II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sorgum Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan lain-lain. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sorgum dikenal dengan nama ‗jagung cantel‘, sedangkan di Jawa Barat dikenal dengan nama ‗jagung cantrik‘ dan ‗batara tojeng‘ di Sulawesi Selatan (Suprapto dan Mudjisihene 1987). Tanaman sorgum banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum d ibudidayakan pada ketinggian 0-700 m d i atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh pada suhu lingkungan 23o -34o C tetapi suhu optimu m berkisar antara 23o -30o C dengan kelembaban relatif 20-40%. Sorgu m t idak terlalu peka terhadap keasaman (pH) tanah, tetapi pH tanah yang baik untuk pertumbuhannya adalah 5.5-7.5 (Ris munandar 1989). Tanaman sorgum tahan terhadap kekeringan. Sebagai perbandingan, 1 kg bahan kering sorgum hanya memerlu kan sekitar 332 kg a ir selama pembudidayaan, sedangkan pada jumlah bahan kering yang sama, jagung membutuhkan 368 kg, barley 434 kg, dan gandum 514 kg air (Suprapto dan Mudjisihene 1987). Gambar tanaman sorgum dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Sorgu m (Barr 2007) Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor L.termasuk ke dalam : Genus : Sorghum Ordo : Cyperales Kelas : Liliopsida/Monokotiledon Div isi : Magnoliophyta Superdivisi : Spermatophyta Subkingdom : Tracheobionta Kingdom : Plantae. Secara u mu m, b iji sorgum dapat dikenali dengan bentuknya yang bulat lonjong atau bulat telur, dan terdiri dari tiga lap isan utama, yaitu kulit luar (8%), lembaga (10%), dan endosperma (82%). Ukuran bijinya kira-kira adalah 4.0 x 2.5 x 3.5 mm, dan berat bijinya berkisar antara 8 mg sampai 50 mg dengan rata-rata 28 mg. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, biji sorgum dapat digolongkan sebagai biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg ), dan besar (25-35 mg). Kulit bijinya ada yang berwarna putih, merah, atau coklat (Suprapto dan Mudjisihene 1987) .
3
Biji sorgum termasuk jenis kariopsis (caryopsis) dimana seluruh perikarp bergabung dengan endosperma. Perikarp terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Tepat di bawah endokarp, terdapat lapisan testa yang mengelilingi endosperma.
Gambar 2. Penampang Melintang Biji Sorgu m (FSD 2003) Sorgum memiliki ko mposisi kimia yang mirip dengan jagung (Zea mays). Hal ini berarti bahwa sorgum memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan menjadi bahan baku berbagai produk pangan. Perbandingan gizi berbagai serealia ditampilkan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa protein sorgum lebih t inggi dibandingkan dengan jagung dan beras, dengan kandungan lemak yang lebih rendah daripada jagung. Serat pada sorgum juga lebih tinggi daripada beras . Tabel 1. Perbandingan kadungan nutrisi berbagai serealia (per 100 gr bagian yang dapat dimakan; 12% ka) Bahan Kalori Protein Lemak Karbohi drat Serat Air (g) Pangan (kal) (g) (g) (g) (g) Sorgu m
366
11.0
3.30
73.0
11.2
2.3
Beras
360
7.0
0.70
79.0
9.8
1.0
Jagung
361
9.0
4.50
72.0
13.5
2.7
Kentang
62
2.1
0.20
13.5
83.4
0.5
Ub i kayu
154
1.0
0.30
36.8
61.4
0.9
Ub i jalar
119
0.5
0.40
25.1
72.6
4.2
Terigu
333
9.0
1.00
77.2
11.8
0.3
Sumber : Beti et al. (1990); PAGI (2009)
Sebagian besar karbohidrat yang terdapat di dalam sorgum adalah pati. Endosperma dari tipe sorgum biasa mengandung 23 - 30% amilosa, sedangkan varietas waxy mengandung amilosa kurang dari 5%. Tepung sorgum mempunyai suhu gelatinisasi 68o - 78o C, sedangkan tepung jagung tergelatinisasi pada suhu 62o - 68o C. Hal ini menyatakan bahwa tepung sorgum merupakan bahan baku yang serbaguna karena tidak mudah menggumpal (tergelat inisasi) pada
4
saat mengalami pemanasan (Suprapto dan Mudjisihene 1987). Perbandingan komposisi amilosa dan amilopekt in serta derajat gelatin isasi dari berbagai jenis serealia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkiraan kandungan amilosa dan amilopektin serealia Rentang Derajat Ti pe Pati Amilosa (% ) Amilopektin (% ) Gel atinisasi (o C) Jagung
25
75
62-72
Jagung waxy
<1
>99
63-72
55-70 (atau lebih )
45-30 (atau kurang)
70-95+
Kentang
20
80
50-60
Beras
19
81
68-78
Beras ketan
<1
>99
68-77
Tapioka
17
83
52-61
Gandum
25
75
58-63
Sorgum
25
75
65-74
Sorgum waxy
<1
>99
64-73
<20
>80
64-73
Jagung tinggi amilosa
Sorgum heterowaxy Sumber : Lusas & Lloyd (2001)
Protein pada sorgum dapat dikategorikan menjadi empat jen is berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin/gliadin (larut alkohol), dan glutelin (larut asam atau basa). Meskipun tepung sorgum memiliki glutelin dan gliadin, akan tetapi protein tepung sorgum kurang memiliki kemampuan untuk membentuk g luten jika dib andingkan dengan terigu (Suarni 2004). Menurut Suarni (2004), kandungan gliadin dan glutenin terigu seimbang, sehingga dapat membentuk gluten yang memiliki sifat elasitisitas tinggi ketika ditambahkan air. Oleh karena tepung sorgum tidak memiliki gluten yang sama seperti gluten terigu, maka tepung sorgum dapat digunakan untuk pembuatan produk makanan yang bebas gluten atau gluten free (FSD 2003; NSP 2005; Rooney 2003). Rooney (1973) menyatakan bahwa ko mposisi kimia protein pada sorgum mirip dengan jagung, yaitu lisin sebagai ko mponen terbanyak, treonin, triptofan, dan metionin sebagai ko mponen paling kecil. Semua varietas sorgum mengandung komponen fenolik, termasuk asam fenolat dan flavonoid. Beberapa varietas mengandung tanin dibagian testa, tetapi seringkali sorgum budidaya tidak mengandung tanin. Komponen ini dapat mempengaruhi warna, flavor, dan kualitas nutrisi produk. Meskipun demikian, tanin melindungi biji sorgum dari serangan serangga dan burung karena rasa pahit yang dikandungnya. Kandungan tanin pada biji menghambat aktivitas beberapa enzim sehingga menghambat pencernaan protein dan pemecahan selulosa. Uji coba pada hewan telah membukt ikan bahwa tanin menghambat penyerapan protein, mengurangi pemanfaatan mineral dan menyebabkan penurunan pertumbuhan. Pemberian pakan pada babi yang mengandung 4.21% tanin menurunkan daya cerna protein sebesar 5.6%. Kandungan tanin sebelum b iji matang (ripe) selalu lebih t inggi dibandingkan setelah biji matang. Kandungan tanin pada biji yang lebih gelap selalu lebih t inggi daripada biji yang lebih pucat. Beberapa tipe sorgum putih mengalami pig mentasi di bagian perikarp dan testa yang disebabkan oleh ko mponen fenolik (Leder 2004). Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Sorgum mempunyai daerah adaptasi yang luas. Tanaman sorgum
5
toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama/penyakit. Biji sorgum dapat digunakan sebagai bahan baku di industri pangan seperti industri gula, monosodium glutamat (MSG), asam amino, dan industri minu man. Dengan kata lain, sorgum merupakan ko moditas pengembang untuk diversifikasi industri secara vertikal (Sirappa 2003). Di berbagai belahan dunia, sorgum telah d igunakan sejak lama sebagai bahan pangan terutama adalah pangan tradisional. Masyarakat Afrika dan India mengkonsumsi sorgum sejak ribuan tahun lalu dengan mengolahnya menjadi bubur dan panekuk. Di Afrika, terutama daerah Tanzania, Afrika Tengah, dan Afrika Utara, sorgum juga digunakan sebagai bahan pembuat bir (Dogget 1970). Tepung sorgum juga dapat berperan sebagai subtitusi tepung terigu pada pembuatan roti, mie, pasta, dan kue-kue kering. Suarni (2004) menyebutkan bahwa tepung sorgum dapat mensubtitusi tepung terigu hingga taraf 50-80% untuk membuat kue kering. Subtitusi perlu menambahkan maizena sebagai bahan perekat dan bumbu kue untuk menekan rasa sepat pada tepung sorgum. Areal yang berpotensi untuk pengembangan sorgum di Indonesia sangat luas, meliputi daerah beriklim kering atau musim hujannya pendek serta tanah yang kurang subur. Daerah penghasil sorgum dengan pola pengusahaan tradisional adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Ku lon Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), dan sebagian Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Sirappa 2003). Menurut Beti et al. (1990), luas areal tanam sorgum di dunia mencapai sekitar 50 juta hektar dengan total produksi 68.40 juta ton dan rata-rata produktivitas 1.30 t/ha. Negara penghasil sorgum utama adalah India, Cina, Nigeria, dan Amerika Serikat. Data produksi dan produktivitas sorgum di berbagai belahan dunia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Negara produsen utama sorgum dunia Negara Produksi Produkti vitas (2007/2008)
(000,000 t)
(t/ha)
Amerika Serikat
12.64
4.60
Nigeria
10.00
1.35
India
7.93
1.00
Meskiko
6.20
3.49
Sudan
4.50
0.68
Australia
3.07
2.99
Argentina
2.94
4.74
Brazil
2.00
2.35
Cina
1.92
3.84
Indonesia*
0.006
0.003
Dunia
63.26
1.60
Sumber : AgroStats (2009); *Deptan (2010)
Ketersediaan sorgum di Indonesia masih terbatas. Hal ini terkait dengan kesadaran petani dan kebijakan pemerintah terhadap upaya tanam sorgum. Permintaan terhadap sorgum untuk pangan masih sangat rendah. Saat ini, sorgu m masih dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai
6
pakan ternak dan produksi etanol. Perusahaan belum tertarik untuk menggunakan sorgum sebagai bahan baku produksi. Keberadaan gandum masih sangat dominan karena gandum dianggap lebih mudah diterima masyarakat, karena sorgum belum banyak dikenal masyarakat. Akibatnya, petani pun enggan menanam sorgum dalam ju mlah besar karena dianggap tidak ada yang membeli. Untuk mengatasi hal ini, kebijakan pemerintah yang tepat dapat meningkat kan penerimaan sorgum sebagai bahan pangan sedikit demi sedikit. Perguruan tinggi memegang peranan yang penting untuk mendukung penerimaan sorgum oleh masyarakat sebagai upaya diversifikasi pangan. Dengan penelitian yang terarah, produk berbahan dasar sorgum dapat dikembangkan sehingga membuka peluang penggunaan sorgum pada produk ko mersial. Pengembangan pangan fungsional dari sorgum juga dapat dilakukan. Upaya-upaya ini dapat meningkatkan citra sorgum sehingga masyarakat dapat menerima sorgum sebagai bahan pangan alternatif.
B. EKSTRUSI 1. Proses Ekstrusi Ekstrusi adalah suatu satuan proses yang memaksa suatu bahan untuk mengalir pada suatu ruangan yang sempit dan akh irnya memaksanya untuk keluar melalui sistem bukaan (die) yang sempit juga, sehingga bahan mengalami beberapa satuan proses sekaligus meliputi proses pencampuran, pengadukan, pemasakan, pengulian, pembentukan, pengembangan, atau pengeringan tergantung dari desain esktruder dan kondisi proses (Dziezak 1989). Proses ekstrusi digunakan untuk memproduksi beberapa produk seperti pasta, sereal sarapan, biskuit, crackers, makanan bayi, makanan ringan (snack), p roduk-produk konfeksioneri, dan lain-lain (Linko et al. diacu dalam Dziezak 1989). Secara u mu m, Pontoh (1995) menyatakan bahwa proses ekstrusi memberi manfaat untuk merubah flavor, merubah protein (denaturasi) dan pati (gelatinisasi dan dekstrinisasi), menghasilkan makanan yang lebih mudah dicerna, merusak enzim yang merugikan, memperbaiki bent uk bahan dan menciptakan tekstur yang dikehendaki. Pemasakan dengan ekstrusi mempunyai banyak keuntungan, antara lain parameter fisik (suhu, tekanan) dapat dirubah-rubah, sehingga dengan mesin yang sama dapat memasak dan mengolah produk yang mempunyai formu la berbeda-beda. Keuntungan lainnya adalah memberi bentuk dan tekstur pada hasil produk, kemampuan produksi kontinyu, pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energi, dan luas pabrik, pasteurisasi produk akh ir, dan pros es dalam keadaan kering (Harper 1981). Lusas dan Llyod (2001) menambahkan bahwa di dalam proses ekstrusi, tindakan koreksi dapat dengan mudah dilakukan. Ekstrusi juga merupakan gabungan dari berbagai satuan operasi. Secara u mu m, satuan operasi yang terjadi pada proses ekstrusi antara lain pemanasan, pendinginan, pengaliran bahan, pemasukan bahan, penekanan, pencampuran, peleburan, pemasakan, pembentukan, teksturisasi, dan reaksi (Lusas dan Lloyd 2001). Pemasakan ekstrusi semakin populer pada dua dekade terakhir karena beberapa alasan , antara lain cakupan produk, biaya, produktivitas, kualitas produk, dan pengaruh terhadap lingkungan. Cakupan produk yang luas dapat dihasilkan oleh proses ekstrusi hanya dengan mengubah ingredien bahan, kondisi operasi ekstruder, dan lubang keluaran (die). Biaya proses yang dikeluarkan juga lebih rendah karena sifat berkelanjutan yang men ingkatkan produktivitas. Kualitas produk yang baik tercapai karena aplikasi suhu tinggi dalam waktu singkat. Retensi komponen pangan tidak tahan panas dapat diperthanakan sehingga menjaga kualitas produk. Proses ekstrusi ramah terhadap lingkungan yang berkaitan dengan proses
7
pemasakan ekstrusi dengan kelembaban rendah. Proses ini menghasilkan limbah dalam ju mlah yang tidak signifikan, mengurangi biaya pengolahan air dan tingkat polusi lingkungan.
2.
Alat Ekstrude r
Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper 1981). Menurut Muchtadi et al. (1988), fungsi pengekstrusi meliputi gelatinisasi, pemotongan moleku ler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan penggelembungan atau pengeringan. Ko mbinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut di atas merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam proses ekstrusi. Terdapat empat komponen dasar di dalam ekstruder. Ko mponen pertama adalah sistem pengumpan (feeding system). Sistem pengumpan berfungsi untuk tempat bahan yang akan diekstrusi. Ko mponen kedua berupa sistem preconditioner, yaitu sistem yang berfungsi untuk menyeragamkan atau memod ifikasi kondisi bahan sebelum masuk ke dalam laras ekstruder. Sistem in i dapat berupa injeksi uap, maupun pencampuran dengan air. Ko mponen ketiga adalah ekstruder. Ko mponen terakhir berupa die pada ujung keluaran ekstruder. Die inilah yang berperan membentuk produk sesuai yang diinginkan (Lusas dan Lloyd 2001). Penggunaan motor berkekuatan tinggi akan membuat screw terus berputar, sehingga men imbulkan panas yang tinggi akibat gesekan antar bah an. Perputaran screw memaksa produk bergerak sepanjang laras (barrel) dan membangkitkan tekanan yang akhirnya digunakan untuk pembentukan produk (Miller 1993). Ekstruder terdiri dari ulir putar (screw), yang terpasang dalam laras tertutup rapat (barrel), dan sering kali dikelilingi oleh jaket pemanas (heating mantle). Dalam banyak kasus, pemasukan panas utama sering dihasilkan dari perputaran screw (friksi internal) atau disebut konversi energi mekanik. Su mber panas lain dapat berupa konduksi dari jaket p emanas, atau secara konveksi dari uap panas (steam) (Lusas dan Lloyd 2001). Maltz (1984) membagi ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang digunakan dalam proses ekstusi, yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda. Menurut Bhattacharva dan Padmanabhan (1992), ekstruder ulir ganda memiliki kelebihan daripada ekstruder ulir tungal yaitu kontrol dan keseragaman produk yang leb ih baik, namun penggunaannya memerlukan investasi yang lebih besar dengan kapasitas produksi yang sama.
Gambar 3. Penampang Ekstruder Ulir Tunggal Sederhana
8
Menurut Muchtadi et al. (1988), ada lima jen is pengekstrusi berulir tunggal yang umu m digunakan di industri pangan, yaitu : a. Pengekstrusi Pasta. Alat ini dipakai untuk membentuk makaroni dan produk serupa dari suatu adonan. b. High Pressure Forming Extruder Alat in i dipakai untuk memadatkan dan membentuk adonan yang telah mengalami gelatinisasi terlebih dahulu, menjad i produk yang membutuhkan proses lanjutan, seperti makanan ringan (snack) dan sereal. c. Low Shear Cooking Extruder Alat ini dipakai sebagai pemasak yang kontinyu untuk adonan yang berkadar air tinggi. Produk kemudian diproses lebih lan jut dengan pembentukan, pengeringan, dan lain -lain. d. Collet Extruder Alat ini dapat mendinginkan, membuat gelembung, dan membentuk butiran -butiran kering seperti misalnya corn meal untuk produk-produk pangan bergelembung, seperti corn curl. e. High Shear Cooking Extruder Alat ini merupakan ekstruder yang berkerja pada rasio kompresi tinggi, laras yang panjang, dan kemampuan mendinginkan atau memanaskan produk secara eksternal. Ekstruder jenis ini memiliki kemampuan operasi yang luas. Bahan yang bervariasi dengan rentang kelembaban yang lebih luas dapat digunakan. Selain itu, kondisi proses seperti suhu dan pengembangan juga dapat dikendalikan. Ekstruder ulir ganda atau ulir kembar terdiri dari dua ulir yang sama panjang dan terletak berdampingan dalam satu barrel. Berdasarkan arah alirannya, ekstruder ulir ganda dapat dibedakan menjadi counter rotating dan co-rotating. Berdasarkan jarak antara dua sumbu kedua ulir tersebut, ekstruder ulir ganda dibedakan menjad i intermeshing dan nonintermeshing (Hariyadi 1996).
A
B
C
D
Keterangan : A : Counter rotating, intermeshing B : Co-rotating, intermeshing C : Counter rotating, non-intermeshing D : Co-rotating, non-intermeshing Gambar 4. Jenis-Jenis Ekstruder Ulir Ganda Berdasarkan Konfigurasi Ulir (Jensen 1978) Ekstruder berulir ganda merupakan alat yang dapat digunakan untuk membuat sereal sarapan dengan mengaplikasikan teknologi High Shear Cooking Extruder. Dengan dua ulir yang bekerja, pemotongan (shear) akan lebih merata dan lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap
9
partikel bahan akan diproses dengan lebih konsisten sehingga diperoleh struktur dan tekstur yang lebih homogen. Ekstruder ulir ganda memiliki fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstruder ulir tunggal. Pada ekstruder ulir tunggal, rancangan ulir, sistem pemasukan bahan (feeding), dan pola suhu di dalam ekstruder merupakan t iga faktor yang berkaitan erat. Pada ekstruder berulir ganda, ketiga faktor ini tidak berkaitan erat, sehingga operator dapat mengendalikan kondisi-kondisi tersebut untuk mengahasilkan tekstur produk akhir yang diinginkan (Muchtadi et al. 1987).
3.
Variabel Operasi Ekstrusi
Menurut Harper (1981), terdapat dua tipe variabel operasi pada proses ekstrusi, yaitu variabel dependen dan independen. Variabel independen adalah variabel-variabel yang dapat dikontrol oleh operator dan tidak tergantung pada faktor lain yang ada di dalam sistem. Sebaliknya, variabel dependen merupakan variabel-variabel yang dapat mencapai n ilai tertentu, tergantung dari nilai variabel independen. Variabel independen yang mempengaruhi suatu proses ekstrusi antara lain adalah ingredien bahan, kelembaban, desain ulir dan laras (screw and barrel design), desain cetakan (die), kecepatan putar ulir (screw speed), temperatur, p reconditioning, dan kecepatan masuk bahan. Sedangkan variabel dependen pada proses ekstrusi terdiri dari v iskositas, shear rate, flow rate, tekanan, tenaga (power), lama tinggal (residence time), temperatur, dan karakteristik produk. Guy (2001) men jelaskan bahwa sifat paling penting dari proses ekstrusi adalah sifat keberlan jutan yang beroperasi pada keseimbangan antara masukan (input) dan keluaran (output). Oleh karena itu, untuk mendapatkan karakteristik ekstrudat yang diinginkan , masukan harus diatur pada tingkat yang tepat untuk mencapai kondisi fisik dan perubahan proses kimia yang baik. Kondisi fisik dan kimia in i merupakan variabel dependen yang akan menentukan sifat produk, sedangkan masukan (input) merupakan variabel independen. Hubungan antara variabel dependen dan independen yang baik harus dijaga pada tingkat optimu m dengan celah perubahan proses sekecil mungkin untuk men jaga keseragaman produk. a. Variabel Bahan Ingredien bahan dengan komposisi yang tepat serta kondisi proses optimu m merupakan variabel independen yang menjadi perhatian utama pada penelitian ini. Ko mbinasi yang baik dari ingredien yang tepat serta kondisi proses optimu m d iperlukan untuk memperoleh karakteristik produk yang renyah, mengembang, tidak mudah larut dalam med ia saji, masak, dan siap dikonsumsi. Guy (1994) meng klasifikasikan bahan-bahan yang memiliki peran fungsional dalam pemasakan ekstrusi ke dalam tujuh grup yang dikenal sebagai Sistem Klasifikasi Guy. 1) Bahan-bahan pembentuk struktur Grup pertama adalah bahan-bahan yang berperan membentuk struktur, yang berupa biopolimer. Biopolimer dapat berupa pati-patian alami ataupun polimer pati. Pati-patian alami memiliki ukuran part ikel yang lebih besar dibandingkan polimer pati, sehingga tidak memberikan pengembangan optimu m. Oleh karena itu, ko mbinasi antara pati-patian alami dan polimer pati dengan komposisi yang tepat diperlukan untuk membentuk struktur dan pengembangan yang diinginkan. Pati terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilopketin dan amilosa. Amilopekt in merupakan ko mponen yang lebih besar karena memiliki struktur bercabang. Berat molekul amilopekt in lebih besar dari 108 Dalton dan memberikan pengembangan 1-2 ml/g. Namun demikian, pemotongan mekanik yang tinggi dapat
10
mengurangi berat mo lekulnya hingga 106 D dan memberikan pengembangan hingga 25 ml/g. A milosa memiliki ukuran yang leb ih kecil karena strukturnya yang lin ier. Berat mo leku lnya berkisar antara 2-105 D dan memberikan pengembangan yang paling besar pada pati-patian alami. Muchtadi et al. (1987) juga menjelaskan bahwa pati dengan kandungan amilosa tinggi akan menghas ilkan produk ekstrusi yang lebih pejal, padat, keras, tetapi kurang mengembang. Pati dengan kandungan amilopektin tinggi akan menghasilkan produk ekstrusi yang mengembang (puffing), ringan, porous, garing, dan renyah. Hal ini terjadi karena amilopekt in dengan struktur bercabang mengalami kerusakan yang lebih besar dan tidak mampu saling menyusun secara efektif di dalam laras maupun cetakan, sehingga membantu pengembangan produk. Amilosa lebih tahan terhadap kerusakan mekanik selama proses daripada amilopektin.
Amilosa
Amilopekt in
Gambar 5. A milosa dan Amilopekt in Sebagian besar pati yang akan diekstrusi memiliki kadar air dibawah 50%, sehingga apabila dipanaskan pada suhu tingi akan terjadi peleburan granula pati (Wirakartakusumah 1981). Peleburan granula pati ini dapat berupa terbentuknya ko mpleks pati dengan lemak, atau diduga sebagai akibat terjadinya perubahan ko mposisi ko mponen kimia pati karena perlakuan suhu yang terlalu tinggi. Muchtadi et al. (1987) menyatakan bahwa amilosa membentuk ko mpleks dengan lip ida-lip ida selama proses ekstrusi sehingga sangan membantu untuk mempertahankan struktur alamiahnya. Eastman et al. (2001) menyebutkan bahwa pati juga memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan yang dapat memperlambat terserapnya susu ke dalam produk sereal. 2) Bahan-bahan pengisi fase terdispersi Grup kedua merupakan bahan-bahan pengisi yang terdispersi ke dalam lapisan pati, diantaranya adalah protein (gluten, albumin ) dan material berserat (selulosa, hemi selulosa, lignin, bekatul). Protein gluten dalam ju mlah lebih kecil dari 30% akan terhidrasi dalam air dan mengalami pengecilan ukuran oleh ulir ekstruder menjad i berukuran sekitar 5µm setelah proses. Protein larut air lainnya (albumin) terkoagulasi pada suhu tinggi dan kemudian akan rusak dan terpecah men jadi part ikel dengan ukuran yang sama. Material berserat tidak berubah ukurannya selama ekstrusi. Keberadaan fase terdispersi mempengaruhi proses ekstrusi dengan dua cara. Kehadiran material terdispersi secara fisik di d inding sel partikel mengurangi potensi pengembangan dari pati dengan cara penetrasi ke lapisan dinding sel. Kehadiran material terdispersi juga mempengaruhi pengembangan pada lubang keluaran (die) dengan sifat balik elastik (elastic recoil). Sifat ini juga akan mengurangi pengembangan produk.
11
3) Bahan-bahan yang berperan sebagai pelu mas dan plastisizer Bahan-bahan yang berperan sebagai plastisizer dapat berupa air dan lemak atau minyak. Penambahan air merubah bahan-bahan kering menjad i plastis. Lemak dan minyak dapat mengurangi pemotongan dengan cara melu masi part ikel yang saling berinteraksi di dalam adonan dan partikel yang bergesekan dengan permukaan logam dari ulir atau dinding laras. Penambahan satu atau dua persen lemak atau minyak dapat menghasilkan efek yang besar pada proses ekstrusi. Selama proses, lemak akan membentuk struktur baru dengan pati yaitu kompleks antara amilosa dan asam oleat (Hanna dan Bhatnagar 1994). Struktur baru yang terbentuk ini dapat menghambat pengembangan produk ekstrusi dan membuatnya lebih pejal dan renyah. Selain itu, lemak dapat melapisi bagian luar granula pati sehingga menghambat penetrasi air ke dalam granula. Hal in i akan menyababkan tingkat gelatinisasi yang lebih rendah (Po lina 1995). 4) Padatan terlarut Padatan terlarut meliputi gula dan garam yang berperan sebagai agen pemberi flavor dan humektan. Ko mponen-ko mponen ini akan terlarut dalam air bebas dalam adonan pada saat pengadukan awal. Efeknya terhadap proses ekstrusi tergantung pada konsentrasi dan interaksi kimia dengan polimer pati dan protein. Gu la juga akan berko mpetisi dengan pati untuk mendapatkan air yang tersedia. Hal ini dapat mempengaruhi hidrasi dan ekspansi optimal dari pati. Kadar gula internal bahan sebaiknya tidak melebih 16% (East man et al. 2001). Garam berperan untuk meningkat kan viskositas dalam laras ekstruder sehingga men ingkatkan konversi energi mekan is (mempercepat pemasakan) dan meningkatkan pengembangan produk. Garam juga mempengaruhi kelarutan dan kekentalan protein, karena itu ketegaran tekstur dan ekspansi produk ekstrusi akan meningkat (M iller 1995). 5) Bahan pembentuk sel Kalsiu m karbonat dan magnesium silikat merupakan contoh bahan pembentuk sel. Penambahan bahan tidak larut yang sangat halus dapat mengurangi energi yang diperlukan untuk membentuk gelembung dalam lap isan pati, dan men ingkatkan ju mlahnya dari ratusan hingga puluhan ribu per mililiter. 6) Bahan pemberi warna Penggunaan bahan-bahan pemberi warna diutamakan adalah yang tahan panas (stabil) ataupun yang berupa prekursor. 7) Bahan pemberi flavor Penambahan bahan pemberi flavor dapat dilakukan saat proses ekstrusi berlangsung maupun setelahnya. b. Variabel Proses dan Operasi Variabel proses yang dapat dikendalikan dengan mesin yang ada dan yang berperan dalam mempengaruhi karakteristik produk akhir antara lain suhu, kecepatan putar ulir, kecepatan masuk bahan, desain cetakan.
12
1) Suhu Suhu terutama berfungsi untuk memasak bahan sehingga saat keluar dari ektruder, produk siap d ikonsumsi. Selain itu, suhu juga mempengaruhi perubahan mo leku ler bahan. Ekstrusi pemasak (cooking extruder) pada umu mnya menggunakan suhu antara 150-200o C. Dengan suhu ini, bahan yang masuk ke dalam ekstruder akan mengalami proses pemasakan sehingga saat keluar produk sudah masak dan siap dikonsumsi. Ko mponen mikrobial yang terdapat pada bahan dapat dihilangkan, dengan memin imalkan kehilangan kandungan gizi p roduk mengingat bahwa proses yang digunakan adalah proses HTST. Selain itu, ko mponen anti nutrisi seperti tripsin inhibitor, hemaglutinin, dan gosipol juga dapat dihilangkan (Muchtadi et al. 1987) Di dalam laras ekstruder, air akan menguap dan menjadi uap air, namun tertahan di dalam bahan karena tekanan yang dihasilkan putaran ulir. Saat keluar dari cetakan, akan terjadi proses flashing dimana uap air segera meninggalkan bahan karena perbedaan tekanan, dan menyebabkan produk mengembang. 2) Ulir dan Kecepatan Putar Ulir Pada sebuah ekstruder biasanya terdapat tiga bagian ulir utama yang dapat diatur suhunya lewat pemanas eksternal. Bagian pertama adalah bagian masukan (feed section). Bahan mula -mula masuk ke dalam ulir lewat bagian ini. Fungsi utama bagian masukan adalah untuk memastikan bahwa bahan yang masuk cukup sehingga ulir tidak dalam keadaan kosong (starved). Bagian kedua adalah bagian ko mpresi (compression section). Bagian ini bahan mu lai dipanaskan dan ditekan oleh ulir akibat penurunan jarak antara ulir dengan dinding laras. Karakteristik bahan berubah dari bentuk granula ataupun partikulat menjadi bentuk amorf atau adonan plastis. Bagian terakhir adalah bagian pengendali (metering section), dimana bahan akan mengalami pemotongan dan pemanasan maksimal. Konversi energi mekanis menjadi besar yang menyebabkan peningkatkan suhu yang lebih cepat. Tingkat pemotongan yang tinggi akan men ingkatkan pengadukan internal sehingga suhu ekstrudat menjadi lebih seragam (Harper 1981). Kecepatan putar ulir akan menentukan tingkat pemotongan dan energi mekan is yang berpengaruh pada suhu bahan. Kecepatan ulir juga berpengaruh pada keseragaman pengadukan dan suhu, yang sangat penting untuk menjaga ―tit ik mat i‖ tidak terbentuk. Titik mat i adalah daerah-daerah/titik-titik di dalam ekstruder dimana aliran dapat terhenti sehingga menyebabkan aliran bahan yang terlampau panas dan bentuk fisik yang telah berubah (Muchtadi et al. 1987). Tingkat pemotongan bahan akan semakin meningkat dengan menambah kecepatan ulir bahan. Geo metri dan rancangan ulir juga mempengaruhi tingkat pemotongan bahan, yaitu bentuk ulir, jarak u lir dengan dinding laras, serta bentuk dan susunan tonjolan ulir. Akan tetapi, variabel in i telah ditetapkan pada mesin ekstruder, sehingga tidak leluasa untuk diubah. 3) Kecepatan Masuk Bahan Kecepatan masuk bahan dapat diatur dengan mengendalikan kecepatan auger atau ulir pengumpan. Ulir pengumpan berfungsi untuk menyeragamkan bahan serta melakukan pemotongan bahan sebelum masuk ke ekstruder. Hal ini penting untuk mencegah penyebaran air atau kelembaban yang tidak merata yang dapat menyebabkan distribusi suhu yang tidak merata dan ―titik mat i‖ di dalam ekstruder. Kecepatan masuk bahan juga mempengaruhi ju mlah aliran bahan di dalam laras. Ju mlah bahan yang
13
masuk sebaiknya cukup untuk mencegah terbentuknya kantong -kantong udara di dalam laras. Pembentukan kantong-kantong udara ini akan mempengaruhi ketidakseragaman produk yang dihasilkan (Harper 1981: Muchtadi et al. 1987). 4) Desain Cetakan Desain cetakan akan mempengaruhi bentuk produk yang dihasilkan. Pada beberapa desain cetakan yang memiliki lubang ganda dengan bentuk lingkar yang tidak simetris terhadap sumbu alat, dapat terjadi perbedaan tekanan diantara lubang cetakan. Hal ini dapat menyababkan aliran bahan yang tidak seragam sehingga produk yang dihasilkan t idak konsisten.
C. Sarapan Sereal Sereal sarapan pagi (breakfast cereal) adalah produk dengan tekstur cenderung rapuh yang sebagian besar terbuat dari serealia yang diubah menjad i bentuk yang lebih mudah dikonsumsi dan dicerna melalui proses mencakup pemasakan dan dehidrasi (Frame 1999). Di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01—4270-1996, definisi susu sereal adalah serbuk instan yang terbuat dari susu bubuk dan sereal dengan penambahan bahan makanan lain dan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2000) yang dimaksud dengan makanan ringan ekstrudat ialah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizin kan dengan atau tanpa melalui p roses penggorengan. Seiring dengan perkembangan zaman, waktu sarapan pagi semakin terbatas, sehingga diperlukan menu sarapan pagi yang praktis dan juga bergizi. Oleh karena itu, saat in i telah beredar berbagai produk sereal sarapan yang praktis penyajiannya dan hanya membutuhkan penambahan susu cair. Jen is sereal sarapan seperti in i menawarkan kepraktisan dan kandungan gizi ekstra. Menurut Tribelhorn (1991), produk sereal sarapan dapat dikelo mpokan berdasarkan sifat fisik alami dari produk. Jenis pertama adalah kelo mpok sereal tradisional yang memerlu kan pemasakan (Traditional cereal that require cooking). Sereal jenis ini dijual di pasaran dalam bentuk biji mentah yang sudah diproses. Jenis kedua adalah sereal tradisonal panas cepat saji (Instant traditional hot cereal). Sereal jenis in i dijual di pasaran dalam bentuk biji masak dan hanya memerlu kan air mend idih untuk dapat dikonsumsi. Jenis ketiga adalah Ready-to-eat cereal. Sereal jenis ini merupakan kelo mpok sereal yang dibuat dari biji yang sudah dimasak dan dimod ifikasi. Jenis sereal ini dapat dikelo mpokkan lagi men jadi produk flaked, puffed, atau shredded. Jenis keempat adalah Ready-to-eat ceral mixes. Sereal jenis ini merupakan ko mbinasi dari bermacam-macam b iji sereal, polong-polongan (legumes), atau oil seeds, serta buah-buahan kering. Jenis kelima, atau jenis yang terakhir adalah produk sereal lainnya (Miscellaneous cereal products). Jenis ini merupakan produk sereal yang tidak dapat dikelo mpokkan ke dalam empat jenis sereal sarapan di atas karena adanya pengkhususan dari proses astau pengguna akhir. Contoh sereal jenis ini adalah makanan bayi dan cereal nuggets. Saat ini, sereal sarapan yang paling digemari masyarakat adalah jenis ready -to-eat puffed cereal yang penyajiannya dengan cara mencampurkan sereal dengan susu dan dapat disajikan kurang dari 3 men it. Sereal sarapan jenis ini paling banyak jenisnya dibandingkan dengan sereal sarapan lainnya dan merupakan sereal sarapan yang akan dibuat pada penelitian ini.
14
Menurut Khomsan (2002), sarapan pagi menyumbang kurang lebih 25% zat gizi, yaitu sekitar 400-500 kkal untuk kecukupan energi 2000 kkal. Menurut Hand (2010), kisaran ju mlah asupan karbohidrat yang dapat mencukupi kebutuhan tubuh dan mencegah penyakit adalah 4565%. Ju mlah asupan protein yang dianjurkan adalah 10-35%, sedangkan asupan lemak yang dianjurkan adalah 20-35% dari total kebutuhan gizi harian. Jika dibagi rata, maka ju mlah energi dari karbohidrat yang harus dipenuhi pada saat sarapan adalah 180 -325 kkal, sedangkan dari protein adalah 40-175 kkal dan dari lemak adalah 80-175 kkal. Pada umu mnya, takaran saji produk sereal sarapan siap santap adalah berkisar 20 -80 gram yang menyumbangkan energi antara 80-160 kkal. Ju mlah energi seju mlah in i tentu belum mencukupi kebutuhan energi di pagi hari seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, penyajian sereal siap santap ini adalah dengan menambahkan susu. Ju mlah susu yang ditambahkan pada u mu mnya adalah setengah gelas hingga satu gelas susu, atau berkisar antara 150 h ingga 300 ml yang menyumbangkan antara 130 -260 kkal energ i. Dengan demikian, energi yang dihasilkan dengan mengkonsumsi sereal sarapan pagi dengan susu adalah berkisar 210-420 kkal energ i, yang diharapkan mencukupi kebutuhan energi di pag i hari.
D. ANALISIS FINANSIAL Analisis finansial merupakan suatu dasar pengambilan keputusan untuk melakukan investasi yang menyangkut sejumlah besar dana dengan harapan mendapatkan keun tungan jangka panjang (Soeharto 1999). Beberapa parameter untuk menguji kelayakan suatu proyek untuk dijalankan pada analisis finansial adalah NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C (Net Benefit Cost Ratio), PP (Payback Period), dan BEP (Break Event Point). Parameterparameter tersebut dapat diperoleh melalui perhitungan dengan melaku kan perkiraan aliran kas masuk dan keluar. Soeharto (1999) menyebutkan aliran kas terbentuk dari perkiraan biaya pertama, modal kerja, biaya operasi, biaya produksi, dan pendapatan. 1. NPV (Net Present Value) Net Present Value adalah perbedaan antara nilai sekarang dari benefit (keuntungan) dengan nilai sekarang biaya (Kadariah et al. 1978 yang dikutip o leh Djazu li et al. 2009). Besarnya NPV (Net Present Value) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : n
NPV = t =1
𝐴𝐶𝐹𝑡 (1 + 𝑘) t
− 𝐼𝑜
Keterangan : ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t n = usia proyek yang diharapkan (tahun) k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%) t = periode (tahun) Io = investasi awal (Initial Investment) Keown et al. (2005) menyebutkan suatu proyek dapat diterima atau layak dilaksanakan apabila NPV ≥ 0.0. Nilai 0.0 pada NPV menunjukkan setelah proyek berlangsung pada periode yang diharapkan, proyek tersebut memberikan pengembalian yang sama dengan tingkat pengembalian yang disyaratkan. 2. IRR (Internal Rate of Return) Internal Rate of Return dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat bunga yang menunjukkan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh biaya investasi proyek (Djazuli 2009). IRR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
15
n
IO = t =1
𝐴𝐶𝐹𝑡 (1 + 𝐼𝑅𝑅) t
Keterangan : ACFt = arus kas tahunan setelah pajak pada periode t n = usia proyek yang diharapkan t = periode (tahun) Io = investasi awal (Initial Investment) Keown et al. (2005) menyebutkan kriteria keputusan parameter IRR adalah menerima proyek jika persentase IRR ≥ tingkat pengembalian yang disyaratkan. 3. Net B/ C (Net Benefit Cost Ratio) Net B/ C adalah angka perbandingan antara present value total bersih dari hasil keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih (Kadariah et al. 1978 yang dikutip oleh Djazu li et al. 2009). Perh itungan Net B/C d ilakukan dengan terlebih dahulu menghitung PV (Present Value). PV (Present Value) merupakan nilai arus kas bersih (net cash flow) yang dikalikan dengan discount factor (DF). Arus kas bersih merupakan hasil pengurangan nilai manfaat (benefit) dengan nilai biaya (cost). Ru mus menghitung discount factor (DF) adalah : DF =
1 (1 + k) t
Keterangan : k = t ingkat bunga modal atau tingkat pengembalian yang disyaratkan (%) t = periode (tahun) Nilai Net B/ C dihitung dari perbandingkan jumlah semua PV yang positif dengan semua PV negatif. Ru mus untuk menghitung nilai Net B/ C dapat dinyatakan sebagai berikut : Net B/C =
+ NPV positif − NPV negatif
Djazu li et al. (2009) menyebutkan apabila Net B/ C>1 proyek dinyatakan layak, Net B/ C=1 proyek mencapai t itik impas, dan jika Net B/C<1 proyek d inyatakan tidak layak untuk dilanjutkan. 4. PP (Payback Period) Keown et al. (2005) menyebutkan PP (Payback Period) atau periode pembayaran kembali adalah ju mlah tahun yang dibutuhkan untuk menutupi pengeluaran awal. Perhitungannya dilakukan berdasarkan aliran kas, baik tahunan maupun merupakan nilai sisa. Periode pengembalian pada suatu tingkat pengembalian tertentu digunakan model formu la berikut : PP = n −
a b
Keterangan : n = tahun terakhir dimana keadaan Arus Kas Kumu latif bernilai negatif a = Ju mlah Arus Kas Ku mulat if negative di tahun ke-n b = Ju mlah Arus Kas Bersih d i tahun ke-(n +1)
16
Djazu li et al. (2009) menyebutkan apabila nilai PP leb ih besar dari pada umur proyek, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Proyek tersebut layak untuk dilaksanakan apabila nilai PP lebih kecil daripada u mur proyek. 5. B EP (Break Event Point) BEP (Break Event Point) atau titik impas merupakan t itik keseimbangan antara total penerimaan dan total pengeluaran (Ibrahim, 1998). Kapasitas produksi atau volume yang diproduksi pada titik in i tidak akan untung atau rugi (impas). Ju mlah unit yang diproduksi pada titik ini dapat dihitung dengan perumusan : Q (jumlah) =
Harga penjualan
Biaya tetap Biaya variabel unit − unit
17