III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati (asal tumbuhan) dan bahan pangan hewani (asal ternak dan ikan). Jadi yang dimaksud dengan bahan pangan asal ternak adalah bahan pangan hewani yang tidak termasuk ikan. Dalam hal ini utamanya adalah daging, telur, dan susu yang bila ditelusuri lagi asal usulnya, maka daging, telur dan susu tersebut berasal dari spesies hewan yang berbeda-beda dengan pola makan dan sumber bahan pakan yang juga berbeda-beda serta pola hidup dan siklus biologisnya yang juga sangat bervariasi. Daging umumnya dapat diperoleh dari daging sapi, daging kambing/domba, daging babi, daging ayam, dan daging hewan lainnya yang dikonsumsi masyarakat tertentu. Telur umumnya diperoleh dari ayam, itik dan puyuh, sedangkan susu diperoleh utamanya dari sapi tipe perah dan kambing tipe perah walaupun didaerah tertentu seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara ada yang memanfaatkan susu kerbau untuk diolah menjadi bahan pangan tertentu. Pangan asal ternak ini dibutuhkan manusia selain sebagai bahan pangan yang memiliki cita rasa, utamanya dijadikan sebagai sumber protein hewani yang dibutuhkan tubuh sebagai protein fungsional maupun sebagai pembangun struktur (pertumbuhan), terutama pada anak-anak di bawah 5 tahun, dimana laju pertumbuhan dan pengembangan sel-sel otaknya sangat tinggi. Protein hewani menjadi sangat penting oleh karena mengandung asam-asam amino yang lebih lengkap dan mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya (Anonimus 1982).
15
Keamanan Pangan Asal Ternak
B. Peranan Pangan Asal Ternak Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara lain digunakan untuk mengklasifikasikan apakah suatu negara masuk kategori negara maju, negara berkembang atau terbelakang. Penetapan IPM ini didasarkan kepada perbandingan tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, tingkat pendidikan dan tingkat standar hidup yang ada kaitannya dengan tingkat pendapatan perkapita/PDB dan daya beli. Berdasarkan data tahun 2012, IPM Indonesia menempati ranking 121 dari 187 negara, naik tiga peringkat dari tahun 2011, yang berada pada urutan ke-124 dari 187 negara. Nilai IPM Indonesia ini dilihat dari pembangunan manusia pada kelas menengah, dengan nilai IPM 0,629 naik 0,005 dibandingkan dengan tahun 2011. Tingkat harapan hidup orang Indonesia juga meningkat menjadi 69,8 tahun dan PDB per kapita juga meningkat menjadi 4.154 USD. Walaupun IPM ini ada kenaikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih berada di bawah rata-rata negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, tetapi masih berada di atas Vietnam. Selanjutnya mengenai kebutuhan pangan ini terdapat hubungan yang erat antara ketersediaan pangan (jumlah dan mutu yang memadai) dengan kualitas atau tingkat kecerdasan SDM dari suatu bangsa. Hal ini tidak dapat dibantah lagi bila kita melihat ranking IPM yang tinggi dan sangat tinggi dari suatu bangsa pada umumnya angka konsumsi protein hewaninya juga tinggi. Sebagai contoh, ranking IPM dengan indeks sangat tinggi hampir seluruhnya berasal dari negara-negara maju seperti Norwegia (0,955), Australia (0,938), Amerika Serikat (0,937), Belanda (0,921), Selandia Baru (0,919), Jepang (0,912), Kanada (0,911), Korea Selatan (0,909), Inggris (0,875) dan Brunei Darussalam (0,855), masing-masing berada pada urutan 1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, 12, 26 dan 30. Sedangkan konsumsi protein asal ternak (g/kapita/hari) dan sharing konsumsi protein asal ternak terhadap total protein (%) yang terbesar juga berasal dari beberapa negara maju seperti: 16
Pangan Asal Ternak dan Peranannya
Australia (60,8 g/kapita/hari dan 56,7%), Amerika Serikat (69,0 g/kapita/hari dan 59,5%), Belanda (59,5 g/kapita/hari dan 56,7%) Selandia Baru (44,5 g/kapita/hari dan 48,3%), Kanada (50,0 g/kapita/hari dan 48,0%), Inggris (52,3 g/kapita/hari dan 50,5%), dan Brunei Darussalam (37,8 g/kapita/hari dan 40,7%). Bandingkan dengan angka konsumsi protein asal ternak Indonesia yang masih 5,4 g/kapita/hari dengan persentase terhadap total protein baru 10,1 % (FAO 2009). Secara keseluruhan, IPM ini memiliki keterkaitan dengan kebijakan ekonomi dari suatu negara terhadap kualitas hidup rakyatnya. Sementara itu, diketahui terdapat hubungan antara tingkat konsumsi protein hewani dengan tingkat harapan hidup, kualitas hidup dan tingkat pendapatan masyarakat dari suatu negara. Sebagaimana diketahui bahwa protein hewani mempunyai komposisi asam amino yang lengkap yang dibutuhkan tubuh manusia untuk pembentukan protein sel-sel organ tubuh terutama pada anak-anak Balita dimana proses perkembangan otak dan organ tubuh lainnya sangat memerlukan asupan asam-asam amino tersebut. Oleh karena itu, protein hewani ini penting dalam membentuk tingkat kecerdasan, tingkat stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel-sel tubuh manusia dan memelihara sel darah merah. Protein hewani memiliki nilai hayati yang relatif tinggi dimana hampir semua bahan pangan asal ternak mempunyai nilai hayati di atas 80 yang menggambarkan banyaknya unsur N (nitrogen) dari suatu protein dalam bahan pangan tersebut yang dapat dimanfaatkan tubuh dalam membentuk protein tubuh. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa produk ternak merupakan sumber protein terbaik berkualitas tinggi dan juga sumber mikronutrien esensial seperti vitamin B dan unsur trace element seperti besi (Fe) dan seng (Zn) yang memiliki nilai bioavailabilitas yang tinggi (derajat penyerapan dan pemanfaatannya tinggi) selain mengandung asam amino esensial tertentu. Tingkat bioavailabilitas ini penting untuk ibu
17
Keamanan Pangan Asal Ternak
dan Balita dimana mikronutrien ini biasanya sulit diperoleh dari pangan asal tanaman karena bioavailabilitasnya rendah. Sejumlah kecil pangan asal ternak ini sangat esensial bagi kesehatan ibu dan perkembangan fisik dan mental anak balita (FAO 2009). Kondisi manusia dan anak yang malnutrisi karena kekurangan protein hewani diyakini sebagai penyebab terjadinya gangguan mental dan fisik anak-anak balita serta mudah terserang penyakit malaria, TBC maupun HIV/AIDS. Walaupun produk ternak sangat dibutuhkan sebagai sumber gizi utama dalam pertumbuhan dan kehidupan manusia, tetapi produk ternak tersebut akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman. Oleh karena itu Keamanan Produk Ternak (pangan asal ternak) bagi Manusia merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawartawar lagi (Winarno 1996). Sesungguhnya selain kebutuhan kuantitatif terhadap kebutuhan daging, telur dan susu, masyarakat luas juga telah semakin sadar akan pentingnya pangan asal ternak yang berkualitas yang menyangkut aspek gizi dan kesehatan dalam arti produk tersebut aman, bebas dari cemaran mikroba, bahan kimia atau cemaran yang dapat mengganggu ketenteraman batin. Pangan asal ternak yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan atau kematian (seperti kasus Antraks dan kasus Mad Cow) tetapi dapat juga mempengaruhi pertumbuhan fisik dan inteligensia. Oleh karena itu, isu keamanan pangan asal ternak selalu merupakan isu yang aktual yang perlu mendapat perhatian kita semua, produsen, aparat, konsumen dan para pemegang kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan masyarakat juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional maupun global.
18
Pangan Asal Ternak dan Peranannya
C. Situasi Konsumsi Protein Hewani di Indonesia dan Dunia Berdasarkan data dalam buku The State of Food and Agriculture (edisi Livestock in the balance) yang diterbitkan FAO pada tahun 2009 terlihat bahwa asupan protein hewani untuk rata-rata dunia adalah 23,9 g/kapita/hari, rata-rata negara maju 49,8 g/kapita/hari, rata-rata negara berkembang 17,4 g/kapita/hari, sedangkan untuk Indonesia konsumsi protein hewani hanya 5,4 g/kapita/hari yang berada pada urutan ke-158 dari 173 negara atau berada pada urutan ke-15 dari belakang (FAO 2009). Menurut Buku Statistik Peternakan tahun 2012, konsumsi protein asal ternak penduduk Indonesia sudah mencapai 6 g/kapita/hari (Ditjen PKH 2012). Bila dilihat kontribusi asupan protein asal ternak terhadap total protein yang dikonsumsi rata-rata penduduk Indonesia hanya 10,1%, sedangkan share protein asal ternak dunia 27,9%, untuk negara maju 47,8% dan untuk negara berkembang 22,9%. Menurut data Statistik Peternakan tahun 2012, angka konsumsi protein asal ternak penduduk Indonesia pada tahun 2012 adalah 6 g/kapita/hari yang terdiri dari 2,75 gram asal daging dan 3,25 gram asal telur dan susu (hasil SUSENAS BPS tahun 2011). Sedangkan protein asal ikan adalah 8 g/kapita/hari, sehingga asupan protein hewani total adalah 14 g/kapita/hari (Ditjen PKH 2012). Sementara itu konsumsi total protein adalah 56,25 g/kapita/hari, dengan demikian sharing konsumsi protein asal ternak pada tahun 2012 adalah 6/56,25 = 10,67%. Angka ini masih sama dengan data FAO (2009). Demikian juga untuk asupan kalori protein hewani Indonesia berada pada urutan yang sama dari 173 negara dengan asupan hanya 82,4 kkal/kapita/hari (share terhadap total asupan kalori hanya 3,4%). Bandingkan dengan rata-rata dunia, rata-rata negara maju, dan rata-rata negara berkembang yang masingmasing 388,2; 694,6; dan 311,8 kkal/kapita/hari (dengan share masing-masing 12,9; 20,3; dan 11,1%). Menurut Hardinsyah et al. (2012) bahwa share kalori protein asal ternak idealnya 19
Keamanan Pangan Asal Ternak
mendekati 15%. Informasi ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa asupan protein hewani bagi penduduk Indonesia sangat rendah. Sementara itu, diketahui bahwa protein hewani mempunyai peranan yang penting dalam membangun kualitas sumber daya manusia, sepanjang protein hewani tersebut aman untuk dikonsumsi manusia. Oleh karena itu pangan asal ternak yang merupakan sumber utama protein hewani harus diproduksi dari hewan yang sehat dan dipelihara secara baik mengikuti kaidah-kaidah kesejahteraan hewan. Bila dihitung dari konsumsi protein hewani keseluruhan (asal ternak dan ikan =14 g), maka sharing konsumsi protein hewani adalah 14/56,25 = 24,89%. Menurut Hardinsyah et al. (2012) bahwa angka kecukupan energi tahun 2012 adalah 2150 kkal (sedangkan angka kecukupan energi berdasarkan ketersediaannya adalah 2400 kkal), sedangkan angka kecukupan protein yang dianjurkan pada Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 2012 adalah 57 gram/kpt/hari dengan porsi protein hewani anjuran sebesar 25% atau 14,25 g/kapita/hari (berdasarkan angka ketersediaannya pada tahun 2012 adalah 63 g/kapita/hari). Sementara itu, konsumsi produk asal ternak per kapita per tahun pada tahun 2011 adalah 5,54 kg daging, 6,62 kg telur dan sekitar 7 kg setara susu segar (Ditjen PKH 2012). Untuk produksi telur yang mencapai 1,54 juta ton pada tahun 2012 didominasi oleh telur ayam ras sebesar 1,059 juta ton (68,75 %), sedangkan telur itik 276,2 ribu ton (17,9%), dan telur ayam buras sebesar 205,3 ribu ton (13,6%). Sesungguhnya data produksi ini menggambarkan potensi dari berbagai komoditas ternak lokal sebagai sumber utama protein hewani di dalam negeri. Dari data produksi pangan asal ternak di Indonesia ini, kita bisa menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan produksi pangan asal ternak di Indonesia harus dilakukan perbaikan pendekatan berdasarkan potensi sumberdaya lokal yang dimiliki
20
Pangan Asal Ternak dan Peranannya
agar dapat ditingkatkan produksinya serta dapat diakses ketersediaannya. Sharing konsumsi protein asal ternak rakyat Indonesia yang baru 10% ini mengindikasikan masih rendahnya peranan protein asal ternak dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia. Keadaan ini cukup memprihatinkan terutama dalam membangun SDM dalam jangka panjang, dimana ranking IPM Indonesia tahun 2012 pada urutan 121 dari 187 negara. Sementara itu ranking konsumsi protein hewaninya berada pada urutan 158 dari 173 negara (FAO 2009). Oleh karena itu pembangunan peternakan di Indonesia harus difokuskan untuk meningkatkan produksi dan sekaligus juga meningkatkan konsumsi produk ternak yang merupakan sumber protein hewani. Sedangkan ke depannya untuk jangka panjang diperlukan konsep pembangunan peternakan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan ketersediaan sumberdaya lokal. Menurut FAO (2010) dalam bukunya How to feed the world 2050 bahwa permintaan produk hewani dunia pada tahun 2050 akan mencapai dua kali lipat dari konsumsi saat ini, dan persentase pertumbuhan permintaan produk hewani tersebut juga diperkirakan akan lebih tinggi terjadi di negara-negara berkembang. Untuk Indonesia yang asupan protein hewaninya masih sangat rendah dengan jumlah penduduk yang besar akan menghadapi tantangan yang lebih berat karena untuk mengejar ketertinggalan tersebut dihadapkan kepada pertambahan penduduk sekitar 1,3% per tahun, sehingga kebutuhan produk ternak dan konsumsi protein hewani tersebut diperkirakan lebih dari duakali lipat bahkan bisa mencapai 3 sampai 4 kali lipat pada tahun 2050, tentu saja harus diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang pada tahun 2045 diperkirakan mencapai sekitar 25.000 USD (Anonymous 2011). Namun bila melihat pertumbuhan konsumsi protein hewani di Indonesia selama 10 tahun (1995-2005) ternyata hanya 1 (satu)
21
Keamanan Pangan Asal Ternak
persen rata-rata pertahunnya, yaitu dari 4,9 g/kapita/tahun pada 1995 menjadi 5,4 g/kapita/tahun pada tahun 2005. Dalam hal ini lagi-lagi Indonesia selain asupan protein hewaninya sangat rendah (urutan ke-15 terahir dari 172 negara) juga sangat lambat dalam meningkatkan laju pertumbuhan konsumsi protein hewani. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan konsumsi protein hewani untuk periode yang sama pada tingkat dunia yang mencapai 1,3%, dan pada tingkat negara berkembang pertumbuhannya mencapai 2,3%, sedangkan pada tingkat negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara pertumbuhannya lebih tinggi lagi yaitu mencapai 4,4% (FAO 2009). Menurut Delgado et al. (2001) bahwa terjadinya revolusi peternakan dipicu oleh meningkatnya permintaan produk asal ternak yang juga berarti meningkatnya prospek pasar terutama di negara-negara berkembang, dimana revolusi peternakan ini dicirikan oleh akselerasi peningkatan permintaan produk hewani di dalam negeri. Sesungguhnya revolusi peternakan di Indonesia terjadi pada tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan, yaitu revolusi ayam ras dimana kenaikan produksi dan konsumsi daging broiler dan telur ayam ras meningkat sangat pesat. Hal ini diperlihatkan dengan terjadinya perubahan struktur produksi daging unggas (khususnya ayam broiler) dengan struktur produksi daging sapi (Tabel 2).
22