Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489
Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI Penulis: Arie S. Soesilo Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 195-230 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI
Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email:
[email protected];
[email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm
Untuk mengutip artikel ini: Basuki, Ahmad Yani. 2014. “Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Reformasi TNI.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 195-230.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil–Militer Pasca Reformasi TNI Arie S. Soesilo Departemen Sosiologi Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Tulisan ini membahas proses masuknya purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke dalam politik praktis dan kinerjanya di dalam arena politik. Menurut penulis, berperannya purnawirawan TNI dalam kegiatan politik telah memberikan karakteristik baru pada pola relasi sipil–militer di Indonesia pasca reformasi. Hal ini terkait dengan peran purnawirawan yang mampu menjadi jembatan komunikasi dan peredam konflik antara politisi sipil dengan militer. Tulisan ini juga menegaskan bahwa keterlibatan purnawirawan TNI dalam politik praktis lebih didasarkan pada komitmen terhadap konstitusi dalam membangun konsolidasi demokrasi, yang mana bukan mewakili kepentingan militer. Argumentasi ini merupakan kritik terhadap beberapa studi sebelumnya yang mengemukakan bahwa masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik merupakan bagian dari upaya institusi militer menguasai pemerintahan melalui mekanisme demokrasi, atau disebut juga sebagai remiliterisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan Actor Network Theory (ANT), yang dasarkan pada relasi performatif di antara aktor-aktor, baik aktor manusia maupun non manusia. Penelusuran melalui pendekatan ini berusaha menggali suatu peristiwa secara detail dengan menyelidiki proses relasional antar-aktor dalam jaringan. Abstract This article discusses the entering process of retired military (TNI) officers into politics and their performances in that arena. This article argues that the retired military officer’s roles in politics provided new characteristics to the pattern of civil-military relations in Indonesia. It related to their capability to bridge the communication and to act as muting agent in political conflict between civil and military politicians. This article also asserts that the involvement of retired military officers in politics is strongly based on their commitment to the constitution in building democratic consolidation, which is not representing military interests. Thereby, it criticizes existing studies stated that the involvement of retired military officers in politics is part of the military institution’s attempts to capture the state power through democratic mechanism, namely, re-militarization. The approach used by this study is Actor Network Theory (ANT), which is based on performative relation amongst actors (actants), both human and nonhuman actants. This approach was used to generate a detailed explanation of certain event through an inquiry of relational process amongst actors within network. Keywords: retired military officers, civil–military relation, political party, Actor Network Theory
19 6 |
ARIE S. SOESILO
PE N DA H U L UA N
Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia telah mendorong terjadinya perubahan peran militer dalam politik, berupa reformasi internal Tentara Nasional Indonesia tahun 1999 (reformasi TNI). Melalui reformasi ini terjadi proses penarikan diri institusi militer dari politik (military withdrawal from politics). Wujud paling nyatanya adalah penghapusan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada masa Orde Baru Dwifungsi ABRI menempatkan tentara pada posisi yang vital dalam politik Indonesia, baik sebagai anggota legislatif pada Fraksi ABRI di DPR/MPR, pejabat administratif birokrasi non militer, petinggi BUMN, kepala desa, sampai pejabat kepala daerah yang juga sering diduduki tentara dinas aktif atau purnawirawan militer (Sebastian dan Iisgindarsah 2011:3; Jenkins 2010:xxvii). Penghapusan doktrin ini telah mendorong tentara meninggalkan posisi dan peran politik formalnya. Namun, menurut Sebastian (2007), meskipun militer tidak menjadi unsur dominan dalam politik Indonesia pasca reformasi, perannya di balik layar masih merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan. Hal ini secara jelas dapat diamati dari fenomena masuknya purnawirawan TNI ke ranah politik (lihat Mietzner 2009; Said 2006). Masuknya purnawirawan militer ke dalam politik juga terjadi di negara-negara lain dengan tujuan untuk dapat memengaruhi kebijakan politik (lihat Becker 2001:6; Janowitz 1960:388). Untuk kasus Indonesia, menurut saya masuknya purnawirawan TNI ke ranah politik disebabkan oleh lemahnya institusi kepartaian serta inkompetensi politisi sipil. Politisi sipil mendorong politisi purnawirawan TNI untuk menerapkan kapabilitasnya dalam bidang militer, seperti penguasaan teritorial, untuk menggerakkan mesin partai. Dengan kata lain, lemahnya infrastruktur demokrasi telah mendorong purnawirawan TNI untuk memanfaatkan keahlian strategi militernya dalam rutinitas politik (daily politics). Di samping itu, aspek lain yang menjadi mediator yang dapat menjelaskan masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik, antara lain pembentukan karakter TNI, Dwifungsi ABRI, purnawirawan TNI sebagai warga sipil, organisasi purnawirawan TNI, usia pensiun, orientasi kekuasaan, dan kegiatan pasca pensiun purnawirawan TNI. Di satu sisi, hal ini baik karena dari segi manajemen berarti ada upaya untuk memperbaiki demokrasi di negeri ini. Namun, di sisi M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 19 7
lain, bisa menjadi ancaman laten terhadap demokrasi bila “pihak yang dianggap dekat dengan militer” dilibatkan dalam jalannya rutinitas politik. Dalam menjalankan kinerja politiknya purnawirawan TNI menunjukkan perilaku yang berada dalam koridor demokrasi dan tidak bersikap antipati terhadap demokrasi. Artikel ini berargumentasi bahwa para purnawirawan TNI yang masuk ke ranah politik memiliki pengaruh positif terhadap proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Hal ini terutama karena politisi purnawirawan TNI menganut politik negara yang memegang teguh NKRI, Pancasila, dan konstitusi (UUD 1945), dengan salah satu implementasinya adalah upaya untuk menegakkan konstitusi sebagai satu-satunya aturan yang sah (the only game in town). Argumentasi ini merupakan kritik terhadap pandangan beberapa studi sebelumnya yang mengemukakan bahwa masuknya purnawirawan militer ke dalam politik praktis merupakan bagian dari upaya menguasai pemerintahan melalui mekanisme demokrasi, dan bukan untuk menegakkan demokrasi itu sendiri (lihat Adejumobi 1999; Alagappa 2001; Winichakul 2008). Studi Adejumobi (1999) di Nigeria menunjukkan bahwa banyaknya politisi purnawirawan militer dalam usia yang seharusnya masih aktif di militer merupakan bagian dari remiliterisasi. Dalam banyak kajian, relasi sipil–militer yang menekankan kontrol sipil terhadap militer diakali dengan menempatkan purnawirawan militer secara sistematis dalam pemerintahan melalui jalur demokrasi. M E T O DE PE N E L I T I A N
Penelitian ini menggunakan pendekatan Actor Network Theory (ANT), yang didasarkan pada relasi performatif di antara para aktor (actant), baik aktor manusia (human actant) maupun aktor non manusia (non-human actant). Penelusuran melalui pendekatan ini berusaha menggali suatu peristiwa secara riil dan detail dengan menelusuri proses relasional antar-aktor dalam jaringan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan pengamatan. Purnawirawan TNI yang masuk dalam dunia politik melalui partai politik dan/atau terpilih sebagai pejabat politik ditempatkan sebagai informan kunci (key informant). Informan kunci merupakan pusat dari jaringan yang kemudian dikembangkan pada aktor-aktor lain yang ada dalam jaringannya (sebagai informan). M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
19 8 |
ARIE S. SOESILO
Kualitas hubungan antar aktor dibatasi pada pola relasi jaringan yang menggambarkan purnawirawan militer masuk dalam partai politik dan politik praktis. Kemudian, juga dibatasi pada relasi jaringan yang terkait dengan peran purnawirawan TNI yang telah masuk partai politik dan menduduki jabatan politik bagi pembentukan karakteristik relasi sipil–militer di Indonesia. PE L UA N G PU R N AW I R AWA N T N I M A S U K P O L I T I K ( M E D I AT O R S )
Pada sistem politik demokrasi, relasi sipil–militer menempatkan militer di bawah supremasi sipil. Merupakan ancaman bagi sistem demokrasi bilamana militer memiliki kekuatan untuk mengendalikan kekuasaan sehingga tidak berada di bawah supremasi sipil. Fenomena masuk atau ikut sertanya para purnawirawan militer ke dalam kegiatan politik pada umumnya disertai dengan perdebatan tentang beberapa isu. Yang pertama berupa perdebatan tentang pantas atau tidaknya seorang purnawirawan militer yang dibentuk untuk tidak partisan dan tidak memihak secara politis, kemudian memperlihatkan keberpihakannya sekalipun telah mengakhiri dinas aktif militernya. Hal ini umumnya dikaitkan dengan sebuah adagium universal: old soldier never die, they just fade away. Pendapat yang tidak menyetujui purnawirawan militer masuk politik menganggap bahwa sampai kapan pun seorang militer tetaplah militer dengan jati dirinya sebagai pembela negara dan bertindak untuk semua. Posisi demikian harus selamanya dijaga demi kehormatan seorang tentara yang memang sedari awal jiwa dan raganya telah disiapkan untuk membela bangsa dan negara. Adapun pendapat yang menyetujui menyatakan bahwa setelah menyelesaikan dinas aktif militernya, mereka kembali menjadi warga negara sipil biasa yang memiliki hak sipil, termasuk hak politik, sebagaimana warga negara yang lain. Isu lain yang menjadi perdebatan adalah masuknya purnawirawan militer ke dalam politik dikhawatirkan menjadi perpanjangan dari kepentingan militer sehingga akan dapat membahayakan politik demokratis yang bercirikan supremasi sipil. Pendapat demikian didasarkan pada pemikiran bahwa militer merupakan sebuah institusi yang hidup dengan ciri umum sistem M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 19 9
komando yang tidak mengenal negosiasi. Purnawirawan militer yang sepanjang karir dinas aktifnya hidup dalam sistem komando dikhawatirkan akan terus mempraktikkan pemikiran dan sikap tersebut sehingga dapat merusak tatanan sistem politik demokrasi. Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran demikian dapat dipahami karena semasa kekuasaan rezim Orde Baru memang terjadi fenomena anti demokratis terkait keikutsertaan purnawirawan ABRI dalam kegiatan politik. Pada masa itu keikutsertaan purnawirawan ABRI dalam politik memang merupakan bagian dari “desain penugasan” yang dibuat oleh rezim berkuasa guna mendukung keberlangsungan kekuasaannya. Model keikutsertaan purnawirawan militer dalam kegiatan politik seperti ini memang memperkokoh sistem politik anti demokratis dan membahayakan, bahkan menghalangi, terbangunnya sistem politik demokratis. Proses penelusuran yang dilakukan dalam penelitian ini dimulai dengan menggambarkan berbagai actant yang ada di sekitar informan kunci untuk merekonstruksi pengambilalihan tindakan oleh mediators dan intermediaries. Berbagai actant yang ada di sekitar informan kunci sebagai aktor utama diperlakukan sebagai aktor bebas yang memiliki logika sendiri yang memengaruhi tindakan performatif aktor utama. Setelah digambarkan secara independen dengan logika kerjanya, berbagai actant ini dihubungkan dengan aktor utama dengan kualitas hubungannya. Kemudian akan dinarasikan momen krusial (critical moment) yang merupakan konteks situasional pada saat aktor utama membuat keputusan untuk masuk politik. Jaringan aktor utama dengan berbagai actant yang akan diselisik ini tidak hanya berada dalam ranah waktu sekarang (present time), namun juga jauh pada saat informan masih aktif berdinas di militer. Hal ini merupakan usaha untuk mengungkap segala kemungkinan yang memengaruhi aktor utama dalam memutuskan untuk terjun ke dalam politik praktis, baik pada saat situasi tindakan itu diambil maupun pada proses pembentukan sebelumnya. Penelusuran dimulai dengan actant non manusia pertama, “partai politik dan kondisi politik secara umum”. Partai politik dan kondisi politik secara umum menjadi faktor pendorong dan penarik masuknya purnawirawan militer dalam politik praktis. Partai politik di Indonesia yang lemah dalam hal kaderisasi menarik purnawirawan TNI karena dianggap memiliki kapasitas M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
200 |
ARIE S. SOESILO
penguasaan strategi pemenangan pemilu. Rendahnya kualitas politisi sipil menjadi kondisi yang mendorong purnawirawan TNI untuk terlibat dalam politik praktis. Lebih lanjut, yang akan dilihat dari actant partai politik adalah kondisi dalam actant tersebut dan kualitas persentuhan tindakan performatifnya dengan informan. Actant nonmanusia kedua, “pembentukan karakter TNI”, menjadi sumber dari pembentukan pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan yang selanjutnya menjadi karakter dasar prajurit TNI. Pembentukan karakter dasar prajurit TNI ini ditemukan bahwa panggilan prajurit TNI yang didoktrinkan adalah untuk mengabdi pada bangsa dan negara dengan loyalitas yang tinggi terhadapnya. Kondisi mental yang berorientasi pada kesetiaan dan pembangunan bangsa ini kemudian diduga akan memengaruhi keputusan untuk terjun dalam politik praktis. Sejak awal ada kemungkinan purnawirawan TNI melihat panggilan dirinya selalu dalam urusan kenegaraan. Untuk menjalankan tugas utama dalam pengabdian kepada bangsa dan negara militer Indonesia dalam pendidikannya juga dibekali dengan kemampuan non militer. Wawasan politik juga menjadi bagian dari pembentukan karakter militer Indonesia yang diasah dalam pendidikan formalnya. Actant non manusia ketiga, “purnawirawan TNI sebagai warga negara sipil”, sesuai dengan UU No. 34/2004 yang mengatur kedudukan purnawirawan sebagai warga yang memiliki hak sama dengan warga negara sipil lainnya dalam hal kebebasan berpolitik. Jika purnawirawan TNI diperbolehkan berpolitik, maka pada masa-masa awal setelah reformasi banyak di antara mereka yang masuk politik. Actant non manusia keempat, “usia pensiun, orientasi kekuasaan, dan kegiatan pasca-pensiun purnawirawan TNI”, juga menentukan masuknya purnawirawan dalam politik praktis. Pada kondisi yang masih energik dan produktif mereka memiliki potensi yang besar untuk meraih kekuasaan atas dasar berbagai tujuan. Untuk mencapai pilihan tujuan-tujuan tersebut, mereka dapat mewujudkannya melalui berbagai kegiatan, termasuk kegiatan politik. Actant non manusia kelima, “pengalaman Dwifungsi ABRI”, yang menjadi latar belakang dari masa dinas aktif masing-masing informan kunci, menarik untuk diduga juga menjadi actant yang membentuk persepsi peran serta militer dalam politik. Keterlibatan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 2 01
informan kunci dalam politik sejak masih berdinas aktif di militer telah membiasakan aktor utama untuk melihat bahwa politik juga merupakan panggilan tugas bagi dirinya sebagai prajurit militer. Jika purnawirawan TNI terbiasa pada ranah politik, maka masuk politik praktis merupakan satu kelanjutan karir yang wajar. Informan kunci diduga melihat ranah tugasnya berada pada ranah politik sehingga kondisi ini menjadi panggilan untuk terjun ke dalam politik praktis saat dirasa situasi perpolitikan mulai membahayakan ketahanan dan keamanan negara, serta kontra produktif bagi bangsa dan negara. Gambar 1. Relasi Actant Nonmanusia, Mediators—Action is Overtaken—Actors
Actant non manusia keenam adalah “organisasi purnawirawan TNI”, yakni PEPABRI (Persatuan Purnawirawan ABRI/TNI dan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
2 02 |
ARIE S. SOESILO
Polri). PEPABRI merupakan organisasi yang menaungi purnawirawan TNI setelah purna tugas. Organisasi ini pada praktiknya menyalurkan aspirasi sebagian purnawirawan TNI. Meski tetap berkomitmen terhadap pengabdian kepada bangsa dan negara, organisasi PEPABRI sejak Reformasi mundur dari politik praktis. PEPABRI, dalam hal ini, menjadi anti group bagi informan kunci yang memutuskan untuk terjun dalam politik praktis. Anti group yang dimaksud di sini bukanlah oposan atau lawan informan kunci, melainkan aktor yang mengambil sikap berbeda dengan informan kunci. Keenam actant non manusia dapat diilustrasikan melalui gambar 1. Adapun actant manusia merupakan informan yang bersentuhan dengan informan kunci dan memengaruhi informan kunci melalui tindakan performatif timbal balik dalam persentuhan itu. Di sini digambarkan persentuhan actant manusia dengan informan kunci pada momen-momen kritis di akhir masa dinas militer hingga informan kunci memutuskan untuk terjun dalam politik praktis. Pada momen krusial ini digambarkan situasi yang dihadapi oleh informan kunci di antara berbagai mediators dan intermediaries di sekelilingnya. Momen krusial ini merupakan rekonstruksi kejadian pada saat informan kunci memutuskan untuk masuk dalam politik praktis. Ketiga informan kunci dalam penelitian ini memberikan suatu gambaran mengenai kecenderungan para purnawirawan TNI yang terlibat dalam kegiatan partai politik. Semangat untuk selalu memberikan pengabdian kepada bangsa dan negara dalam situasi apa pun menjadi aspek pertama yang dimiliki tiga purnawirawan tersebut. Semangat ini menjadi semacam nilai, prinsip, ataupun ideologi, yang terus mereka perjuangkan dengan berbagai sarana dan dalam berbagai konteks situasi. Ketika masih menjalani karir dinas militer, tugas jabatan ataupun mutasi telah mereka jalani dengan baik dan penuh kesadaran. Sikap patuh terhadap aturan, perintah, dan garis komando memberi mereka modal untuk tangguh dalam aktivitas politik. Kesempatan mereka berhubungan dengan aktor-aktor pemegang kekuasaan ataupun pribadi-pribadi lain dalam lingkungan kekuasaan eksekutif selama masa dinas memegang jabatan strategis turut membantu perluasan wawasan dan jaringan kerja mereka. Keterlibatan dan hubungan yang intensif dengan para aktor pemegang kekuasaan tersebut memberi mereka “pengalaman” berpolitik, meskipun mereka tidak memiliki kesempatan untuk dominan dalam pengambilan kebijakan politik seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 2 03
Lebih dari itu, berbagai pengalaman menarik terkait proses mutasi militer yang pernah dijalani para purnawirawan juga turut memberikan dorongan untuk masuk dalam politik praktis. Sekalipun karir militer berhenti, mereka merasa memiliki pandangan, energi, dan pemikiran yang masih bisa disalurkan. Berbagai persoalan politik kontemporer juga menjadi panggilan bagi purnawirawan TNI untuk berkiprah. Momen-momen tersebut sering kali berpadu dengan hadirnya partai politik yang dapat dikatakan memiliki visi serupa dengan visi mereka. Informan kunci TH mengaku nyaman dengan garis ideologi dan kedekatannya dengan pimpinan PDI Perjuangan, tempat dia bergabung saat ini. Informan kunci TE turut serta dengan ormas NasDem dan Partai NasDem sebagai buah dari keinginannya memperbaiki keadaan Indonesia. Informan kunci W telah mencoba menjalani kesempatan melalui Partai Golkar, kemudian mendirikan kendaraan politiknya sendiri, Partai Hanura, sebagai jalan mengaktualisasikan diri di dunia politik nasional. Ketiga purnawirawan TNI tersebut, dengan demikian, telah memberikan petunjuk bahwa kontribusi politik dapat tetap dijalankan dengan baik bahkan setelah masa tugas aktif militer mereka berakhir. Perubahan paradigma politik TNI yang kini menetapkan batas-batas jelas dan tegas untuk aktivitas politik tetap dapat mereka akomodasi setelah menjadi purnawirawan. Masa purna tugas militer ternyata tidak menghentikan mereka untuk tetap berada di lingkungan politik dan kekuasaan, di mana kebijakan-kebijakan politik strategis digariskan. Adapun dari sisi anti group, informan KS melihat bahwa tidak semua purnawirawan TNI yang masuk ke dunia politik terjun dengan membawa idealisme. Idealisme yang pertama dibawa justru adanya keinginan untuk tetap membawa kepentingan almamater lamanya agar bisa diperjuangkan di legislatif mengingat Fraksi TNI di DPR sudah tidak ada lagi. Kepentingan lainnya adalah keinginan untuk menjaga pelaksanaan pemerintahan agar tetap berada dalam bingkai Pancasila. Informan yakin, selain mereka yang idealis, tidak sedikit juga yang terdorong oleh sikap pragmatis. Permasalahannya yang idealis itu tidak bisa berbuat banyak untuk kepentingan idealismenya. Menurut informan penerapan idealisme nasionalis di partai politik mengalami kendala yang cukup berat. Jadi, idealisme purnawirawan TNI yang masuk politik itu terkalahkan oleh kepentingan partai, terlebih lagi oleh kepentingan perorangan di tingkat elit. Ada juga M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
204 |
ARIE S. SOESILO
dari mereka yang menghadapi situasi dilema—ada yang ingin mundur dari partai karena tidak cocok dengan idealismenya, tetapi ada juga yang memilih tetap di dalam karena kalau mundur akibatnya malah lebih berbahaya. Menurut informan, kebanyakan dari purnawirawan TNI yang masuk politik mengakui bahwa tidak mudah mewarnai kehidupan politik dengan idealisme yang mereka bawa. Informan tidak ingin ke politik praktis, tidak ingin terlibat dalam rutinitas politik, karena menurutnya politik tentara itu politik negara— dalam hal ini Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menurutnya, jika masuk ke dalam politik praktis justru ada kemungkinan akan larut dalam kepentingan perorangan. Informan menilai dirinya perlu menjaga kepentingan yang lebih besar sehingga memilih berkiprah di organisasi purnawirawan TNI daripada berpolitik praktis di partai politik. Realitas politik nasional sudah menunjuk kan kondisi mengkhawatirkan, seperti yang diungkap oleh informan, “akibat aktor-aktor politik larut dalam tendensi berburu harta dan kekuasaan di kalangan elit, sehingga ungkapan kritis power seeking politicians dan great seeking bureaucrats begitu telanjang dipertontonkan di teater politik nasional. Realitas tersebut tentu saja mengundang keprihatinan sekaligus merangsang banyak kalangan untuk ikut aktif memberikan sumbangsih sejauh kemampuan demi kepentingan nasional”. Tentu saja sebuah pertanyaan akan muncul dalam permasalahan itu: mengapa atau untuk apakah para purnawirawan yang kebanyakan sudah sepuh itu masih menaruh perhatian dengan “urusan negara”? Informan memberi jawaban dengan mengutarakan ungkapan klasik: old soldiers never die, they just fade away. Adagium tersebut mencerminkan spirit perjuangan para purnawirawan yang tidak pernah lekang oleh waktu dan tidak akan pupus oleh gerak zaman. PU R N AW I R AWA N T N I DI R A N A H P O L I T I K : M O T I F I DE A L I S ATAU PR AG M AT I S ?
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah para purnawirawan militer terjun ke dunia politik didorong oleh motivasi idealis semata? Menjawab pertanyaan tersebut, sebagaimana diisyaratkan oleh pendekatan ANT tentang adanya background plasma, bisa jadi penelitian ini menyisakan berbagai relasi actant yang menjadi mediators yang tidak tereksplorasi. Kemungkinan berbagai M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 2 05
actant tersebut tertinggal tidak terungkap karena keterbatasan dan kendala yang ditemui dalam penelitian. Kesulitan utama pada penelitian ini adalah mendapatkan gambaran riil tindakan performatif dari informan kunci yang diwawancarai. Kebanyakan informan kunci, termasuk informan purnawirawan TNI, berbicara pada level kognitif mengenai pandangan-pandangannya terkait dengan subjek yang ditanyakan. Informan kunci dan informan purnawirawan TNI juga lebih senang berbicara pada tataran ideal dari subjek yang ditanyakan. Informan kunci dan informan purnawirawan TNI tidak terbuka mengenai kondisi riil relasi performatifnya karena tidak sedikit relasi performatif informan dilakukan secara informal. Mengingat posisinya sebagai pejabat publik/pejabat politik, informasi seolah dirasa perlu untuk tidak disampaikan karena dapat merugikan posisi politik informan kunci maupun institusi partai politik tempat informan kunci bernaung. Terlebih lagi konteks waktu saat ini yang menjelang Pemilu 2014. Informan kunci maupun informan purnawirawan TNI dalam penelitian ini merupakan pejabat publik, dalam artian menduduki jabatan kenegaraan ataupun sekadar jabatan di partai politik, namun tetap pada posisi yang tinggi di dalam partainya. Berbagai informasi yang dapat menyudutkan tentu tidak menguntungkan bagi mereka bilamana menjadi konsumsi publik. Termasuk juga bila harus menyampaikan atau menceritakan motif atau tujuan berpolitik yang sifatnya pragmatis-pribadi, tentu mereka tidak mau. Relasi performatif merupakan kebutuhan data utama dalam penelitian ini. Dengan tidak terlalu banyaknya data tersebut tersedia, termasuk yang digali melalui pihak ketiga atau data sekunder, maka sulit dilakukan penelusuran yang mengarah pada kebutuhan data tersebut. Padahal sebenarnya kondisi-kondisi inilah yang dapat menjadi orientasi atau motif pragmatis yang melatarbelakangi purnawirawan TNI masuk ke dalam politik. Motif pragmatis ini di antaranya berupa orientasi kekuasaan (need for power, stay in power), baik untuk tujuan agar dapat terus berkuasa atau kekuasaan sebagai alat mencapai keuntungan ekonomi. Adanya semacam perasaan bahwa dahulu “belum puas” atau “belum selesai” saat tugas di militer, atau bahkan mungkin post-power syndrome, sebenarnya bisa juga melatarbelakangi masuknya purnawirawan TNI ke politik. Wujud adanya keinginan tetap dapat memerintah (stay in authority) dan dihormati (privilege) dengan cara memperoleh kekuasaan politik M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
206 |
ARIE S. SOESILO
dapat digolongkan sebagai semacam back-stage data dalam penelitian ini—sebuah kondisi yang tidak dengan terbuka mau dibicarakan atau diungkapkan oleh para purnawirawan TNI yang masuk ke politik, bahkan mungkin cenderung ditutupi. Harus diakui pula bahwa penelitian ini belum mampu mengungkapkan secara lebih lengkap kemungkinan adanya back-stage data ini. Penelitian ini menyatakan bahwa motif pragmatis sebagai latar belakang purnawirawan TNI masuk ke dalam politik memang juga ada, namun belum dapat dikatakan sebagai karakteristik umum alasan mereka masuk ke politik. Hanya sebagian kecil purnawirawan TNI yang masuk ke politik dengan didasari motif pragmatis, khususnya mereka yang berada dalam posisi yang bukan tergolong sebagai tokoh atau pemimpinnya purnawirawan TNI yang masuk ke politik. Mereka mungkin dalam kategori pengikut, pendukung, dan semacamnya. Adapun menurut informan, termasuk informan anti group, sebagian besar purnawirawan masuk ke politik tetap didasarkan pada motif idealis. Terkait hal ini, seorang informan mengatakan, “Bahwa satu–dua orang purnawirawan masuk politik karena alasan cari kekuasaan saja atau uang saja, ... faktanya akan selalu ada yang seperti itu. Tapi yang seperti ini bukan pendapat mayoritas, bukan karakter umumnya. Jadi, kalau yang satu–dua itu diambil menjadi sebuah kesimpulan, ya tidak bisa. Bukan begitu! Bukan kayak begitu realitanya. Buktinya kan PEPABRI tidak jadi parpol, PPAD juga tidak jadi parpol. Masuk partai tidak akan mendapat kehidupan kalau dia tidak masuk jadi di legislatif. Kecuali kalau kemudian jadi menteri, jadi legislatif. Tapi kalau masuk ke politik, bekerja di parpol, untuk cari kehidupan susah” (Wawancara dengan E, 14 Maret 2013). Sebaliknya, adanya motif pragmatis dikemukakan oleh informan lain, yaitu SH: “Kalau purnawirawan yang saya lihat itu, kayak misalnya di Hanura atau di beberapa parpol lain, umumnya sudah perwira tinggi. Nah, yang tidak perwira tinggi relatif juga dalam kondisi ekonominya cukupan. Sehingga tidak mengarah pada: ‘Aku dapat apa?’ ‘Aku ke sini untuk mencari itu.’ Kalau saya perhatikan, kan ada juga yang menjadi Ketua DPC misalnya, M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 207
yang di level kabupaten atau di provinsi. Kalau saya lihat mereka masuk ke situ itu biar dapat apa, kan sulit. Mereka mau menjadi pimpinan di situ, pasti tombok! Masuk ke sini ini kan mesti korban waktu, korban tenaga, pikiran, uang dan juga perasaan. ... Tetapi juga misalnya, maaf-maaf ya, ada sedikit satu–dua orang, termasuk yang bukan purnawirawan, masuk untuk akhirnya cari kerjaan, yang cari hidup dari situ saja, kan?” (Wawancara dengan SH, 26 Februari 2013). Terkait pandangan tentang hal ini, seorang informan anti group secara lebih gamblang menyatakan bahwa selain mereka yang mendirikan partai, purnawirawan TNI lain yang masuk politik kebanyakan mencari “penghidupan” (wawancara dengan SN, 12 Maret 2013). Adapun tentang motif pragmatis ingin terus berkuasa, SH mengatakan, “Kalau supaya ingin bisa terus memerintah, saya koreksi ya, kalau cuma ingin memerintah: nggak, bukan itu. Juga kalau ingin berkuasa, karena kan berkuasa pasti juga bisa memerintahnya. Bukan hanya karena itu ingin keberkuasaannya, ingin memerintahnya, tapi karena keinginan berbuat banyak lewat kekuasaan dan memerintahnya. Jadi begini sistematikanya.” (Wawancara dengan SH, 26 Februari 2013). Adapun tentang motif pragmatis kekuasaan, A berpendapat, “Ya adalah. Itu bisa dilihat, ada yang terjun ke politik hanya untuk kekuasaan. Itu terpulang kepada manusianya. Kalau purnawirawan turun ke politik itu menyumbangkan pemikirannya bagi kemajuan bangsa itu sih bagus, tetapi ada juga purnawirawan yang masuk ke politik hanya mencari kekuasaan, dan bahkan lebih dari itu. Memang ada yang seperti itu. Tentunya sangat disesuaikan kepada kepribadian masingmasing purnawirawan. Ada yang seperti itu, tapi saya yakin lebih banyak yang atas dasar mereka ingin sumbangsihkan potensinya untuk kepentingan bangsa dan negara. Artinya, yang [masuk karena] pengabdian itu lebih banyak, Pak. Tapi apabila ada purnawirawan yang masuk ke politik orientasinya M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
208 |
ARIE S. SOESILO
adalah kekuasaan. itu tidak salah, Pak, asalkan kekuasaan itu dijadikan pengabdian, bukan hanya sekadar dinikmati sendiri. Kalau motif ekonomi mendasari purnawirawan masuk ke politik, saya rasa tidak. Karena kan nggak mungkin seorang gubernur (militer) seperti itu” (Wawancara dengan A, 2 April 2013). Sementara itu, penilaian dari informan anti group tentang isu perbandingan motif idealis dan pragmatis dari purnawirawan TNI yang masuk ke dalam politik adalah sebagai berikut: “Jadi, saya kira memang kebanyakan, artinya tidak semua, purnawirawan itu terjun ke politik itu memang membawa idealisme. Idealisme yang pertama dibawa itu dia ingin tetap membawa kepentingan almamater lamanya untuk bisa diperjuangkan di legislatif. Karena kan tidak ada lagi Fraksi TNI di sana. Terus kemudian, yang lebih besar dari itu, ingin memagari, ingin menjaga, supaya tetap berada dalam bingkai Pancasila. Tapi tidak sedikit juga terdorong oleh sikap pragmatis. Tapi saya yakin tidak lebih besar dari yang idealis itu. Cuma permasalahannya, yang idealis-idealis itu tidak bisa berbuat banyak juga untuk kepentingan idealisme dia. Nah, kendati dia masih tetap idealis, untuk menerapkan idealismenya itu mengalami kendala cukup berat. Jadi, idealisme itu terkalahkan oleh kepentingan partai, dan bahkan oleh kepentingan perorangan, oleh interest yang ada di elite. Ada juga dari mereka menghadapi situasi dilema ini dari obrolan mereka dengan kita. Ada yang ingin resign dari partai karena tidak cocok dengan idealismenya. Tapi ada juga yang memilih tetap, karena kalau kita resign malah lebih berbahaya. Tidak ada yang menjagai. Tapi kebanyakan mereka mengakui bahwa mereka tidak bisa mewarnai kehidupan politik di situ dengan idealisme yang mereka bawa. Saya kira tidak ada satu partai pun yang kemudian terpengaruhi oleh idealisme mereka” (Wawancara dengan KS, 10 Mei 2012). Adapun pakar militer-pertahanan, K A, secara lebih rinci menggambarkan latar belakang purnawirawan TNI yang masuk ke dalam politik: M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 209
“Tentang mengapa purnawirawan masuk ke politik, hal itu bisa dilihat ketika mereka memasuki ranah politik pada tahun 1999. Motivasinya kan macam-macam. Ada orang yang memang betul-betul idealis nasionalis, yang nanti muaranya pada kekecewaan pada political parties—kecewa karena ketidakjelasan orientasi negara dan seterusnya. Tapi banyak juga mereka yang hanya sekadar ikut saja, karena mereka pensiun pada usia 55 tahun masih energik, dan masih bisa untuk melakukan sesuatu. Ada juga yang oportunis tok, cuma mau diajak ini, diajak itu. Keempat, mungkin ada juga yang diajak, dan karena yang mengajak temannya, ada perasaan nggak enak atau apabila nggak mau, akhirnya menjadi suatu kelompok tersendiri ikut masuk ke politik” (Wawancara dengan KA, 31 Mei 2012). Terkait keseluruhan gambaran data temuan hasil penelitian tentang motif idealis purnawirawan TNI yang masuk ke dalam kegiatan politik ini, baik informan kunci, informan, maupun anti group, samasama mengatakan bahwa tidak mudah bagi politisi purnawirawan TNI untuk mewujudkan motif idealis atau idealismenya saat sudah berada dalam arena politik praktis bersama para politisi sipil yang berasal dari beragam kalangan. K I N E R J A P O L I T I S I PU R N AW I R AWA N T N I
Terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia, yang menjadi pertanyaan adalah apakah masuknya purnawirawan TNI dalam partai politik dan menduduki jabatan politik merupakan ancaman atau malah penguatan bagi demokrasi? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri melalui kinerja politik purnawirawan TNI, baik yang melibatkan relasi performatif dengan politisi sipil maupun dengan militer aktif. Kinerja purnawirawan yang menjadi politisi idealnya berada dalam prosedur demokrasi. Prosedur-prosedur demokrasi tersebut diejawantahkan melalui peraturan-peraturan yang menjadi aturan main dalam ranah politik. Tiga informan kunci dalam penelitian ini memiliki tiga ranah yang berbeda. Informan kunci W merupakan ketua umum partai politik. Kinerja politiknya berada dalam ranah internal partai yang secara prosedural demokrasi diikat oleh aturan dasar organisasi kepartaian. Secara eksternal, sebagai ketua umum W juga mengorganisasikan anggota DPR yang berasal dari partainya. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
210 |
ARIE S. SOESILO
Untuk mengorganisasikan anggotanya yang berada di DPR, W terikat dengan aturan main di DPR seperti UU Susduk DPR atau Tata Tertib DPR. TH, sebagai anggota DPR, dalam menjalankan kinerjanya terikat juga dengan prosedur kerja dalam DPR. TE, sebagai anggota partai yang belum memiliki kursi di DPR, hanya akan terikat dengan aturan main di internal partainya. Kinerja dari politisi purnawirawan TNI sebagai anggota DPR dapat dilihat dalam pelaksanaan peran dan tanggung jawabnya sebagai anggota dari kelembagaan negara dan sebagai anggota dari organisasi partai politik. Secara prosedural, anggota DPR menjadi jembatan penghubung antara organisasi partai politik dengan kelembagaan DPR. Kenyataan bahwa lembaga DPR merupakan lembaga perwakilan yang sah secara konstitusional, yang unsur-unsur di dalamnya diisi oleh partai politik, telah terjamin dalam aturan perundangan. Kinerja anggota DPR ketika berada dalam ruang lingkup kelembagaan komisi DPR dapat tercermin dari penyataan tanggapan terhadap suatu isu politik ataupun kebijakan tertentu yang sedang berjalan. Hak menyatakan pendapat, yang dimiliki secara konstitusional oleh masing-masing anggota DPR menjadi komponen penting ketika pernyataan tanggapan atas suatu isu dilakukan. Selain itu, pemberian wewenang pengawasan terhadap kerja kebijakan pemerintahan dapat terlihat dari aktivitasnya selama melakukan rapat dengar pendapat dengan wakil-wakil pemerintah ataupun instansi pemerintahan lain yang terkait dengan suatu isu tertentu. Dengan demikian, kinerja anggota DPR ketika berada di dalam lingkungan kelembagaan DPR menjadi jalan bagi politik perwakilan dan saluran aspirasi politik masyarakat melalui mekanisme partai politik. Konsistensi dan kepatuhan anggota DPR dalam menyampaikan pesan-pesan dan sikap politik partai yang telah dirumuskan kiranya mengindikasikan bahwa prosedur politik demokrasi berbasiskan saluran partai politik menjadi niscaya serta dapat dilaksanakan dengan baik. Namun demikian, perlu diketahui juga bagaimana keputusan politik yang terkait dengan kebijakan-kebijakan dapat terwujud dalam keputusan internal suatu partai politik, mengingat struktur dari organisasi partai politik memiliki mekanisme prosedur lain yang berbeda dalam pengambilan-pengambilan keputusan. Posisi Ketua Umum partai politik yang dimungkinkan dijabat oleh politisi purnawirawan TNI turut memberikan peluang untuk memengaruhi keputusan-keputusan organisasi. Pengalaman M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 211
menggunakan mekanisme perintah komando ketika bertugas di lingkungan militer dapat saja terbawa, demi keefektifan dalam kerja hirarki. Namun demikian, perlu ditekankan di sini bahwa organisasi partai politik bekerja dengan menggunakan prosedur aturan sesuai kaidah demokrasi, di mana keputusan-keputusan yang dihasilkan merupakan hasil dari mekanisme kolektif. Pada akhirnya, peran-peran yang dijalankan baik anggota DPR, ketua umum, pengurus DPP, maupun anggota partai politik, berjalan dengan rumusan aturan atau prosedur yang telah ditentukan dan disepakati. Masing-masing anggota yang melaksanakan penugasan, kewajiban, ataupun keputusan-keputusan tertentu, menjalankannya sesuai koridor aturan. Bermain dengan memperhatikan aturan-aturan yang ada, dengan demikian, menjadi semacam kewajiban normatif dari setiap pelaku politik tersebut, baik dalam hubungannya dengan organisasi internalnya ataupun sebagai komponen penghubung dari organisasi ke lembaga-lembaga lainnya. Aspek-aspek normatif ini menjadi semacam petunjuk bagaimana suatu kinerja politik, pada semua level tingkatan pelaksanaan (organisasi atau DPR), secara ideal mestinya dapat dilaksanakan. Terdapat beberapa temuan penelitian di bagian ini. Pertama, masuknya purnawirawan TNI ke politik tidak selalu membawa kepentingan militer. Dalam kasus tertentu, para pensiunan tentara tersebut justru bertentangan dengan kepentingan militer. Kedua, relasi politisi purnawirawan TNI dengan pejabat militer dan politisi sipil cenderung dinamis. Pada sejumlah kasus, hubungan baik justru berkembang di antara politisi purnawirawan TNI dengan politisi sipil ketimbang dengan pejabat militer. Ketiga, politisi purnawirawan TNI cenderung mengembangkan sikap yang mengakui supremasi sipil dan bahkan, hingga batas tertentu, ikut menyumbang bagi terselenggaranya demokratisasi di Indonesia. Semua ini akan dijabarkan dalam relasi performatif informan kunci (kinerja politik) dalam beberapa kasus yang sudah dipilih. PRO S E DU R DE M O K R A S I DA N R E L A S I A N TA R A K T O R : DE M O K R A S I M E N G A N C A M DI R I N Y A S E N DI R I ?
Kasus-kasus yang diteliti menunjukkan bahwa purnawirawan TNI yang menjadi politisi masuk politik lebih karena kedekatan pribadi mereka dengan jejaring individunya, bukan secara institusional. Dua M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
212 |
ARIE S. SOESILO
pengamat militer, para informan kunci, serta informan yang diwawancarai menilai bahwa masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik bukanlah fenomena penugasan atau untuk kepentingan organisasi. Pernyataan senada secara tegas dikemukakan oleh WD yang memang dalam jabatannya di Mabes TNI bertugas mengelola hubungan antara institusi TNI dengan para purnawirawan TNI. Hubungan ini dikelola dalam konteks menjaga hubungan baik antara almamater dengan alumni untuk saling memberi masukan, tanpa masuk dalam hubungan kedinasan komando. Tidak ada lagi hubungan kedinasan komando antara institusi TNI dengan purnawirawan TNI yang telah menjadi warga negara sipil. Terkait dengan potensi yang digunakan purnawirawan TNI untuk merepresentasikan kepentingan militer aktif dalam rutinitas politik nampaknya indikasinya masih jauh. Purnawirawan TNI dalam beberapa kasus yang diangkat juga menunjukkan perbedaan pendapat dengan militer aktif. Meski perbedaan pendapat ini dimulai dari interpretasi yang berbeda dalam penguasaan ilmu kemiliteran. Lobi yang dilakukan oleh militer, seperti dilakukan oleh Wamenhan Letjen TNI Purn. Sjafrie Sjamsoeddin yang mendatangi politisi purnawirawan TNI untuk menyosialisasikan RUU PKS dan RUU Kamnas (Keamanan Nasional), masih dalam koridor demokrasi. Demokrasi tidak mengharamkan lobi karena merupakan bagian dari mekanisme untuk saling memengaruhi dalam relasi kekuasaan yang setara. Bila posisinya setara, maka hubungan yang terjadi bukan penugasan. Dalam lobi, tawaran dapat ditolak maupun diterima tergantung tawar-menawar (bargaining) yang dilakukan. Sejauh temuan penelitian, tawar-menawar yang dilakukan politisi purnawirawan TNI dengan militer aktif masih berada dalam batasan yang wajar. Bila dilihat relasi kekuasaan purnawirawan TNI yang berpolitik dengan aktor-aktor yang berada di sekelilingnya, maka posisi purnawirawan TNI masih berkontribusi positif terhadap konsolidasi demokrasi. Politisi purnawirawan TNI dapat lebih mudah diterima dengan baik ketika menjalin relasi dengan militer aktif. Keberadaan politisi purnawirawan TNI memberi militer rasa aman berkenaan dengan pengelolaan ketatanegaraan karena kinerja mereka melengkapi kinerja politisi sipil (wawancara dengan AW, 1 Juni 2012). Keberadaan politisi purnawirawan TNI juga meredam ketersinggungan bilamana ada tuntutan kepada militer oleh politisi. Setidaknya, militer tidak merasa diotak-atik oleh orang luar (politisi sipil) yang tidak kompeten. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 213
Terkait dengan krisis konstitusional yang dikhawatirkan akan menjadi momentum intervensi militer dalam politik, keberadaan politisi purnawirawan TNI yang masih dominan di berbagai partai politik diharapkan bisa menghindarkan arah intervensi militer tersebut. Keberadaan politisi purnawirawan TNI di partai juga tidak selalu mudah dalam mengantisipasi pelanggaran konstitusi, meski pada dasarnya pandangan politik mereka merupakan politik negara. Segregasi antar politisi purnawirawan TNI juga masih nyata ada. Kinerja purnawirawan TNI menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai demokrasi. Purnawirawan TNI yang menjadi politisi menyatakan tidak masalah dengan amandemen konstitusi sejauh itu dilakukan oleh ahlinya. Purnawirawan TNI yang menjadi politisi juga kritis terhadap usulan anggaran belanja militer aktif. Meskipun memiliki kapasitas dalam bidang kemiliteran dan informasi, keputusan politik purnawirawan TNI selalu dikomunikasikan terlebih dahulu ke partai politiknya. Kesamaan sikap fraksi dalam menyikapi isu-isu yang berkembang menjadi bukti adanya komunikasi di internal kepartaian. Politisi purnawirawan TNI yang disatukan kepentingan NKRI, Pancasila, dan konstitusi, atau politik kenegaraan, tidak dapat dikatakan hanya merepresentasikan kepentingan militer saja. Oleh karena NKRI, Pancasila, dan konstitusi merupakan domain bersama sebagai sebuah bangsa, tidak hanya domain militer (wawancara dengan KA, 31 Mei 2012). Tersegregasinya kepentingan purnawirawan TNI yang menjadi politisi, serta seringnya terjadi perbedaan pendapat dengan kepentingan militer, sulit untuk mengatakan purnawirawan TNI yang menjadi politisi merepresentasikan kepentingan militer. Kendati demikian, ranah yang mereka perjuangkan bersama masih berada pada ranah kenegaraan. Secara organisasional tidak ditemukan garis komando antara militer dan purnawirawan TNI yang berpolitik. Secara personal hubungan-hubungan berjalan dinamis sebagaimana politisi sipil juga berhubungan dengan militer. Seperti di Thailand dan Filipina (Alagappa 2001), purnawirawan TNI masih menjadi tokoh kunci di beberapa partai politik, terutama di partai politik yang didirikan oleh purnawirawan TNI. Namun demikian, kinerja mereka masih ditempatkan di balik layar. Hal ini seperti terjadi di Partai Demokrat yang jabatan-jabatan strategisnya dipegang politisi sipil, dapur di belakangnya dipegang purnawirawan TNI. Demikian juga dengan Partai Gerindra yang mulai bergerak memasukkan kembali think tank purnawirawan TNI dalam rangka M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
214 |
ARIE S. SOESILO
persiapan Pemilu 2014. Partai Hanura dalam diskursus publik mengenai berbagai isu masih menampilkan sosok politisi-politisi sipil, meski dalam jajaran strukturalnya terdapat purnawirawan TNI. Purnawirawan TNI yang berpolitik masih stay low dan aktif di balik layar. Peran purnawirawan TNI biasanya memang meningkat saat pemilu, namun dalam rutinitas politik (daily politics) tidak terlalu menonjol lagi. Temuan Alagappa (2001) mengenai second career sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Purnawirawan TNI melanjutkan pengabdiannya kepada negara, namun tidak dalam konteks melanjutkan karir militernya dalam ranah yang berbeda. Karir militer purnawirawan terputus seiring masa pensiun dan tidak ada garis komando lagi dengan militer aktif. Melalui purnawirawan militer yang masuk ke politik, aspek-aspek pengetahuan dan pengalaman karir kemiliteran ada yang bermanfaat dan bahkan dibutuhkan oleh organisasi partai politik. Sekalipun tidak sepenuhnya sama, fenomena second career sebagaimana purnawirawan militer masuk ke politik ini di Jepang dikenal dengan sebutan amakudari. Menurut B. C. Koh (1989) amakudari berarti perpindahan dari posisi sebagai pegawai pemerintah ke pegawai swasta atau perusahaan yang mencari keuntungan, misalnya seorang jenderal yang setelah pensiun menduduki jabatan komisaris sebuah perusahaan besar. Amakudari dipekerjakan kembali pada perusahaan karena perusahaan mengutamakan keahlian khusus para amakudari, termasuk berbagai koneksi hubungan personal yang didapat selama dia bekerja dalam pemerintahan. Amakudari atau pejabat pensiunan yang berpindah dari pemerintah ke posisi senior di perusahaan swasta sering disebutkan di dalam literatur ekonomi politik Jepang (Suzuki 2004:2). Memang dalam pengertian amakudari perpindahan ke karir kedua atau karir baru dimaksudkan untuk tujuan atau keuntungan ekonomi. Purnawirawan militer, termasuk purnawirawan TNI yang masuk ke politik, tentu terutama tidak didorong oleh tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebagaimana dalam kegiatan bisnis, namun lebih kepada tujuan-tujuan politik dalam arti luas. Esensi konsep amakudari yang relevan di sini adalah pemanfaatan pengetahuan, pengalaman, dan kecakapan seorang purnawirawan TNI saat masih bertugas dinas aktif militer, bagi kebutuhan kegiatan politik anggota dan organisasi partai politik. Pengetahuan dan pengalaman kemiliteran seperti rekrutmen anggota, pembinaan teritorial, intelijen, M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 215
kedisiplinan organisasi, mobilisasi personel dan logistik, dan banyak lagi lainnya tentu berguna bagi tujuan institusionalisasi dan strategi pemenangan parpol, termasuk pemenangan figur politik dalam sebuah kontestasi politik. Dalam menjalankan kinerjanya politisi purnawirawan TNI menunjukkan kecenderungan untuk mengikuti prosedur demokrasi. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah lemahnya infrastruktur demokrasi di Indonesia. Lemahnya sistem kepartaian yang menjadi soko guru demokrasi, terutama dalam rekrutmen politik, menjadi faktor pengundang purnawirawan TNI menjadi politisi. Demikian halnya dengan lemahnya manajemen strategi pemenangan pemilu. Purnawirawan TNI banyak yang diundang masuk politik karena lemahnya infrastruktur ini mengakibatkan tumbuhnya kebutuhan akan elemen eksternal dalam rangka penggunaan sumber daya eksternal. Buruknya rekrutmen politik di partai politik mengharuskan diambilnya sumber daya manusia yang sudah jadi dari institusi lain, seperti purnawirawan TNI. Masuknya purnawirawan TNI diharapkan oleh partai politik juga membawa sumber daya yang diperlukan dan tidak dimiliki oleh partai politik tersebut, yakni jaringan, di samping kapasitas pribadi purnawirawan TNI yang bersangkutan. Dari sini terlihat yang sebenarnya “menggoda” purnawirawan TNI untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya adalah institusionalisasi kepartaian yang lemah. Kondisi infrastruktur demokrasi yang belum tertata mengindikasikan potensi ancaman bagi dirinya sendiri. Panglima TNI sering kali mengingatkan perlunya menjaga netralitas TNI, bahkan melalui surat telegram resmi seperti Surat Telegram (ST) Nomor: ST/175/2012 tertanggal 17 Februari 2012 kepada Pangdam, Pangarmabar, Pangarmatim, Pangkoops I dan II. Dijadikannya politisi purnawirawan TNI pimpinan partai politik di daerah selalu menimbulkan kekhawatiran akan menyeret TNI ke dalam kepentingan partai politik. Sebagai contoh, ditempatkannya politisi purnawirawan TNI yang mantan pimpinan Angkatan Laut di daerah yang merupakan basis Angkatan Laut. Tentu dapat dipahami bila hal ini memunculkan kekhawatiran akan potensi terseret-seretnya jaringan militer ke dalam politik. Politisi purnawirawan TNI yang menjadi anggota DPR pun “dilepas” dengan kapasitas pribadinya untuk menginterpretasi kebijakankebijakan atau program-program kerja pemerintah. Dalam batas-batas tertentu, prosedur demokrasi memang masih membatasi purnawiraM A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
216 |
ARIE S. SOESILO
wan TNI sebagai aktor dalam ruang demokrasi. Namun, ruang yang diberikan terlalu luas sehingga siapa pun aktor yang berada di dalamnya bisa bertindak dalam ranah konsolidasi maupun dekonsolidasi demokrasi. Temuan penelitian ini, misalnya, masih menunjukkan politisi purnawirawan TNI menggunakan privilese yang dimilikinya sebagai mantan militer dalam menjalankan tugas, di antaranya hubunganhubungan langsung dengan pimpinan militer di daerah, baik dalam kunjungan kerja maupun dalam penyelesaian persoalan. Meski penggunaan privilese itu masih dalam konteks yang tidak membahayakan konsolidasi demokrasi, namun secara prosedural hal ini tentu di luar koridor demokrasi. Purnawirawan TNI yang menjadi politisi tidak bisa sepenuhnya menghindari penggunaan privilesenya mengingat masih banyaknya urusan dan relasi yang lebih menekankan informalitas di Indonesia. Informalitas digunakan karena bila mengikuti aturan formal prosedurnya tidak memudahkan, bahkan menghambat. Sebagai contoh, bila permohonan tambahan bantuan alat untuk mendukung operasi pengendalian konflik disampaikan melalui jalur hirarkis formal, mungkin konfliknya sudah padam alatnya baru datang. Pola relasi yang biasa terjadi di Indonesia sepertinya lebih banyak dilakukan dalam ranah informalitas. Bila memperhatikan efektivitasnya, bahkan mungkin malah mengarah pada pola-pola relasional yang ilegal. Dalam formal demokrasi sendiri, bila prosedurnya diikuti malah akan menyusahkan, bahkan mungkin malah tidak menegakkan demokrasi. Edward Aspinall dan Gerry Van Klinken (2011) pernah mengumpulkan pola ilegalitas di Indonesia dalam buku mereka, State and Illegality in Indonesia. Seringnya diskursus perdebatan DPR menghiasi media untuk isu-isu yang kadang tidak sentral. Perdebatannya memanas dan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian karena kadang hanya dijadikan bargaining politik. Manuver-manuver seperti ini menimbulkan persepsi inkompetensi dan lebih mementingkan kepentingan diri dan golongannya di atas kepentingan nasional. Hal ini bertolak belakang dengan politik negara militer.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 217
PE R A N P O L I T I S I PU R N AW I R AWA N T N I DA L A M KO N S O L I DA S I DE M O K R A S I I N D O N E S I A
Sebagaimana diberikan oleh kerangka ANT, masing-masing informan kunci memiliki gambaran proses masuknya ke politik yang tidak sepenuhnya sama. Terdapat kondisi khas proses masing-masing informan kunci saat memasuki politik, sekalipun terdapat pula unsur kesamaan, yang dimungkinkan atau disebabkan oleh keberadaan enam actant non manusia yang bertindak sebagai mediators informan kunci saat masuk ke dalam politik. Secara keseluruhan, hal yang mengikat (lime) ketiga informan kunci masuk ke dalam politik (membentuk network ordering yang durable), antara lain (i) adanya kebutuhan partai akan purnawirawan TNI guna membantu memperbaiki partai politik dan kondisi politik secara umum; (ii) karakter TNI yang masih terdapat pada diri purnawirawan TNI, yakni tetap sebisanya melakukan sesuatu bagi keutuhan bangsa dan negara; (iii) purnawirawan TNI sebagai warga sipil memang diperbolehkan masuk ke dalam politik. Kinerja politik ketiga informan kunci saat sudah berada di dalam arena politik, juga diperlihatkan masing-masing informan kunci. Secara keseluruhan kinerja politik ketiga informan kunci ini menggambarkan hal, antara lain lime yang menyebabkan tercipta network ordering yang durable: (i) keleluasaan kinerja politik masing-masing informan kunci akibat lemahnya infrastruktur demokrasi; (ii) komitmen politik negara yang masih ada dalam diri informan kunci; (iii) dengan wujudnya masing-masing, ketiga informan kunci melaksanakan peran-peran sebagai connector dan arbitrator (peredam konflik), bahkan predator (bila purnawirawan TNI hendak berlaku “curang”) dalam relasi sipil–militer di Indonesia. Peran-peran politisi purnawirawan TNI yang demikian itu dijelaskan oleh perspektif teoretis Simmel melalui hubungan triadik politisi purnawirawan TNI, politisi sipil, dan militer aktif. Politisi purnawirawan TNI menjadi “pihak ketiga” dalam hubungan di antara “kedua belah pihak”: politisi sipil dan militer aktif. Temuan hasil penelitian memperlihatkan bahwa purnawirawan TNI yang terjun menjadi politisi dapat dikatakan merupakan penghubung antara politisi sipil, bahkan konstituen sipil, dengan militer. Seperti dalam kasus TH yang menjembatani hubungan politisi sipil yang tidak mengerti secara mendalam persoalan pertahanan yang ditangani Komisi I DPR. TH M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
218 |
ARIE S. SOESILO
menjadi sumber informasi mengenai informasi-informasi spesifik/teknis dalam pertahanan RI. TH juga menjembatani kepentingan warga yang akan digusur oleh TNI dengan meminta Danrem (Komandan Korem) menghentikan sementara upaya penggusuran dan membuka dialog. TH juga menjembatani kepentingan Pangdam saat kunjungan kerjanya pada KSAD terkait kebutuhan prasarana. Temuan penelitian ini, menurut teori triadik Simmel, menempatkan purnawirawan TNI yang berpolitik sebagai connector. Purnawirawan TNI menjembatani keterbatasan kemampuan teknis politisi sipil dalam hal pertahanan. Purnawirawan TNI yang duduk sebagai anggota Komisi I DPR menjadi semacam penyambung bahasa teknis antara militer aktif dan politisi sipil. Pemahaman persolan pertahanan menjadi lebih mudah dengan adanya purnawirawan TNI yang menjadi politisi. Bagi militer aktif keberadaan purnawirawan TNI yang menjadi politisi memudahkan akses komunikasi kebijakan, meski dalam prosesnya masih diperlukan upaya persuasif sesuai prosedur demokrasi. Ada kesempatan dan harapan untuk menyampaikan aspirasi militer, namun militer aktif masih perlu melakukan upaya untuk meyakinkan purnawirawan TNI karena mereka tidak sertamerta menyetujui setiap usulan militer. Adanya sense kesempatan dan harapan ini penting untuk penyampaian aspirasi militer. Bila sense ini tidak ada, maka mekanisme penyaluran aspirasinya bisa diambil melalui jalur lain. Jalur lain yang diambil bisa jadi jalur di luar politik normal, seperti di Thailand. Dengan demikian, sense optimisme untuk penyaluran aspirasi juga penting untuk menjaga formal politik agar berjalan pada jalurnya. Purnawirawan TNI bahkan bisa menjembatani kebutuhan komunikasi dengan sesama militer aktif dalam kapasitasnya sebagai politisi. Usulan komando militer di daerah yang diperoleh purnawirawan TNI saat kunjungan kerja disampaikan pada pimpinan militer di Jakarta. Namun, perlu menjadi catatan bahwa hal ini dilakukan oleh politisi purnawirawan TNI dalam konteks tugasnya. Purnawirawan TNI tidak ikut campur internal TNI di luar konteks kerjanya. Komando di daerah konflik membutuhkan tambahan peralatan, dan sesuai dengan tugasnya, Komisi Pertahanan kemudian menyampaikan kebutuhan tersebut pada pimpinan TNI di Jakarta. Prosedur formal internal TNI ini harusnya disampaikan secara berjenjang sesuai hierarki struktur komando, namun dengan adanya politisi purnawirawan TNI prosesnya menjadi lebih lancar dan cepat. Hal ini dimungkinkan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 219
karena secara penganggaran untuk kebutuhan peralatan militer, DPR memegang keputusan besaran anggaran, termasuk menentukan juga penyediaan peralatan yang diminta. Purnawirawan TNI yang menjadi politisi juga bisa menjadi arbitrator dan mediator bagi konflik antara warga sipil dengan militer. Dengan akses yang dimiliki kepada militer aktif, politisi purnawirawan TNI bisa secara langsung mengambil tindakan saat terjadi konflik antara sipil dan militer. Kasus seperti ini tampak, misalnya, pada penyelesaian konflik oleh TH dalam kasus pengaduan penggusuran tanah oleh militer aktif. Persoalannya akan menjadi lain manakala politisi yang menjadi tempat mengadu bukan purnawirawan TNI dan tidak memiliki akses langsung ke militer. “Intervensi” pada militer mungkin akan memakan waktu yang lebih lama. Keberadaan politisi purnawirawan TNI membantu proses “intervensi” konflik dengan lebih smooth. Temuan hasil penelitian di muka yang menggambarkan peranperan connector dan arbitrator-mediator yang dijalankan politisi purnawirawan TNI menunjukkan bahwa peran-peran negatif atau curang untuk keuntungan pribadi dalam konteks politik, sejauh ini, tidak diperlihatkan oleh kinerja politik politisi purnawirawan TNI. Temuan hasil penelitian memperlihatkan tidak ada peran memecah belah (devide) antara politisi sipil dan militer aktif untuk tujuan kemenangan dirinya (rule) selaku pihak ketiga. Memang harus diakui bahwa di tataran potensi, ancaman peran politik yang curang ini ada, sekalipun sebenarnya tidak mudah bagi pihak ketiga (purnawirawan TNI) untuk mengambil manfaat dari konflik yang dengan sengaja diciptakannya di antara kedua belah pihak (politisi sipil dan militer aktif). Justru bila terjadi konflik hingga taraf yang tajam di antara kedua belah pihak, malah akan muncul gugatan terhadap efektivitas peran politik pihak ketiga. Hal ini pada akhirnya tentu menjadi beban politik pihak ketiga. Apa pun kemungkinan yang dapat muncul, antisipasi mencegah terjadinya ”penyalahgunaan” militer aktif oleh politisi purnawirawan TNI telah dilakukan dengan dikeluarkannya Surat Telegram (ST) Nomor: ST/175/2012. Dalam relasi sipil–militer politisi purnawirawan TNI rawan mengalami konflik pada ranah yang menyeret kepentingan dan sumber daya militer untuk kepentingan partai politik. Sebagaimana telah disampaikan di atas, keluarnya Surat Telegram (ST) Nomor: ST/175/2012 tersebut mengindikasikan adanya kekhawatiran ini. DaM A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
220 |
ARIE S. SOESILO
lam upaya pemenangan pemilu ada kecenderungan untuk menggunakan segala sumber daya yang dimiliki dalam jaringan, termasuk jaringan politisi purnawirawan TNI yang masih kental di militer. Sekalipun masing-masing pihak menjaga relasinya agar berada dalam batas-batas yang sesuai aturan, namun potensi konflik kepentingan ini ada. Sistem kepartaian di Indonesia yang masih lemah membuat kebutuhan akan sumber daya eksternal seperti ini sangat tinggi. Lemahnya sistem kepartaian ini akan selalu mengancam terseretnya sumber daya militer aktif. Kunci persoalan ini tidak berada dalam reformasi TNI ataupun pihak militer aktif. Kunci persoalan ini justru berada pada pematangan sistem kepartaian di Indonesia. Bila infrastruktur kepartaian menjadi lebih matang atau terinstitusionalisasi dengan baik, kebutuhan parpol untuk menyeret militer aktif dapat dihilangkan. Masuknya purnawirawan TNI ke dalam partai politik memberikan kontribusi pada pengelolaan sistem kepartaian. Purnawirawan TNI yang pada masa aktifnya merupakan perwira senior biasanya ditempatkan pada jabatan yang strategis dalam struktur kepengurusan partai. Purnawirawan TNI tersebut biasanya menjalankan manajemen organisasi partai. Bahkan sebagian partai ketik mengalami konflik internal menggunakan purnawirawan TNI untuk konsolidasi internal. Masuknya purnawirawan TNI yang tidak maksimal kontribusinya, kemungkinan dikarenakan beban kerja yang diberikan hanya berjangka pendek, yaitu hanya untuk tujuan pemenangan pemilu. Masuknya purnawirawan TNI dalam politik sebenarnya dapat dilihat dalam dua arena, yakni arena politik riil, politik praktis, atau rutinitas politik (real politics) dan arena panggung politik atau politik pencitraan (theater politics). Peran dalam politik riil, misalnya purnawirawan TNI yang menduduki posisi sebagai anggota DPR turut aktif melakukan fungsi legislasi membuat undang-undang, melakukan pengawasan anggaran (budget control) terhadap pemerintah, melaksanakan pengawasan implementasi kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Dari segi konsolidasi demokrasi, peran politisi purnawirawan TNI positif karena tidak memosisikan diri sebagai representasi institusi militer/TNI dalam kegiatan politiknya, sesuatu yang ditabukan dalam praktik politik demokrasi. Terkait hal ini, politik teater atau pencitraan dapat bermakna positif bagi konsolidasi demokrasi karena membangun pula kondisi ”win-win”, baik di pihak militer maupun M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 2 21
non militer (politik, politisi sipil). Peran politisi purnawirawan TNI sendiri dapat dibedakan antara lain sebagai pendiri atau perintis (founder), implementator atau pengembang (builder), dan pelaksana atau pemain (player-operator). Pada studi ini, informan kunci TH, misalnya, dapat dikategorikan sebagai pelaksana atau pemain, yang secara cakap dan konstruktif berperan bagi citra PDIP dan purnawirawan yang berpolitik melalui statusnya sebagai anggota DPR. W dapat dikategorikan sebagai pendiri atau perintis, yang sekaligus mengembangkan Partai Hanura. Kategori ini berlaku juga untuk SBY dengan Partai Demokrat dan PS dengan Partai Gerindra. TE dapat dikategorikan sebagai implementator atau pengembang yang atas kepercayaan SP ditugasi meneruskan pengembangan Partai NasDem di Jawa Timur. Akan tetapi, peran purnawirawan TNI yang terjun ke partai politik tidak hanya dilihat sebagai pencitraan untuk menarik simpati pemilik hak suara. Lebih penting dari itu adalah apakah keterlibatan mereka dalam partai politik cenderung mengarah pada sisi positif proses demokrasi dan konsolidasi demokrasi, atau sebaliknya, dekonsolidasi demokrasi? Hal ini mengingat keterlibatan TNI dalam politik, terutama selama berlakunya Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, dinilai cenderung mengarah ke dekonsolidasi demokrasi, memudarkan berlangsungnya proses demokrasi di pemerintahan, karena digunakan untuk mengukuhkan posisi pemimpin pemerintahan pada masa itu. Dari hasil temuan lapangan, masuknya purnawirawan TNI ke dalam politik dinilai memengaruhi terjadinya konsolidasi demokrasi di Indonesia, terutama dalam kinerja mereka, yakni praktik-praktik yang mencerminkan pola relasi sipil–militer. Konsolidasi demokrasi diartikan oleh Diamond (2003) sebagai pembiasaan norma-norma, prosedur-prosedur, dan harapan-harapan tentang demokrasi ke dalam perilaku aktor-aktor politik. Hal ini nampak dari banyaknya partai politik yang melakukan rekrutmen terhadap para purnawirawan TNI. Para purnawirawan TNI juga dapat dijadikan alat perekrut massa bagi partai politik dengan strategi yang mereka miliki, untuk tujuan memperkuat sistem kepartaian di mana ia berada. Contoh lain yang menunjukkan bahwa purnawirawan TNI melakukan proses konsolidasi demokrasi dalam relasi sipil–militer dapat dilihat dari kinerja TH ketika berada di Komisi I DPR RI. Respons TH menanggapi usulan pembelian alutsista oleh TNI berproses secara demokratis. Ia tidak langsung setuju atau menolak usulan tersebut, M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
222 |
ARIE S. SOESILO
namun menjalani terlebih dahulu proses lobi atau negosiasi yang merupakan indikasi terjadinya demokrasi hingga pada keputusan untuk melaksanakan pembelian alutsista tersebut. Hal ini juga memperlihatkan bahwa dekonsolidasi demokrasi (konsolidasi kekuatan anti-demokrasi menuju menurunnya kualitas demokrasi) akibat masuknya purnawirawan TNI ke partai politik tidak terjadi. Temuan hasil penelitian memperlihatkan bahwa disloyalitas maupun semiloyalitas tidak terjadi atau tidak dilakukan oleh purnawirawan TNI yang masuk ke dalam partai politik. Mereka memiliki loyalitas yang tinggi terhadap partainya. Loyalitas, organisasi, dan kedisiplinan anggota DPR yang berasal dari militer (purnawirawan TNI) lebih baik daripada sipil. Anggota partai yang berlatar belakang purnawirawan TNI menjaga disiplin organisasi partai, salah satunya dengan tidak berbicara secara sembarangan tentang partainya. Kendati demikian, temuan lapangan yang menggambarkan konsolidasi demokrasi hanya sampai pada level indikator saja. Indikator konsolidasi demokrasi tersebut bisa berlaku pada tingkat—sebagaimana yang disampaikan Markoff dengan mengutip Linz dan Stepan (1996)—behavioral, attitudinal, atau constitutional. Secara singkat, indikator behavioral merujuk pada perilaku purnawirawan TNI yang mengikuti prosedur demokrasi. Indikator attitudinal merujuk pada sikap purnawirawan TNI yang mendorong atau mengarah pada penerapan demokrasi dalam kinerja politiknya. Adapun indikator constitusional merujuk pada paham politik purnawirawan TNI yang merupakan politik negara, yang berorientasi pada penegakan konstitusi UUD 1945, NKRI, dan Pancasila. Misalnya, meskipun W tidak anti terhadap amandemen konstitusi, namun dia tetap menegaskan bahwa amandemen harus dilakukan oleh orang yang ahli di bidang tersebut agar amandemen konstitusi tidak menyimpang dari tujuan utama NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Politik negara politisi purnawirawan TNI yang berorientasi pada konstitusi juga merupakan langkah positif menguatkan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Juan Linz, Alfred Stephan, dan Larry Diamond menyatakan perlunya setiap komponen kebangsaan mematuhi konstitusi untuk mewujudkan demokrasi yang terkonsolidasi (Manan, 27 Desember 2012). Pada konteks ini terasa sekali arah masuknya purnawirawan TNI menjadi politisi tidak mengancam prospek konsolidasi demokrasi Indonesia. Malah bisa jadi politisi purnawirawan TNI menjadi penjaga dan motor konsolidasi M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 223
demokrasi, terutama karena politisi purnawirawan TNI menganut politik negara yang memegang teguh NKRI, Pancasila, dan konstitusi (UUD 1945) dengan salah satu implementasinya adalah upaya untuk menegakkan konstitusi sebagai the only game in town. K E S I M PU L A N
Kinerja politisi purnawirawan TNI menunjukkan dinamika yang mengindikasikan mereka tidak menjadi representasi dari kepentingan militer. Purnawirawan TNI yang berada dalam satu partai tidak sejalan dengan purnawirawan TNI yang berada dalam partai lain. Bahkan dalam organisasi purnawirawan TNI, ada variasi pandangan dan sikap terhadap pemerintah. Purnawirawan TNI yang tergabung dalam tim kampanye pun secara fair bersaing dengan sesama purnawirawan untuk memenangkan calonnya. Bahkan media menjuluki hal ini dengan terminologi “perang bintang”, untuk menunjukkan serunya kontestasi antar-purnawirawan Jenderal/Laksamana/Marsekal. Untuk mendorong disetujuinya anggaran militer maupun perundangundangan juga diperlukan lobi yang intensif dari militer aktif kepada politisi purnawirawan TNI. Hal ini menunjukkan masih berjalannya prosedur demokrasi. Terkait dengan pendekatan teori yang digunakan, penelitian ini menyimpulkan bahwa sumbangsih terbesar ANT adalah memasukan aktor non manusia (non-human actant) dalam relasi sosial. Pada penelitian ini, relasi aktor non manusia banyak membantu menjelaskan terbentuknya relasi sipil–militer. Aktor non manusia juga membantu penelitian ini dalam menjelaskan terbentuknya formasi kelompok purnawirawan TNI yang masuk politik. Dengan adanya pendekatan ANT, penjelasan ilmu sosial tidak lagi ditelusuri dari pemahaman aktor mengenai tindakannya sendiri, namun ditelusuri dari aktoraktor lain yang menyebabkan tindakan tersebut. Kondisi ini akan menjadikan pengetahuan yang dikumpulkan lebih objektif karena tidak didasarkan pada pemahaman dari satu individu mengenai dirinya sendiri, melainkan lebih kepada apa/siapa menyebabkan apa/ siapa melakukan apa. Penelitian ini menyimpulkan pula, pendekatan ANT dalam studi relasi sipil–militer juga menyumbangkan pemahaman bahwa karakter relasi sipil–militer itu tidak tunggal. Formasi kelompok, dalam hal ini purnawirawan TNI yang berpolitik maupun kelompok relasi M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
224 |
ARIE S. SOESILO
sipil–militer, secara konstan dibentuk dan dibentuk ulang (constantly made and remade). Bisa jadi setelah lima tahun, karakteristik relasi sipil–militer Indonesia berubah seiring perubahan komposisi dan relasi antar aktor yang berada di dalamnya. Konfigurasi purnawirawan TNI yang masuk politik juga bisa berubah, misalnya seiring banyaknya purnawirawan TNI yang tidak pernah mengalami masa Dwifungsi ABRI memasuki kancah politik. DA F TA R PU S TA K A
Adejumobi, Said. 1999. “Demilitarization and the Search for Democratic Stability in Nigeria.” Assesment Paper. Nigeria: United Nations of Public Administration. Alagappa, Muthiah, ed. 2001. Coercion and Governance: The Declining Political Role of the Military in Asia. Palo Alto: Stanford University Press. Alagappa, Muthiah. 2001. Military Professionalism in Asia: Conceptual and Empirical Perspectives. Honolulu: East-West Center. Mengawali Integrasi, Mengusung Reformasi: Pengabdian Alumni AKABRI Pertama 1970. 20012. Jakarta: Penerbit Kata Hasta Pustaka. Anwar, Dewi Fortuna. 2001. “Negotiating and Consolidating Democratic Civilian Control of the Indonesian Military.” EastWest Center Occasional Papers: Politics and Security Series. Hawaii: East-West Center. Aspinall, Edward dan Gerry van Klinken. 2011. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press. Bakhshaie, Amir. 2008. “Testing an Actor Network Theory Model of Innovation Adoption with Econometric Methods.” Tesis di Faculty of the Virginia Polytechnic and State University. Basyar, Hamdan M. 2005. Hubungan Sipil dan Militer Era Megawati. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Becker, William R. 2001. Retired Generals and Partisan Politics: Is A Time Out Required? Strategy Research Project. Pennsylvania: US Army War College, Carlisle Barracks. Bell, Sarah. 2003. “Researching Sustainability: Material Semiotic and the Oil Mallee Project.” Tesis Ph.D di Institute for Sustainability and Technology Policy, Murdoch University. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 2 25
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia. Caforio, Guiseppe, ed. 2006. Handbook of the Sociology of the Military. Springer. Castells, Manuel. 2009. Communication Power. New York: Oxford University Press Inc. Chuter, David. 2009. “Civil-Military Relations: Is There Really A Problem?” Journal of Security Sector Management 7(2). Shrivenham, UK: Cranfield Security Sector Management Team, Cranfield University. Ciccarelli, S. K. dan G. E. Meyer. 2006. Psychology. New Jersey: Pearson Education, Inc. Clegg, Stewart R. 1997. Frameworks of Power. London: Sage Publications Ltd. Corbett, Steve dan Michael J. Davidson. 2010. “The Role of the Military in Presidential Politics.” Journal Parameter US Army War College Quarterly 39(4) (Winter 2009-2010). Pennsylvania: Carlisle Barracks. Cordela, Antonio dan Maha Shaikh. 2006. From Epistemology to Ontology: Challenging the Constructed “Truth” of ANT. UK: Department of Information Systems at London School of Economic and Political Science. Coser, Lewis dan Bernard Rosenberg. 1976. Sociological Theory, 4th Edition. New York, London: Collier MacMillan International Edition. Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, 1st Edition. California: SAGE Publications. Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches, 2nd Edition. California: SAGE Publications. Cronholm, Stefan dan Goran Goldkuhl. 2010. “Adding Theoretical Grounding to Grounded Theory: Toward Multi-Grounded Theory.” International Journal of Qualitative Methods: 187-205. International Institute for Qualitative Methodology University of Alberta. Crouch, Harold. 2007. The Army and Politics in Indonesia. Singapore: Equinox Publishing PTE LTD. Flyvbjerg, Bent. 2001. Making Social Science Matter: Why Social Inquiry Fails and How It Can Succeed Again. Cambridge, UK: Cambridge University Press. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
226 |
ARIE S. SOESILO
Geertz, Clifford. 1980. Negara: The Theatre State in NineteenthCentury Bali. Princeton, NJ: Princeton University Press. Harman, Graham. 2009. Prince of Network: Bruno Latour and Metaphysics Anamnesis. Australia: re.press. Hisyam, Usamah. 2004. SBY Sang Demokrat. Jakarta: Dharmapena Publishing. Huntington, Samuel P. 1957. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press. Janowitz, Morris. 1960. The Professional Soldier: A Social and Political Portrait. New York: The Free Press. Jenkins, David. 2010. Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983, Edisi Terjemahan. Jakarta: Komunitas Bambu. Kingsbury, Damien. 2003. Power Politics and the Indonesian Military. London: Routledge Curzon. Khondaker, M. Rahman. 2008. Amakudari of Civil Servants in Japan: An Examination of the Vicesand Vietues and Postulatioan of Reforms. Nanzan University. Kurikulum Pendidikan Perwira Siswa Seskoad. 2009. Bandung: Markas Besar Angkatan Darat, Seskoad. Laksmana, Evan A. 2008. “Post-Soeharto Indonesia: Can a Military Coup Happen?” RSIS Commentaries/Brief Paper. Singapore: R. Rajaratnam School of International Studies. Latour, Bruno. 2005. Reassembling the Social: An Introduction to Actor Network Theory. New York: Oxford University Press Inc. ------. 2010. “Networks, Societies, and Spheres: Reflections of an Actor Network Theorist.” A Keynote Speech for the International Seminar on Network Theory: Network Multidimensionality in the Digital Age. LA: Annenberg School for Communication and Journalism. Law, John. 2009. “Actor Network Theory and Material Semiotic.” The New Blackwell Companion to Social Theory, disunting oleh Bryan S. Turner. West Sussex: The Blackwell Publishing Ltd. Mahroza, Jonni. 2010. A Local Perspective on Military Withdrawal from Politics in Indonesia: East Java 1998-2003. Koln, Germany: Lambert Academic Publihsing. Materi Pendidikan Peserta Program Pendidikan Reguler. 2009. Jakarta: LEMHANNAS RI. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 227
Markoff, John. 2005. “Transitions to Democracy.” The Handbook of Political Sociology: States, Civil societies, and Globalization, disunting oleh Janoski, Alford, Hicks, dan Schwartz. New York: Cambridge University Press. May, R. J. dan Viberto Selochan, ed. 2004. The Military and Democracy in Asia and the Pasific. Canberra: ANU E Press. Mietzner, Marcus. 2009. Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation, 1st Edition. Singapore: ISEAS Publications. Mizan, Saiful. 2010. “Keterlibatan Purnawirawan TNI dalam Partai Politik pada Masa Reformasi: Studi pada Pemilu 2004 dan 2009.” Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Moskos, Charles C. 1977. “From Institution to Occupation: Trends in Military Organisation.” Armed Forces and Society 4(1) (November 1977): 41-50. Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 6th Edition. Boston: Pearson. Nugroho, Indra Prasetyo A. 2007. “Eksistensi Militer sebagai Aktor dalam Politik Nasional di Indonesia Pasca Reformasi 1999: Studi atas Diaspora Purnawirawan dalam Partai Politik Pasca Reformasi 1998.” Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL, UGM, Yogyakarta. Orum, Anthony M. 1989. Introduction to Political Sociology: The Social Anatomy of the Body Politic, 3rd Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Papalia, D. E., S. W. Olds, dan R. D. Feldman. 2009. Human Development, 11th Edition. New York: McGraw-Hill. Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/4/II/2009. 2009. Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/45/VI/2010. 2010. Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Peric, Boyana. 2008. “Latour and Social Constructivism: Problems in Taking ‘One More Turn After the Social Turn’.” Tesis untuk Program Master di University of Guelp, Canada.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
228 |
ARIE S. SOESILO
Purdijatno, Tedjo Edy. 2010. Mengawal Perbatasan Negara Maritim. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Rabasa, Angel dan John Haseman. 2002. The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics and Power. Pittsburgh: RAND. Rachmadianti. 2006. “Partisipasi Purnawirawan TNI dalam Partai Politik.” Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Modern Sociological Theory, 6th Edition. McGraw-Hill. Ritzer, George. 1992. Modern Sociological Theory, 3rd Edition. Singapore: McGraw-Hill. Rukavishnikov, Vladimir O. dan Michael Plugh. 2006. “Civil-Military Relations.” Handbook of the Sociology of the Military, disunting oleh Giuseppe Caforio. New York: Springer. Said, Salim. 2006. Legitimizing Military Rule: Indonesian Armed Forces Ideology, 1958-2000, English Edition First Published. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ------. 2006. Soeharto’s Armed Forces: Problem of Civil-Military Relations in Indonesia, English Edition First Published. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Schiff, Rebecca L. 2009. The Military and Domestic Politics: A Concordance Theory of Civil-Military Relations. New York: Routledge. Sebastian, Leonard C. dan Iis Gindarsah. 2011. “Assessing 12-year Military Reform in Indonesia: Major Strategic Gaps for the Next Stage of Reform.” RSIS Working Paper No. 227. Singapore: R. Rajaratnam School of International Studies. Sendi-Sendi Perjuangan TNI-AD. 1982. Markas Besar Angkatan Darat, Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat. Singh, Bilveer. 2001. “Civil-Military Relation in Democratizing Indonesia: The Potentials and Limits to Change.” Canberra Papers on Strategy and Defence No. 141. ------. 1995. Dwifungsi ABRI. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Situmorang, Abdul Wahab. 2007. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Jakarta: Pustaka Pelajar. Soebijono dkk. 1995. Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
J A R I NG A N PU R N AW I R AWA N
| 2 29
Soempeno, Femi Adi. 2009. Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana. Jakarta: Galang Press. Soeparno, J. M. V. dkk. 2009. Saleh Basarah: Perjalanan Hidup dan Pengabdianku. Jakarta: PT Penerbitan Sarana Bobo. Suzuki, Kenji, 2004. “The Changing Pattern of Amakudari Appointments: The Case of Regional Banks 1991-2000.” EIJS Working Paper Series 187. The European Institute of Japanese Studies. Syahnakri, Kiki. 2008. Aku Hanya Tentara: Catatan Militer, Kepemimpinan dan Kebangsaan, Edisi Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Tan, Paige Johnson. 2006. “Indonesia Seven Years After Soeharto: Party System Institutinalization in A New Democracy.” Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs 28(1). Thabita, Carolina. 2006. “Purnawirawan TNI/POLRI dan Pilkada: Studi Evaluasi Kecenderungan Perilaku Pemilih Purnawirawan TNI/POLRI Pasca Reformasi Internal ABRI dalam Pilkada Kota Bandar Lampung 2005.” Tesis Magister Sains pada Program Pacasarjana Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Turner, Jonathan H. dan Leonard Beeghley. 1981. The Emergence of Sociological Theory. Homewood, Illionis: The Dorsey Press. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No. 20 Tahun 1982 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:195 -229
Winichakul, Thongchai. 2008. “Toppling Democracy.” Journal of Contemporary Asia 38 (1) (Februari 2008). Wiranto. 2003. Dari Catatan Wiranto: Bersaksi di Tengah Badai, Cetakan Pertama. Jakarta: Ide Indonesia. Yoda, Yukiko. 2006. “The Changing Nature of Amakudari.” Proceedings of The National Conference on Undergraduate Research (NCUR). The University of North Carolina. Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil–Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.