II. TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Serat Sawit untuk Pakan Ruminansia Serat sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit. Di Indonesia saat ini penanaman kelapa sawit (Elais gueneensis JACK) sedang dikembangkan dengan peningkatan luasan yang pesat dari 120.000 hektar tahun 1969 menjadi 7 juta Ha pada tahun 2010 dengan produksi minyak sawit (crude palm oil) lebih dari 19 juta ton (Ditjen Perkebunan 2010), dengan meningkatnya luas per-kebunan kelapa sawit tiap tahunnya 12,6 % (Liwang
2003), akan
meningkatkan limbah pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan dan berpotensi mengganggu lingkungan. Salah satu limbah pengolahan kelapa sawit adalah serat sawit (palm press fibre). Setiap Ha luasan kebun kelapa sawit dihasilkan limbah berupa serat sawit sebanyak 2.681 kg bahan kering per tahun (Diwyanto et al 2004), dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta Ha (90 % nya berproduksi), jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar 16,888 metrik ton BK/th. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan pakan ternak, terutama ternak ruminansia. Terbatasnya penggunaan serat sawit dalam ransum karena tingginya kandungan sellulosa (38.69 %) dan lignin (20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi ini diperlukan suatu teknologi, salah satu diantaranya memberikan perlakuan secara kimia (NaOH) dan biologis yakni melakukan fermentasi menggunakan kapang Aspergillus niger. Menurut hasil penelitian Purwaningrum (2003) bahwa pemanfaatan SS yang mendapatka n pe ngolahan de ngan Trichoderma harzianum diperoleh SS dan LSKS (limbah serat kelapa sawit) dengan rasio 1:2, dan digunakan sebagai pengganti hijauan konvensional dengan taraf 50% dan lebih dari itu akan menurunkan kecernaan dan keracunan amonia.
Jamarun et al
(2000)
mendapatkan hasil penelitian bahwa serat sawit yang telah direndam dengan NaOH 2,5% dengan lama perendaman 24 jam telah mampu memberikan hasil yang terba ik dalam menurunkan kandungan NDF, ADF, selulosa, lignin dan silika serat sawit tanpa mempengaruhi nilai protein kasar. Mutu suatu ba han paka n
8 ditentukan oleh interaksi antara konsentrasi unsur gizi, tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi.
Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang
menunjukkan potensi suatu bahan pakan. Kandungan gizi beberapa produk hasil samping perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1. Tabe l 1 Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit Bahan/produk samping Daun tanpa lidi (5) Pelepah (4) Solid (4) Bungkil (2) Serat perasan (5) Tandan kosong (3)
BK (%) 46,18 26,07 24,08 91,83 93,11 92,10
Abu
PK
13,40 5,10 14,40 4,14 5,90 7,89
14,12 3,07 14,58 16,33 6,20 3,70
SK
L BETN …% BK … 21,52 4,37 46,59 50,94 1,07 39,82 35,88 14,78 16,36 36,68 6,49 28,19 48,10 3,22 -47,93 4,70 --
Ca
P
0,84 0,96 1,08 0,56 ---
0,17 0,08 0,25 0,84 ---
GE (kal/g) 4461 4841 4082 5178 4684 --
( ) jumlah contoh
Sumber : Mathius et al. (2004) Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak. Bahan pakan dengan kandungan serat tinggi seperti pelepah, daun, serat perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi untuk produksi. Bahan tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi bagi ternak, karena berperan sebagai pakan dasar (pokok) sehingga dikonsumsi dalam jumlah yang relatif lebih besar. Unsur kimiawi yang terkandung dalam serat atau dinding sel yang secara efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan adalah konsentrasi dan keterikatan selulosa, hemiselulosa, lignin, kutin dan silika (Tabel 2). Dari unsur penyusun dinding sel atau serat tersebut pada dasarnya yang berpotensi sebagai sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui proses fermentasi di dalam sistem pencernaan ternak. Kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam keseluruhan serat merupakan yang terbesar (60-83%) atau setara dengan 44-69% dari bahan kering. Lignin, selain tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi
9 Tabe l 2
Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit
Komponen serat Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Silika (%) Total
Daun 16,6 27,6 27,6 3,8 75,6
Fraksi kelapa sawit Pelepah Serat perasan buah 31,7 18,3 33,9 44,9 17,4 21,3 0,6 tt 83,6 84,5
Batang 34 35,8 12,6 1,4 83,8
Sumber : Bejo (1995) ternak (Fengel & Wegener 1995). Oleh karena itu ketersediaan selulosa sebagai sumber energi bervariasi dan amat ditentukan oleh intensitas ikatannya dengan senyawa lignin. Silika yang merupakan elemen struktural dan bersama lignin secara komplementer memperkuat rigiditas serat/ dinding sel (Fengel & Wegener 1995) juga menghambat pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi. Kandungan lignin dan silika secara bersama yang relatif tinggi (18-40% dari total dinding sel)
merupakan indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan
merupaka n salah satu ke ndala pe nting da n membutuhka n teknik untuk mengatasinya.
Data ini memberi indikasi bahwa masalah utama pemanfaatan
hasil samping perkebunan kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan kecernaan. Peningkatan kecernaan selanjutnya diharapkan dapat
memberi
pengaruh positif bagi peningkatan konsumsi. Peningkatan Kualitas Serat Sawit denga n NaOH Umumnya kecernaan dari ransum pakan serat sekitar 40-45 %, karena itu sangat diperlukan upaya perbaikan nutrisi untuk meningkatkan kecernaannya. Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan perlakuan pretreatment yaitu untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk pengembangan teknologi biokonversi dalam skala komersial (Mos ier et al., 2005), secara kimia diantaranya perendaman dengan NaOH, fisik (uap panas, menggiling dan memotong), dan biologi (suplemen nitrogen dan fermentasi media padat) untuk memperkaya nilai nutrisi dari sekam dan sekam yang digiling (Vadiveloo et al. 2009). Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih muda h diakses oleh enzim yang memecah polymer
10 polisakarida menjadi monomer gula. Tujuan pretreatment secara skematis ditunjukkan pada Gambar 1.
Amorphous
Crystalline Region
Gambar 1. Skema pretreatment biomassa lingo-selulosa (Mosier et al., 2005). Selain cara hidrolisis kimiawi, menurut Hendriks & Zeeman (2009) bahan bermutu rendah dapat ditingkatkan kegunaannya dengan cara fisika, secara fisika usaha lain unt uk memperba iki kualitas ba han makanan berserat dapat dilakukan dengan pemanasan dan steam bertekanan (autoclave). NaOH adalah alkali yang paling efektif untuk menaikkan kecernaan zat makanan limbah pertanian/industri karena mampu merenggangkan ikatan ligno-selulosa yang lebih besar sehingga kecernaan lebih tinggi, hal ini sesuai menurut Moss et al. (1993) bahwa perlakuan dengan NaOH adalah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan kualitas jerami padi yang rendah, walaupun penambahan NaOH membuat defisiensi nitrogen lebih buruk pada jerami padi. Ringkasan berbagai teknik pretreatment yang dikembangkan ditampilkan pada Tabel 3 di bawah ini.
11 Tabe l 3 Pretreatment biomassa lingo-selulosa Pretreat ment
Proses
Pretreat ment mekanik Milling: atau fisik - ball milling - two-rol milling - hammer milling - colloid milling - vibrotory ball milling Irradiation: - gamma-ray - electron beam - micro wave
Perubahan pada biomassa - mengurangi ukuran partikel
- meningkat kan luas permukaan yang kontak dengan enzim
Lainnya:
Pretreat men kimia dan fisik-kimia
- hydrothermal - uap bertekanan tinggi - expansi - ext rusi - pirolisis - air panas Exp losion: - eksplosi uap panas - ammonia fiber exp lotion (AFEX) - eksplosi CO 2 - eksplosi SO 2
- mengurangi kristalisasi selulosa
- meningkat kan area permukaan yang mudah diakses
- delignifikasi sebagian atau hampir keseluruhan
Alkali: - sodium h idroksida - ammonia - ammoniu m sulfat - ammonia recycle percolation (A RP) - kapur (lime) Asam: - asam sulfat - asam fosfat - asam hidro klo rat - asam parasetat
- menurunkan kristalisasi selulosa
- menurunkan derajat polimerisasi
- hidro lisis hemiselu losa sebagian atau keseluruhan
Referensi Vadiveloo et al. (2009) Taherzadeh & Karimi (2008) Sun & Cheng (2002) Zhu et al., (2005) Thomsen, Thygesen, & Tho msen (2008) Ahring, Jensen, Nielsen, Bjerre, & Schmidt (1996) Hendriks & Zeeman (2009) Eggeman & Elander, (2005) Ohgren, Rudolf,Galbe, & Zacchi (2006) Kabel, Bos,Zeevalking, Vo ragen, & Schols, (2007) Sun & Cheng (2002) Taherzadeh & Karimi (2008) Eggeman & Elander (2005) Eklund, Galbe, & Zacchi (1995) Negro, Manzanares, Oliva, Ballesteros, & Ballesteros (2003) Bower, Wickramasinghe, Nagle, & Schell (2008) Fengel & Wegener (1995) Moss et al. (1993) Ginting (1996) Haddad et al.,(1995) Arysoi (1998) Cara, Ruiz, Ballesteros, Manzanares, Negro, & Castro (2008) Kim & Hong (2001) Mosier et al., (2005) Saha & Cotta (2008)
12 Pretreat ment
Pretreat ment
Proses
Proses
Perubahan pada biomassa
Perubahan pada biomassa
Gas: - Clorin d ioksida - Nitrogen dioksida -Sulfur d ioksida
Agen Oksidasi: -Hidrogen peroksida - oksidasi basah - Ozone
Pelarut untuk ekstraksi lignin : - ekstrasi ethanol-air - ekstrasi benzene-air - ekstraksi etilen Gliko l - ekstraksi butanolair - agen pemekar (swelling)
Biologi
- Fungi pelapuk putih - Aktino micetes
- delignifikasi - penurunan derajat polerisasi selulosa
- penurunan derajat kristalisasi selulosa
Referensi Shimizu, Sudo, Ono, Ishihara, Fujii, & Hishiyama, 1998) Referensi Sun & Chen Organosolv pretreatment by crude glycerol fro m oleochemicals industry for enzy matic hydrolysis of wheat straw (2008) Sun & Chen, Enhanced enzy matic hydrolysis of wheat straw by aqueous glycerol pretreatment (2008) Sun & Cheng (2005) Zhang, et al.,(2008) Kim & Lee (2002) Zhao, Zhang, & Liu (2008) Lloyd & Wayman (2005) Ahring, Jensen, Nielsen, Bjerre, & Schmidt (1996) Silverstein, Chen, Sharma-Shivappa, Boyette, & Osborne (2007) Taniguchi, Su zuki, Watanabe, Sakai, Hoshino, & Tanaka (2005) Shi, Ch inn, & Sharma-Shivappa, (2008) Keller, Hamilton, & Nguyen (2003) Kirk & Chang, Potential applicat ion of bio-ligninolyt ic System (1981)
Keterangan: modifikasi dari Taherzadeh and Karimi (2008)
Tersedianya jumlah energi dari bahan yang kaya serat kasar dapat ditingkatkan dengan perlakuan alkali, menurut Haddad et al (1995)
mengatakan bahwa
hidrolisis bahan berserat kasar dengan NaOH, NH4 OH, urea dan Ca(OH) 2
13 menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan turunnya
kadar lignin.
Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat
meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan retensi N, namun tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar (Arysoi 1998),
tetapi pada
penelitian Ginting (1996) perlakuan NaOH dengan konsentrasi 5 % memberikan koefisien cerna ba han ke ring in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 %. Fermentasi Banyak cara yang dicoba untuk meningkatkan biomassa bagi kepentingan manusia atau ternak dan dengan cara tersebut semuanya berdasarkan kemampuan mikroba terutama jamur dan bakteri dalam merubah biomassa menjadi glukosa, etanol, protein sel tunggal dari makanan ternak. Fermentasi adalah proses metabolisme dimana enzim yang dihasilkan mikroorganisme menstimulasi reaksi oksidasi, reaksi hidrolisa dan reaksi kimia lainnya sehingga mengakibatkan perubahan struktur kimia pada substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu
(Dwidjoseputro 2003). Fermentasi merupakan salah satu proses
pengolahan dan pengawetan dengan bantuan mikroba. Fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi bahan makanan menjadi lebih tinggi dari bahan asalnya, sebab mikroba katabolik akan memecah komponen kompleks menjadi (zat- zat) yang lebih sederhana. Proses fermentasi menurut medianya dibagi atas dua golongan yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Sebaliknya fermentasi medium cair adalah fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Rahman 1990). Fermentasi medium padat secara alami umumnya berlangsung pada medium dengan kadar air berkisar antara 60-80%, karena pada keadaan ini medium mengandung air yang cukup untuk pertumbuhan mikroba (Bentley & Bennett 2008, Krishna 2005). Pada hakekatnya kadar air substrat pada fermentasi
14 medium padat tergantung pada sifat alamiah substrat, jenis organisme dan tipe produk akhir dikehendaki. Fermentasi medium padat mempunyai beberapa keuntungan antara lain memiliki kesederhanaan dalam persiapan mediumnya, persiapan inokulum lebih sederhana, kontrol terhadap kontaminasi lebih mudah, kondisi mediumnya mendekati keadaan tempat tumbuh kapang yang biasa dijumpai di alam dan fermentasi memiliki kekurangan (Krishna 2005).
Ada ms dan Moss (2008)
menyatakan bahwa kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral
bahan
akan
mengalami
perubahan
akibat
aktifitas
dan
perkembangbiakkan mikroorganisme selama fermentasi. Selanjutnya Fardiaz (1992) mengatakan bahwa pada proses fermentasi akan terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma, serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein, vitamin, dan beberapa zat gizi lainnya walaupun mungkin terjadinya penurunan vitamin B1 dan mineral fosfor. Terjadinya peningkatan kadar air selama fermentasi disebabkan aktifitas enzim
yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Menurut Fardiaz (1992)
mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang setelah terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Pemecahan glukosa selanjutnya dilakukan melalui jalur glikolisis sampai akhirnya dihasilkan energi. Pada proses tersebut juga dihasilkan molekul air dan CO 2 . Sebagian air akan keluar dari produk sehingga berat kering produk cenderung berkurang setelah fermentasi. Perubahan kadar serat kasar setelah fermentasi terjadi pada dedak padi dan bungkil inti sawit yang meningkat selama fermentasi berlangsung. Meningkatnya kadar serat tersebut disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang mengandung serat serta terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya (Nur 2006). Faktor-faktor ya ng me mpenga ruhi fe rmentas i Untuk meningkatkan nilai gizi serat sawit, dilakukan fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger. Dalam proses fermentasi akan terjadi pemecahan oleh enzim-enzim tertentu terhadap zat- zat yang tidak dapat dicerna oleh ternak seperti selulosa, hemiselulosa dan polimer-polimernya menjadi gula
15 sederhana dan alkhohol sehingga bahan yang telah difermentasi mempunyai daya cerna yang lebih tinggi dari bahan asalnya (Bentley & Bennett 2008).
Menurut
Fardiaz (1992) untuk mendapatkan pertumbuhan kapang yang baik, perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti suhu, pH, ketersediaan O 2 dan H2 O. Media yang diinokulasi pHnya diusahakan sesuai dengan kebutuhan kapang.
Aspergillus niger merupakan kapang yang tumbuh cepat, banyak
digunakan secara komersil dalam produksi asam sitrat, asam glukonat, dan beberapa enzim seperti amilase, amiloglukosidase dan selulase Bennett 2008, Iyayi 2004). Kapang A. niger berperan
(Bentley &
dalam meningkatkan
kandungan protein kasar bahan sehingga meningkatkan daya cerna bahan kering dan ba han or ganik yang difermentasi.
Jenis fungi yang biasa digunakan dalam
produksi selulase adalah Aspergillus niger (Immanuel et al. 2006, Ikram et al. 2005, Omojasola et al. 2008, Narasimha et al. 2006). Ikram et al, (2005) menyatakan bahwa, enzim yang dapat menghirolisis ikatan β(1-4)
pada selulosa adalah selulase. Hidrolisis enzimatik yang sempurna
memerlukan aksi sinergis dari tiga tipe enzim ini, yaitu : Endo-1,4-β-D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau CMCase), yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi. Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan/atau glukosa. β–glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa. Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam Gambar 2.
Kompleks selulase digunakan secara komersial dalam pengolahan kopi. Selulase digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan kertas bahkan kadang-kadang digunakan dalam industri farmasi. Dalam krisis energi sekarang ini, selulase dapat digunakan dalam fermentasi biomassa menjadi biofuel, walaupun proses ini sifatnya masih eksperimental. Di bidang kesehatan selulase digunakan sebagai treatment untuk phytobezoars salah satu be ntuk selulosa bezoar di dalam perut manusia (en.wikipedia.org/wiki/cellulase). Seperti yang dijelaskan di atas, selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Hidrolisis menggunakan asam biasanya dilakukan
16 pada temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang cukup tinggi. Baru pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzim selulase (Gado et al. 2007). Selulosa diproduksi oleh fungi, bakteri, tumbuhan, dan ruminansia. Produksi komersial selulase pada umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Meskipun banyak mikroorganisme
yang
dapat
mendegradasi
selulosa,
hanya
beberapa
mikroorganisme yang memproduksi selulase dalam jumlah yang signifikan yang mampu
menghidrolisa
kristal
selulosa
secara
invitro.
Fungi
adalah
mikroorganisme utama yang dapat memproduksi selulase, meskipun beberapa bakteri dan actinomycetes telah dilaporkan juga menghasilkan aktivitas selulase. Fungi berfilamen seperti Tricoderma dan Aspergillus adalah penghasil selulase dan crude enzyme secara komersial fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam memproduksi selulase (Ikram et al. 2005).
Gambar 2 Mekanisme hidrolisis selulosa (en.wikipedia.org/wiki/cellulase). Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik menggunakan enzim selulase (Vrije et al., 2002) maupun mikroorganisme selobios glukosa penghasil selulase (Aderemi et al ., 2008). Hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh jenis sumber subsrat (seperti serbuk gergaji, jerami padi, sabut sawit) dan ukuran partikel. selulotik, jumlah β- glukosidasenya lebih rendah dari yang dibutuhkan
17 untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Juhasz et al., 2005; Martins et al., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008), yang merupakan inhibitor kuat terhadap endo dan eksoglukanase. Mikroorganisme yang mempunyai kemampuan memprod uksi β- glukosidase yang kuat yaitu Aspergillus niger (Juhasz et al. 2005). Perubahan zat-zat makanan selama fe rmentasi Makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih baik dari asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme yang memecah komponen-komponen kompleks menjadi zat- zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, tetapi mikroorganisme juga dapat mensintesa beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12, provitamin A dan faktor pertumbuhan lain-nya, juga dapat terjadi pemecahan gula oleh enzim tertentu misalnya hemiselulosa, sellulosa dan polimer-polimernya menjadi gula sederhana atau turunannya (Winarno 2008). Bentley dan Bennett (2008) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik yang akan dapat merubah lebih banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat meningkatkan protein kasar dari bahan. Fardiaz (1992) menambahkan selama proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein sel tunggal. Menurut hasil penelitian Jamarun et al. (2000) bahwa serat sawit fermentasi dapat digunakan sampai level 45% dari total ransum (menggantikan 75% kebutuhan hijauan). Pemberian 60% serat sawit yang difermentasi dengan Aspergillus niger Cz 51 VI/I dalam ransum atau pengganti 100% hijauan dengan serat sawit, menyebabkan penurunan berat badan ternak domba. Terbatasnya penggunaan serat sawit dalam ransum, karena tingginya kandungan lignoselulosa (selulosa 38.60% dan lignin 20.99%) yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu teknologi, salah satunya
18 dengan memberikan perlakuan secara biologis yakni
melakukan fermentasi
menggunakan kapang Aspergillus niger Cz 51 VI/I pensintesa Cr-organik. Fermentasi dengan Aspergillus niger Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat, banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glutamat serta beberapa enzim, seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase. Kapang ini dapat menghasilkan berberapa vitamin yang larut dalam air seperti B 6 , B12 , dan niasin. Aspergillus niger dapat tumbuh pada kisaran pH antara 2,8 – 8,8 dengan pH optimum berkisar antara 3,0 – 6,0 dalam pertumbuhannya Aspergillus niger membutuhkan mineral Mg, Fe, K, Zn, Mn, tiamin dan urea. Enzim selulsase yang dihasilkan
Aspergillus niger menunjukkan aktivitas
optimum pada kisaran pH 4,5 – 5,5. Aspergillus niger bersifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup. Suhu pertumbuhan optimum Aspergillus niger adalah 35 – 37o C (Iyayi
2004),
sedangkan suhu untuk produksi enzim selulase adalah 25 – 28oC (Bentley & Bennett 2008). Aspergillus niger adalah kapang penghasil komplek enzim selulase yang memiliki aktivitas tinggi dan berpotensi untuk dimanfaatkan dalam menkonversi bahan lignoselulosik menjadi bioenergi. Dari hasil penelitian kompleks ensim selulase yang dihasilkan dari Aspergillus niger terdiri da ri CMC-ase (1,4-ß-Dglucan glucanohydro- lase), Avicelase (1,4-ß-cellobiosidase) dan ß-glukosidase (ßD-glucosidase gluco-hydrolase) dengan masing- masing memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi selulase.
Dalam mendegradasi selulosa
kompleks enzim tersebut bertipe endo berbeda dengan enzim selulase yang dihasilkan dari bakteri umumnya bertipe exo. Mod el aksi da ri enzim tersebut akan berpengaruh pada kemampuan dalam mendegradasi bahan lignoselulos ik menjadi kompo nen gula yang lebih sede rhana (Bentley & Bennett 2008 ). Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat, diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat
dan
pembuatan
berapa
enzim
seperti
amilase,
pektinase,
19 amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat
tumbuh
pada suhu
35ºC - 37ºC (optimum), 6 - 8ºC (minimum), 45ºC-47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat. Aspergillus niger memerluka n mineral (NH 4 ) 2 SO4 , KH2 PO4 , MgSO 4 , urea, CaCl2 .7H2 O, FeSO4 , MnSO 4 .H2 O untuk menghasilkan enzim sellulase, sedangkan untuk enzim amilase khususnya amiglukosa diperlukan (NH 4 ) 2 SO4 , KH2 PO4 .7H2 O, Zn SO4 , 7H2 O. Bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi dapat dikomposisi lebih cepat dari pada bahan organik yang rendah kandungan nitrogennya pada tahap awal dekomposisi. Tahap selanjutnya bahan organik yang rendah kandungan nitrogennya dapat dikomposisi lebih cepat daripada bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi. Penurunan bahan organik sebagai sumber karbon dan nitrogen disebabkan oleh Aspergillus niger sebagai sumber energinya untuk bahan penunjang pertumbuhan atau growth factor. Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan beberapa enzim ekstra seluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan mobilitas sel. Amonia dapat digunakan oleh kapang untuk pembentukan asam amino. Sedangkan perubahan kandungan SK dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang , kemampuan memecah SK untuk memenuhi kebutuhan energi, dan kehilangan BK selama fermentasi. Penurunan SK diduga karena Aspergillus niger pada inkubasi 4 hari mulai mensintesa enzim pengurai, yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk. Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat an menghasilkan beberapa enzim seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase (Bentley & Bennett 2008).
20 Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger dapat meningkatkan kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit.
Hasil
penelitian yang telah dilakukan menggunakan berbagai level inokulum Aspergillus niger dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH, terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi (Jamarun et al 2000). Pemanfaatan hasil fermentasi bungkil inti sawit dengan Aspergillus niger dalam ransum ayam broiler terhadap warna daging, memperlihatkan hasil yang signifikan dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Pemakaian 7.5% bungkil inti sawit fermentasi memberikan warna daging merah ceri dibandingkan dengan tanpa bungkil inti sawit fermentasi (Nur 2001). Hasil dari fermentasi ini beraroma wangi yang disenangi ayam dan dapat disimpan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan dan lemak pada abdomen tidak begitu banyak dan rasa dagingnya manis. Setelah lumpur sawit difermentasi selama 4 hari, ka ndungan PK nya naik menjadi 35,43 % dari 13,25% dan serat kasarnya menjadi 13,8% dari 16,3%. Kenaikan PK LSF ini dikarenakan setelah fermentasi 4 hari terjadi kehilangan bahan kering yang tinggi (28,77%), kapang ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang tinggi, kemudian diduga juga kapang ini telah mensintesis enzim ureasi untuk mencegah urea menjadi amonia dan CO2 pada fermentasi 4 hari. Peranan kromium dalam sistem transport dan metabolisme nutrien Kromium (Cr) diketahui merupakan mineral esensial sejak tahun 1959. Schwart dan Mertz adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan uptake glukosa dan meningkatkan potensi aktifitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai faktor toleransi glukosa (Glucose Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF tersusun dari kompleks antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder 1992, Underwood & Suttle 2001) seperti disajikan pada Gambar 3. Di dalam struktur GTF kromium adalah komponen aktifnya sehingga tanpa adanya Cr pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin (Burton 1995).
21
Gambar 3 Struktur faktor toleransi glukosa (Linder 1992) Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada mempengaruhi insulin (Burton 1995). Linder (1992) menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifik-nya, uptake seluler glukosa dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas potensi insulin. Fungsi GTF sebenarnya lebih berpusat pada sel target, kerja GTF dalam transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Hasil- hasil penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak da n protein, dalam hal ini difisiensi Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Asam amino yang dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1994). Fungsi utama Cr ialah untuk meningkatkan aktivitas insulin di dalam metabolisme glukosa dan untuk mempertahankan transport glukosa dari darah ke dalam sel-sel. Kromium membentuk suatu komplek dengan insulin dan reseptor insulin memfasilitasi respon jaringa n yang sensitive terhadap insulin (NRC 1997). Kegunaan Cr seba gai suatu faktor nutrien ditetapkan untuk pertama kalinya ketika diketahui bahwa brewer`s yeast secara positif dapat mempengaruhi metabolism karbohidrat pada organisme tingkat tinggi dan meningkatkan aktifitas hormon insulin (NRC 1997; Demirci & Pornetto 2000; Vincent 2000 ). Kromium trivalent mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk membentuk komplek
22 octahedral dengan ligand biologis pada membrane sel (Zetic et al.
2001).
Kromium merupaka n suatu elemen yang dapat menstabilka n struktur tersier dari protein (Demirci & Pornetto 2000). Hampir semua sumber Cr di alam terdapat dalam bentuk trivalen (Cr III), tetapi produk dari pabrik (K 2 Cr 2 O7 , K2 Cr2 O4 dan Na 2 Cr 2 O4 ) terdapat dalam bentuk heksavalen (Cr VI). Bentuk Cr juga dapat mempengaruhi
ketersediaannya secara secara biologis (bioav ailabilitas)
contohnya oksalat, meningkatkan absorbsi Cr pada tikus, sedangkan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid)
sitrat tidak meningkatkan absorbsi Cr.
Bentuk bentuk organik sintetik lainnya seperti kromium nikotinat dan kromium pikolinat juga telah digunakan sebagai sumber kromium yang mudah tersedia. Inkopo rasi kromium ke dalam jaringan sangat tergantung pada bentuk kromiumnya dan inkoporasi kromium paling tinggi terjadi pada kromium dinicotinic diglycerine glutamic acid,
kromium pikolinat, kromium asetat,
kromium potassium sulfat dan komplek glycine kromium. Komplek kromium yang terjadi secara alam, juga diketahui mempunyai bioavailabilitas yang relative tinggi. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa 10-25% dari Cr diabsorbsi di dalam ragi bir (NRC 1997). Kromium selain penting di dalam metabolisme karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolism lemak dan protein (Davis & Vincent 1997), asam nukleat dan mencegah stress. Kromium juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3), yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein di dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesis protein (Burton 1995; Stipanuk 2000). Suplementasi Cr ke dalam pakan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk Cr organik.
Kromium
dalam bentuk trivalen yang tidak beracun sangat sulit diserap. Pada beberapa kasus, Cr organik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat feses, sebaliknya ketersediaan Cr organik cukup tinggi yaitu antara 25 sampai 30% (NRC 1997). Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia uptake glukosa tidak ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin dan tirosin (McGuire et al. 1995; Manalu 1999). Hasil penelitian Lyons (1995) mendapatkan
23 bahwa selain asam amino di atas, asam amino lain yang uptake selulernya ke dalam sel kelenjar ambing meningkat oleh perlakuan infusi insulin adalah metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin, fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas potensi insulin
(Gambar 4).
Burton (1995)
menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) yaitu hormon yang berperan meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein da lam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sistesis protein.
Permukaan Membran sel Insulin Insulin
GTF
Reseptor insulin pada permukaan membransel
Insulin
Gambar 4 Mekanisme kerja GTF dalam meningkatkan potensi aktifitas insulin (Lyons 1995) Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang peranan Cr dalam sistem kekebalan tubuh mengatakan bahwa Cr berpengaruh baik pada pembentukan sistem kekebalan humoral (HI) maupun kekebalan yang diperantarai oleh sel (CMI). Dalam HI suplementasi Cr meningkatkan produksi antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI suplementasi Cr menyebabkan peningkatan respons blastogenik (lymphocit blasgonesis) terhadap imunostimulan.
Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa peningkatan produksi
antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi kortisol.
Hormon ini
bekerja meningkatkan glukoneogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres. Proses glukoneogenesis akan menekan sintesis protein dalam hati sehingga
24 sintesis antibod i juga ditekan, dengan kata lain hormon kortisol bekerja berlawanan dengan terbentuknya sistem kekebalan dalam tubuh ternak. Kebutuhan kromium dan bentuk suplemen dalam pakan Kebutuhan Cr pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh cadangan Cr dalam tubuh berkurang akibat peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya sebagian Cr itu akan hilang melalui urine (Burton 1995).
Selama kebuntingan dan laktasi
kebutuhan Cr juga meningkat, hal ini karena pada saat kebuntingan ternak mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al. 1996). Cr-GTF dapat diserap 15-20 %, dayagunanya lebih tinggi. Berdasarkan pada banyaknya kromium yang hilang : 0,5-1 µg/hari da n rata-rata penyerapannya 1 %, dengan demikian kebutuhan minimum 50 µg/hari, dengan rekomendasi konsumsi 50-200 µg. Setelah penyerapan, kromium diangkut pada protein pengangkut Fe (iron carrier protein) dari plasma darah : transferin.
Tidak
diketahui apakah GTF yang diserap melalui intestin akan masuk ke dalam darah tanpa peruba han be ntuk atau juga terikat de ngan transferin. Dari intestin, hampir semua kromium masuk ke dalam hati dimana akan terinkoperasi ke dalam GTF. Sejumlah GTF tertentu disekresi ke dalam plasma dimana akan tersedia dalam menolong aktivitas insulin.
Kalau kadar glukose darah meningkat, dan/atau
insulin disekresi, meningkatkan aliran GTF dan/atau kromium ke da lam plasma, GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian keluar melalui urin.
Aktivitas GTF (dan/atau Cr) masih banyak yang belum
diketahui; mungkin terlibat pengaruhnya pada struktur insulin dan/atau pengikatan resptor (Linder 1992). Meskipun konsentrasi Cr dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr 2 O3 dan 1000 ppm CrCl3 (NRC 1997).
Efektivitas suplementasi Cr selain tergantung pada jenis ternak juga
tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk Cr yang digunakan. Kompleks organik Cr terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi (high Cr-yeast) dan
25 Cr-pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolik sekunder yang dihasilkan pada metabolisme triptopa n sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (Combs 1992; Groff & Gropper 2000). Tahapan metabolisme triptopa n menjadi niasin disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Metabolisme triptopan menjadi niasin (Combs 1992) Penga ruh suple mentas i kromium terhadap produksi ternak Page et al (1993), yang meneliti tentang suplementasi Cr pada babi sedang tumbuh, mendapatkan bahwa suplementasi Cr pikolinat sebanyak 200 ppb meningkat-kan pertambahan bobot badan 0.87 kg/hari lebih tinggi dibanding kontrol 0.81 kg/hari. Pertambahan bobot badan yang tinggi hasil penelitian di atas, menggambarkan terjadinya peningkatan sintesis protein dan lemak pada jaringan perifer akibat meningkatnya uptake asam amino dan glukosa oleh efektifitas kerja insulin akibat adanya Cr. Namun demikian suplementasi Cr pada kondisi laktasi akan berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringa n perifer
26 terhadap insulin sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjar ambing untuk p rod uks i susu. Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada sapi perah laktasi bahwa suplementasi chelate sebesar 5 mg Cr per hari menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.25 % (27.5 vs 24.3 kg/hari). Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi Cr juga meningkatkan konsumsi bahan kering sebesar
15 % (13.76 vs 11.95 kg/hari), mengubah resistensi insulin
pada sel kelenjar ambing, menurunkan kejadian milk fever dan teat edema. Penelitian senada yang dilakuka n oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil suplementasi Cr pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu meningkatkan produksi susu sebesar 24 % (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu pertama laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-1 (39.05 vs 49.42 µg/ml) dan ratio insulin/glukosa (7.27 vs 5.76 U/mol). Pada domba pengaruh penambahan kromium disajikan pada Tabel 4. Tabe l 4
Pengaruh penambahan kromium dalam ransum domba
Referensi
Kebutuhan konsentrasi per kg BK
Berat badan pada awal dan selama penelitian
Britton et al. 1968
Basal diet=tdk diketahui Cr diet=0,037 mg/d and basal (molasses ash or CrCl 3 ) Basal diet, low fiber=0,175 mg; Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl 3 ) Basal diet, low fiber=0,175 mg; Basal diet, low fiber=0,295 mg; Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg (CrCl 3 ) Basal diet=tdk diketahui Cr diet Basal diet= 1 mg Cr diet Basal diet=tdk diketahui Cr diet Basal diet=tdk diketahui Cr diet
Growing lambs
Samsell dan Spears 1989
Samsell dan Spears 1989
William et al. 1994 Kitchalong et al. 1995 DePew et al. 1996 Sano et al. 1996
Sumber: NRC (1997) Keterangan: Cr = kromium ND= not determined CrCl3 = kromium klorida
Peningkatan pertumbuhan rata-rata ND
Peningkatan efisiensi pakan ND
16 anak domba-45kg 28 hari percobaan
ND
ND
16 anak domba-50kg 28 hari percobaan
ND
ND
24 anak domba-29kg Heat stressed 24 anak domba-38kg 85 hari percobaan 24 anak domba-33kg 42 hari percobaan 6 domba jantan
ND
No effect
ND
ND
Tidak ada pengaruh
ND ND
Yes-no Statistics provided
27 Tang et al. (2008) meneliti pengaruh Cr terhadap pembentukan antibodi dengan memberikan Cr- yeast sebanyak 200 µg/kg ransum pada babi yang disuntik antigen virus demam.
Empat belas hari setelah penyuntikan diperoleh hasil
bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang diberi Cr-yeast dibanding kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 U. Hasil senada diperoleh Burton et al. (1994) bahwa suplementasi Cr meningkatkan titer antibodi sapi yang disuntuk dengan antigen sel darah manusia (HRBC) dan vaksin virus rhinotracheitis. Pada kondisi stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi cadangan Cr dalam tubuh meningkat akibat peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya seba gian Cr itu aka n hilang melalui urine . Ternak yang mengalami stress, kebutuhannya akan kromium meningkat karena pada kondisi stress terjadi peningkatan metabolism glukosa secara cepat yang ditandai dengan meningkatnya sekresi hormone kortisol di dalam darah, sedangkan hormone kor tisol memiliki aks i yang antagonis de nga n insulin yaitu mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang disebut dengan hiperglisemia.
Ternak yang mengalami stres, kebutuhannya akan Cr
meningkat karena pada kondisi stres terjadi peningkatan metabolisme glukosa secara cepat yang ditandai dengan meningkatnya sekresi hormon kortisol di dalam darah sedangkan hormon kortisol memiliki aksi yang antagonis dengan insulin yaitu mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang disebut dengan hiperglisemia. Peningkatan kadar glukosa darah merangsang mobilisasi Cr dari penyimpanannya di dalam tubuh. Unsur Cr yang telah dimobilisasi bersifat tidak balik (irreversible) dan keluar melalui urin sehingga pada kondisi stres peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat. Selain hiperglisemia, stress akan mengganggu pertumbuhan. Oleh ka rena itu perlu untuk menormalkan kadar glukosa darah agar tidak mengganggu pertumbuhan dan performa ternak (Burton 1995). Moonsie dan Mowat (1993) menyatakan bahwa, suplementasi Cr ragi (0.2, 0.5 dan 1,0 ppm) pada anak sapi yang mengalami stres meningkatkan berat
28 badan dan konsumsi pakan masing- masing sebesar 29 dan 15% dibandingkan dengan kontrol selama 30 hari pertama di feedlot. Suplementasi 0.4 ppm Cr yeast pada sapi yang mengalami stres, setelah 28 hari hasilnya menunjukkan tidak adanya perbedaan terhadap konsumsi bahan kering per minggu selama 4 minggu dan pertambahan bobot badan sapi juga tidak berbeda, tetapi Cr nyata menurunkan kadar kortisol serum (75.0 vs 55.6 nmol/L) dan meningkatkan IgM dalam serum (kandungan Cr ransum basal (12.12 pp m).
Tidak ada respon
terhadap vaksinasi PI-3 (para influenza-3) pada sapi yang stres akibat transportasi yang disuplementasi 0.16 mg Cr chelate (Burton et al. 1995). Suplementasi 0.8 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba pada kondisi cekaman panas (heat stress) dengan bobot badan 29 kg tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum, kadar glukosa plasma, keseimbangan nitrogen, dan kemampuan untuk mencerna serat (kandungan Cr ransum basal tidak diketahui) (Williams et al.
1994).
Suplementasi 0.25 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba dengan bobot badan 38 kg selama 85 hari tidak mempengaruhi total kolesterol, albumen, total protein, T3 dan T4, glukosa dan urea tetapi terjadi penurunan NEFA (non esterifed fatty acid) (kandungan Cr ransum basal < 1 mg) (Kitchalong et al. 1995). Selanjutnya menurut Uyanik (2001) suplementasi Cr tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, kadar Cr darah, LDL dan kolesterol tetapi menurunkan kadar glukosa darah pada domba yang disuplementasi dengan 0.2 dan 0.4 Cr organik. Hasil uji in vitro ransum yang disuplementasi Cr anorganik maupun Cr organik (1, 2, 3 dan 4 ppm) meningkatkan produksi total VFA tetapi kadar NH3 menurun dan suplementasi Cr organik lebih efisien dibandingkan dengan bentuk anorganik. Level terbaik penggunaan Cr organik adalah 1.0 ppm (Jayanegara et al. 2006). Suplementasi Cr organik asal Rhizopus orizae dalam ransum sebesar 1 dan 3 mg/kg memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan organik (secara invitro) (Astuti 2006). Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk kompleks organik.
Hal ini karena dalam bentuk
anorganik, Cr dapat meracuni terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+), walaupun tingkat absorbsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+) yang tidak beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus Cr-anorganik yang
29 dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat feses (Amatya et al. 2004). Sebaliknya ketersediaan Cr-organik cukup tinggi, tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al. 1997). Hasil- hasil penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein dalam hal ini difisiensi Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam amino yang dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin (Anderson 1994). Burton (1995) menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesis protein. Kompleks Cr organik terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi (high Cr-yeast) da n Crpikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada metabolisme triptofan sebelum membentuk nisin atau asam nikotinat (Combs 1992, Groff & Gropper 2000). Menurut Sahin et al (2011) yang melakukan percobaan pada tikus yang diberi diet tinggi lemak mengatakan bahwa kondisi di mana metabolisme glukosa terganggu karena resistensi insulin berkaitan dengan gangguan memori, tambahan kromium (Cr) dapat mengurangi resistensi insulin pada diabetes tipe 2 dan akibatnya meningkatkan akuisisi memori, tergantung pada sumber dan tingkat. Selanjutnya hasil penelitian Toghyani et al (2010) menunjukkan bahwa diet suplementasi Cr-yeast meningkatkan kualitas daging ayam, paha ayam ras pedaging dalam kondisi stres panas Pencernaa n mikroba pada ruminansia Ruminansia merupakan ternak yang unik, karena mempunyai sistem pencernaan yang mampu meruba h secara efisien sumber-sumber karbohidrat, maupun bahan makanan kasar yang tedapat cukup di alam, hal ini dapat berlangsung karena didalam rumenya terdapat mikroba yang mampu mencerna serat kasar (Tillman et al 1998).
30 Pencernaan ada lah suatu rangka ian proses peruba han secara fisik dan kimia yang terjadi pada pakan di dalam alat pencernaan hewan. Alat pencernaan ruminansia terdiri dari mulut, perut, usus halus, dan alat pencernaan bagian belakang (Hind gut). Perut ternak ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu rumen (pe rut beludru), retikulum (perut laja/sarang lebah), omasum (perut buku), dan abomasum (perut sejati/ perut kelenjer). Tiga pertama disebut perut bagian depan (fore gut) dan abomasum disebut perut sejati .
Rumen dan retikulum
tergabung menjadi satu bagian dan disebut retikolorumen, didalamnya terdapat bakteri, protozoa, fungsi dan virus yang kesemuanya berperan pada metabolisme dalam rumen (Van Soest 1987). Proses degradasi dan fermentasi pakan karbohidrat di dalam rumen di bagi menjadi 3 tahap yaitu 1) pemecahan partikel makanan menghasilkan polimer karbohidrat; 2) polimer dihidrolisir menjadi sakharida sederhana; 3) sakharida sederhana menghasilkan Volatile fatty Acid (VFA). Pakan yang kaya akan karbohidrat dirombak menjadi gula sederhana (maltosa, selobiosa, silosa dan pentosa). Selanjutnya pr uduk tersebut di ko nversi oleh enzim yang diprod uks i oleh bakteri rumen menjadi glukosa atau glukosa l- fosfat dan melalui proses glikolisis dibentuk menjadi asam piruvat dan energi berupa ATP. Asam piruvat yang terbentuk difermentasi di rumen dan menghasilkan VFA, yang dapat menggambarkan fermentasi suatu pakan. Peningkatan kosentrasi VFA dapat mencerminkan peningkatan protein asal pakan dan karbohidrat yang mudah larut (readily available carbohydrate/RAC), lebih kurang 75% dari total VFA yang dihasilkan diserap ke dalam retikulo-rumen, kemudian dalam abomasum dan omasum, sedang sisanya 5% diserap dalam usus. Secara umum kandungan VFA individual cairan rumen sapi 50-65% untuk asetat, 18-24% propionat dan 13-21% butirat, sedangkan untuk domba mengandung 53-66% asetat, 19-27% propionat dan 12-17% butirat dari persen molar total VFA. Produksi VFA cairan rumen mencerminkan tingkat fermentasi suatu bahan. Semakin rendah suatu bahan difermentasi semakin besar pula produksi VFA yang dihasilkan. VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktifitas mikroba maksimum 80-160 mM (Arora 1995).
31 Kosentrasi amonia dalam rumen bervariasi dari 0-130 mM cairan rumen. Protein yang berasal dari ransum masuk ke dalam rumen akan mengalami proses degradasi oleh mikroba rumen menjadi peptida dan asam-asam amino. Selanjutnya asam amino mengalami deaminasi amonia, CO2 dan mikroba dan untuk menilai keefisienan penggunaan N pada ruminansia. Konsentrasi amonia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) kandungan protein dalam ransum serta kelarutannya, 2) jumlah karbohidrat dalam ransum, dan 3) waktu setelah maka n (Sutardi 1990). Peningkatan karbohidrat yang mudah difermentasi (RAC) akan menurunkan produk
amonia,
karena terjadi peningkatan penggunaan amonia
untuk
pertumbuhan mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi sama cepatnya difermentasi dengan pembentukan amonia, sehingga pada saat terbentuk amonia terdapat juga rantai karbon dari fermentasi karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber kerangka karbon protein mikroba yang telah tersedia (McDonald et al. 2002). Kebutuhan nutrisi pada domba Nutrisi diperlukan oleh ternak untuk kebutuhan hidup pokok membangun jaringan ba ru da n jaringa n tubuh yang mengalami kerusaka n serta prod uks i, sehingga dalam pemberian pakan untukternak domba harus memperhatikan kandungan nutrisi dalam ransumnya serta disesuaikan dengan kebutuhannya (Tillman et al. 1991).
Standar kebutuhan nutrisi yang memenuhi persyaratan
kebutuhan domba di Indonesia, dengan pertambahan bobot badan harian (PBBH) 50 – 100 g/ekor/hari adalah BK 3.1 – 3.4% BB, PK 73.7 – 135.8 g/ekor/hari dan energi 6.23 -
11.63 MJ/ekor/hari (Haryanto dan Djajanegara 1993).
Ternak
domba lokal jantan umur 10 – 12 bulan dengan bobot badan 24.88± 3.77 kg yang diberi pakan konsentrat 2% bobot badan dengan ka ndungan PK ±15%da n TDN ±70% menghasilkan rataan PBBH 122 g/ekor/hari (Ernawati dan Sunarso 2001). Standar kebutuhan nutrisi per ekor per hari untuk domba di Indonesia disajikan pada Tabel 5. Anggorodi (1994) mengatakan bahwa faktor- faktor yang dapat menentuka n kebutuhan nutrisi adalah laju pertumbuhan, ukuran,
jenis kelamin,
kondisi
32 fisiologis dan lingk ungan. Individu ternak dalam suatu bangsa yang memiliki laju pertumbuhan cepat akan memerlukan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan ternak dengan laju pertumbuhan lambat (Tulloh dan William dalam Soeparno 1994). Selanjutnya menurut Berg dan Butterfield dalam Soeparno (1994), ternak dengan ukuran tubuh yang besar memerlukan nutrisi yang lebih banyak daripada ternak dengan ukuran kecil. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan seekor domba antara lain meliputi jenis dan tipe ternak, umur dan bobot badan, tingkat produksi, pakan yang diberikan erta lingkungan tempat domba tersebut dipelihara (Anggorodi 1994).
Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa bangsa
unggul dengan tingkat Tabe l 5 Standar kebutuhan energi dan protein per ekor per hari untuk domba di Indo nesia BB (kg)
PBB (g)
Kebutuhan Energi
Kebutuhan Protein
DE (MJ) ME (MJ) TP (g) DP (g) 0 4.84 3.43 44.7 16.5 50 6.23 5.11 73.7 35.2 100 8.28 6.78 102.7 54.0 12 0 4.90 4.02 51.3 24.9 50 6.91 5.65 80.3 43.6 100 8.95 7.32 109.3 62.3 14 0 5.57 4.56 57.9 33.2 50 7.58 6.23 86.9 52.0 100 9.62 7.91 116.0 70.7 16 0 6.23 5.11 64.5 41.6 50 8.24 6.78 93.6 60.3 100 10.29 8.45 122.6 79.1 18 0 6.91 5.65 71.2 40.0 50 8.95 7.32 100.2 68.7 100 10.96 8.99 129.2 87.4 20 0 7.57 6.32 77.8 58.4 50 9.62 7.87 106.8 77.1 100 11.63 9.54 135.8 95.8 Sumber: Haryanto dan Djajanegara (1993) Keterangan:BB = bobot badan PBB= pertambahan bobot badan DE = d igestible energy ME= metabolizable energy TP = total protein DP= d igestible protein 10
Konsumsi Bahan kering (% BB) 3.4
3.3
3.2
3.2
3.1
3.1
produktivitas tinggi cendrung mengkonsumsi pakan yang lebih banyak dibanding dengan bangsa lokal. Haryanto dan Djajanegara (1993) menyatakan bahwa domba tipe pedaging mengkonsumsi lebi banyak daripada tipe wool, dan domba dengan bobot badan (BB) yang besar cendrung mengkonsumsi pakan lebih banyak
33 dibanding BB yang kecil. Cekaman panas sebagai akibat suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan konsumsi pakan oleh ruminansia (Moose et al dalan Rianto 1997). Jumlah konsumsi pakan dipengaruhi oleh kebutuhan BK dan zatzat pakan lainnya sesuai dengan BB dan fungsi fisiologisnya (Herman 1977). Komposisi kimia dan kualitas dag ing Daging adalah seluruh bagian karkas, tidak hanya terdiri dari jaringan otot, tulang dan lemak, tetapi termasuk juga organ-organ tubuh dan kelenjar yang dapat atau lazim dimakan. Daging terdiri dari otot, lemak dan sejumlah jaringan ikat seperti jaringan epithel, syaraf dan pembuluh darah. Komposisi kimia daging bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ; bangsa, umur, pakan dan perbedaan pertumbuhan, termasuk perbedaan waktu penggemukan (Soeparno 1998). Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringa n tersebut yang sesuai unt uk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya, keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi (1) daging
segar ya ng dilayukan atau tanpa
pelayuan, (2) daging yang dilayukan kemudian didingin-kan (daging dingin), (3) daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan.
Karkas tersusun atas
kurang lebih enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, susunan syaraf dan persediaan darahnya serta perlekatannya pada bagian tulang dan tujuan serta jenis geraknya. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi kesehatan makanan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan daging bagi konsumen (Aberley et al. 2001). Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari hewan yang sehat. Saat penyembelihan dan pemasaran berada dalam pengawasan petugas rumah potong hewan serta terbebas dari pencemaran mikroorganisme. Secara fisik, kriteria daging yang baik adalah berwarna merah segar, berbau aromatis, memiliki konsistensi yang kenyal dan bila ditekan tidak terlalu banyak mengeluarkan cairan. Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biological value) yang
34 tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya (Forrest et al. 1992). Kompos isi daging menurut Lawrie (2003) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat- zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70% air, 20 %
protein, 9% lemak da n 1% abu.
Jumlah ini akan be ruba h bila
hewan digemukkan yang akan menurunkan persentase air
dan protein serta
meningkatkan persentase lemak (Romans et al. 1994). Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, da n histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70o C akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160o C akan menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga sedikit mengurangi kadar asam amino (Lawrie 2003). Lawrie (2003) menyatakan bahwa susunan kimia daging secara umum terdiri dari 75% air, 19% protein, 2,5% lemak, 1,2% karbohidrat, dan 2,3% zat terlarut dan vitamin.
Protein daging terdistribusi pada miofibril 11,5%,
sarcoplasma 5,5% dan jaringan ikat 2%. Kadar protein daging relatif konstan akan tetapi pada kasus tertentu perbedaan kadar protein pada urat daging disebabkan karena perbedaan struktur daging yang terdiri atas protein miobril dan jaringan ikat (kolagen, elastin dan retikulin).
Actin dan myosin menyusun 75-
80% protein, sedangkan yang lain pada protein pengatur kontraksi yakni; tropomin, tropomiosin, M-protein, C-protein, alfaactinin, dan beta actinin. Kolagen ada lah ko mpo nen utama jaringa n ikat, dan jaringa n ini terdapat hampir disemua komponen tubuh, sehingga kolagen paling banyak terdapat dalam tubuh ternak. Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain warna, keempukan, flavor dan bau, cita rasa dan jueceness, ka ndungan lemak, susut masak, retensi cairan dan pH daging (Soeparno 1998). Kadar kolagen daging
35 dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kandungan lemak, umur ternak, dan aktifitas gerak dari urat daging. Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain: warna, keempuka n, flavor, dan aroma (bau, cita rasa, da n juceness), kandungan lemak intramusculair (marbling), Susut masak (cooking lost ), retensi cairan, da n pH daging (Soeparno 1998). Komponen lemak yang paling menentukan adalah lemak intramuskuler (marbling), lemak tersebut sangat menentukan keempukan rasa dan aroma. Daging yang dinilai baik adalah daging yang tingkat perlemakannya tidak terlalu banyak, tetapi cukup mempunyai perlemakan di dalam urat daging (McPhee 2008). Daging yang hampir tidak mengandung marbling tampak kering dan yang mempunyai flavor yang kurang baik, namun sebaliknya apabila marbling terlalu banyak akan mengurangi palatabilitas. Satuan produk karkas dinyatakan dalam bobot dan persentase. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot potong, kondisi ternak, bangsa, proporsi bagian non karkas, dan makanan. Persentase karkas sangat bervariasi antar 50-60% dari bobot hidup, rata-rata persentase karkas domba lokal adalah 43.60 persen (Sunarlin & Usmiati 2006).
Faktor yang perlu diperhitungkan
dalam memperkirakan jumlah daging dari karkas dalah; 1) ketebalan lemak sub kutan, 2) luas mata rusuk longisimus dorsi area, 3) persen lemak viscena (penyelubung gijal, pelvis, dan jantung), dan 4) berat karkas (Swatland 1994). Lawrie (2003) menyatakan bahwa pembagian karkas menjadi potonganpotongan karkas sangat bervariasi pada beberapa negara atau daerah, berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, disesuaikan dengan spesies ternak dan selera konsumen. Karkas domba terbagi atas dua bagian besar yaitu forsadle (51%) dan hindsadle (49%), forsadle (bagian depan) terdiri shuoulder, rack, freshank, dan breast, sedangkan hindsadle (bagian belakang) terdiri dari loin, leg, dan flank. Selanjutnya dinyatakan bahwa potongan utama dari karkas domba adalah leg, rack, dan breast, Potongan-potongan komersial karkas tercantum pada Gambar 6.
36 Topside and silverside Aitchbo ne Rumo
Leg
Top rump
S irloin
Flank
Forerib
Steakmeal Midrib Clod and sticking
Briska l
Shin
Gambar 6 Potongan-potongan karkas ko mersial (Lawrie 2003) Soeparno (1998) menyatakan bahwa, kandungan lemak pada daging menentukan kualitas daging karena lemak menentukan cita rasa dan aroma daging. Keragaman yang nyata pada kompos isi lemak terdapat antara jenis ternak memamah biak dan ternak tidak
memamah biak adalah karena adanya
hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi, berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkop lasma adalah protein larut air karena umumnya dapat diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin da n miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini memiliki sifat larut dalam larutan garam. Protein jaringa n ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin. Kualitas fisik dag ing Warna daging Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging myoglobin, tipe molekul dan status kimia myoglobin.
Faktor penentu
warna daging tersebut dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Purbowati et al. 2005). Pada umumnya, makin bertambah umur ternak, konsentrasi myoglobin
37 makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak konstan.
Warna daging dapat
diukur dengan notasi atau dimensi warna “tristimulus”, yaitu: 1. hue = warna (misalnya merah, hijau, dan biru), 2. nilai = terang atau gelap, dan 3. kroma = jumlah atau intensitas warna.
Warna daging domba bervariasi antara merah
terang hingga merah gelap. Dalam daging segar, sebelum dimasak bentuk kimia yang paling penting adalah oksimioglobin. Walau itu terjadi dipermukaan saja, pigmen ini sangat penting karena menggambarkan warna merah cerah yang dikehendaki oleh konsumen (Lawrie 2003). Nilai pH dag ing Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan. Konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging.
Glikogen adalah
subs trat metabolik dalam glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat, yang akan mempengaruhi pH otot.
Proses glikolisis dan penurunan pH
berlangsung hingga cadangan gliko gen habis atau terhentinya proses metabolik terkait terhentinya proses enzimatik akibat pH yang rendah (Lukman et al 2007). Aberley et al. (2001) menyatakan bahwa nilai pH daging ditentukan oleh kadar glikogen dan asam laktat daging hewan setelah dipotong. Peruba han pH ini tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan. Bila jumlah glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas, bahkan mendapatkan daging yang berkua litas jelek. Laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu: 1.
Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6 – 5.7 dalam waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3 – 5.7. Pola penurunan pH ini ada lah normal.
38 2.
Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam- jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5 – 6.8 . Sifat daging yang dihasilkan adalah gelap, keras dan kering atau dark firm dry (DFD).
3.
Nilai pH turun relative cepat sampai berkisar 5.4 – 5.5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4 – 5.6 . Sifat daging yang dihasilkan ialah pucat, lembek dan berair atau disebut pale soft exudative (PSE).
Keempukan daging Keempukan merupakan penentu kualitas daging domba.
Komponen
utama yang menentuka n keempuka n ada lah jaringa n ikat dan lemak yang berhubungan dengan otot (Aberle et al. 2001). Bertambahnya umur ternak akan mengurangi tingkat keempukan dari daging karena ikatan silang intra dan intermolekuler antara polipeptida kolagen meningkat. Pertumbuhan yang cepat dapat mengurangi ikatan silang sehingga meningkatkan keempukan, perbedaan bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk dari pada daging dari tipe besar (Lawrie 2003).
Menurut
Epley (2008) bahwa keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan.
Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak
mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua. Pemasakan daging dalam oven 135o C sampai suhu dalam 50o C atau 60 o C tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler (Lawrie 2003).
Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60 o C, 70o C,
80oC) akan mempengaruhi keempukan dari daging, semakin tinggi suhu akhir pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk.
Suhu akhir (60o C,
70oC, 80o C) secara akurat dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah (60o C) perbedaan suhu dalam daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat untuk klasifikasi keempukan daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan (Wheeler et al. 1999). Combes et al. (2002) menyatakan bahwa nilai keempukan daging dengan Warner Bratzler mencapai minimum pada suhu dalam 60-65oC dan meningkat kembali mencapai maksimum pada suhu dalam daging 80-90o C. Keempukan daging berkisar antara
39 3.83-5.49 dan secara statistik hampir sama, hal ini disebabkan komposisi PK dan lemak yang hampir sama. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging dapat digolongkan menjadi dua, yakni faktor antemortem dan faktor postmortem. Faktor antemortem tersebut meliput i genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, dan stress. Faktor postmortem diantaranya adalah metode chilling, refrigerasi, pelayuan, dan metode pengolahan. Jadi keempukan bisa bervariasi antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan diantara otot, serta pada otot yang sama. Keempuka n da ging ditentuka n oleh 3 komposisi daging yaitu : 1. Struktur miofibril dan status kontraksinya, 2. Kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan 3. Daya ikat air oleh protein daging dan marbling (Abe rle et al 2001). Perbedaan bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk daripada daging dari tipe besar (Lawrie
2003).
Menurut Epley (2008)
keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih renda h jika dibandingka n dengan hewan tua. Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief (2005) berdasarkan panelis yang terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB (Warner Bratzler) < 4.15 kg/cm2 , daging empuk
4.15 - < 5.86 kg/cm2 , daging
agak empuk 5.86 - < 7.56 kg/cm2 , daging agak alot 7.56 - < 9.27 kg/cm2 , daging alot 9.27 - < 10.97 kg/cm2 , daging sangat alot = 10.97 kg/cm2. Keempukkan daging ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu; 1) struktur miofibril dan status kontraksi, 2) kandungan jaringan ikat dan ikatan silang, dan 3) daya ikat air oleh protein daging dan marbling (Soeparno 1998). Tingkat keempukkan daging dapat dihubungkan dengan tiga katagori
protein
otot yaitu; 1) protein jaringa n ikat (ko lagen, elastin, dan mukopolisakarida), 2) miofibril (miosin, actin, dan tropo miosin), dan 3) sarkop lasma (protein sarkoplasmatik, dan
sarkoplas- matik retikulum).
Kontribusi
masing- masing
kategori protein tersebut tergantung pada tingkat kontraksi miofibril, tipe otot dan lama serta suhu pemasakan (Lawrie 2003).
40 Daya mengikat air (DMA) Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity merupakan suatu nilai yang menunjukkan kemampuan untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang ditambahkan. Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas da n da ya terima daging oleh konsumen.
Pengukuran banyak air yang hilang atau drip
merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga, karena mempengaruhi bobot daging. Tingkat daya mengikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan waktu (Honikel 1998). Fungsi atau gerakan otot yang berbeda
mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang
menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DMA yang berbeda. Lawrie (2003) menambahkan bahwa daya mengikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan DMA.
Daya mengikat air sangat penting dalam proses pengolahan daging
sebaga i protein yang mampu menahan lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi (sekitar 7-10) sampai pada pH titik isoelektrik protein-potein daging antara 5.0 – 5.1. mempengaruhi DMA daging adalah umur ternak.
Salah satu faktor yang
Semakin tua umur ternak,
kapasitas memegang air daging lebih sedikit. Daya ikat air (DMA) daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daya ikat air dipengaruhi oleh perbedaan macam otot, species, umur dan fungsi otot. Fungsi atau gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DIA yang berbeda. Daya ikat air menurun dari pH tinggi (sekitar 7-10) sampai pada pH titik isoelektrik protein-potein daging antara 5,0–5,1 (Purbo wati et al. 2005). Lawrie (2003) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi DMA daging adalah umur ternak. Semakin tua umur ternak, kapasitas memegang air daging lebih sedikit.
41 Susut masak Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan.
Beberapa faktor yang memepengaruhi
susut masak adalah pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging (Soeparno 1998). Daging de ngan susut masak yang lebih renda h mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam daging. Kesan jus daging atau juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan susut masak. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak yang tinggi. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak yang tinggi. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Perebusan daging pada suhu 60 – 90oC menyebabkan rusaknya jaringa n epimisium, perimisium dan endomisium sehingga myofibril menyus ut yang menstimulasi keluarnya cairan daging. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi susut masak adalah pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran da n berat sampel daging dan penampang lintang daging. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan susut masak akan
lebih
yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan sedikit.
Besarnya susut masak
dapat dipergunaka n untuk
mengestimasi jumlah jus dalam daging, jus daging atau juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan susut masak, kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak yang tinggi,
umumnya susut masak bervariasi
dengan kisaran antara 15-40% (Soeparno 1998). Selanjutnya Lawrie (2003) menjelaskan ba hwa bobot potong dapat mempengaruhi susut masak apabila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler (marbling).
Daging dengan
susut masak ya ng lebih renda h mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dari
42 pada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.