II. TINJAUAN PUSTAKA
A. GABAH 1. Struktur Gabah Padi merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Klasifikasi ilmiah tanaman padi yang menjadi bahan baku beras adalah sebagai berikut. Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Ordo : Poales Famili : Poaceae atau Graminae Genus : Oryza Spesies : O. Sativa Ciri-ciri umum tanaman padi ini adalah termasuk dalam terna semusim yang berakar serabut, batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling menopang. Padi saat ini tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat (Anonim 2011). Tanaman padi dapat tumbuh pada daerah bersuhu tinggi dan mendapatkan sinar matahari yang yang lama. Temperatur rata-rata yang dibutuhkan yaitu sekitar 20-37.8 oC (Grist 1975). Gabah adalah bulir padi. Biasanya mengacu pada bulir padi yang telah dipisahkan dari tangkainya (jerami). Asal kata "gabah" dari bahasa Jawa gabah. Dalam perdagangan komoditas, gabah merupakan tahap yang penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi karena perdagangan padi dalam partai besar dilakukan dalam bentuk gabah. Terdapat definisi teknis perdagangan untuk gabah, yaitu hasil tanaman padi yang telah dipisahkan dari tangkainya dengan cara perontokan (Anonim 2011). Pada Gambar 1 berikut ditunjukkan bagian- bagian penyusun pada struktur gabah.
Gambar 1. Struktur gabah
3
Butir padi atau gabah terdiri atas satu bagian yang dapat dimakan, disebut caryopsis, dan satu bagian lagi yang merupakan suatu struktur kulitnya yang disebut sekam. Bagian kulitnya merupakan 18-28 % dari berat butir gabah pada tingkat kadar air 13% berat basah. Buah padi adalah caryopsis yang di dalamnya terdapat biji tunggal yang bersatu dengan dinding evary (pericarp) matang, membentuk butiran biji. Caryopsis disebut “brown rice” sebab warna pericarpnya kecoklatan (Tjiptadi dan Nasution 1985). Secara umum, struktur gabah terbagi dalam beberapa bagian yaitu hull atau daun sekam, pericarp, tegmen atau testa, aleuron, embrio atau germ, dan endosperm (Anonim 2011). Lapisan pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam, sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Lapisan-lapisan kulit ari ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman. Penghilangan sebagian atau keseluruhan lapisan ini akan menentukan derajat sosoh. Endosperm hampir seluruhnya terdiri dari selsel pati, membentuk biji yang dapat dimakan (Grist 1975).
2. Varietas Gabah Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur, tersebar di negara-negara beriklim subtropis. Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat (Winarno 1984). Subspesies padi yang ditanam di dunia secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga subspesies, yaitu japonica (tipe A), javanica (tipe B), dan indica (tipe C). Pengelompokkan ini didasarkan pada bentuk gabah baik dari panjang maupun lebarnya (Patiwiri 2006). Kini di dunia lebih banyak dikenal dua varietas padi Oryza sativa yaitu japonica dan indica (Winarno 1984). Selain bentuknya, varietas padi atau gabah biasa juga diklasifikasikan berdasarkan panjang butiran serta rasio antara panjang/lebar butiran. Klasifikasi butiran gabah ini dilakukan oleh Brandon (1981) di Amerika Serikat, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengelompokan butiran gabah menurut USDA Tipe Butiran
Panjang Butiran
Rasio Panjang/ Lebar
Butir Pendek
<5.5 mm
<2.1
Butir Sedang
5.5-6.6 mm
2.1-3.0
Butir Panjang
>6.6 mm
>3.1
Sumber: Patiwiri (2006) Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies indica. Rasio panjang-lebar paling rendah 2.0 ditunjukkan oleh PB 36 dengan panjang butiran sekitar 6.4 mm, sedangkan rasio panjang-lebar yang tinggi ditunjukkan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9 dengan panjang butiran 6.5-7.5 mm (Patiwiri 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Situ Bagendit atau Bagendit. Deskripsi varietas tersebut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 di bawah ini.
4
Tabel 3. Deskripsi varietas padi Situ Bagendit Nomor seleksi
: S4325D-1-2-3-1
Asal persilangan
: Batur/2*S2823-7D-8-1-A
Golongan
: Cere
Umur tanaman
: 110-120 hari
Bentuk tanaman
: Tegak
Tinggi tanaman
: 99-105 cm
Anakan produktif
: 12-13 batang
Warna kaki
: Hijau
Warna batang
: Hijau
Warna telinga daun
: Tidak berwarna
Warna lidah daun
: Tidak berwarna
Warna daun
: Hijau
Muka daun
: Kasar
Posisi daun
: Tegak
Daun bendera
: Tegak
Bentuk gabah
: Panjang ramping
Warna gabah
: Kuning bersih
Kerontokan
: Sedang
Kerebahan
: Sedang
Tekstur nasi
: Pulen
Kadar amilosa
: 22%
Bobot 1000 butir
: 27.5 g
Rata-rata hasil
: 4.0 t/ha pada lahan kering 5.0 t/ha pada lahan sawah
Potensi hasil
: 6.0 t/ha
Ketahanan terhadap hama penyakit : Tahan terhadap blas Agak tahan hawar daun bakteri strain III dan IV Anjuran tanam
: Cocok ditanam di lahan kering maupun di lahan sawah
Pemulia
: Z.A. Simanulang, Aan A. Daradjat, Ismail BP, dan N. Yunani
Dilepas tahun
: 2003
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009)
5
B. SIFAT FISIK DAN KIMIA BERAS Sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi (Damardjati dan Purwani 1991 diacu dalam Argasasmita 2008). Menurut winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69 oC) sedang (70-74 oC) dan tinggi (>74 oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah. Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Analisis komponen kimia beras dan fraksi gilingnya menunjukkan bahwa distribusi penyusunannya tidak merata. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati (Juliano 1972). Komposisi kimia beras berbeda-beda dan hal ini tergantung kepada varietas padi dan cara pengolahan yang dilakukan seperti pada Tabel 4 dibawah ini. Tabel 4. Kandungan gizi dan kalori beras pecah kulit dan beras putih serta kehilangan selama penggilingan Komposisi
Beras pecah kulit
Beras putih
Kadar air (%)
14.0
14.0
Kehilangan selama penggilingan (%) 10.0
Kalori (Kcal/100g)
352.0
354.0
10.0
Kadar protein (%)
8.3
7.1
23
Kadar lemak (%)
1.9
0.5
76
Kadar serat (%)
0.7
0.4
49
Kadar abu (%)
1.1
0.6
51
Total karbohidrat (%)
74.9
77.8
6
Thiamin (mg/100g)
0.29
0.10
69
Riboflavin (mg/100g)
0.07
0.05
36
Niacin (mg/100g)
3.9
2.9
47
Ca (mg/100g)
9
8
20
P (mg/100g)
183
104
49
Zat besi (mg/100g)
1.6
1.2
32
Sumber: Juliano (1976) Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi 3 golongan yaitu kandungan amilosa rendah (<20 %), menengah (20-25%) dan tinggi (>26 %). Beras di Indonesia pada umumnya termasuk ke dalam golongan menengah (Juliano 1976 ). Antara tekstur nasi dan kadar amilosa terdapat hubungan yang nyata. Beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang pulen, lekat, empuk, enak dan mengkilat. Beras beramilosa sedang akan menghasilkan nasi yang msih bersifat empuk walaupun dibiarkan beberapa jam. Sedangkan beras yang beramilosa tinggi , nasinya keras (pera) dan berderai (Juliano 1976; Tjiptadi dan Nasution 1985). Komponen yang terutama pada beras adalah pati. Hampir 90 % beras terdiri dari zat pati. Zat pati yang tertinggi terdapat pada bagian endosperm, makin ke tengah kandungan patinya makin besar
6
sedangkan makin keluar kandungan patinya makin menipis, tetapi kandungan bukan pati makin meninggi (Juliano 1972) dalam Tabel 4 terlihat bahwa kandungan pati pada beras pecah kulit lebih sedikit daripada beras putih, tetapi komponen bukan patinya lebih tinggi. Sifat fisik dan kimia dari beras ini menjadi indikator terhadap berbagai macam mutu beras.
C. MUTU BERAS Standar merupakan unsur penunjang pembangunan pertanian yang memiliki peranan penting dalam upaya untuk meningkatkan optimalisasi pendayagunaan sumberdaya dan keseluruhan kegiatan pembangunan pertanian. Penetapan kelayakan suatu bahan atau produk untuk digunakan terutama dalam bidang pangan biasa disebut dengan standar mutu. Biasanya dalam penentuan standar mutu ini terdapat berbagai syarat dan ketentuan spesifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh bahan atau produk tersebut. Standar mutu yang digunakan di Indonesia mengacu kepada SNI (Standar Nasional Indonesia). Dalam bidang pertanian pemutuan bahan dan produk pertanian seperti mutu gabah dan mutu beras sangat penting. Secara umum , mutu beras dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu (i) mutu giling (ii) mutu rasa dan mutu tanak (iii) mutu gizi dan (iv) standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji (misalnya besar dan bentuk beras, kebeningan (transluency), dan beras chalky). Sedangkan dalam program pemuliaan padi, komponen mutu beras dapat dikelompokkan atas (i) rendemen giling (ii) penampakan (iii) bentuk dan ukuran biji dan (iv) sifat-sifat tanak dan rasa nasi (Damardjati dan Purwani, 1991). Pemutuan beras yang didasarkan pada aturan SNI 01-6128 : 2008 membagi beras dalam 5 kelas mutu yaitu mutu I, II, III, IV dan V. Syarat umum beras adalah (a) bebas hama dan penyakit (b) bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya (c) bebas dari campuran dedak dan bekatul (d) bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan untuk persyaratan khusus didasarkan pada komponen mutu seperti yang tercantum dalam Tabel 5 berikut. Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008 No
Komponen mutu
Satuan
Mutu I
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
1
Derajat sosoh (min)
(%)
100
100
95
95
85
2
Kadar air (maks)
(%)
14
14
14
14
15
3
Butir kepala (min)
(%)
95
89
78
73
60
4
Butir patah (maks)
(%)
5
10
20
25
35
5
Butir menir (maks)
(%)
0
1
2
2
5
6
Butir merah (maks)
(%)
0
1
2
3
3
7
Butir kuning/rusak (maks)
(%)
0
1
2
3
5
7
Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008 (lanjutan) No
Komponen mutu
Satuan
Mutu I
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
8
Butir mengapur (maks)
(%)
0
1
2
3
5
9
Benda asing (maks)
(%)
0
0.02
0.02
0.05
0.20
10
Butir gabah (maks)
(butir/ 100g)
0
1
1
2
3
Sumber: BSN (2011) Berbagai macam perlakuan telah dilakukan terhadap gabah agar dapat menghasilkan beras yang bermutu tinggi. Penanganan pascapanen yang tepat mengenai cara pemanenan, perontokan, pengeringan dan penggilingan pada akhirnya bertujuan yang sama yaitu untuk memperoleh beras bermutu. Penggunaan teknologi juga sangat membantu, khususnya dalam peningkatan rendemen beras. Salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan pada penggilingan padi ialah pengolahan beras secara pratanak.
D. BERAS PRATANAK Beras pratanak atau yang biasa disebut parboiling rice adalah proses perendaman padi dalam air dingin dan kemudian ke dalam air panas (atau dalam uap pada tekanan rendah) yang mungkin berasal dari India sekitar 2000 tahun yang lalu (Grist 1975) atau proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan (Haryadi 2006) dan digiling (Tjiptadi dan Nasution 1985). Tujuan dari pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang dihasilkan. Kelebihan lain dari proses pratanak menurut Hasbullah (2011) berarti juga melakukan proses sterilisasi gabah setelah dipanen, yang mungkin mengandung kotoran dan telur serangga yang terinvestasi di dalamnya. Pada zaman dahulu proses ini dilakukan guna mendapatkan kondisi gabah yang lebih mudah dikupas sekamnya. Sedangkan perubahan sifat lainnya pada hasil akhir dianggap merupakan suatu penyimpangan yang tidak berarti. Setelah penggilingan secara mekanis dikembangkan, maka proses parboiling ini bukannya tetap statis, tetapi berkembang di dalam aspek ekonomi, nutrisi dan praktisnya dalam rangka memodifikasi hasil berasnya (Tjiptadi dan Nasution 1985). Kandungan gizi beras pratanak mencapai 80% mirip dengan beras tanpa sosoh (brown rice). Menurut Nurhaeni (1980), peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Nutrisi yang terkandung dalam beras pratanak, utamanya seperti tiamin meningkat sehingga menyebabkan beras pratanak ini memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan beras biasa. Studi pratanak dimulai dengan adanya isu-isu dari dunia kesehatan, bahwa orang yang makan nasi dari beras pratanak terhindar dari penyakit beri-beri. Penyakit tersebut disebabkan oleh kekurangan vitamin B1 atau thiamine (Tjiptadi dan Nasution 1985). Selain itu, para penderita diabetes melitus (DM) sering kali menahan diri untuk mengkonsumsi nasi karena beras dianggap mempunyai kandungan IG yang tinggi. Namun dengan adanya beras pratanak ini penderita DM dapat dengan
8
nyaman mengkonsumsi nasi sebab beras pratanak juga disinyalir memiliki nilai indeks glikemik (IG) yang rendah. Konsep IG pertama kali dikembangkan tahun 1981 oleh David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang tepat untuk penderita DM. Pada masa itu, diet bagi penderita DM didasarkan pada porsi karbohidrat, pada kuantitas yang sama, menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan 2006). Karbohidrat dalam pangan yang dicerna dan diserap dengan cepat selama pencernaan akan memiliki IG yang tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah akan meningkat dengan cepat setelah mengkonsumsi pangan tersebut. Sebaliknya karbohidrat yang dicerna dan diserap dengan lambat akan melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat pula sehingga memiliki IG yang rendah (slowrelease carbohydrate). Indeks glikemik yang rendah dapat mengendalikan kadar glukosa dalam darah, sedangkan serat pangan yang tinggi akan memperlambat laju pengosongan lambung. Oleh karena itu, orang yang mengonsumsi nasi dari beras pratanak akan merasa kenyang lebih lama atau tidak cepat lapar (Widowati 2008). Sebenarnya anjuran untuk mengkonsumsi makanan dengan IG yang rendah ini juga ditujukan kepada masyarakat umum, jadi tidak hanya untuk penderita diabetes. Badan Kesehatan Dunia WHO bersama dengan FAO menganjurkan konsumsi makanan dengan IG rendah untuk mencegah penyakitpenyakit degeneratif yang terkait dengan pola makan seperti penyakit jantung, diabetes, dan obesitas. Perlu diketahui jenis-jenis makanan yang memiliki IG lebih dari 55 dikategorikan IG tinggi sementara yang kurang dari itu dikategorikan IG rendah. Pada Tabel 6 di bawah ini ditunjukkan kandungan zat gizi dan juga nilai IG beberapa jenis pangan yang menjadi sumber karbohidrat. Tabel 6. Kandungan zat gizi dan indeks glikemik sumber karbohidrat (per 300 kkal) Sumber Karbohidrat
Berat (gram)
Protein (%)
KH (%)
IG
Nasi Pera
182
3.6
71
79
Nasi Pulen
182
3.6
71
95
Sagu Ambon
309
0.6
74
102
Nasi Ketan
156
5.8
68
85
Nasi Gaplek
205
1.3
73
94
Singkong Kukus
205
2.5
71
94
Sumber : Soetrisno dan Apriyantono (2005) Nasi seperti juga kentang dan roti tawar secara umum dikenal sebagai pangan dengan IG tinggi. Meskipun demikian banyak penelitian yang menunjukkan bahwa varietas dan jenis pengolahan yang berbeda ternyata dapat memberikan IG yang berbeda. Nilai IG beras dan produk olahannya dibandingkan dengan glukosa bervariasi antara 38-92. Ada juga yang melaporkan antara 36-128. Beberapa hasil penelitian menunjukkan nasi parboiled dan basmati cenderung mempunyai IG yang lebih rendah (intermediate), khususnya apabila tidak dimasak secara berlebihan (overcooked) (Rimbawan 2006). Nilai IG beras pratanak sendiri berkisar antara 44.22-76.32, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai IG beras giling biasa yang berkisar antara 54.43-97.29 (Widowati et al. 2009). Walaupun beras pratanak lebih disukai oleh beberapa konsumen karena kelebihannya, beras pratanak juga memiliki kelemahan diantaranya dedak yang melekat sangat sulit dihilangkan, membutuhkan biaya pengolahan yang lebih banyak, lebih mudah menjadi tengik, membutuhkan
9
waktu yang cukup lama dalam memasak nasi pratanak (Wimberly 1983). Namun demikian, mengingat semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kesehatan, pencegahan gizi buruk serta mahalnya harga obat-obatan, maka mengkonsumsi beras pratanak merupakan salah satu pilihan yang tepat. Dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap beras sehat maka peluang memproduksi beras pratanak akan terbuka lebar, khususnya untuk para petani dan industri penggilingan padi di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan teknologi proses pengolahan beras pratanak ini sangat dibutuhkan, terutama untuk menghasilkan beras yang bermutu tinggi.
E. TEKNOLOGI PENGOLAHAN BERAS PRATANAK Dalam suatu sistem klasik terdapat tiga tahap proses beras pratanak yaitu: perendaman (steeping in water), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Pemakaian air dan panas mengakibatkan terjadinya modifikasi sifat fisik, kimia, fisiko-kimia, biokimia, estetika dam organoleptik (Tjiptadi dan Nasution 1985). Sedangkan menurut Ali dan Ojha (1976) prinsip dasar dari proses pratanak padi adalah pembersihan (cleaning), perendaman (soaking), pengukusan (steaming) dan pengeringan (drying). Selain keempat tahap tersebut, penggilingan (milling) juga tahap yang sangat penting dalam menghasilkan beras pratanak.
1. Pembersihan (cleaning) Gabah yang akan diproses pratanak terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran dan benda asing seperti batu dan gabah hampa. Cara lama pembersihan gabah dilakukan dengan pengapungan. Hal ini dimaksudkan untuk memisahkan gabah hampa, daun, dan benda lain yang ringan dari tumpukan gabah. Jika teknologi grading gabah memadai dapat digunakan alat pemisah kotoran kecil, ringan dan berat berupa aspirator ataupun sieving.
2. Perendaman (soaking) Proses perendaman atau soaking bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang inter cellular dari sel-sel pati endosperm dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati sendiri sampai pada tingkat tertentu, sehingga cukup untuk proses gelatinisasi. Selama perendaman, gabah harus benarbenar terendam air. Perendaman umumnya dilakukan dengan dua cara, yaitu perendaman dengan air bersuhu ruang dan perendaman dengan air panas. Periode perendaman tergantung kepada suhu air yang digunakan. Semakin tinggi suhu air tersebut maka waktu perendaman semakin singkat. Padi atau gabah yang direndam pada suhu lingkungan (20-30 oC) membutuhkan waktu selama 36 hingga 48 jam agar gabah dapat mencapai kadar air 30%. Pada perendaman yang dilakukan dengan air panas bersuhu sekitar 60-65 oC hanya membutuhkan waktu selama 2 hingga 4 jam perendaman (Wimberly 1983).
3. Pengukusan (steaming) Setelah mengalami perendaman dalam jangka waktu tertentu, gabah tersebut diberi uap panas atau steaming. Steaming ini ditujukan untuk melunakkan struktur sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati dari endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Gelatinisasi total merupakan tujuan utama dari proses pratanak sehingga memberikan hasil yang jernih. Alat pengukusan yang digunakan dapat berupa ketel, tangki metal tanpa ataupun yang dilengkapi dengan boiler. Sumber panas untuk steam yang digunakan pada pemanasan beras pratanak adalah tungku.
10
Bahan bakar untuk tungku steam ini menggunakan biomassa berupa serbuk gergaji atau sekam hasil samping penggilingan padi. Menurut Wimberly (1983), pemberian uap panas ini juga mempunyai beberapa kelebihan diantaranya panas yang tinggi dapat diaplikasikan pada suhu yang konstan, relatif mudah ditangani, pengendalian suhu gabah yang mudah, dapat dihentikan secara cepat, dan mempunyai tingkat pindah panas yang tinggi dibanding media lain (seperti halnya air panas). Pada umumnya steam jenuh yang digunakan untuk pengukusan mempunyai tekanan antara 1-5 kg/cm2 atau pada suhu sekitar 100-150 o C. Pengukusan pada tangki yang kecil membutuhkan waktu 2- 3 menit dan pada tangki yang besar dapat memakan waktu selama 20-30 menit.
4. Pengeringan (drying) Pengeringan dalam proses pratanak sedikit berbeda dengan pengeringan untuk padi biasa atau tanpa proses pratanak. Hal ini disebabkan karena padi pratanak mempunyai suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100 oC), mengandung kadar air yang tinggi (dapat mencapai 45 %), tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang intensif dan steril akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat steaming (Ruiten 1979 diacu dalam Burhanudin 1981). Pengeringan gabah hasil pratanak dilakukan hingga mencapai kadar air GKG (Gabah Kering Giling) yaitu 14%. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan energi matahari secara langsung (sun drying) ataupun menggunakan alat pengering yang telah ada. Pengeringan terhadap padi yang telah direndam dan dikukus harus dilakukan dengan segera untuk menghindari pertumbuhan jamur dan terjadinya fermentasi. Pengeringan ini merupakan tahap akhir dalam pengolahan padi secara pratanak (parboiling rice). Penundaan pengeringan yang dilakukan terhadap padi pratanak akan mengakibatkan proses gelatinisasi terus berlangsung serta akan mengakibatkan butir padi menjadi berwarna gelap akibat terlalu lama dibiarkan di udara terbuka. Penundaan pengeringan juga akan mengakibatkan pertumbuhan jamur dan kapang. Walaupun gabah tersebut telah steril akan tetapi kadar air gabah yang tinggi tersebut sangat sesuai bagi perkembangan mikroorganisme tersebut.
5. Penggilingan (milling) Tahap akhir untuk menghasilkan beras pratanak adalah penggilingan (milling). Patiwiri (2006) menerangkan bahwa proses penggilingan padi diawali dengan pembersihan awal untuk membersihkan gabah dari kotoran-kotoran hingga gabah menjadi bersih. Selanjutnya gabah bersih mengalami proses pemecahan kulit sehingga sekam yang berbobot sekitar 20% dari bobot awal gabah akan terlepas dari butiran gabah dan menghasilkan beras pecah kulit. Jika butir gabah tidak ditemukan pada beras pecah kulit, maka proses pemecahan kulit dikatakan sempurna. Beras pecah kulit hasil penggilingan masih berwarna coklat kusam sehingga perlu proses penyosohan guna memisahkan bekatul dan untuk mendapatkan warna beras yang mengkilap. Setelah penyosohan selesai maka hasil akhir penggilingan yang berupa beras telah siap untuk menjadi bahan pangan dan dikonsumsi.
11