Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489
Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat Penulis: Ahmad Yani Basuki Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 135-166 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI
Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email:
[email protected];
[email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm
Untuk mengutip artikel ini: Basuki, Ahmad Yani. 2014. “Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 135-166.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat A h m a d Ya n i B a s u k i Staf Khusus Presiden RI Bidang Publikasi dan Dokumentasi Email:
[email protected]
Abstrak Sebagai sebuah proses mundurnya militer dari politik, reformasi internal TNI memiliki kekhasan tersendiri, baik dalam hal pola maupun profesionalitasnya. Dalam tulisan ini, proses yang dialami TNI tersebut ditelaah menggunakan gagasan Talukder Maniruzzaman mengenai mundurnya militer dari politik, serta gagasan Robert K. Merton dan Talcott Parsons mengenai analisis fungsional. Penelitiannya sendiri dilakukan dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa reformasi TNI terjadi secara gradual, bertingkat, dan berlanjut. Reformasi TNI juga dapat dikategorikan sebagai mundurnya militer dari politik secara profesional—dilaksanakan secara tidak mendadak dan tidak tergesa-gesa, didahului pemikiran-pemikiran reformis, serta dilandasi kesadaran akan perlunya koreksi terhadap peran TNI dalam politik negara di masa lalu. Yang membedakannya dari pengalaman militer lain di berbagai negara, proses ini tidak terkait dengan dilangsungkannya pemilihan umum terlebih dahulu, serta tidak disertai penyerahan kekuasaan sipil sementara, revolusi sosial, pemberontakan massal, maupun invasi atau intervensi asing. Bersamaan dengan reformasi tersebut, terjadi pula refungsionalisasi, yakni penataan kembali secara tepat posisi dan peran TNI dalam tatanan kehidupan nasional yang demokratis, sehingga dapat menjadi fungsional bersama fungsi-fungsi atau komponen-komponen bangsa lainnya. Abstract As a process of military withdrawal from politics, the internal reform of The Indonesian National Defense Forces (Tentara Nasional Indonesia/TNI) has specific characters in its pattern as well as in its professionality. In this paper, Talukder Maniruzzaman’s concept of military withdrawal from politics and Robert K. Merton’s and Talcott Parsons’ functional analysis were laboured to inquire that process experienced by TNI. That inquiry used the combination of quantitative and qualitative methods. The result shows that TNI reform is a gradual, hierarchical and sustainable process. TNI reform can also categorized as professional military withdrawal from politics—a process which is not going suddenly nor hastily, with reformist considerations beforehand, and is based on an awareness about a need to correct TNI’s role in the past state politics. What makes it different from other countries’ military’s experiences is that this process had no immediate relationship to foregone general election, and were going without transfer of power to temporary civil government, social revolution, mass rebellion, or foreign invasion and intervention. Simultaneous with that reform is a process of refunctionalization, that is to say correctly reorder TNI’s position and role in the democratic order of national life, so TNI able to be functional simultaneously with other national functions or components. Keywords: the internal reform of TNI, military withdrawal from politics, refunctionalization.
13 6 |
AHMAD YANI BASUKI
PE N DA H U L UA N
Reformasi TNI yang bergulir sejak tahun 1998 berkaitan erat dengan perubahan konfigurasi masyarakat, baik di tingkat nasional maupun global. Di tingkat nasional, perubahan ini ditandai dengan semakin bebasnya masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan gagasan dan pikiran mereka seiring meredupnya era Orde Baru dan mencuatnya era Reformasi. Dalam konteks sosiologis, substansi dari reformasi TNI adalah redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi fungsi dan peran TNI dalam masyarakat, yang pada masa lalu dinilai disfungsional oleh sebagian pemangku kepentingan. Salah satu tuntutan terkait reformasi TNI adalah dihapuskannya Dwifungsi ABRI. Dengan demikian, reformasi internal TNI dapat dipahami sebagai proses memosisikan diri secara tepat dalam sistem sosial yang ada—proses ini dapat disebut sebagai adaptasi (Parsons 1966) maupun refungsionalisasi (Merton 1967). Kendati demikian, karena reformasi TNI tidak berlangsung dalam sistem sosial yang hampa (invacuum social system), tentu ada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari interaksi sosial yang berlangsung dalam proses dan progresnya. Permasalahan inilah yang menjadi fokus kajian dari tulisan ini. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pembahasan dalam tulisan ini akan mencakup penjelasan mengenai proses dan progres reformasi internal TNI yang telah berlangsung kurang lebih 9 tahun (1998-2007); pandangan internal–eksternal TNI dan pandangan media tentang reformasi TNI; pola dan profesionalitas reformasi TNI sebagai sebuah kasus mundurnya militer dari politik (military withdrawal from politics). Pada akhirnya, pembahasan tersebut akan mengarahkan kita pada refleksi tentang apakah setelah 9 tahun melaksanakan reformasi internal, posisi TNI sudah lebih fungsional dalam tatanan kehidupan nasional bangsa Indonesia? Dalam membahas fokus penelitian dan permasalahan di atas, tulisan ini mengaplikasikan kategorisasi yang dirumuskan oleh Talukder Maniruzzaman mengenai mundurnya militer dari politik, baik berdasarkan pola maupun profesionalitasnya. Perangkat analisis tersebut kemudian dilengkapi dengan analisis fungsional dari Talcott Parsons dan Robert K. Merton. Penulis berargumen, reformasi internal TNI merupakan kasus mundurnya militer dari politik yang memiliki kekhasan tersendiri, dan sejauh ini cukup berhasil menjadikan TNI lebih fungsional. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 137
M E T O DE PE N E L I T I A N
Penelitian ini dirancang dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif (Susan Stainback. 1988; Sugiyono. 2006). Daerah yang menjadi latar penelitian meliputi dua belas kota di Indonesia di mana terdapat Komando Daerah Militer (Kodam). Secara khusus Kodam Jaya di Jakarta ditempatkan sebagai latar utama penelitian. Responden, informan, dan peserta FGD dipilih dengan metode purposive sampling. Adapun sampel media dipilih dengan metode random sampling. A N A L I S I S F U N G S I O N A L M U N DU R N Y A M I L I T E R DA L A M P O L I T I K
Tidak sedikit negara merdeka di seluruh dunia yang berada di bawah pemerintahan militer. Banyak negara baru yang lahir dari era kolonisasi dipimpin oleh pemerintahan militer pada akhir 1950-an dan 1960-an. Kendati demikian, berdasarkan penelitiannya, Manniruzzaman (1998) menyatakan bahwa rezim militer tampaknya tidak mampu mengembangkan pembangunan sosio-ekonomi di negara masing-masing, meski mereka senantiasa mengklaim kebalikannya. Rezim-rezim militer memiliki kecenderungan menghalangi para politisi sipil dari kesempatan untuk memperoleh keterampilan politik sehingga mengekalkan rantai keterbelakangan politik. Akhirnya perluasan peran militer menciptakan kerapuhan keamanan, baik secara internal maupun eksternal (Maniruzzaman 1998:20). Dalam kondisi demikian, lantas muncullah upaya-upaya untuk menarik dan menempatkan kembali secara tepat peran militer dalam kehidupan negara demokratis (military withdrawal from politics), yang dalam konteks Indonesia dilakukan melalui reformasi internal TNI. Berdasarkan polanya, Maniruzzaman (1998: 31-33) mengklasifikasikan proses mundurnya militer dari politik menjadi lima: (i) kembali ke barak secara terjadwal dan terencana segera setelah dilangsungkan pemilihan umum; (ii) kembali ke barak secara mendadak setelah menyerahkan kekuasaan pada pemerintah sipil sementara; (iii) kembali ke barak lewat revolusi sosial; (iv) kembali ke barak lewat pemberontakan massal; (v) kembali ke barak karena invasi atau intervensi negara asing. Adapun berdasarkan profesionalitasnya, Maniruzzaman (1998) membedakan antara (i) mundur secara profesional dan (ii) M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
13 8 |
AHMAD YANI BASUKI
mundur secara tidak profesional. Tentara profesional keluar dari dunia politik secara terencana dan penuh pertimbangan. Adapun tentara yang tidak profesional mundur dari politik secara mendadak dan tibatiba; biasanya beberapa kali terlibat dalam intervensi dan kembali ke barak hanya untuk menunda prospek demiliterisasi politik dalam jangka panjang. Proses mundurnya militer dari politik kerap kali tak terpisahkan dari fungsionalisasi atau refungsionalisasi peran militer. Oleh karena itu, gagasan fungsionalis dapat membantu memahami proses tersebut dengan lebih komprehensif. Dalam perspektif fungsionalis suatu masyarakat dilihat sebagai jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Dalam perspektif fungsionalis Talcott Parsons (1937) dan Robert Merton (1967) setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu secara terusmenerus karena hal itu fungsional. Kendati demikian, suatu nilai atau tindakan yang fungsional pada waktu atau tempat tertentu dapat saja menjadi disfungsional pada waktu atau tempat yang berbeda. Untuk memperjelas gagasan di atas Merton mengembangkan gagasannya mengenai fungsi, disfungsi, dan nonfungsi. Suatu struktur atau institusi dikatakan disfungsional jika menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial. Adapun nonfungsi dapat didefinisikan sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan. Sejalan dengan konsep-konsep tersebut, Merton mengembangkan konsep “keseimbangan bersih” (net balance)—jika agregat konsekuensi-konsekuensi dari struktur sosial yang ada jelas-jelas disfungsional, maka akan muncul tekanan yang kuat untuk perubahan (Merton 1967:94). Dengan memperhatikan fungsi dan disfungsi, analisis fungsional tidak hanya dapat mengidentifikasikan dasar-dasar stabilitas sosial, tetapi juga sumber-sumber potensial terjadinya perubahan. PRO G R E S DA N KO N S E K U E N S I R EFOR M A SI I N T ER NA L T N I
Masuknya TNI sebagai kekuatan sosial politik tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahir dan tumbuhnya TNI dalam perjuangan bangsa M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 139
Indonesia. TNI lahir bersama-sama dengan meletusnya revolusi rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa ia lahir dari rakyat yang berjuang—ia lahir dan tumbuh dalam alam perjuangan untuk merebut kembali, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Beranjak dari sejarah kelahiran dan pertumbuhannya, wajar jika TNI sebagai komponen bangsa juga merasa berhak dan wajib ikut menentukan haluan negara dan jalannya pemerintahan. Pemikiran inilah yang pada awalnya mendasari Dwifungsi ABRI/TNI, yakni sebagai kekuatan militer (pertahanan dan keamanan) yang merupakan alat negara, sekaligus kekuatan sosial politik yang merupakan alat perjuangan rakyat. Tumbuh, berkembang, dan eksisnya Dwifungsi ABRI/TNI bukan saja dikarenakan faktor historis semata, tetapi juga karena didukung oleh tuntutan kondisional bangsa sehingga diperkuat pula dengan landasan-landasan konstitusional. Yang patut dicatat, masuknya ABRI/ TNI dalam politik pada umumnya didasari oleh kondisi sistem sosial yang cenderung mengalami disfungsi, bahkan malfungsi. Dalam kondisi demikian, ABRI/TNI kemudian terlibat dalam kehidupan sosial politik dengan fungsi ekstranya. Kronologi masuk dan keluarnya ABRI/TNI dalam fungsi sosial politik dapat digambarkan sebagai berikut (lihat Nugroho N. 1984; Crouch 1985; Sundhausen 1986; Britton 1996; Subiyono dkk. 1997; Bilver Singh 1999; Pusjarah TNI I s/d IV 2000; Muhaimin 2002; Said 2002; Fattah 2005): Tabel 1. Masuk dan Keluarnya TNI dalam/dari Politik Pada masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
Pada masa Demokrasi Liberal 19501959
Kondisi yang ada • Agresi Belanda II melumpuhkan pemerintah sipil dan perjuangan diplomasi. • Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Perdana Menteri ditahan. NKRI terancam eksistensinya.
Pelibatan TNI • TNI terus berjuang dengan senjata/militer “Met of Zonder Pemerintah”. • TNI melaksanakan “pemerintahan militer” untuk menyelamatkan pemerintah sipil yang disfungsi dan eksistensi NKRI. • Lembaga legislatif dominan tetapi • TNI keluarkan Konsep Jalan prestasi lemah. Tengah. • Pemilu 1955 yang demokratis belum • TNI masuk menjadi anggota juga melahirkan pemerintahan yang Kabinet dan Dewan Nasional/ kuat dan politik yang stabil. Penasehat Kabinet sebagai golongan • Terjadi pertikaian antarparpol, fungsional. korupsi menjadi-jadi, • Tentara terlibat dalam pusat penyalahgunaan wewenang, dan kekuasaan/politik. ekonomi buruk. • TNI hadapi pemberontakan. • Ada pemberontakan DI/TII.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
14 0 |
AHMAD YANI BASUKI
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965
Kondisi yang ada • Kembali ke UUD 1945. • PKI berupaya untuk “Nasakomisasi” tentara dan pemerintah. • PKI berhasil menggandeng Presiden Soekarno. • Pancasila dalam ancaman komunis/PKI.
Pada masa Orde • Bangsa perlu percepatan Baru 1966-1997 pembangunan. • Perlu dukungan stabilitas. Era Reformasi 1998 seterusnya
• Muncul badai krisis. • Dwifungsi ABRI dinilai eksesif/ disfungsi. • Ada tuntutan cabut Dwifungsi ABRI. • Tuntutan supremasi sipil.
Pelibatan TNI • Sepertiga menteriya perwira militer. • TNI masuk menjadi anggota DPRGR dan MPRS. • Tiga Ka-Staf Angkatan anggota Kabinet ex officio. • Untuk hadapi PKI, TNI konsolidasikan organisasi fungsional dalam Sekbergolkar. • TNI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan. • TNI menjadi cenderung dominan. • Mulai ada koreksi dari internal TNI. • TNI koreksi diri laksanakan reformasi internal. • Tinggalkan Dwifungsi/fungsi sospol. • Dukung pemberdayaan fungsi lain, dorong supremasi sipil. • TNI lakukan tugas berdasarkan keputusan politik negara. • Bangun jati diri sebagai tentara profesional.
(Diolah dari berbagai dokumen, buku sejarah, dan tulisan tentang ABRI/TNI)
Perjalanan TNI sebagaimana tergambar pada tabel di atas memperlihatkan kekhasan TNI yang membedakannya dengan militer negara-negara lain dalam hal masuk dan keluarnya mereka ke dan dari dunia politik. Hal ini terutama dikarenakan oleh sikap “kejuangan” dan “kepedulian” TNI yang memengaruhi dan mewarnai kiprahnya dalam sistem sosial yang ada. Pada masa perang kemerdekaan, TNI rela berjuang tanpa pamrih dan ambil peran setiap kali bangsa Indonesia menghadapi ancaman. Pada masa kontemporer, TNI pun peduli terhadap tuntutan yang ada untuk membangun jati dirinya sebagai tentara profesional dengan legawa melepas dwifungsinya. Dalam paradigma baru, TNI dipandang sebagai bagian dari sistem nasional, sehingga secara substansial terjadi perubahan berupa lepasnya dominasi TNI dengan disertai pemberdayaan kelembagaan fungsional lainnya. Menurut paradigma baru ini, semua tindakan TNI senantiasa (i) harus dalam kerangka pelaksanaan tugas negara; (ii) dalam rangka pemberdayaan kelembagaan fungsional; (iii) harus berdasarkan kesepakatan bangsa melalui mekanisme institusional yang ada; (iv) ditempatkan dan menempatkan diri sebagai bagian dari sis-
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 141
tem nasional; (v) ditetapkan melalui ketetapan-ketetapan yang diatur secara konstitusional. Adapun implementasi reformasi internal TNI telah dilaksanakan dan dikembangkan secara gradual dan berlanjut sejak 1998. Progres dari implementasi tersebut, hingga awal tahun 2007, dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2. Progres Reformasi Internal TNI Tahun 1998–2007 No Tahun 1. 1998 2.
1998
3.
1998
4. 5.
1998 1999
6.
1999
7.
1999
8.
1999
9. 1999 10. 1999 11. 1999 12. 1999 13. 1999 14. 1999 15. 2000 s/d 2001 16. 2000
Progres Perubahan Perumusan sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran ABRI abad ke-21.
Keterangan paradigma baru (kultur/ perilaku) Penyempurnaan organisasi Staf Umum (Sum) ABRI dan struktur, Staf Sosial Politik (Sospol) ABRI. Kepala Staf Sosial Politik transisi ABRI (Kas Sospol ABRI) menjadi Kepala Staf Teritorial (final tahun ABRI (Kaster ABRI). 2005) Likuidasi Syawan ABRI, Kamtibmas ABRI, dan Babinkar struktur, final ABRI. Penghapusan Wansospolpus dan Wansospolda Tk-I. struktur, final Perumusan sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru paradigma baru peran sospol ABRI. (kultur/ perilaku), final Paradigma baru hubungan ABRI/TNI dan Keluarga kultur/perilaku, Besar ABRI/TNI (KBA/KBT) dan pemutusan hubungan final organisatoris dengan Partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada. Pengaturan penugasan prajurit di luar jabatan struktur/ struktur, final fungsional Dephankam/ABRI. Penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun struktur, final atau alih status. Pemisahan POLRI dari ABRI. struktur, final Pengesahan sebutan nama kesatuan, jabatan, kopstuk kultur, struktur, tulisan dinas, lambang, dan cap dinas dari sebutan ABRI final menjadi TNI. Pengurangan jumlah F. ABRI di DPR, DPRD I/II (di struktur, final DPR Pusat dari 75 orang menjadi 38 orang dan di DPRD I/II tinggal 10% dari jumlah kursi). Komitmen netralitas TNI dalam pemilu. kultur/perilaku, final Perubahan Staf Sosial Politik (Sospol) menjadi Staf struktur, Komunikasi Sosial (Komsos) sebagai transisi pada tahun transisi 2001. Penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem, dan struktur, final Sospoldim sebagai konsekuensi dihapuskannya fungsi Sospol ABRI. Revisi peranti lunak doktrin TNI AU (17 Oktober 2000), doktrin, TNI AD (15 Desember 2001), dan TNI AL (23 Februari penyesuaian 2001). Likuidasi organisasi Wakil Panglima TNI. struktur, final
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
14 2 |
AHMAD YANI BASUKI
No Tahun 17. 2000 18. 2000 19. 2001 20. 2001 21. 2002 22. 2004 23. 2004
24. 2004
25. 2004
26. 2004 27. 2005 28. 2005 29. 2006 30. 2006 31. 2007
Progres Perubahan Keterangan ABRI meninggalkan politik praktis dan tidak akan pernah struktur, lagi terlibat dalam politik praktis. kultur/perilaku, final Penghapusan Bakorstanas dan Bakorstanasda. struktur, final Menerapkan sikap netralitas TNI sebagai alat negara pada kultur, final Sidang Istimewa MPR RI 2001. Penghapusan materi Sospol ABRI dari kurikulum penyesuaian pendidikan TNI dan penambahan materi hukum, HAM, doktrin, kultur dan lingkungan hidup. Redefinisi dan refungsionalisasi Koter. struktur, kultur/perilaku, final Komitmen dan netralitas TNI dalam Pemilu 2004. kultur, final Penarikan dan penghentian personel TNI yang ditugaskan struktur, final baik secara resmi maupun tidak resmi pada institusi pemerintah dan nonpemerintah yang tidak ada kaitannya dengan tugas TNI. Likuidasi Fraksi TNI–POLRI di DPR dan DPRD pada komitmen, tahun 2004 dan percepatan berakhirnya keberadaan Fraksi penyesuaian TNI di MPR RI pada tahun 2004 dari yang semestinya doktrin, final (yang secara konstitusional diamanatkan sesuai Tap MPR Nomor: VII/MPR/2000) sampai dengan tahun 2009. Peradilan militer yang selama ini berada di bawah Badan UU, struktur, Pembinaan Hukum TNI sekarang berada di bawah kultur, final; Mahkamah Agung. proses pada pemerintah Lahirnya Undang-Undang RI No. 34 Tahun 2004 tentang struktur, final TNI. Likuidasi Staf Komsos pada tahun 2005 (1 Juni 2005). struktur, final Netralitas TNI dalam pilkada. kultur/perilaku Penghapusan bisnis militer. keputusan final; proses pada pemerintah Keputusan harus pensiun terlebih dahulu sejak tahap struktur, final penyaringan bagi prajurit TNI yang akan ikut pilkada. Pengesahan doktrin TNI. doktrin, final
Sumber: diolah dari beberapa dokumen, ST, STR, Skep, Sprin, Juklak, Surat Edaran Menhankam/Pangab/Panglima TNI, dan hasil wawancara
Ketiga puluh satu butir perubahan di atas menunjukkan dengan jelas telah adanya perubahan internal TNI yang meliputi aspek struktur, kultur, dan doktrin. Dua puluh enam di antaranya bersifat final, sementara lainnya merupakan proses yang masih berlanjut. Pada dasarnya setiap perubahan paradigma, struktur, dan doktrin, baik langsung maupun tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perubahan kultur/perilaku. Meskipun tidak semua terumuskan secara tertulis dan tidak termasuk ke dalam 31 butir di atas, namun beberapa praktik perubahan kultur dapat diamati dengan jelas di lapangan. Di antara M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 14 3
perubahan kultur tersebut adalah dihapus atau ditinggalkannya berbagai tindakan yang berbau “militeristik”, seperti perlakuan terhadap masyarakat saat melewati atau keluar–masuk ksatrian, pembatasan penggunaan voor rij ders untuk pejabat TNI, lebih terbukanya interaksi dengan media, berkembangnya pola-pola diskusi siswa yang lebih elegan dalam membahas berbagai topik di lembaga pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, masih banyak masyarakat yang kurang memahami adanya perubahan-perubahan tersebut. Kasus-kasus pelanggaran oleh oknum prajurit TNI sering dianggap sebagai representasi dari belum berubahnya kultur TNI. Demikian pula kiprah purnawirawan TNI—yang statusnya sudah menjadi masyarakat sipil—di berbagai bidang kehidupan, kerap dihubungkan dengan—atau dipersepsi sebagai representasi dari—kebijakan pimpinan atau institusi TNI. Padahal keberadaan dan kegiatan mereka sudah tidak lagi memiliki hubungan struktural dengan institusi TNI. Butir-butir perubahan dalam proses dan progres reformasi internal TNI di atas, secara berlanjut sesuai tahapannya, dilaksanakan berdasarkan beberapa Surat Keputusan (Skep), Surat Perintah (Sprin), Surat Telegram (STR), Surat Edaran (SE), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Panglima TNI, Keputusan Presiden (Keppres), Tap MPR RI, dan Undang-Undang. Dengan demikian, butir-butir perubahan tersebut sudah merupakan suatu kepastian yang jelas payung hukumnya. Beberapa poin progres reformasi tersebut, pada implementasinya, memunculkan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang harus dihadapi dan dikelola oleh TNI, seperti kembalinya ribuan anggota TNI yang ditugaskaryakan di berbagai instansi. Dari rekapitulasi produk peraturan dan perundang-undangan yang ada, terlihat bahwa hampir semua landasan atau produk hukum yang memayungi tahapan-tahapan reformasi TNI berawal dari inisiatif TNI. Pemisahan POLRI dari ABRI, misalnya, diawali Keputusan Menhankam/Pangab Nomor: Kep/05/P/III/1999 tanggal 31 Maret 1999 yang memutuskan pelimpahan wewenang penyelenggaraan pembinaan Kepolisian RI dari Menhankam/Pangab. Keputusan TNI meninggalkan politik praktis dan hanya bertugas di bidang pertahanan diambil melalui Rapat Pimpinan TNI pada April 2000. Keputusan tersebut mewarnai penerbitan Tap MPR Nomor: VI/MPR/2000 dan Tap MPR Nomor: VII/MPR/2002, serta UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
14 4 |
AHMAD YANI BASUKI
No. 34/2004 tentang TNI. Berbagai produk peraturan dan perundang-undangan tersebut banyak mengakomodasi proses dan progres reformasi TNI, serta mendasari proses penghapusan bisnis militer, di samping menegaskan dan memayungi fungsi, tugas pokok, dan jati diri TNI. PE R S PE K T I F I N T E R N A L DA N E K S T E R N A L T E R H A DA P R E F O R M A S I I N T E R N A L T N I
Dengan metode survei, diajukan 10 pertanyaan kepada 2.400 orang responden sebagai sampel yang tersebar di 12 wilayah Kodam. Di tiap-tiap wilayah diambil 200 orang responden, terdiri atas 100 orang personel militer/TNI dan 100 orang warga sipil. Sepuluh pertanyaan yang diajukan meliputi (i) faktor pendorong terlaksananya reformasi internal TNI; (ii) sikap TNI terhadap masukan-masukan luar; (iii) peran serta responden dalam reformasi internal TNI; (iv) pola reformasi internal TNI; (v) pandangan tentang perubahan TNI; (vi) pengaruh turunnya Presiden Soeharto terhadap reformasi TNI; (vii) posisi (fungsional) TNI setelah reformasi internal; (viii) perkembangan perubahan TNI; (ix) sudah atau belum tepatnya paradigma baru dan implementasi reformasi internal TNI; (x) waktu yang diperlukan untuk membangun profesionalitas TNI. Berdasarkan jawaban yang masuk, secara kuantitatif terdapat perbedaan pandangan antara responden internal dan eksternal TNI dengan besaran antara 0,6–29,4% atau rata-rata 15%. Uji statistik Chi Square dan/atau V. Cramer menunjukkan bahwa indeks perolehannya antara .176–.383. Dengan demikian, P=(0.000<0.05). Hal ini menunjukkan tingkat hubungan yang lemah, dan secara umum berarti tidak ada perbedaan sikap atau pandangan yang signifikan antara responden internal dan eksternal TNI terhadap 10 pertanyaan yang diajukan. Terkait refungsionalisasi peran TNI, secara kuantitatif didapati perbedaan pandangan tentang faktor pendorong terlaksananya reformasi internal TNI. Responden internal TNI memandang kemauan TNI sendiri untuk melaksanakan reformasi lebih dominan, meskipun secara signifikan mengakui adanya dorongan dari luar, sementara mayoritas responden eksternal berpandangan sebaliknya. Hal itu sejalan dengan pandangan masing-masing tipe responden mengenai keseimbangan antara dorongan/tekanan internal dan eksternal—39,8% M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 145
responden internal dan 55,3% responden eksternal menilai keseimbangan tersebut ada. Terkait sikap TNI terhadap masukan-masukan dari luar dalam melaksanakan reformasi internalnya, lebih dari 50% responden (76,4% responden internal dan 63,9% responden eksternal) mengakui bahwa TNI bersikap proaktif dan akomodatif. Terkait peran serta responden mengkritisi dan memberi masukan dalam pelaksanaan reformasi internal TNI, 45,1% responden internal menyatakan tidak berperan langsung, sementara semua responden eksternal menyatakan terlibat, baik langsung maupun tidak langsung. Terkait pola reformasi internal TNI yang dilaksanakan secara gradual, terprogram, dan berlanjut, responden internal dan eksternal TNI memberikan pandangan yang relatif sama dengan persentase yang cukup tinggi, di atas 70% (81,8% responden internal dan 71,2% responden eksternal). Mereka memandang pola tersebut tepat dan sesuai dengan kepentingan yang sama, yaitu terpeliharanya soliditas TNI. Masing-masing responden, internal (89,5%) maupun eksternal (92,4%), secara signifikan mengakui telah adanya perubahan TNI setelah reformasi. Lebih dari 50% responden internal dan eksternal mengakui setelah reformasi TNI lebih fungsional, sementara 34,8% responden internal dan 49,3% responden eksternal menilai TNI belum sepenuhnya fungsional. Terkait paradigma baru dan implementasi reformasi internal TNI sampai saat ini, 65,7% responden internal dan 47,8% responden eksternal menilai paradigma baru dan implementasi reformasi internal tersebut sudah tepat. PE R S PE K T I F M E DI A T E R H A DA P R EFOR M A SI I N T ER NA L T N I
Dari hasil penelitian dan pengklasifikasian terhadap berita-berita yang dimuat media massa, dengan sampel harian umum Kompas dan Republika yang terbit selama bulan September 1998 sampai dengan Juni 2006, didapati 357 pemberitaan (Kompas 210 berita dan Republika 147 berita) mengenai paradigma baru atau reformasi internal TNI. Artikel-artikel berita tersebut selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan penempatan berita dan isi atau kecenderungan berita. Berdasarkan penempatan berita, dari 210 pemberitaan yang dimuat Kompas, 38 (10,64%) di antaranya terdapat pada rubrik head line M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
14 6 |
AHMAD YANI BASUKI
atau berita utama, 85 (23,81%) pada rubrik Nasional, 9 (2,52%) pada rubrik Nusantara, 10 (2,80%) pada rubrik Tajuk, serta 68 (19,05%) pada rubrik Politik dan Hukum. Adapun dari 147 pemberitaan yang dimuat Republika, 35 (9,80%) terdapat pada rubrik head line atau berita utama, 50 (14,01%) pada rubrik Nasional, 6 (1,68%) pada rubrik Nusantara, 17 (4,76%) pada Tajuk, serta 39 (10,92%) pada rubrik Politik dan Hukum. Uji analisis statistik Chi-Square dan V. Cramer menunjukkan tidak terdapat perbedaan pandangan atau agenda antara Kompas dan Republika dalam menempatkan pemberitaan mengenai paradigma baru dan reformasi internal TNI. Berdasarkan isi atau kecenderungannya, sampel pemberitaan yang dihimpun diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: kategori A, informatif positif; kategori B, kritik positif; kategori C, kritik negatif. Secara lebih rinci, hasil dari klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Isi dan Kecenderungan Berita Tentang Reformasi Internal TNI *ada Harian Umum Kompas dan Republika Bulan September 1998 s.d. April 2006
No 1.
Kategori Kategori ‘A’ Informatif Positif
Jumlah SKH Kompas SKH Republika 54,76% 56,42%
Topik dan isi berita bersifat penyampaian informasi atau kebijakan TNI/Pimpinan TNI, pemahaman, dukungan, penghargaan dan harapan optimistis (informatif positif) 2.
Kategori ‘B’ Kritik Positif
27,14%
28,57%
18,10%
14,96%
Topik dan isi berita bersifat kritik, saran atau solusi (kritik positif) 3.
Kategori ‘C’ Kritik Negatif Topik dan isi berita bersifat kritik, asumtif, penolakan, asumsi negatif dan sikap kurang percaya, pesimistis (kritik negatif) Sumber: data lapangan 2006
Dari hasil uji analisis statistik Chi-Square dan V. Cramer, diperoleh hasil P. Sign=736 atau >0.05 (di atas 5%), sementara nilai asosiasi/ korelasi V. Cramer 0.041. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pandangan atau agenda antara harian umum M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 147
Kompas dan Republika dalam hal kecenderungan pemberitaan tentang reformasi TNI. KO M PA R A S I P O L A DA N PRO F E S I O N A L I TA S R EFOR M A SI I N T ER NA L T N I
Apa yang dialami oleh TNI dengan reformasi internalnya, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan pengalaman militer di berbagai negara berkembang, di mana pada awal perjuangan bangsa dan negara mereka militer mempunyai posisi dominan dalam sistem sosial. Ketika perkembangan kehidupan demokrasi dan kualitas sumber daya manusianya mengalami kemajuan, dominasi atau kekuatan militer menghadapi berbagai tekanan sehingga terjadi proses “mundurnya militer dari politik” (military withdrawal from politics) atau “militer kembali ke barak” (back to barrack). Dalam konteks TNI, proses tersebut dikenal sebagai “reformasi TNI”. Sesuai kondisi yang mewarnainya, terdapat perbedaan berdasarkan pola dan kriteria profesionalitas, mundurnya militer dari politik di negara masing-masing. POL A R EFOR M A SI I N T ER NA L T N I
Evaluasi terhadap pola reformasi internal TNI dilaksanakan dengan mengkaji dan membandingkan pola tersebut dengan pola mundurnya militer dari politik di beberapa negara lain. Perbandingan antara pola-pola ini digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 4. Perbandingan Pola Reformasi TNI dan Mundurnya Militer dari Politik di Negara Lain
No Pola Pada Beberapa Militer Negara Asing 1. Kembali ke barak secara terjadwal dan terencana segera setelah dilangsungkan pemilihan umum (Bangladesh, Burma, Ghana, Guatemala, dan sebagainya).
Pola Reformasi TNI Reformasi internal TNI berlangsung secara gradual, terprogram dan berlanjut, dimulai tanpa menunggu pelaksanaan pemilihan umum terlebih dahulu.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
14 8 |
AHMAD YANI BASUKI
No Pola Pada Beberapa Militer Negara Asing 2. Kembali ke barak secara mendadak setelah menyerahkan kekuatan pemerintah sipil sementara (Brazil, Kolombia, Panama, Sierra Leone, Korea Selatan, dan sebagainya).
3.
4.
5.
Pola Reformasi TNI
Reformasi internal TNI tidak berlangsung secara mendadak, meskipun reformasi tersebut dimulai sejak adanya krisis nasional. Reformasi internal TNI dimulai tidak dengan adanya penyerahan kekuatan pemerintah sipil sementara. Hal ini karena meskipun di masa lalu TNI mempunyai posisi dominan dalam tatanan kehidupan nasional, tapi dominasi TNI tidak sedemikian mutlak, karena masih dalam kendali format pemerintahan sipil yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kembali ke barak lewat revolusi sosial Reformasi internal TNI dilaksanakan (Republik Rakyat Cina, Kosta Rika, tanpa adanya revolusi sosial. Kuba, Iran, Kamboja, Laos, Meksiko, Dalam hal ini, reformasi internal Nikaragua, Vietnam Utara, Vietnam TNI adalah bagian dari reformasi Selatan, dan sebagainya). nasional. Meskipun kondisi eksternal berpengaruh langsung bagi terlaksananya reformasi internal, tetapi reformasi internal TNI dapat berlangsung juga karena kuatnya komitmen internal TNI sendiri melaksanakan perubahan (lihat data pandangan internal dan eksternal). Kembali ke barak lewat Reformasi internal TNI berlangsung pemberontakan massal (Bolivia tanpa didahului atau disertai 1946, El Salvador 1979, Sudan 1964, pemberontakan massal, meskipun Thailand 1973, dan Venezuela 1945). memang ada euforia reformasi yang keadaannya untuk beberapa waktu sempat merisaukan masyarakat, tetapi tidak sampai pada taraf pemberontakan massal. TNI mereformasi diri dalam kondisinya masih solid meskipun menghadapi berbagai macam kritik, baik yang rasional maupun yang tidak rasional. Dalam situasi transisi seperti itu pun TNI tetap dapat melaksanakan tugasnya dalam format politik negara saat itu. Kembali ke barak karena invasi atau Reformasi internal TNI dilaksanakan intervensi negara asing (Republik Afrika bukan karena adanya invasi atau Tengah, Gabon, Gambia, Grenada, dan intervensi negara asing. sebagainya).
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 149
Dari perbandingan di atas terlihat adanya kesamaan pada kriteria nomor 1—baik reformasi TNI maupun mundurnya militer negaranegara lain dari politik berlangsung secara terjadwal, terencana, serta gradual, terprogram, dan berlanjut. Perbedaannya, reformasi TNI tidak ada kaitannya dengan dilangsungkannya terlebih dahulu pemilihan umum. Adapun untuk kriteria nomor 2–5, sama sekali tidak ada relevansi atau kesamaan antara pola mundurnya militer negara-negara lain dari politik dengan proses reformasi internal TNI. Dengan melihat kesamaan dan perbedaan tersebut, serta kekhasan kasus TNI, dapat disimpulkan bahwa pola reformasi TNI berlangsung secara gradual, bertingkat, dan berlanjut; tidak terkait dengan dilangsungkannya pemilihan umum terlebih dahulu, dan tidak disertai penyerahan kekuasaan sipil sementara, revolusi sosial, pemberontakan massal, maupun invasi atau intervensi asing. PRO F E S I O N A L I TA S R E F O R M A S I T N I
Dengan membandingkan proses mundurnya militer dari politik di beberapa negara berkembang berdasarkan kriteria profesional atau tidak profesional, posisi reformasi TNI tergambarkan dalam tabel berikut: Tabel 5. Perbandingan Profesionalitas Reformasi Internal TNI dengan Profesionalitas Proses Kembali ke Barak Beberapa Militer Negara Asing
No Kriteria pada Beberapa Militer Asing 1.
Kriteria Reformasi Internal TNI
A. Profesional Mundur atau keluar dari dunia TNI melaksanakan reformasi politik secara terencana dan penuh internal secara konsepsional, gradual, pertimbangan. bertingkat, dan berlanjut. Langkah ini ditempuh agar reformasi internal tetap berjalan, soliditas terpelihara dan tugas pokok tetap terlaksana.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
15 0 |
AHMAD YANI BASUKI
No Kriteria pada Beberapa Militer Asing 2. Mundur/kembali ke barak dengan keyakinan bahwa ia telah memenuhi semua tujuan intervensinya, merasa bosan, atau merasa tidak mampu lagi untuk memerintah.
1.
2.
Kriteria Reformasi Internal TNI
TNI melaksanakan reformasi internal karena menyadari adanya koreksi atas peran TNI dalam format politik di masa lalu. TNI ingin menata ke depan dengan mencari posisi yang tepat dalam sistem sosial dan kehidupan nasional yang demokratis dan fungsional bersama fungsi-fungsi lainnya. B. Tidak Profesional Mundur ke barak (reformasi) secara Meskipun reformasi internal TNI mendadak dan tiba-tiba. dilaksanakan sejak terjadinya krisis nasional tahun 1998, tetapi sifat reformasi internal TNI tidak mendadak, melainkan bertahap dan berlanjut, bahkan sebelum hadir era reformasi telah ada pemikiranpemikiran reformis dari kalangan perwira-perwira generasi muda TNI pada waktu itu. Terlibat dalam beberapa kali intervensi TNI tidak terlibat dalam intervensidan kemudian kembali ke barak intervensi. TNI kembali ke barak hanya merupakan penundaan terhadap merupakan keputusan final TNI prospek demiliterisasi politik dalam untuk menempatkan diri secara tepat jangka panjang di negara-negara dalam tatanan kehidupan nasional tersebut. secara lebih profesional dan fungsional. Reformasi TNI merupakan concern TNI dalam ikut mewujudkan masyarakat madani dan kehidupan bangsa yang demokratis.
Dengan memperhatikan perbandingan di atas, reformasi TNI dapat dikategorikan sebagai proses mundurnya militer dari politik secara profesional. Dalam hal ini profesionalitas reformasi TNI berarti dilaksanakannya reformasi TNI secara gradual, bertingkat, dan berlanjut—tidak mendadak, tidak tergesa-gesa. Proses ini didahului adanya pemikiran-pemikiran reformis, dan dilaksanakan dengan dilandasi kesadaran akan adanya koreksi terhadap peran TNI dalam format politik negara di masa lalu. Melalui proses ini TNI ingin menata kembali posisi dan perannya secara tepat dalam tatanan kehidupan nasional yang demokratis dan fungsional bersama fungsi-fungsi atau komponen-komponen bangsa yang lain. Dengan demikian, reformasi TNI merupakan tekad serta komitmen TNI dan bangsa Indonesia pada umumnya. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 151
Sementara mundurnya militer-militer asing secara profesional dari politik didasari keyakinan bahwa mereka telah memenuhi semua tujuan intervensinya, merasa bosan, atau merasa tidak mampu lagi memerintah, TNI melaksanakan reformasi internalnya karena menyadari adanya kesalahan di masa lalu akibat format politik nasional waktu itu. Dengan kesadarannya TNI ingin memosisikan diri secara tepat dalam tatanan kehidupan nasional yang demokratis, dan ingin fungsional bersinergi dengan fungsi-fungsi lainnya. Kriteria-kriteria mundurnya militer dari politik secara tidak profesional tidak mewarnai reformasi internal TNI. Proses mundurnya militer dari politik secara tidak profesional, seperti di Suriah (1949-sekarang), Irak (1949-sekarang), dan Benin (1965-sekarang), disebabkan oleh perpecahan internal akibat adanya kelompok-kelompok loyalitas primordial dan sektarian yang bersaing dan bertarung satu sama lain. Hal tersebut tidak pernah dialami oleh TNI. Kendati TNI berasal dari berbagai suku, agama, ras, dan adat-istiadat yang berbeda, namun perbedaan tersebut sama sekali tidak pernah muncul sebagai penyebab perselisihan. Bahkan semuanya menjadi perekat soliditas setelah melalui proses pendidikan yang ketat dan pembinaan berlanjut berdasarkan doktrin Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI, Kode Etik Perwira, dan norma-norma keprajuritan lainnya. Tugas pokok TNI sebagai penegak kedaulatan NKRI merupakan doktrin yang mempersatukan cara pandang dan posisinya sebagai garda persatuan dan kesatuan bangsa. Terkait dengan berbagai pendapat yang membagi penampilan perwira TNI dalam proses reformasi ke dalam tiga kelompok—kelompok status quo, moderat, dan radikal—TNI menilai hal tersebut masih dalam batas kewajaran berwacana. Keadaan tersebut nampaknya tidak memunculkan friksi selama proses reformasi internal berlangsung. Sebaliknya, garis komando tetap kokoh, proses reformasi pun tetap berlangsung dalam soliditas TNI. Adapun responden eksternal TNI memandang, meskipun kelompok-kelompok tersebut ada, tetapi tidak berpotensi menimbulkan friksi internal karena masing-masing tidak akan mampu menggalang prajurit di bawahnya untuk kepentingan pandangan mereka tersebut. Toh pada kenyataannya mereka pun tidak melakukan langkah demikian. Selain itu, hilangnya privelese–privelese tertentu akibat reformasi internal TNI juga tidak menimbulkan masalah krusial bagi soliditas internal TNI. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
152 |
AHMAD YANI BASUKI
R E F U N G S I O N A L I S A S I PE R A N T N I PA S C A-DW I F U N G S I
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji secara kritis, apakah setelah 9 tahun melaksanakan reformasi internal, TNI menjadi lebih fungsional daripada sebelumnya. Progres reformasi TNI yang tercermin dari 31 item perubahan yang signifikan menunjukkan, setelah 9 tahun (1998-2007) reformasi, TNI telah berupaya meninggalkan faktor-faktor disfungsi atau nonfungsinya. Melalui reformasi internal, TNI telah melaksanakan proses refungsionalisasi peran dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Setelah melepas Dwifungsinya, perubahan atau penataan diri TNI tercermin dalam paradigma baru dan implementasi reformasi internalnya (lihat progres reformasi internal TNI). Komitmen dan paradigma baru TNI tentunya memperlihatkan kondisi TNI yang telah meninggalkan faktor-faktor yang dinilai disfungsi atau nonfungsi. Namun demikian, apakah dengan langkahlangkah tersebut, berarti TNI sudah benar-benar fungsional? Jika iya, fungsional untuk siapa? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Dengan memosisikan keberadaan TNI dalam masyarakat, maka fungsional–tidaknya TNI sangat terkait dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada, yakni TNI sendiri, negara, dan masyarakat. FU NGSIONA L ISA SI T N I
Berdasarkan studi dokumen, survei, wawancara mendalam, dan FGD yang telah dilakukan, indikator-indikator fungsionalisasi TNI dapat dijelaskan pada uraian berikut. Dalam konteks sosiologis, reformasi internal TNI adalah proses refungsionalisasi peran TNI, yaitu upaya TNI untuk memosisikan diri secara tepat dan fungsional bersama fungsi-fungsi lain dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. TNI berupaya meninggalkan faktor-faktor yang dinilai disfungsi atau nonfungsi. Langkah tersebut ditempuh untuk menjawab tuntutan tatanan masyarakat global, khususnya masyarakat nasional Indonesia, dalam mewujudkan supremasi sipil dan membangun profesionalisme TNI. Jika persoalan internal TNI adalah karena implementasi Dwifungsi ABRI di masa lalu yang bias dan eksesif, maka data-data mengenai progres reformasi TNI menunjukkan TNI telah meninggalkan dwifungsi dan berbagai implementasinya. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 153
Tiga puluh satu item perubahan dan perundang-undangan yang memayungi perubahan komitmen, peran, fungsi, serta tugas pokok TNI, akan memberikan batasan yang jelas bagi upaya TNI memosisikan diri secara tepat, sehingga dapat mencegah kemungkinan tindakan eksesif maupun kemungkinan-kemungkinan intervensi dari luar yang inkonstitusional dan tidak proporsional yang dapat menjadikan TNI disfungsi atau nonfungsi. Sejalan dengan itu data kuantitatif jawaban responden internal TNI menunjukkan, 56,30% menyatakan TNI sudah lebih fungsional dan 34,80% menyatakan TNI belum sepenuhnya fungsional. Yang masih menjadi persoalan adalah aspek profesionalisme, yaitu belum terpenuhinya beberapa kriteria profesionalisme TNI seperti yang tercantum dalam UU No. 34 Tahun 2004, terutama kriteria “diperlengkapi secara baik dan dijamin kesejahteraannya”. Keadaan ini tentu belum seperti yang diharapkan, yang mana pemenuhannya sangat tergantung pada kemampuan negara. Fungsionalitas TNI bagi negara dapat dilihat dari bagaimana negara memosisikan TNI. Posisi tersebut sudah ditetapkan dengan jelas dalam beberapa produk konstitusional, seperti Tap MPR RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI–POLRI dan Tap MPR RI Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI, yang antara lain menegaskan dan mengatur jati diri dan peran TNI, susunan dan kedudukan TNI serta tugas bantuan dan keikutsertaan TNI dalam penyelenggaraan negara; UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang antara lain mengatur peran, tugas, kedudukan, dan pengerahan TNI (pasal 10 dan 11); UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang secara lebih luas mewadahi tatanan yang telah ada sebelumnya. Di antara ketetapan penting dalam undang-undang ini ialah penegasan bahwa semua tugas pokok TNI dilaksanakan berdasarkan “kebijakan dan keputusan politik negara” (Pasal 7 ayat 3). Oleh karena itu, fungsional–tidaknya TNI bagi negara sangat tergantung dengan bagaimana kebijakan dan keputusan politik negara memosisikan dan mengoperasionalkan TNI. Namun demikian, meski telah ada produk-produk peraturan dan perundang-undangan yang menjadi payung hukum bagi pelaksanaan tugas-tugas TNI, beberapa ketentuan yang ada masih memerlukan penjabaran untuk memperjelas pelibatan TNI dalam pelaksanaan tugasnya, khususnya tugas operasi militer selain perang. Penjabaran ini M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
15 4 |
AHMAD YANI BASUKI
diperlukan untuk menjamin TNI dapat benar-benar fungsional dan optimal dalam melaksanakan tugas di lapangan. Dengan keanekaragaman masyarakat Indonesia, memang tidak mudah untuk memperoleh jawaban yang merepresentasikan pendapat seluruh masyarakat tentang sudah fungsional atau belum fungsionalnya TNI dalam masyarakat. Terlebih dalam era reformasi saat ini masyarakat cenderung terdiferensiasi dalam kelompok-kelompok yang tidak sedikit jumlah, bentuk, dan macam kepentingannya. Namun demikian, tanpa mengabaikan keberagaman tersebut, dengan prinsip-prinsip akademis tetap dapat dihimpun data mengenai pandangan masyarakat tentang sudah fungsional, belum fungsional, atau tidak fungsionalnya TNI bagi masyarakat. Untuk keperluan tersebut, penelitian dilakukan dengan tiga tahapan. Ketiganya sekaligus membentuk proses triangulasi dalam penelitian. Pertama, mencari jawaban kuantitatif responden, mendalami data melalui wawancara mendalam dengan informan dari kalangan pakar, pengamat, dan praktisi, dan melibatkan mereka dalam FGD. Dari langkah-langkah ini diperoleh data bahwa secara umum masyarakat mengakui TNI saat ini sudah berubah dan lebih fungsional. Data yang ada menunjukkan, 92% dari 1.027 orang responden mengakui TNI saat ini sudah lebih fungsional (31% menyatakan jelas sudah fungsional dan 61,40% menyatakan sudah fungsional meski kurang jelas perubahannya). Hal itu sejalan dengan pendapat mereka mengenai perubahan TNI, di mana 92,40% menyatakan TNI sudah berubah (31% menyatakan jelas sekali perubahannya dan 61,40% menyatakan sudah berubah tetapi kurang jelas perubahannya). Sementara para informan mengakui, dibandingkan kondisi dominasi militer di masa Orde Baru, komitmen dan konsistensi TNI untuk berubah cukup besar. Beberapa data sekunder menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan dan apresiasi masyarakat terhadap progres reformasi internal dan kinerja TNI pada umumnya cukup meningkat. Sejak awal proses reformasi sampai saat ini, sudah ada beberapa hasil kajian mengenai hal ini, antara lain: a. Hasil penelitian Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial UGM tahun 2000 menunjukkan bahwa meskipun sempat berkembang wacana tentang penghapusan satuan teritorial TNI yang ramai diangkat dalam pemberitaan media massa, namun 70% lebih responden dalam penelitian tersebut menyatakan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 155
masih setuju dengan—atau menganggap perlu dipertahankannya—keberadaan satuan teritorial tersebut (Majalah Forum Keadilan No. 30, Oktober 2000, hal. 31). b. Hasil penelitian LSI menunjukkan bahwa opini publik terhadap kinerja dan citra TNI mendudukkan TNI pada peringkat pertama institusi yang dinilai baik dari seluruh Departemen dan Kementerian dalam pemerintahan SBY–JK. Skor yang diperoleh TNI adalah 3,86 dalam skala 1-5 (LSI 2006). c. Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tanggal 27-28 September 2005 terhadap 828 responden yang berdomisili di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado, dan Jayapura menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun sejak 1998 sampai 2005 citra TNI cenderung membaik dan meningkat dari nilai kriteria baik 31,5% (1998), 24,6% (1999), 28,1% (2000), 57,8% (2001), 42,0% (2002), 60,8% (2003), 59,5% (2004), dan 64,0% (2005) (Kompas, 3 Oktober 2005). Adapun tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja TNI secara umum menunjukkan cukup puas dengan apa yang telah dilakukan oleh TNI, dengan perbandingan 53,7% puas, 43,4% tidak puas, dan 2,9% tidak tahu. d. Dalam hal sudah memberikan rasa aman kepada masyarakat, secara umum mayoritas responden di 10 kota besar di Indonesia merasa puas dengan keberadaan aparat TNI, dengan perbandingan 56,6% responden menyatakan sudah, 41,8% belum, dan 1,6% tidak tahu. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan TNI di tengah-tengah masyarakat sangat diharapkan, khususnya di daerah-daerah rawan konflik, seperti Jayapura (68,2%) dan Pontianak (68,4%) (Kompas, 3 Oktober 2005). Karena reformasi TNI tidak berlangsung di dalam ruang sistem sosial yang hampa, maka banyak hal yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap refungsionalisasi peran TNI. Menurut pengamat militer Prof. DR. Ikrar Nusa Bhakti, kondisi bangsa saat ini belum sepenuhnya mendorong percepatan reformasi nasional, dan berpengaruh terhadap refungsionalisasi peran TNI. Di bidang politik masih ada upaya menarik-narik tentara dalam persoalan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal (wawancara tanggal 2 Januari 2007). M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
15 6 |
AHMAD YANI BASUKI
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, tidak konsistennya elite sipil misalnya terlihat dari upaya mereka menarik-narik tokoh TNI ke dalam politik. Setiap muncul masalah genting, elite sipil juga masih sering meminta pendapat TNI. “TNI sebenarnya sudah terbuka untuk reformasi, termasuk meninggalkan bisnis, asal kebutuhan mereka terpenuhi” (Kompas. 19 Februari 2007). Dr. J. Kristiadi dari CSIS berpendapat bahwa TNI sudah menempatkan dan menerima keputusan politik negara sebagai landasan atau payung hukum dalam melaksanakan tugasnya, sementara elite sipil belum menunjukkan kepercayaan diri dalam melaksanakan peran mereka. Masih adanya permainan politik uang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan indikator bahwa reformasi di bidang politik belum berjalan dengan baik (wawancara tanggal 29 Agustus 2006). Indikator-indikator di atas menunjukkan bahwa beberapa persyaratan atau kondisi untuk mewujudkan fungsionalisasi peran TNI belum sepenuhnya terwujud sebagaimana mestinya. Dinamika eksternal juga berpengaruh terhadap optimalisasi refungsionalisasi peran TNI. Oleh karena itu, yang berpengaruh terhadap progres reformasi/refungsionalisasi peran TNI bukan hanya faktor waktu atau berapa lama prosesnya berlangsung, tetapi juga dinamika sistem sosial yang ada. Terkait dengan hal ini Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto menyatakan: “Bagi TNI reformasi sendiri bukanlah goal tetapi process, ways, atau means. Sedang goal-nya adalah TNI yang profesional, TNI yang handal, TNI yang tahu tataran kewenangannya dalam struktur ketatanegaraan, yang lekat dengan rakyatnya, yang bisa melaksanakan tugasnya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan negara. Reformasi internal TNI sebagai proses, tidak ada ending-nya. Karena tuntutan reformasi tahun 1998 dengan tuntutan sekarang atau tahun 2014 nanti pasti berbeda dan pasti ada yang baru. Oleh karena itu pula, terlalu prematur untuk serta-merta menilai gagal atau berhasilnya reformasi TNI. Yang pasti proses itu terus berjalan dan progres itu ada” (wawancara tanggal 3 Oktober 2006).
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 157
K E S I M PU L A N
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa reformasi internal dan refungsionalisasi peran TNI telah dilaksanakan dengan pola yang gradual, terprogram, dan berlanjut. Proses ini didorong oleh kesadaran kalangan internal dan eksternal TNI untuk memosisikan TNI secara tepat dalam tatanan kehidupan nasional sehingga dapat lebih fungsional bersama fungsi-fungsi atau komponen-komponen bangsa lainnya. Selain itu, berdasarkan indikator-indikator yang ada reformasi internal TNI juga dapat digolongkan sebagai proses mundurnya militer dari politik secara profesional. Reformasi internal ini juga telah membawa banyak perubahan, baik dari aspek struktur, kultur, maupun doktrin, sehingga menjadikan TNI lebih fungsional baik bagi internal TNI, negara, maupun masyarakat. Hasil analisis tersebut menunjukkan masih relevannya gagasan fungsionalis Robert K. Merton dan Talcott Parsons dalam membaca transformasi struktural pada masyarakat, atau setidaknya sebagian komponen masyarakat. Berdasarkan teori tersebut reformasi internal TNI dapat diartikan sebagai tindakan TNI untuk melakukan fungsi adaptasi atau penyesuaian dengan memilah-milah kembali aspekaspek fungsional dan disfungsinya. Dalam hal ini, tujuan akhir (goal) dari proses yang dijalani TNI adalah menjadi lebih profesional dan fungsional dalam menjalankan tugas pokoknya di bidang pertahanan dengan cara (means) melaksanakan reformasi internal yang terimplementasi dalam sikap TNI untuk tidak lagi berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan sebagainya. Fenomena TNI dengan reformasi internalnya juga menunjukkan relevansi teori Talukder Maniruzzaman tentang mundurnya militer dari politik. Relevansi teori ini juga membantu penelusuran dan pemosisian pola dan profesionalitas reformasi internal TNI. Meski memiliki kesamaan dan perbedaan dengan pola-pola dan profesionalitas mundurnya militer dari politik di berbagai negara lain, namun reformasi internal TNI memiliki kekhasan tersendiri yang tidak lepas dari latar belakang sejarah serta situasi dan kondisi yang menyertai proses tersebut. Reformasi internal TNI sejalan dengan teori Maniruzzaman bahwa mundurnya militer dari politik dalam jangka waktu yang cukup lama merupakan fungsi dari transformasi struktural mendasar yang terjadi dalam masyarakat secara keseluruhan. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
158 |
AHMAD YANI BASUKI
DA F TA R PU S TA K A
Anwar, Dewi Fortuna. 2002. Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan Sipil–Militer di Era Reformasi. Jakarta: Grasindo. Azca, M. Najib. 1995. Hegemoni Tentara. Yogyakarta: LKiS. Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama. Bhakti, Ikrar Nusa, dkk. 1999. Tentara yang Gelisah. Bandung: Mizan. ------. 1999. Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang Pasang Surut Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. Bandung: Mizan. Borgotta, E. F. dan M. L. Borgotta, ed. 1992. Encyclopedia of Sociology. New York: Macmillan Library Reference. Britton, Peter. 1997. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia. Jakarta: LP3ES. Cholisin. 2002. Militer dan Gerakan Prodemokrasi: Study Analisis tentang Respons Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Crouch, Harold. 1978. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. ------. 1986. Army and Politics in Indonesia. Alih bahasa oleh Th Sumarshana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Cohen, Eliot A. 2002. Supreme Command, Soldiers, Statesmen, and Leadership in War Time. New York: The Free Press. Clausewitz, Carl Von. 1976. On War. New Jersey: Princeton University Press. Charles C. Moskos dan Frank R. Wood. 1988. The Military More Than Just a Job. Washington: Pergamon-Brassey. Chrisnandi, Yudi. 2005. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Daadler, H. 1962. The Role of the Military in the Emerging Countries. The Hague: Mouton. Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali Pers. Demokratisasi dan Demiliterisasi Wacana dan Penyuluhan di Pesantren. 2001. Jakarta: Penerbit Perhimpunan Penyumbang Pesantren dan Masyarakat (P3M). M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 159
Desch, Michael C. 2001. Civilian Control of the Military: The Changing Security Environment. London: The John Hopkins University Press. ------. 2002. Politisi vs Jenderal: Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yang Bergeser. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Diamond, Larry, dkk. 2001. Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dwipayana, Ari A. A. G. N., dkk. 2000. Masyarakat Pasca-Militer: Tantangan dan Peluang Demiliterisme di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment. Ecip, Sinansari. 1998. Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto. Bandung: Mizan. Emmerson, Donald K. 2001. Indonesia Beyond Soeharto. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama-Asia Foundation. Fiet, Edward. 1973. “Pen, Sword and People: Military Regimes in the Formation of Political Institutions.” World Politics 25(2) (January): 251-55. Finer, S. E. 1969. The Man on Horseback: The Role of the Military in Politics. London: Pall Mall Press. Findley, Carter F. 1980. Bureaucratic Reform in the Ottoman Empire: The Sublime Porte, 1789-1922. Princeton: Princeton University Press. Fisher, Sydney Nettleton, ed. 1963. The Military in the Middle East. Columbus: Ohio State University Press. Gongora, Thierry, dkk. 1995. Toward A. Revolution in Military Affairs. London: Greenwood Press. Halper, Manfred. 1962. “Middle Eastern Armies and The New Middle Class.” Hlm. 277-313 dalam The Role of the Military in Underdeveloped Countries, disunting oleh John J. Johnson. Princeton: Princeton University Press. Haris, Syamsuddin. 1999. Reformasi Setengah Hati. Jakarta: Penerbit Erlangga. Haramain, A. Malik. 2004. Gus Dur, Militer, dan Politik. Yogyakarta: LKiS. Henze, Paul B. 1982. “Turkey: On the Rebound.” Wilson Quarterly (special issue): 109-135. Herlambang, Sri Muljono. 1999. “Pimpinan TNI Menyongsong Abad XXI.” Kompas, 2 Mei. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
16 0 |
AHMAD YANI BASUKI
Huntington, Samuel P. 1964 (1957). The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University. ------. 1965. “Political Development and Political Decay.” World Politics 17(3) (April): 386-430. ------. 1962. “Patterns of Violence in World Politics.” Hlm. 32-45 dalam Changing Patterns of Military Politics, disunting oleh Samuel P. Huntington. New York: Free Press of Glencoe. ------. 1975. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press. ------. 2003. Prajurit dan Negara. Jakarta: Grasindo. Hurewitz, J. C. 1969. Middle East Politics: The Military Dimensons. London: Pall Mall Press. Ingraham, Patricia W. dan Barbara S. Romzeh. 1992. New Paradigm for Government: Issues for the Changing Public Service. San Francisco: Jossey-Bass Publisher. Irsyan, Mahrus. 1999. “Paradigma TNI: Gerakan Reformasi.” Kompas. Janowitz, Morris. 1964. The Military in the Political Development of New Nations. Chicago: The University of Chicago Press. ------. 1985. Hubungan-hubungan Sipil Militer: Perspektif Refungsional. Jakarta: Bina Aksara. Johnson, Doyle Paul. 1981. Sociological Theory: Classical Founders and Contemporery Perspective. Alih bahasa oleh Robert M. Z. Lawang. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Johnson, John J., ed. 1962. The Role of the Military in Underdeveloped Countries. Princeton: Princeton University Press. ------. 1964. The Military and Society in Latin America. Stanford: Stanford University Press. Junaedhi, Kurniawan. 1991. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Kadi, Saurip. 2000. TNI AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan. Jakarta: Grafiti Press. Kartono, Kartini. 1996. ABRI dan Permasalahannya: Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era Pembangunan. Bandung: CV Mandar Maju. Kata-Kata Mutiara Panglima Besar Jenderal Sudirman. 1990. Jakarta: Pusbintal ABRI. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 161
Kennedy, Gavin. 1974. The Military in the Third World. London: Duckwort. Khan, Fazal Muquim. 1973. Pakistan’s Crisis in Leadership. Islamabad: National Book Foundation. Khan, Mohammed Asghar. 1983. Generals in Politics: Pakistan, 19581982. Dacca: University Press. Khan, Muhammed Ayub. 1967. Friends Not Masters: A Political Autobiography. New York: Oxford University Press. “Kontroversi Hak Politik Militer: Hasil jajak pendapat Kompas.” 2002. Kompas, 29 Juni, 8. “Kontroversi Hak Politik Militer.” 2003. Kompas, 9-12 Juni, 1. Lemhannas. 1994. Hubungan Fungsional antara Pemerintah, Komando ABRI, dan Kepemimpinan Masyarakat. Jakarta: Lemhannas. Levine, Daniel H. 1978. “Venezuela since 1958: The Consolidation of Democratic Politics.” Hlm. 82-109 dalam The Breakdown of Democratic Regimes: Latin America, disunting oleh Juan J. Linz dan Alfred Stephan. Baltimore: John Hopkins University Press. Levy, Avigdor. 1982. “Military Reform and the Problem of Centralization in the Ottoman Empire in the Eighteenth Century.” Middle Eastern Studies 18(3) (Juli): 227-49. Levy, Jack S. 1983. War in the Modern Great Power System, 14951975. Lexington: University of Kentucky Press. Lowry, Robert. 1996. The Armed Forces of Indonesia. Australia: Allen & Unwin. ------. 1996. The Armed Forces of Indonesia. New South Wales, Australia: Allen & Unwin. Luhmann, Nikolas. 1982. The Differentiation of Society. New York: Columbia University Press. Ma’arif, Syamsul. 2007. “Militer dalam Masyarakat: Menuju TNI Profesional di Era Reformasi.” Disertasi. Depok: Departemen Sosiologi FISIP UI. Maliki, Zainuddin. 2000. Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi. Yogyakarta: Galang Press. Mangoenpoerojo, Roch Basoeki. 1999. “Kembali ke TNI.” Kompas, 2 Mei. Maniruzzaman, Talukder. 1998. Militer Kembali ke Barak: Sebuah Studi Komparatif. Alih bahasa oleh Ashintya D. Sukma. Jakarta: Tiara Wacana. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
162 |
AHMAD YANI BASUKI
Mabes TNI. 1999a. Buku Pemilu tentang Netralitas TNI dan POLRI. Jakarta: Mabes TNI. ------. 1999b. ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa. Jakarta: Mabes TNI. ------. 1999c. Paradigma Baru Peran TNI: Sebuah Upaya Sosialisasi. Jakarta: Mabes TNI. ------. 2000. Apa dan Siapa Staf Komunikasi Sosial TNI. Jakarta: Mabes TNI. Maulani, Z. A. 1998. Peran ABRI Abad XXI: Dimensi Perkembangan Global. Bandung: Sesko ABRI. Memahami TNI dan Netralitasnya. 2004. Jakarta: Puspen TNI. Merton, Robert K. 1967. On Theoritical Sociology. New York: The Free Press. ------. 1968 (1949). Social Theory and Social Structure. New York: Free Press. ------. 1948. “Discussion of Parsons: ‘The Position of Sociological Theory’.” American Sociological Review 13. Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nazir, Moh. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Neuman, W. Lawrence. 1990. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. New York, USA: Free Press. Nordlinger, Eric A. 1994. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta. “Operasi Pemulihan Keamanan Dimulai.” 2003. Kompas, 19 Mei, 1. “Opini: Masih Sekitar RUU TNI.” 2004. Kompas, 6 Agustus, 4-5. Osborne, David dan Peter Plastrik. 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. California dan New York: Addison, Weslly Publishing Company. Inc. Osborne, Richard dan Boris Van Loon. 1998. Sociology for Beginners. Alih bahasa oleh Siti Kusumawati A. Jakarta. “Panglima TNI Instruksikan Jajarannya Tetap Netral.” 2003. Kompas, 8 Oktober, 6. Parsons, Talcott. 1949. Essays in Sociological Theory. New York: Free Press. ------. 1951. Toward a General Theory of Action. New York: Harper & Row. ------. 1966. Societies: Evolutionary and Comparative Perspectives. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 163
------. 1981. “Revisiting the Classics”. The Future of the Sociological Classis, disunting oleh Bufford Rhe. London: George Allen & Unwin. Pauker, Guy J. 1959. “South East Asia as a Problem Area in Nest Decade.” World Politics 11(2) (April): 325-45. Perlmutter, Amos. 2000. Militer dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers. Pontoh, Coen Husain. 2000. TNI Bukan Tentara Rakyat. Jakarta: Solidaritas Nusa Bangsa. Poloma, Margaret M. 1979. Contemporary Sociological Theory. Alih bahasa oleh Tim Yasagama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. PPW-LIPI. 1998a. Bila ABRI Menghendaki. Jakarta: Penerbit Mizan. ------. 1998b. Bila ABRI Berbisnis. Jakarta: Penerbit Mizan. ------. 1999. Tentara Mendamba Mitra. Jakarta: Penerbit Mizan. Prajurit Teladan. 1978. Jakarta: Disjarah AD. Pye, Lucian W. 1962. “Armies in the Process of Political Modernization.” Hlm. 69-89 dalam The Role of the Military in Underdeveloped Countries, disunting oleh John J. Johnson. Princeton: Princeton University Press. Reed, Stanley F., III. 1980. “Dateline Syria: Fin de Regimer?” Foreign Policy 39 (Summer): 176-190. “Reformasi Militer Jalan di Tempat.” 2003. Kompas, 22 Mei, 4. Republika, September 1998 s.d. Juni 2006. Said, Salim. 1997. Dwifungsi ABRI: Dulu, Kini, dan Kelak. Bandung: Mimeografi Seskoad. ------. 2002. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000. Jakarta: Aksara Karunia. ------. 1991. Genesis of Power: General Sudirman and The Indonesian Military in Politics 1945-1949. Singapore: Allen & Unwin. ------. 2001. Wawancara tentang Tentara & Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Samego, Indria, dkk. 1998. Bila ABRI Menghendaki: Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI. Bandung: Mizan. ------. 1999. TNI di Era Perubahan. Jakarta: Erlangga. ------. 1998. Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan. Schwartz, Adam-Johnathan Paris. 1999. The Politics of Post Suharto Indonesia. Singapore: The Council of Foreign Relation. Schwartz, Peter. 1991. The Art of the Long View. New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group, Inc. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
16 4 |
AHMAD YANI BASUKI
Sejarah TNI, Jilid I s.d. V. 2000. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Mabes TNI. Sinaga, Janer. 1987. Dwifungsi ABRI: Realita Historis dan Realita Konstitusionil. Jakarta: Percetakan Negara RI. Singh, Bilveer. 1999. Dwifungsi ABRI: Asal-usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ------. 1995. Dwifungsi ABRI, The Dual Function of the Indonesian Armed Forces: Origin, Actualization and Implications for Stability and Development. Singapore: Singapore Institue of International Affairs. ------. 1999. Civil-Military Relations Revisited: The Future of the Indonesian Armed Forces (ABRI) in Indonesian Politics. Singapore: Crescent Design Associates. “Soal Dugaan Calon Presiden Tarik TNI untuk Mendukung, Panglima TNI Instruksikan Jajarannya Tetap Netral.” 2003. Kompas, 8 Oktober, 6. Soebijono, dkk. 1992. Dwifungsi ABRI. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ------. 1993. Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soekanto, Soerjono. 1989. Robert K. Merton: Analisa Fungsional. Jakarta: Rajawali Pers. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ------. 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika. Stainback, Susan. 1988. Understanding & Conducting Qualitatif Researches. Dubuque, Iowa: Kendal/Hunt Publishing Company. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sukma, Rizal dan J. Kristiadi. 1993. Hubungan Sipil–Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia: Persepsi Sipil dan Militer. Jakarta: CSIS. Supriyatmoko, Hendri. 1994. Nasution, Dwifungsi ABRI, dan Konstitusi ke Arah Reformasi Politik. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. Sutarto, Endriartono, Jenderal TNI. 2005. Kewajiban Prajurit Mengabdi kepada Bangsa. Jakarta: Puspen TNI. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6
REFORMASI TNI
| 165
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Alih bahasa oleh Alimanda. Jakarta: Prenada. “TNI Diharapkan Beri Sikap Resmi.” 2002. Kompas, 15 Juni, 6. “TNI Minta Izin untuk Tak Gunakan Hak Pilih.” 2002. Kompas, 21 Juni, 1. “TNI/Polri Pamit dari MPR/DPR.” 2003. Media Indonesia, 6 Agustus, 1. Turner, H. Jonathan. 1991. Destructure of Sosiological Theory. California: Wadsworld Publishing Company Belmant. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang telah diamandemen). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Vatikiotis, Michael R. J. 1993. Indonesian Politics Under Suharto. New York: Routledge. Von Bredow, W. 2000. “Military Sociology.” Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, disunting oleh Adam Kupper dan Jessica Kuper. Jakarta: Rajawali Pers. Wahid, Abdurrahman, dkk. 1999. Indonesia Baru dan Tantangan TNI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Weeks, Stanley B., dkk. 1999. The Armed Forces of the USA in the Asia Pacific Region. New South Wales, Australia: Allen & Unwin. Wirahadikusumah, Agus. 1999. Indonesia Baru dan Tantangan TNI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Wiranto. 2003. Bersaksi di Tengah Badai. Jakarta: Ide Indonesia. Wiranto. 1999. “Paradigma Baru ABRI.” Kompas, 9 April. Young, C. Felina. 1999. Organization Development: The Consultant’s Handbook. Jakarta: IPWI Publishing Company. Yudhoyono, Susilo Bambang. 1999. “Indonesia in the New Millenium: Promises and the Price of Reform.” Makalah, dipresentasikan di hadapan Temasek Society, Singapore, 17 May 1999. ------. 1999. “Indonesia in the Next Decade: Political and Security Outlook.” Makalah, dipresentasikan di JICA International Seminar, Tokyo, 2 September 1999. ------. 2000. Mengatasi Krisis, Menyelamatkan Reformasi. Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan. Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil–Militer di Indonesia Pasca-Orba. Jakarta: Lakpesdam. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014:135 -16 6
16 6 |
AHMAD YANI BASUKI
Zen, Kivlan. 2004. Konflik dan Integrasi TNI AD. Jakarta: Institute of Policy Studies. Zon, Fadli. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute of Policy Studies.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju li 2014: 135 -16 6