II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tepung Jagung Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperm merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan dari endosperm karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tip cap merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap juga merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tip cap tidak sempurna maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung dilakukan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan
dilakukan
sebanyak
dua
kali.
Penggilingan
pertama
(penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan multi mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit, lembaga dan tip cap. Kemuditan kulit, lembaga dan tip cap dipisahkan melalui pengayakan dan perendaman. Selanjutnya, grits jagung yang diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3 jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung tidak terlalu keras sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung. Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung menggunakan disc mill (penggiling halus) menghasilkan tepung jagung. Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak berukuran 100 mesh. Komponen terbesar dalam tepung jagung adalah pati. Berdasarkan hasil penelitian Juniawati (2003), tepung jagung memiliki kadar pati sebesar 68,2%.
B. Pati Jagung Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz dan Grosch, 1999). Dalam bentuk aslinya secara alami, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976). Pati ini dapat dimanfaatkan dalam pembuatan aneka produk pangan yang salah satunya adalah mi jagung. Untuk mengetahui proses pembuatan mi jagung terlebih dulu perlu mengetahui beberapa sifat dari pati. Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang tinggi. Lebih dari 80 persen tanaman pangan terdiri dari biji-bijian atau umbiumbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan Munro, 1979). Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin. Oleh karena itulah pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami pencetakan. Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari industri penggilingan jagung dengan teknik basah (wet mill) (Greenwood, 1975). Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu. Pada tepung jagung masih lengkap sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak. Umumnya pati mengandung 12 – 30% amilosa, 75 – 80% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat
dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1975). Tabel 1. Perbandingan Sifat Pati Jagung dan Tepung Jagung Parameter
Satuan
Pati jagung *
Tepung jagung**
Kadar air
%
10.21
10.9
Kadar protein (b/b)
%
0.56
5.8
Kadar abu
%
0.05
0.4
Kadar lemak (b/b)
%
0.68
0.9
Karbohidrat by difference
%
88.5
82.0
Kandungan pati
%
98.01
68.2
PH (5% suspensi)
-
5.18
-
ppm
9.21
-
Lolos ayakan 100 mesh
%
99.81
-
Viskositas
cps
900
-
Serat
%
-
7.8
Residu SO2
Sumber: *) PT. Suba Indah Tbk (2004) **) Juniawati (2003) Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence ini akan hilang. Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron ini tergantung sumber patinya. Untuk pati jagung memiliki diameter berkisar antara 21 – 96 m, kentang 15 – 10 m, ubi jalar 15 – 55 m, tapioka 6 – 36 m, gandum 3 – 38 m, dan beras 3 – 9 m (Fennema, 1996).
1. Amilosa Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan
-(1,4)
dari struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dikatakan sebagai bagian linier dari pati, meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan ß-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil yang sempurna. ß-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan
-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa
menghasilkan maltosa (Hoseney, 1998). Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan. Secara umum, amilosa yang diperoleh dari umbi-umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa dari pati biji-bijian. Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan iodine membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati (Hoseney, 1998). 2. Amilopektin Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan
-(1,4)
pada rantai lurusnya serta ikatan ß-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 persen dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976). Cabang-cabang amilopektin lebih banyak dari pada amilosa. Amilopektin terdiri dari 300500 unit glukosa, namun glukosa yang dihubungkan dengan ikatan rantai -1,4 hanya sekitar 25-30 unit (Hoseney, 1998). Amilopektin dan amilosa dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976). 3. Granula Pati Granula pati mempunyai ukuran diameter 3-26 m, namun rata-rata ukuran granula pati jagung adalah 15 m. Pati dengan ukuran granula besar
mempunyai
ketahanan
terhadap
panas
yang
lebih
tinggi
dibandingkan dengan pati dengan granula yang berukuran kecil. Pengamatan
dengan
DSC
(Differential
Scanning
Calorimetry)
menunjukkan bahwa pati dengan ukuran kecil mempunyai suhu awal gelatinisasi lebih rendah dibandingkan dengan pati yang berukuran granula lebih besar (Wirakartakusumah, 1981).
Dalam pembuatan mi jagung
dengan bahan pati kasar, ukuran partikel pati kasar akan berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Penampakan cincin atau lamela pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya. Di dalam Hodge dan Osman (1976) menjelaskan bahwa ikatan paralel terbentuk antara molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dari molekul bercabang. Ikatan ini dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menghasilkan daerah kristalisasi atau misela. Daerah yang kurang padat yang disebut daerah amorf mudah dimasuki air. Misela menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop (Whistler et al., 1996). Letak hilum dalam granula pati ada yang ditengah dan ada yang ditepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976). Sampai saat ini diduga
bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati. Tabel 2. Karakteristik Granula Pati Jenis pati
Ukuran granula (µm)
Padi Gandum Jagung Sorgum Rye Barley Sumber: Hoseney (1998).
3-8 20-35 15 25 28 20-25
Bentuk granula Poligonal Lentikular atau bulat Polihedral atau bulat Bulat Lentikular atau bulat Bulat atau elips
Dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-lapisan tipis yang tersusun terpusat. Bentuk dan ukuran granula bervariasi tergantung jenis patinya (Tabel 2) (Hodge dan Osman, 1976). 4. Proses Ekstraksi Pati Pati jagung komersial dihasilkan dari jagung pipil dengan metode penggilingan basah. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen dasar yaitu: pati, lembaga, serat, dan protein. Keempat komponen tersebut dapat diolah menjadi produk-produk seperti dekstrin, sirup glukosa, pakan ternak, minyak jagung, dan lain-lain (Corn Refiner Association, 2007). Tahap-tahap pembuatan pati dengan metode penggilingan basah meliputi penanganan pasca panen jagung (pengeringan dan penyimpanan), pembersihan, perendaman, dan pemisahan komponen-komponen kernel jagung. Tahap pemisahan kernel jagung dibagi lagi menjadi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati, dan terakhir tahap starch finishing (Johnson dan May, 2003). Jagung yang berasal dari ladang dikeringkan dan disimpan dalam silo. Faktor yang harus diperhatikan selama penyimpanan adalah kadar air jagung. Kadar air yang aman untuk penyimpanan jangka panjang adalah sekitar 15% atau kurang. Jagung yang disimpan harus telah memenuhi
syarat mutu yang ditentukan. Menurut Johnson dan May (2003), faktor yang diperhatikan dalam pemilihan mutu jagung adalah daya simpan dan penampilan (bobot, adanya materi asing atau kontaminan, dan total kernel yang rusak). Jagung yang lolos inspeksi memasuki tahap pembersihan. Pada tahap ini jagung dibersihkan dari kotoran dan kontaminan asing (sekam batu, pecahan kernel, bagian tubuh serangga, pasir, logam dan lain-lain). Tahap selanjutnya adalah perendaman. Jagung direndam dalam air yang telah dicampur SO2 dengan konsentrasi tertentu (0.12-0.2%). Perendaman dilakukan selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam) pada suhu 520C. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam kernel meningkatkan kadar air dari 15% menjadi 45%. Difusi air menyebabkan ukuran kernel membengkak
dua
kali
ukuran
semula,
melunakkan
kernel
dan
memudahkan pemisahan pada tahap selanjutnya. Air sisa perendaman dievaporasi hingga mencapai 40-50% padatan, dicampur serat jagung, dikeringkan dan dijual sebagai corn gluten feed atau sebagai fermentation enhancer. Menurut Johnson dan May (2003) penggunaan SO2 sangat penting karena SO2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfide matriks protein yang membungkus granula pati, sehingga dapat membebaskan granula pati. Selain itu SO2 mampu menciptakan kondisi yang
menguntungkan
bagi
pertumbuhan
bakteri
asam
laktat
(lactobacillus). Asam laktat yang dihasilkan bakteri asam laktat dapat membantu pemisahan pati dan meningkatkan jumlah pati yang dihasilkan. Asam laktat dapat meningkatkan pelunakkan biji, melarutkan protein endosperm, dan melemahkan dinding sel endosperm. Tahap pemisahan kernel dimulai dengan penggilingan kasar dan pemisahan lembaga. Sebelum lembaga jagung dipisahkan menggunakan hydroclone, jagung terlebih dahulu digiling kasar untuk memecah kernel tanpa memecah lembaga. Selama perendaman, lembaga jagung menjadi lebih elastis, sehingga diharapkan tidak akan pecah dengan penggilingan kasar. Selanjutnya lembaga dipisahkan dari pecahan kernel jagung dalam
hydroclone berdasarkan perbedaan berat jenis. Larutan kernel jagung dan lembaga dari penggilingan kasar dipompa masuk ke hydroclone. Dalam hydroclone larutan lembaga dan kernel jagung teraduk oleh hembusan angin yang diberikan dan mendapat gaya sentrifugal. Lembaga akan terdorong keatas dan pecahan kernel jagung terpisah kebawah. Lembaga yang terpisah dicuci, dihilangkan kadar airnya dengan pengepresan, dikeringkan hingga kadar air 3% dan kemudian didinginkan. Lembaga yang dikeringkan bisa diolah lebih lanjut untuk ekstraksi minyak jagung. Tahap selanjutnya adalah penggilingan halus dan pemisahan serat. Pada tahap ini, lumpur jagung dari penggilingan kasar digiling dalam penggilingan kuat yang akan menggerus jagung sehingga pati dan glutennya keluar dari dalam kernel. Selanjutnya suspensi pati, gluten, dan serat dialirkan ke atas ayakan cembung yang dapat menahan serat tetapi meneruskan pati. Serat yang terkumpul diayak lagi untuk menghilangkan residu pati atau protein, kemudian dipompa menuju lini pakan untuk dijadikan pakan hewan. Suspensi pati dan gluten yang disebut mill starch dialirkan menuju starch separators. Tahap pemisahan dan pemurnian pati dari mill starch dilakukan berdasarkan perbedaan berat jenis pati dan gluten. Gluten memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan pati. Mill starch dialirkan dalam sentrifuse, sehingga gluten mengambang lalu dipompa ke lini pakan. Pati dengan sisa protein sekitar 1-2% dilarutkan lalu dicuci 8 sampai 14 kali. Pelarutan dan pencucian yang berulang di dalam hydroclone digunakan untuk menghasilkan pati berkualitas tinggi dengan sisa protein yang sangat rendah. Pati dengan kualitas baik memiliki tingkat kemurnian lebih dari 99.5%. Sebagian pati dikeringkan untuk dijual sebagai pati tak termodifikasi,
sebagiannya
lagi dijual sebagai
pati yang sudah
dimodifikasi atau mengalami proses lanjutan menjadi dekstrin dan sirup glukosa (Corn Refiner Association, 2007). Tahap starch finishing dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Lumpur pati bisa langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan beberapa senyawa
kimia seperti pemutih atau asam (memodifikasi sifat protein) untuk memenuhi kebutuhan konsumen. C. Mi Jagung Pembuatan mi jagung baik mi jagung basah maupun mi jagung kering telah dilakukan beberapa kali penelitian. Dengan desain proses dan formulasi yang berbeda untuk membentuk mi jagung yang terbaik dilihat dari sifat fisik mi maupun dari sifat kimia mi jagung itu sendiri. Selain itu penelitian pembuatan mi jagung yang terdahulu juga menggunakan bahan baku berupa tepung jagung dan pati jagung. Proses pembuatan mi basah dari tepung jagung terdiri atas pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pengulian, pencetakan (pressing, slitting, dan cutting) dan perebusan. Proses pencampuran merupakan tahapan untuk menghomogenkan bahan-bahan dalam pembuatan mi. Selain itu, proses pencampuran bertujuan untuk meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga adonan tidak membentuk gumpalan. Keseragaman distribusi partikel mempengaruhi waktu penetrasi air ke dalam granula pati. Proses pengukusan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran mi. Sedangkan proses pembuatan mi jagung kering terdiri dari pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Juniawati (2003) membuat mi jagung instan dari bahan tepung jagung. Pada penelitian ini dilakukan penentuan formulasi yang akan dioptimasi. Tepung jagung, air, garam 1% adalah formulasi mi jagung instan yang akan dibuat. Perbandingan tepung jagung dengan air yang digunakan adalah 1 : 3/4 sampai dengan 1 : 1
¼ .
Waktu pengukusan pertama dilakukan mulai dari 10
menit sampai dengan 50 menit. Dari kesemua proses dan formulasi yang dilakukan dihasilkan desain proses yang terbaik berupa perbandingan tepung jagung dan air sebesar 1:1, dengan penggunaan waktu pengukusan pertama selama 10 menit dan pengukusan kedua selama 30 menit. Pengukusan selama 10 menit ini didukung oleh penggunaan baking powder yang dapat mempersingkat waktu pengukusan pertama. Hal ini disebabkan dengan
penambahan baking powder maka penetrasi panas yang diterima oleh bahan lebih cepat sehingga proses gelatinisasi pun dapat berlangsung lebih cepat. Budiyah (2004) melakukan penelitian mi jagung instan dengan memodifikasi formulasi dari penelitian Juniawati (2003). Dalam penelitian ini tepung jagung digantikan dengan tepung maizena dan gluten meal. Beberapa parameter proses juga diubah untuk mendapatkan hasil yang optimal misalnya pada jumlah air yang ditambahkan, kendali waktu pengukusan, serta ditambahkannya bahan pengikat lain berupa CMC. Formulasi terbaik yang dihasilkan berupa perbandingan air dengan pati dan CGM 3/4 : 1 dan penambahan CMC sebesar 1%. Formulasi ini menghasilkan adonan yang mudah diuleni, hasil rehidrasi bagus, cooking loss sedikit, mi tidak terlalu kenyal. Proses pembuatannya dilakukan pencampuran pati yang tergelatinisasi dengan pati yang tidak tergelatinisasi. Fadlillah (2005) mencoba memodifikasi penelitian Budiyah (2004) berupa pengukusan seluruh bagian adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Selain itu dilakukan penambahan protein gluten terigu tetap dikombinasikan dengan penambahan Corn Gluten Meal (CGM), dengan total penambahan 10% dari adonan serta penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss. Rianto (2006) melakukan penelitian pembuatan mi basah jagung. Pada penelitian ini formula mi basah yang akan dioptimasi terdiri atas tepung jagung 100 gram, air 30 ml, garam 1% (1gram), dan baking powder 0,3% (0,3 gram). Adonan yang dihasilkan pada penambahan air 30 ml memiliki sifat mudah dibentuk menjadi lembaran mi, tidak lengket dan untaian mi yang dihasilkan seragam. Hasil pengukuran sifat fisik mi basah menunjukkan bahwa mi basah jagung dengan formula dan desain proses terbaik pada penelitian ini adalah mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit. Hal ini didasarkan pada karakteristik mi basah matang yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lengket, memiliki nilai KPAP yang terkecil dan nilai elongasi yang cukup besar.
Soraya (2006) melakukan penelitian pembuatan mi jagung basah yang memodifikasi proses dengan mencampurkan tepung terpregelatinisasi dengan tepung yang tidak terpregelatinisasi. Perbandingan yang optimum adalah 70:30. Pada level ini adonan tidak lengket di mesin mi dan mi yang dihsilkan tidak mudah patah. Selain itu waktu perebusan yang optimum adalah 1.5 menit dan penambahan guar gum sebesar 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss mi jagung. Kurniawati (2006) melakukan penelitian mi jagung basah yang menggunakan bahan dari pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Pada penelitian ini dilakukan modifikasi proses seperti yang dilakukan oleh Budiyah (2004) dengan mencampurkan pati yang tergelatinisasi dan pati yang tidak tergelatinisasi. Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan yang optimum pada penelitian ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2.5 menit. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan (garam, baking powder, CMC) kedalam pati yang digelatinisasi. Upaya perbaikan karakteristik fisik (elongasi mi) dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh substitusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan penambahan guar gum 1%. Untuk lebih lengkapnya, beberapa hasil penelitian mi jagung dilampirkan dalam Lampiran 1. D. Proses Penggandaan Skala Produk pangan secara khusus mulai terbentuk dari resep yang berada di dapur. Setiap kali memperoleh kepuasan dalam pembuatan produk, maka biasanya terdapat keinginan untuk membuat produk yang sama dengan jumlah yang lebih besar. Produk pangan yang akan dibuat dalam skala besar ini meliputi skala besar untuk resep, pengemasan, distribusi dan penjualan (Scott, 2007). Penggandaan skala merupakan tindakan menggunakan hasil yang diperoleh dari laboratorium untuk mendesain prototipe dan proses sebuah pilot
plant. Langkah pertama dalam pengembangan sebuah produk pangan baru untuk kebutuhan sehari-hari adalah mendefinisikan proses yang dibutuhkan untuk membuat produk. Dalam beberapa kasus, terdapat banyak produk yang telah diproduksi pada skala kecil dan para pengusaha menginginkan untuk memperbesar skala proses untuk menyediakan jumlah produksi yang lebih besar. Salah satu perangkat yang berguna dalam hal ini adalah pengembangan diagram aliran proses. Diagram ini menunjukkan laju produksi yang diinginkan dan materi yang dibutuhkan pada setiap tahapan proses. Kebutuhan peralatan ditunjukkan secara skematis pada diagram yang berguna bagi para ahli teknik dalam menghitung biaya dan menyeleksi serta mengukur peralatan untuk proses (Hulbert, 1998). Langkah kedua adalah memecahkan masalah yang masih terdapat dalam proses perbesaran skala. Kebutuhan ini memerlukan uji coba terhadap peralatan penting di dalam laboratorium pilot plant. Berdasarkan proses dan tingkat produksi yang diinginkan, perbesaran skala merupakan proses yang cukup sulit untuk diaplikasikan. Makanya perlu dilakukan percobaanpercobaan yang bersifat kontinyu. Percobaan-percobaan ini dibutuhkan untuk menentukan parameter optimum untuk skala besar dan untuk menentukan desain peralatan yang akan dimodifikasi. Selain itu, percobaan juga dilakukan karena didalam produk pangan sendiri terdapat interaksi kimia dan fisik yang bersifat kompleks (Scott, 2007). Maka daripada itu, pengetahuan dasar tentang interaksi kimia fisik diantara komponen produk penting untuk dipahami. Apabila tidak diperhatikan sifat kimia dan fisik, kemungkinan besar akan terjadi kerusakan produk terutama pada formulasi yang digunakan. Percobaan dilakukan terhadap fasilitas-fasilitas yang tersedia di dalam laboratorium skala pilot plant. Beberapa peralatan akan membantu dalam penentuan ukuran dan ciri-ciri peralatan yang dibutuhkan atau spesifikasi alat yang akan menjadi referensi untuk pembelian (Hulbert, 1998). Untuk dapat melakukan penggandaan skala perlu adanya pengembangan produk dan servis yang terintegrasi. Diantaranya yaitu pengembangan produk (sumber dan formulasinya), menguji unit operasi, mengembangkan kinerja kerja dari spesifikasi alat, dan menentukan titik kritis proses (Guelph Food
Technology Centre, 2007). Produk pangan yang ditingkatkan skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma dan penampakan secara visual. Proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, akan tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya
(Scott,
2007).
Proses
perbesaran skala
membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan. Beberapa analisis tersebut diantaranya analisis terhadap kondisi operasi, kondisi desain dan proses optimum. Metode untuk melakukan proses peralihan akan dikembangkan dan diujicobakan sebagai kerja praktek. Data dan info-info yang berhubungan lainnya akan berguna untuk ketelitian proses yang dilakukan dalam skala pilot plant (The Center for Professional Advancement, 2007). Tahap pilot plant merupakan tahap pertengahan penelitian atau pembuatan produk sebelum masuk kedalam produksi lebih besar. Tahap pilot plant ini merupakan jembatan yang dapat membantu produksi skala besar karena skala produksi besar terlalu sulit dilakukan apabila mendesain proses pangan mulai dari skala laboratorium. Tahap pilot plant dapat mengevaluasi hasil dari laboratorium dalam pembuatan produk, mengkoreksi dan mengembangkan proses. Selain itu, tahap pilot plant juga dapat menyediakan informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan dalam pengembangan proses skala besar (Harper, 2007). Penggandaan skala merupakan proses menantang yang membutuhkan suatu perencanaan matang, fleksibel dan pendekatan yang konsisten untuk meraih keberhasilan. Oleh karena itu, pergerakan produk dari tahap ke tahap akan menjadi lebih kompleks jika dijalankan dalam skala besar ini. Makanya perlu ada langkah yang harus diperhatikan dalam produksi skala besar, yaitu diantaranya menentukan produk dan acuan paket. Hal ini termasuk definisi produk, ukuran dan tipe paket yang diinginkan serta laju produksi. (Scott, 2007).