II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ampok Jagung (Corn Hominy) Jagung merupakan serealia nomor dua setelah padi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), produksi jagung nasional pada tahun 2009 mencapai lebih dari 17 juta ton dan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah mengenai perluasan lahan jagung. Sentra produksi jagung di Indonesia juga cukup tersebar merata seperti Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo (Badan Pusat Statistik 2009). Dengan ketersediaannya yang cukup melimpah, jagung menjadi komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan pemanfaatannya. Seiring dengan berkembangnya sektor peternakan, permintaan terhadap tepung jagung sebagai bahan pencampur pakan juga semakin meningkat. Pemanfaatan tepung jagung sebagai pakan dapat menyerap sekitar 50% total produksi jagung nasional (Badan Pusat Statistik 2009). Peningkatan permintaan tepung jagung akan berkorelasi langsung dengan peningkatan hasil samping dari proses penggilingan. Hasil samping dari proses pembuatan tepung jagung tersebut adalah ampok jagung yang jumlahnya dapat mencapai 35 % dari total biji jagung yang digiling (Sharma et al, 2007). Ampok jagung memiliki perbedaan dengan tepung jagung. Perbedaan tersebut terletak pada ketiadaan atau sedikitnya komponen endosperma pada ampok jagung akibat hilang pada proses penggilingan. Ampok jagung dapat berasal dari sisa proses degerminasi berupa pucuk biji (tailing meal), ampas yang telah diambil minyaknya (deoiled germ cake), kulit kernel, kernel yang rusak, serta komponen lain yang tersisa pada saat pross penyaringan (screening) pada penggilingan kering (Wall et al. 1971). Hal tersebut digambarkan melalui skema berikut:
Komponen Kernel Jagung Endosperma
- Lembaga - Pucuk biji - Kulit
Kulit Lembaga Pucuk biji
Gambar 1. Skema komponen penyusun kernel jagung dan ampok jagung
3
Walaupun sekedar hasil samping dari proses penggilingan jagung, ampok jagung masih memiliki kandungan pati yang dapat dimanfaatkan. Menurut Sharma et al. (2007) tepung ampok jagung mengandung pati sebanyak 57%, serat sebanyak 25%, protein sebanyak 11%, dan lemak sebanyak 5%. Dengan kandungan pati yang masih cukup besar, ampok jagung dinilai masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan pati lainnya termasuk pati termoplastik. Berikut ini adalah perbandingan bagian biji jagung yang menjadi bagian dari ampok dan kandungan senyawa penyusunnya. Tabel 1. Komposisi bahan di setiap bagian kernel jagung berdasarkan basis basah Komponen Pati (%) Protein (%) Lemak (%) Serat (%) Lainnya (%) Endosperm 87,6 8,0 0,8 3,2 0,4 Kulit ari 7,3 3,7 1,0 83,6 4,4 Lembaga 8,0 18,4 33,2 14,0 26,4 Pucuk biji 5,3 9,3 3,8 77,7 4,1 Sumber: Coulter dan Lorentz (1991)
2.2. Pati Termoplastik (Thermoplastic Starch) Pati termoplastik merupakan produk termoplastik yang menggunakan pati sebagai bahan bakunya. Penggunaan pati menjadi pati termoplastik dimaksudkan untuk memperoleh sifat biodegradable yang tidak dimiliki oleh pati termoplastik yang berasal dari polimer sintetis konvensional (Chandra dan Rustgi 1998). Sifat biodegradable pada suatu bahan menunjukkan bahwa bahan tersebut dapat terdekomposisi oleh enzim atau aktivitas organisme tertentu. Dalam proses biodegradasi, sebuah bahan dapat saja mengalami proses yang melibatkan oksidasi, fotodegradasi, atau hidrolisis. Polimer yang terdegradasi secara biologis dapat berasal dari sintesa biologis, kimiawi, maupun semi sintetik. Adapun jenis polimer biodegradable yang mulai banyak dimanfaatkan adalah polilaktat, polihidroksialkanoat, serta pati (Albertson dan Karlsson 1994). Pepatian merupakan bahan yang dapat dijadikan alternatif pengganti polimer sintetik pada situasi ketika tidak dibutuhkan produk dengan sifat yang tahan lama. Pati merupakan polimer yang terdiri dari glukosa sebagai monomernya. Pati terdiri dari dua senyawa utama yaitu amilosa yang terbentuk dari ikatan dan molekulnya berbentuk linier serta amilopektin yang terbentuk dari ikatan dan di mana molekulnya bercabang. Gambar 2 mengilustrasikan hal tersebut.
(a)
(b)
Gambar 2. Struktur molekul a) amilosa dan b) amilopektin
4
Semua jenis pati dapat mengalami proses destrukturisasi untuk menjadi bahan pati termoplastik (Plackett dan Vazquez 2004). Selain karena kemampuannya untuk menjadi produk termoplastik, pepatian dianggap potensial untuk dikembangkan lebih lanjut karena ia merupakan bahan yang jumlahnya melimpah di alam, dapat terbarukan, serta harganya relatif murah (Guilbert dan Gontard 2005). Pati merupakan bahan yang bersifat semi-kristalin di mana senyawa amilopektin di dalamnya merupakan senyawa yang menentukan derajat kristalinitas yang dimilikinya. Sementara itu proses destrukturisasi merupakan konversi keadaan semi-kristalin tersebut menjadi matriks polimer yang secara merata bersifat amorf. Pati termoplastik dapat didefinisikan sebagai material yang dibentuk melalui destrukturisasi tersebut. (Plackett dan Vaquez 2004). Menurut Janssen dan Moscicki (2006), aplikasi pati termoplastik lebih lanjut mencakup produk yang sangat beragam dari mulai busa pelindung, kantung sampah, mulsa pertanian, pot tanam bibit, kemasan pelindung benih, film, hingga kontainer buah. Namun demikian,dari sudut pandang produk, pati termoplastik yang dihasilkan harus memenuhi beberapa sifat. Beberapa di antaranya adalah memiliki suhu transisi gelas yang tidak terlalu tinggi atau berada pada kisaran suhu kamar agar produk yang dihasilkan tidak rapuh pada suhu rendah, memiliki sifat mekanis yang mirip dengan pati termoplastik konvensional, serta dapat diproduksi dengan proses yang mudah dan harga yang relatif murah. Untuk memperoleh sifat plastis, pati membutuhkan intervensi bahan tambahan dari luar yang biasa disebut bahan pemlastis. Selain itu bahan pemlastis tersebut juga berperan dalam meningkatkan laju alir campuran dalam mesin sekaligus menurunkan titik leleh campuran (Plackett dan Vaquez 2004). Bahan pemlastis yang umum digunakan adalah bahan-bahan yang mengandung sejumlah besar gugus –OH seperti sorbitol, glikol, xilitol, gliserol, dan beberapa senyawa gula (Yang et al. 2006). Bahan berserat dapat ditambahkan dalam campuran untuk membuat pati termoplastik dengan tujuan memodifikasi sifat-sifat mekanisnya (Janssen dan Moscicki 2006). Dalam hal ini, penggunaan ampok sebagai bahan baku akan memberikan keuntungan tersendiri karena selain mengandung sejumlah besar pati, ampok juga mengandung cukup banyak serat sehingga tidak dibutuhkan penambahan serat secara khusus. Namun demikian, menurut Plackett dan Vaquez (2004), penambahan serat juga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti terjadinya pengembangan ketika bahan menyerap air serta berkurangnya daya tahan terhadap temperatur yang tinggi. Dalam pembuatan pati termoplastik, sejumlah bahan tambahan lain selain pemlastis dapat diberikan seperti magnesium starat. Penambahan magnesium stearat bertujuan mencegah lengketnya adonan pati dengan mold atau peralatan (Shogren et al. 2002). Menurut Zullo dan Iannace (2009), dalam pembuatan pati termoplastik dapat terjadi pemlastikan parsial di mana sebagian adonan mampu membentuk pati termoplastik sedangkan sebagian adonan yang lain tidak dapat membentuknya. Hal tersebut dapat terjadi apabila kondisi campuran tidak terdistribusi secara merata. Dengan demikian, dalam proses pencampuran bahan-bahan untuk menjadi sebuah adonan, kemerataan persebaran bahan-bahan tersebut menjadi faktor penting. Sebelum dipemlastikan, seluruh bahan terlebih dahulu dipastikan agar terdistribusi secara merata yang ditandai dengan tidak adanya bagian dalam adonan yang menggumpal.
5
2.3. Pemlastis (Plasticizer) Gliserol Gliserol (1,2,3 propanatriol) (Gambar 3) adalah senyawa kimia yang tak berasa, tak berbau, tak berwarna, kental, dan berasa manis yang dihasilkan dari senyawa-senyawa alami seperti minyak nabati maupun minyak bumi. Istilah gliserol seringkali digantikan dengan istilah gliserin. Secara harfiah kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama, namun pada tataran teknis istilah gliserin lebih diasosiasikan pada senyawa gliserol yang sudah diencerkan dengan air (Pagliaro dan Rossi, 2010). Gliserol merupakan satu dari senyawa kimia yang memiliki banyak kegunaan. Gliserol dapat berperan sebagai pelarut, pemanis, pelembab, pengawet, serta bahan pengisi pada produk-produk makanan. Gliserol mengandung tiga gugus hidroksi alkohol yang berperan penting dalam sifat higroskopis dan sifat hidrofiliknya. Karakteristik khususnya sering dimanfaatkan untuk rentang produk yang berbeda, mulai makanan, obat-obatan, kosmetik, hingga toiletries (Pagliaro dan Rossi 2010). Salah satu kegunaan gliserol yang cukup luas adalah sebagai pemlastis (plasticizer). Efektivitas dan daya lubrikasinya yang baik ditambah sifatnya yang tidak beracun, semakin memperluas jangkauan fungsionalnya (Pagliaro dan Rossi 2010). Contoh penggunaan gliserol sebagai pemlastis adalah pada industri kertas di mana penambahan gliserol mampu meningkatkan fleksibilitas, kelenturan, dan keteguhan permukannya (Pagliaro dan Rossi 2010). Gliserol juga banyak digunakan sebagai pemlastis produk pati termoplastik sebagai komponen substitusi air. Meskipun air memiliki sifat pemlastis untuk produk pati termoplastik, penggunaannya akan memberikan dampak yang tidak diinginkan seperti menyebabkan peningkatan kerapuhan (brittleness) dan retrogradasi produk yang terlalu cepat (Janssen dan Moscicki 2006). Untuk itu, pemlastis alternatif yang digunakan haruslah pemlastis yang memiliki viskositas yang cukup tinggi namun memiliki volatilitas yang cukup rendah. Dua sifat tersebut ada pada gliserol.
Gambar 3. Rumus molekul gliserol Penggunaan gliserol sebagai pemlastis dalam produk pati termoplastik berfungsi sebagai perenggang antar molekul dan menurunkan tingkat interaksinya satu sama lain (Janssen 2009). Penggunaan gliserol sebagai pemlastis telah dilakukan sebelumnya oleh Lee (2009) di mana gliserol dicampurkan pada komposit pati termoplastik pati sagu dan PE (polietilen). Penggunaan tersebut terlihat memiliki pengaruh bagi pati termoplastik yang dihasilkan dalam hal sifat mekanisnya. Selain itu, gliserol juga digunakan dalam pembuatan pati termoplastik untuk dijadikan busa (foam) (Cha et al. 2000 ). Dalam pembuatan pati termoplastik, konsentrasi gliserol yang umum digunakan adalah 30% (b/b). Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Zullo dan Iannace (2009) serta Shi et al. (2007). Kedua penelitian tersebut menggunakan bahan dasar yang sama berupa pati jagung untuk kemudian diolah menjadi pati termoplastik. Selain itu Sreekumar et al.
6
(2010) pernah melakukan penelitian untuk mengidentifikasi pengaruh konsentrasi gliserol pada pati termoplastik berbahan dasar campuran pati gandum dan serat sisal dengan menggunakan rentang konsentrasi 20% hingga 35% (b/b). Da Roz et al. (2006) mengemukakan bahwa destrukturisasi pati memerlukan daya solvasi yang besar yang diperoleh melalui penambahan zat dengan proporsi gugus hidroksil yang tinggi. Senyawa dengan proporsi gugus hidroksil yang tinggi ini berperan mensolvasi granula sekaligus menciptakan serta mempertahankan sifat amorf pada pati. Gliserol yang mengandung gugus hidroksil dalam hal ini berperan sebagai zat pemlastis tersebut.
2.4. Pemlastikan (Plasticisation) Pemlastikan merupakan proses yang dilalui pati sebelum menjadi produk pati termoplastik. Secara umum, dalam proses tersebut terjadi destrukturisasi pati di mana granula pati terdisrupsi akibat penambahan panas dan bahan pelarut tertentu. Kemudian wujud semikristalin yang dimilikinya berubah menjadi wujud amorf. Pada kondisi ini, pati mengembang dan ikatan-ikatan hidrogen inter-makromolekul yang sebelumnya ada juga mengalami destruksi. Selain itu, turunnya nilai titik transisi gelas (T g) dan titik leleh pati (Tm) juga menjadi akibat dari proses tersebut (Averous 2010). Dalam proses pemlastikan terdapat kemiripan dengan proses gelatinisasi. Kemiripan tersebut terletak pada terjadinya disrupsi terhadap granula pati yang menyebabkan kondisi semi-kristalin berubah menjadi amorf. Perbedaan mendasar antara dua proses tersebut adalah ada atau tidak adanya air yang ditambahkan secara eksesif (Averous 2010). Keberadaan air secara eksesif, menurut Donald (2004), mampu mendorong granula pati mengembang dan di bawah tekanan pengembangan tersebut, struktur molekul pati yang tadinya semi-kristalin menjadi amorf. Sedangkan pada kondisi di mana air terbatas (namun terdapat sejumlah pemlastis dalam jumlah yang tidak terlalu besar), menurutnya yang terjadi adalah pelelehan sebagian atau seluruh bagian pati yang berwujud kristalin yang berdampak pada perubahan fasenya menjadi amorf.
. Jumlah air Rotirotian
Bahan pengisi (filler)
Pati terkembang (expanded)
Pati terdestruk -turisasi
Pati tergelatinisasi
Pati termoplastik
Tingkat destrukturisasi Gambar 4. Hubungan perbedaan tingkat destrukturisasi pati dan jumlah air dengan produk yang dihasilkan (Averous 2006) Selain air ataupun pemlastis, pemlastikan pada bahan berpati membutuhkan dukungan panas dan tekanan tertentu. Adanya penambahan panas dan tekanan akan mendorong seluruh struktur granular pada pati menghilang (Donald 2004). Hal tersebut menyebabkan pemlastikan
7
berlangsung dalam kondisi proses termomekanis yang membutuhkan peralatan pembuat plastik konvensional seperti ekstruder yang mampu mengakomodasi proses ekstrusi (Averous 2010).
2.5. Ekstrusi (Extrusion) Ekstrusi adalah sebuah proses di mana sebuah bahan dipaksa mengalir di bawah pengaruh beberapa unit operasi yang bekerja secara simultan atau serentak guna menghasilkan produk dengan penampang tertentu yang tetap (Fellows 1990). Ekstrusi merupakan proses penting dalam pemlastikan suatu bahan seperti pati menjadi produk pati termoplastik. Ekstrusi untuk menghasilkan produk industri yang diinginkan merupakan sebuah proses yang terintegrasi di mana ekstruder merupakan komponen yang penting dalam semua lini. Pengaturan kondisi dalam ekstruder yang tidak tepat dapat mengakibatkan terbentuknya produk yang juga tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kesalahan pengaturan pada awal proses ekstrusi dapat mengganggu keseluruhan proses (Giles 2005). Tergantung pada produk akhir yang diinginkan, proses pencampuran dan pengadukan bahan baku dapat menjadi aspek yang sangat penting sebelum ekstrusi dilakukan. Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian pada saat pencampuran adalah persebaran bahan masukan yang berbentuk serbuk atau pelet, kesamaan ukuran partikel bahan masukan, cara pengadukan, penambahan cairan tertentu, serta keseragaman distribusi bahan tambahan (Giles 2005). Metode ekstrusi merupakan metode yang cukup umum digunakan untuk pembuatan produk pati termoplastik, baik secara konvensional yang menggunakan bahan dasar polimer turunan minyak bumi maupun secara mutakhir yang menggunakan bahan dasar pepatian (Cha et al. 2000). Pepatian yang diekstrusi akan mengalami destruksi ekstensif pada ikatan hidrogen intermolekul sekaligus depolimerisasi parsial dari makromolekul pati (Plackatt dan Vaquez 2004). Secara umum, proses ekstrusi bekerja dengan melibatkan setidaknya tiga satuan proses yakni pencampuran, pemberian tekanan, dan pemanasan. Bahan yang masuk ke dalam peralatan ekstrusi (ekstruder) akan dihomogenisasi, diberi panas, dan ditekan dengan tekanan tinggi, setelah itu produk dibentuk sesuai dengan kebutuhan (Giles et al. 2005).
Fragmentasi
Pati + air + poliol
Destrukturisasi
Pelelehan
Depolimerisasi
Pati termoplastik
Gambar 5. Tahapan pembentukan pati termoplastik dalam ekstruder (Averous 2006) Dalam proses pembentukan ini, dapat digunakan semacam cetakan yang menampung ekstrudat yang keluar. Saat ekstrudat tersebut keluar, molekul polimer mengembang kemudian terorientasi dengan bentuk cetakan. Bergantung pada proses ekstrusi yang dilakukan,
8
mekanisme pencetakan yang berbeda dapat dilakukan untuk mendapatkan bentuk akhir produk yang diinginkan (Giles et al. 2005). Ketika bahan berserat diekstrusi bersama dengan bahan pati termoplastik, molekulmolekul kedua bahan akan berorientasi satu sama lain saat melewati die pada ekstruder. Orientasi dari serat dapat memberikan keuntungan pada arah orientasi dari campuran. Orientasi seperti in merupakan konsekuensi yang wajar ketika ekstrusi berlangsung (Shanks 2004). Di samping itu, ekstrusi pada campuran yang mengandung serat dapat memberikan efek khusus. Ketika serat alami diekstrusi, air pada serat dapat menghilang dan serat menjadi rapuh. Tahanan geser yang diberikan pada campuran pada kondisi tersebut dapat merusak serat yang kemudian berdampak pada penurunan aspek rasio. Penurunan ini cukup menentukan sifat mekanis ekstrudat (Shanks 2004). Terdapat beberapa kondisi ekstrusi yang cukup banyak dipakai pada beberapa penelitian pati termoplastik. Perbedaan kondisi pada umumnya terletak pada besaran nilai putaran screw serta suhu pada ekstruder. Sreekumar et al. (2010) menggunakan putaran screw 60 rpm dan suhu 120oC, Shi et al. (2007) menggunakan putaran 80 rpm dan suhu 130 oC, sementara Zullo dan Iannace (2009) menggunakan putaran 50 rpm dan suhu 120 oC. Namun demikian menurut Chaudary et al. (2009), putaran screw tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sifat mekanis pati termoplastik yang dihasilkan. Alat yang dapat digunakan dalam pembuatan pati termoplastik adalah alat yang secara umum mampu mengakomodasi kebutuhan suhu dan tekanan pada nilai tertentu. Dalam hal tersebut, ekstruder dan beberapa jenis mixer merupakan alat yang biasa digunakan. Meskipun secara umum memiliki fungsi sama, rancangan ekstruder ataupun mixer dapat berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk, ukuran, jumlah ulir, ataupun keberadaan serta bentuk die. Menurut Donald (2004), rancangan alat yang berbeda dapat menghasilkan produk yang juga berbeda. Dengan kata lain, pemilihan alat yang digunakan bergantung pada hasil akhir produk yang ingin didapatkan.
9