5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budaya Susanto et al. (2008), Kata budaya pertama kali muncul pada tahun 1872. Kata ini dikemukakan oleh Edward B Taylor yang merupakan seorang antropologis. Menurut Brown (1988), budaya adalah that complex whole which includes knowledge, belife art, morale, law, custome, and any other capabilities and habit acquired by man as a number of society. Apabila diterjemahkan budaya adalah sekumpulan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kapabilitas serta kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu. Definisi ini berkembang lebih lanjut dalam ilmu sosiologi. Bahkan dalam ilmu sosiologi yang kemudian secara luas menggunakan kata ini untuk menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi dalam sebuah kelompok masyarakat atau komunitas tertentu. 2.1.1 Budaya Organisasi Menurut Susanto et al. (2008), definisi operasional budaya organisasi adalah suatu nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam organisasi, sehingga masing-masing anggota organisasi harus menyerap nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku, pada dasarnya budaya organisasi menyuarakan satu tema sentral
yaitu sebuah pengertian bersama
diantara anggota tentang organisasi yang menjadi wadahnya dan bagaimana para anggota organisasi tersebut sebaiknya berperilaku. Budaya organisasi menurut Sobirin (2007) masih relatif baru berkembang sekitar tahun 1980-an. Konsep ini terlebih dahulu dikenal pada disiplin ilmu antropologi, sehingga keragaman pengertian budaya pada disiplin antropologi akan berpengaruh terhadap keragaman pengertian budaya pada disiplin organisasi. Secara umum konsep budaya organisasi dibagi menjadi tiga yaitu (a) School of thought ideation, bahwa budaya organisasi didefinisikan sebagai sistem makna yang diterima secara terbuka dan kolektif, yang berlaku untuk waktu tertentu bagi sekelompok orang tertentu, sehingga melihat budaya sebuah organisasi dari apa yang di share (dipahami, dijiwai dan dipraktikan bersama) anggota sebuah
6
komunitas atau masyarakat. Teori ini dianut oleh para organizatioan theorists yang menggunakan pendekatan antropologi sebagai basisnya. (b) Adaptationist school bahwa definisi budaya perusahaan adalah keyakinan dan nilai bersama yang memberikan makna bagi anggota sebuah intitusi dan menjadikan keyakinan dan nilai tersebut sebagai aturan/pedoman berperilaku di dalam organisasi. Konsep ini melihat budaya dari apa yang bisa diobservasi baik dari bangunan organisasi seperti arsitektur/tata ruang bangunan fisik sebuah organisasi maupun dari orang-orang yang terlibat didalamnya seperti pola perilaku dan cara mereka berkomunikasi. Adaptationist school melihat budaya dari kulit luar organisasi. Penganut aliran ini kebanyakan para manajer dan praktisi yang memperlakukan budaya sebagai variable internal untuk meningkatkan efektivitas organisasi. (c) Disamping kedua aliran diatas, gabungan keduanya yaitu realist school mendifinisikan bahwa budaya adalah asumsi dasar yang di shared oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pada asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi. Mereka menyadari bahwa budaya organisasi merupakan suatu yang kompleks yang tidak bisa dipahami hanya dari satu pola perilaku orang-orangnya saja tetapi juga sumber perilaku tersebut. Budaya organisasi mengacu pada sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Ada tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama, menangkap hakikat dari budaya organisasi, yaitu : 1. Inovasi dan pengambilan risiko. Sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil risiko. 2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana para karyawan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis dan perhatian terhadap detail.
7
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu. 4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu. 5. Orientasi Tim, Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasar individu. 6. Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. 7. Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan (Robbins, 2003). Budaya yang tumbuh merefleksikan visi, strategi dan pengalaman orangorang yang mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, lebih lanjut Susanto et al. (2008) menerangkan budaya yang kuat akan menjadi pengungkit bagi pedoman perilaku bagi tiap anggota organisasi. Hal ini akan membantu para anggota organisasi untuk melakukan tugasnya dengan lebih baik terutama dalam dua hal sebagai berikut: (1) Budaya organisasi yang kuat adalah sebuah sistem dari peraturan-peraturan informal yang mengemukakan tentang bagaimana sebaiknya anggota organisasi bersikap dalam kesehariannya. (2) Budaya organisasi yang kuat memungkinkan para anggota untuk merasakan dengan lebih baik tentang apa yang mereka lakukan sehingga mereka akan mempunyai motivasi yang lebih besar untuk bekerja dengan lebih giat. Seperti yang digambarkan pada Gambar 2, elemen-elemen budaya organisasi ada tiga tingkatan, yaitu: 1. Artifacts adalah sesuatu yang dimodifikasi oleh manusia tujuan dan hal-hal yang dapat langsung dilihat dari struktur sebuah organisasi tersebut. Artifacs merupakan hal yang paling mudah untuk dilihat dan ditangkap saat kita memasuki sebuah organisasi karena hal ini berhubungan erat dengan apa yang kita lihat, kita dengar, dan apa yang kita rasakan saat berada dalam sebuah lingkungan organisasi. Dengan kata lain artifacs adalah elemen budaya yang paling mudah dilihat dan mempunyai dampak yang paling cepat ditangkap secara emosional. Sobirin (2007) artefak adalah budaya yang kasat mata yang mudah diobservasi oleh seseorang atau sekelompok orang baik orang dalam maupun luar organisasi (visible dan observable), pintu masuk bagi orang luar
8
untuk memahami budaya sebuah organisasi atau dengan kata lain artefak merupakan bentuk komunikasi budaya diantara orang dalam organisasi dan antara orang dalam dengan orang-orang di luar oraganisasi. Dikatakan demikian karena diantara elemen-elemen budaya lainnya asumsi dasar dan values, artefak merupakan elemen budaya organisasi yang bersinggungan secara langsung dengan lingkungan eksternal. Itulah sebabnya bagi orang luar, jika ingin memahami budaya sebuah organisasi pertama-tama mereka lakukan adalah memahami artefaknya, dengan mengobservasi, mendeteksi atau mengamati bagian luar organisasi sehingga orang luar bisa menyimpulkan seperti apa budaya sebuah organisasi. 2. Exposed values atau nilai-nilai pendukung yang mencakup strategi, tujuan, dan filosofi dasar yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan. Nilai-nilai pendukung ini dapat dipahami jika mulai menyelami organisasi tersebut dengan tinggal lebih lama dalam organisasi. Nilai-nilai pendukung ini merupakan elemen budaya kedua ini biasanya dinyatakan secara tertulis dan menjadi acuan bagi tiap langkah yang dilakukan oleh anggota organisasi. Pernyataan tertulis ini disusun berdasarkan kesepakatan bersama dan acap kali amat dipengaruhi oleh cita-cita, tujuan, dan persepsi yang dimiliki oleh pendiri organisasi (founding father). Diterangkan oleh Sobirin (2007) bahwa esensi dari tiap konsep nilai sesungguhnya sama. Values dalam organisasi adalah : a. Sebuah konsep atau keyakinan b. Tentang tujuan akhir atau sebuah perilaku yang patut dicapai c. Bersifat transendental untuk situasi tertentu d. Pedoman untuk memilih atau mengevaluasi perilaku atau sebuah kejadian e. Tersusun sesuai dengan arti pentingnya Nilai-nilai dan kepercayaan merupakan bagian dari sub struktur kognitif dari sebuah budaya organisasi. Nilai-nilai lebih mengarah pada kode-kode moral, etika dan menjadi penentu bagi tiap organisasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan (tinjauan normatif). Misalnya budaya sebuah organisasi menyatakan bahwa kejujuran, keterbukaan dan integritas merupakan nilai-nilai yang dianut dan diaplikasikan untuk melakukan segala aktivitas organisasi. Contoh aplikasinya untuk bagian keuangan dalam organisasinya tersebut misalnya
9
adalah menyusun laporan keuangan yang transparan dan jujur dalam artian tidak melakukan penipuan tertentu demi tampilam organisasi tersebut lebih menarik minat investor tertentu (melakukan window dressing). Kepercayaan lebih mengarah pada apa yang dipikir oleh organisasi berikut seluruh anggotanya benar atau tidak benar. Organisasi memperoleh kekuatan dari nilainilai bersama bagi seluruh karyawan serta panduan bagi perilaku keseraharian mereka. Nilai-nilai organisasi dapat memiliki lingkup yang umum atau fokus yang sempit. Organisasi memperoleh kekuatan dari nilai-nilai bersama, jika karyawan mengetahui apa yang menjadi pendirian perusahaan, standar yang mereka pertahankan maka sangat mungkin meraka akan membuat keputusankeputusan yang mendukung standar-standar tersebut. Mereka akan termotivasi karena kehidupan dalam organisasi mampu memberikan makna bagi kehidupan mereka. 3. Share Tacit Assumptions atau asumsi-asumsi tersirat yang diyakini bersama. Asumsi-asumsi tersirat ini dapat kita temui melalui penulusuran terhadap sejarah organisasi yang bersangkutan. Nilai-nilai, kepercayaan, dan asumsi apa yang digunakan oleh pendiri yang dianggap sebagai hal-hal yang penting dalam membawa organisasi kegerbang kesuksesan. Hal-hal yang bersifat taken for granted (sesuatu yang telah dianggap normal atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, dengan kata lain sudah diterima apa adanya) yang dibagi bersama-sama dengan seluruh anggota oraganisasi oleh pendirinya. Dijelaskan Sobirin (2007) asumsi merupakan inti budaya organisasi, artinya budaya organasisasi dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang berlaku di organisasi tersebut. Pemahaman dan perhatian para karyawan terhadap asumsi dasar diibaratkan seperti orang yang bangun tidur yang tidak perlu lagi memikirkan bagaimana cara ia harus bernapas atau bahasa apa yang akan ia gunakan pada hari itu dan diibaratkan seperti ikan dalam air. Menurut Susanto et al. (2008) ada 5 dimensi yang perlu diperhatikan jika berbicara tentang asumsi-asumsi dasar dalam kontek budaya organisasi. 1. Humanity’s relationship to its environment, organisasi-organisasi mempunyai pendapat
yang
sangat
berbeda
tentang
pengaruh
lingkungan
bagi
organisasinya. Beberapa organisasi beranggapan bahwa mereka mampu
10
mengubah lingkungan sekitarnya, beberapa yang lain
menyatakan mereka
harus harmonis dengan lingkungannya seringkali dengan menemukan relung yang tepat. Pada organisasi yang merasa mampu merubah lingkungan bisnis yang ditekuninya. 2. The nature of reality and truth, ada banyak cara untuk memandang kebenaran (truth) dan mencapai sebuah keputusan dalam organisasi. Dalam beberapa organisasi kepercayaaan diputuskan sebagai dogma murni yang didasarkan pada tradisi atau kebijaksanaan yang ditunjukkan oleh para pemimpin yang terpercaya dalam organisasi. 3. The nature of human nature, menurut konsep tipe manuasia dalam kelompok yang dikemukakan oleh McGregor, ada dua tipe manusia dalam organisasi. Yaitu manusia tipe X dan manusia tipe Y. Manuasia dengan tipe X lebih cenderung pemalas dalam artian kurang mempunyai motivasi diri. Sedangkan manusia dengan tipe Y biasanya lebih memiliki motivasi diri yang tinggi. Motivasi diri inipun berbeda-beda latar belakangnya, ada yang karena faktor finansial (kebutuhan akan uang/materi), social approval (ingin terkenal) atau bahkan aktualisasi diri. 4. The nature of human activity, dalam dunia barat dikenal prinsip sebagai berikut: seseorang dalam sebuah organisasi akan mampu menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya dengan menjadi orang yang proaktive achiver Dalam dunia timur, biasanya hal ini lebih halus dalam artian seseorang ditekankan untuk menyelaraskan dan menjaga hubungan baik yang sudah terbina dengan orang lain. Norma kekeluargaan masih dipegang erat dan teguh. 5. The nature of human relationships, oraganisasi berbeda satu sama yang lain dalam hal pandangan mereka, bagaimana tiap orang berinteraksi satu sama lainnya. Misalnya sebuah organisasi menganggap bahwa kerja individu lebih baik dari pada kerja tim, hal ini akan tercermin dari cara kerja dari anggota organisasi yang merupakan representasi langsung dari budaya yang dianut oleh organisasi tersebut.
11
Artifacs
Struktur dan Proses Organisasi yang tampak
Exposed Value
Strategi, tujuan dan Filosofi Dasar Organisasi
Basic Underfying Assumptionss
Nilai-nilai, Persepsi, Pemikiran dan Perasaan yang bersifat Taken for Granted
Gambar 2. Elemen Dasar Budaya Organisasi Versi Schein (Susanto et al. 2008) Keterkaitan antar elemen budaya organisasi, seperti yang digambarkan Schein dianggap sebagai keterkaitan antar elemen budaya yang bersifat statis. Mary jo Hatch selanjutnya mengembangkan konsep keterkaitan elemen budaya yang lebih dinamis seperti gambar berikut:
Gambar 3. Hubungan dinamis antar elemen Budaya Versi Mary Jo Hatch ( Sobirin, 2007) Mary Jo Hatch dalam Sobirin (2007) mengatakan bahwa hubungan antar elemen budaya organisasi bersifat dinamis melalui sebuah proses yang bersifat timbal balik mulai dari proses manifestasi, realisasi, simbolisasi dan interpretasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nilai-nilai organisasi merupakan manifestasi dari asumsi
12
dasar, proses ini terus berjalan menuju titik berkeseimbangan antara stabilitas dan perubahan elemen budaya organisasi Budaya dan kinerja organisasi adalah dua hal yang saling terkaitan. Kotter dan Heskett dalam Susanto et al.(2008) mengklasifikasinya kedalam tiga kategori yaitu: (1) Budaya yang kuat (strong culture), (2) Budaya yang adaptif (adaptive culture), (3) Budaya berkinerja rendah (low-performance culture). Budaya yang kuat diasosiasikan dengan kinerja yang unggul. Dalam sebuah perusahaan dengan budaya yang kuat hampir seluruh manajer memiliki seperangkat nilai-nilai dan metode yang relative konsisten dalam menjalankan aktivitas bisnis. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai baru ini dengan sangat cepat. Dalam budaya ini, seorang eksekutif kemungkinan besar akan memperoleh koreksi baik dari bawahan maupun atasan apabila ia melanggar norma-norma yang berlaku. Pihak dari luar sering melihat perusahaan dengan budaya yang kuat ini memiliki gaya tersendiri. Perusahaan dengan budaya yang kuat ini sering menjadikan nilai-nilai yang mereka miliki dikenal melalui pernyataan misinya, serta secara serius mendorong seluruh manajer yang ada untuk mengikuti pernyataan misi tersebut. Lebih jauh lagi karena telah mengakar dengan dalam, nilai-nilai dan gaya perusahaan dengan budaya yang kuat cendurung tidak berubah terlalu banyak walaupun pada saat terpilihnya Chief Executive Officer (CEO) baru. Dasar yang menjadikan kuatnya suatu budaya berkaitan dengan kinerja didasarkan kepada tiga ide yaitu Pertama berkaitan dengan keselarasan tujuan (goal alignment). Disamping itu, budaya yang kuat juga menciptakan tingkat motivasi yang luar biasa. Nilai-nilai bersama serta perilaku yang disepakati dapat membuat orang merasa nyaman untuk bekerja dalam sebuah perusahaan, yang selanjutnya akan meningkatkan komitmen serta loyalitas karyawan sehingga mereka akan bekerja keras menghasilkan yang terbaik. Budaya yang kuat juga membantu meningkatkan kinerja karena tersedianya struktur dan sistem pengendalian tanpa harus bergantung kepada birokrasi formal yang dapat menurunkan tingkat motivasi dan inovasi. Hal ini terlihat pada Gambar 3 mengenai perbedaan budaya perusahaan yang adaptif dengan yang tidak adaptif. Budaya perusahaan yang adaptif akan memiliki karyawan yang lebih loyal kepada perusahaan, sedangkan perusahaan yang memiliki budaya yang tidak adaptif,
13
loyalitas karyawan kepada perusahaan cenderung rendah dikarenakan para manajer hanya perduli dengan dirinya sendiri. Faktor
Budaya perusahaan adaptif
Budaya Peusahaan tidak adaptif
NILAI INTI
Kebanyakan manajer memiliki kepedulian yang mendalam terhadap kepuasan pelanggan, pemegang saham dan karyawan mereka. Mereka sangat menghargai orangorang atau proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat
Kebanyakan para manajer hanya peduli kepada dirinya sendiri, kelompok kerja yang berdekatan atau beberapa produk yang diasosiasikan dengan kelompok mereka sendiri. Mereka menghargai dan manajemen pengurangan resiko
PERILAKU UMUM
Manajemen memberikan perhatian yang lebih dekat terhadap seluruh konstituen nya, terutama pelanggan serta mengambil inisiatif perubahan pada saat diperlu kan walaupun harus meng ambil resiko
Manajemen cenderung ber pikir sempit, politis dan birokratis. Akibatnya mereka tidak mengubah strategi mereka dengan cepat guna mengambil manfaat dari perubahan lingkungan
Gambar 4 Perbandingan Budaya Adaptif dan non-adaptif (Susanto et al. 2008) 2.1.2 Budaya Perusahaan Robbins (2003) mendefinisikan bahwa: Budaya perusahaan adalah suatu sistem nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh orang dalam organisasi. Selain dipahami seluruh jajaran meyakini sistem-sistem nilai tersebut sebagai landasan gerak organisasi. Sedangkan Moeljono (2005), menjelaskan budaya perusahaan merupakan sisi dalam atau sisi nilai dari pengelolaan korporasi atau menjadi bagian hulu dari Good Corporate Governance dengan muatannya yang fokus pada basic value dari pengelolaan korporasi yang kemudian ditentukan melalui system. Corporate Governance memberikan perhatian pada bentuk fisik dan perilaku dari suatu perusahaan. Bentuk ini dapat dikembangkan melalui peningkatan kemampuan (skill) dan peningkatan pengetahuan (knowledge). Sementara itu, budaya perusahaan memberikan konsentrasi pada bentuk sikap. Bentuk sikap ini merupakan kepribadian dari individu-individu dalam perusahaan, sehingga kumpulan sikap dan interaksi kepribadian antar individu dalam perusahaan akan memunculkan karaktek perusahaan dalam dirinya. Tanpa itu perusahaan ibarat sebuah wadah tanpa nyawa. Perusahaan-perusahaan yang besar,
14
kuat dan hidup beratus tahun sambil tetap menjadi idola dan pujaan adalah perusahaan-perusahaan yang kompeten yang menggerakkan seluruh bagian tubuhnya atas perintah dari dalam tubuhnya, penggerak itu adalah budaya perusahaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya perusahaan merupakan inti dari Good Corporate Governance. Moeljono (2005) menyatakan bahwa budaya perusahaan menjadi inti dari empat konteks, yaitu Good Corporate Governance, Manajemen, Corporate Social Responsibilities dan Etika Bisnis. Dikemukakan demikian, karena perusahaan yang unggul dan terpuji biasanya memiliki ciri empat keunggulan tersebut. Pertama manajemennya unggul sehingga perusahaan dapat mengkreasikan kinerja yang tinggi dan laba usaha yang optimal. Kedua, proses manajemen yang unggul dijaga oleh praktek Good Corporate Governance yang terdiri atas lima aspek pokok, yakni transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan keadilan. Good Corporate Governace merupakan prasyarat kualitas pengelolaan korporasi
yang diisyaratkan
dalam
persaingan
global.
Korporasi
yang
melaksanakan Good Corporate Governance memperoleh akseptansi yang lebih tinggi. Korporasi yang menjunjung tinggi tanggung jawab sosial akan memperoleh citra kelembagaan yang positif. Praktek ini sebenarnya digerakan oleh nilai perusahaan yang mengatakan bahwa tanggung jawab sosial bukanlah tugas, melainkan “bagian dari kehidupan korporasi”. Akhirnya korporasi yang berbisnis dengan melandaskan diri pada etika adalah korporasi yang mempunyai akseptansi yang tinggi, baik dalam lingkungan bisnis, sosial maupun politik. Dharma, S (2004) mengemukakan sepuluh karakteristik budaya perusahaan sebagai berikut: 1. Identitas Anggota; derajat dimana pekerjaan lebih mengindentifikasi organisasi secara menyeluruh daripada dengan tipe pekerjaan atau bidang keahlian profesionalnya. 2. Penekanan kelompok; derajat dimana aktivitas tugas lebih diorganisir untuk seluruh kelompok dari pada individu. 3. Fokus orang; derajat dimana keputusan manajemen memperhatikan dampak luaran yang dihasilkan terhadap pekerjaan dalam organisasi.
15
4. Penyatuan unit; derajat dimana unit-unit dalam organisasi didorong agar berfungsi dengan cara yang terorganisasi atau bebas. 5. Pengendalian; derajat dimana peraturan, regulasi dan pengendalian langsung digunakan untuk mengawasi dan pengendalian perilaku pekerja. 6. Toleransi resiko; derajat dimana pekerja didorong untuk agresif, kreatif, inovatif dan mau mengambil resiko. 7. Kriteria ganjaran; derajat dimana ganjaran seperti peningkatan pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja pekerja daripada senioritas, favoritisme atau faktor non pekerja lainnya. 8. Toleransi konflik; Derajat dimana pekerja didorong dan diarahkan untuk menunjukkan konflik dan kritik secara terbuka. 9. Orientasi sarana-tujuan; derajat dimana manajemen lebih terfokus pada hasil atau luaran dari teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai luaran tersebut. 10.Fokus pada sistem terbuka; derajat dimana organisasi memonitor dan merespon perubahan dalam lingkungan eksternal. 2.1.3 Faktor-faktor Pembentukan Budaya Perusahaan Menurut Krisdarto dalam Intanghina (2008) faktor-faktor yang membentuk budaya perusahaan: 1. Observed behavioral regularities when people interact yaitu bahasa yang digunakan dalam organisasi, kebiasaan dan tradisi yang ada dan ritual para karyawan dalam menghadapi berbagai macam situasi. 2. Group Norms yaitu nilai dan standar baku dalam organisasi. 3. Exposed Values yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasi yang ingin dicapai, misalnya kualitas produk, dan sebagainya. 4. Formal Philosophy yaitu kebijakan dan prinsip ideologis yang mengarahkan perilaku organisasi terhadap karyawan, pelanggan dan pemegang saham. 5. Rules of the Game yaitu aturan-aturan dalam perusahaan (the ropes), hal-hal apa saja yang harus dipelajari oleh karyawan baru agar dapat diterima di organisasi tersebut.
16
6. Climate yaitu perasaan yang secara eksplisit dapat terasa dari keadaan fisik organisasi dan interaksi antar karyawan, interaksi atasan dengan bawahan, juga interaksi dengan pelanggan atau organisasi lain. 7. Embedded Skills
yaitu kompetensi khusus dari anggota organisasi dalam
menyelesaikan tugasnya dan kemampuan menyalurkan keahliannya dari satu generasi ke generasi lainnya. 8. Habits of thinking, mental models, and/or linguistec paradims yaitu adanya suatu kesamaan
frame yang mengarahkan pada persepsi (untuk dapat
mengurangi adanya perbedaan persepsi), pikiran dan bahasa yang digunakan oleh para karyawan dan diajarkan pada karyawan baru pada awal proses sosialisasi. 9. Shared Meanings yaitu rasa saling pengertian yang diciptakan sendiri oleh karyawan dari interaksi sehari-hari. 10.Root Metaphors or Integrating Symbols yaitu ide-ide, perasaan dan citra organisasi yang dikembangkan sebagai karakteristik organisasi yang secara sadar ataupun tidak sadar tercermin dari bangunan, lay out ruang kerja dan materi artifacts lainnya. Hal ini merefleksikan respon emosional dan estetika anggota organisasi, disamping kemampuan kognitif atau kemampuan evaluatif anggota organisasi. 2.2. Etika Bisnis Keraf (1998) mendifinisikan pengertian etika sama dengan moralitas. Moralitas berasal dari kata Latin Mos, yang bentuk jamaknya (mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi pengertian harfiahnya etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai tentang manusia hidup baik sebagai manusia yang telah diinkonsitusionalkan dalam sebuah alat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek (tetap) dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan. Agoes (2009), Utilitarisme sebagai teori etika dipelopori oleh David hume (1711-1776), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jeremy Bentham (17481832) dan John Stuart Mill (1806-1873), Bentham sebagai pendukung utama paham ini mengatakan bahwa moralitas tidak lain adalah sesuatu upaya untuk sedapat mungkin memperoleh kebahagiaan di dunia ini. Ia menolak paham bahwa
17
moralitas berhubungan dengan tindakan yang menyenangkan Tuhan atau soal kesetiaan pada aturan-aturan abstrak. Ia mengatakan bahwa setiap kali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan di antara alternatif yang ada, kita harus mengambil satu pilihan yang mempunyai konsekuensi yang secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya (Rachels, 2004). Berdasar uraian di atas tersebut utilitarisme dapat sebagai berikut: 1. Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan, atau hasilnya). 2. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan. 3. Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Teori utilitarianisme mendapat dukungan luas karena mengaitkan moralitas dengan kepentingan orang banyak dan kelestarian alam. Teori ini juga memperoleh
pijakannya dalam
ilmu
ekonomi
dan
manajemen
dengan
diperkenalkannya konsep cost and benefit dan paham stakeholders (Agoes, 2009). Beberapa kritikan yang dilontarkan terhadap paham ini antara lain: 1. Sebagai
paham
egoisme,
Utilitarianisme
juga
hanya
menekankan
tujuan/manfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan menghabiskan aspek ruhani (spiritual). 2. Utilitarianisme
mengorbankan
prinsip-prinsip
keadilan
dan
hak
individu/minoritas demi keuntungan sebagian besar orang (mayoritas). Contoh kasus dalam pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol. Demi alasan untuk kepentingan sebagian besar masyarakat, pemerintah atau pengelola jalan tol dapat saja memberikan ganti rugi paksa (dengan harga dibawah harga pasar). Kepada para pemilik tanah yang terkena jalur tol tersebut. Demi kepentingan yang lebih besar seiring demi kepentingan nasional, pemerintah dibenarkan melanggar rasa keadilan atau mengorbankan hak individu pemilik tanah yang tanahnya digusur untuk pembangunan jalan tol tersebut. Agoes (2009) menjelaskan bahwa bisnis sebagai suatu lembaga atau wadah di mana di dalamnya bekumpul banyak orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian untuk bekerjasama dalam menjalankan aktivitas produktif dalam rangka memberikan manfaat ekonomi (pendapatan/keuntungan)
18
bagi semua pelaku bisnis yang berkepentingan (stakeholders). Namun bila dimaksudkan adalah pengertian profesi dalam arti yang lebih terbatas/khusus, maka akan muncul perdebatan apakah bisnis dapat dianggap sebagai suatu profesi atau tidak. Dalam kontek ini diperlukan minimal tiga kaidah agar suatu pekerjaan dapat disebut sebagai profesi, yaitu pengetahuan/ilmu, ketrampilan dan komitmen moral (etika). Keraf (1998), ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis: 1. Etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Etika bisnis berfungsi menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik dan etis demi nilai-nilai luhur tertentu (kejujuran, tanggung jawab, pelayanan, hak dan kepentingan orang lain dan seterusnya) dan demi kepentingan bisnisnya sendiri. 2. Menyadarkan
masyarakat,
khususnya
konsumen,
buruh/karyawan
dan
masyarakat luas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapapun. 3. Etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis lebih bersifat makro, atau lebih tepat disebut etika ekonomi. Dalam lingkup makro, etika bisnis berbicara mengenai monopoli, oligopoli, kolusi, dan praktek semacamnya yang sangat mempengaruhi sehat tidaknya suatu ekonomi melainkan baik tidaknya praktek bisnis dalam sebuah negara. Prinsip-prinsip etika bisnis menurut Caux Round Table (pertemuan para eksekutif perusahaan puncak bisnis multinasional dari Amerika, Eropa dan Jepang) dalam Agoes (2009),sebagai berikut: 1 Prinsip pertama menyiratkan bahwa perlu ada perubahan paradigma tentang tujuan perusahaan dan fungsi eksekutif perusahaan dilihat dari teori keagenan (agency theory). Tujuan perusahaan menurut prinsip ini adalah menghasilkan barang dan jasa untuk menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara luas (stakeholders), bukan hanya terbatas untuk kepentingan shareholder para pemegang saham (pemilik perusahaan), dengan demikian para eksekutif puncak
perusahaan
menurut
paradigma
baru
adalah
mewakili
dan
19
memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan (stakeholder). Menurut teori keagenan (paradigma lama), para eksekutif puncak perusahaan diangkat oleh pemegang saham sehingga para eksekutif ini hanya bekerja untuk kepentingan para pemegang saham saja. Jadi orientasinya adalah menciptakan keuntungan dan kekayaan bagi para pemegang saham. 2 Prinsip kedua menyiratkan bahwa kegiatan bisnis tidak semata mencari keuntungan ekonomis, tetapi juga mempunyai dimensi sosial dan perlunya menegakkan keadilan dalam setiap praktik bisnis mereka. Disamping itu prinsip ini juga menyiratkan bahwa kegiatan bisnis kedepan harus selalu didasarkan atas inovasi dan keadilan. Semua pihak harus menciptakan suatu iklim dan kesadaran agar aktivitas bisnis dapat bebas bergerak secara global melampaui batas-batas suatu negara menuju satu kesatuan masyarakat ekonomi dunia. 3 Prinsip ketiga menekankan pentingnya membangun sikap kebersamaan dan sikap saling percaya. Sikap ini hanya dapat dikembangkan bila para pelaku bisnis mempunyai integritas dan kepedulian sosial. 4 Prinsip keempat menyiratkan perlunya dikembangkan perangkat hukum dan aturan yang berlaku secara multilateral dan diharapkan semua pihak dapat tunduk dan menghormati hukum/aturan multiralteal tersebut. 5 Prinsip kelima merupakan prinsip yang memperkuat prinsip kedua agar semua pihak mendukung perdagangan global dalam mewujudkan satu kesatuan ekonomi dunia. 6 Prinsip keenam meminta kesadaran semua pelaku bisnis akan pentingnya bersama sama menjaga lingkungan bumi dan alam dari berbagai tindakan yang dapat memboroskan sumber daya alam atau mencemarkan dan merusak dlingkungan hidup. 7 Prinsip ketujuh mewajibkan semua pelaku bisnis untuk mencegah tindakan tindakan tidak etis, seperti penyuapan, pencucian uang, korupsi dan praktikpraktik tidak etis lainnya. Komite Pemberantasan Korupsi (KPK), menjelaskan bahwa Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan (stakeholders). Penerapan nilai-
20
nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku. Prinsip dasar untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) yang dapat menjadi acuan bagi organisasi perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. Prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah: (1) Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya. (2) Merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organisasi perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan. (3) Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami. 2.3. Good Corporate Governance (GCG) Agoes (2009) menyebutkan beberapa definisi dari GCG yang dapat dijadikan acuan adalah sebagai berikut : 1. Cadbury Committee of Kingdom A set of rules that define the relationship between shareholder, managers, creditor, the government, employee, and other internal and external stakeholder in respect to their right and responsibilities, or the system by wich companies are directed and controlled yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan ekternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lainnya suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. 2. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2006) tidak membuat definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of
21
Kingdom, yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham,
pengurus
(pengelola)
perusahaan,
pihak
kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan ekternal lainnya yang berkaitan dengak hak-hak dan kewajian mereka; atau dengan kata lainnya suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. 3. GCG adalah tata kelola perusahaan yang baik dengan suatu sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya dan penilaian kinerjanya. 4. Organization for Economic Coorporation and Development–OECD (Tjager dkk, 2004), mendifinisikan GCG sebagai: ”The structure through which shareholders, directors, managers, set of the board objectives of the company, the means of attaning those objectives and monitoring performance yaitu suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja. 2.3.1 Sistem Penilaian Pelaksanaan Good Corporate Governance Penilaian terhadap pelaksanaan good corporate governance di Indonesia dilakukan oleh lembaga independen yaitu: Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). Penilaian dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dijawab oleh pihak manajemen perusahaan. Aspek yang dinilai meliputi Hak-hak Pemegang Saham, Kebijakan Corporate Governance, Praktek-praktek Corporate Governance, Pengungkapan, dan Fungsi Audit. Penentuan skor pelaksanaan dilakukan melalui metode rata-rata tertimbang, dengan bobot masing-masing aspek sebagai berikut: 1. Hak-hak pemegang saham (20%) 2. Kebijakan Corporate Governance (15%) 3. Praktek-praktek Corporate Governance (30%) 4. Pengungkapan (Disclosure) (20%) 5. Fungsi Audit (15%)
22
Gambar 5 Corporate Governance dalam perspektif (Agoes, 2008) 2.3.2 Prinsip dasar Good Corporate Governance Arafat (2007) menjelaskan bahwa Organization for Economic Coorporation and
Development
(OECD)
memberlakukan
prinsip-prinsip
GCG
untuk
menciptakan lingkungan kondusif terhadap perlindungan sektor usaha yang efisien berkisinambungan mencakup 5 bidang, yaitu: 1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham. Kerangka yang dibangun dalam GCG harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi hak dasar pemegang saham yaitu untuk (a) menjamin keamanan
metode
pendaftaran
kepemilikan,
(b)
mengalihkan
atau
memindahkan saham yang dimilikinya, (c) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, (d) ikut berperan dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), (e) memilih
23
anggota dewan komisaris dan direksi, (f) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan. 2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham. Kerangka GCG harus menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliki kesempatan mendapatkan penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam satu kelas, melarang praktik-praktik insider trading dan self dealing dan mengharuskan anggota dewan komisaris melakukan keterbukaan jika menemukan transaksitransaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest). 3. Pengaruh stakeholders yang terkait dengan perusahaan. Kerangka GCG harus memberikan
pengakuan
terhadap
dintentukan
undang-undang
dan
hak-hak
stakeholders,
mendorong
kerjasama
seperti
yang
aktif
antara
perusahaaan dengan stakeholders dalam rangka menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja dan kesinambungan usaha. 4. Keterbukaan
dan
Transparansi.
Kerangka
GCG
menjamin
adanya
pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan ini meliputi informasi mengenai keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Disamping itu informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit dan disajikan sesuai dengan format standar yang berkualitas tinggi. Manajemen diharuskan meminta auditor ekternal melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan. 5. Akuntabilitas dewan komisaris. Kerangka GCG harus menjamin adanya pedoman strategi perusahaan, pemantauan efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. Prinsip ini juga memuat kewenangankewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris beserta kewajiban profesionalnya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.
24
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asas Good Corporate Governance, setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu: 1. Transparansi (Transparency), untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2. Akuntabilitas (Accountability), perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Perusahaan dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 3. Responsibilitas (Responsibility), perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4. Independensi (Independency), untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness), dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran 2.3.3 Manfaat Good Corporate Governance Arafat (2008), GCG memiliki arti penting dalam menjalankan suatu organisasi bisnis. Berbagai sumber menyebutkan bahwa terdapat sejumlah manfaat yang sangat besar ketika prinsip-prinsip GCG diterapkan dengan baik
25
didalam suatu perekonomian. Manfaat penerapan implementasi GCG pada dasarnya dikelompokkan menjadi empat manfaat besar, yaitu: 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. Perusahaan yang berhasil menerapkan GCG, maka akan terciptalah citra sebagai sebuah perusahaan yang berhasil, yaitu meningkatkan trust dan dalam rangka mewujudkan sustainable company. 2. Meningkatkan corporate value sebagaimana yang diungkapkan oleh Tjager et. al. (2003) bahwa secara teoritik, praktik GCG dapat meningkatkan nilai (valuation) perusahaan dengan meningkatkan kinerja keuangan mereka, mengurangi resiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusankeputusan yang menguntungkan diri sendiri. 3. Meningkatkan kepercayaan investor. Sebagaimana diungkapkan oleh Newell dan Wilson (2002) pada intinya bahwa praktik GCG yang dijalankan dengan baik dapat meningkatkan kepercayaan investor dan sebaliknya penerapan GCG yang buruk akan menurunkan tingkat kepercayaan mereka. 4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen dengan tujuan akhir yaitu tercapainya stakeholder satisfaction yang meliputi task satisfaction dan employee satisfaction. Good Corporate Governance
Good End Result: Stakeholders Satisfaction
Gambar 6 Hubungan GCG dan Good End Result Syakharoza (Arafat, 2008) Pendapat senada disampaikan oleh Agoes (2009), bahwa penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan para investor dan institusi terkait di pasar modal. Tujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil praktek manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk (2003), mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:
26
1. Berdasarkan yang telah dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukkan bahwa para investor internasional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG. 2. Berdasarkan berbagai analisa ternyata ada indikasi terkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan. 3. Internasionalisasi pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG. 4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebioh sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah. 5. Secara teoritis, praktek GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan. 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu Widuri (2008) melakukan penelitian yang berjudul Analisa Hubungan Pengaruh Budaya Perusahaan Terhadap Penerapan Good Corporate Governance pada PT Aneka Tambang Tbk. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif, teknik data yang digunakan adalah uji validitas, reliabilitas, normalitas dengan menggunakan Liliefors, homogenitas dengan menggunakan Bartlett, dan regresi. Identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Seberapa besar pengaruh budaya perusahaan terhadap pelaksanaan Good Corporate Governance pada PT Aneka Tambang Tbk. 2. Bagaimana manfaat yang didapat PT Aneka Tambang Tbk dengan pelaksanaan Good Corporate Governance. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa 8,05 % dari responden merasa tidak setuju pada penerapan budaya perusahaan, 28,73 % dari responden merasa kurang setuju pada penerapan budaya perusahaan, 64,22 % dari responden merasa setuju pada penerapan budaya perusahaan. Kurniati (2008) meneliti mengenai Analisa Pengaruh Pelaksanaan Good Corporate Governance terhadap kualitas Pelayanan Pemberian Kredit (Studi Kasus: PT Bank Lampung, Lampung), penelitiannya menggunakan Model Persamaan Struktural bertujuan untuk (1) Menganalisis pelaksanaan Good Corporate Governance
(2) Menganalisa kualitas pelayanan pemberian kredit
27
pada PT Bank Lampung dan (3) Menganalisis pengaruh pelaksanaan Good Corporate Governance terhadap kualitas pelayanan pemberian kredit pada PT Bank Lampung. Analisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software LISREL versi 8.30 dan Important Performance Analysis dengan SPSS 13.0. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan GCG di PT Bank Lampung sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan rataan seluruh kinerja dari indicator-indikator GCG yaitu sebesar 3,314. Variable accauntability, fairness dan social awareness memiliki kinerja pada katagori baik. Kualitas pelayanan pemberian kredit pada PT Bank Lampung sudah cukup baik. Total seluruh skor rataan seluruh kinerja sebesar 3,426 meliputi variabel tangible, emphaty, responsiveness, assurance, dan reliability dikatagorikan memiliki layanan yang sudah baik. Dan berdasarkan hasil important performance analysis didapat 3 atribut yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak Bank Lampung karena tergolong ke dalam prioritas utama. Kualitas pelayanan pemberian kredit dengan variabel accountability memiliki pengaruh paling besar yaitu sebesar 55 persen, assurance sebesar 50 persen, tangible sebesar 46 persen dan emphaty sebesar 45 persen. Diah Kusuma Wardani (2008) membuat penelitian dengan judul Pengaruh Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan di Indonesia corporate governance diukur dengan CGPI (Corporate Governance Perception Indeks) berdasarkan pada pemeringkatan yang telah disusun oleh IICG (Indonesian Institute of Corporate Governance) dan Kinerja Perusahaan diukur dengan nilai Return on Equity dan Tobin’s Q. Metode statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Sampel penelitian adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan mengikuti survei yang dilakukan oleh IICG tahun 2001-2005 dan termasuk dalam pemeringkatan CGPI. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat diambil kesimpulan bahwa corporate governance mempengaruhi nilai kinerja pasar perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa semakin besar nilai pasar asset maka semakin besar pula kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut, sehingga perusahaan tersebut memiliki brand image perusahaan yang sangat kuat karena implementasi GCG berhubungan dengan
28
peningkatan citra perusahaan. Perusahaan yang mempraktikkan GCG, akan mengalami perbaikan citra, dan peningkatan nilai perusahaan. Namun, corporate governance tidak mempengaruhi secara langsung kinerja perasional perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa masih rendahnya kesadaran emiten dalam menerapkan GCG. Manajemen Perusahaan belum tertarik manfaat jangka panjang penerapan GCG, sehingga mereka merasa dapat berjalan tanpa GCG.