II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan lingkungan di luar hutan. Selanjutnya didalam UU RI no 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dilanjutkan pada pasal Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi, sedangkan pada ayat 2 dikatakan bahwa Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Stuktur dan komposisi hutan dapat diketahui dengan menghitung jumlah, distribusi, frekuensi dan dominansi. Soerianegara dan Indrawan (1988) membedakan masyarakat tumbuh-tumbuhan di dalam hutan sebagai berikut : a. Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. b. Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m sampai pohonpohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm. c. Pole (tiang) yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10 - 35 cm.
Universitas Sumatera Utara
d. Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 35 cm yang diukur 1,3 meter dari permukaan tanah.
2.2. Komposisi tegakan hutan Dalam ekologi hutan satuan yang diselidiki adalah satuan tegakan yang merupakan asosiasi konkrit, analisis vegetasi yang dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah : 1.
Mempelajari tegakan hutan, yaitu tingkat pohon dan permudaannya.
2.
Mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali padang rumput/alangalang, dan vegetasi semak belukar (Soerianegara dan Indrawan, 1988).
Menurut Kusmana (1997) dan Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi ada 3 (tiga) parameter yang penting untuk dianalisis yaitu frekuensi, kerapatan dan dominansi. Indeks Nilai Penting (INP) diperoleh dengan menjumlahkan frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif. Indeks keanekaragaman (H’) digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. 2.3.
Pemanasan Global
Pemanasan global dapat terjadi karena adanya efek rumah kaca. Gas rumah kaca yang berada di atmosfer bumi dapat disamakan dengan tabir kaca pada pertanian yang menggunakan rumah kaca. Panas matahari yang berupa radiasi gelombang
Universitas Sumatera Utara
pendek masuk ke bumi dengan menembus tabir gas rumah kaca tersebut. Sebagian panas diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke luar angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa menyentuh permukaan tabir dan terperangkap di dalam bumi. Seperti proses dalam pertanian rumah kaca, sebagian panas akan ditahan di permukaan bumi dan menghangatkan bumi. Tanpa efek rumah kaca ini maka suhu di permukaan bumi akan lebih rendah dari yang ada sekarang sehingga tidak memungkinkan adanya kehidupan (Sugiyono, 2006). Pemanasan global menyebabkan permukaan air laut naik dengan konsekuensi risiko tenggelamnya wilayah pantai, perubahan pola curah hujan dan iklim secara regional maupun global dan berpotensi merubah sistem vegetasi dan pertanian. Secara umum masalah pemanasan global merupakan ancaman serius bagi kelestarian kehidupan organisme dan menjadi isu lingkungan hidup global sejak tahun 1990 an (Murdiyarso, 2003). Perhatian akan masalah pemanasan global sudah ada sejak tahun 1896. Pada waktu itu Arrhenius melakukan perhitungan dengan cermat dan menyimpulkan bahwa kenaikan emisi CO2 di atmosfer sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu permukaan bumi sebesar 4 – 60 C (Nordhaus, 1991). Perhitungan tersebut tidak mendapat perhatian yang serius hingga pada awal tahun 1980 setelah adanya bukti-bukti peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Houghton et.al., (2001) mengemukan bahwa sejak awal revolusi industri sampai tahun 1998, konsentrasi CO2 di atmosfer bertambah sebesar 31%. Disamping itu suhu permukaan bumi sudah meningkat sebesar 0,0440C/dekade selama periode
Universitas Sumatera Utara
tahun 1861 – 2000 atau sebesar 0,610C selama periode tahun 1901 – 2000. Pengamatan ini sudah mempertimbangkan adanya efek ketidakpastian tahunan. Pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca ini (Sugiyono, 2006). Permasalahan muncul ketika konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bertambah. Dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, maka akan semakin banyak panas yang ditahan di permukaan bumi dan akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Kondisi ini sering disebut pemanasan global. Pemanasan global ini bila tidak ditanggulangi diperkirakan pada tahun 2100 akan dapat meningkatkan suhu udara sebesar 1,40C- 5,80C relatif terhadap suhu udara pada tahun 1990. Meningkatnya suhu udara ini akan dapat mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini ditandai dengan terganggunya ekosistem dan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut sebesar 9 - 88 cm pada tahun 2100 (Houghton et.al., 2001). Pemanasan global perlu dicegah sebagai upaya dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca secepat mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mencegah penggundulan hutan serta melakukan reboisasi. Mengingat sangat perlunya dukungan secara global maka pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil ditandatangani Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change) oleh 167 negara. Kerangka konvensi ini mengikat secara moral semua negara-negara industri untuk
Universitas Sumatera Utara
menstabilkan emisi CO2. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim dan Undang Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia perlu untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan namum belum berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2 (Sugiyono, 2006).
2.4. Efek Rumah Kaca Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang mencapai bumi mencapai 342 Watt/m2. Sekitar 30% dari radiasi tersebut direfeleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi. Permukaan bumi akan menyerap radiasi matahari sebesar 168 Watt/m2, sedangkan atmosfer menyerap 67 Watt/m2. Atmosfer mempunyai beberapa lapis gas, termasuk gas rumah kaca dan awan, yang akan mengemisikan kembali sebagian radiasi infra merah yang diterima ke permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini maka panas yang ada di permukaan bumi akan bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah kaca. Untuk jangka panjang akan terjadi keseimbangan antara radiasi yang masuk dan yang keluar sehingga suhu di bumi mencapai nilai tertentu. Meskipun demikian untuk memahami keseluruhan efek rumah kaca dan dampaknya terhadap cuaca di bumi, tidak sesederhana seperti pada gambar tetapi perlu dipertimbangkan adanya umpak balik yang dinamis dan proses transfer energi (Sugiyono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.5. Emisi Gas Rumah Kaca Gas yang dikategorikan sebagai GRK adalah gas-gas yang yang berpengaruh, baik secara langsung atau tidak langsung terhadap efek rumah kaca. Gas-gas itu antara lain karbon dioksida (CO2), gas metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx) dan sulfur dioksida (SO2). Konsentrasi gasgas ini dalam skala global secara kumulatif dipengaruhi langsung oleh aktivitas manusia, walupun
kebanyakan dari gas-gas tersebut terjadi secara alamiah
(Irmansyah, 2004). Kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Berdasarkan perhitungan untuk beberapa tahun belakangan ini dapat disimpulkan bahwa kontribusi CO2 terhadap pemanasan global mencapai lebih dari 60% (Mimuroto and Koizumi, 2003). Irmansyah (2004) menyatakan bahwa kegiatan konversi hutan dan pembukaan lahan adalah kegiatan yang paling banyak menghasilkan emisi GRK khususnya CO2 . Hal ini terjadi karena dalam proses perubahan lahan, banyak dilakukan pembakaran biomassa (sisa-sisa pohon seperti cabang, ranting dan daun) dan pembakaran hutan. Pembakaran inilah yang menghasilkan lebih dari sepertiga total emisi GRK dari seluruh sektor. Pada sektor energi, sebagian besar emisi CO2 dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Selain gas CO2, pembakaran bahan bakar fosil juga menghasilkan gas N2O yang merupakan gas rumah kaca dengan potensi pemanasan global yang tinggi (320 x lipat gas CO2).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa Aktivitas kehutanan penghasil emisi gas rumah kaca, antara lain perubahan tata guna lahan (deforestasi), pembakaran biomassa, dekomposisi dan pembakaran padang rumput. Deforestasi adalah proses perubahan tata guna lahan dari statusnya sebagai hutan ke status lain seperti lahan pertanian atau perkebunan. Deforestasi bukanlah hal yang buruk,namun ketika laju deforestasi besar akan sangat berpengaruh pada iklim global (Irmansyah, 2004).
2.6. Pembentukan Institusi Pemanasan global mulai mendapat perhatian yang serius pada pertengahan tahun 1980 sejak World Meteorological Organization (WMO) melakukan penelitian dan mengeluarkan scientific background tentang perubahan iklim global. WMO bersama-sama dengan United Nation Environment Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan tindakan untuk menanggulangi pemanasan global. PBB kemudian mengeluarkan resolusi tentang penanggulangan pemanasan global untuk saat ini dan generasi mendatang. Resolusi ini ditindak lanjuti dengan mengadakan World Summit di Rio de Janeiro tahun 1992. Hasil pertemuan World Summit adalah konvensi di bidang: biodiversitas, perubahan iklim dan agenda 21. Untuk selanjutnya konvensi untuk perubahan iklim disebut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Selanjutnya berdasarkan UNFCCC sepakat untuk mengadakan rapat tahunan tingkat menteri yang disebut Conference Of the Party (COP) dan rapat lima tahunan setingkat kepala
Universitas Sumatera Utara
negara. Beberapa hasil yang penting dari penyelenggaraan COP dapat dirangkumkan sebagai berikut. COP 1 di Berlin pada tahun 1995 melahirkan mekanisme pendanaan yang disebut Joint Implementation yang dapat dilakukan antar negara-negara maju dan Activities Implemented Jointly antara negara maju dengan negara berkembang. COP 2 di Genewa pada tahun 1996 tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti. Baru pada COP 3 di Kyoto pada tahun 1997 dikeluarkan Kyoto Protocol yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 5,2% dari level tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012. Dalam protokol ini ada tiga mekanisme pendanaan yang dapat digunakan yaitu: Joint Implementation, Clean Development Mechanism dan Emission Trading. COP 9 yang diadakan di Milan, Italia membahas lebih lanjut prosedur pengajuan CDM. COP 12 yang baru saja diadakan pada tahun 2006 di Nairobi, Kenya membahas pendanaan spesial dalam rangka menanggulangi pemanasan global (Sugiyono, 2006).
2.7. Karbon Tersimpan Pohon-pohon menjadi organisme dominan di hutan tropis, bentuk kehidupan pohon berpengaruh pada fisiognomi umum, produksi dasar dan lingkaran keseluruhan dari komunitas. Banyak ciri-ciri pohon tropis berbeda dengan daerah lain mengingat terdapat ciri-ciri tertentu dan kebiasaan bercabang, dedaunan, buah-buahan dan sistem akar yang jarang dan tidak pernah dijumpai di bagian bumi lain (Longman dan Jenik, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpan C tertinggi. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan akan merosot. Jumlah C tersimpan antar lahan tersebut berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang paling ekstensif misalnya agroforestri kompleks yang menyerupai hutan, hingga paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur. Pengukuran secara kuantitatif C tersimpan dalam berbagai macam penggunaan lahan perlu dilakukan. Untuk itu diperlukan metoda pengukuran standard yang baku dan telah dipergunakan secara luas, agar hasilnya dapat dibandingkan antar lahan dan antar lokasi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO2 ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg*) karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan (Lasco, 2002). Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2 dengan jumlah sebesar 1,7 ± 0,6 Pg karbon per tahun (Watson et al., 2000). Apabila laju konsumsi bahan
*)
1 Pg = 1015 g = 109 Mg = 1 Gt
Universitas Sumatera Utara
bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,70C - 4,50C (Houghton et al., 2001). Dampak perubahan iklim yang kita rasakan saat ini dapat dikurangi dengan cara meningkatkan penyerapan karbon dan/atau menurunkan emisi karbon (Lasco, 2002). Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Lasco, 2002). Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah. Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya
Universitas Sumatera Utara
cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu demikian jika kita perhitungkan dalam skala global. Demikian juga halnya dengan hilangnya bahan organik tanah melalui erosi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Pada ekosistem daratan, C tersimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu: . a. Biomasa: masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. b. Nekromasa: masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum terlapuk. c. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm (Hairiah dan Rahayu 2007). Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu: 1. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: . a.
Biomasa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang.
b.
Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma.
Universitas Sumatera Utara
Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan). c.
Nekromasa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat.
d.
Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah (Hairiah dan Rahayu 2007).
2. Karbon di dalam tanah, meliputi: a. Biomasa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter >2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang. b.
Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisma tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah (Hairiah dan Rahayu 2007).
Universitas Sumatera Utara
Mengukur Karbon Tersimpan Mengukur jumlah C tersimpan di hutan dan lahan pertanian cukup mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri dari waktu ke waktu. Ada 3 tahap pengukuran yaitu: 1. Mengukur biomasa semua tanaman dan nekromasa yang ada pada suatu lahan 2. Mengukur konsentrasi C tanaman di laboratorium 3. Menghitung kandungan C yang disimpan pada suatu lahan Pengukuran dapat dilakukan tanpa melibatkan perusakan (misalnya menebang pohon), tetapi bisa pula harus merusak tanaman, terutama pada tanaman semusim dan perdu (Hairiah dan Rahayu 2007). Menurut Chapman (1976), secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokan ke dalam dua golongan, yaitu: 1. Metoda Pemanenan a. Metode pemanenan individu tanaman Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan yang cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. b. Metode pemanenan kuadrat
Universitas Sumatera Utara
Metode ini mengharuskan memanen semua individu tumbuhan dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa didapat dengan mengkonversi berat bahan organik tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit area tertentu. c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar ratarata Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Dengan metode ini pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan ditimbang beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh. 2. Metode Pendugaan Tidak Langsung a. Metode hubungan allometrik Dalam metode ini beberapa pohon contoh dengan diameter yang mewakili kisaran kelas-kelas diameter pohon dalam suatu tegakan ditebang dan ditimbang beratnya. Berdasarkan berat berbagai organ dari contoh, maka dibuat persamaan allometrik antara berat suatu organ dengan dimensi pohon (tinggi dan diameter). Dalam penggunaan persamaan allometrik tersebut semua individu pohon dalam
Universitas Sumatera Utara
suatu unit area diduga beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit areal tertentu. b. Crop meter Pendugaan biomassa dengan metode ini menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik. Secara praktis dua buah elektroda listrik diletakan dipermukaan tanah pada suatu jarak tertentu kemudian biomassa tumbuhantumbuhan yang terletak antara dua elektroda dapat dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan pada alat tersebut.
Model Allometrik Pendugaan Biomassa Hubungan allometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas, yang dalam hal ini diwakili oleh karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya adalah hubungan antara volume pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon. Dalam hubungan ini, volume pohon atau biomassa pohon merupakan peubah tak bebas yang besar nilainya diduga oleh diameter dan tinggi total pohon, yang disebut sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan allometrik. Persamaan allometrik
dapat disusun dengan cara pengambilan contoh dengan
melakukan penebangan dan perunjukan dari berbagai sumber pustaka yang mempunyai tipe hutan yang dapat diperbandingkan. Persamaan tersebut biasanya menggunakan diameter pohon yang diukur setinggi dada (Dbh) yang diukur 1,3 m dari permukaan tanah sebagai dasar. Persamaan empirik untuk biomassa total W
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan diameter D mempunyai sebuah bentuk polinomial : W = a + bD + cD2 + dD3 atau mengikuti fungsi : W = aDb. Setelah persamaan allometrik disusun, hanya diperlukan mengukur Dbh (atau parameter lain yang digunakan sebagai dasar persamaan) untuk menaksir biomassa satu pohon. Penaksiran biomassa total untuk seluruh pohon dalam transek ukur dapat dikonversi menjadi biomassa dalam satuan ton per hektar (Hairiah et al., 2001). Pilihan persamaan model allometrik untuk tujuan penaksiran biomassa harus berdasarkan persamaan yang telah diketahui. Model yang telah banyak digunakan secara luas adalah berdasarkan hukum allometrik pertumbuhan : loge Y = a + b logeX, dimana Y adalah berat biomassa dan X adalah peubah penduga hasil pengukuran seperti diameter pangkal atau diameter yang diukur setinggi dada (Dbh) dengan berat, volume atau riap. Selain itu penaksiran dapat dilakukan dengan memasukan pengukuran diameter dan tinggi pohon ke dalam persamaan : loge Y = a + b loge (d2h). Setelah persamaan dibangun, dapat dilakukan perhitungan berat biomassa dengan menggunakan berbagai dimensi pohon yang diperlukan dari tegakan yang ada dalam wilayah contoh (Chapman, 1976 dalam Adinugroho, 2005).
Universitas Sumatera Utara