II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PALANGKA RAYA Secara geografis Kota Palangka Raya terletak pada 113029’ – 114007’ Bujur timur dan 1035’ – 2025’ Lintang selatan, dengan luas wilayah 2678.51 km2 (267.851 Ha), dan dengan topografi terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Secara administratif Kota Palangkaraya terbagi menjadi 5 wilayah kecamatan yang terdiri dari 30 kelurahan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara
: Kabupaten Gunung Mas
Sebelah timur
: Kabupaten Pulang Pisau
Sebelah selatan
: Kabupaten Pulang pisau
Sebelah barat
: Kabupaten Katingan
Berdasarkan hasil registrasi penduduk akhir tahun 2003, jumlah penduduk Kota Palangka Raya adalah 168449 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 62.89 jiwa tiap km2. (Anonim a, 2006) Pendapatan regional per kapita Kota Palangka Raya pada tahun 2002 sebesar Rp. 5.082.007,00 meningkat menjadi Rp. 6.534.697,00 pada tahun 2003 atau naik sebesar 28.58%. Struktur ekonomi Kota Palangka Raya mengalami pergeseran dari ekonomi agraris tradisional menjadi perekonomian yang lebih maju dengan sruktur lebih kokoh, yaitu perekonomian yang didukung oleh industri yang makin kuat dan sektor jasa yang tangguh sehingga perekonomian relatif stabil (Anonim a, 2006). Jumlah industri pangan skala kecil dan menengah di Palangka Raya adalah 82 industri yang terdiri dari industri roti, tahu, makanan ringan, minuman segar, dan produk pangan lainnya (Disperindagkop, 2005). Menurut Bappeda (2002), titik berat pembangunan industri dalam Repelita VI diarahkan pada kegiatan memanfaatkan kekayaan alam yang ada serta pengembangan industri kecil yang dapat memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Lahan yang ada di Palangka Raya sangat cocok untuk pengembangan usaha di bidang budidaya nanas dan pengolahannya.
4
B. BOTANI TANAMAN NANAS Menurut Muljohardjo (1984), tanaman nanas sudah lama dikenal di Indonesia, namun bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat. Sistematika tanaman nanas sesuai dengan taksonominya adalah sebagai berikut (Collins, 1960) Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Klas
: Monocotyledone
Ordo
: Farinosae
Familia
: Bromeliaceae
Genus
: Ananas
Spesies
: Ananas comosus (L.) Merr.
Menurut Pracahya (1985), tanaman nanas merupakan tanaman berbentuk semak yang mempunyai batang semu dengan tinggi 30–50 cm, berdaun tepi panjang dengan tepi berduri atau runcing. Buah nanas sesungguhnya merupakan buah majemuk. Buah yang tampak merupakan gabungan dari buah-buah kecil yang berjumlah 100–200 buah yang ditutupi daun-daun buah kecil. Buah-buah kecil tersebut dihubungkan dengan hati buah yaitu kelanjutan dari tangkai buah yang berserat (Pracahya, 1985). Buah nanas yang biasa ditanam hanyalah dua jenis, yaitu nanas yang mempunyai mata buah menonjol dan rata. (Pracahya, 1985). Daerah persebaran nanas ialah antara 300LU dan 300LS dari khatulistiwa. Di Indonesia, tanaman nanas pada umumnya tumbuh baik di dataran rendah yang suhunya antara 290C – 320, dan curah hujan antara 1000 – 3000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan pH antara 5.5 – 6. Akan tetapi nanas toleran terhadap pH rendah sehingga di daerah–daerah transmigrasi yang keadaan lahannya asam, tanaman nanas masih mampu tumbuh dengan subur dan berbuah baik (Collins,1960). Varietas Ananas comosus yang penting : (Collins, 1960) 1. Spanish (berdaging putih). Jenis ini mempunyai daun yang panjang kecil, berduri halus sampai kasar, buah bulat bermata pipih dan besar. Jenis ini cocok untuk dikalengkan atau dikonsumsi segar contoh : Red spanish, Sugar loaf, Singapore spanish, Ananas vermelo, Amarelo, dan Monte livio 5
2. Queen (berdaging kuning). Jenis ini mempunyai daun yang pendek dan berduri tajam membengkok ke belakang, buah berbentuk kerucut, mata buah menonjol, beraroma menarik, dan rasanya manis. Buah nanas Palembang dan Nanas Bogor termasuk jenis ini. 3. Cayenne. Jenis ini memiliki buah yang berbentuk silindris dengan berat 2.3 – 3.6 kg, penampilan buah bagus dan bermata datar. Nanas ini baik untuk dikalengkan atau diawetkan. C. KERIPIK Chips menurut Siahaan (1988) adalah keripik, keping, dan bilah. Istilah keripik lebih cocok sebagai terjemahan chips bila yang dimaksud adalah produk pangan. Produk-produk yang berkategori keripik sudah lama dikenal di masyarakat Indonesia, baik yang bersifat tradisional sampai yang sudah berskala industri, misalnya seperti keripik singkong, emping melinjo dan keripik jagung (Siahaan, 1988). Nuraini (2003) mengemukakan suatu metode pembuatan keripik (snack food) dari buah atau sayuran dengan metode penggorengan. Dalam proses ini, buah dicuci, dibelah dan dipotong-potong dalam ukuran yang dikehendaki. Jika diperlukan, dapat dilakukan inaktivasi enzim oksidase yang dikandungnya dan kemudian digoreng pada tekanan atmosfer atau tekanan hampa. Salah satu buah yang dapat dibuat keripik adalah apel. Analisis proksimat apel dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Analisis proksimat buah apel (Downing, 1989) Parameter Hasil analisis proksimat Kadar air 84.46% pH 3.23 – 6.54 Kadar gula 13.5 % Total asam tertitrasi 0.15 – 0.91(ml NaOH/100gram) 0 Brix 9.8 – 16.9 Reksabuana, et al (1991) dalam Hidayati (1998) melakukan penelitian pembuatan keripik nangka dengan metode pengeringan beku (freeze drying). Buah nangka matang setelah ditambahkan minyak goreng kemudian dibekukan dan dikeringkan dalam ruang hampa udara. Dari penelitian tersebut didapat hasil bahwa produk terbaik diperoleh pada suhu pengeringan 700C – 800C.
6
Nuraini (2003) juga melakukan penelitian pembuatan keripik labu jepang menggunakan penggorengan vakum. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa suhu dan waktu untuk mendapatkan produk yang baik adalah 900C, 120 menit. D. PENGGORENGAN VAKUM Penggorengan suatu produk merupakan proses untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel yang berisi minyak (Robertson, 1967) dalam Nuraini (2003). Sedangkan Azkenazi, et al.(1984) dalam Surya (1999) mengemukakan definisi penggorengan sebagai suatu proses pengeringan melalui kontak dengan minyak panas dan melibatkan pindah panas dan massa secara simultan. Definisi lain dikemukakan oleh Halstrom (1980) dalam Hidayati (1998) dimana penggorengan adalah suatu teknik pengolahan pangan dimana bahan dimasukkan ke dalam minyak panas dan seluruh bagian permukaan bahan mendapat perlakuan panas yang sama sehingga berwarna seragam. Kata vakum berasal dari bahasa latin, vacuus yang berarti kosong (Erwin, 2004). Kata ini menunjukan kondisi vakum ideal atau vakum sempurna (tekanan absolut nol). Proses dikatakan bekerja pada kondisi vakum bila tekanan di dalam sistem tersebut lebih rendah daripada tekanan normal (Erwin, 2004). Penggorengan dengan metode vacuum frying dilakukan pada suhu yang lebih rendah daripada suhu pada tekanan atmosfer (Anonim b, 2006). Penggorengan vakum adalah suatu alat penggoreng yang beroperasi pada kondisi vakum sekitar 70 cmHg (anonim d dalam Paramita, 1999). Titik didih minyak pada kondisi tersebut turun lebih rendah dibandingkan titik didih minyak goreng pada tekanan normal yaitu 1800C (anonim d). Pengggorengan dengan menggunakan mesin penggoreng hampa atau vakum (vacuum fryiing) memungkinkan pengolahan buah atau komoditi yang sensitif terhadap panas seperti buah dan sayur menjadi hasil olahan berupa keripik buah dan keripik sayur seperti keripik nangka, keripik apel, keripik pisang, keripik nanas, keripik pepaya, dan lain-lain. Pada kondisi vakum, suhu penggorengan dapat diturunkan sebesar 50-600C karena penurunan titik didih air. Dengan demikian produk yang dapat mengalami kerusakan baik warna, aroma, rasa, dan nutrisi akibat panas dapat diproses menggunakan teknologi ini. Selain itu, kerusakan minyak dan
7
akibat-akibat yang ditimbulkan dapat diminimalisir, karena proses dilakukan pada suhu dan tekanan rendah. Bahan yang digoreng dengan metode vacuum frying menggunakan mesin penggoreng hampa, memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan tersebut antara lain : (1) memiliki warna, rasa, dan aroma seperti bahan aslinya (2) gizi tidak rusak, karena diproses dengan suhu rendah (80 – 850C) (3) tidak perlu menggunakan bahan pengawet, zat pewarna, dan bahan-bahan kimia sintetis (4) memiliki tekstur yang renyah (Anonim b, 2006) Menurut Lastriyanto (1997), desain fungsional mesin vacuum fryer terdiri dari : 1) pompa vakum, 2) ruang penggoreng, 3) unit pengkondensasi uap air (kondensor) yang dilengkapi dengan pendingin, 4) unit pemanas, dan 5) unit pengendali. Adapun fungsi masing-masing komponen adalah: 1. Pompa vakum: merupakan komponen terpenting dari sistem penggoreng hampa, dimana pompa vakum sistem water-jet memiliki kelebihan, yaitu tidak mempergunakan oli, seal, bantalan, dan poros sehingga rendah biayanya. 2. Ruang penggoreng: berfungsi untuk mengkondisikan bahan yang diproses agar sesuai dengan kondisi proses yang diinginkan. Ruang penggoreng berisi minyak sebagai media pindah panas yang dilengkapi dengan mekanisme angkat celup. 3. Kondensor: berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama penggorengan. Kondensor ini menggunakan air sebagai media pendingin yang dilengkapi dengan sistem pendingin udara. 4.
Unit pemanas: merupakan sumber panas, dimana mesin penggoreng ini mempergunakan LPG sebagai bahan bakar yang sistem kendalinya tidak terlalu sulit.
5. Unit pengendali operasi: unit yang sangat penting keberadaannya karena merupakan bagian yang mengatur kondisi proses penggorengan yang dikehendaki.
8
E. PERILAKU, PREFERENSI DAN HARAPAN KONSUMEN Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor kebudayaan, sosial, pribadi, dan psikologis (Kottler, 1990) dalam Djuanda (2003). Perilaku konsumen merupakan bagian dari manajemen pemasaran yang berhubungan dengan manusia sebagai pasar sasaran. Oleh karena itu, riset perilaku konsumen juga merupakan bagian dari riset pemasaran (Simamora, 2002). Riset pemasaran adalah desain, pengumpulan, analisis, dan pelaporan yang sistematis atas data dan segala penemuan yang relevan dengan situasi pemasaran tertentu (Kottler, 1990) dalam Djuanda (2003) Sumber data dalam riset perilaku konsumen dapat berupa data primer atau data sekunder,
dengan
menggunakan
pendekatan
riset
observasi,
survei,
dan
eksperimental. Pendekatan observasi dilakukan dengan mengamati perilaku dan lingkungan dan lingkungan sumber data. Pendekatan ini sangat bermanfaat bagi riset yang bersifat penyelidikan. Pendekatan survei cocok untuk riset deskriptif, yang bertujuan untuk mempelajari pengetahuan, kepercayaan, pemilihan, kepuasan konsumen, serta mengukur besaran-besarannya dalam populasi. Pendekatan eksperimental bertujuan untuk menjangkau hubungan sebab akibat dengan menyisihkan keterangan-keterangan dari segi lain mengenai penemuan-penemuan yang didapatkan. Perangkat riset yang biasa digunakan yaitu kuesioner dan peralatan mekanis (Kottler, 1990) dalam Djuanda (2003). Untuk mengetahui apakah suatu produk telah memenuhi kebutuhan konsumen dapat dilakukan dengan menentukan atribut produk dan mengukur tingkat kepentingan suatu atribut. Konsumen memberikan penilaian yang merupakan gambaran persepsi dan sikapnya. Sikap terdiri atas tiga komponen. Komponen pertama adalah kognitif, yaitu pengetahuan dan keyakinan seseorang mengenai sesuatu yang menjadi obyek sikap. Komponen kedua adalah afektif, yang berisikan perasaan terhadap obyek sikap. Komponen ketiga adalah behavioral, yaitu respon seseorang terhadap obyek atau
9
aktivitas. Teori sikap lainnya adalah bahwa sikap memiliki sifat multidimensi dan multiatribut, artinya sikap terhadap suatu obyek didasarkan pada penilaian seseorang terhadap atribut-atribut yang berkaitan dengan obyek sikap tersebut (Simamora, 2004). Food preference didefinisikan sebagai derajat kesukaan terhadap makanan dimana preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Makanan merupakan perangsang dari segi sensori, sedangkan karakteristik fisikokimia yang ditentukan oleh ingridien proses dan penyimpanan akan berinteraksi dengan indera manusia sehingga membentuk preferensi (Cardello, 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi food preference menurut Stepherd dan Sparks (1994) dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Faktor intrinsik, yaitu penampakan, aroma, temperatur, tekstur, kualitas, kuantitas, dan cara penyajian makanan. 2. Faktor ekstrinsik, yaitu lingkungan sosial, iklan produk, dan waktu penyajian. 3. Faktor biologis, fisik dan psikologis, yaitu umur, jenis kelamin, keadaan psikis, aspek psikologis dan biologis. 4. Faktor personal, yaitu tingkat pendugaan, pengaruh dari orang lain, prioritas, selera, mood, dan emosi. 5. Faktor sosial ekonomi, yaitu pendapatan keluarga, harga makanan, status sosial, dan keamanan. 6. Faktor pendidikan, yaitu status pengetahuan individu dan keluarga dan pengetahuan tentang gizi. 7. Faktor kultur, agama, dan daerah, yaitu asal kultur, latar belakang agama, kepercayaan, tradisi serta letak daerah. Cardello (1994) menyatakan bahwa dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, tekstur dan flavor lebih banyak menjadi sebab disukai atau tidak disukainya makanan. Pemilihan flavor perlu diperhatikan karena rasa dan aroma makanan mempunyai pengaruh terhadap penerimaan dan konsumsi. Penampakan visual seperti warna, bentuk, logo simbol dan nama pada pengemas makanan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penerimanya.
10
F. ATRIBUT Menurut Solomon (1992), atribut adalah karakteristik dari suatu produk. Karakteristik dari suatu produk dalam hal ini adalah rasa, harga, kemasan, informasi kandungan zat gizi, dan lain-lain. Kesan dari panca indera konsumen terhadap makanan dimulai di pasar dimana bentuk–bentuk visual, odor, dan rasa, digunakan dalam seleksi terhadap makanan yang akan dibeli dan dikonsumsi konsumen (Watts, 1989). Rasa dari makanan dideteksi dengan kuncup rasa pada lidah yang dapat mendeteksi perbedaan rasa: asinasam-pahit-manis. Beberapa makanan hanya mempunyai satu rasa, tetapi yang lainnya mempunyai lebih dari satu rasa. Rasa makanan dari suatu pabrik penting karena makanan itu dibuat untuk manusia dalam jumlah besar (Cameron,1985). Lewin (1940) dalam Suhardjo (1989) mempelajari apa yang dianggap nilai dasar dalam menentukan pilihan pangan agar dapat ditentukan dengan lebih baik apa yang dikonsumsi dan diperbuat oleh konsumen. Nilai dasar tersebut ditentukan oleh empat faktor penting, yaitu: cita rasa, nilai sosial, manfaat bagi kesehatan dan harga. Harga adalah sejumlah uang yang ditukarkan untuk barang dan jasa. Lebih luas, harga adalah jumlah dari nilai–nilai konsumen yang ditukarkan dengan keuntungan memiliki atau menggunakan barang atau jasa tersebut. Menurut sejarahnya, harga telah menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap pemilihan produk oleh konsumen (Kotler, 1991). Harga dapat berarti ongkos untuk ”sesuatu”. Sesuatu itu dapat berupa produk fisik dalam tingkatan yang beragam, dengan atau tanpa jasa pendukung, dengan atau tanpa garansi kualitas, dan lain–lain (Mc Carthy, 1990). Menurut Dewi (1997), harga yang dibayarkan oleh konsumen terhadap produk yang dibeli merupakan tanggapan atau apresiasi konsumen terhadap kepuasan yang diperoleh dari pembeliannya tersebut. Oleh karena itu, harga yang ditawarkan produsen harus sesuai dengan variabel–variabel produk yang dapat menjadi pertimbangan konsumen. Sangat penting bagi produsen untuk mempelajari harga jual atau mutu dari setiap pesaingnya dan bagaimana tanggapan konssumen terhadap kualitas dan harga produknya. Menurut Kassarjian dan Robertson (1968) karena harga produk meningkat, beberapa pembeli akan memutuskan utnuk membeli produk lain, dan pembeli yang
11
tetap membeli produk tersebut akan mengatur untuk membeli produk lebih sedikit dari sebelumnya. Karena itu, telah menjadi asumsi bahwa harga digunakan hanya sebagai alat ukur dari biaya pembelian (pengorbanan) oleh pembeli. Lebih jauh, diasumsikan bahwa pembeli sensitif terhadap harga sehingga mereka akan mencari pilihan harga yang lebih rendah. Lebih lanjut Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengendalian harga pasaran bahan pangan yang disertai kelancaran distribusi pangan, biaya transport yang rendah secara langsung dapat mempengaruhi harga hasil industri makanan serta pemilihan konsumen terhadap jenis makanan untuk keluarga sehari-hari.
G. ANALISIS EKONOMI Analisis biaya merupakan suatu kegiatan meliputi identifikasi biaya, pengukuran, alokasi, dan pengendalian yang merupakan kegiatan penting dalam suatu perusahaan. Prosedur analisis biaya menurut William di dalam Revinaldo (1992) dapat dibagi empat, yaitu memecah total biaya menurut fungsinya, semua biaya diperkirakan digunakan untuk tujuan khusus: menghubungkan biaya dengan kapasitas perusahaan, jumlah bisnis atau kombinasi dari kedua elemen tersebut; menentukan secara tepat sumber daya yang digunakan untuk melayani kegiatan dan mengidentifikasi biaya khusus yang bergabung dengan tiap sumber daya; dan mengalokasikan biaya ke berbagai bentuk atau pelayanan sesuai dengan kewajibannya masing-masing. Analisis biaya juga dilakukan untuk mengetahui kelayakan suatu produk bila dipasarkan dan dijual kepada konsumen dalam produksi skala industri atau skala yang lebih kecil. Analisis yang diperlukan antara lain kebutuhan modal awal (modal investasi, praoperasional, dan modal kerja), dan biaya produksi (biaya tetap dan tidak tetap) berdasarkan asumsi–asumsi tertentu. Dalam akuntansi terdapat dua metode untuk menentukan harga pokok. Metode pertama disebut Full Costing Method, yaitu semua unsur biaya dimasukkan dalam perhitungan harga pokok, dan metode kedua disebut Variable Costing Method, yaitu biaya yang dimasukkan dalam perhitungan harga pokok hanyalah biaya variabel. Metode pertama digunakan untuk menentukan harga pokok produksi, sedangkan
12
metode kedua dipakai untuk menentukan efisiensi penggunaan sumber daya (Mulyadi, 1979). Harga pokok merupakan suatu hal yang penting. Produsen dalam menjalankan produksinya perlu mempunyai gambaran tentang pengorbanan yang dilakukan agar mempunyai dasar dalam menawarkan produknya di pasar. Selain sebagai dasar penentu harga jual, harga pokok ini dapat digunakan untuk memperkirakan keuntungan yang akan diperoleh. Schroeff (1973), mendefinisikan harga pokok sebagai gambaran kuantitatif bagi pengorbanan–pengorbanan yang bertujuan ekonomis rasional yang harus dilakukan seorang produsen pada penukaran barang atau jasa yang ditawarkan di pasar. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan kalkulasi harga pokok adalah (1) sebagai dasar penetapan harga jual, (2) untuk menetapkan besarnya laba yang akan diperoleh pada penukaran, dan (3) sebagai alat untuk menilai efisiensi proses produksi. Soemarso di dalam Revinaldo (1992) menyatakan, bahwa penetapan harga pokok produk dapat dilakukan secara ex ante (kalkulasi pendahuluan) dan ex post (kalkulasi kemudian). Kalkulasi pendahuluan dilakukan apabila harga pokok akan digunakan sebagai dasar penetapan harga jual, sedangkan untuk tujuan penetapan laba atau pengendalian biaya digunakan kalkulasi kemudian. Selanjutnya Simangunsong (1989) menyatakan, bahwa dalam menentukan harga pokok, masing–masing biaya produksi ditentukan dengan cara: 1) penentuan biaya bahan baku (ditaksir kuantitas bahan baku yang akan dipakai untuk setiap satuan produk yang akan diproduksi, dan harga bahan baku yang berlaku di pasar), 2) ditentukan biaya tenaga kerja, dan 3) ditentukan biaya overhead. Break Even Point merupakan suatu titik keseimbangan yang menggambarkan jumlah hasil penjualan sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan sehingga perusahaan tersebut tidak mengalami keuntungan atau kerugian, disebut juga titik impas (π = 0). Agar memperoleh keuntungan, perusahaan harus mampu memproduksi dan memasarkan produknya lebih dari nilai BEP (Achtiaji, 2002). Menurut Pramudya (1992), beberapa hal dalam pengambilan keputusan yang dapat memanfaatkan analisis titik impas, diantaranya penentuan volume produksi,
13
pemilihan dua alat atau mesin yang sejenis, dan pemilihan antara sewa atau beli suatu alat atau mesin. (Pramudya, 1992)
14