II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioinsektisida Bioinsektisida mikrobial merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Menurut Ignoffo dan Anderson (1979), insektisida mikrobial yang bersifat entomopatogen dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi atau protozoa. Adapun bakteri yang paling banyak dikembangkan adalah Bacillus thuringiensis karena bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo 1997). Bioinsektisida digunakan untuk menggantikan penggunaan insektisida kimia yang telah banyak menimbulkan kerugian bagi lingkungan. Selain itu, pemakaian insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi dapat menjadikan serangga target menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut. Sedangkan keunggulan bioinsektisida menurut Behle et al. (1999), antara lain spesifik terhadap hama serangga, aman dan ramah lingkungan, serta tidak mengakibatkan residu pada hasil pertanian dan tanah. Salah satu strain Bacillus thuringiensis yang banyak digunakan untuk produksi bioinsektisida mikrobial adalah Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang efektif mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera. Salah satu hama ordo Lepidoptera yang banyak menyebabkan kerusakan pada pertanian adalah Croccidolomia pavonana, hama ini sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis. Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih tua. Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak dikendalikan (Kementrian Pertanian RI 2010). Berdasarkan peraturan pemerintah No 7 Tahun 1973 Pasal 1, bioinsektisida merupakan produk yang menjadi satu kategori dengan insektisida. Menurut Depperin (2010), hingga saat ini belum terdapat produk bioinsektisida lokal yang beredar di pasar pertanian dan secara umum kebutuhan bioinsektisida dipenuhi dari impor. Volume ekspor impor insektisida di Indonesia terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah ekspor dan impor insektisida di Indonesia Tahun
Ekspor
Impor
Kg
US$
Kg
US$
2007
103,815,562
47,218,898
8,285,950
37,545,132
2008
43,551,577
66,822,331
9,244,243
60,601,759
2009
45,885,889
86,455,061
7,429,138
71,009,115
Rata-Rata
64,417,676
66,832,096.67
8,319,777
56,385,335.33
Harga/unit (US$/kg)
1.04
6.78
Sumber: Depperin (2010) Dari data di atas terlihat bahwa sekitar 8,300 ton insektisida yang sebagian besar berupa bioinsektisida yang beredar di Indonesia adalah produk impor. Contoh beberapa produk komersil berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai terdapat pada Tabel 2 di bawah ini.
3
Tabel 2. Produk komersil berbahan aktif Bacillus thuringiensis aizawai No
Merk
Objek Hama
Produsen
1
Xentari
Lepidoptera
Abbot
2
Certan
Wax moth/ lepidoptera
Sandoz
3
Clobac
Lepidoptera
-
4
Design WSP
Lepidoptera
-
5
Florbac
Diamond black moth /
Abbot
Lepidoptera 6
Quark
Lepidoptera
Abbot
7
Selectzin
Lepidoptera
-
8
Turex
Lepidoptera
Thermo Trillogy
Sumber: Glare et al. (2000)
2.2. Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri bersel vegetatif berbentuk batang, gram positif, bersifat aerob tapi umumnya anaerob fakultatif, mempunyai flagela dan membentuk spora. Koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 milimeter, berwarna putih, elevasi timbul dan permukaan koloni kasar (Shieh 1994). Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1.0-1.3 mikrometer dan Bt membentuk kristal protein (δ-endotoksin) bersamaan dengan terbentuknya spora. Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya (Gill et al. 1992). Berbagai isolat Bt dengan berbagai jenis kristal protein yang dikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari protein kristal Bt sebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari lingkungan. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu bakteri yang telah banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis aizawai sangat efektif mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera, terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya (Lereclus et al. 1993). Kristal protein (δ-endotoksin) merupakan komponen utama yang bersifat insektisidal. Kristal protein (δ-endotoksin) bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas dan tidak larut dalam pelarut organik, namun larut dalam pelarut alkalin (Faust dan Bulla 1982). Kristal protein memiliki bentuk yang memiliki hubungan nyata dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap ordo Lepidoptera memiliki kristal protein berbentuk bipiramida dan jumlahnya satu untuk setiap sel vegetatifnya. Sedangkan kristal protein yang bersifat toksik terhadap ordo Diptera memiliki bentuk kubus, oval, dan amorf dengan jumlah dapat lebih dari satu untuk setiap selnya (Trizelia 2001). Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992) menyatakan bahwa komponen utama penyusun penyusun kristal protein pada sebagian besar Bacillus thuringiensis adalah polipeptida dengan berat molekul 130-140 kilodalton (kDa). Polipeptida berikut merupakan protoksin yang dapat diubah
4
menjadi toksin dengan berat molekul yang bervariasi dari 30 sampai 80 kDa setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi pH alkalin dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektidsida akan hilang kembali apabila berat molekulnya kurang dari 30 kDa. Kristal protein dibentuk dalam tujuh tahap yang berlangsung selama 12 jam dari saat pertama sel vegetatif akan bersporulasi sampai spora dan kristal terbentuk sempurna. Kristal protein ini dibentuk di luar eksosporum selama masa sporulasi tahap III sampai IV (Fast 1981). Gen penyandi penyususun kristal protein untuk masing-masing subspesies Bacillus thuringiensis berbeda-beda. Terdapat 14 gen penyandi kristal protein yang terdiri dari 13 gen Cry (kristal protein) dan 1 gen Cyt (sitolitik). Gen Cry pada Bacillus thuringiensis dibagi ke dalam 4 kelas, dimana masing-masing kelas memiliki toksisitas spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Berdasarkan tipe patogenitasnya, pengelompokan Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis dan contoh produknya Subspesies
Jenis Gen
Tipe patogenitas
Contoh produk
Bacillus thuringiensis
Cry I
Spesifik untuk ordo
Dipel, Bactospeine
subsp. kurstaki Bacillus thuringiensis
Lepidoptera Cry II
subsp. aizawai Bacillus thuringiensis
subsp. israelensis
Certan
Lepidoptera dan Diptera Cry III
subsp. sandiego Bacillus thuringiensis
Spesifik untuk ordo
Spesifik untuk ordo
Trident, M-one
Coleoptera Cry IV
Spesifik untuk ordo
Vectobac, Bactimos
Diptera
Sumber: Ellar et al. (1986) Proses toksisitas kristal protein sebagai bahan aktif bioinsektisida dimulai dengan termakannya kristal protein oleh serangga. Kristal protein ini akan dipecah oleh enzim protease pada kondisi basa dalam usus tengah serangga sehingga melepaskan δ-endotoksin yang bersifat toksin. Toksin ini akan berinteraksi dengan reseptor-reseptor pada sel-sel epithelium usus tengah larva serangga yang rentan. Setelah toksin ini bereaksi, maka akan menyebabkan terbentuknya lubanglubang pada membran sel sehingga dapat mengganggu keseimbangan osmotik sel dan mengakibatkan terjadinya pembengkakan yang menyebabkan larva berhenti makan dan mati (Gill et al. 1990). Apabila serangga target tersebut tidak rentan terhadap aksi δ-endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan spora di dalam tubuh serangga tersebut yang akan menyebabkan kematiannya. Spora tersebut akan berkecambah dan menyebabkan membran usus serangga rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora dalam tubuh serangga semakin banyak dan menyebabkan perluasan infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan serangga tersebut mati (Swadener, 1994). Milne et al. (1990) melaporkan bahwa cara kerja toksin yang dihasilkan Bacillus thuringiensis ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor spesifikasi mikroorganisme dan kerentanan serangga target. Sedangkan menurut Swadener (2004) umur larva serangga juga mempengaruhi toksisitas toksin Bacillus thuringiensis dimana larva serangga yang muda lebih rentan dibandingkan larva yang lebih tua.
5
2.3. Proses Produksi Bioinsektisida Mikrobial 2.3.1.Media Pertumbuhan Media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus thuringiensis. Menurut Dulmage et al. (1990) medium basal untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis. Karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, gula, minyak kedelai, dan molase dari bit dan tebu (Dulmage dan Rhodes 1971). Salah satu media yang dapat digunakan untuk pertumbuhan Bacillus thuringiensis adalah limbah cair tahu. Limbah cair tahu merupakan hasil samping produksi tahu yang dihasilkan pada proses pencucian, perendaman, serta pada proses penggumpalan tahu atau disebut whey. Menurut Nuraida (1985), setiap 1 kg kedelai dihasilkan limbah cair tahu berupa whey tahu rata-rata 43.5 liter seperti yang sajikan pada Gambar 1 mengenai neraca massa proses pembuatan tahu.
Kedelai 60 kg Air 2,700 kg
Proses produksi tahu
Tahu 80 kg
Ampas tahu 70 kg
Limbah cair tahu 2610 kg Gambar 1. Neraca massa proses pembuatan tahu (Nuraida, 1985) Kebutuhan tahu yang semakin meningkat dari tahun 2005 sampai 2009 akan mengakibatkan jumlah produksi tahu juga semakin meningkat sehingga jumlah limbah cair tahu yang dihasilkan turut meningkat. Peningkatan produksi tahu Indonesia dari tahun 2005 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 4. Sampai saat ini, limbah cair tahu belum dimanfaatkan secara maksimal dan hanya menjadi limbah yang mencemari lingkungan, padahal pada limbah cair tahu masih mengandung bahan-bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Limbah cair tahu ini potensial untuk dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan Bt. aizawai dalam produksi bioinsektisida karena jumlahnya yang banyak dan kandungan karbon dan nitrogennya yang dimanfaatkan untuk produksi sel dan spora. Kandungan kimia limbah cair tahu tercantum pada Tabel 5 berikut.
6
Tabel 4. Produksi tahu di Indonesia tahun 2005-2009 Tahun Produksi (Ton) 2005
6,158.25
2006
6,304.50
2007
6,435.00
2008
6,601.50
2009
6,754.50
Sumber : Puslitbang Sosek Pertanian (2009) Tabel 5. Kandungan kimia limbah cair tahu Komponen
Limbah Cair (%)
Kadar air
99.0
Kadar abu
0.43
Protein
0.13
Nitrogen (N)
0.02
Karbon (C)
0.27
Lemak
0.79
Serat
0.01
Sumber: Syarfat (2010) Priatno (1999) menyatakan bahwa air kelapa dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk memproduksi bioinsektisida mikrobial dari Bacillus thuringiensis. Selain itu air kelapa bersifat fermentable sugar sehingga mudah diserap dalam proses fermentasi dan dapat mengoptimalkan media fermentasi. Nilai nutrisi yang terkandung dalam air kelapa cukup lengkap yaitu: vitamin, mineral, dan zat-zat tumbuh seperti asam nikoton, auksin, giberelin, piridoksin, dan thiamine, sehingga air kelapa ini sangat potensial untuk dijadikan media pertumbuhan Bacillus thuringiensis. Komposisi nutrisi dan mineral pada air kelapa dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7 di bawah ini. Tabel 6. Komposisi nutrisi air kelapa Komponen
Air Kelapa Muda (%)
Air Kelapa Tua (%)
Kadar air
95.01
91.23
Kadar abu
0.12
0.15
Kadar lemak
0.63
1.06
Kadar protein
0.13
0.29
Kadar karbohidrat
4.11
7.27
Sumber: Woodroof (1979)
7
Tabel 7. Kandungan mineral air kelapa Jenis Mineral
Kandungan (mg/100ml)
Kalium
312
Natrium
105
Kalsium
29.0
Magnesium
30.0
Besi
0.10
Tembaga
1.14
Fosfor
37.0
Belerang
24.0
Sumber: Ketaren (1978) Urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai dengan pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan pH. Namun urea ini bersifat kurang stabil selama proses sterilisasi sehingga penggunaannya dibatasi. Urea digunakan untuk menyeimbangkan konsentrasi rasio C/N dimana kondisi perbandingan sumber karbon dan nitrogen dalam media yang optimal adalah yaitu 7:1 (Wicaksono (2002) dan Dulmage et al. (1990). Mikroorganisme juga membutuhkan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Menurut Dulmage & Rodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme yaitu: K, Mg, P, S, dan mineral yang diperlukan dalam jumlah sedikit yaitu: Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, Mn. Ca selain berperan dalam produksi dan produksi δ-endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. Penambahan ion Mg 2+, Mn 2+, Zn 2+, dan Ca 2+ ke dalam medium perlu dipertimbangkan karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi Bacillus thuringiensis Dalam medium fermentasi Bacillus thuringiensis ditambahkan pula 0.3 g/l MgSO4. 7 H2O, 0.02 MnSO4.7 H2O, 0.02 g/l ZnSO4. 7 H2O, 0.02 g/l FeSO4. 7 H2O, dan 1.0 g/l CaCO3 (Vandekar & Dulmage 1982).
2.3.2. Kondisi Kultivasi (Fermentasi) Fermentasi yang umum digunakan untuk memproduksi bahan aktif bioinsektisida dengan menggunakan kultur Bacillus thuringiensis adalah fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam (submerged fermentation). Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih disukai karena menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih sederhana. Selain itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung digunakan dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan karena ada kecenderungan menggumpal (Sjamsuritra et al. 1984). Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem tertutup pada fermentor. Pada umumnya, jenis fermentor yang digunakan adalah fermentor tangki berpengaduk karena merupakan jenis fermentor yang paling sederhana. Fermentor ini digunakan untuk substrat yang mempunyai viskositas tinggi dan berbentuk koloid tanpa mengakibatkan penyumbatan, serta enzim terimobilisasi dengan aktivitas rendah (Machfud et al. 1989). Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, dan fermentasi sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu atau semi kontinyu (fed batch process). Bernhard dan Utz (1993) menyatakan bahwa produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup karena hasil akhir yang diharapkan
8
adalah spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi Bacillus thuringiensis adalah komposisi medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur. Kualitas dan kuantitas δ-endotoksin yang dihasilkan selama proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh metode produksinya. Menurut Bernhard dan Utz (1993), jumlah δ-endotoksin yang dihasilkan setiap sel yang sedang bersporulasi akan tergantung pada kepadatan populasi sel dalam kultur fermentasi tersebut. Sedangkan menurut Luthy et al. (1992), konsentrasi yang ditetapkan untuk produksi skala besar antara 5 x 109 sampai 1 x 1010 spora per ml. Kondisi fermentasi Bacillus thuringiensis dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-32oC, pH awal medium kultur sekitar 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24-48 jam (Vandekar & Dulmage 1982). Sedangkan menurut Sikdar dan Majumdar (1993) menyatakan bahwa fermentasi Bacillus thuringiensis dalam fermentor dilakukan pada suhu 28-32oC, pH awal medium 6.8-7.2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0.5-0.15 vvm, dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam. Menurut Benhard dan Utz (1993), Bacillus thuringiensis termasuk ke dalam bakteri mesofilik yang dapat tumbuh pada pH kisaran 5.5 dan 8.5 dan tumbuh optimum pada pH 6.5-7.5 dengan suhu antara 25-37oC. Afrianto (2006) menyatakan bahwa pemberian agitasi dan aerasi dapat mengoptimalkan pertumbuhan Bacillus thuringiensis dalam fermentor, dimana kecepatan agitasi 200 rpm dengan laju aerasi 1 vvm pada fermentor tangki berpengaduk menghasilkan tingkat toksisitas tertinggi. Aktivitas bioinsektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia melainkan dengan bioassay. Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), bioassay merupakan salah satu cara untuk menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Aktivitas bioinsektisida mikrobial dapat ditentukan dengan menghitung jumlah spora hidup melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit (IU). Nilai LC50 menunjukkan konsentrasi bioinsektisida yang menyebabkan 50 % serangga uji mati. Potensi produk bioinsektisida (IU/mg) dapat dihitung dengan rumus potensi contoh uji (IU/mg). LC50 standar IU Potensi Contoh Uji (IU/mg)= × potensi standar ( ) (1.1) LC50 contoh uji mg Pemanenan produk bioinsektisida Bacillus thuringiensis berupa campuran spora dan kristal protein (delta-endotoksin ini dapat dilakukan dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, freeze drying atau kombinasi dari proses-proses berikut. Bahan aktif bioinsektisida ini dapat diformulasikan menjadi produk wettable powder, flowable liquid, dust atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi serta kebutuhan formulasi (Ignofo dan Anderson 1979).
2.4. Peningkatan skala (scale up) Scale-up adalah suatu studi yang mengolah dan mentransfer data penelitian skala laboratorium ke skala yang lebih besar menyangkut disain proses operasi atau dan perancangan bangunan peralatan. Scale up sangat penting karena aktivitas masing-masing mikrobial pada fermentor skala laboratorium itu sama. Peningkatan skala (scale up) meliputi peningkatan sistem baru yang lebih besar, serta perancangan dan penyusunan sistem yang lebih besar berdasarkan hasil percobaan dengan menggunakan model yang berukuran lebih kecil. Persyaratan penggandaan skala adalah geometri sistem sama, bahan yang digunakan sama dan proporsi bahan sama. Menurut Wang et al. (1978), pengembangan proses-proses mikrobial umumnya dilakukan dengan tiga skala yaitu:
9
1. Skala laboratorium yang merupakan tahap penyeleksian mikroba 2. Skala pilot plant, yaitu saat kondisi-kondisi optimal diterapkan 3. Skala industri, yaitu pelaksanaan proses-proses dengan mempertimbangkan perhitungan ekonomi. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam scale up diantaranya adalah biaya investasi fermentor dan peralatan lainnya harus minimum serta dapat dipercaya dan fleksibel untuk berbagai proses fermentasi, mikroba yang digunakan harus unggul. Selain itu, penggunaan tenaga dan panas harus efisien serta kebutuhan ruang yang minimum, dan apabila proses dilakukan secara curah maka harus dilakukan sesingkat mungkin sehingga diperoleh hasil yang tinggi dan penggunaan peralatan maksimum (Stanbury dan Whitaker 1984). Pada kajian penggandaan skala, faktor-faktor kimiawi dalam lingkungan harus dijaga konstan, sedangkan faktor fisik sangat tergantung pada pada ukuran dan skala produksi. Peubah skala pada proses fermentasi menyebabkan berubahnya beberapa peubah. Peubah yang tetap selama proses adalah rancangan dasar fermentor, spesies dan galur mikroba, jenis dan komposisi media, suhu sterilisasi, suhu operasi fermentor, reaksi di dalam kultur serta ukuran gelembung udara. Sedangkan peubah yang meningkat selama penggandaan skala adalah ukuran fisik fermentor, bahan baku dan peralatan, jumlah bahan baku yang ditangani pada proses sterilisasi dan pendinginan media. Peubah yang bersifat menurun selama proses penggandaan skala adalah luas permukaan untuk aerasi dan nisbah luas per volume media (Mangunwidjaja, 2002). Pada skala kecil, gradien konsentrasi dan tekanan sangat kecil (sistem pengadukan baik) maka gaya gunting juga kecil. Namun, pada skala besar perpindahan mikroorganisme jelas akan merubah konsentrasi oksigen, nutrient, dan tekanan, oleh karena itu daya gunting turbulen juga akan semakin besar. Apabila kesamaan geometri fermentor skala kecil dan skala besar dipertahankan, serta kondisi fermentasi seperti komposisi media, suhu, pH, dan konsentrasi oksigen terlarut dianggap sama maka perilaku penting dari cairan dalam tangki fermentor berpengaduk adalah tenaga yang digunakan untuk agitasi (P) dan kecepatan agitasi (N) (Aiba et al. 1973). Beberapa persamaan penting yang terlibat dalam penggandaan skala: 1.Tenaga per unit volume suspense kultur di dalam fermentor (P/V): PV= N3 D2
(1.2)
2.Kecepatan putar suspense kultur dalam fermentor (F/V) F/V= N
(1.3)
3.Kecepatan ujung impeller (v) V= ND
(1.4)
4.Modifikasi bilangan Reynold ND2ρ/µ= ND2
(1.5)
Keterangan: P = konsumsi tenaga F = laju alir ρ = densitas cairan fermentasi V= volume cairan fermentsi N = laju sirkulasi cairan fermentasi D = diameter pengaduk µ = viskositas media
10
Penggandaan skala dapat menyebabkan berubahnya lingkungan fisik, sehingga perlu ditentukan parameter penggandaan skala yang baik. Parameter-parameter penggandaaan skala adalah menggunakan masukan tenaga per unit volume (Pg/V), koefisien transfer oksigen (K La) yaitu korelasi empiris yang menghubungkan koefisien transfer oksigen keseluruhan dengan variabel-variabel peralatan dan operasi, kecepatan ujung impeller, kecepatan ujung impeler (N D), waktu pencampuran seimbang, bilangan Reynold, atau faktor-faktor momentum dan pengendalian umpan balik untuk menjamin besanya faktor-faktor kunci lingkungan setepat mungkin (Wang et al. 1978). Menurut Mangunwidjaja (2002), beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan skala reaktor yaitu: 1. Metode dasar (pemecahan neraca mikro untuk perpindahn momentum, massa, dan panas) 2. Metode semi dasar (pemecahan neraca yang disederhanakan) 3. Analisis dimensional (analisa tak berdimensi) 4. Kaidah ibu jari (rule of thumb) 5. Metode trial and error Kaidah ibu jari telah banyak diterapkan dalam industri fermentasi dengan patokan penggandaan skala yang berhubungan dan mengacu pada perpindahan oksigen (tekanan parsial O2 dan Po2 adalah fungsi dari KLa yang merupakan fungsi dari Pg/V). Hasil penelitian Purnawati (2006), menyatakan bahwa efisiensi penggunaan substrat berdasarkan hasil scale up skala laboratorium ke skala pilot plant berbasis Pg/V memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan peningkatan skala berbasis KLa yang menunjukkan bahwa metabolisme Bacillus thuringiensis berlangsung baik. Menurut Wang et al. (1978), apabila tenaga per volume pada berbagai skala dipertahankan tetap, maka terdapat hubungan antara kecepatan impeler (N) dengan diameter impeller (D) menurut persamaan berikut: N23D22= N13D12.
11