II. TINJAUAN PUSTAKA A. BEKATUL PAD1 (Oryza sativa L.) 1. Jenis dan Sifat Bekatul . Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Varietas padi yang ditanam petani dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan genetik yaitu bulu (javanika), indika lokal dan perigembangan (unggul baru). Selama dua dasawarsa terakhir varietas-varietas unggul berkembang dengan pesat sehingga areal penyebaran varietas-varietas padi lokal makin terdesak (Siwi dan Kartowinoto, 1989). Namun secara umum sifai fisik darl fisikokimia beras ketiga kelompok padi tersebut tidak berbeda (Damardjati, 1983). Sebutir gabah terdiri atas pembungkus pelindung luar, sekam, dan karyopsis atau buah (beras pecah kulit). Beras pecah kulit terdiri atas lapisan luar atau perikarp, seed coat dan nucellus; lembaga; dan endosperm. Endosperm terdiri dari kul~itari (aleuron) dan endosperm sesungguhnya yang terdiri dari lapisan subaleuron dan endosperm pati. Lapisan aleuron berbstasan dengan lembaga (Gambar 2). Sekam terdapat sekitar 20 % dari berat padi, dengan kisaran 16-28%. Penyebaran bot~otberas pecah kulit adalah perikarp 1-2 %, aleuron + nucellus dan pembungkus biji 4-6 %, lembaga 1 %, scutellum 2 %, endosperm 90-91 96 (Juliano, 1993). Pada proses penyosohan bagian perikarp, tegmen, lapisan aleuron dan lenibaga dipisahkan dari beras sosoh (giling). Pada penggilingan padi di Indonesia yarig meng-gunakan satu tahap, maka dedak merupakan hasil penyosohan pertama dan bekatul sebagai hasil penyosohan kedualakhir. Dedak lebih sesuai sebagai ballan baku pakan sedangkan bekatul sangat baik untuk bahan pangan. Dedak
Lemma
-
Subaleurona
Gambar 2. Sebutir gabah dengan bagian-bagiannya (Juliano, 1993) terldiri atas lapisan dedak sebelah luar dari butiran butiran padi dengan sejumlah lembaga biji, sedangkan bekatul adalah lapisan dedak sebelah dalam dari butiran padi termasuk sebagian kecil endosperm berpati
(Damardjati et a/. 1990;
Tangenjaya, 1991b). Penggunaan bekatul sebagai makanan terbatas karena sifatnya tidak stabil yaitu terjadinya kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul. Kao dan Luh (1991) menyatakan bahwa lipase, baik yang berasal dari dalam bekatul (endogenous) maupun dari mikroba, mengawali kerusakan hidrolisa lipolitik pada minyak biji. Di dalam biji gabah utuh, lipase endogenous terdapat di dalam testa dari pembungkus karyopsis, sedangkan minyak terdapat di dalam aleuron, subaleuron
dari lembaga. Kerusakan permukaan selama penggilingan menganggu daerah ini sehingga lipase berhubungan dengan minyak dan hidrolisis triasilgliserol terjadi. Setelah penggilingan, di samping lipase endogenous maka lipase yang berasal dari kapang dan bakteri yang berada di permukaan biji juga akan berhubungan dengan minyak sehingga menjadi penyebab utama pembentukan asam lemak bebas (ALB). Kadar ALB di dedak meningkat dari 1-3 % mencapai 70 % dalam sebulan (Damardjati et a/. 1990). Kadar ALB tergantung pada kerusakan
permukaan, kadar air dan suhu penyimpanan. Kecepatan pembentukan ALB meiningkat di bawah kondisi kelembaban tinggi. Selanjutnya asam lemak tak jenuh bebas berperan sebagai substrat yang bekerja pada kerusakan oksidatif enzimatik Reaksi oksidasi oleh lipoksigensse mengakibatkan ketengikan, penyimpangan rasa dar~cita rasa di dalam biji (Champagne et a/. 1992). Tingkat oksidasi minyak di dalam bekatul akibat aktivitas lipoksigenase dikaitkan dengan tingkat hidrolisis minyak di dalam bekatul akibat aktivitas lipase. Tinlgkat hidrolisis dapat dilihat melalui tinggi-rendahnya kenaikan ALB bekatul selama penyimpanan bekatul (Randall et a/. 1985). 2. Kornposisi Kimia Beras Pecah Kulit, Beras Giling dan Bekatul
Beras pecah kulit mengandung karbolqidrat tersedia, terutama pati, lebih tinggi dibandingkan beras giling. Berbagai zat gizi pada setiap tempat di dalam beras pecah kulit tidak sama banyaknya, seperti terlihat hasil analisa pada bagian gilirig dari beras pecah kulit dan beras giling (Garnbar 3) (Juliano, 1993). Komposisi kimia bekatul sangat bervariasi, tergantung kepada faktor agronomis padi, termasuk varietas padi, dan proses penggilingannya (Tangenjaya, 1991a). Kandungan proksimat berdasarkan bagian dedak dan bekatul berbeda (Tabel 1).
50
Outerelayer
40
cb
sb
10 3 Center
PROPORTION OF TBE KERNEL
Gambar 3. Pola distribusi komponen utama dari beras pecah kulit ditentukan menggunakan penggilingan tangential abrasive (Juliano, 1993)
Tabel 4 . Analisis proksimat dedak dan bekatul padi *)
I pad;l 12,O- 15,6 11,8- 13,O
Keterangan
Dedak Padi
Bekatul
Protein kasar, % N x 6,25 Lemak kasar, % Serat kasar, % KH tersedia, % Abu kasar, % I
10,l- 12,4 2,3- 3,2 51 ,I - 55,O 5,2- 7,3
15,O- 19,7 7,O- 11,4 34,l - 52,3 6,6- 9,9 I
I
1
*) Sumber : Luh eta/. (1991)
Kandungan proksimat dipengaruhi pula oleh varietas, dimana kandungan lem8akdan protein bekatul varietas lokal lebih tinggi daripada varietas unggul. Di saniping varietas, komposisi bekatul juga dipengaruhi oleh besarnya derajat sosoh yan~gdihitung berdasarkan persentase berat bekatul yang diperoleh terhadap berat gabah sebelum penggilingan (Luh et a/. 1991; Tangenjaya, 1991a). Lipid padi disebut minyak karena sifatnya yang tidak jenuh sehingga berbentuk cair pada suhu ruang. Lemak merupakan komponen utama bekatul yang kadarnya sedikit lebih tinggi dari protein. Bekatul mengandung 15 - 20 % minyak sedangkan beras sosoh
(ten~tamaendosperm) mengandung minyak kurang dari 1 %.
Minyak bekatul
dilaporkan sebagai salah satu minyak makan yang terbaik di antara minyak yang ada dan sudah dijual secara komersial di beberapa negara (Kao dan Luh, 1991). Minyak kasar yang diekstraksi dengan n-heksan mengandung gliserida, asam lemak bebas, fosfolipid, glikolipid, sterol, tokoferol, wax, dan sebagainya (Kao dani Luh, 1991). Komponen utama dari minyak bekatul padi adalah triasilgliserol, ber.iumlah sekitar 80 % dari minyak kasar bekatul padi. Tiga asam lemak utama tercliri dari palmitat, oleat dan linoleat dengan kisaran kandungan asam lemak
-
berturut-turut adalah 12 - 18 % , 40 - 50 % dan 20 42 O h (Luh etal. 1991; Juliano, 1993). Sisa asam lemak adalah miristat, palmitoleat, stearat, linolenat dan arakhidat
(Tabel 2). Beberapa varietas padi di Indonesia memberikan kisaran komposisi asam lernak dalam minyak bekatul yang mirip. Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak bekatul padi Asam lemak Komposisi (C 14:O) Miristat Palmitat (C16:O) Palmitoleat (C16:l) (C18:O) Stearat (C18:l) Oleat (C18:2) Linoleat (C18:3) Linolenat Arakhidat (c20:oj Sumber : Luh etal. (1991)
I
1
Minyak bekatul padi % (J0,l - 1,O 12,O - 18,O 0,2 - 0,6 1,O - 3,O 40,O - 50,O 20,O - 42,O 0,O - 1,O 0,O - 1,O
Fraksi tak tersabunkan dari minyak bekatul terdapat sampai 5 % dari berat mimyak, dengan kandungan utama adalah sterol sekitar 43 %. Bahan ini termasuk sterol bebas, ester, sterilglikosida dan asilsteril glikosida. Sterol yang terdapat dalam jurnlah banyak adalah p-sitosterol, yang dapat berjumlah sekitar 50 % dari total sterol. Komponen lainnya yang penting adalah senyawa tokol (tokotrienol dan
tokoferol). Tokoferol adalah vitamin E yang penting dalam menjaga kesehatan manusia serta bersifat antioksidan yang kuat sehingga dapat melindungi kerusakan oksidatif minyak.
dari
Lembaga beras d m bekatul memiliki kandungan
tokoferol yang relatif tinggi. Kandungan lainnya adalah oryzanol yaitu suatu ester asam ferulat
(Kao dan Luh, 1991). Oryzanol terdiri atas 10 senyawa dengan
strilktur kimia yang sedikit agak berbeda (Gambar 4) (Xu dan Godber, 1999). 3. Stabilisasi Bekatul Padi
Untuk memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh kornponen penyebab kerusakan harws dikeluarkan atau dihambat.
Stabilisasi
bekatul untuk mengRasilkan bekatul awet dilakukan dengan prinsip meniadakan aktivitas lipase. Proses penghilangan aktivitas enzim lipase harus lengkap dan bersifat tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, kandungan komponen beharga harus dijaga. Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase bekatul dari lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et a/. 1992). Tampaknya hanya perlakuan pemanasan yang cocok dan aman untuk perigawetan bekatul tersebut. Proses stabilisasi bekatul ada 3 cara : a) pemanasan derigan kadar air tetap (retained-moisture heating), bekatul dipanaskan di bawah tekanan tinggi untuk mencegah penurunan panas sampai selesai pemanasan; b) pernarlasan dengan penambahan air (added-moisture heating), kadar air bekatul meningkat selama pemanasan (menggunakan uap), kemudian dikeringkan; pernanasan kering pada tekanan atmosfir (Sayre et a/. 1982).
c)
!
---
Cyclamenyl tendate
Gambar 4. Struktur kimia y-oryzanol (Xu dan Godber, 1999)
9)
Camptanyl fernlate
Lanjutan Gambar 4. Struktur kimia y-oryzanol (Xu dan Godber, 1999)
Dari ketiga metode pemanasan bekatul, pemanasan dengan tekanan tinggi dan kadar air tetap dapat dianggap cara terbaik. Metode ini dilakwkan berdasarkan pernanfaatan kadar air bekatul sebagai perantara panas (heat transfer), denaturasi enzim dan sterilisasi. Dua metode yang tergolong proses ini adalah drum berputar dari ekstrusi. Dalam proses drum berputar, bekatul dipanaskan pada suhu 110-120 O C
selama 5 menit dengan tekanan 0,3-0,5 kglcm. Setelah tekanan dilepaskan,
bekatul dikeluarkan dari drum dan didiamkan hingga dingin dan kering. Pada proses ekstrusi, suhu pemasak ekstruder berkisar 130-140
OC;
densitas bekatul
meningkat dari 0,3 menjadi 0,6 glml, dan kadar. air menurun sebesar 5-8 %. Keuntungan proses ini adalah karena tidak membutuhkan aliran uap dari luar, peralatannya relatif kecil dan kompak mudah instalasi dan operasinya. Dengan dernikian unit ini dapat digabungkan dengan unit penggilingan beras dengan sedikit modifikasi (Damardjati et all 1990). Stabilisasi bekatul padi komersial di USA dilakukan dengan ekstruder pada suhu 125-135 OC selama 1-3 detik, kadar air 11-15 % (Randall et a/. 1985). Da~nardjatidan Luh (1986) berdasarkan prosedur Randall et a/. (1985) telah mempelajari pengawetan bekatul dengan ekstruder. Penggunaan ekstruder sistem uliran tunggal dengan tipe alat Brady Crop Cooker, model 2160, dilengkapi dengan motor elektrik 100 HP, telah memberikan hasil yang memuaskan dalam proses pengawetan bekatul. Kondisi proses yang optimal adalah suhu 130 "C pada kadar air bekatul 12-13 %, dilanjutkan pemanasan pada suhu 97-99 "C selarna 3 menit, kernudian didinginkan dengan hembusan udara suhu kamar. Pemanasan kering dapat dilakukan denyan proses sangrsi (roasting) pada suhu 100-110°C, sehingga relatif sederhana, mudah dan murah. Akan tetapi proses
ini rnembutuhkan waktu yang cukup lama (20-30 menit), pemanasan tidak merata, di samping kemungkinan terjadi kerusakan bahan, juga mikroba dan insek tidak terblasmi semua serta enzim lipase juga tidak rusak sehingga apabila kadar air bahan meningkat selama penyimpanan (> 7 %) akan terjadi lagi kegiatan hidrolisa lemak (Juliano, 1985). Perlakuan pemanasan basah umgmnya lebih efektif
dibandingkan
penianasan kering. lnaktivasi lipase pada bekatul basah dapat dilakukan pada suhu I 0 0 O C selama 3 menit (Barber dan Benedito de Barber, 1980). Proses pemanasan bekatul basah umumnya dilakukan dengan pengukusan (pemanasan dengan uap) selama 1-30 menit, pengeringan produk hingga 3-12 % dan pendinginan. Perlgukusan optimum adalah selama 15 menit pada suhu 100 O
C
atau selama 5
menit pada suhu 115 O C . Pengeringan optimum adalah 45-60 menit pada 110 "C (Juliano, 1985). Proses pemanasan basah menggunakan otoklaf
memberikan waktu
pennanas-an yang lebih pendek, lebih efektif dalam sterilisasi dan pencegahan kegiatan enzim yang permanen. Namun proses pemanasan basah membutuhkan investasi yang mahal dan membutuhkan ketrampilan yang tinggi (Damardjati et a/, 1990). Mengingat pema-nasan dengan otoklaf juga efektif untuk stabilisasi bekatul dar~alat ini tersedia di laboratorium, maka di dalam penelitian ini digunakan proses stabilisasi bekatul meng-gunakan otoklaf. Proses stabilisasi bekatul perlu langsung dilakukan setelah bekatul diperoleh dari penggilingan gabah. Aktivitas enzim lipase dan lipoksigenase akan hancur akibat denaturasi oleh proses panas selama stabilisasi bekatul. Namun panas dapat meningkatkan reaksi oksidasi non enzimatik. Pengolahan panas menyebabkan p~nyebarankembali minyak, penghancuran antioksidan endogenous dan peningkatan luas permukaan
yang terpapar oksigen.
Denaturasi hemoprotein katalase dan peroksidase
ditemukan pada beras pecah kulit yang mengalami pemanasan. Pembukaan lipatan enzim ini menyebabkan pemaparan lebih besar dari group heme ke substrat minyak, sehingga zat besi mengawali oksidasi. Kerusakan ovtsidasi enzimatik dan non-enzimatik di dalam padi diperlambat dengan menjaga kadar oksigen yang rendah melalui pengemasan yang optimum selama penyimpanan (Kao dan Luh, 19Sll).
4. IProduk Pangan yang Terbuat dari Bekatul
Terdapat hubungan yang kuat antara jenis pangan yang dikonsumsi dengan kesehatan tubuh sesorang. Salah satu contohnya adalah konsumsi lemak khususnya asam lemak jenuh yang terlalu banyak, tetapi sebaliknya konsumsi ser
Seiring dengan itu
tek~nologi- termasuk bioteknologi dan rekayasa genetik
- telah menciptakan
penemuan sain, inovasi produk dan produksi massa.
Pengembangan ini
menghasilkan bertambah besarnya jumlah produk yang berpotenbi bagi kesehatan, yarlg disebut dengan pangan fungsional. lstilah pangan fungsional ditujukan bagi makanan yang dapat melindungi dan mengobati penyakit (Goldberg, 1994). Bekatul memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi dan ditambah komponen bioaktif oryzanol menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang berpotensi untuk dijs~dikanpangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekotnendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatabilitas tinggi
(Darnardjati et al. 1987).
Secara khusus juga direkornendasikan mtuk
rnernanfaatkan rninyak bekstul di dalarn bahan pangan karena kandungan tokoferol dan oryzanol (McCaskill dan Zhang, 1999). Selama ini bekatul padi sebagai hasil samping penggilin~ganp ~ d bersifat i lirnbah dan dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan) dengan nilai ekonomi yang rendah. Sebenarnya bekatul padi dapat dipakai sebagai bahan baku industri farrnasi dan makanan manusia.
Dengan penernuan lembaga Eykman Jakarta,
bekatul padi dapat diekstrak untuk sumber vitamin B. Untuk makanan rnanusia, bekatul padi dapat dicampur dengan bahan lain pada pernbuatan biskuit, kue dan sebagainya.
Penggunaan bekatul secara komersial di luar negeri baru pada
pen~gekstrakan bekatul
untuk minyak goreng dan bahan pernbuatan sabun
(Tangenjaya, 1991a). Pemanfaatan bekatul yang telah diawetkan dengan ekstruder sebagai rnaltanan sarapan sereal dilaporkan oleh Damardjati dan Luh (1986). Tepung beras
: bekatul dari 90:lO sampai dengan 30:i'O dicarnpur lalu diekstrusi pada kadar air 21 %. Hasilnya berbentuk ekstrudat yang terbagi dua yaitu irregular round untuk
kadar bekatul sedang (10 - 30 %) dan oblonglong rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50
-
70 %).
Peningkatan penarnbahan bekatul saapai 30 % akan
menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air, sebaliknya meningkatkan indeks kelarutan air dan densitas kamba. Subsitusi bekatul padi 15 % pada terigu dilaporkan rnemberikan hasil yang opt~~mal terhadap penerirnaan cookies dan roti rnanis rnetode dough sponge dan
straight dough. Subsitusi ini meningkatkan kandungan serat pangan (hemiselulosa, selulosa dan lignin ) dan niasin pada produk (Muchtadi et a/. 1995). Subsitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 terhadap tepung terigu atau tepung beras pada
b o l ~kukus ~ memberikan penenmaan yang baik dengan subsitwsi hingga 45 % sedangkan besar subsitusi pada risoles, nagasari dan cucur masing-masing sebesar 55 cl/o (Damayanthi et a/. 2001). Terdapat lebih dari 100 perusahaan yang menjual atau mengembangkan protluk pangan fungsional dan lebih dari 70 % produk tersebut berupa minuman, sisanya makanan. Penyebaran kandungan dalam berbagai pangan fungsional yang potensial adalah serat pangan (40 %), kalsium (20 %), oligiosakarida (20 %), bakteri asam laktat ( I 0 %) dan lain (10 %) (Goldberg, 1994). Kebanyakan pangan fungsional dikembangkan dalam bentuk minuman. Cor~tohnyaadalah Fibe Mini (merupakan minuman ringan terlaris di Jepang) dari Otsuka Pharmaceuticals, yang mengandung suplemen serat pangan, mineral dan vitamin. Saat ini di Indonesia meski pun sudah b'anyak diproduksi dan beredar minuman kebugaran, namun belum ada yang bertujuan sebagai pencegah penyakit atheroskierosis dan tumor. Di samping itu pemanfaatan bekatul untuk minuman belum pernah ada. Oleh karena itu dengan minuman bekatul model akan menjadi suatu cara untuk mengetahui bagaimana khasiatnya dengan melihat aktivitas antioksidan dan penghambatan proliferasi sel kanker secara in vitro. 5. fillanfaat Bekatul Padi bagi Kesehatan
Saunders (1990) menyatakan bahwa keuntungan fisiologis dari bekatul padi sebagai sumber bahan pangan adalah karena kandungan gizirrya dan sifat dari ory;zanol. Efek hipokolesterolemik bekatul dan beberapa fraksinya (neutral detergent fiber, hemiselulosa, minyak bekatul padi dan bahan tak tersabunkan) telah banyak diobservasi baik pada hewan percobaan maupun manusia (Kahlon et a/. 1996; Cheng 1993, Nestel 1990).
Seetharamaiah dan Chandrasekhara (1989) melaporkan minyak bekatul padi menurunkan secara nyata kadar kolesterol total , bebas, esterifikasi, LDL dan VLCIL serum dibandingkan dengan ransum minyak kacang tanah 10 %, sebaliknya
h ke ransum yang kolesterol HDL menjadi lebjh tinggi. Penambahan oryzanol 0,5 O merigandung minyak bekatul padi menunjukkan penurunan lebih jauh secara nyata total kolesterol
serum.
Kemampuan minyak bekatul padi menuru.tkan kadar
kolesterol dikarenakan adanya oryzanol dan komponen lainnya dari bahan yang tidak dapat disabunkan.
8.Peranan Antioksidan dalam Melindungi Lipoprotein dan '
Sel Limfosit dari Oksidasi
1. Fladikal Bebas, Antioksidan dan Stres Oksidatif Radikal bebas merupakan suatu molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Ada berbagai radikal bebas turunan dari C dan N, akan tetapi yang paling banyak adalah radikal oksigen. Ratlikal bebas bersifat sangat aktif sshingga biasanya bersifat beracun. lstilah senyawa oksigen reaktifISOR (Reactive Oxygen Species, ROS) sekarang lebih disukai karena oksigen singlet, hidrogen peroksida, asam hipoklorous, peroksida, hidroperoksida, metabolit epoksld dari lipid endogenous dan xenobiotik mengandung oksigen reaktif - kandungan group fungsional, tetapi bukan radikal dan tidak mesti berinteraksi dengan jaringan melalui reaksi radikal (Aust eta/. 1997; Halliwell et a/. !
1992; Belleville-Nabet, 1996; Gutteridge, 1995). Radikal bebas dibentuk
secara endogen sebagai respon normal rantai
peristiwa biokimia dalam tubuh. Radikal bebas (khususnya radikal superoksid 02-)
dan SOR lainnya seperti H202(non radikal) terus menerus dihasilkan in vivo. H202 denigan adanya ion logam transisi dapat menghasilkan senyawa yang lebih berbahaya yaitu hidroksil radikal (OH') karena sangat reaktif. Sedangkan secara eksogen, radikal bebas diperoleh dari polusi yang berasal dari luar, bereaksi di dala~mtubuh dengan jalan inhalasi, makanan, injeksi, atau rnelalui penyerapan kulit (Halliwell et a/. 1992; Supari, 1996). Antioksidan merupakan komponen berberat molekul kecil yang bereaksi dengan oksidan sehingga menghambat reaksi oksidasi. Makhluk hidup tidak hanya mernpunyai sistem perlindungan melawan radikal bebas, 'etapi juga sistern perbaikan yang melindungi akumulasi molekul yang rusak secara oksidatif. Sistem perlindungan terhadap radikal bebas di dalam tubuh disebut antioksidan biologis yaitu (vitamin E, C, karotenoid), enzim (superoksid dismutase, katalase, glutathion peroksidase), ubiquinon, bilirubin, asam urat, dan pengikatan ion logam transisi yang aman (Aust et a/. 1997; Halliwell et a/. 1992; Krinsky, 1992). Stres oksidatif adalah gangguan keseimbangan antara jwmlah prooksidan dan antioksidan, sehingga tubuh dibanjiri radikal bebas. Keadaran stres oksidatif akibat radikal bebas menyebabkan kerusakan jaringan atau kematian sel. Telah dikemukakan peranan radikal bebas dalam pathogenesis berbagai macam penyakit (Kehrer, 1993).
2. I-ipoprotein Termodifikasi Oksidatif Lipoprotein berdensitas rendah (LDL) adalah lipoprotein pembawa kolesterol utalna dalam plasma. LDL manusia terdiri atas
- 25 Oh protein apo 9-100 dan - 75
% lipid yang terdiri atas hampir seluruhnya ester kolesterol dan triasilgliserol. Asam lemak tak jenuh di LDL terutama linoleat yang berhubungan dengan kolesterol
Kandungan ester asam lemak tak jenuh yang tinggi pada LDL menyebabkan mudah men~ghasilkanperoksid pada kondisi oksidasi di dalam sirkulasi darah. Kolesterol pada LDL bersifat lebih atherogenik daripada kolesterol serum (Marinetti, 1990). LDL sendiri mengandung antioksidan seperti a-tokoferol, y-tokoferol, p-karoten dan likopen (Gutteridge, 1995). Pada kondisi stres oksidatif, aktivitas molekul radikal bebas atau SOK yang berupa radikal bebas atau senyawa non radikal dapat menyebabkan kerusakan seluler dan genetis. Jika radikal ticlak diinaktifasi maka reaksi kimianya dapat merusak makromolekul termasuk LDL sehingga menjadi LDL termodifikasi oksidatif. LDL termodifikasi oksidatif tidak dikenal oleh reseptor LDL sehingga tidak diambil olet-1 reseptor LDL. Namun karena dikenal oleh rr~altrofagmaka LDL termodifikasi oksidatif akan diambil oleh reseptor scavenyer pada sel makrofag. Selanjutnya akan dihasilkan akumulasi kolesterol dan membentuk sal busa yang akhirnya akan merigakibatkan aterosklerosis. Hal ini terjadi karer~areseptor scavenger tidak diatur oleh kadar kolesterol intraseluler (Brown dan Goldstein, 1983). Pembentukan lipoprotein termodifikasi oksidatif dan pengaruhnya terhadap fungsi sel pembuluh darah diilustrasikan pada Gambar 5 (Sevanian dan Bolger, 1996). Studi atherosklerosis kebanyakan dilakukan pada LDL dan modifikasi oks~datif diuji dengan induksi oksidasi in vitro, atau mengisolasi LDL bentuk termodifikasi oksidatif dari total LDL yang diperoleh dari plasma (oksidasi in vivo). Oksidasi LDL menghasilkan partikel bermuatan lebih negatif (LDL-, LDL ternnodifikasi
oksidatif).
tern~~asuk hidroperoksida
Partikel tersebut kaya akan produk peroksidasi lipid, asam
lemak,
produk aldehid
yang dibentuk dari
dekomposisi hidroperoksida, produk oksidasi kolesterol dan oksidasi apoprotein B100 (protein utama pada LDL). Modifikasi oksidatif terhadap LDL biasa dikerjakan secara in vitro mengunakan tembaga (Cu) atau besi (Fe) (Duthie dan Brown, 1994). Oksidasi
Oksidasi In Vivo
Oksidasi In Vitro
lnflamasi
Sitotoksik
Akumulasi Kolesterol Ester
Gambar 5. Pengaruh LDL termodifikasi terhadap sel (Sevanian dan Bolger, 1996). dapat pula dilakukarl menggunakan inisiator yang kuat yaitu lip~philicazo radical initiator V-70: 2-2'-azobis (4-methoxy 2,4-dimethylvalenonitile) (Hirano et a/. 1997). SOR seperti superoksid dan H202juga sering digunakan sebagai pembuat suasana stres oksidatif (Devaraj et a/. 1996). LDL termodifikasi oksidatif menyebabkan terjadi proses perubahan pengenalan dan pengikatan oleh reseptor LDL (Gambar 6). Modifikasi apoprotein B-100 terjadi melalui reaksi antara produk peroksidasi lipid (aldehid reaktif) dengan asam amino penyusun domain protein yang terlibat pada pengikatan ke reseptor LDL.. Residu lisin merupakan komponen penting dari domain ini dan siap bereaksi dengan aldehid. Residu lisin menyumbangkan muatan positif pada protein, reaksi dengan aldehid menghapus muatan positif ini dan membuat muatan protein net negatif dalam domain ini. Hal ini menyebabkan partikel bersifat elektronegalif. Per~ghilangan sekitar 20 % group lisin sudah cukup untuk merubah domain pengikatan sehingga tidak mengenal reseptor LDL. Partikel ini dapat diikat oleh reseptor scavenger yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap molekul dan pattikel bermuatan negatif (Sevanian dan Bolger, 1996).
Aldehid Sisi Pengikatan Reseptor lkatan
4
LDL \
/\ \
DIOK
Sisi Pengikatan Reseptor Apopritein B-100
nesepror renglKar
Fieseptor LDL pada Permukaan Sel '
\
0
~2-
Gannbar 6. Proses perubahan oleh LDL termodifikasi terhadap pengenalan dan pengikatan ke reseptor LDL termodifikasi (Sevanian dan Bolger, 1996) Lebih lanjut dinyatakan bahwa oksidasi LDL yang ekstensif diketahui menyebabkan perrlbersihan cepat dari sirkulasi, dengan demikian kadar LDL termodifikasi oksidatif yang tinggi tidak ditemukan pada plasma manusia.
Kadar LDL termodifikasi
oks~~datif sekitar 1 O/o dari total LDL. Pada kadar LDL termodifikasi oksidatif yang rendah (seperti pada plasma) merangsang beberapa sel
bertanggungjawab pada awal atherosklerosis.
Selanjutnya diikuti oleh migrasi transendotelial monosit ke ruangan subendotelial, di mana mereka berdiferensiasi menjadi makrofag. Makrofag mengambil kolesterol pada LDL termodifikasi melalui reseptor khusus dan berubah menjiadi sel busa (lipidladen macrophage). Akumulasi sel busa di dalam subendotelium merupakan awal lesi atherosklerotik (Merat et a/. 2002).
Pengukuran malonaldehid dapat digunakan sebagai indikator kerusakan oksi'datif asam lemak tidak jenuh pada sel yang menyebabkan perubahan struktural dan furigsi. Malonaldehid dapat membuat ikatan silang dengan residu lisin yang bebas pada apo-B dari LDL (Jialal dan Devaraj, 1997). Penghambatan pembentukan LDL termodifikasi oksidatif dapat dilakukan dengan menggunakan antioksidan. Jika LDL teroksidasi dapat dilindungi maka aterosklerosis dapat dicegah dengan memperlambat pembentukan sel busa dan mencegah kerusakan dan kematian sel pada pembuluh darah (Jacob dan Burri, 19915; Shih etal. 1995; Sevanian dan Bolger, 1996). Zat antioksidan alami baik yang bersifat gizi maupun non gizi telah banyak ditemukan terdapat pada bahan pangan (Belleville Nabet, 1996) Senyawa oksigen reaktif dapat menyerang sel-sel di dalam tubuh sehingga rner~yebabkankerusakan bahkan kematian sel (bersifat sitotoksit). Salah satu SOR yang dihasilkan tubuh terus menerus adalah H202. H202 dapat menembus membrari sel dengan mudah dan menyerang beberapa sasaran sel (Halliwell et a/. 1992). Pengujian aktivitas antioksidan in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan model sel, seperti limfosit, makrofag (Hoff et a/. 1989), monosit (Devaraj et a/. 1996). Dalam percobaan ini digunakan sel limfosit manusia'yang diisolasi dari darah perifer.
3. !;el Limfosit Manusia Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 pm), dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe dan timus. Limfosit terdiri atas sel 6 dan T, dapat mengenal benda asing dan membedakannya dari sel jaringan sendiri. Kemampuan mengenal limfosit ters'ebut disebabkan adanya reseptor pada permukaan sel. Pada permukaan sel T
dan B ditemukan pula reseptor untuk fraksi Fc suatu antibodi yang mungkin berperanan dalam mengatur respons limfosit.
Satu klon sel limfosit hanya
mernbentuk reseptor untuk satu jenis antigen sehingga hanya dapat mengenal antigen yang sejenis. Pada manusia normal, limfosit B berjumlah 5-15 persen dan limfosit T sejumlah 65-80 persen dari total limfosit (Baratawidaja, 1991). Mitogen dan lektin merupakan bahan alamiah yang mempunyai kemampuan mengikat dan merangsang banyak klon limfoid untuk proliferasi dan diferensiasi. Bah~an-bahantersebut sering disebut activator poliklonal oleh karena dapat merangsang semua kelas limfosit dan bukan hanya merangsang klon dengan spesifisitas khusus. Glikoprotein (lektin) asal tanaman yaitu concanavalin A (con A) dan
phytohemaglutinin
(PHA)
merupakan mitogen poten
untuk sel T
Lipopolisakarida (LPS) yang diperoleh dari dinding sel bakteri gram negatif mernpunyai efek mitogen yang sama terhadap sel B.
Pokeweed merupakan
mitogen baik untuk sel B atau sel T. Terdapat tiga kelompok limfosit yang masiny-masing dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu sel T, sel B dan sel null (Sel NK). Sel T dan B memilik~reseptor padla permukaan yang mampu mengenal antigen tertentu, sedangkan sel null tidak me~npunyaireseptor untuk mengenal antigen (Krssno, 1996). Limfosit dapat dikembangbiakan di luar tubuh hewan atau manusia, yang dinamakan dengan kultur sel. Untuk dapat mengembangbiakan limfosit secara in vitm diperlukan lingkungan dan makanan yang rnenyerupai kondisi in vivo. Oleh
karma itu diperlukan suatu media periumbuhan yang berisi asam amino, vitamin, mineral, garam-garam anorganik, glukosa dan serum (Freshney, 1992). Keadaan lingkungan yang perlu diperhatikan dalam kultur sel limfosit adalah pH, suhu, kadar gas C 0 2 dan gas O2udara. Freshney (1992) menyatakan bahwa
pH optimum yang diperlukan dalam kultur 7,4, gas, C02,
5 % dengan suhu
inkubator 37 OC dan kelembaban relatif 95 %. Untuk menstabilkan pH ditamhahkan Nat-IC03, sedangkan antibiotik digunakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleli mikroorganisme.
Antibiotik yang sering digunakan dalam kultur sel adalah
Gentamisin dan gabungan Penisilin dan Streptornisin. 1. Limfosit T (Sel T) Sel T merupakan 65-85 % dari semua limfosit dalam sirkulasi. Di bawah mikroskop, morfologi sel T tidak dapat dibedakan dengan sel B. Dalam perkembangan di timus, sel T mengekspresikan bermacam-macam penanda permukaan atau Cluster Determinant (CD) di antaranya CD4, CD5 dan CD8. Narnuri dalam perkembangan selanjutnya sebagian antigen itu menghilang dan sebagian lagi menetap menandai subset sel T (Kresno, 1991). Sel T memiliki molekul T Cell Antigen Receptor (TCR) yang dapat mengenali epi1:op suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada
Antigen Presenting Cell (APC) yaitu MHC. Sel T teraktivasi cleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin tersebut berpengaruh pada aktivasi sel 6,sel T,, sel-sel fagositik, sel NK dan sel lain yang terli,batdalam respon imun. 2. Limfosit B (Sel B)
Sel B adalah sel yang dapat membentuk immunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15 % dari limfosit dalam sirkulasi darah (Kresno, 1996). Sel B perawan yang terangsang oleh antigen, dengan bantuan sel Th, akan mengalami proses perkembarlgan melalui 2 jalur, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk
imrnur~oglobulindan membelah lalu kembali istirahat sebagai sel B memori. Bila sel B rnernori terstimulasi dengan antigen yang sama, maka akan mengalami proliferasi lebih cepat membentuk sel plasma untuk membentuk antibodi spesifik
(Roitt,
1991). Proses produksi antibodi spesifik sel B dibantu oleh subset sel T yaitu sel Thepep
Ketika terpapar pada antigen eksogenus, sel B mengenali epitop pada anti-
gen tersebut dan menangkapnya secara spesifik melalui reseptor slg membran lalw diproses melalui jalur endosomal, kemudian fragmen antigen dipresentasikan lagi pada permukaan membran bersama dengan Major Histocompatibility Complex kelas II (MHC II) membentuk komplek antigen-MCH II. Molekul CD4 pada sel
-rh
mengenali antigen pada komplek tersebut, sehingga sel Th teraktivasi dan terstirnulasi untuk mensekresi sejumlah sitokin seperti interleukin -2,-4,-6 dan Intc!rferon-y (IFN-y), yang dapat lnenstimulasi berbagai tahap pembelahan diferensiasi sel B menjadi sel-sel plasma yang dapat mensekresi antibodi dan sel me~mori(Roitt, 1991).
3. Peranan Antioksidan pada Kerusakan Sel Limfosit dari Oksidasi Pada keadaan tubuh mengalami stres oksidatif, sel dapat mengalam1 kerusakan.
Kerusakan sel akibat reaksi SOR terjadi terhadap komponen
mal
merupakan gangguan atau perubahan yang dapat
rnerigurangi viabilitas atau fungsi esensial ssl (Kehrer, 1993). Menurut Meydani et a/. (1995), keseimbangan oksidan-antioksidan adalah ha1 yang sangat menentukan fungsi sel imun, tidak hanya untuk menjaga keutuhan, dan
fungsi membran lipid, protein dan asam nukleat, tetapi juga untuk mengontrol ketirrurian sel imun.
Sel sistem imun sangat sensitif terhadap perubahan
kesleimbangan oksidan-antioksidan, karena persentase tertinggi dari membran plasmanya adalah ALTJ.
Sel imun sering terbongkar dalam perubahan
keseimbangan oksidan-antioksidan, karena tingginya produksi oksigen reaktif sebagai fungsi normalnya.
Beberapa penelitian menunjukkan kekurangan anti-
oksidan merusak atau mempengaruhi sel imun. Menurut Nurrahman et a/. (1999), aktivitas antioksidan dari komponen jahe dapat mengurangi kerusakan limfosit manusia dari radikal bebas, sehingga keutuhan sel semakin baik.
Hasil penelitian secara in vitro juga menunjukkan bahwa
antioksidan dari komponen jahe memberi efek proteksi terhadap limfosit dari efek toksik radikal bebas yang berasal dari parakuat, dan terhindar dari kerusakan oksidatif sehingga limfosit tetap dapat melakukan fungsi proliferatifnya dalam upaya eliniinasi zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Tejasari, 2000). Viabilitas sel le(.~ltosit(polinuklear, monosit dan limfosit) tidak terpengaruh secara nyata pada a = 0,015 oileh paparan H202loe5MI dalam keadaan tanpa atau dengan adanya ekstrak jahe (Suprijono, 2001).
(z. Aktivitas Penghambatan Alur Sel Kanker oleh Komponen Pangan Neoplasma adalah massa jaringan abnormal, timbul akibat pertumbuhan sel sec.ara otonom, tidak terkendali dan tidak terkoordinasi, tidak mengikuti kaidah pertumbuhan normal, membelah diri dan berproliferasi terus menerus walaupun rangsang pemicu pertumbuhan berlebihan pada sel telah hilang. Pertumbuhan sel yarlg sangat cepat ini menimbulkan suatu benjolan pada organ atau disebut tumor. Ka~skermerupakan istilah untuk neoplasma ganas (Coltran et a/. 1994).
Penggunaan bahan kimia sebagai chemotherapy dilakukan melalui serangkaian pengujian. Obat antikanker adalah racun dan banyak tumor secara empirik tidak
memberikan
respon terhadap
chemotherapy yang
dipilih.
Konsekuensinya, uji secara in, vitro yang baik dapat menduga respon tumor terhadap obat dan hasil pendugaan ini akan sangat beharga. Uji suatu komponen kimia apakah memiliki aktivitas antitumor dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara in vivo dan in vitro. ldealnya dilakukan uji in vivo, namun uji ini sangat mahal dan lama. Oleh karena itu dikembangkan uji in vitro menggunakan kultur alur sel kanker. Pembacaan jumlah set hidup dibantu dengan metode yang cepat seperti metode MTT (3-[4,5-dimethylthiazol-2-yll-2,5 diphenyl-tetrazolium bromide) (Okey et
a/. '1998). Lebih lanjut dinyatakan bahwa penggunaan komponen kimia yang memiliki aktivitas antitumor dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan set tumor. Mekanisme aktivitas antitumor melalui dua cara, yaitu a) langsung mernbunuh set, dilakukan secara in vitro, dan b) secara tidak langsung, yaitu dengar~menggertak sistem imun, di mana cara ini harus secara in vivo. Bahan kimia di samping sebagai chemotherapy ada pula yang bersifat chemoprevention.
Mekanisme senyawa kimia dapat menjadi chomoprevention
melalui 3 cara, yaitu a) komponen yang menghambat bioaktifasi karsinogenesis, b) koniponen penutup (blocking agents), seperti antioksidan dan c) komponen yang menekan dan memanipulasi hormon (Okey et a/. 1998). Kultur sel adalah metode yang mempelajari tingkah laku sel hewan yang bebas dari keragaman sistemik yang biasanya mur~culdi hewan selama homeostatis normal dan di bawah tekanan percobaan. Sel yang digunakan dapat berupa alur set, yaitu populasi sel yang berasal dari suatu sumber jaringan tertentu yang
mengalami pengkulturan lebih lanjut, hingga mencapai sub kultur. Ada dua jenis kult~~ alur r sel kanker yaitu kultur yang melekat membentuk selapis (monolayer) di atas substrat padat, atau sebagai suspensi di media kultur. Kedua jenis sel ini mernpi~nyaisifat yang berbeda, di mana sel suspensi tidak memerlukan support atau faktor pembantu untuk menempel, sebaliknya sel selapis memerlukan support. Sel suslsensi biasanya dari hemopoetik, sel darah atau sel dari tumor malignant, sedangkan sel monolayer biasanya untuk sel-sel yang berasal dari jaringan (Freshney, 1994). Adapun contoh-contoh alur sel kanker yang telah menjadi subkultur : 1. Sel K-562 (ATCC CCL 243) K-562 diisolasi pertama kali oleh Lozzio (1.972) dari efusi pleural wanita berumur 53 tahun yang menderita leukemia myleogenous kronik pada akhir masa blast. Sel
K-562 merupakan alur erythroleukimia manusia yang juga dapat
digi~nakansebagai sel target yang sensitif untuk penelitian aktivitas sel Natural Killer (NK) manusia secara in vitro. Alur sel K-562 ini merupakan tipe alur sel yang masa hidupnya !;idak terbatas (continous cell line) dan dibiakkan dalam bentuk suspensi. Waktu penggandaan alur sel ini adalah 26-30 jam (ATCC, 1992). 2. Sel KR 12 (ATCC CRL 8658) Sel KR 12 merupakan lymphoblastoid I3 manusia. Sel ini diperoleh dengan fusi sel GM1500 (Human Genetic Mutant Cell Repository) dan sel RPMl 8226 (ATCC CCL 155).
Sel menghasilkan beberapa imunoglobulin manusia (h dan
K
light chains dan y heavy chain). Depositor: The Wistar Institute of Anatomy and Biology, Philadelphia, PA.
3. Sel L-929 (Freshney, 1994) Morfologi : fibroblast, berasal dari tikus dewasa, jaringan normal, aneuploid dengan karakteristik : klon dari sel L. Refrence : Sanford et a/. (1948). Percobaan menggunakan kultur sel kanker banyak dilakukan untuk melihat aktivitas sitotoksik suatu komponen terhadap sel kanker secara in vitro. Senyawa yarig ingin diselidiki aktivitasnya diekstrak, dipurifikasi atau diisolasi disesuaikan dengan tujuan percobaan. Akridon tetrasiklik diisolasi dari berbagai tanaman obat
(Kawaii et al. 1999), asam bryonolik diisolasi dari kultur akar rambut transform
Tricosanthes kiriwolii var. japonica (Kondo et a/. 1995), ekstrak kasar dari Simaba cetJro17 Planchon (Simaroubaceae), dolastatin siklodepsipeptida diisolasi dari Dolabella auricularia dan ekstrak cincau hijau (Ozeki et a/. 1998, Pettit et al. 1997, Zakaria et al. 2001). Semua itu adalah sebagian contoh senyawa-senyawa dari tanaman yang telah diuji aktivitas penghambatan proliferasi sel kanker. Jenis sel kanker yang digunakan bermacam-macam seperti karsinoma paruparu manusia (A-549) mewakili epitel, melanoma tikus menghasilkan pigmerl melanin (B-16 melanoma 4A5), mewakili fibroblast, leukemia sel T (CCRF-HSB-2) mewakili lymphoblast, sel kanker gastrik dan metastase lymph-node (TGBCI ITKB) mewakili morfologi epitel (Kawaii et a/. 1999), sel normal L-929 : fibroblast tikus (Shinmoto et a/. 1992), sel Be Wo (choriocarcinoma manusia), sel dR Lh-84 (hepatoma tikus), HeLa (karsinoma epitel manusia), sel HL-60 RG (Kondo et al. 19!35), sel K-562 dan HeLa (Zakaria et a/. 2001).
Di samping itu seringkali
digunakan sel normal seperti hepatosit atau fibroblast dari tikus sebagai pelnbanding aktivitas suatu senyawa yang diuji (Kondo et a/. 1995) atau sel Natural
Killer (Zakaria, 2000).
Tingkat proliferasi sel diukur untuk setiap alur set ketika tumbuh di cialam kultur. Menghitung jumlah sel dapat dilakukan dengan hemasitometer atau secara eleMronik (Freshney, 1994; Baserga, 1990). Uji aktivitas proliferasi sel kanker dan sel normal menggunakan metode alamar Blue atau metode MTT di dale .n lempeng datiar 96 sumur. Pengamatan ini berdasarkan reduksi MTT oleh dehidrogenase mitokondria dari sel yang hidup memberikan warna biru formazan yang dapat diukur dengali spektrofotometer. MTT merupakan suatll indikator oksidasi-reduksi. Cara ini mudah, cepat dan akurat (Kawaii et a/.
1999).
Metode lainnya adalah
meliggunakan alat flow cytometri, dimana sel hidup akan mendifraksi sinar dengan sudut sinar yang lebih kecil.
Ananta (2000) meryatakan bahwa standar deviasi
hasil pembacaan jumlah sel dengan hemasitometer sangat tinggi, sehingga metode ini tidak cocok untuk jumlah sampel yang banyak. Metode pewarnaan ini merupakan metode yang baik yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi persamaan garis regresr berkisar antara 0,993
- 0,999 (Kawaii et a/. 1999).
Oleh karena itu dalam
per~elitianini digunakan metode hemasitometer untuk penghitungan jumlah sel pada awal inkubasi dan IJlTT untuk akhir inkubasi. Lama inkubasi kultur sel kanker pada beberapa penelitian adalah tiga hari (Ozeki et a/. 1998, Kawaii et a/. 1999, Kondo et a/, 1995, Zakaria et a/. 2001). Inkubasi larutan MTT di dalam kultur berkisar 4-6 jam (Ozeki et a/. 1998), naniun Kawaii et a/. (1999) membedakan antara sel suspensi dan monolayer, yaitu selama
6 jam untuk sel monolayer dan 24 jam untuk sel suspensi. Pada akhir inkubasi warna formazan perlu dilarutkan agar dapat terbaca dengan baik, yaitu 100 pI dari 10% sodium dodecyl sulfat-0,01 N HCI (Ozeki et a/. 1998, Terawaki et a/. 1997) atau
150 pl larutan O,04 N HCI di dalam isopropanol (Zakaria et a/. 2001).
Jumlah awal sel kanker per sumur yang digunakan dalam penelitiqn berkisar antara 1o4 - 1o5sellml. Ke dalarrl setiap sumur dimasukkan 100 pI suspensi sel2x
l o 4 sel, lalu ditumbuhkan selama 24 jam, setelah itu dicampurkan '100 p1 medium yarlg mengandung seri larutan sampel yang akan diuji (Kawaii et a/. Suspensi sel 0 , l ml pada konsentrasi 3 x
1999).
l o 4- 1,5 x 10~sellmldiinokulasi ke dalam
lerrlpeng mikrotiter 96-sumur dan dikultur selama 24 jam. Setelah sel dicuci dengan PB:S (garam buffer fosfat), 0,1 ml medium yang menganduny asam bryonolik pada kor~sentrasiyang sesuai ditambahkan dan diinkubasi 48 jam (Kondo et a/. 1995). Sel murine P-388 leukimia 3 x 1 0 ~selImL diinokulasi pada setiap sumur dengan 100 plIrnL medium RPMl-1640 dari disuplementasi dengan 5 % SJS.
Berbagai
kor~sentrasiekstrak Bitambahkan 10 plImL ke dalam kultur (Ozeki et a/. 1998). Shinmoto et a/. (1992) melakukan kultur sel L929 yang berasal dari fibroblast tikus derigan densitas awal sel 2 x
l o 4 sellml
dan dikultur sebanyak 200 PI suspensi
selalsurnurselama 3 hari. Sel tumbuh di dalam larutan media RPMl atau lainnya yang bersifat polar (pelarutnya adalah aquabidest). Apabila ekstrak uji bersifat non polar perlu suatu batian pembantu agar ekstrak atau sampel dapat larut dengan baik dalam suspensi sel
Kawaii et a/. (1999) melarutkan sampel di dalam DMSO (dimetilsulfoksida) 10
mh1. Asam bryonolik ditambahkan ke medium sebagai suatu suspensi di dalam 1 % Tweer~20 (Kondo et a/. 1995). Bahan lain yang digunakan lainnya adalah etanol (1 %) dan etil asetat (4 %), residu baik etanol maupun etil asetat tidak
mempengaruhi pertumbuhan sel (Ananta, 2000) . Asam bryonolik yang diisolasi dari kultur akar rambut transform Tricosanthes
kiriwolii varietas japonica, akridon tetrasiklik diisolasi dari berbagai tanaman obat, ekstrak kasar dari Simaba cedron Planchon (Simaroubaceae), dolastatin
siklodepsipeptida diisolasi dari Dolabella auricularia dan ekstrak cincau hijau merniliki aktivitas sitotoksik terhadap berbagai sel tumor secara in vitro (Kondo et a/. 1995, Kawaii et al. 1999, Ozeki et a/. 1998, Pettit et a/. 1997, Zakaria et a/. 2001). Konsentrasi asam bryonolik di atas 1 pglml untuk sel B16 (tikus melanoma) dan 5 pglml untuk sel Be Wo (choriocarcinoma manusia) dapat menghambat secara nyata pertumbuhan sel kanker tersebut. Konsentrasi asam bryonolik yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan sel in vitro sebanyak 50 % (ICS0) dihitung dari persamaan regresi untuk berbagai jenis sel tumor dan fibroblasts yang diturunkan dari kulit manusia berkisar pada 10-50 pglml, sedangkan untuk fibroblast dari paru fetus manusia (sel IMR-90) dan hepatosit di atas 80 pglml. Efek sitotoksik ini tidak tergantung pada asal sel tumor, seperti jenis binatang, organ atau jaringan. Ozeki et a/. (1998) menyatakan bahwa komponen cedronolakton A yang diisolasi dar~kayu Simaba cedron menunjukkan sifat sitotokik secara in vitro yang nyata pada sel P388 (sel leukemia) dengan lCso0,0074 pglrnl. Beberapa penelitian menghubungkan aktivitas penghambatan proliferasi suatu senyawa dengan struktur kimianya. Kawaii et a/. (1999) menunjukkan bahwa secara umum akridon yang mempunyai struktur dengan 4 buah siklik memiliki aktivitas penghambatan proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan akridon yang mempunyai tiga buah siklik. Amin sekunder, gugus hidroksil pada C l dan C5 dar~ gugus prenyl pada C2 memerankan peranan penting untuk aktivitas per~ghambatanproliferasi pada akridon tetrasiklik. Gugus hidroksil fenolik terkelasi derrgan 9-gugus karbonil dapat dikenal sebagai gugus fungsional yang penting bagi aktihitas penghambatan proliferasi.
Untuk membandingkan tingkat antiproliferasi dari 15 alkaloid akridon Kawaii et a/. (1999) melihat dari nilai ICso. Nilai lCso (pM) dari 15 alkaloid akridon pada sel kanker A-549, B-16 melanoma 4A5, CCRF-HSB-2 dan TCBCIITKB menunjukkan bahwa untuk TGBCI ITKB, atalaphyllinine bersifat paling berpontesi yarlg ditunjukkan oleh nilai ICsOterendah.
A-549 dan B-16 melanoma 4A5
menunjukkan tingkat resistensi yang lebih tinggi tertladap akridon. Aktivitas
penghambatan proliferasi dari 4 kornponen yang paling tinggi
potensi aktivitasnya menunjukkan sitotoksisitas yang rendah ke sel normal. Hal yarlg sama untuk asam bryonolik yang memilikr aktivitas sitotoksik terhadap sel kar~kerternyata terhadap sel normal seperti hepatosit tikus kurang sensitif. Namun fibroblast menunjukkan sensitifitas yang lebih tinggi terhadap asam bryonolik dibandingkan hepatosit (Kondo et a/. 1995).
D. DAFTAR PUSTAKA Ananta, E. 2000. Pengaruh ekstrak cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) terhadap proliferasi alur sel K-562 dan HeLa. [Skripsi]. Bogor : Fakultas 'reknologi Pertanian, IPB. AT'CC. 1992. Catalogue of Cell Line and Hybridomas. Edisi ke-7. Aust IiD, Chignell CF, Bray TM, Kalyanaraman B, Mason RP. 1993. Free radicals in toxicology. Toxicology and Applied Pharmacology. 120 :168-178. Baratawidjaja KG. 1996. IJniversitas Indonesia.
lmunologi Dasar.
Jakarta:Fakultas Kedokteran
Barber S, Benedito de Barber C. 1980. Rice bran: Chemistry and technology. Di dalam: Luh BS, editor. Rice: Production and Utilization. Westport : AVI. hlm '790-862. Baserga R, editor. 1990. Cell Growth and Division. A practical approach. 0xford:IRL Press. Bagian 1, Measuring parameters of growth; hlm 1-3.
Belleville Nabet F. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam sistem biologis. Di dalam Senyawa Radikal dan Sistem Pangan. Prosiding seminar; Bogor; Kerjasama PSPG IPB dengan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta. hlrn 11.1 - 11. 22. Brown MS, Goldstein JL. 1983. Lipoprotein metabolism in macrophage. Annu Rev Biochem. 52 : 223-261. Champagne ET, Hron RJ, Abraham G. 1992. Utilizing Ethanol to Produce Stabilized Brown Rice Products. JAOCS. 69 (3) : 205-208. Cheng HH. 1993. Total dietary fiber content of polished, brown and bran types of Japonica and indica rice in Taiwan : resulting physiological effects of consumption. Nutrition Research. 13 (1) : 93-101. Co'ltran RS, Kumar V, Robbins SL. 1994. Pathologic Basis of Diseases. Edisi ke5. Philadelphia: WB Saunders Coy. Neoplasia. hlrn 241-303. Da~mardjatiDS. 1985. Physical and Chemical Properties Characteristics of Some Indonesian Rice Varieties [Disertasi]. Bogor ': Bogor Agricultural University, Graduate School. Da~mardjatiDS, Luh BS. 1986. Physicochemical properties of milled rice flour fortified by stabilized bran and its extruded products. Di dalam Laporan Kegiatan PendidikanILatihan Pasca-Doktoral di Dept. of Food Sci. and Tech. Univ. of Calif., Davis. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. Da,mardjati DS, Santosa BA, Widowati S. 1987. Prospek Pengembangan Bekatul Awet untuk Nutrifikasi Makanan. Risalah Seminar Bahan Tambahan Makanan. PATPI-GAPMMI-PAU IPB. Da~mardjatiDS, Santosa BA, Munarso J. 1990. [Laporan Akhir]. Studi Kelayakan dan Rekomendasi Teknologi Pabrik Pengolahan Bekatul. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. Subang. Da~mayanthiE, Madanijah S, Sofia IS. 2001. Sifat fisikokimia dan daya terima tepung bekatul padi awet sebagai sumber serat pangan. Di dalam Nuraida L, Dewanti-Hariyadi R, editor. 2001. Pangan Tradisional basis bagi industri pangan fungsional dan suplemen. hlrn 245-261. Devaraj S, Li D, Jialal 1. 1996. The effect of alpha tocopherol supplementation on monocyte function. J. Clin. Invest. 98 (3) : 756-763. Duthie GG, Brown KM. 1994. Reducing risk of cardiovascular disease. Di dalam: Goldberg, editor. Functional Foods. New York: Chapman and Hall. hlrn 1938.
Frelshney RI, editor. 1994. Culture of Animal cell : a Manual of Basic Technique. Edisi ke-3. New York: A John Wiley & Sons, Inc., Publ. Bagian 1, Introduction: hlml-7. Bagian 10, Maintenance of the culture: cell lines : hlrn 149-156. Bagian 18, Quantitation and Experimental Design: hlrn 267-286. Bagian 19, Measurement of viability and cytototoxicity: hlrn 287-307. Goldberg 1. 1994. Introduction. Di dalam: Goldberg I. Functional Foods. New York: Chapman and Hall. hlrn 1-16. Gutteridge JMC. 1995. Lipid peroxidation and antioxidants as biomarkers of tissue damage. Clinical Chemistry. 41(12) : 1819-1828. Halliwell B, Gutteridge JMC, Cross CE. 1992. Free radicals, antioxidants and human disease: Where are we now ? J. Lab. Clin Med. 119 (6) : 598 - 620. Hirano R, Kondo K, lwamoto T, lgarashi 0 , ltakura H. 1097. Effects of antioxidants on the oxidative susceptibility of low-dens~ty lipoprotein. J. of Nutr. Sci. Vitaminol. 43 : 435-444. Hol'f HF, et a/. 1989. Modification of low density iipoprotein with 4-Hydroxynonenal induces uptake by macrophages. Arteriosclerosis. 9(4) : 538-549. Jacobs RA, Burri BJ. 1996. Oxidative damage and defense. Am J. Clin Nutr. 63 : 985 S-990 S. Jial,al I, Devaraj S. 1997. Assesment of LDL oxidation : In vivo and ex vivo measurements. Di dalam: Aruoma, 0.1. dan S.L. Cuppett, editors. Antioxidants Methodology : In vivo and In vitro Conceps.. AOCS Press. Champaign. hlrn 85-100. Juliarlo BO. 1985. Rice bran. Di dalam: Juliano BO. Rice : Chemistry and Technology. hlrn 647-687. St Paul Minn : AACC. Jul~ano BO. 1993. Rice in Human Nutrition. Rome : Food and Agriculture Organization Of The United Nations. Kalnlon TS, Chow FI, Chiu MM, Hudson CAI Sayre RN. 1996. Cholesterol-lowering by rice bran and rice bran oil unsaponifiable matter in hamsters. Cereal Chemistry 73 ( I ) : 69-74. Kalo C:, Luh BS. 1991. Rice Oil. Di dalam: Luh BS, editor. Rice. Volume II Utilization. Ed ke-2 New York : Van Nostrand Reinhold. him 295-312. Kawaii S, et a/. 1999. The antiproliferative effect of acridone alkaloids on several cancer cell lines. J. Nat. Prod. 62:687-589. Kehrer JP. 1993. Free radicals as mediator of tissue injury and disease. Critical Reviews in Toxicology 23(1) : 21-48.
Kondo T, lnoue M, Mizukami H, Ogihar Y. 1995. Cytotoxic activity of bryonolic acid isolated from transformed hairy roots of trichosanthes kirilowii var japonica. Biol. Phar. Bull. 18 (5) : 726-729. Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Krinsky NI. 1992. Mechanism of action of biological antioxidants. Society for Experimental Biology and Medicine. 200 : 248-254. Luh BI;, Barber S dan Barber CB. 1991. Rice bran : chemistry and technology. Di dalam Luh BS, editor. Rice. Volume 11. Utilization. Ed ke-2 New York : Van Nostrand Reinhold. hlm 313-361. McCaskill DR, Zhang F. 1999. Use of rice bran oil in foods. Food Technology. 53 (2) : 50-53. Marinetti GV. 1990. Disorder of Lipid Metabolism. New York : Plenum Pres. Merat S, Green S, Quehenberger 0 . 2002. Cholesterol metabolism and http://www.ucop.edu/srphome/trdrp/aima~/~s~ion2e.html. atherosclerosis. [I 3 Februari 20021. Muchtadi D, Puspitasari-Nianaber NL, Susana L. . 1995. Partial substitution of wheat flour with rice bran as dietary fibre and niacin sources in sweet bread and cookies. Poster Abstracts yang disajikan pada First International Conference on East-West Perspectives on Functional Foods. September 26-29. ILSI Southeast Asia. Singapore. Meydani SN, Dayang W, Michelle SS, Michael GH. 1995. Antioxidant and response in aged person : Overview of Present Evidence. Am. J.Clin. Nutr 195 (Suppl):1462S 14768.
-
Nestel PJ. 1990. Dietary fiber. Medical J. Australia. 153 (3) : 123-124. Okey AB, Harper PA, Grand DM, Hill RP. 1998. Chemical and radiation carcinogenesis. Di dalam Tannock IF, Hill RP, editor. The Basic Science of Oncology. Edisi ke-3. New York:Mc-Graw-Hill. hlm 166-196. Ozeki A, et a/. 1998. Cytotoxic quassinoids from Simaba cedron. J. Nat. Prod. 61 :776-780. Pettit GR, et a/. 1997. Isolation and structure of the human cancer cell growth inhibitory cyclodepsipeptide dolastatin 16. J. Nat. Prod. 60 : 752-754. Ra~ndallJM, et a/. 1985. Rice bran stabilization by extrusion cooking for extraction of edible oil. J. Food Sci. 50 : 361-365.
Roitt IM. 1991. Essential Immunology. London : Blackwell Scientific Publ. hlrn 105-128. Sai~ndersRM. 1990. The properties of rice bran as a foodstuff. Cereal Foods World. 35 (7) : 632-636. Sayre RN, Saunders RM, Enochian RV, Schultz WG. 1982. Cereal Foods World. 27:317. Seetharamaiah GS, Chandrasekhara N. 1989. Studies on hypocholesterolemic activity of rice bran oil. Atherosc~erosis.78 (2-3) : 219-223. Secfanian A, Bolger MB. 1996. Dietary approaches to lowering cholesterol. http :I/ ~.usc.edu/hsc/pharmacv/ced/dietchol/dietchlil.ht,m.[ I 4 Februari 20021. Siwi BH, Kartowinoto S. 1989. Plasma nuffah padi. Di dalam lsmunadji M, Partohardjono S, Syam MI Widjono A. Padi. Buku 2. hlrn 321-334. Shilh DM, Welch C, Lusis AJ. 1995. New insights into atherosclerosis from studies with mouse models. Molecular medicine today. hlrn 364-372. Shinmoto H, Sato K , Dosako S. 1992. Biosci. Biotech. Biochem, 56(6) : 965-966. Supari F. 1996. Radikal bebas dan patofisiologi beberapa penyakit. Di dalam Senyawa Radikal dan Sistem Pangan. Prosiding seminar ; Bogor: Kerjasama F'SPG IPB dengan Kedutaan Besar Prancis, Jakarta. hlrn 1.1 - 1.9 Suprijono MM. 2001. Study of ginger extract effects on hybridoma and leukocyte cells in the oxidative stress condition [Thesis]. Bogor: Bogor Agricultural llniversity, Postgraduate program. Tarigenjaya B. 1991a. Pemanfaatan limbah padi untuk industri. Di dalam Soenarjo El Damadjati DS, Syam M, editor. Padi Buku 3. Bogor : Pusat F'enelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. . him 943-961. ----..-----------, 1991b. Pemanfaatan Limbah Padi untuk pakan. Dalam Padi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Terawaki K, Nose MI Kondo T, Kojima K, Mizukami H, Ogihara Y. 1997. Effect of karasurin-A on nitric oxide production by murine macrophages and mitogenic response of murir~esplenocytes in vitro. Bio. Pharm. Bull. 20 (4) 435-437. Xu Z, Godber JS. 1999. Purification and identification of components of y-oryzanol in rice bran oil. J. Agric. Food Chem. 47 : 2724-2728.
Zakaria FR, lrawan B, Pramudia SM, Sanjaya. 2000. lntervensi sayur dan buah pembawa vitamin C dan Vitamin E meningkatkan sistem imun populasi buruh pabrik di Bogor. Bul. Teknol. dan lndustri Parigan. 1l(2) : 21-27. Zakaria FR, Prangdimurti El Ananta El Pandoyo AS. 2001. Aktivitas antikanker gel cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers). Di dalam Nuraida L, Dewanti-Hariyadi R. 2001. Pangan Tradisional basis bagi industri pangan fungsional dan suplemen. hlm 179-185.