II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks. Selain terkait aspek hukum (hak), ketahanan pangan juga mencakup aspek pasar, waktu, tempat dan perilaku manusia. Perubahan dan dinamika aspek-aspek tersebut menentukan kinerja dan persepsi masyarakat tentang ketahanan pangan. Wacana ketahanan pangan berkembang ketika terjadi krisis pangan global pada dekade 70an (Soekirman, 2000). Negara-negara yang mengalami krisis pangan dan sebagian penduduknya mengalami kelaparan dianggap tidak mempunyai ketahanan pangan. Oleh sebab itu secara konseptual ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan negara menyediakan pangan bagi penduduknya (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Hardinsyah et al, 1998). Ketika krisis pangan telah reda pada dekade berikutnya bahan pangan relatif tersedia. Akan tetapi, kasus-kasus kelaparan penduduk ternyata masih banyak terjadi. Kelaparan terjadi bukan lagi karena faktor kekurangan produksi dan penawaran pangan tetapi karena faktor lain yang menghambat akses perolehan pangan di tingkat rumahtangga atau individu. Menurut Sen (1981), faktor penghambat tersebut terkait dengan entitlement (faktor kepemilikan).
Derajat
entitlement yang rendah pada individu atau rumahtangga menyebabkan mereka
tidak dapat akses terhadap pangan. Ketersediaan pangan pada skala wilayah (daerah atau nasional) tidak menjamin kebutuhan pangan di tingkat rumahtangga atau individu dapat terpenuhi. Seiring dengan diterimanya konsep entitlement secara luas, pemahaman tentang ketahanan pangan mengalami perubahan sejak dekade 80an. Konsep
ketahanan pangan mengarah pada unit analisis yang lebih spesifik yaitu ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumahtangga atau individu dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Braun et al, 1992; Martianto, 1999). Ketahanan pangan dapat terwujud bila seseorang atau rumahtangga memiliki
"kontrol"
terhadap
pangan.
Selain
ketersediaan
pangan,
yang
mempengaruhi kemampuan akses fisik, derajat ketahanan pangan juga ditentukan oleh daya beli rumahtangga sebagai indikator kemampuan akses ekonomi (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Braun et al, 1992; Haddad, 1997). Stabilitas akses terhadap pangan tergantung derajat entitlement masing-masing rumahtangga. Sesuai kesepakatan KTT Pangan Dunia (World Food Summit) tahun 1996, ketahanan pangan (food security) didefinisikan sebagai: "kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat" (Hardinsyah et al, 1999; Soetrisno, 1996). Sebelum ada KTT para pakar membuat batasan ketahanan pangan masing-masing sesuai faktor penyebab tidak tercapainya "status" tahan pangan. Oleh karena faktor penyebab tersebut berbeda antar ruang dan antar waktu, interpretasi batasan ketahanan pangan menjadi sangat beragam. Maxwell dan Frankenberger (1992) menyebutkan terdapat lebih dari 70 batasan ketahanan pangan yang berbeda. Dengan batasan yang beragam, penentuan indikator dan konsep pengukuran ketahanan pangan menjadi bersifat relatif pada setiap analisis. Di Indonesia, definisi ketahanan pangan telah dibakukan dalam UndangUndang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pada pasal 1 ayat (17) disebutkan ketahanan pangan adalah "kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau". Dengan kata lain ketahanan pangan pada hakekatnya menunjukkan situasi kecukupan pangan di tingkat rumahtangga. Berdasarkan definisi tersebut analisis ketahanan pangan perlu mengkaitkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membeli (konsumsi) pangan di tingkat rumahtangga. Kecukupan pangan menunjukkan kondisi dimana konsumsi pangan seseorang telah memenuhi kuantitas kandungan dan komposisi zat gizi sesuai kebutuhan tubuh untuk hidup sehat (Soehardjo,l996). Kebutuhan tersebut berbedabeda tergantung jenis kelamin, usia dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Adapun kandungan dan komposisi zat gizi ditentukan oleh pilihan terhadap jenis-jenis pangan yang dikonsumsi. Terkait dengan ha1 ini berarti faktor ketersediaan pangan, daya beli, pengetahuan pangan dan gizi rumahtangga menjadi penting untuk menentukan kondisi kecukupan pangan. Dalam skala lebih luas, kecukupan pangan juga terkait dengan niiai-nilai kepedulian terhadap orang lain yang akan mempengaruhi tingkat pemerataan distribusi pangan antar orang serta pelayanan sosial dan kesehatan (Hardinsyah et at, 1999). Rumahtangga pertanian di perdesaan dan rumahtangga berpendapatan rendah pada umumnya mempunyai pola konsumsi relatif sederhana. Pada kelompok ini umumnya beras masih menjadi pangan pokok (Ariani dan Sayaka, 2000; Saliem et all 2001) meskipun mereka juga masih mengkonsumsi pangan penghasil karbohidrat yang lain seperti: jagung, umbi dan mi (terigu). Pengeluaran pangan sumber karbohidrat cenderung mendominasi pengeluaran pangan dalam struktur pengeluaran rumahtangga (Sayogyo, 1991). Oleh karena pangan sumber karbohidrat memiliki kontribusi konsumsi energi yang dominan, derajat kecukupan pangan dapat tercermin dari status kecukupan konsumsi energi rumahtangga. Pada
pembahasan yang lebih "mewakili" (representatitve), disamping kecukupan energi beberapa peneliti juga memperhitungkan kecukupan protein dalam menentukan derajat ketahanan pangan rumahtangga. Pada kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi atau yang mempunyai pola konsumsi lebih kompleks, pengukuran ketahanan pangan menggunakan kriteria kecukupan energi atau kecukupan energi dan protein kurang sahih. Hal ini karena dimensi masalah pangan yang dihadapi semakin luas. Disamping kriteria kecukupan energi, faktor kontribusi dan keseimbangan kompisisi zat gizi lain dalam konsumsi pangan rumahtangga perlu diperhitungkan untuk mengevaluasi status ketahanan pangan. Salah satu teknik pengukuran kombinasi kecukupan dan keseimbangan komposisi pangan adalah menggunakan formulasi Skor Konsumsi Pangan (SKP) yang dikembangkan Hardinsyah (1996). Di kalangan awam perhitungan kecukupan dan keseimbangan gizi dianggap terlalu teknis. Pengukuran ketahanan pangan lebih banyak menggunakan indikator kecukupan energi dan protein, atau bahkan kecukupan energi saja. Muhilal, Jalal dan Hardinsyah (1998) dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI merekomendasikan angka kecukupan energi dan protein rata-rata untuk orang
Indonesia
masing-masing
sebesar
2200
Kkallkapitalhari
dan
48
gramlkapitalhari. Namun demikian untuk perhitungan yang lebih rinci angka kecukupan tersebut perlu membedakan jenis kelamin, umur dan intensitas kegiatan. Angka kecukupan yang telah mengakomodasi faktor-faktor tersebut dinyatakan dalam satuan Adult Equivalen Unit (AEU) atau sering disebut Unit Konsumen (UK). Konsumsi pangan yang tidak
memenuhi angka
kecukupan dapat
menimbulkan situasi rawan pangan. Menurut konsep FAOIWHO untuk mencapai status tahan pangan maka konsumsi energi (atau protein) seseorang tidak boleh
kurang dari 70 persen angka kecukupan (Martianto, 1999). Akan tetapi pada studi lain, Ariani et al, (2000b) menggunakan standar 80 persen sebagai batas angka kecukupan. Penetapan cutting of point menjadi faktor kritis bila analisis diarahkan pada seleksi target untuk suatu program peningkatan kecukupan pangan jangka pendek. Pada analisis yang dimaksudkan untuk mendukung penyusunan program antisipatif (pemantauan), cutting of point bukan merupakan syarat keharusan. Dalam analisis, adanya syarat kecukupan juga menunjukkan pentingnya faktor akses pangan. Akses pangan dapat dibedakan antara akses fisik dan ekonomi (Soetrisno, 1996). Dari sisi akses fisik, faktor ketersediaan pangan (food availability) akan ditentukan oleh ketersediaan produksi usahatani sendiri (internal) dan ketersediaan pangan eksternal di pasar (Soehardjo, 1996). Sementara itu, akses ekonomi lebih menunjukkan daya beli (food access) rumahtangga terhadap pangan. Oleh karena daya beli merupakan cerminan tingkat pendapatan rumahtangga, maka dalam analisis ketahanan pangan faktor besaran nominal, fluktuasi maupun sumber pendapatan tidak dapat diabaikan (Sayogyo, 1991; Soehardjo, 1996).
2.2. lndikator Ketahanan Pangan Rumahtangga
Keragaman dalam batasan yang menyebabkan perbedaan penggunaan indikator menunjukkan betapa luas dimensi cakupan masalah ketahanan pangan. Namun demikan pada berbagai penggunaan indikator, faktor ketersediaan pangan (food avaibility) dan daya beli (food access), selalu disebut sebagai faktor-faktor yang menentukan (determinant factors). Sayogyo (1991) menganalisis ketahanan pangan menggunakan indikator pertanian dan sosial ekonomi yang meliputi pendapatan rumahtangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi dan pelayanan
kesehatan. Sementara itu menurut Suhardjo (1996), kondisi ketahanan pangan rumahtangga dapat tercermin dari indikator : (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikanan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat ketersediaan pangan dalam rumahtangga; (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran atau pendapatan total; (5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi; (6) perubahan kehidupan sosial (seperti: migrasi, menjuallmenggadaikan aset, pinjam meminjam); (7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas), serta (8) status gizi. Maxwell dan Frankenberger (1992) membagi indikator ketahanan pangan kedalam dua kelompok secara rinci, yaitu indikator proses dan indikator hasil. lndikator proses (process indicators) mencerminkan derajat kerentanan karena faktor ketersediaan pangan dan akses fisik pangan. lndikator yang mencerminkan ketersediaan pangan diantaranya adalah: data meteorologi, informasi sumberdaya alam, data produksi pertanian, model agro-ekologi, Neraca Bahan Makanan, informasi sebaran hama penyakit tanaman, struktur pasar dan kelembagaan penunjang. lndikator hasil (outcome indicators) merupakan proksi dari konsumsi pangan. lndikator ini terdiri atas indikator langsung (direct indicators) dan tidak langsung (indirect indicators). Termasuk dalam indikator langsung adalah: survei anggaran belanja dan konsumsi rumahtangga, persepsi rumahtangga terhadap ketahanan pangan dan frekuensi pangan. Adapun katagori indikator tidak langsung antara lain mencakup kajian tentang simpanan (cadangan) pangan, rasio potensi subsisten dan status gizi. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pemilihan indikator dalam setiap studi ketahanan pangan bersifat relatif. Adanya pertimbangan yang bersifat
khusus (spesifik lokasi) memungkinkan pemilihan indikator disesuaikan dengan tujuan analisis, ketersediaan sumberdaya, dan justifikasi tertentu (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Haddad, Kennedy dan Sullivan, 1994). Penggunaan model perilaku ekonomi rumahtangga sebagai pendekatan analisis ketahanan pangan rumahtangga memungkinkan digunakannya indikator proses yang meliputi keputusan-keputusan produksi dan indikator hasil yang mencakup keputusan pemanfaatan ouput produksi dan pendapatan untuk berbagai tujuan pengeluaran rumahtangga secara bersamaan.
2.3. Perilaku Rumahtangga dan Faktor Ekonomi
Menurut Deaton (1998), berbagai penelitian rumahtangga (household) tidak menggunakan definisi yang "seragam" tentang rumahtangga. Namun demikian, hampir seluruh definisi yang diajukan memberi penekanan terhadap pengertian: hidup bersama, makan bersama dan menyatukan (pooling) anggaran. Pada penelitian ini rumahtangga diartikan sebagai "sekumpulan orang yang tergabung dalam satu ikatan kekerabatan (famili) tertentu dan hidup dari satu pengelolaan anggaran belanja". Bryant (1990) menjelaskan, rumahtangga berbeda dari unit sosial lain karena adanya tujuan yang ingin diraih untuk memenuhi kepuasan seluruh anggota rumahtangga. Disamping itu, rumahtangga memiliki karakteristik lain yang penting dalam penguasaan sumberdaya dan distribusinya antar anggota rumahtangga, serta memiliki peluang melakukan pilihan cara mencapai tujuan untuk mencapai kepuasan (utilitas). Sesuai kaidah ekonomi, rumahtangga diasumsikan selalu bertindak rasional dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkonsumsi barang dan jasa. Perilaku
ekonomi rumahtangga menunjukkan respon rumahtangga sebagai produsen atau konsumen terhadap perubahan kekuatan pasar (penawaran atau permintaan) yang terjadi. Perilaku ekonomi tersebut selalu dilandasi orientasi maksimisasi kepuasan (utilitas) sebagai tujuan. Rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, ditukar atau untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan atas resiko sendiri (BPS, 1995). Rumahtangga pertanian meliputi rumahtangga pertanian pengguna lahan dan bukan pengguna lahan. Data Sensus Pertanian 1993 menunjukkan jumlah rumahtangga pertanian di Indonesia sekitar 21.7 juta rumahtangga atau sekitar 58.4 persen dari seluruh rumahtangga. Sebagian besar rumahtangga pertanian adalah kelompok rumahtangga pertanian pengguna lahan. Populasi kelompok ini mencapai lebih dari 95 persen dari total rumahtangga pertanian. Perubahan kekuatan penawaran atau permintaan terjadi karena adanya interaksi sejumlah faktor pada masing-masing sisi. Faktor-faktor yang "bekerja" dibalik perubahan masing-masing sisi keseimbangan disebut faktor ekonomi. Secara umum, faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku rumahtangga terkait dengan faktor internal dan faktor eksternal rumahtangga yang relatif sulit dikontrol. Faktor eksternal dapat dibedakan atas (Kusnadi, 2000) faktor fisik-biologi (iklim, kondisi lahan, serangan hama penyakit dan gangguan alam lain) dan faktor non fisik (faktor sosial budaya, pasar, kelembagaan). Faktor ekonomi juga mencakup perubahan aspek-aspek kebijakan pemerintah.
2.4. Model Rumahtangga Pertanian
Model rumahtangga pertanian adalah suatu model pendekatan analisis yang dapat digunakan untuk mempelajari kompleksitas perilaku atau keputusan rumahtangga dalam merespon berbagai perubahan faktor ekonomi. Model ini menjadi berbeda dengan model ekonomi penawaran dan permintaan konvensional karena telah diakomodasinya kendala-kendala dari sisi penawaran maupun permintaan dalam satu fungsi tujuan. Model rumahtangga pertanian awalnya berkembang dari teori penawaran tenaga kerja sebagaimana dikemukakan Chayanov (Sawit, 1993). Pada teori tersebut rumahtangga diasumsikan berusaha memaksimumkan utilitas mereka dengan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga dalam kegiatan usahatani guna memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Munculnya teori alokasi waktu dari Becker (1965) yang mendapat koreksi Gronou (1977) memberikan kontribusi positif pada perkembangan model rumahtangga pertanian. Dalam model pendekatan ini, waktu (time) diasumsikan sebagai barang langka dan utilitas rumahtangga tidak diturunkan langsung dari konsumsi barang pasar tetapi dari alokasi waktu untuk menghasilkan produk akhir yang dikonsumsi rumahtangga. Menurut Becker, barang pasar dan tenaga kerja hanyalah input dalam fungsi produksi rumahtangga. Penggunaan output yang diperoleh diasumsikan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga sendiri. Formulasi Becker dianggap masih lemah karena tidak dapat menjelaskan perilaku rumahtangga yang memproduksi non market good, rumahtangga yang menjual sebagian
produk
usahatani
serta
belum
memperhitungkan
kemungkinan
penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam usahatani, sebagaimana yang banyak dilakukan rumahtangga pertanian di pedesaan.
Menurut Sawit (1993), model rumahtangga yang lebih "maju" dikemukakan oleh Nakajima (1970 dan 1986) yang diilhami pemikiran Chayanov. Nakajima menganggap rumahtangga sebagai suatu entitas, sehingga perilaku rumahtangga sebagai produsen, penyedia atau pengguna tenaga kerja dan konsumen dapat terjadi bersamaan. Oleh sebab itu pada teori yang dikembangkan (Subjective Equilibrium Theory of The Farm Household), Nakajima telah mempertimbangkan kemungkinan rumahtangga yang menjual sebagian hasil usahatani (ciri semi komersial) dan eksistensi pasar tenaga kerja. Terdapat dua pendekatan dalam aplikasi model analisis rumahtangga pertanian, yaitu: pendekatan rekursif (separable) dan simultan (non separable) dimana masing-masing pendekatan terikat pada syarat-syarat tertentu. Menurut Singh (1986) pemilihan pendekatan dalam analisis rumahtangga adalah isu sekunder yang harus diputuskan kasus per kasus. Akan tetapi Skoufias (1984) menunjukkan pada kondisi: (1) ada kendala waktu yang bersifat mengikat (binding) pada kesempatan kerja non usahatani sehingga mencegah penyesuaian sempurna dalam pasar tenaga kerja, (2) substitusi tenaga kerja dalam keluarga oleh tenaga kerja luar keluarga tidak sempurna, atau (3) petani mempunyai preferensi untuk bekerja dalam usahatani atau non usahatani, solusi keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga pertanian harus diperlakukan secara simultan. Meskipun secara empiris pendekatan simultan dianggap lebih sulit (Mayurama dan Sonoda, 1999), tetapi banyak peneliti yang tertarik untuk menggunakannya. Bagi dan Singh (1974) mengembangkan model simultan untuk menganalisis rumahtangga pertanian subsisten di negara kurang berkembang. Rumahtangga diasumsikan hanya memperoleh pendapatan tunai dari surplus penawaran (marketed surplus), sehingga keputusan mengkonsumsi output
usahatani sendiri akan terkait dengan keputusan pengeluaran lain dalam rumahtangga. Pada kasus lain, Haddinot (1997) menggunakan model simultan untuk menyusun implikasi kebijakan dari hubungan keterkaitan antara air, kesehatan dan pendapatan. Susetyanto (1994) dan Pakasi (1998) menggunakan model awal masing-masing untuk menganalisis perilaku rumahtangga petani kedele dan petani penghasil nira yang memproduksi alkohol. Untuk kasus rumahtangga non pertanian, Atika (1999) menggunakan pendekatan simultan untuk menganalisis profil rumahtangga pengusaha warung makan dari dua etnik berbeda (warung tegal dan warung padang) dan Nugrahadi (2001) menggunakan pendekatan simultan dalam mempelajari model pengambilan keputusan rumahtangga pengusaha dan pekerja industri produk jadi rotan.
2.5. Hasil Studi Sebelumnya
Meskipun dengan proporsi besaran (magnitude) berbeda beda, beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan kriteria kecukupan energi atau energi dan protein menunjukkan, kelompok rumahtangga dengan ketahanan pangan rendah (rawan pangan) dapat ditemukan di setiap wilayah (lihat Suryana et al, 1990; Tim PSKPG-IPB, 1990; Martianto, 1999; Adi, 1999; Saliem et al, 2001; Jahari dan Sumarno, 2001). Pada rumahtangga pertanian, potensi rawan pangan berkorelasi dengan faktor intensitas tanam (Tim PSKPG-IPB, 1990), penguasaan lahan (Pakpahan, et al, 1993; Rahman dan Suhartini, 1996) dan harga pangan (Ariani et all 2000a). Ketiga faktor tersebut merupakan determinan dari ketersediaan pangan dan pendapatan di tingkat rumahtangga. Temuan serupa diperoleh dari studi Saliem et
al
(2001) yang menunjukkan bahwa faktor determinan ketahanan pangan
rumahtangga mencakup tingkat pendapatan, konsumsi bahan pangan dan ukuran rumahtangga. Namun demikian signifikansi pengaruh faktor tersebut berbeda antar lokasi. Adanya faktor resiko dalam penyediaan pangan dan perolehan pendapatan dapat menurunkan keberlanjutan (sustainability) status tahan pangan. Terkait dengan ha1 tersebut, makin beragam dan makin tinggi tingkat pendapatan akan berdampak positif pada keberlanjutan status tahan pangan. Pada umumnya rumahtangga pertanian di perdesaan mempunyai lebih dari satu sumber pendapatan. Salah satu alternatif sumber pendapatan di luar usahatani adalah kegiatan berburuh tani (Adi, 1999; Ariani et al, 2000b). Studi Pakpahan et al (1993) menemukan proporsi rumahtangga yang dapat memenuhi pangan sepanjang tahun di Jawa Tengah hanya sekitar 63 persen, sedangkan di NTB berkisar antara 20 - 85 persen. Rumahtangga dapat mengalami kekurangan pangan 1 adalah antara 1
-3
-4
kali dalam setahun, dimana salah satu periode kritis
bulan sebelum panen. Pada masa krisis pangan (paceklik),
konsumsi rumahtangga beralih pada pangan pokok alternatif. Selama masa krisis juga terjadi penurunan kuantitas serta kualitas pangan. Di NTB pangan pokok rumahtangga beralih dari beras menjadi gaplek, jagung atau umbi dan frekuensi makan berkurang dari dua menjadi satu kali sehari. Di Jawa Tengah, pangan pokok beralih dari beras menjadi beras+oyek, beras+gaplek, jagung, atau gaplek saja. Frekuensi makan berkurang dari tiga menjadi dua kali sehari. Hasil penelitian terbaru di Propinsi Jawa Tengah, NTB dan Bengkulu menunjukkan (Ariani et al,
2000a), meskipun menimbulkan dampak penurunan
frekuensi makan, lonjakan harga pangan akibat krisis ekonomi cenderung tidak
mengubah pola konsumsi pangan pokok. Rumahtangga tetap mengkonsumsi beras. Namun demikian, krisis ekonomi menurunkan daya beli mereka sehingga proporsi rumahtangga rawan pangan meningkat antara 15 - 30 persen di perdesaan. Menghadapi kemungkinan kekurangan pangan berbagai strategi coping dilakukan rumahtangga. Ariani et al (2000a) menemukan coping yang dilakukan rumahtangga adalah: diversifikasi usahatani, menjual jasa tenaga kerja, menyimpan cadangan pangan, meminjam uang atau bahan pangan natura. Menurut Adi (1999) cara mengatasi rawan pangan dapat dilakukan melalui penggunaan alat tukar fisik (berburuh, berdagang), biologi (menjual ternak), dan materi (menjual aset non ternak).
Pada penelitian lain Alderman dan Garcia
(1993) menunjukkan,
rumahtangga memanfaatkan tabungan dan mengambil kredit sebagai cara menstabilkan pengeluaran konsumsi pangan.