-undangan
yang
berlaku.
Terhadap
putusan
pengadilan baik pengadilan militer maupun pengadilan umum yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT), sebagaimana dalam amar putusan yang dijatuhkan harus dapat dilaksanakan eksekusi. 2.3
Sistem Peradilan Pidana Militer di Indonesia Penegakan hukum (law enforcement) dalam jajaran TNI apabila mengikuti alur berpikir criminal justice system dilaksanakan oleh sub sistem pengadilan militer. Penyidik Polisi Militer mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan perkara pidana dalam lingkungan peradilan militer
50
atau peradilan umum, Oditur Militer mempunyai tugas wewenang melakukan penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan perkara pidana dan melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dan peradilan umum, hakim pengadilan militer mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus perkara pidana dalam lingkungan peradilan militer, dan pemasyarakatan militer mempunyai tugas dan wewenang menyelenggarakan pemasyarakatan militer yang merupakan salah satu usaha yang berhubungan dengan kegiatan pembinaan narapidana militer.
2.3.1
Sejarah Peradilan Militer di Indonesia Peradilan Militer Belanda di Indonesia sebelum terjadi Perang Dunia II dikenal dengan nama Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof. Ruang lingkup peradilan ini meliputi perbuatan pidana militer dan anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yaitu KNIL dan anggota Angkatan Laut Belanda. Anggota Angkatan Darat Hindia Belanda (KNIL) di periksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama, sedangkan Hoog Militair Gerechtshof mengadili untuk tingkat banding. Untuk anggota-anggota Angkatan Laut Belanda di periksa dan diadili oleh Zeekrijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof. Daerah hukum Krijgsraad di kota Cimahi Bandung meliputi Jawa dan Madura, Sumatra Selatan (Bengkulu, Lampung, jambi,
51
Palembang, Riau, Bangka dan Belitung. Daerah hukum Krijgsraad di Padang meliputi Sumatra Barat, Tapanuli, Aceh dan Sumatra Timur, sedangkan daerah hukum Krijgsraad di Makassar meliputi Sulawesi, Manado, Maluku dan Timor.39 Sementara penguasa Belanda yang ada di Jawa-Madura maupun di luar daerah mengadakan Temporaire Krijgsraadatau Mahkamah Militer Sementara yang diberi wewenang mengadili tindak pidana yang oleh orang-orang bukan militer serta bukan di golongkan dalam bangsa Indonesia. Mahkamah Militer Sementara dalam melakukan pemeriksaan persidangan dilakukan oleh majelis hakim terdiri dari 3 (tiga) orang dan seorang Oditur atau Jaksa landgerecht. Hoog Militair Gerechtshof berkedudukan di Jakarta dan merupakan peradilan militer yang tertinggi di Hindia Belanda. Kekuasaan Hoog Militair Gerechtshof adalah mengadili perkara pidana pada tingkat pertama, yang dilakukan oleh militer-militer yang pangkatnya lebih tinggi dari pada Kapten. Sedangkan pada tingkat banding, Mahkamah tersebut memutus tentang keputusan-keputusan Krijgsraad yang dimintakan bandingan. Hoog Militair Gerechtshof juga mengadili pada tingkat pertama terhadap perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh opsir-opsir angkatan laut berpangkat Letnan Satu Laut ke atas.
39
R. Soepomo, 1983, Sistem Hukum di Indonesia, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 67.
52
Zeekrijgsraad merupakan peradilan pidana terhadap militer, di luar negeri Belanda yang terdiri dari opsir-opsir angkatan laut. Peradilan ini biasanya dilaksanakan di atas kapal di Hindia oleh komandan angkatan laut. Pejabat Penuntut Umum pada peradilan ini diserahkan kepada seorang opsir tata usaha angkatan laut. Terhadap keputusan-keputusan Zeekrijgsraad dapat dimintakan banding kepada Hoog Militair Gerechtshof. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan titik awal bagi Bangsa Indonesia untuk menentukan pejalanan berbangsa dan bernegara. Pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahakan sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. Sesudah berdirinya Negara Republik Indonesia, pemerintah tetap mempertahankan badanbadan peradilan maupun peraturan-peraturan peninggalan Jepang yang telah ada untuk mengisi kekosongan hukum yang didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Kemudian setelah Angkatan Perang Republik Indonesia dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945, dan kemudian peradilan militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tanggal 8 Juni 1946 tentang Peraturan mengadakan
53
Pengadilan Tentara disamping Pengadilan Biasa. Pengadilan Tentara pada waktu itu terdiri dari 2 (dua) badan (tingkat) yaitu Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung. Selanjutnya Pengadilan Tentara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1948 terdiri dari : a. Mahkamah Tentara. b. Mahkamah Tentara Tinggi. c. Mahkamah Tentara Agung. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950, kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan ketentaraan dilakukan oleh : a. Pengadilan Tentara. b. Pengadilan Tentara Tinggi. c. Mahkamah Tentara Agung. Sesuai dengan perkembangan istilah dalam bidang peradilan, yang terdapat dalam berbagai perundang-perundangan, antara lain Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka terhadap nama Pengadilan Ketentaraan perlu diadakan penyesuaian, yaitu menjadi: a. Mahkamah Militer (Mahmil); b. Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti); dan c. Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
54
Pengadilan pada era sebelum lahir Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Peradilan Militer adalah disebut dengan Mahkamah, tetapi setelah keluarnya Undang-Undang Peradilan Militer, sebutan Mahkamah dirubah menjadi Pengadilan. Namun pimpinannya tetap saja disebut “Kepala”, bukan Ketua seperti di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor : Kep/6/X/2003 tanggal 20 Oktober 2003 disusun sebagai berikut : a. Pengadilan Militer(Dilmil); b. Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti); c. Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama); dan d. Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur). Dalam sejarahnya peradilan militer sama seperti lembaga peradilan yang lain, sebelumnya mempunyai dua atap yaitu secara administrasi keuangan dan kepegawaian berada di bawah Departemen Pertahanan, sementara secara pembinaan teknis di bawah Mahkamah Agung. Sistem dua atap ini mulai berakhir dengan diterbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Jangka waktu peralihan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung adalah lima tahun sampai dengan tahun 2004.
55
Sistem peradilan satu atap (one roof system) berawal dengan diamandemennya Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian diamandemen lagi dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 dan terakhir setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas mengatur tentang organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan peradilan di bawahnya adalah peradilan umum, dengan beberapa peradilan khusus di bawahnya, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer. Peradilan militer hingga saat ini belum mengalami perubahan dan tetap menggunakan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, berbeda dengan lingkungan peradilan lainnya yang telah mengalami perubahan. 2.3.2
Yurisdiksi dan Justisiabel Peradilan Militer Yurisdiksi dan justisiabel merupakan dua istilah yang saling melengkapi. Yurisdiksi mempersoalkan kekuasaan memeriksa dan mengadili, sedangkan justisiabel mempersoalkan orang-orang yang diperiksa dan diadili (orang-orang yang tunduk/ditundukkan pada kekuasaan badan peradilan tertentu) dalam hal ini adalah peradilan militer.Justisiabel adalah mengenai seseorang yang diperiksa dan diadili karena suatu perkara pidana, atau merupakan subyek hukum.
56
Hubungan antara justisiabel dengan subyek hukum ialah bahwa orang yang bersangkutan adalah pelaku (subyek) dari suatu tindak pidana yang sekaligus merupakan justisiabel dari suatu peradilan tertentu. Justisiabel peradilan militer berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, bahwa peradilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata, dengan tugas dan wewenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada waktu melakukan tindak pidana adalah : a. Prajurit; b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit; c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang. Mengenai yurisdiksi perlu diperhatikan dalam uraian-uraian bahwa persoalan yurisdiksi meliputi kekuasaan mengadili perselisihan antara
pengadilan-pengadilan
sesamanya,
akan
tetapi
yang
diutamakan adalah orang-orang (badan hukum) pencari keadilan dalam suatu perkara pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, susunan pengadilan di lingkungan peradilan militer adalah sebagai berikut :
57
a.
Pengadilan Militer (Dilmil) Pengadilan Militer merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
bagi prajurit TNI yang berpangkat Kapten dan pangkat lain yang lebih rendah dari Kapten. b.
Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) Pengadilan Militer Tinggi menjadi Pengadilan Tingkat
Pertama bagi prajurit TNI berpangkat Mayor ke atas, melakukan pemeriksaan tingkat banding untuk perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Militer, sedangkan kewenangan pemeriksaan perkara tingkat banding untuk perkara yang telah diputus oleh Dilmilti ada pada Pengadilan Militer Utama. Pengadilan Militer Tinggi selain mempunyai kekuasaan seperti telah diterangkan di atas juga memiliki kekuasaan untuk : a. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata usaha Militer, dalam hal ini sebagai Pengadilan Tingkat pertama. b. Memeriksa dan memutus (pada tingkat pertama dan terakhir) sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya. c.
Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama) Pengadilan Militer Utama menjadi Pengadilan Tingkat
banding atas perkara pidana maupun sengketa Tata usaha Militer yang dimintakan banding, juga memiliki kekuasaan untuk memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili :
58
a. Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berbeda. b. Antar Pengadilan Militer tinggi; dan c. Antara Pengadilan Militer Tinggi dengan Pengadilan Militer. Selain kewenangan di atas, Pengadilan Militer Utama juga mempunyai kekuasaan untuk memutus “perbedaan pendapat” antar Oditur Militer sebagai Pejabat Penuntut Umum dengan Perwira Penyerah Perkara (Papera) tentang diserahkan tidaknya suatu perkara tindak pidana ke Pengadilan. Setelah menerima permohonan Papera, Pengadilan Militer Utama menunjuk Majelis Hakim Militer Utama untuk memeriksa dan memutus perbedaan pendapat itu dalam sidang yang dihadiri oleh Oditur Jenderal TNI (Orjen TNI). Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing dan pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Kewenangan lain yang dimiliki Dilmiltama adalah : a. Untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
59
b. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran. c. Meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali (PK), dan grasi Mahkamah Agung. d.
Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur) Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran adalah memeriksa
dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI di daerah pertempuran.Pengadilan Militer Pertempuran
bersifat
mobil
mengikuti
gerakan
pasukan
dan
berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran. 2.3.3
Karakteristik Sistem Peradilan Militer Karakteristik yang membedakan sistem peradilan militer dengan peradilan lain yang ada di Indonesia adalah peradilan militer selain tetap berpedoman pada asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman, dengan tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer yang mendasar, yaitu: a
Asas kesatuan komando Struktur organisasi dalam kehidupan militer atau ketentaraan
menempatkan posisi seorang komandan pada kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh sebab itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana dan berkewajiban untuk
60
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi. Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut, maka dalam sistem peradilan pidana militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan. b
Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya
adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando, dimana seorang komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. c
Asas kepentingan militer Dalam rangka menyelenggarakan pertahanan dan keamanan
negara,
kepentingan
militer
diutamakan
melebihi
daripada
kepentingan golongan dan perorangan, sedangkan khusus dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum. Hukum acara pada sistem peradilan militer disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai konsepsi hukum acara pidana nasional dengan berbagai kekhususan yang bersumber dari asas-asas dan ciri-ciri tata kehidupan yang belaku dalam kehidupan militer. Penjatuhan pidana terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana yang sifatnya sangat ringan, seperti tindak pidana berupa pelanggaran memungkinkan diselesaikan melalui hukum disiplin
61
prajurit. Mengingat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada seorang militeradalah juga merupakan pendidikan/pembinaan baginya selama tidak dibarengi dengan pemecatan dari dinas militer, maka wajarlah apabila dimungkinkan penyelesaian suatu tindak pidana (yang bersifat ringan) yang lebih mendekati “golongan pelanggaran disiplin militer” secara hukum disiplin demi tujuan perbaikan seorang militer.40 Adapun karakteristik sistem peradilan militer dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut : Gambar 2 Karakteristik Sistem Peradilan Militer
ASAS KEP HUKUM
KASUS MILITER
BADAN PERADILA N
ANKUM
POM (PENAHANAN DG SPRIN ANKUM) HAN NEG
ODITUR (BAPAT HUKUM) ASAS KEP MILITER
RINGAN SIFATNYA
SERAHKAN ANKUM
TIDAK RINGAN SIFATNYA
SERAHKAN DILMIL
PAPERA M
PUTUSAN-EKSEKUSI Sumber : Materi Susjab Oditur Militer tahun 2008
40
Moch. Faisal Salam, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h. 47-48.
62
2.3.4 Hukum Acara Peradilan Militer Hukum pidana militer dan hukum acara pidana militer adalah hukum khusus, disebut hukum khusus dengan pengertian untuk membedakan dengan hukum acara pidana umum yang berlaku bagi setiap orang.41 Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakukan oleh anggota militer (anggota TNI) adalah peran komandan satuan tidak dapat diabaikan, di samping peranan aparat penegak hukumnya mulai dari Polisi Militer, Oditur Militer dan Hakim Militer. Hal ini disebabkan adanya asas kesatuan komando (unity of command) dan kesatuan penuntutan (de een ondeelbarheit van het parket) yang berlaku dalam sistem peradilan militer. Selain dari pada itu perlu diperhatikan, bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan kepada seorang militer, selama tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer dilaksanakan di lembaga
pemasyarakat
khusus
militer
adalah
merupakan
pembinaan/pendidikan berbeda dengan pembinaan di lembaga pemasyarakatan umum. Maksud dari pembinaan tersebut diharapkan setelah terpidana militer selesai menjalani pidananya, mereka dapat kembali ke kesatuannya dan menjadi anggota militer yang lebih baik. Tahapan penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan militer sesuai dengan Hukum Acara Pidana Militer terbagi dalam empat tahap, yaitu :
41
Ibid, h. 30.
63
a.
Tahap Penyidikan Tahap Penyidikan dilakukan oleh Penyidik yang terdiri dari
Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum), Polisi Militer (PM) dan Oditur Militer. Namun kewenangan penyidikan yang ada pada Atasan yang Berhak Menghukum tidak dilaksanakan sendiri, akan tetapi dilaksanakan oleh Penyidik Polisi Militer maupun Oditur Militer. Sedangkan penyelidikan sebagai salah satu tahap penyidikan merupakan fungsi yang melekat pada komandan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik Polisi Militer. Apabila pada tahap penyidikan, seorang Tersangka anggota TNI dikhawatirkan akan melarikan diri, maka Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk melakukan
penahanan
terhadap
Tersangka
yang
pelaksanaan
dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan di rumah tahanan militer. Untuk kepentingan penyidikan Ankum berwenang melakukan penahanan paling lama 20 hari, kemudian jika penyidikan belum selesai maka Papera berwenang melakukan perpanjangan penahanan paling lama selama 6 kali 30 hari atau 180 hari dan sesudah masa 200 hari belum dilimpahkan ke Pengadilan Militer, Tersangka harus sudah dibebaskan dari tahanan demi hukum, walau proses penyidikan belum selesai.
64
b.
Tahap Penyerahan Perkara Penyerahan perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum wewenang ada pada Perwira Penyerah Perkara melalui Oditurat Militer. Tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara, Papera setelah menerima pendapat hukum dari Oditur Militer tentang penyelesaian suatu perkara, maka jika Papera sependapat dengan pendapat Oditur Militer, maka Papera mengeluarkan Keputusan Penyerahan Perkara (Keppera) untuk menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang melalui Oditur Militer untuk memeriksa dan mengadili, menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer. Kemudian jika Papera tidak sependapat dengan Saran Pendapat Hukum (SPH) Oditurat Militer bahwa perkara akan diselesaikan di luar Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan Oditur Militer berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan perkara perlu diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka jika Oditur Militer tetap pada pendiriannya, Papera mengajukan permohonan dengan disertai alasanalasannya ketidak setujuannya dengan pendapat Oditur Militer kepada
65
Dilmiltama supaya perbedaan pendapat diputuskan dalam sidang oleh Dilmiltama. Selanjutnya Papera wajib mengirimkan permohonan Oditur Militer tersebut dan berkas perkara yang disertai dengan pendapatnya kepada Dilmiltama melalui Oditurat Militer. Sesudah mendengar pendapat Orjen TNI di persidangan Dilmiltama, dengan putusannya Hakim yang mengadili menyatakan perkara tersebut diajukan atau tidak diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Apabila Dilmiltama memutuskan perkara tersebut harus diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka Papera segera melaksanakan keputusan Dilmiltama. Sesudah menerima Keppera dari Papera kemudian Oditur Militer melimpahkan perkara tersebut kepada Pengadilan disertai surat dakwaan. c.
Tahap Pemeriksaan Dalam Persidangan Pemeriksaan
di
dalam
persidangan
Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi dilakukan sesuai asasnya, yaitu sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan perkara kesusilaan, sidang dinyatakan tertutup. Dalam pemeriksaan perkara pidana dikenal adanya acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat, acara pemeriksaan khusus, dan acara pemeriksaan koneksitas. Acara pemeriksaan cepat dilakukan untuk memeriksa
66
perkara lalu lintas dan angkutan jalan. Acara pemeriksaan khusus adalah acara pemeriksaan pada Pengadilan Militer Pertempuran, yang merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran yang hanya dapat diajukan permintaan kasasi. Hakim militer dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Militer, bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih dahulu. Pada prinsipnya pengadilan bersidang dengan hakim majelis kecuali dalam acara pemeriksaan cepat. Terhadap tindak pidana militer tertentu, Hukum Acara Pidana Militer mengenal peradilan in absensia yaitu untuk perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya. d.
Tahap Pelaksanaan Putusan Tahap pelaksanaan putusan pengadilan setelah putusan hakim
berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi bagi terpidana militer yang tidak dikenakan hukuman tambahan berupa pemecatan dilaksanakaan di Pemasyarakatan Militer, sedangkan bagi terpidana yang mendapat hukuman tambahan berupa pemecatan eksekusinya dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum. Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana
67
bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan, sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi. 2.4
Sistem Penuntutan di Lingkungan Kejaksaan 2.4.1. Jaksa Sebagai Penuntut Umum Sistem penuntutan dalam sistem peradilan umum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran seorang Jaksa selaku Penuntut Umum. Jaksa menurut Mr. Susanto Kartoatmojo berasal dari bahasa Sansekerta.42
“Adhyaksa”
yang
berarti
superitendant
atau
superitendance. Dahulu “Adhyaksa” tidak pernah dihubungkan dengan dunia penegakkan hukum, namun saat ini telah mengalami perubahan
makna,
yaitu
dihubungkan
dengan
jabatan
yang
disejajarkan dengan hakim komisaris yang mempunyai tugas melakukan penyidikan perkara, penuntutan dan melakukan tugas sebagai hakim komisaris. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, status dan kedudukan Jaksa diatur dalam Inslandch Reglement (S.1848 Nomor 16) dan Rechterlyke Ordonantie (S. 1848 Nomor 57). Pada Pasal 62 RO menyebutkan, bahwa pekerjaan penuntut umum di Pengadilan Negeri (Landraat) dilaksanakan oleh jaksa. Kedudukan Jaksa pada saat itu sesuai Pasal 325 IR, tidak mempunyai wewenang untuk 42
h. 19.
Djoko Prakoso, 1983, Tugas dan Peran Jaksa Dalam Pembangunan, Penerbit GI, Jakarta,
68
menjalankan
suatu
putusan
pengadilan
(esksekusi),
karena
kewenangan eksekusi ada pada Asisten Resisden. Selanjutnya dengan berlakunya HIR (S. 1941 No. 44), kedudukan jaksa tetap sebagai alat kekuasaan Asisten Residen. Asisten Residen sebagai penuntut umum (magistraat), sedangkan jaksa sebagai pembantu penuntut umum (Ajunct Magistraat). Jabatan Asisten Residen dipegang oleh orangorang Belanda yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal, dan membawahi beberapa jaksa dari kalangan bumiputra. Perkembangan selanjutnya pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan untuk golongan Eropah dihapuskan dan jabatan Asisten Residen sebagai Magistraat juga dihapuskan. Dalam masa pendudukan Jepang, kedudukan jaksa mengalami perubahan yang sangat mendasar, yaitu semua tugas dan wewenang Asisten Residen dalam bidang penuntutan perkara pidana kepada jaksa dengan jabatan Thoo Kensatsu Kyokuko atau setingkat Kepala Kejaksaan di Pengadilan Negeri. Pengawasan. Pengawasan kepada lembaga Kejaksaan dilakukan oleh Koo Too Kensatsu Kyokuko atau Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Mahkamah Agung
(Saikoo
Kensatsu
Kyoku).
Selanjutnya
dengan
diberlakukannya Osamurai Nomor 49, Kejaksaan dimasukkan ke dalam wewenang Cianbu atau Departemen keamanan yang memiliki tugas mencari kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara serta menjalankan putusan hakim. Wewenang jaksa tersebut masih
69
dilaksanakan
sampai
dengan
Indonesia
memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Titik kemerdekaan
tolak
sejarah
Republik
perkembangan
Indonesia,
yaitu
kejaksaan melalui
adalah
Maklumat
Pemerintah RI tanggal 1 Oktober 1945 kejaksaan dimasukkan pada Departemen Kehakiman, sedangkan Kepolisian dimasukkan pada Departemen Dalam Negeri. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945, istilah yang oleh HIR disebut “magistraat” sebagai pelaksana tugas “Openbaar Ministerie” di setiap Pengadilan Negeri diartikan sebagai Jaksa.Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pokok Kejaksaan, pada Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama sebagai penuntut umum.” Selanjutnya sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 1 butir 6, yang dimaksud penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Jaksa sebagai penuntut umum berdasarkan Pasal 14 KUHAP mempunyai wewenang sebagai berikut : Pasal 14 KUHAP a. menerima dan memeriksa berkas perkara pinyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
70
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidik dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada persidangan yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undangundang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 30 ayat (1) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tantang Kejaksaan, disebutkan bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah : Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 (1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melaksnakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pemeriksaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
71
2.4.2. Prosedur Penuntutan di Lingkungan Kejaksaan Berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Tindakan penuntutan oleh penuntut umum mempunyai tujuan yang tidak dapat dilepaskan dengan hak asasi manusia dalam negara hukum yang mempunyai sifat universal seperti pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh sebab itu tindakan pemerintah dalam hal ini aparatur negara agar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk terjaminnya peradilan yang bebas selalu dikaitkan dengan sandi yang utama, yaitu terjaminnya perlindungan hak asasi manusia. Sejalan dengan dicanangkan program reformasi birokrasi di tubuh Kejaksaan Republik Indonesia, guna membangun kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga kejaksaan. Penyederhanakan sistem kerja dan mekanisme penanganan perkara tindak pidana umum yang
efektif
dan
efisien
harus
dilaksanakan,
dengan
tetap
memperhatikan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, penuh kearifan dan keadilan, sehingga hasil perubahan tersebutdapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pencari keadilan. Sesuai Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-013/A/JA/12/2011 tanggal 29 desember 2011 tentang Pedoman
72
Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum, hal-hal yang berhubungan dengan penuntutan diatur sebagai berikut : a.
Pendelegasian Kewenangan Penuntutan Kewenangan pengendalian rencana tuntutan pidana terhadap
perkara tindak pidana umum pada prinsipnya didelegasikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri, kecuali yang akan diajukan dengan tuntutan bebas/lepasdari segala tuntutan, pidana percobaan, pidana seumur hidup atau pidana mati, dan terhadap perkara tindak pidana umum tertentu dapat diambil alih pengendaliannya oleh pimpinan. b.
Faktor Memberatkan dan Meringankan Tuntutan Pidana Faktor-faktor yang dapat dijadikan alasan untuk menentukan
hal-hal yang memberatkan dan meringankan adalah perbuatan terdakwa, keadaan diri dan dampak perbuatan terdakwa. Faktor-faktor yang memberatkan adalah sebagai berikut : 1) Faktor-faktor yang memberatkan adalah : a) Mengganggu stabilitas dan keamanan Negara; b) Merusak hasil pembangunan; c) Menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat; d) Menimbulkan keresahan yang meluas bagi masyarakat; e) Menarik perhatian masyarakat; f) Menyangkut SARA; g) Merusak pembinaan generasi muda;
73
h) Menimbulkan
penderitaan
yang
mendalam
dan
berkepanjangan bagi korban atau keluarganya; i) Korban kehilangan nyawa, harta benda dan kehormatan; j) Korban kehilangan mata pencaharian; k) Pengulangan tindak pidana; l) Perbuatan yang dilakukan secara sadis; m) Motivasi melakukan tindak pidana; n) Riwayat hidup terdakwa; o) Karakter, moral, keadaan sosial dan ekonomi terdakwa; p) Peranan terdakwa; q) Keadaan jasmani/rohani terdakwa; dan r) Umur terdakwa. 2) Faktor-faktor yang meringankan adalah : a) Adanya perdamaian; b) Terdakwa menyesali perbuatannya; c) Terdakwa
tidak
berbelit-belit
dalam
memberikan
keterangan; d) Terdakwa belum menikmati hasil kejahatan; e) Terdakwa mengaku terus terang; f) Terdakwa menyerahkan diri setelah melakukan tindak pidana; g) Terdakwa
melakukan
menghidupi keluarga;
tindak
pidana
karena
untuk
74
h) Nilai ekonomi obyek kejahatan relatif kecil; i) Pengaruh pidana yang diajukan terhadap masa depan terdakwa; j) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang terjadi; k) Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 3) Faktor-faktor dalam menuntut pidana percobaan atau pidana bersyarat, adalah sebagai berikut : a) Terdakwa belum cukup umur; b) Adanya perdamaian; c) Adanya pembayaran ganti rugi oleh terdakwa; d) Saksi korban mencabut laporan/pengaduan; dan e) Memperhatikan situasi keadaan, keadilan dalam masyarakat setempat, kearifan lokal. 4) Sikap Penuntut Umum Terhadap Putusan Pengadilan a) Dalam menempuh upaya banding, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Apabila terdakwa mengajukan banding, maka Penuntut Umum wajib mengajukan perlawanan banding dan harus menyerahkan memori banding serta kontra memori
banding
memori banding.
apabila
terdakwa
menyerahkan
75
(2) Apabila putusan hakim sekurang-kurangnya 20 tahun penjara dari tuntutan pidana mati atau seumur hidup, namun pertimbangan penuntut umum dalam tuntutan pidana diambil alih sebagianatau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusan, maka penuntut umum tidak harus mengajukan banding. (3) Apabila putusan hakim ½ dari tuntutan pidana, namun pertimbangan penuntut umum dalam tuntutan pidana diambil
sebagian
atau
seluruhnya
sebagai
pertimbangan atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya, maka penuntut umum tidak harus mengajukan banding. (4) Apabila putusan hakim 2/3 dari tuntutan pidana, walaupun pertimbangan penuntut umum tidak diambil sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya, maka penuntut umum tidak harus mengajukan banding. b) Upaya hukum kasasi digunakan oleh penuntut umum dalam hal putusan hakim yang amarnya membebaskan terdakwa ataupun lepas dari segala tuntutan hukum. 2.5
Kebijakan Rencana Tuntutan Latar belakang keluarnya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006 adalah dalam rangka meningkatkan
76
pengendalian dan pengawasan terhadap Oditur di lingkungan TNI pada saat melaksanakan kekuasaan pemerintah di bidang penuntutan, sehingga rencana penuntutan merupakan satu kendali Orjen TNI. Kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI mendasarkan pada ketentuan Pasal 47 ayat (2) UndangUndang Nomor31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yaitu “Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melaksanakan penuntutan”. Hal ini dimaknai bahwa setiap Oditur yang bertindak sebagai penuntut umum di persidangan pengadilan, baik yunior maupun senior, namanya adalah public prosecutor. Dengan kata lain semua Oditur apapun pangkatnya, apapun jabatan strukturalnya ketika menjalankan penuntutan, dia adalah Alter Ego Oditur Jenderal TNI, dia adalah personifikasi atau perumpamaan atau perlambangan dari Oditur Jenderal TNI. Sedangkan dari Penjelasan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yang dimaksud dengan “Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijaksanaan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri-ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Oditurat. Maksud dan tujuan dikeluarkan kebijakan rencana tuntutan oleh Oditur Jenderal TNI adalah dalam rangka meningkatkan pengendalian dan pengawasan (Dalwas) kepada setiap Oditur Militer dalam melakukan penuntutan. Pelaksanaan kebijakan rencana tuntutan merupakan salah satu fungsi kendali (kontrol) Orjen TNI dalam melaksanakan pengendalian dan
77
pengawasan penyelesaian perkara. Harapan dengan dikeluarkan kebijakan rencana tuntutan adalah : a.
Terciptanya satu kesatuan komando dalam pelaksanaan penuntutan dikarenakan Oditur Militer adalah personifikasi dari Orjen TNI.
b. Terciptanya kehormatan dan eksistensi Oditurat yang dibanggakan, c.
Terciptanya kehormatan bagi Oditur Militer dalam melaksanakan tugas pokoknya secara jujur, benar dan adil.
d. Terciptanya penegakkan hukum yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan rencana tuntutan dikeluarkan pertama kali melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor : ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006. Dalam Surat Telegram tersebut, Oditur Militer yang hendak melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI dengan melampirkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dan hal-hal yang meringankan serta memberatkan terhadap perkara pidana yang ancaman pidana penjara di atas 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan. Kemudian kebijakan rencana tututan ditekankan lagi oleh Orjen TNI melalui Surat Telegram Nomor: ST/01/2009 tanggal 18 Pebruari 2009 yang isinya setiap Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi yang akan melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI. Permohonan Oditur Militer kepada Orjen TNI dituangkan dalam rencana tuntutan terhadap perkara yang ancaman pidananya di atas dua tahun delapan bulan dan perkara yang ancaman pidananya 2 (dua) tahun 8 (delapan)
78
bulan ke bawah, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan dari dinas militer, kecuali terhadap perkara desersi in absensia. Perkembangan selanjutnya mengenai pengaturan teknis penuntutan di lingkungan
TNI
diatur
dalam
Peraturan
Panglima
TNI
Nomor
Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Petunjuk Administrasi Oditurat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dengan keluarnya Peraturan Panglima tersebut, diatur lebih khusus mengenai batasan perkara yang harus dimintakan persetujuan tuntutannya kepada Orjen TNI yang terdapat dalam Bab V angka 28 huruf h tentang tuntutan, yaitu Oditur melalui Kepala Oditurat Militer/Kepala Oditurat Militer Tinggi harus meminta petunjuk dan arahan Orjen TNI sebelum mengajukan tuntutan : c) Dalam Perkara : (3)
Yang diancam hukuman lima tahun atau lebih.
(4)
Yang sifatnya menonjol.
d) Apabila akan menuntut bebas dari dakwaan atau lepas dari tuntutan. Keluarnya Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 ternyata Surat Telegram Orjen TNI Nomor ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006 dan Surat Telegram Nomor: ST/01/2009 tanggal 18 Pebruari 2009 tetap diberlakukan di semua jajaran Oditurat walau sudah tidak sejalan lagi dengan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009. Kebijakan rencana tuntutan tetap diberlakukan dengan alasan bahwa Oditur Militer telah di luar kendali dan tidak lazim karena banyaknya perkara yang tidak wajib membuat rencana tuntutan yang dituntut oleh Oditur
79
Militer dengan pidana penjara di bawah 3 (tiga) bulan. Penekanan rencana tuntutan ini melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor ST/11/2011 tanggal 28 Desember 2011 dikarenakan Oditur Militer dianggap telah di luar kendali dengan melakukan tuntutan terhadap terdakwa di bawah 3 bulan, sehingga perkara yang tidak wajib membuat rencana tuntutan diwajibkan membuat rencana tuntutan. Selanjutnya melalui ST/04/2012 tanggal 31 Januari 2012 Orjen TNI mengeluarkan petunjuk untuk melaksanakan rencana tuntutan terhadap tindak pidana minimal 3 bulan. Kemudian penekanan ulang rencana tuntutan disampaikan oleh Orjen TNI yaitu melalui ST/26/2012 tanggal 21 Desember 2012 yang isinya bahwa rencana tuntutan diajukan kepada Orjen TNI terhadap perkara-perkara : g. Perkara yang akan dituntut kurang dari tiga bulan. h. Perkara narkotika dan psikotropika. i. Perkara susila yang melibatkan Keluarga Besar TNI. j. Perkara yang ancaman pidananya lebih dari dua tahun delapan bulan. k. Perkara yang ancaman pidananya kurang dari dua tahun delapan bulan, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan kecuali perkara desersi in absensia. l. Perkara yang dimintakan petunjuk Orjen TNI untuk penutupan perkara atau hukum displin dan sesuai petunjuk Orjen TNI tetap diselesaikan melalui Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi.
80
BAB III INDEPENDENSI ODITUR MILITER DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR DENGAN BERLAKUNYA KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN
3.1. Maksud dan Tujuan Berlakunya Kebijakan Rencana Tuntutan Menurut pendapat Kepala Dinas Pengawas Teknis Oditurat Jenderal TNI Kolonel Chk Endro Nurwantoko, pelaksanaan rencana tuntutan yang diberlakukan sejak tahun 2006 dimaksudkan menjadi satu alat kendali Orjen TNI dalam melaksanakan pengendalian dan pengawasan penyelesaian perkara (sebagai fungsi kontrol) agar setiap Oditur Militer tidak berlaku semaunya sendiri dalam menentukan besaran tuntutan. Sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Oditur adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melaksanakan penuntutan. Hal tersebut maknanya adalah semua Oditur yang bertindak sebagai Penuntut di Persidangan Pengadilan adalah deputy public presecutor. Dengan kata lain ketika menjalankan penuntutan dia adalah “Alter Ego” personifikasi (perlambangan) dari Orjen TNI, sehingga harus dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata kerjanya. Tujuan pelaksanaan rencana tuntutan adalah terciptanya kehormatan bagi Oditur Militer dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara jujur, benar dan adil, sehingga mampu cipta penegakan hukum di lingkungan TNI sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan adanya pelaksanaan rencana
81
tuntutan diharapkan terciptanya kehormatan dan eksistensi Oditurat sebagai lembaga penuntutan di lingkungan TNI yang dapat dibanggakan. Proses pelaksanaan rencana penuntutan di jajaran Oditurat Jenderal TNI dapat dilihat dari gambar siklus mekanisme rencana tuntutan pada gambar 3 di bawah ini: Gambar 3 Siklus Mekanisme Rencana Tuntutan
RENTUT ODITUR
1
7
ORMIL/TI PU
JUK ORJEN
2
6
KAOTMIL/TI
RAPAT RENTUT
3 5
4
Sumber : Bahan Rakornis Babinkum TNI TA. 2012
82
Sedangkan alur pelaksanaan rencana penuntutan di jajaran Oditurat Jenderal TNI dapat dilihat dari gambar bagan mekanisme rencana tuntutan pada gambar 4 di bawah ini: Gambar 3 Mekanisme Pelaksanaan Rencana Tuntutan
RAPAT RENTUT 1. Pimp-Waorjen 2. Peserta : a. Ses b. Para Kadis
ORJEN TNI
KA OTMILTI
KA OTMIL
ORMILTI
ORMIL
PERSIDANGAN
Sumber : Rakornis Babinkum TNI TA. 2012
83
3.2. Independensi Oditur Militer Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar Dengan Berlakunya Kebijakan Rencana Tuntutan Membahas tentang independensi Oditur Militer sebagai Penuntut Umum di lingkungan TNI dalam melaksanakan fungsinya dengan berlakunya kebijakan rencana tuntutan oleh Orjen TNI yang diberlakukan sejak tahun 2006 di seluruh jajaran Oditurat, maka penulis melakukan penelitian di Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar (Otmil III-14 Denpasar). Daerah hukum Oditurat Militer III-14 Denpasar meliputi Pulau Bali dan Nusa Tenggara Barat, sedangkan tugas dan kewewenangan Otmil III-14 Denpasar sebagai salah satu institusi penuntutan sesuai dengan ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah : (1) Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya; 1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; 2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; 3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer; b. melaksanakan penetapan hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum; c. melakukan pemeriksaan tambahan. (2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer dapat melakukan penyidikan.
84
Oditurat Militer III-14 Denpasar merupakan Oditurat Militer tipe “A” yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dipimpin oleh seorang Kepala yang berpangkat Kolonel dari korp hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang berkedudukan selaku Oditur Militer (Ormil). Kepala Oditurat Militer
III-14
Denpasar
selaku
penanggung
jawab
kebijakan
dan
mengendalikan fungsi Oditurat Militer dalam bidang penuntutan dibantu oleh Kepala Kelompok Oditur Militer, disingkat Kapok Ormil yang dijabat oleh Pamen TNI berpangkat Letnan Kolonel korp hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang berkedudukan sebagai Oditur Militer. Kepala Kelompok Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya dibantu oleh tiga orang anggota Pok Ormil yang masing-masing dijabat oleh Pamen TNI berpangkat Mayor korp hukum berkualifikasi Sarjana Hukum yang berkedudukan sebagai Oditur Militer. Setiap Oditur Militer bertugas melakukan pengolahan perkara dan penuntutan perkara pidana yang ditangani langsung oleh Oditurat Militer III14Denpasar yang nantinya dilimpahkan ke Pengadilan Militer III-14 Denpasar untuk diperiksa dan diadili. Hasil penelitian penulis dalam mencari jawaban tentang independensi Oditur Militer tersebut, maka penulis mewancarai beberapa narasumber yang berhubungan langsung permasalahan yang diangkat, yaitu Oditur Militer yang bertugas di kantor Otmil III-14 Denpasar, antara lain : a.
Letkol Chk Sumantri Wawancara dengan Letkol Chk Sumantri yang jabatan kesehariannya
adalah Kapok Ormil Otmil III-14 Denpasar dilakukan pada hari Senin tanggal
85
8 Desember 2014 pukul 09.00 Wita. Dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa Oditur Militer Sidang yang melaksanakan sidang di Pengadilan Militer tidak independen pada saat menjalankan fungsinya sebagai penuntut umum, karena ketika akan menjatuhkan tuntutan pidana harus membuat rencana tuntutan, atau setidak-tidaknya melaporkan kepada Kepala Oditurat Militer untuk mendapat persetujuan. Dengan adanya kebijakan rencana tuntutan yang merupakan fungsi kontrol, maka Oditur Militer dianggap belum profesional dan belum memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam menjalankan tugasnya selaku penuntut umum di lingkungan TNI. Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, ketika selesai melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa dan pada saat membuat tuntutan, keputusannya menjadi tergantung kepada pimpinan, sehingga keputusan yang diambil tidak murni darinya. Dicontohkan, ketika Oditur Militer mengajukan rencana tuntutan, besaran tuntutan pidana yang diajukan dalam rencana tuntutan, setelah turun tidak sama dengan rencana tuntutan dari Oditur Militer, begitu juga terhadap besaran tuntutan naik maupun kurang dengan tanpa diberi penjelasan. Oditur Militer sudah selayaknya diberi kebebasan dalam menentukan tuntutan, tetapi tetap mengedepankan kebebasan bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan. Dalam hal klasifikasi perkara yang sifatnya menonjol harus diperjelas tolok ukurnya agar tidak menjadi
86
multi penafsiran, seperti perkara yang mendapat perhatian masyarakat dan juga berdampak kepada kepentingan publik. b.
Mayor Chk Reman. Wawancara dengan Mayor Chk Reman yang kesehariannya menjabat
sebagai Kasilahkara Otmil III-14 Denpasar sekaligus merangkap sebagai Oditur Militer dilakukan pada hari Rabu tanggal 10 Desember 2014 pukul 13.00 Wita. Dalam wawancara dijelaskan bahwa pada dasarnya Oditur Militer yang melaksanakan sidang pada saat melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, saksi dan alat bukti di persidangan dilakukan secara independen. Oditur Militer mempunyai keyakinan sendiri karena mengetahui suasana kebatinan pada saat melakukan pemeriksaan di persidangan Pengadilan Militer, namun dalam membuat tuntutan keputusan akhir ada pada pimpinan. Oditur Militer sangat berbeda dengan Hakim Militer, karena Hakim Militer terhadap putusan murni tidak bertanggung jawab pada Kepala/Atasannya, namun secara individu langsung bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehubungan dengan kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI, hal ini karena tidak lepas dari asas Oditurat satu dalam melakukan penuntutan, yaitu supaya setiap Oditur Militer tidak keluar hal-hal yang telah diatur. Rencana tuntutan yang diajukan tidak semuanya diajukan ke Orjen TNI, tetapi ada yang cukup kepada Kepala Oditurat setempat saja dan rencana tuntutan tetap diperlukan untuk perkara yang besifat menonjol saja. Rencana tuntutan yang diajukan tidak selalu beda, namun terkadang yang menjadi
87
beban adalah kalau dalam rencana tuntutan yang diajukan hanya memuat tuntutan berupa pidana penjara, tetapi setelah turun dari Orjen TNI agar dituntut juga dengan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Persetujuan rencana tuntutan nantinya menjadi dasar dalam membuat surat tuntutan (requisitoir) yang nantinya dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Militer, sehingga hakim militer tetap memperhatikan tuntutan Oditur Militer dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Begitu juga jika hakim memutus kurang dari separo tuntutan Oditur Militer, tentunya sesuai aturan Oditur Militer akan melakukan upaya hukum berupa banding. c.
Mayor Laut (KH) I Made Adnyana Wawancara dengan Mayor Laut (KH) I Made Adnyana yang jabatan
kesehariannya adalah Kasi Penuntutan Oditurat Militer III-14 Denpasar sekaligus bertindak sebagai Oditur Militer dilakukan pada hari Kamis tanggal 11 Desember 2014 pukul 09.00 Wita. Dalam wawancara dijelaskan bahwa Oditur Militer boleh dikatakan “ya atau tidak” independen. Ketidak bebasan harus membuat laporan ke Orjen TNI yang membuat setiap Oditur Militer pada saat melakukan penuntutan menjadi kurang independen. Oditur Militer yang menyidangkan perkara lebih mengetahui fakta-fakta hukum di persidangan maupun undang-undang dan batasan minimal maupun maksimal tuntutan, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemecatan terhadap prajurit TNI yang dirasa sudah tidak layak dipertahankan dalam dinas kemiliteran sesuai KUHPM. Oditur Militer mendasarkan pada pembuktian di
88
persidangan, sehingga dalam menentukan tuntutan yang dirasa tetap dalam memenuhi rasa keadilan. Kebijakan rencana penuntutan yang merupakan fungsi kontrol dari atasan tidak perlu dilakukan, tetapi terhadap fungsi kontrol ini seharusnya dilakukan oleh intelejen pengawas. Intelejen pengawas berfungsi ke dalam adalah melakukan pengawasan secara tertutup terhadap setiap tindakan Oditur Militer dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan fungsi keluar intelejen pengawas adalah menelusuri rekam jejak terdakwa sejak perkaranya masuk ke Oditurat Militer, sehingga dapat dalam menilai kehidupan terdakwa lebih obyektif dan dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa nantinya dapat mendekati keadilan. Namun demikian intelejen pengawas di setiap Oditurat Militer belum ada, sehingga perlu diadakan guna mendukung tugas Oditurat yang lebih baik di masa yang akan datang. Menurut ketiga responden narasumber Oditur Militer yang telah diwawancari, baik secara inplisit maupun eksplisit menerangkan dengan adanya kebijakan rencana tuntutan yang diberlakukan oleh Orjen TNI kepada jajaran Oditurat, akan membuat Oditur Militer menjadi tidak independen dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan TNI. Hal ini dikarenakan setiap Oditur Militer yang lebih mengetahui fakta-fakta hukum yang terjadi di persidangan secara utuh namun pada saat akan membuat tuntutan, keputusannya menjadi tergantung kepada pimpinan, sehingga keputusan yang diambil tidak murni dari hati nuraninya. Kebijakan rencana tuntutan menjadikan Oditur Militer tidak dapat secara mandiri
89
mengambil keputusan dalam membuat tuntutan maupun bertanggung jawab secara penuh terhadap perkara yang sedang ditangani. Selain dari hasil wawancara dengan narasumber tersebut di atas, untuk melengkapi ketepatan dalam menganalisis mengenai independensi Oditur Militer, penulis menyajikan data rencana penuntutan di Oditurat Militer III-14 Denpasar sebagaimana dapat dilihat dari Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini : Tabel 1 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2012 NO URT. 1.
NAMA TERDAKWA Prada Made Rida Hubdam IX/Udy
2.
Sertu Yuda Candra
3.
4. 5.
6. 7.
RENTUT KAOTMIL Pjr 5 bln pottah
JUK ORJEN Pjr 5 bln pottah
VONIS HAKIM Pjr 3 bln pottah
Pjr 3 bln pottah
Pjr 4 bln pottah
Pjr 4 bln MP 6 bln
Serda Made Rudi P Kudam IX/Udy
PSL DILANGGAR (ANCAMAN PID) Ps 87 ayat (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 363 (1) ke-3 jo Ps 53 ayat (1) KUHP (maks 6 thn) Ps 359 KUHP (maks 5 thn)
Pjr 5 bln pottah
Pjr 5 bln pottah
Pjr 5 bln MP 7 bln
Sertu Winarno Kodim 1606 Pratu Lalu Budiman Denbek Mataram
Ps 378 KUHP (maks 4 thn) Ps 360 ayat (2) KUHP(maks 9 bln)
Pjr 12 bln pottah+pecat Pjr 3 bln
Pjr 12 bln pottah+pecat Pjr 3 bln
10 bln+pecat
Pratu Mastur Lanud Rembiga Pratu Yusran Yonif 631
Ps 86 ke-1 KUHPM (maks 1 thn 4 bln) Ps 353 (1) jo Ps 55 (1) KUHP (maks 4 thn) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (inab) (maks 2 thn 8 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (inab) (maks 2 thn 8 bln) Ps 1 (1) UU No.12/ 1951+351 (2)KUHP (maks 5 thn) Ps 114 UU No. 35/ 2009 ttg Narkotika (6-20 thn)
Pjr 4 bln
Pjr 3 bln
Pjr 2 bln
Pjr 1 thn 6 bln
Pjr 1 thn 6 bln
Pjr 11 bln
Pjr 1 thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
Pjt 2 thn+pecat
Pjt 5 thn+pecat
Pjr 1 thn 3bln+pecat
Pjr 5 thn+pecat
10 bln+denda 1jt subs 3bln
Pjr 9 bln+pecat
Pjr 5 thn+pecat +denda 1 juta Pjr 9 bln+pecat
Pjr 4 bln
Pjr 4 bln
Pjr 3 bln,MP 6 bln
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln
Pjr 2 bln
8.
Pratu Nurman H. Yonif 742/SWY
9.
Serda Sohirin Kodim Loteng
10.
Koptu Agus Mulyadi Korem 163/WSA Peltu Lukman Jafar Denma Kodam IX
11.
12
Serma Buang Lanud Rai
13
Serma IN Sulandra Kodim Tabanan
Ps 284 (1) ke-2a dan 281 ke-1 KUHP (maks 9 bln) Ps 335 (1) ke-1 KUHP (maks 1 thn)
14.
Prada Parenta A. Paldam IX/Udy
Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM
Pjr 3 bln MP 6 bln
Pjr 10 bln+pecat
90
15.
Sertu Budiman Yonif 210
16.
Serma Abdul Malik Kudam IX/Udy Koptu Made Kardiasa Denmadam IX/Udy Pratu Agustinus R. Denzipur 9/YKR
17.
18.
19. 20. 21.
22.
23.
Kopda Hari Supri Lanud Rembiga Kopda Rifaid Yonif 742/SWY Pelda IN Astika Babiminvetcaddam Kapten Ckm Sukoco Kesdam IX/Udy Kapten Chb Ismail Denkomlek Dps
(maks 2 thn 8 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2thn 8 bln) Ps 86 (1) KUHPM (1 thn 4 bln) Ps 86 (1) KUHPM (1 thn 4 bln)
Pjr 5 bln
Pjr 6 bln
Pjr 6 bln 20 hari
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln
Pjr 1 bln 15 hari
Pjr 4 bln+pecat
Pjr 4 bln+pecat
Pjr 3 bln 15 hari
Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 352 (1) KUHP (maks 2 thn 8 bln) Ps 299 (1) KUHP (maks 4 thn) Ps 263 (1) KUHP Ps 263 (2) KUHP (maks 6 thn) Ps 335 (1) ke-1 KUHP (maks 1 thn)
Pjr 4 bln
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln
-
Pjr 11 bln
Pjr 8 bln
Pjr 12 bln
Pjr 9 bln
Pjr 10 bln
Pjr 10 bln
Pjr 5 bln MP 8 bln
Pjr 4 bln
Pjr 4 bln
Pjr 5 bln MP 8 bln
Ps 352 (1) KUHP (4 thn)
Pjr 4 bln
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln MP 5 bln
24.
Sertu Agus Arsana Rindam IX/Udy
Ps 124 (1) KUHPM (maks 1 thn)
Pjr 3 bln
Pjr 6 bln
Pjr 3 bln MP 6 bln
25.
Praka IB Cunadi, Cs Denzipur 9/YKR
@Pjr 4 bln
@Pjr 6 bln
@Pjr 5 bln MP 8 bln
26.
Serka Suryono Kodim Badung Peltu Nurjadianto Sandidam IX/Udy Serma IN Karyana Kodim Bangli
Pjr 6 thn denda 800jt sub 8 bln Pjr 7 bln
Pjr 6 thn denda 800jt sub 3 bln Pjr 8 bln
4 thn,denda 1jt/3 bln
27.
Ps 335 (1) ke-1 KUHP jo 55 (1)ke-1 (maks 1 thn) Ps 112 (1) & (2) UU No.35/2009 (4-12 thn) Ps 378 KUHP (maks 4 thn) Ps 351 (1) KUHP (maks 2 thn 8 bln)
Pjr 5 bln
Pjr 7 bln
Pjr 4 bln MP 8 bln
Ps 351 (1) KUHP jo Ps 55 (1)ke-1 KUHP (maks 2 thn 8 bln) Ps 352 (1) KUHP jo Ps 55 (1)ke-1 KUHP (4 thn) Ps 352 (1) KUHP (4 thn)
Pjr 6 bln
-
Pjr 9 bln
Pjr 4 bln
Pjr 4 bln
Pjr 3 bln MP 5 bln
Pjr 4 bln
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln MP 6 bln
Ps 480 ke-1 KUHP (maks 4 thn) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 263 (1) KUHP & Ps 277 (1) KUHP (maks 6 thn) Ps 114 (1) UU No. 35/2009 &Ps 127(1) (15 thn)
Pjr 6 bln
Pjr 12 bln
Pjr 6 bln
Pjr 1 thn+pecat
Pjr 1 thn+pecat
Pjr 7 bln+pecat
Pjr 11 bln
Pjr 12 bln
Pjr 3 bln
Pjr 6 thn,denda 800jt sub 6 bln krngn+pecat
Pjr 6 thn,denda 800jt sub 6 bln krngn+pecat
Pjr 3 thn+pecat
28.
29.
Serma Usman Pomdam IX/Udy
30.
Sertu M. Ridwan Yonif 742/SWY
31.
Sertu Y. Bengu Kodim Loteng
32.
Koptu Ahmad H. Kodim Loteng Prada Abdul Munir Yonif 742/SWY
33.
34.
Kopka B. Taek Korem 162/WB
35.
Serma Saiful Kesdam IX/Udy
Pjr 4 bln
91
36.
Pratu Ariyawan P. Denmadam IX/Udy
Ps 352 (1) KUHP (4 thn )
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln
Pjr 2 bln MP 4 bln
37.
Pratu Arif Rahman H. Yonif 742/SWY Kapten Chb Ismail Denkomlek Dps Letda Fatchur R. Bekangdam IX/Udy
Ps 281 ke-1 KUHP & Ps 86 ke-KUHPM (maks 2 thn 8 bln) Ps 372 KUHP (maks 4 thn) Ps 118 (1)KUHPM & 284(1)ke-1KUHP (maks 4 thn) Ps 281 ke-1 KUHP (maks 2 thn 8 bln) Ps 263 (1) KUHP (maks 6 thn)
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 14 bln +pecat
Pjr 11 bln
Pjr 12 bln +pecat Pjr 12 bln +pecat
Pjr 12 bln +pecat Pjr 12 bln +pecat
Pjr 1 thn +pecat
Pjr 15 bln
Pjr 18 bln
Pjr 11 bln
Pjr 8 bln
Pjr 8 bln
Pjr 5 bln
38. 39.
40. 41
Praka La Sudarmin Yonif 900/R Pelda Herman Yanto Kodim Sumbawa
Pjr 1 thn +pecat
Keterangan : Kolom diblok adalah perkara pidana yang ancaman pidananya di atas 5 tahun Sumber : Data Rencana Tuntutan Otmil III-14 Denpasar Tahun 2012
Tabel 2 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2013 NO URT. 1.
NAMA TERDAKWA Kpt Cpm Simarmata Pomdam IX/Udy
2.
Sertu Hendra S,Cs Pomdam IX/Udy
3.
Ltd Inf M. Zainul E. Korem 163/WSA Kpt Inf Muhdar, SPd Korem 163/WB Serka Johan Suardi Kesdam IX/Udy
4.
5.
6.
Sertu Rai Winata Korem 102/Panju
7.
Serma Pedes Korem 163/WB
8.
Pratu Aris Budi A. Lanud Rembiga
9.
Serda I Pt Yudanika Rindam IX/Udy Pelda Roesbiyanto I Bintaldam IX/Udy Pelda Roesbiyanto II Bintaldam IX/Udy Serma IW Narya
10. 11.
12
PSL DILANGGAR (ANCAMAN PID) Ps 368 KUHP & Ps 126 KUHPM (maks 5 thn) Ps 170 (1)ke-3 jo (2) KUHP (maks 12 thn) Ps 359 KUHP (maks 5 thn) Ps 378 KUHP (maks 4 thn)
RENTUT KAOTMIL Pjr 11 bln
JUK ORJEN Pjr 12 bln
VONIS HAKIM Pjr 7 bln
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 11 bln
Pjr 7 bln
Pjr 10 bln
Pjr 2 bln
Pjr 3 bln
Pjr 4 bln
Pjr 4 bln MP 6 bln
Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 9 (1) jo 49a UU 23/2009 KDRT (maks 3 thn) Ps 406 (1) jo Ps 352 (1) KUHP (4 thn) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM jo Ps 88 (2 thn 8 bln) Ps 360 (2) KUHP (maks 9 bln) Ps 378 KUHP (maks 4 thn) Ps 378 KUHP (maks 4 thn)
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 6 bln pottah
Pjr 5 bln pottah
Pjr 1 thn +pecat
Pjr 11 bln pottah
Pjr 8 bln
Pjr 8 bln
Pjr 3 bln
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat Pjr 6 bln
Pjr 10 bln +pecat Pjr 10 bln
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 5 bln
Pjr 6 bln pottah
Ps 131 (1) jo (2)
Pjr 3 bln
Pjr 8 bln
Pjr 5 bln MP 3 bln Pjr 4 bln pottah
Pjr 5 bln MP 8
92
Babinminvetcaddam 13 14. 15. 16.
17.
Serka Johan Suardi Kesdam IX/Udy Sertu A. Mujahidin Korem 162/WB Praka Suparman Yonif 742/SWY Serda Antonius Toni Kodim Lotim Praka Handoko A.P. Kesdam IX/Udy
18.
Kopda Md Sutayasa Yonif 742/SWY
19.
Kaptn Lalu Suparman Korem 162/WB Kopka Rohim Kodim Loteng Pratu Jainul Abidin Yonif 742/SWY
20. 21.
22.
Serda Muslehudin Kodim 1607
23.
Pratu Chandra S. Yonif 742/SWY
24.
Pratu Dadang D. Yonif 742/SWY
25.
Pratu Apris S. Olla Yonif 742/SWY
26.
Pelda Murdali Lubis Korem 162/WB Serka Wiyono Korem 163/WSA
27.
28.
29.
Serma Rui Carvalhera Kodim Sumbawa Prada Ariyawan P. Denmadam IX/Udy Koptu Slamet R. Denhubdam IX/Udy Serma Km Pedes Korem 163/WB Prada To Welros T. Rindam IX/Udy
KUHPM (maks 4 thn) Ps 372 KUHP (maks 4 thn) Ps 328 KUHP (maks 12 thn) Ps 480 ke-1 KUHP (maks 4 thn) Ps 378 KUHP (maks 4 thn)
Pjr 1 thn
Pjr 12 bln
Pjr 6 bln pottah
Pjr 7 bln
Pjr 7 bln
Pjr 3 bln
Pjr 3 bln
Pjr 5 bln
Pjr 2 bln 15 hari
Pjr 8 bln
Pjr 8 bln
Pjr 4 bln
Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 284 (1) ke 2a KUHP (maks 9 bln)
Pjr 1 thn +pecat
Pjr 1 thn +pecat
Pjr 7 bln +pecat
Pjr 7 bln +pecat
-
Pjr 8 bln 20hr+pecat
Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (maks 2 thn 8 bln) Ps 351 (1) KUHP (maks 2 thn 8 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (maks 2 thn 8 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (maks 2 thn 8 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (maks 2 thn 8 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (maks 2 thn 8 bln) Ps 279(1) ke-1 KUHP (maks 5 thn) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 281 ke-1 KUHP (maks 2 thn 8 bln)
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 1 thn + pecat
Pjr 5 bln
Pjr 5 bln
Pjr 4 bln
Pjr 6 bln
Pjr 6 bln
Pjr 7 bln+pecat
Pjr 5 bln
Pjr 5 bln
Pjr 4 bln pottah
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 12 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 7 bln
Pjr 7 bln
Pjr 5 bln
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 10 bln +pecat
Pjr 3 bln pottah
Pjr 3 bln pottah
Pjr 6 bln pottah
Pjr 7 bln
-
Pjr 8 bln +dipecat
Pjr 4 bln
-
Pjr 3 bln
Pjr 4 bln
-
Pjr 3 bln
Pjr 4 bln
-
Pjr 3 bln MP 6 bln
Pjr 10 bln pottah Pjr 5 thn
Pjr 12 bln pottah Pjr 5 thn
Pjr 11 bln pottah
33.
Serma I Ketut W. Paldam IX/Udy
Ps 335 (1) ke-1 KUHP (maks 1 thn) Ps 86 ke-1 KUHPM (1 thn 4 bln) Ps 335 (1) ke-1 KUHP (maks 1 thn) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln) Ps 335 (1) ke-1 KUHP(maks 1 thn)
34.
Prada M. Sandy Y.P Ajendam IX/Udy Koptu IGN Yudana
Ps 351 (2) KUHP (Maks 5 thn) Psl 114 (1) &127(1)
30. 31. 32.
35.
bln
Pjr 11 bln
Pjr 9 bln
Bebas
93
Korem 163/WB
UU No 35/2009 (4-15 thn)
36.
Kopka Ketut Kanis Ajendam IX/Udy
Ps 263 (2) KUHP (maks 6 thn)
37.
Pratu Saiful Arbangi Bekangdam IX/Udy Serda Jainudin Kodim Bima Serda Gd Yuda P. Rindam IX/Udy Praka Km Kartika Denmadam IX/Udy
38. 39. 40.
41 42
43 44 45.
+pecat denda 1M/6 bln Pjr 6 bln
+pecat denda 1M/6 bln Pjr 9 bln
Ps 281 ke-1 KUHP (2 thn 8 bln) Ps 281 ke-1 KUHP (2 thn 8 bln) Ps 86 ke-1 KUHPM (1 thn 4 bln) Ps 335 (1) KUHP (maks 1 thn)
Pjr 1 thn+pecat Pjr 10 bln
-
Pjr 8 bln+pecat
-
Pjr 6 bln
Pjr 3 bln
-
Pjr 1 bln 15 hari
Pjr 3 bln
-
Pjr 3 bln MP 5 bln
Pratu Bastian Tri K. Denzipur 9/YKR Serka I Dewa Made P Pomdam IX/Udy
Ps 106 (1) KUHPM (maks 9 thn) Psl 114 (2) &127(1) UU No. 35/2009 (15 thn)
Pjr 6 bln
Pjr 6 bln
Pjr 5 bln
Ps 281 ke-1 KUHP (2 thn 8 bln) Ps 103 (1) KUHPM (2 thn 4 bln) Ps 87 (1) ke-2 jo (2) KUHPM (2 thn 8 bln)
Pjr 7 thn +pecat denda 500jt subs 6 bln -
Pjr 6 thn +pecat,denda 1 M/6 bln kurungan
Kopda Rifaid Yonif 742/SWY Serma Km Pedes Korem 163/WSA Serma Jainudin Kodim Bima
Pjr 10thn +pecat denda 1M/6bln Pjr 10 bln pottah Pjr 8 bln pottah Pjr 3 bln
-
Pjr 5 bln+pecat
-
Pjr 1 bln 15 hari
Pjr 5 bln MP 9 bln
Pjr 11 bln pottah
Keterangan : Kolom diblok adalah perkara pidana yang ancaman pidananya di atas 5 tahun Sumber : Data Rencana Tuntutan Otmil III-14 Denpasar Tahun 2013
Selanjutnya dari kedua tabel di atas dapat disederhanakan tentang pelaksanaan kebijakan rencana tuntutan yang tidak sesuai dengan Peraturan Panglima TNI Nomor : Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 yang ada di Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar agar mudah dipahami. Dari data rencana tuntutan Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar tahun 2012 terdapat 41 perkara pidana yang diajukan persetujuan rencana tuntutan. Selanjutnya dari 41 perkara tersebut sebanyak 2 perkara diajukan rencana tuntutan lokal atau cukup kepada Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar, dan sebanyak 39 perkara diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Sedangkan dari 39 perkara yang diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI
94
hanya terdapat 9 perkara yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun penjara atau lebih dan sisanya sebanyak 30 perkara ancaman pidananya kurang dari 5 (lima) tahun. Kemudian dari data rencana tuntutan Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar tahun 2013 terdapat 45 perkara pidana yang diajukan persetujuan rencana tuntutan. Dari 45 perkara tersebut sebanyak 11 perkara diajukan rencana tuntutan lokal atau cukup kepada Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar, dan sisanya sebanyak 34 perkara diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Sedangkan dari 34 perkara yang diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI hanya terdapat 9 perkara yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun penjara atau lebih dan sisanya sebanyak 25 perkara ancaman pidananya kurang dari 5 (lima) tahun. Sebelum menganalisis lebih lanjut menggunakan teori hukum, maka untuk mendapatkan gambaran yang utuh penulis akan memberikan contoh kasus yang diajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI oleh Oditur Militer sampai mendapat vonis dari Majelis Hakim, yaitu dalam perkara pidana atas nama terdakwa Prada Muhamad Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388. Pada perkara ini terdakwa diduga telah melakukan tindak pidana “Penganiayaan Berat” sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (2) dengan ancaman pidana penjara lima tahun, sehingga perkara tersebut layak diajukan permohonan kepada Orjen TNI.
95
Berikut ini adalah rencana tuntutan Oditur Militer pada Kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar dalam perkara terdakwa atas nama Prada Muhamad Sandy Yudha Putra : ODITURAT MILITER TINGGI-III ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR Denpasar, 19 September 2013 Nomor Klasifikasi Lampiran Perihal
: : : :
R/37/IX/2013 Rahasia Rencana tuntutan a.n. Terdakwa Prada Muhamad Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388
Kepada Yth. Orjen TNI di Jakarta
1. Dasar: a. ST Orjen TNI Nomor ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006 tentang Rencana Tuntutan. b. Keputusan Penyerahan Perkara Keputusan Penyerahan Perkara dari Danrem 162/WB No. Kep/91/VII/2013, tanggal 9 Juli 2013. c. Surat Dakwaan Oditur Militer Nomor: Sdak/33/K/AD/VII/2013 tanggal 17 Juli 2013, yang pada pokoknya Terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana “Penganiayaan Berat”.Sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP. 2. Fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebagai berikut: a. Bahwa benar Terdakwa menjadi prajurit TNI melalui pendidikan Secata PK Gelombang II Tahun Anggaran 2009/2010 di Rindam IX/Udayana, setelah lulus lalu dilantik dengan pangkat Prada, selanjutnya pada tahun 2010 mengikuti pendidikan kecabangan Ajudan Jendral di Pusdik Ajen di Bandung, selesai pendidikan kecabangan ditempatkan di Ajendam XII/Tanjung Pura sampai dengan kejadian yang menjadi perkara ini masih dengan pangkat Prada NRP. 31100219320388. b. Bahwa benar Terdakwa kenal dengan Sdri. Lilik Susanti (Saksi VIII) pada tahun 2008 di Desa Pelambik Kec. Praya Barat Daya Lombok Tengah. Setelah kenal kemudian menjalin hubungan pacaran selama kurang lebih 3 (tiga) tahun sejak tahun 2010 sampai dengan 2010. Kemudian pada tanggal 11 Nopember 2010 Terdakwa memutuskan hubungan pacaran dengan Saksi VIII karena Terdakwa telah mempunyai pacar/kekasih lain.
96
c. Bahwa benar kemudian sekira bulan Agustus 2012 Terdakwa mendengar Saksi VIII (mantan pacar Terdakwa) telah mempunyai pacar lain namun pada saat itu Saksi VIII tidak memberitahu siapa nama pacarnya namun menjelaskan bahwa pacarnya tersebut adalah kawan dari Sdr Nanang Satria (Saksi I). d. Bahwa benar setelah mengetahui Saksi VIII telah mempunyai pacar lain yang merupakan kawan dari Saksi I, maka kemudian pada bulan Agustus 2012 Terdakwa menghubungi Saksi I menggunakan Hp lalu meminta kepada Saksi I agar kawan Saksi I tersebut tidak usah mendekati Saksi VIII karena Terdakwa sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Saksi-VIII namun Saksi I saat itu mengatakan bahwa urusan tersebut adalah urusannya, lalu mengatakan, “Kamu jangan mentang-mentang tentara, saya tidak takut aparat”. e. Bahwa benar setelah Saksi I mengatakan bahwa ia tidak takut kepada aparat maka Terdakwa lalu memaki “Kurang ajar, bangsat, monyet kamu, kenapa tidak menghargai saya” selanjutnya Saksi I mengatakan, “Saya memang tidak menghargai orang atau siapa-siapa, teleninak kau (kemaluan ibu)”, selanjutnya HP langsung diputus. f. Bahwa benar pada tanggal 26 Nopember 2012 Terdakwa mengajukan corp raport /mengajukan cuti tahunan kepada kesatuan dengan alasan menjenguk orang tua di Lombok Tengah Mataram NTB. Selanjutnya berdasarkan Surat Cuti Nomor: SC/107/XI/2012 tanggal 28 Nopember 2012 Terdakwa melaksanakan cuti terhitung mulai tanggal 3 Desember 2012 sampai dengan tanggal 18 Desember 2012 di Lombok NTB. Pada kesempatan cuti tersebut Terdakwa membawa serta pacar barunya yang bernama Sdri. Verina Wulandari seorang Mahasiswi Untan Pontianak yang berasal dari Kec. Batang Tarang Kab. Sanggau Kalbar. Tujuan Terdakwa membawa serta Sdri. Verina Wulandari adalah untuk diperkenalkan kepada orang tua Terdakwa di Lombok NTB. g. Bahwa benar sehari menjelang cutinya habis, pada hari Senin tanggal 17 Desember 2012 sekira pukul 22.00 wita Terdakwa dengan berjalan kaki pergi ke rumah paman Terdakwa yang bernama Sdr Lalu Dorahman yang beralamat di Dusun Orong Tengah Desa Pelambik, di tengah perjalanan tepatnya di depan rumah Sdr Haji Ruslan (Saksi II) Terdakwa secara kebetulan melihat Saksi I sedang berdiri sendirian, maka kemudian Terdakwa langsung menghampirinya lalu bertanya, “Kenapa kamu ngomong kasar di HP, bangsat, memang kamu tidak menghargai orang” Saksi I menjawab, “Itu bukan urusan kamu, kamu baru cuti jangan mentang-mentang”. Selanjutnya Saksi I memukul Terdakwa dengan sebatang balok kayu dan pada saat Saksi I akan memukul untuk kedua kalinya Terdakwa melihat ada sebilah parang tergeletak ditanah dekat tembok rumah Saksi II, maka secepatnya Terdakwa mengambil parang tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke arah Saksi I namun oleh Saksi I ditangkis dengan tangan kirinya sehingga parang
97
tersebut mengenai lengan tangan kirinya dan pada saat Saksi I akan melarikan diri maka Terdakwa langsung mengayunkan parang tersebut sebanyak 2 (dua) kali sehingga mengenai punggung Saksi I, setelah itu tiba-tiba datang Saksi II melerai dengan mengatakan, “Sudah-sudah sana pulang” selanjutnya Saksi I melarikan diri masuk kedalam tempat permainan playstation. h. Bahwa benar setelah melihat Saksi I lari ke dalam ruangan tempat permainan playstation maka selanjutnya dengan parang masih ditangan Terdakwa keluar melalui pintu tembok pekarangan, setelah diluar pintu Terdakwa melemparkan parang tersebut ke arah seberang jalan tepatnya ke parit dekat tempat pengambilan air wudu Masjid Nurul Huda yang berjarak kurang lebih 5 meter, kemudian Terdakwa meninggalkan halaman tempat permainan playstation menuju rumah nenek Terdakwa. i. Bahwa benar setelah tiba di rumah nenek Terdakwa, Terdakwa langsung bercerita kepada keluarga bahwa Terdakwa telah membacok Saksi I, selanjutnya keluarga menyuruh Terdakwa bersembunyi di dalam kamar, selama Terdakwa bersembunyi di dalam kamar Terdakwa tidak melihat atau mendengar ada orang yang datang kerumah nenek Terdakwa untuk membicarakan masalah penganiayaan tersebut, selanjutnya pada keesokan harinya tepatnya pada hari Selasa tanggal 18 Desember 2012 sekira pkl 08.00 Wita Terdakwa diantar oleh Paman Terdakwa yang bernama Sdr Sarjono (Saksi IV) menuju Terminal Sweta Bertais. Selanjutnya dari Terminal Sweta Bertais menuju bandara Ngurah Rai Bali selanjutnya dari Bandara Ngurah Rai Bali menuju Jakarta oleh karena tidak dapat tiket maka Terdakwa menginap di Bandara Sukarno-Hatta dan pada keesokan harinya Terdakwa baru berangkat ke Pontianak. Setelah tiba di Pontianak Terdakwa diperintahkan melapor ke Kaajendam XII/Tanjungpura. Setelah Terdakwa menghadap Kaajendam XII/TPR, selanjutnya Terdakwa diperintahkan menjelaskan kronologis kejadian penganiayaan yang telah dilakukannya. j. Bahwa benar alasan Terdakwa melakukan penganiayaan terhadap Saksi I karena Saksi I telah berani menantang Terdakwa, tidak menghargai Terdakwa dan telah memaki Terdakwa dengan kata-kata kotor seperti Teleninak (kemaluan ibu). k. Bahwa benar akibat perbuatan Terdakwa tersebut di atas, maka Saksi I mengalami luka robek di punggung kurang lebih diameter 15 (lima belas) cm yang sudah dijahit, luka robek pada perut bagian kiri dengan ukuran 5 x 0,5 cm dan luka terbuka pada lengan tangan kiri dengan tandatanda patah tulang lengan kiri sesuai dengan Visum Et Repertum dari RSUP Prov. NTB Nomor : 441.6/01/Rhs/RSUP-NTB/II/2013 tanggal 26 Pebruari 2013 yang dibuat dan ditangani oleh dr. Cahyo Wahyuni, Sp. Em dokter pada RSUP Mataram. - Dakwaan yang terbukti Pasal 351 Ayat (2) KUHP.
98
3. Hal-hal yang mempengaruhi : a.
Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI. - PerbuatanTerdakwa merusak sendi-sendi disiplin prajurit TNI - Perbuatan Terdakwa mencemarkan citra TNI dimata masyarakat. - Perbuatan Terdakwa yang main hakim sendiri telah merusak nama baik Kesatuannya.
b.
Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum. - Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya. - Ada rekomendasi permohonan keringanan hukuman dari Kaajendam XII/TPR No. : B/379/VIII/2013 tanggal 19 Agustus 2013, serta dukungan dari masyarakat adat setempat karena korban sering membuat resah di masyarakat.
4. Rencana Tuntutan Oditur Militer : Pidana Penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam penahanan sementara. 5. Tuntutan akan dibacakan pada hari Selasa tanggal 24 September 2013. 6. Demikian Rencana Tuntutan Oditur Militer, mohon persetujuan dan petunjuk lebih lanjut. Kepala Oditurat Militer III-14 cap/tertanda Yonavia, S.H., M.H. Kolonel Chk NRP 33544
Rencana tuntutan Oditur Militer dalam perkara terdakwa atas nama Prada M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388 yang didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat (2) KUHP dibuat oleh Oditur Militer yang melaksanakan sidang di Pengadilan Militer III-14 Denpasar atas nama Mayor Chk Sumantri, SH. Oditur Militer dalam rencana tuntutan setelah memperhatikan hal-hal yang memberatkan
99
maupun hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa, maka menentukan besar tuntutan yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa adalah pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan sementara. Setelah diajukan kepada Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar, Kepala Oditurat Militer III-14Denpasar sependapat dengan OditurMiliter yang menentukan tuntutan pidana adalah pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan sementara. Oditur Militer kemudian mengirim rencana tuntutan melalui Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar kepada Orjen TNI dengan register Nomor : R/37/IX/2013 tanggal 19 September 2013 guna mendapat persetujuan dari Orjen TNI. Kemudian Orjen TNI menentukan tuntutan dalam perkara Prada M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388 adalah pidana penjara 12 (dua belas) bulan dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan sementara. Berdasarkan perintah dari Orjen TNI, kemudian Oditur Militer pada kantor Oditurat Militer III-14 Denpasar yang menyidangkan terdakwa, kemudian membuat tuntutan pidana (requisitoir) yang dibuat dan ditanda tangani oleh Mayor Chk Sumantri yang dapat dilihat dalam penggalan surat tuntutan di bawah ini : ODITURAT MILITER TINGGI-III ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR TUNTUTAN (R E Q U I S I T O I R) Hakim Ketua dan Hakim Anggota Yth.
100
Sampailah kini pada bagian akhir dari tuntutan kami, berdasarkan uraian di atas, kami mohon agar Pengadilan MiliterIII-14 Denpasar menyatakan Terdakwa Prada M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388 terbukti bersalah melakukan tindak pidana: “Penganiayaan berat” Sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP. Dengan mengingat Pasal 351 ayat (2) KUHP serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan, kami mohon agar Terdakwa Prada M Sandy Yudha Putra NRP 31100219320388 dijatuhi pidana : Pidana Penjara selama 12 (dua belas) bulan, dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara. Kami mohon agar barang-barang bukti berupa : 1.
Surat-surat : a. 1 (satu) lembar Visum Et Repertum a.n. Sdr Nanang Satria dari RSUP Prov. NTB Nomor : 441.6/01/Rhs/RSUP-NTB/II/2013 tanggal 26 Pebruari 2013. b. 1 (satu) lembar Sket/bagan tempat kejadian perkara. Tetap dilekatkan dengan berkas perkara.
2.
Barang-barang : a. 3 (tiga) lembar foto korban a.n. Nanang Satria. b. 1 (satu) buah baju kaos warna biru milik korban a.n. Nanang Satria c. 1 (satu) buah sarung warna coklat milik korban a.n. Nanang Satria Dikembalikan kepada Pemiliknya.
Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,(lima ribu rupiah). Demikian tuntutan kami, kemudian kami serahkan kepada Pengadilan yang bersidang pada hari ini, Selasa tanggal 24 September 2013 di Denpasar untuk memutuskannya. Oditur Militer cap/tertanda Sumantri, S.H. Mayor Chk NRP 523050
101
Berdasarkan surat tuntutan Oditur Militer pada Oditurat Militer III-14 Denpasar tanggal 24 September 2013 yang ditandatangani oleh Mayor Chk Sumantri, SH., maka Majelis Hakim Pengadilan Militer III-14 Denpasar diketuai oleh Letkol Chk Apel Ginting, SH beserta Hakim Anggota yang terdiri dari Letkol Laut (KH/W) Tuty Kiptiani, SH dan Mayor Chk Untung Hudiyono, SH yang menyidangkan dan mengadili perkara terdakwa atas nama Prada M Sandy Yudha Putra, kemudian memutuskan menjatuhkan pidana terhadap terhadap terdakwa atas nama Prada M Sandy Yudha Putra dengan pidana penjara selama 11 bulan dipotong dalam masa penahanan sementara, sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan Putusan Pengadilan Militer III-14 Denpasar Nomor : 35-K/PM.III-14/AD/VII/2013 tanggal 8 Oktober 2013, sebagai berikut :
PENGADILAN MILITER III-14 DENPASAR PUTUSAN Nomor : 35-K/PM.III-14/AD/VII/2013 “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” Membaca, mendengar, memperhatikan, menimbang, mengingat dst tidak ditulis. MENGADILI a. Menyatakan Terdakwa tersebut di atar yaitu Muhammad Sandy Yudha Putra, Prada, NRP. 31100219320388, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Penganiayaan berat”. b. Memidana Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) bulan. Menetapkan selama waktu Terdakwa menjalani penahanan sementara dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan c.
Dst tidak ditulis.
102
Demikian diputuskan pada hari ini Selasa tanggal 8 Oktober 2013 di dalam musyawarah Majelis Hakim oleh APEL GINTING, SH, LETNAN KOLONEL CHK NRP. 1930005770667 sebagai Hakim Ketua serta TUTY KIPTIANI, SH, LETNAN KOLONEL LAUT (KH/W) NRP. 11871/P dan UNTUNG HUDIYONO, SH, MAYOR CHK NRP. 581744 masingmasingsebagai Hakim Anggota I dan Hakim Anggota II yang diucapkan pada hari ini dan tanggal yang sama oleh Hakim Ketua di dalam sidang yang terbuka untuk umumdengan dihadiri oleh para Hakim tersebut di atas, Oditur Militer SUMANTRI, SH, MAYOR CHK NRP 523050, dan Panitera SUNTI SUNDARI, SH, KAPTEN CHK (K) NRP. 622243 dihadapan umum dan Terdakwa. HAKIM KETUA
Ttd APEL GINTING, S.H. LETKOL CHK NRP. 1930005770667 HAKIM ANGGOTA I
HAKIM ANGGOTA II
Ttd
Ttd
TUTY KIPTIANI, S.H. LETKOL LAUT (KH/W) NRP. 11871/P
UNTUNG HUDIYONO, S.H. MAYOR CHK NRP. 581744
PANITERA Ttd SUNTI SUNDARI, S.H. KAPTEN CHK (K) NRP. 622243
Apabila dikaji lebih lanjut dari rencana tuntutan awal terhadap terdakwa atas nama Prada Muhammad Sandy Yudha Putra yang diajukan Oditur Militer kepada Orjen TNI adalah berupa pidana penjara 10 (sepuluh) bulan, kemudian setelah dikirim kepada Orjen TNI menjadi 12 (dua belas) bulan penjara. Berikutnya setelah diadili diputus oleh majelis hakim yang memeriksa di Pengadilan Militer III-14 Denpasar menjatuhkan pidana penjara 11 (sebelas) bulan kepada terdakwa. Selisih antara rencana tuntutan awal Oditur Militer dengan putusan hakim militer di Pengadilan Militer adalah satu bulan, sehingga masih mendekati nilai obyektif karena selisihnya tidak terlalu
103
jauh. Hal ini menunjukkan bahwa Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar sebenarnya sudah mampu bersikap profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan TNI. Sesuai dengan hasil penelitian yang tersaji dalam bentuk data berupa hasil wawancara dengan Oditur Militer dan data penunjang berupa data rencana tuntutan Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar maupun studi dokumen terhadap bahan hukum, maka untuk menganalisis tentang bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006, maka penulis akan mengkaji terlebih dahulu dengan menggunakan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, teori kebijakan hukum pidana oleh Barda Nawawi Arief dan teori fungsi hukum dari Jeremy Bentham serta dihubungkan dengan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan TNI. Menurut teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, disebutkan efektivitas penegakan hukum tergantung dari 3 (tiga) unsur sistem hukum yang mempengaruhi, yaitu struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat. Unsur yang pertama dalam sistem hukum adalah struktur hukum, yang terdiri dari jumlah, ukuran pengadilan, yurisdiksinnya dan tata cara naik
104
banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh suatu badan, prosedur ada yang diikuti oleh kejaksaan dan sebagainya. Jadi struktur terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Struktur hukum di lingkungan TNI sangat berbeda dengan struktur organisasi lainnya, kerena menganut asas kesatuan komando (unity of command) dan asas rantai komando (chain of command), artinya dari pangkat terendah sampai dengan pangkat yang tertinggi harus dalam satu garis komando. Oleh sebab itu dalam suatu organisasi di lingkungan TNI tidak boleh ada berjalan sendiri-sendiri di luar kontrol atau kendali pimpinan tertinggi TNI. Dikaikan dengan kebijakan rencana tuntutan, Orjen TNI secara struktur organisasi sebagai penerima delegasi dalam bidang penuntutan di lingkungan TNI dari Panglima TNI harus sesuai atau sejalan dengan kebijakan yang telah digariskan oleh Panglima selaku pemberi delegasi. Oleh karena Orjen TNI selaku penuntut umum tertingi di lingkungan TNI tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang bertentangan kebijakan dari Panglima TNI, sehingga kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang telah diberlakukan sejak tahun 2006 sudah tidak sesuai dengan arah kebijakan TNI, karena kedudukan Orjen TNI secara struktur organisasi berada di bawah Panglima TNI. Unsur kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum, yaitu berhubungan dengan aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum menyangkut peraturan perundangundangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi
105
pedoman bagi aparat penegak hukum. Subtansi hukum yang mengatur tentang petunjuk penuntutan di lingkungan Oditurat telah diatur secara jelas dalam Bab V angka 28 huruf h Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Petunjuk Adminitrasi Oditurat dalam menyelesaikan perkara pidana, yang merupakan peraturan pelaksana UndangUndang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sesuai dengan Peraturan Panglima tersebut, Oditur Militer berkewajiban membuat rencana tuntutan terhadap perkara yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun ke atas atau perkara bersifat menonjol, dan ketika akan menuntut bebas terdakwa, sehingga tidak boleh ada ketentuan lain yang kedudukannya berada di bawah Peraturan Panglima TNI, substansinya bertentangan dengan substansi yang terdapat dalam Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009. Oleh kerena substansi kebijakan rencana tuntutan yang terdapat dalam Surat Telegram Orjen TNI Nomor ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006 yang kemudian dilakukan penekanan ulang melalui ST/01/2009 tangal 18 Pebruari 2009, ST/11/2011 tangal 28 Desember 2011, ST/04/2012 tanggal 31 Janusri 2012 dan ST/26/2012 tanggal 21 Desember 2012 tidak sejalan dengan substansi dari Peraturan Panglima tersebut di atas. Unsur ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum, yang merupakan sikap manusia dalam hal ini termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan
106
dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Budaya hukum dalam tata kehidupan militer yaitu selalu mengedepankan pola sikap yang disiplin, patuh dan taat dalam menjalankan perintah dinas dari atasannya selama perintah tersebut tidak bertentangan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai hak asasi manusia. Faktor budaya hukum terkait ketaatan aparatur penegak hukum harus mampu memberi contoh dalam konsistensi menegakkan aturan hukum yang telah ada. Sehingga pemberlakuan kebijakan rencana tuntutan yang dimaksudkan sebagai salah satu alat kendali Orjen TNI kepada Oditur Militer merupakan bentuk ketidak taatan kepada aturan yang lebih tinggi kedudukannya. Kemudian
pada
tataran
aspek
kebijakannya,
Barda
Nawawi
menjelaskan dalam teori kebijakan hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan utama dari kebijakan hukum pidana adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement yang operasionalnya melalui tiga tahapan penting, yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Selanjutnya diantara ketiga tahapan tersebut di atas, jika dikaitkan dengan berlakunya kebijakan rencana dari Orjen TNI, maka tahapan aplikasi memegang peranan yang paling strategis dari penal policy dalam upaya
107
pencegahan dan penanggulangan kejahatan karena apabila terjadi kesalahan dalam tahap aplikasinya justru akan dapat menjadi penghambat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Dalam kaitan ini kebijakan rencana tuntutan yang dikeluarkan Orjen TNI yang mendasarkan pada asas kesatuan penuntutan dan merupakan fungsi kontrol terhadap setiap Oditur Militer yang akan melakukan fungsi penuntutan, namun dalam aplikasinya menjadi penghambat terhadap pencari keadilan yang ada dalam masyarakat. Hal ini disebabkan pelaksanaan kebijakan rencana penuntutan dari Orjen TNI yang diberlakukan, justru membuat Oditur Militer menjadi terbatas kewenangannya. Oditur Militer yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana militer, yang lebih mengetahui fakta-fakta hukum yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, namun pada saat membuat tuntutan pidana sangat tergantung kepada atasannya, sehingga tidak memiliki independensi dalam mengambil keputusan secara mandiri dan bertanggung jawab penuh terhadap perkara yang ditangani. Dengan tidak adanya independensi bagi aparatur penegak hukum, khususnya Oditur Militer maka akan sangat sulit mewujudkan rasa keadilan bagi pencari keadilan. Kemudian dalam menentukan sejauh mana perlunya kebijakan rencana tuntuan, mendasarkan pada teori fungsi hukum (utilititiarisme) dari Jeremy Bentham yang menyatakan tujuan hukum adalah menjamin adanya kemanfaatan atau untuk menjamin kebahagiaan bagi manusia, sehingga pada hakekatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya
108
kesenangan atau kebahagiaan bagi orang banyak. Dari sini yang melatar belakangi keluarnya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006 adalah untuk memberikan perlindungan bagi justisiabelen atau pencari keadilan, dengan melakukan kontrol terhadap tuntutan yang dibuat oleh Oditur Militer agar tidak keluar dari aturan. Namun demikian dari aspek kemanfaatan berlakunya kebijakan rencana tuntutan justru membuat Oditur Militer tidak membawa manfaat yang berarti, justru mengurangi independensi Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan TNI, sehingga keputusan yang dikeluarkan dari badan yang kurang independen akan jauh memenuhi rasa keadilan dari pencari keadilan. Oditur Militer yang seharusnya diberikan kemandirian dalam bertindak dalam melakukan penuntutan sehingga terbebas dari berbagai intervensi atau penekanan dari siapapun, termasuk oleh institusinya sendiri, namun yang membatasi independensi Oditur Militer hanyalah peraturan perundangundangan. Hasil
analisis
mengenai
independensi
Oditur
Militer
dalam
melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan berlakunya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006 dengan menggunakan teori sistem hukum, teori kebijakan hukum pidana dan teori fungsi hukum , yaitu kebijakan rencana tuntutan tidak sejalan dengan unsur-unsur dalam sistem hukum yang ada di lingkungan TNI terutama asas kesatuan komando, dan aplikasinya yang tidak tepat sesuai justru menjadi penghambat bagi penegakan hukum sendiri dalam hal ini Oditur Militer
109
menjadi tidak profesional, sedangkan pada aspek fungsi kebijakan rencana tuntutan aspek kemanfaatannya kontra produktif dengan independensi yang seharusnya dimiliki setiap aparatur penegak hukum, khususnya Oditur Militer. Dengan demikian adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku di seluruh Oditurat sejak tahun 2006 menjadikan Oditur Militer tidak memiliki independensi dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan dikarenakan keputusannya dalam membuat tuntutan pidana tidak dilakukan secara mandiri, namun menjadi sangat tergantung dari keputusan atasan dari Oditur Militer, sehingga keputusan yang dihasilkan dari lembaga yang kurang memiliki independensi akan jauh dari memenuhi aspek keadilan bagi pencari keadilan.
110
BAB IV UPAYA-UPAYA DALAM MEWUJUDKAN ODITUR MILITER YANG MEMILIKI INDEPENDENSI DALAM SISTEM PERADILAN MILITER DI INDONESIA
4.1. Upaya-UpayaYang Bersifat Teknis Upaya dalam meningkatkan independensi Oditur Militer selaku Penuntut Umum di Lingkungan TNI, maka diperlukan kehendak bersama untuk melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang mengarah kepada hal yang lebih baik, sehingga Oditur Militer sebagai penuntut umum di lingkungan TNI nantinya mampu mandiri dan bertanggung jawab penuh, serta profesional terhadap perkara yang ditanganinya. Dengan perubahan ini sasaran utama yaitu terciptanya kehormatan bagi setiap Oditur Militer dalam melaksanakan tugas pokoknya dengan jujur, benar dan adil, sehingga eksistensi Oditurat dapat dibanggakan. Roscoe Pound mengemukakan dalam teori fungsi hukum dalam masyarakat adalah law as a tool of social engineering. Bahwa hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Oleh karena itu hukum bukan saja sebagai sekumpulan sistem peraturan, doktrin, dan kaidah atau azas-azas, yang dibuat dan diumumkan oleh badan yang berwenang, tetapi juga proses-proses yang mewujudkan hukum itu secara nyata melalui penggunaan kekuasaan. Oleh
110
111
karena itu hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya, sehingga hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap rakyatnya. Dengan demikian maka akan terjadi perubahan-perubahan sosial, yang membawa kemajuan dalam peradaban masyarakat, sehingga hukum akan memilih dan mengakui kepentingan yang lebih utama melalui penggunaan kekuasaan. Hukum sebagai alat rekayasa sosial dimaksudkan agar perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakatdapat dikontrol agar dapat menjalankan dengan tertib dan teratur. Sejalan dengan teori fungsi hukum, proses-proses hukum secara nyata akan berjalan dengan baik,sehingga perlu adanya kehendak bersama sebagai pelopor dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi harus dimulai dari dalam (intern) lembaga Oditurat, baik prosedur penuntutan, konsistensi dalam menerapkan aturan hukum maupun sumber daya manusia yang mengawaki dari institusi penuntutan di lingkungan TNI tersebut. Oleh karena itu perlu adanya rekayasa sebagai sarana perubahan dalam hal ini bagi Oditur Militer, yaitu adanya pedoman perilaku yang benar terhadap mekanisme penuntutan yang dijadikan pedoman demi tegaknya keadilan. Menurut hasil wawancara dengan beberapa Oditur Militer di Oditurat Militer III-14
Denpasar, untuk menjadikan Oditur
Militer
yang memiliki
independensi dalam sistem peradilan pidana militer perlu adanya upayaupaya yang bersifat teknis perlu dilakukan perubahan/perbaikan, yaitu :
112
a.
Bidang Teknis Penuntutan Perubahan mendasar dalam bidang teknis penuntutan perlu adanya
upaya yang signifikan yang selama ini kurang memperoleh perhatian, sehingga dapat diaplikasikan dengan baik tanpa mengurangi independensi Oditur Militer, tetapi justru dalam rangka mendukung profesionalisme Oditur Militer, yaitu melalui: 1) Adanya pendelegasian kewenangan pengendalian rencana tuntutan. Pendelegasian kewenangan pengendalian tuntutan pidana dari Orjen TNI kepada Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi mutlak harus dilakukan guna mengupayakan prosedur teknis yang lebih baik bagi Oditur Militer dalam melakukan penuntutan. Pendelegasian kewenangan sejalan dengan asas-asas pengorganisasan di lingkungan TNI. Perkara-perkara pidana yang tetap harus dimintakan persetujuan kepada Orjen TNI melalui rencana tuntutan adalah perkara tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih, dan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya menonjol, serta perkara yang akan diajukan dengan tuntutan bebas/lepas dari tuntutan. Adanya pendelegasian kewenangan pengendalian penuntutan kepada Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi selain terhadap perkara tersebut di atas, yaitu terhadap perkara yang ancaman pidananya di bawah lima tahun tidak perlu lagi dibuatkan rencana tuntutan kepada Orjen TNI, melainkan cukup mendapat
113
persetujuan Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi, sehingga akan lebih efektif dan efisien terhadap percepatan penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian Orjen TNI lebih fokus melakukan pengawasan dan supervisi terhadap kinerja jajaran yang ada di bawahnya, yaitu Oditurat Militer maupun Oditurat Militer Tinggi. 2) Adanya pedoman yang baku mengenai tuntutan pidana. Pedoman baku mengenai tuntutan pidana sangat penting merupakan hal yang penting untuk dibuat oleh Orjen TNI yang nantinya dijadikan acuan bagi setiap Oditur Militer ketika akan menentukan besaran tuntutan pidana. Dengan adanya aturan berupa pedoman tuntutan pidana, diharapkan setiap Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI tidak akan ada keraguan dalam menentukan tuntutan pidana. Selain dari pada itu akan memberi pembelajaran pada diri setiap Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya untuk mampu mandiri dan bertanggung jawab dalam melakukan penuntutan. Kemudian jika setiap Oditur Militer mampu bersikap profesional dan terukur dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sehingga intervensi terhadap kewenangannya tidak diperlukan lagi. Pedoman tuntutan pidana di dalamnya memuat tentang hal-hal yang perlu diperhatikan setiap Oditur Militer dalam melakukan penuntutan, yaitu :
114
a. Tolok ukur menentukan tuntutan pidana berupa batasan pidana yang akan dijatuhkan secara terinci dalam pasal-pasal yang ada dalam KUHPM, KUHP dan Undang-Undang lainnya. b. Faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan tuntutan pidana yang dibuat secara detail dan terperinci. c. Faktor-faktor dalam menuntut pidana percobaan atau pidana bersyarat. d. Sikap Oditur selaku Penuntut Umum TNI terhadap putusan pengadilan. b.
Bidang Pengendalian dan Pengawasan Upaya yang harus dilakukan dalam bidang pengendalian dan
pengawasan terhadap tuntutan Oditur Militer di setiap Oditurat harus dilakukan secara maksimal oleh Kepala Oditurat yang bersangkutan kemudian hasilnya dilaporan secara berkala kepada Orjen TNI. Dengan mempelajari hasil laporan berkala setiap Oditurat,Orjen TNI dapat menganalis apakah rencana tuntutan maupun tuntutan dari Oditur Militer di jajarannya telah sesuai memenuhi stadard yang telah ditentukan atau tidak dan dirasa cukup adil tidak sesuai perbuatan terdakwa. Kemudian apabila ditemukan tuntutan yang diduga tidak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, maka dapat dilakukan eksaminasi dan evaluasi terhadap rencana tuntutan atau tuntutan yang ditengarai di luar kewajaran,seperti menuntut terdakwa terlalu ringan.
115
Selanjutnya jika ditemukan unsur kesengajaan maupun motivasi lain yang dilakukan Oditur Militer dengan menuntut ringan terdakwa, maka Oditur Militer yang bersangkuan dapat dilakukan pemeriksaan oleh bidang pengawasan di Orjen TNI. Apabila terbukti melakukan perbuatan tercela menyalahgunakan kekuasaannya untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain, Oditur Militer yang bersangkutan dapat dijatuhkan sanksi sesuai kesalahannya. Oleh karena itu sudah saatnya setiap Oditur Militer harus diberikan keleluasaan dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum TNI, akan tetapi dengan tetap mengedepankan pertanggung jawaban Oditur Militer, maka setiap Odtur Militer tidak akan semaunya sendiri melakukan tuntutan di luar ketentuan. Dengan demikian Oditur Militer ke depan akan mampu bersikap obyektif dan profesional dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di lingkungan TNI. c.
Bidang Pendidikan dan Latihan Pendidikan dan latihan memegang peran penting bagi upaya
menjadikan Oditur Militer yang profesional. Dalam melakukan rekruitmen terhadap para perwira TNI yang akan dijadikan sebagai Oditur Militer dan ditempatkan jajaran Oditurat selama ini diambil dari satuan-satuan hukum yang ada, baik dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dengan pangkat minimal Kapten dengan latar belakang dari korp hukum yang berkualifikasi Sarjana Hukum. Pada saat rekruitmen tidak sedikit para perwira yang akan dijadikan calon Oditur Militer tidak sedikit hanya berbekal
116
Sarjana Hukum, tanpa sebelumnya mengikuti pendidikan khusus seperti Suspa Minlahkara maupun Kursus Jabatan Oditur Militer (Susjab Ormil). Kemudian para perwira TNI yang telah direkruit menjadi Oditur Militer langsung dilantik dan diambil sumpah menjadi menjadi Oditur Militer oleh Orjen TNI tanpa terlebih dahulu mengikuti pendidikan teknis fungsional penuntutan dan langsung di hadapkan dengan tugas sebagai penuntut umum di lingkungan TNI. Keadaan yang demikan ini tentunya menjadikan beban tersendiri bagi setiap Oditur Militer yang baru dalam menjalankan fungsinya sebagai penuntut umum dikarenakan tidak cukup bekal pengetahuan tentang penuntutan, sehingga Oditur Militer yang baru dalam prakteknya harus belajar banyak dengan Oditur Militer yang lebih dahulu menjadi Oditur. Begitu juga setelah menjadi Oditur Militer sangat minim mendapatkan pendidikan dan bintek-bintek tentang penuntutan, tetapi lebih mengandalkan pengalaman dalam praktek saja. Oleh sebab itu untuk mengatasi minimnya dalam bidang pendidikan dan pelatihan maupun bintek-bintek tentang penuntutan yang diadakan oleh intern TNI, maka perlu mengintensifkan kerja sama antara Mabes TNI dalam hal ini Otjen TNI dengan Kejaksaan Agung RI guna meningkatkan kemampuan setiap Oditur Militer dalam bidang penuntutan. Oleh sebab itu Mabes TNI sangat perlu menempatkan Perwira Penghubung (LO) di Kejaksaan Agung RI yang berfungsi mengkoordinasikan dalam bidang penuntutan, sehingga mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis penuntutan bagi Oditur Militer. Dengan adanya kerjasama dan
117
koordinasi yang baik antara TNI dan Kejaksaan Agung, sehingga TNI dapat mengirimkan Oditur Militer yang berada di bawah komandonya untuk mengikuti setiap ada pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Badiklat Kejaksaan Agung. 4.2. Upaya Yang Bersifat Kelembagaan Kedudukan lembaga Oditurat berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun1997 tentang Peradilan Militer, yaitu pembinaan organisasi dan prosedur administrasi, finansial Oditurat dilakukan oleh Panglima TNI. Kemudian sesuai ketentuan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 disebutkan bahwa Oditur Militer merupakan pejabat fungsional yang dalam melakukan penuntutan bertindak untuk dan atas nama masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki. Selanjutnya menurut Penjelasan Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tersebut, menyebutkan Oditur Jenderal TNI dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Sehingga Orjen TNI seharusnya kedudukannya baik teknis pembinaan keodituratan yang terdiri dari pembinaan administrasi, organisasi dan finansial maupun secara teknis yustisial berada langsung di bawah kendali Panglima TNI. Namun demikan kedudukan Oditurat Jenderal TNI selaku Badan Penuntutan TNI kenyataan justru memiliki dua jalur garis pembinaan atau
118
pertanggung jawaban, yaitu dalam pembinaan penyelenggaraan Oditurat berada di bawah Babinkum TNI dan secara teknis yustisial di bawah pengawasan Jaksa Agung RI melalui Panglima TNI. Sehingga Orjen TNI selaku penuntut umum tertinggi TNI secara kelembagaan memiliki dualime pertanggung jawaban. Kerancuan dalam hirarki pertanggung jawaban Otjen TNI yang tidak satu garis komando, sehingga terjadi dualisme pertanggung jawaban yang memungkinkan terjadinya tarik ulur kepentingan terhadap lembaga tersebut. Penyebabnya tidak lain adalah secara pembinaan organisasi, administrasi dan finansial Oditurat berada di bawah Babinkum TNI, namun di sisi lain secara teknis yustisial Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005, Babinkum TNI adalah suatu Badan Pelaksana Pusat pada tingkat Markas Besar TNI yang berkedudukan langsung di bawah Panglima TNI bertugas membantu Panglima TNI dalam menyelenggarakan pembinaan
hukum
dan
HAM
di
lingkungan
TNI,
pembinaan
penyelenggaraan Oditurat, dan Pemasyarakatan Militer dalam lingkungan Peradilan Militer. Babinkum TNI sebagai pembantu utama Panglima TNI dipimpin oleh Kababinkum TNI, yang dijabat oleh seorang Pati bintang dua dari korp hukum berkualifikasi Sarjana Hukum. Kababinkum TNI bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Panglima TNI, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Kasum TNI.
119
Babinkum TNI sebagai pembantu utama Panglima TNI mempunyai fungsi utama sebagai berikut : a. Pemberian dukungan hukum dalam pembinaan dan penggunaan kekuatan TNI. b. Penyelenggaraan penegakan hukum dan pembinaan hukum di lingkungan TNI. c. Penyelenggaraan penyuluhan hukum dan HAM di lingkungan TNI. d. Pemberian bantuan dan nasehat hukum kepada Badan/Instansi/ Lembaga TNI, prajurit TNI dan keluarga. e. Penyelenggaraan penelitian, pengkajian, evaluasi, pengembangan hukum dan HAM. f. Pembinaan organisasi, admistrasi dan finansial Oditurat dan Pemasyarakatan Militer. g. Penyelenggaraan pendidikan keahlian profesi Hakim, Oditur, Panitera dan pelaksana teknis pemasyarakatan militer. h. Penyelenggaraan, pengendalian dan pengawasan dalam pembinaan organisasi, administrasi dan finansial Oditurat dan Pemasyarakatan Militer. i. Penyelenggaraan koordinasi dengan Direktorat Hukum/Dinas Hukum Angkatan dalam pembinaan hukum dan pemberi direktif kepada Perwira Hukum Komando Utama Operasional TNI.
120
j. Penyelenggaraan koordinasi dengan Mahkamah Agung dalam pembinaan personel TNI yang bertugas pada Mahkamah Agung dan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Oditurat Jenderal TNI dalam melaksanakan tugasnya secara teknis yustisial membawahi setiap Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi dan Oditurat Militer Pertempuran, yang di dalamnya terdapat para Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi yang berfungsi sebagai Penuntut Umum di Peradilan Militer maupun Peradilan Umum. Otjen TNI mempunyai fungsi utama sebagai berikut : a. Penyelenggaraan
pembinaan,
pengendalian,
dan
pengawasan
pelaksanaan teknis Oditurat. b. Perumusan kebijakan di bidang Oditurat yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya. c. Penyelenggaraan riset kriminal dan pelanggaran HAM di lingkungan TNI dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas TNI. d. Penyelenggaraan pelaksanaan pengawasan terhadap Narapidana Militer yang menjalani pidana bersyarat dan yang memperoleh pembebasan bersyarat. e. Penyelenggaraan kooordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Polisi Militer, dan badan hukum lainnya dalam penyelesaian tindak pidana tertentu. f. Memberikan
saran
kepada
Kababinkum
penyelenggaraan pembinaan Oditurat.
TNI
mengenai
121
Oditurat Jenderal TNI dipimpin oleh Oditur Jenderal TNI, disingkat Orjen TNI yang dijabat oleh seorang Pati TNI bintang satu dari korp hukum berkualifikasi Sarjana Hukum. Orjen TNI dalam kedudukannya selaku Penuntut Umum tertinggi di lingkungan TNI, mempunyai tugas dan kewajiban Orjen TNI adalah sebagai berikut : a. Melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum Tertinggi di lingkungan TNI, bertindak untuk dan atas nama masyarakat, pemerintah dan negara serta bertanggung jawab secara hirarki. b. Merumuskan kebijakan dan mengendalikan pengambilan keputusan guna terselenggaranya fungsi Oditurat. c. Memberikan pertimbangan kepada Presiden melalui Panglima TNI mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati, permohonan atau rencana pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalaam ketentuan perundang-undangan. d. Mengkoordinasikan, mengawasi, dan memberikan pengarahan atas penyelenggaraan fungsi Oditurat. e. Mengendalikan dan mengawasi penggunaaan wewenang penyidikan, penyerahan perkara, dan penuntutan di lingkungan TNI. f. Melaksanakan tugas khususyang diberikan oleh Panglima TNI. g. Dalam kedudukannya selaku Penuntut Umum Tertinggi di lingkungan TNI, Orjen TNI bertanggung jawab kepada Jaksa Agung RI selaku
122
Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima TNI. h. Orjen TNI bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pembinaan penyelenggaraan Oditurat kepada Kababinkum TNI. i. Orjen
TNI
dapat
mengadakan
hubungan
dengan
Badan/Instansi/Lembaga di dalam dan di luar TNI, guna kepentingan tugasnya di bidang teknis yustisial, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. j. Hubungan Orjen TNI selaku Penuntut Tertinggi di lingkungan TNI dengan Jaksa Agung RI selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Keadaaan mengenai mengenai dualisme hirarki pertanggung jawaban Oditurat Jenderal TNI sesuai Lampiran I Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Babinkum TNI dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :
123
Gambar 5 Struktur Organisasi Babinkum TNI
PANGLIMA TNI
JAKSA AGUNG RI
MENKUM HAM RI
PANGLIMA TNI
BABINKUM TNI WAKIL
SET
DIS WAS
DIS GAKKUM DIS KUMDANGHAM
ODITURAT
DIS LUHKUM
DIS MINRADMIL
DIS BANHATKUM
PUSMASMIL
Catatan : : Garis Pembinaan organisasi, administrasi dan Finansial : Garis Pembinaan Teknis Oditurat : Garis Koordinasi Sumber : Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005
Struktur Organisasi Oditurat sesuai Lampiran II Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 tentang PokokPokok Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI) dapat dilihat dalam gambar di bawah ini :
124
Gambar 6 Struktur Organisasi Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI)
OTJEN TNI
WAKIL
SET
DISWASNIS
DIS TUT
DIS RISKRIMHAM
OTMIL
OTMILTI
OTMILPUR
Sumber : Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005
Mengenai struktur organisasi yang baik dalam sistem peradilan pidana sesuai teori sistem peradilan pidanayang dikemukan oleh Muladi, disebutkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksana pidana. Makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dibedakan dalam : 4) Sinkronisasi
struktural
(structural
syncronization),
yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
125
5) Sinkronisasi
subtansial
(subtancial
syncronization),
adalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. 6) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Aspek pertama dalam sistem peradilan pidana adalah sinkronisasi struktural yang merupakan keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Struktur hukum di lingkungan TNI adalah menganut asas kesatuan komando (unity of command) dan asas rantai komando (chain of command). Hal ini dapat dipahami bahwa dalam suatu organisasi yang ada di lingkungan TNI hanya terdapat satu hierarkhi komando yang memimpinnya. Oleh sebab itu tidak boleh ada kesatuankesatuan dalam tubuh TNI yang memiliki garis komando yang ganda. Begitu juga Oditurat Jendral TNI sebagai badan penuntut umum tertinggi di lingkungan TNI hierarki pertanggung jawabannya harus dalam garis tegak lurus ke atas, dalam hal ini adalah Panglima TNI. Oleh karena itu sudah seharusnya aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan mliter adalah sudah seharuskan menempatkan Otjen TNI pada posisi yang semestinya sesuai peran dan fungsinya.Penempatan Otjen TNI yang di dalamnya mewadahi para Oditur Militer selama ini terjadi dualisme dalam hierarki pertanggung jawaban, yaitu garis struktur pembinaan penyelenggaraan
126
Oditurat berada di bawah Babinkum TNI sedangkan secara teknis yustisial di bawah pengawasan Jaksa Agung melalui Panglima TNI. Ketidakselarasan dalam penempatan struktur organisasi Oditurat akan menjadikan Oditur Militer tidak mandiri, sehingga ke depan perlu dilakukan perubahan agar tidak terjadi tumpang tindih, yaitu menyatukan kendali Otjen TNI di langsung bawah Panglima TNI. Kemudaan aspek kedua adalah sinkronisasi subtansial
yang
merupakan keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. Peraturan perudangundangan (hukum positif) yang mengatur tentang kedudukan lembaga Oditurat dalam sistem peradilan militer di Indonesia adalah Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 disebutkan pembinaan organisasi dan prosedur adminitrasi finansial oleh Panglima TNI dan Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 adalah bertanggung jawab menurut satuan hierarki. Sedangkan Oditur Jenderal TNI selaku Penuntut Umum tertinggi di lingkungan TNI dalam melaksanakan tugas bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di negara Republik Indonesia melalui Panglima TNI, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Namun pada kenyataannya sinkronisasi subtansial terjadi kontradiktif, Begitu juga dalam pelaksanaan tugas pembinaan
127
Oditurat, Orjen TNI bertanggung jawab kepada Panglima TNI namun kenyataannya sesuai Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005, Orjen TNI berada di bawah Babinkum TNI. Upaya untuk memecahkan permasalahan secara kelembagaan dalam membentuk Oditur Militer yang ideal serta memiliki independensi dalam sistem peradilan militer, dengan mengacu teori sistem peradilan pidana maka perlu adanya suatu terobosan baru yang signifikan dengan melakukan sinkronisasi dalam struktur organisasi Oditurat Jenderal TNI yang selama ini terjadi tumpang tindih karena terjadinya dualisme pertanggung jawaban. bahwa lembaga Oditurat yang yang terdiri dari Oditurat Militer, Oditurat Tinggi, Oditurat Militer Pertempuran dan Oditurat Jenderal TNI dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya akan lebih independen jika alur pertanggung jawabannya dalam satu garis komando. Sesuai hasil wawancara dengan narasumber terkait, yaitu Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 upaya memperkuat kedudukan Oditurat sebagai lembaga penuntut umum di lingkungan TNI, adalah dengan melakukan perubahan struktur organisasi Babinkum TNI, sehingga Otjen TNI beserta jajarannya sebelumnya di bawah Kababinkum TNI menjadi di bawah kendali langsung Panglima TNI dan di sisi lain TNI perlunya menempatkan Perwira Penghubung TNI (LO TNI) di Kejaksaan Agung Republik Indonesia agar memudahkan koordinasi yang berhubungan dengan tugas-tugas di bidang penuntutan. Dengan pemisahan Otjen TNI dari Babinkum TNI, kemudian kedudukan Otjen TNI baik secara struktural maupun finansial
128
langsung berada di bawah Panglima TNI selaku Perwira Penyerah Perkara (Papera) tertinggi TNI, sehingga antara Babinkum TNI dan Otjen TNI menjadi lembaga yang sederajat, namun dengan tugas pokok dan fungsi yang berbeda. Tugas utama Babinkum TNI adalah membantu Panglima TNI dalam meyelenggarakan pembinaan hukum dan HAM di lingkungan TNI dan pembinaan penyelenggaraan Pemasyarakatan Militer, sedangkan pembinaan penyelenggaraan Oditurat diserahkan kepada Otjen TNI untuk melakukannya secara mandiri. Upaya pemisahan antara Babinkum TNI dan Otjen TNI dapat dilakukan dengan tanpa melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sehingga cukup dengan melakukan
perubahan
terhadap
Keputusan
Panglima
TNI
Nomor
Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Babinkum TNI. Begitu juga dengan adanya pemisahan Otjen TNI dari Babinkum TNI, konsekuensinya ada penambahanan beberapa dinas atau bagian unit kerja baru di Otjen TNI, seperti contoh Sekretariat Otjen TNI dibantu sekurang-kurangnya 6 kepala bagian, yaitu Bagpers, Baglog, Bagprogar, Bagtaud, Bagpulahta dan Bagpenkum. Setelah Oditurat Jenderal TNI berada langsung secara pembinaan organisasi, administrasi dan finansial Oditurat maupun secara teknis yustisial Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima TNI diharapkan tidak lagi terjadi tarik ulur kepentingan karena tidak ada lagi dualisme mekanisme pertanggung jawaban. Setelah dilakukan penyesuaian terhadap lembaga
129
Oditurat, maka setidak-tidaknya struktur organisasi Otjen TNI ke depan dapat dilihat dalam bagan di bawah ini : Gambar 7 Gambaran Ideal Tentang Struktur Organisas Otjen TNI JAKSA AGUNG RI
PANGLIMA TNI
OTJEN TNI WAKIL
SET
DINAS PEMBINAAN
DINAS PENGAWASAN
DINAS PENUNTUTAN
OTMILTI
OTMIL
DINAS RISKRIMHAM
OTMILPUR
Catatan : : Garis Pembinaan organisasi, administrasi dan finansial : Garis Pembinaan Teknis Oditurat
Setelah dilakukan perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan tugas pokok dan fungsi Oditurat, maka perangkat dari Susunan Organisasi Otjen TNI sekurang-kurangnya terdiri dari : a. Oditur Jenderal TNI (Orjen TNI) Orjen TNI adalah merupakan pimpinan Oditurat Jenderal TNI yang dijabat oleh seorang Pati TNI bintang dua dari korps hukum
130
berkualifikasi Sarjana Hukum, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut : 1) Memberikan pertimbangan dan saran kepada Panglima mengenai hal yang berkaitan dengan bidang tugasnya. 2) Melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum Tertinggi di lingkungan TNI, bertindak untuk dan atas nama masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab secara hierarki. 3) Menentukan
kebijakan
dan
mengendalikan
pengambilan
keputusan guna terselenggaranya fungsi Oditurat. 4) Memberikan pertimbangan kepada Presiden melalui Panglima TNI mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati, permohonan atau rencana pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 5) Mengoordinasikan, mengawasi, dan memberikan pengarahan atas penyelenggaraan fungsi Oditurat. 6) Mengendalikan
dan
mengawasi
penggunaan
wewenang
penyidikan, penyerahan perkara, dan penuntutan di lingkungan TNI. 7) Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh Panglima TNI. 8) Dalam kedudukannya selaku Penuntut Umum Tertinggi di lingkungan TNI, Orjen TNI bertanggung jawab kepada Jaksa
131
Agung RI selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima TNI. 9) Orjen
TNI
dapat
mengadakan
hubungan
dengan
Badan/Instansi/Lembaga di dalam dan di luar TNI, guna kepentingan tugasnya di bidang teknis yustisial, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 10) Hubungan Orjen TNI selaku Penuntut Tertinggi di lingkungan TNI dengan Jaksa Agung RI selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara
Republik
Indonesia,
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. Penyesuaian
terhadap
kepangkatan
Orjen
TNI
harus
dilakukan, yang selama ini dijabat oleh Perwira Tinggi TNI berpangkat bintang satu, dengan restruktirisasi Oditurat Jenderal TNI yang sebelumnya berada di bawah kendali Babinkum TNI dan kemudian berada langsung dibawah Panglima TNI maka Orjen TNI setidak-tidaknya dijabat oleh Pati TNI berpangkat bintang dua. Hal ini tidak berlebihan dan sangat rasional dikarenakan jabatan Orjen TNI sejajar
dengan
jabatan
Kepala
Pengadilan
Militer
Utama
(Kadilmiltama) yang saat ini dijabat oleh Perwira Tinggi TNI berpangkat bintang dua dari korp hukum. Selain daripada itu mengacu pada salah satu tugas Orjen TNI adalah mengendalikan dan mengawasi penggunaan wewenang penyidikan termasuk di dalamnya melantik dan mengambil sumpah
132
para Penyidik di lingkungan Polisi Militer, akan lebih ideal apabila pejabat Orjen TNI secara kepangkatan sejajar dengan Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Danpuspomad) yang dijabat oleh Pati TNI AD berpangkat Mayor Jenderal TNI. b. Wakil Oditur Jenderal TNI (Waorjen TNI) Waorjen TNI merupakan pembantu utama Orjen TNI yang berkedudukan selaku Oditur Militer Tinggi (Ormilti) dijabat oleh seorang Pati TNI bintang satu dari korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut : 1) Memberikan pertimbangan dan saran kepada Orjen TNI mengenai hal yang berkaitan dengan bidang tugasnya. 2) Mengkoordinasikan dan mengawasi semua kegiatan Staf serta administrasi Otjen TNI. 3) Memelihara dan mengawasi pelaksanaan prosedur kerja di lingkungan Otjen TNI. 4) Mewakili Orjen TNI, apabila Orjen TNI berhalangan melakukan tugas dan kewajibannya. c. Sekretaris Orjen TNI (Ses Otjen TNI). Ses Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, sebagai pembantu Orjen TNI di bidang pembinaan fungsi organik, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut :
133
1) Menyelenggarakan, memelihara dan mengendalikan pembinaan personel Orjen TNI. 2) Merencanakan dan merumuskan program pengadaan kebutuhan logistik Otjen TNI. 3) Mengoordinasikan dan menyiapkan rencana, program kerja dan anggaran Otjen TNI. 4) Menyelenggarakan pengumpulan dan evaluasi serta menyusun laporan atas pelaksanaan program kerja dan anggaran Otjen TNI 5) Membina dan memelihara dokumentasi dan informasi yang diperlukan Otjen TNI. 6) Menyelenggarakan pengamanan personel, administrasi, materiil dan kegiatan di lingkungan Otjen TNI. 7) Melaksanakan dukungan administrasi dan urusan dalam bagi penyelenggaraan kegiatan Otjen TNI. 8) Menyelenggarakan proses pengangkatan Oditur dan penyidik serta penyidik pembantu. Ses Otjen TNI dibantu oleh enam orang Kepala Bagian, yang masing-masing dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat Letnan Kolonel, sebagai berikut : 1) Kepala Bagian Personel (Kabagpers). 2) Kepala Bagian Logistik (Kabaglog). 3) Kepala Bagian Program Kerja dan Anggaran (Kabagprogar). 4) Kepala Bagian Tata Usaha dan Urusan Dalam (Kabagtaud).
134
5) Kepala Bagian Pengumpulan dan Pengolah Data (Kabagpulahta). 6) Kepala Bagian Penerangan Hukum (Kabagpenkum). d. Kepala Dinas Pembinaan (Kadisbin) Otjen TNI. Kadisbin Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut : 1) Merencanakan, merumuskan kebijakan dan menyelenggarakan kursus jabatan Oditur militer. 2) Merencanakan dan merumuskan kebijakan pembinaan dan penegakan hukum serta mengendalikan proses penyelesaian perkara di lingkungan Oditurat. 3) Menyiapkan, merumuskan dan memberikan petunjuk tentang pengendalian penyelesaian perkara pada Oditurat guna percepatan penyelesaian perkara. 4) Menyiapkan, merumuskan dan memberikan petunjuk tentang tata laksana administrasi Oditurat. 5) Mengumpulkan dan mengevaluasi data penyelesaian perkara sebagai bahan penyusunan program pembinaan. Kadisbin Otjen TNI dibantu oleh tiga orang Kepala Subdinas berpangkat Letnan Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil, sebagai berikut :
135
1) Kepala Subdinas Pembinaan Pendidikan dan Latihan Profesi (Kasubdis bindiklatprof). 2) Kepala Subdinas Pembinaan Oditurat (Kasubdis binot). 3) Kepala Subdinas Pembinaan Profesi (Kasubdis binprof). e. Kepala Dinas Penuntutan (Kadistut) Otjen TNI. Kadistut dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut : 1) Merumuskan dan menyiapkan petunjuk teknis bidang penuntutan dan penyidikan. 2) Mengkoordinasikan pelaksanaan penuntutan, penyidikan, dan pelaksanaan putusan/penetapan Hakim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Menyelenggarakan pengendalian tugas Otmilti/Otmil di bidang penyidikan,
penuntutan,
upaya
hukum,
pelaksanaan
putusan/penetapan Hakim, dan barang bukti. 4) Merumuskan dan menyelenggarakan petunjuk pengawasan dan pengendalian atas penggunaan wewenang Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Papera) dalam penyelesaian perkara di lingkungan TNI. Kadistut Otjen TNI dibantu oleh tiga orang Kepala Subdinas berpangkat Letnan Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil, sebagai berikut :
136
1) Kepala Subdinas Pembinaan Teknis (Kasubdisbinnis). 2) Kepala Subdinas Pengolahan Perkara (Kasubdislahkara). 3) Kepala Subdinas Penuntutan (Kasubdistut). f. Kepala Dinas Pengawasan (Kadiswas) Otjen TNI. Kadiswas Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan
selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan
kewajiban sebagai berikut : 1) Menyelenggarakan pengawasan terhadap pekerjaan dan kegiatan yang bersifat teknis administratif Oditurat. 2)
Menyelenggarakan pengawasan profesi Oditur
3) Menyelenggarakan
pengawasan
dan
pemeriksaan
terhadap
pendayagunaan organisasi, administrasi dan finansial. 4) Menyelenggarakan
pengawasan
atas
program
penyelesaian
perkara serta administrasi keuangan perkara. 5) Menyelenggarakan penelitian dan pemeriksaan terhadap personel yang diduga melakukan pelanggaran hukum. 6) Merumuskan dan menyiapkan petunjuk teknis pengawasan keodituratan. 7) Menyelenggarakan pengawasan pelaksanaan teknis penerapan hukum pidana materiil dan formil. 8) Menyelenggarakan pengawasan terhadap proses penyelesaian perkara
dan
pelaksanaan
putusan/penetapan
Hakim,
serta
137
pengawasan terhadap kinerja dan tingkah laku para Oditur dalam pelaksanaan tugas. 9) Melaksanakan pengawasan terhadap narapidana militer yang menjalani pidana bersyarat dan yang memperoleh pembebasan bersyarat. Kadiswas Otjen TNI dibantu sekurang-kurangnya oleh empat orang Kepala Subdinas berpangkat Letnan Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil, sebagai berikut : 1) Kepala Subdinas Pengawasan Umum (Kasubdiswasum). 2) Kepala Subdinas Pengawasan Khusus (Kasubdiswasus). 3) Kepala Subdinas Pengawasan Teknis (Kasubdiswasnis). 4) Kepala Subdinas Pengawasan Administrasi Perkara (Kasubdis wasminkara). g. Kepala Dinas Riset Kriminal dan Hak Asasi Manusia (Kadisriskrimham) Otjen TNI. Kadisriskrimham Otjen TNI dijabat oleh seorang Pamen TNI berpangkat Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormilti/Ormil, dengan tugas dan kewajiban sebagai berikut : 1) Mengumpulkan, menyusun, dan memelihara data kriminal perkara tindak pidana dan pelanggaran HAM di lingkungan TNI.
138
2) Menyelenggarakan penelitian, pengolahan dan pengkajian data kriminal dan pelanggaran HAM. 3) Menyusun perumusan unsur dan tafsiran kualifikasi tindak pidana berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Kadisriskrimham Otjen TNI dibantu oleh tiga orang Kepala Subdinas berpangkat Letnan Kolonel korps hukum berkualifikasi Sarjana Hukum, yang juga berkedudukan selaku Ormil, sebagai berikut : 1) Kepala
Subdinas
Pengolahan
Data
Kriminal
(Kasubdis
Lahtakrim). 2) Kepala Subdinas Pengolahan Data Perkara Pidana Khusus dan Pelanggaran HAM (Kasubdis Lahkaraham). 3) Kepala Subdinas Penelitian dan Pengembangan (Kasubdis Litbang). h. Oditurat Militer Tinggi (Otmilti), Oditurat Militer (Otmil) dan Oditurat Militer Pertempuran (Otmilpur) tidak mengalami perubahan tetap disesuaikan daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti), Pengadilan Militer (Dilmil) dan Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur). Sesuai dengan uraian di atas mengenai upaya bersifat kelembagaan adalah dengan menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal TNI berada langsung di bawah Panglima TNI baik secara pembinaan prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial. Hal ini sangat
139
sejalan dengan asas-asas di bidang pengorganisasian militer, yaitu asas komando tunggal (unity of command), asas pembagian tugas yang serasi (homogenus assignment), asas delegasi kekuasaan (delegation of authority) dan asas rantai komando (chain of command) . Dengan beralihnya pembinaan Oditurat Jenderal TNI dari Badan Pembina Hukum TNI kepada Panglima TNI , serta adanya Perwira Penghubung TNI (LO TNI) ditempatkan di Kejaksaan Agung Republik Indonesia guna memudahkan koordinasi di bidang penuntutan, diharapkan lembaga Oditurat sebagai naungan para Oditur Militer lebih memiliki independensi daripada sebelumnya dan terbebas dari berbagi bentuk intervensi, sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsi dengan mengedepankan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan.
140
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab III dan bab IV sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut : 1.
Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006, dikarenakan Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat membuat tuntutan pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi sangat tergantung kepada keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga Oditur Militer tidak dapat menentukan besaran tuntutan secara mandiri sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi tanggung jawabnya.
2.
Upaya-upaya dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia dilakukan dengan 2 cara, yaitu : a.
Upaya-upaya yang bersifat teknis yang harus terbagi dalam 3 bidang, yaitu bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan pengawasan, serta bidang pendidikan dan latihan. 1) Bidang teknis penuntutan dengan adanya pedelegasian kewenangan terhadap pengendalian rencana tuntutan dari
140
141
Orjen TNI kepada Kepala Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi dalam perkara yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Selain itu harus adanya peraturan tentang pedoman tuntutan pidana dalam perkara tindak pidana yang dijadikan acuan oleh setiap Oditur Militer dalam menentukan besaran tuntutan pidana. 2) Bidang pengendalian dan pengawasan terhadap kinerja Oditur Militer di setiap Oditurat dilakukan secara maksimal oleh Kepala Oditurat yang bersangkutan, melalui laporan berkala yang dikirimkan kepada Orjen TNI. Apabila ditemukan tuntutan yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan, maka Orjen TNI dapat melakukan eksaminasi dan evaluasi terhadap tuntutan Oditur Militer, sehingga jika ditemukan unsur kesengajaan atau adanya motivasi lain yang dilakukan Oditur Militer dengan menuntut ringan terdakwa, maka Oditur Militer yang bersangkuan dapat berikan sanksi tegas. 3) Bidang Pendidikan dan Pelatihan, guna meningkatkan kemampuan setiap Oditur Militer dalam bidang penuntutan, maka diperlukan kerja sama yang terpadu antara TNI dengan Kejaksaan Agung RI, sehingga TNI dapat mengirimkan Oditur Militer untuk mengikuti setiap ada pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Badiklat Kejagung RI.
142
b.
Upaya yang bersifat kelembagaan guna menjadikan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan Militer di Indonesia adalah dengan menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal TNI berada langsung di bawah Panglima TNI baik secara pembinaan prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial.
5.2. Saran Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, adapun saran yang dapat dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut : 1.
Agar Orjen TNI untuk mengkaji ulang terhadap kebijakan rencana tuntutan yang telah diberlakukan sejak tahun 2006 dan terkait rencana penuntutan menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 yang terdapat pada Bab V angka 28 huruf h tentang tuntutan, sehingga mampu memberi marwah bagi independensi Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI untuk bersikap profesional, mandiri dan mampu bertanggung jawab penuh terhadap perkara yang ditangani.
2.
Agar Pimpinan TNI memperbaiki mekanime teknis di bidang penuntutan, pengendalian dan pengawasan serta pendidikan dan pelatihan bagi Oditur Militer, serta secara kelembagaan agar melakukan kajian yang utuh guna menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal TNI berada langsung dibawah Panglima TNI serta menempatkan
143
Perwira Penghubung TNI (LO TNI) di Kejaksaan Agung agar memudahkan koordinasi dalam bidang penuntutan.
144
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdussalam, H.R. dan Desasfuryanto, Adri, 2012, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit PTIK, Jakarta. Ali, Chaidir, 1978, Yurisprudensi Tentang Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidaad), Penerbit Bina Cipta, Bandung. Ali, Ahmad, 2004, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Penerbit BP IBLAM, Jakarta. Ashsofa, Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Arief, Barda Nawawi, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penenggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. , 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. , 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Atmasasmita, Romli, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Refika Aditama, Bandung. , 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontenporer, Kencana Predana Media Grup, Jakarta. , 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Refika Aditama, Bandung. Bhatia, K.L., 2010, Legal Language and Legal Writing, Universal Law Publishing Co., New Delhi India. Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Cohen, Morris L. dan Olson, Kent C., 2000, Legal Research In A Nutshell, West Group, ST. Paul, Minn. Cotterrel, Roger, 2012, Sosiologi Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung.
145
De Cruz, Peter, 2010, Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit Nusamedia, Bandung. Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, 2007, Dualisme Penelitian, Pensil Komunika, Yogyakarta. Friedman, Lawrence M.,1984, American Law An Introduduction, WW. Norton and Company, New York. Friedmann W., 1990, Teori & Filsafat Hukum ; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. , 1994, Teori & Filsafat Hukum ; Idealisme Filosofis & Problematika Keadilan (Susunan II), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. , 1994, Teori & Filsafat Hukum ; Hukum & Masalah-Masalah Kontemporer (Susunan III), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Harjon, Philipus M. dan Djamiati, Tatiek Sri, 2005, Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hart, H.L.A, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York. Ibrahim, Johnny, 2007, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. Ikahi, 2012, Varia Peradilan : Majalah Hukum Tahun XXVII No. 323 Oktober 2012, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta Pusat. Kelsen, Hans, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusamedia, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta. McCoubrey, Hilaire, and White, Nigel D., 1996, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London. Mertokusumo, Sudikno , 2004, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Narbuko, Cholid dan Achmadi, H. Abu, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta. Ngani, Nico, 1985, Mengenal Hukum Acara Pidana, Penerbit : Liberty, Yogyakarta.
146
Rahardjo, Satjipto, 1977, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung. , 2012, Ilmu Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Salam, Moch. Faisal, 2006, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung. Sianturi, S.R., 2010, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Babinkum TNI, Jakarta. , 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Babinkum TNI, Jakarta. , 2012, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Babinkum TNI, Jakarta. , 2014, Hukum Penitensia Di Indonesia, Babinkum TNI, Jakarta. Sidharta, B. Arief, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Fakultas Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Soekanto, Soerjono, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. , 2004, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soepomo, R., 1983, Sistem Hukum di Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Soeroso, R., 2010, Hukum Acara Khusus : Kompilasi Ketentuan Hukum Acara Dalam Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta. Suharto, R.M., 1997, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta Timur. Sunarso, Siswanto, 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur. Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sutherland, Edwin H., 1973, On Analyzing Crime, The University Of Chicago Press, Chicago and London.
147
Tanya, Bernard L., 2010, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta. Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Widnyana, I Made, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 257).
148
TESIS Alifah, Siti, 2007, “Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Iriani, AAA. Oka Putu Dewi, 2007, “Wewenang Peradilan Militer dalam Mengadili Prajurit TNI Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Supriyadi, 2004, “Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia.” (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
ARTIKEL DALAM FORMAT ELEKTRONIK Http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2, diunduh pada hari Sabtu, 27 September 2014, jam 08.00 Wita. Http://www.politikindonesia.com/hukum/rencana-tuntutan-bisa-jadi-komoditas, diunduh pada hari Sabtu, 03 Mei 2014, jam 04.00 Wib.
149
DAFTAR INFORMAN
1.
Nama
: Letkol Chk Sumantri, SH.
Tempat, tanggal lahir
: Klaten, 19 Agustus 1964
Jabatan
: Kapok Ormil Otmil III-14 Denpasar
Alamat
: Kantor
Oditurat
Militer
III-14
Denpasar,
Jl. Raya Puputan Renon No. 7 Denpasar
2.
Nama
: Mayor Chk Reman, SH., MH.
Tempat, tanggal lahir
: Sukoharjo, 19 Januari 1972
Jabatan
: Kasilahkara Otmil III-14 Denpasar
Alamat
: Kantor
Oditurat
Militer
III-14
Denpasar,
Jl. Raya Puputan Renon No. 7 Denpasar
3.
Nama
: Mayor Laut (KH) I Made Adnyana, SH.
Tempat, tanggal lahir
: Tabanan, 21 Juni 1970
Jabatan
: Kasitut Otmil III-14 Denpasar
Alamat
: Kantor
Oditurat
Militer
III-14
Denpasar,
Jl. Raya Puputan Renon No. 7 Denpasar