II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Peranan Investasi Dalam Pembangunan Kesejahteraan
masyarakat
tidak
terlepas
Aktivitas ekonomi akan menghasilkan nilai
dari
kegiatan
ekonomi.
tambah ekonomi maupun nilai
tambah masyarakat. Nilai tambah tersebut antara lain berupa timbulnya barang dan jasa, kesempatan kerja, dan pemanfaatan aset/faktor produksi yang menganggur. Kesejahteraan masyarakat suatu bangsa secara umum tergambar oleh Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan oleh negara tersebut. Semakin tinggi PDB, semakin sejahtera masyarakatnya. Dengan demikian, maka tingkat kesejahteraan masyarakat berkaitan erat dengan perkembangan investasi, yaitu berupa penciptaan nilai tambah (value added) oleh kegiatan investasi tersebut Oleh karena itu, maka tingginya aktivitas ekonomi suatu daerah, makin tinggi pula kesejahteraan masyarakatnya dan sebaliknya. Setiap aktivitas ekonomi diawali dengan aktivitas investasi, oleh karena itu pemerintah perlu proaktif untuk memanfaatkan setiap peluang investasi menjadi kenyataan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Investasi mengandung arti setiap kegiatan yang meningkatkan kemampuan ekonomi untuk memproduksi output dimasa yang akan datang. Dalam hal ini investasi tidak hanya berupa penambahan persediaan fisik modal tetapi juga menyangkut investasi sumberdaya manusia (Dornbusch. 1996). Menurut Levina dan Renelt investasi merupakan faktor yang esensial dalam proses pertumbuhan ekonomi, adanya investasi akan mendorong peningkatan modal pertenaga kerja (per kapita ). Pentingnya investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi,
khuasusnya pertumbuhan dalam jangka panjang banyak dibahas dalam studi – studi yang dilakukan oleh Paul Romer pada dekade 80–an. Dengan adanya peningkatan investasi akan mendorong inovasi yang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ini dibuktikan dalam studi – studi empirik tentang hubungan investasi dengan percepatan pertumbuhan ekonomi (Levina dan Renalt, 1992). Dari teori diatas terlihat bahwa investasi penting bagi upaya keberlanjutan pembangunan ekonomi. Indramayu sebagai Kabupaten yang sedang membangun memerlukan investasi. Baik investasi dari luar negeri (PMA) maupun dalam negeri (PMDN). Adanya arus investasi akan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui transfer modal , teknologi, manajemen dan kewirausahaan. Untuk dapat secara terus menarik minat investor berinvestasi, maka upaya – upaya perbaikan daya saing investasi harus ditingkatkan. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indramayu menurut PDRB atas dasar harga berlaku dan harga konstan tahun 2000 menunjukan terjadinya kenaikan dan penurunan yang relatif tajam bahkan terjadi laju pertumbuhan negatif. Kenaikan PDRB harga berlaku terus naik karena besarnya kontribusi sektor Migas sedangkan
menurunnya pertumbuhan
PDRB Harga konstan adalah karena
kontribusi sektor lainnya tidak berkembang sekaligus dibarengi dengan koreksi oleh inflasi yang tinggi. naik turun nya laju pertumbuhan PDRB harga
tahun
2001, 2003 dan 2005 sebagaimana dalam Tabel 1 . Tabel 1. Indikator Ekonomi Kabupaten Indramayu 2000-2006 Indikator PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Trilyun)
2000
2001
2002
2003
2004
2005* 2006** ) )
12.94 3
14.15 9
16.71 3
17.57 5
19.89 8
23.59 0
31.896
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 12.94 12.91 13.81 (Trilyun) 3 3 2 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku 9.40 18.03 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan -0.23 6.96 Inflasi PDRB Penggunaan 9.65 10.35 Sumber : BPS Kabupaten Indramayu, 2007 Ket. : *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
12.77 5
13.36 9
12.32 3
12.621
5.16
13.22
18.56
35.20
-7.51
4.65
-7.82
2.42
13.69
8.19
28.62
32.01
Selanjutnya table 2 menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indramayu saat ini sebagian besar bersumber dari peningkatan konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh konsumsi sulit dijaga keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah seperti itu tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi tidak akan mempunyai dampak kedepan pada pertumbuhan ekonomi malah memicu peningkatan inflasi.
Tabel 2. PDRB Kabupaten Indramayu 2000-2006 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Dalam Triliun Rupiah) 2000
2001
2002
2003
2004
2005* 2006** ) )
5.491
5.629
5.647
5.493
5.828
6.734
6.870
0.017
0.017
0.020
0.020
0.021
0.021
0.023
0.086
0.208
0.233
0.229
0.362
0.255
0.371
3.631 3.508 3.590 0.538 0.470 0.550 3.180 3.082 3.774 12.94 12.91 13.81 PDRB 3 3 2 Sumber : BPS Kabupaten Indramayu, 2007 Ket. : *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
3.593 0.493 2.948 12.77 5
3.638 0.563 2.958 13.36 9
3.696 0.502 1.115 12.32 3
3.702 0.511 1.144
Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Netto
12.621
Investasi swasta dirasakan semakin penting mengingat kapasitas fiskal pemerintah (pusat, propinsi, dan kabupaten/kota) yang terbatas sehingga sulit untuk selalu dijadikan sebagai sumber utama pertumbuhan. Dampak pengganda yang diciptakan dari peningkatan investasi adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan produksi, berkembangnya kegiatan perdagangan antar daerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Investasi juga mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan tenaga kerja) secara lebih mudah dan murah. Percepatan ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah.
Investasi dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat maksimal dari aktivitas tersebut (Bappenas, 2007). Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan modal, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima. Kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan/atau berinvestasi. Bagi pemerintah, meningkatnya aktivitas produksi dan perdagangan, upah dan daya beli berarti meningkatnya penerimaan pajak, yang memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Noor (2005). Mengelompokan investasi menjadi dua yaitu : (1) Investasi Langsung (Direct Investment ) dan (2)
Investasi Tidak Langsung (Indirect
Investment). Investasi langsung pada dasarnya investasi pada aset atau faktor produksi untuk melakukan usaha (bisnis), investasi jenis ini lebih terkenal sebagai investasi sektor riil, misalnya perkebunan, peternakan, pabrik, toko dan jenis usaha lainnya. Investasi langsung ini menghasilkan dampak berganda (multiplier effect) yang besar terhadap masyarakat luas. Investasi langsung ini akan melahirkan dampak ke belakang (backward) berupa input usaha maupun kedepan (forward) berupa output usaha yang merupakan input bagi usaha lain. Investasi tidak langsung adalah investasi pada asset keuangan (financial asset) seperti deposito, surat berharga
seperti pada saham dan obligasi,
commercial paper, reksadana dan sebagainya. Investasi pada aset keuangan ini
juga bertujuan untuk mendapatkan manfaat masa depan melalui balas jasa investasi berupa bunga atau keuntungan. Pada hakekatnya investasi tidak langsung merupakan turunan atau derivative dari investasi langsung sehingga laba atau jasa dari investasi finansial ini berasal dari kemampuan atau produktivitas investasi langsung. Bila investasi langsung (sektor riil) gagal mendapat laba, maka pada gilirannya investasi tidak langsung Dengan demikian
(sektor finansial) juga akan gagal.
untuk kepentingan makro, investasi sektor riil merupakan
lokomotif pada perekonomian nasional, sementara investasi sektor keuangan atau pasar finansial adalah bahan bakarnya. Noor (2005) juga mengelompokkan investasi sesuai dengan karakeristik pelaku dan sifatnya menjadi dua kelompok yaitu : (1) Investasi Publik (Public Investment), dan (2) Investasi Swasta (Private Investment). Investasi publik adalah investasi yang dilakukan oleh negara atau pemerintah untuk membangun prasarana dan sarana atau infrastruktur guna memenuhi kebutuhan masyarakat (publik). Investasi dengan karakteristik seperti ini bersifat nirlaba atau non profit motive, seperti pembangunan jalan dan jembatan, sekolah, taman, pasar rumah sakit dan sarana dan prasarana publik lainnya. Karena investasi ini dilaksanakan oleh negara, maka dana atau pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN ) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Investasi publik ini menghasilkan nilai tambah (value added) berupa barang dan jasa, lapangan pekerjaan, sewa dan bunga tanpa surplus usaha. Manfaat lain dari investasi publik ini adalah mendorong mobilitas perekonomian dan meningkatkan peradaban masyarakat suatu negara. Dengan demikian resiko
dari investasi publik ini adalah bila investasi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan publik. Investasi swasta adalah investasi yang dilaksanakan oleh swasta dengan tujuan mendapat manfaat berupa laba. Investasi jenis ini dilaksanakan oleh perusahaan pribadi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Penanaman Modal Asing (PMA). Jenis usahanya bergerak dalam bidang industri, dagang, jasa Investasi dengan motif profit ini bisa berupa investasi langsung (direct investment) seperti membangun berbagai usaha bisnis yang menghasilkan barang dan jasa guna mendapat laba, maupun investasi tidak langsung (indirect investment) seperti mendirikan lembaga keuangan untuk menghimpun dana guna disalurkan kepada sektor riil. Manfaat dari investasi jenis ini adalah menghasilkan nilai tambah (value added) berupa barang dan jasa. Adapun lapangan pekerjaannya berupa sewa, bunga serta surplus usaha sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya menurut BKPM (1994) Ada tiga aspek peranan investasi dalam pembangunan daerah yaitu
(1) aspek ekonomi makro, (2) aspek
penyediaan lapangan kerja dan (3) aspek bisnis. (1). Aspek Ekonomi Makro Dalam teori ekonomi makro, menurut Samuelson dan Nordhaus (1997), pembentukan keseimbangan pendapatan nasional dari sudut penggunaan (expenditure approach) akan terjadi karena pembentukan pengeluaran investasi, pengeluaran pemerintah dan keseimbangan neraca perdagangan melalui kegiatan ekspor dan impor. Secara matematis
keseimbangan pendapatan nasional/daerah dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = C + I + G + (X-M). Jadi pembentukan pendapatan nasional atau daerah (PDB atau PDRB) sangat dipengaruhi oleh pembentukan variabel, C, I ,G dan (X-M). Makin tinggi tingkat investasi akan berpengaruh terhadap naiknya pendapatan nasional atau daerah. Disini dapat ditarik kesimpulan bahwa investasi sangat menentukan pendapatan ekonomi (PDB/PDRB) atau sebaliknya. Untuk itu masalah investasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, namun yang lebih penting kelancaran investasi sangat ditentukan oleh dukungan yang diberikan masyarakat. Tanpa adanya dukungan yang kuat dari masyarakat proses investasi akan tersendat. Peran serta masyarakat dalam menjamin aset investor sangat penting sehingga investor merasakan kenyamanan tanpa harus dibebani dengan rasa ketakutan. (2). Aspek Penyediaan Lapangan Kerja Di samping perencanaan makro di atas, Partowidagdo (1999) mengemukaan bahwa investasi dengan sendirinya berkaitan secara langsung dengan penciptaan lapangan kerja. Dengan terbukanya lapangan kerja yang luas bagi masyarakat sehingga mengurangi angka pengangguran. (3). Aspek Bisnis Bisnis adalah suatu aktivitas usaha yang akan dikerjakan dengan menggunakan sumberdaya–sumberdaya yang ada untuk mendapatkan keuntungan. Sumberdaya-sumberdaya yang tersedia bagi pembangunan sangat terbatas, maka perlu sekali diadakan pemilihan antara berbagai
macam usaha yang paling menguntungkan (Oemar, 2003). Ditinjau dari sisi bisnis, investasi berkaitan dengan pendirian dan pengembangan usaha dari suatu perusahaan. Sumber investasi adalah dari laba yang tercipta atau pinjaman dari pihak lain. Efisiensi investasi menjadi sangat penting bagi perusahaan sehingga sebelum investasi dilakukan studi kelayakan bisnis terlebih dahulu. Noor (2005) menganalisis beberapa alasan mengapa seseorang melakukan investasi antara lain : 1. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dimasa yang akan datang. Ini merupakan hakikat hidup yang senantiasa berupaya untuk meningkatkan taraf hidupnya
dari
waktu
ke
waktu
atau
setidaknya
berusaha
untuk
mempertahankan tingkat pendapatan yang ada sekarang agar tidak berkurang di masa yang akan datang. 2. Mengurangi tekanan inflasi dengan melakukan investasi dalam pemilihan perusahaan atau objek lain, seseorang dapat menghindarkan diri agar kekayaan atau harta miliknya tidak merosot nilainya karena inflasi. 3. Dorongan untuk menghemat pajak, untuk menghemat pajak beberapa negara di dunia banyak melakukan kebijakan yang sifatnya mendorong tumbuhnya investasi dimasyarakat melalui fasilitas perpajakan yang diberikan kepada masyarakat yang melakukan investasi pada bidang usaha tertentu. Hasil keuntungan yang diperoleh dari suatu investasi
disebut return,
return dapat berupa hasil keuntungan dari realisasi investasi dan ekspektasi (expected return) yaitu keuntungan yang diharapkan dimasa datang. Tingkat return merupakan tolak ukur pertumbuhan investasi yang dilakukan sehingga para
investor selalu memperhatikan nilai dari tingkat return investor akan memegang aset yang dapat memberikan tingkat return yang tinggi. Berdasarkan sumber modalnya,
pelaku
investasi terdiri dari
(BKPM, 2007): 1.
Penanaman Modal Asing (PMA), adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanam modal asing adalah perorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing.
2.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), adalah kegaiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
2.2
Hubungan Investasi dengan Perekonomian Daerah Investasi adalah kata kunci penentu laju pertumbuhan ekonomi, karena
disamping akan mendorong kenaikan output secara signifikan juga secara otomatis akan meningkatkan permintaan input, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi dari meningkatnya pendapatan yang diterima masyarakat (Levina dan Renelt, 1992).
Menurut Soekirno (1994) investasi yang diinginkan adalah investasi yang besarnya dipengaruhi oleh pendapatan nasional atau pertambahan permintaan efektif. Dengan demikian dilihat dari penggolongan jenis investasi diatas untuk investasi yang diinginkan (induced investment) di tinjau dari sektor pemerintahan, besarnya investasi tersebut dipengaruhi oleh besarnya jumlah GNP/GDP atau perubahannya dalam skala nasional, atau besarnya GDP atau GDP/kapita pada tingkat daerah. Dalam Djoyohadikusumo (1994), Harrod-Domar menganalisa hubungan antara tingkat investasi dan tingkat pertumbuhan. Kedua ekonom ini menyimpulkan adanya hubungan ekonomi langsung antara besarnya stok modal keseluruhan (K), dengan Gross National Product (Y), yang diformulasikan sebagai rasio modal/output (capital/output Ratio). Tingkat pertumbuhan PDRB ditentukan bersama-sama oleh rasio tabungan nasional dan rasio modal/output nasional. Lebih khusus lagi dapat dikatakan tingkat pertumbuhan pendapatan regional akan secara langsung atau secara positif berhubungan erat dengan rasio tabungan. Logikanya, agar bisa tumbuh maka perekonomian harus menabung dan menginvestasikan sebagian dari PDRBnya. Lebih banyak yang dapat ditabung dan kemudian diinvestasikan, maka akan lebih cepat lagi perekonomian itu tumbuh. Kesimpulandari teori
Harrod-Domar diatas adalah bahwa terdapat
hubungan yang saling mempengaruhi antara pertumbuhan ekonomi dan investasi. pengaruh keduanya
disederhanakan dari fungsi pengeluaran agregat yang
dikembangkan oleh Keynes yaitu Y = C + I + G + (X-M). Menurut Keynes tinggi rendahnya
komponen
pengeluaran
tertentu
dengan
asumsi
komponen
pengeluaran lainnya tetap, akan menentukan tinggi rendahnya pengeluaran/ pendapatan agregat dan sebaliknya (Djoyohadikusumo, 1994). Secara umum pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan dalam kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Dengan perkataan lain pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), atau pendapatan atau output per kapita. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai pasar (total market value) dari barang-barang akhir dan jasa-jasa (final goods and service) yang dihasilkan di dalam suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai kenaikan GDP/GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Disini proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Para teoritikus ilmu ekonomi pembangunan masa kini masih terus menyempurnakan makna, hakikat, dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para teoritikus tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan PDB atau PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat imaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan, dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas. Dari definisi dapat dilihat bahwa selain pertumbuhan ekonomi diukur dengan laju pertumbuhan
GDP
maupun
GDP/kapita,
juga
dapat
diukur
dengan
membandingkan pendapatan nasional (GNP) dari tahun ketahun. Produk nasional dalam ekonomi masyarakat meliputi sejumlah jenis barang dan jasa yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, biasanya dalam satu tahun. Dengan demikian produk nasional merupakan konsep yang mencakup arus barang dan jasa (flow concept ). Biasanya tiap jenis barang dan jasa
diukur dalam arti
nilainya, yaitu memudahkan penjumlahan begitu banyak barang dan jasa yang beraneka rupa dan beraneka ragam. Untuk memperoleh besaran (magnitude) tentang produk nasional, hasil produksi setiap industri dilipatgandakan dengan harga tertentu, yaitu dengan harga pasar yang berjalan (harga riil) yaitu dengan menggunakan indeks harga konstan yang didasarkan pada harga-harga yang berlaku pada satu tahun tertentu yang diambil sebagai tahun dasar. Nilai produksi total (Produk Nasional) yang diperoleh dengan cara demikian pada hakikatnya ekuivalen dengan jumlah pendapatan yang diterima dalam masyarakat (penerimaan pemerintah, dunia usaha, rumah tangga) maupun dengan pengeluaran yang bersangkutan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikaor makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah, propinsi maupun kabupaten/kota PDRB. Secara teori dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB sehingga perubahan yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB atau sebaliknya. PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing propinsi sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut. Adanya keterbatasan
dalam penyediaan faktor-faktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah. Didalam perekonomian suatu negara, masing-masing sektor tergantung pada sektor yang lain. Satu sektor dengan yang lainnya saling memerlukan baik dalam tenaga, bahan mentah, maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah
dari hasil pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri
dibutuhkan oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa diperlukan barang lain yang disebut faktor produksi. Total nilai barang dan jasa yang diproduksi. Total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam
waktu
tertentu (satu tahun) dihitung sebagai PDRB. 2.3.
Faktor Faktor Daya Saing Daerah Daya tarik suatu wilayah untuk menjadi pilihan investor telah cukup lama
dikaji oleh para ilmuwan. Pada dasarnya pilihan lokasi investor ditentukan oleh profitabilitas relatif. Dunning (1981) telah mengekplorasi tiga elemen yang menjadi daya tarik orang untuk berinvestasi yaitu : Pertama adalah ownership advantage. Elemen ini ditentukan oleh seberapa besar akses terhadap pemanpaatan sumberdaya dan keunggulan manajemen secara relatif terhadap negara lain. Kedua adalah location advantage, elemen ini dikaitkan dengan posisi relatif terhadap pasar dibandingkan dengan negara lain, termasuk dukungan kebijakan dan besarnya resiko dalam kegiatan investasi tersebut. Dua elemn ini selanjutnya harus dikelola secara internal oleh investor tidak hanya oleh mekanisme pasar atau yang dikenal elem ketiga yaitu internality. Paradigma ini dikenal dengan sebagai OLI Dunning.
Studi empirik yang sudah dilakukan dalam kaitan dengan kajian ini dilakukan oleh Krugman dan Obsteld. peneliti ini menyatakan teori lokasi bagi perusahaan multinasional berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya dan biaya transportasi. Pergerakan modal internasional cenderung meningkat namun menghadapi kendala politis dibandingkan dengan perdagangan internasional. Investasi luar negeri yang berbasis perusahaan internasional menginginkan kemudahan birokrasi dan pengurangan hambatan-hambatan lainnya. Ciri utama investor asing atau direct foreign (FDI) adalah dalam memperluas usahanya di negara lain (Krugmen dan Obsteld, 2000) Literatur yang secara eksplisit dan spesifik melakukan studi tentang daya saing daerah, yaitu daya saing suatu wilayah di dalam suatu negara (regions atau sub-nations) lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan publikasi mengenai daya saing negara. Dua di antaranya dilakukan oleh Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (UK-DTI) yang menerbitkan "Regional Competitiveness Indicators", serta Centre for Urban and Regional Studies (CURDS), Inggris, dengan publikasinya "The Competitiveness Project: 1998 Regional Benchmarking Report". Daya saing daerah menurut definisi yang dibuat UK-DTI adalah kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional. Sementara itu CURDS mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya.
Secara umum ketika membandingkan kedua definisi daya saing daerah di atas dengan definisi daya saing nasional terdapat kesamaan yang esensial. Dapat dikatakan bahwa perbedaan konsep daya saing hanya terpusat pada cakupan wilayah, di mana yang pertama adalah daerah (bagian suatu negara), sementara yang kedua adalah negara. Dalam berbagai pembahasan tentang daya saing nasional pun, baik secara eksplisit maupun implisit terangkum relevansi pengadopsian konsep daya saing nasional ke dalam konsep daya saing daerah. Bank Dunia misalnya, secara eksplisit menyebutkan betapa aspek penentu daya saing dapat bersifat region-specific. Dari pembahasan tentang berbagai konsep dan definisi tentang daya saing suatu negara atau daerah di atas, dapat diambil satu kesimpulan bahwa mendefinisikan daya saing perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : a. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu perekonomian daripada kemampuan sektor swasta atau perusahaan. b. Pelaku ekonomi (economic agent) bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian tidak hanya pada itu saja. Hal ini diupayakan dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing.
c. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. d. Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup. Mempertimbangkan hal-hal di atas, akhirnya daya saing daerah yang menjadi acuan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai: Kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Menurut Boediono et al. (2004), indikator-indikator utama yang dianggap menentukan daya saing daerah menurut hasil kajian Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia adalah (1) Perekonomian daerah, (2) Keterbukaan, (3) Sistem keuangan, (4) Infrastruktur dan sumber daya alam, (5) Ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) Sumber daya manusia, (7) Kelembagaan (8) Governance dan Kebijakan pemerintah, dan (9) Manajemen dan ekonomi mikro. Indikator dan sub-indikator dari daya saing daerah tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1. Sistem Finansial Perbankan dan Non Perbankan
I.
PEREKONOMIAN DAERAH
Sumber: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, 2004 Gambar 1. Indikator Utama Penentu Daya Saing Daerah
1. Perekonomian Daerah Perekonomian daerah merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indikator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Nilai tambah merefleksikan produktivitas perekonomian setidaknya dalam jangka pendek.
b. Akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang. c. Kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu. d. Kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara internasional maupun domestik. 2. Keterbukaan Indikator keterbukaan merupakan ukuran seberapa jauh perekonomian suatu daerah berhubungan dengan daerah lain yang tercermin dari perdagangan daerah tersebut dengan daerah lain dalam cakupan nasional dan internasional. Indikator ini menentukan daya saing melalui prinisip-prinsip sebagai berikut : a. Keberhasilan suatu daerah dalam perdagangan internasional merefleksikan daya saing perekonomian daerah tersebut. b. Keterbukaan suatu daerah baik dalam perdagangan domestik maupun internasional meningkatkan kinerja perekonomiannya. c. Investasi internasional mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien ke seluruh penjuru dunia. d. Daya saing yang didorong oleh ekspor terkait dengan orientasi pertumbuhan perekonomian daerah. e. Mempertahankan standar hidup yang tinggi mengharuskan integrasi dengan ekonomi internasional.
3. Sistem Keuangan Indikator sistem keuangan merefleksikan kemampuan sistem finansial perbankan dan non-perbankan di daerah untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian yang memberikan nilai tambah. Sistem keuangan suatu daerah akan mempengaruhi alokasi faktor produksi yang terjadi di perekonomian daerah tersebut. Indikator sistem keuangan ini mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Sistem keuangan yang baik mutlak diperlukan dalam memfasilitasi aktivitas perekonomian daerah. b. Sektor keuangan yang efisien dan terintegrasi secara internasional mendukung daya saing daerah. 4. Infrastruktur dan Sumber Daya Alam Infrastruktur dalam hal ini merupakan indikator seberapa besar sumber daya seperti modal fisik, geografis, dan sumber daya alam dapat mendukung aktivitas perekonomian daerah yang bernilai tambah. Indikator ini mendukung daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Modal fisik berupa infrastruktur baik ketersediaan maupun kualitasnya mendukung aktivitas ekonomi daerah. b. Modal alamiah baik berupa kondisi geografis maupun kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga mendorong aktivitas perekonomian daerah. c. Teknologi informasi yang maju merupakan infrastruktur yang mendukung berjalannya aktivitas bisnis di daerah yang berdaya saing.
5.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ilmu pengetahuan dan teknologi mengukur kemampuan daerah dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi serta penerapannya dalam aktivitas ekonomi yang meningkatkan nilai tambah. Indikator ini mempengaruhi daya saing daerah melalui beberapa prinsip di bawah ini : a. Keunggulan kompetitif dapat dibangun melalui aplikasi teknologi yang sudah ada secara efisien dan inovatif. b. Investasi pada penelitian dasar dan aktivitas yang inovatif yang menciptakan pengetahuan baru sangat krusial bagi daerah ketika melalui tahapan pembangunan ekonomi yang lebih maju. c. Investasi jangka panjang berupa Research & Development akan meningkatkan daya saing sektor bisnis. 6. Sumber Daya Manusia Indikator sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini ditujukan untuk mengukur ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia. Faktor SDM ini mempengaruhi daya saing daerah berdasarkan prinsip-prinsip berikut : a. Angkatan kerja dalam jumlah besar dan berkualitas akan meningkatkan daya saing suatu daerah. b. Pelatihan dan pendidikan adalah cara yang paling baik dalam meningkatkan tenaga kerja yang berkualitas. c. Sikap dan nilai yang dianut oleh tenaga kerja juga menentukan daya saing suatu daerah. d. Kualitas hidup masyarakat suatu daerah menentukan daya saing daerah tersebut begitu juga sebaliknya.
7. Kelembagaan Kelembagaan merupakan indikator yang mengukur seberapa jauh iklim sosial, politik, hukum dan aspek keamanan mampu mempengaruhi secara positif aktivitas perekonomian di daerah. Pengaruh faktor kelembagaan terhadap daya saing daerah didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut : a. Stabilitas sosial dan politik melalui sistem demokrasi yang berfungsi dengan baik merupakan iklim yang kondusif dalam mendorong aktivitas ekonomi daerah yang berdaya saing. b. Peningkatan daya saing ekonomi suatu daerah tidak akan dapat tercapai tanpa adanya sistem hukum yang baik serta penegakan hukum yang independen. c. Aktivitas perekonomian suatu daerah tidak akan dapat berjalan secara optimal tanpa didukung oleh situasi keamanan yang kondusif.
8. Governance dan Kebijakan Pemerintah Indikator Governance dan kebijakan pemerintah dimaksudkan sebagai ukuran dari kualitas administrasi pernerintahan daerah, khususnya dalam rangka menyediakan infrastruktur fisik dan peraturan-peraturan daerah. Secara umum pengaruh faktor governance dan kebijakan pemerintah bagi daya saing daerah dapat didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Dengan tujuan menciptakan iklim persaingan yang sehat intervensi pemerintah dalam perekonomian sebaiknya diminimalkan. b. Pemerintah daerah berperan dalam menciptakan kondisi sosial yang terprediksi serta berperan pula dalam meminimalkan resiko bisnis.
c. Efektivitas
administrasi
pemerintahan
daerah
dalam
menyediakan
infrastruktur dan aturan-aturan berpengaruh terhadap daya saing ekonomi suatu daerah. d. Efektivitas pemerintah daerah dalam melakukan koordinasi dan menyediakan informasi tertentu pada sektor swasta mendukung daya saing ekonomi suatu daerah. e. Fleksibilitas pemerintah daerah dalam menyesuaikan kebijakan ekonomi merupakan faktor yang kondusif dalam mendukung peningkatan daya saing daerah. 9. Manajemen dan Ekonomi Mikro Dalam indikator manajemen dan ekonomi mikro pengukuran yang dilakukan dikaitkan dengan pertanyaan seberapa jauh
perusahaan di daerah
dikelola dengan cara yang inovatif, menguntungkan dan bertanggung-jawab. Prinsip-prinsip yang relevan terhadap daya saing daerah di antaranya adalah : a. Rasio harga/kualitas yang kompetitif dari suatu produk menceminkan kemampuan managerial perusahaan-perusahaan yang berada di suatu daerah. b. Orientasi jangka panjang manajemen perusahaan akan meningkatkan daya saing daerah di mana perusahaan tersebut berada. c. Efisiensi dalam aktivitas perekonomian ditambah dengan kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan adalah keharusan bagi perusahaan yang kompetitif. d. Kewirausahaan sangat krusial bagi aktivitas ekonomi masa-masa awal.
2.4.
Penelitian Terdahulu Kajian mengenai strategi pengembangan investasi
(Marwinto, 2006)
dengan studi kasus subsektor perkebunan Kabupaten Siak Propinsi Riau, menyimpulkan bahwa pengembangan investasi khususnya subsektor perkebunan masih
bisa ditingkatkan
dengan cara pendekatan integratif
yaitu (1)
pengembangan usaha subsektor perkebunan berdasarkan potensi daerah, (2) menjalin kerjasama yang menguntungkan
dalam penanaman modal, (3)
pelayanan satu atap perizinan investasi, (4) perluasan pangsa pasar, (5) pengembangan sektor usaha yang yang terkait dengan subsektor perkebunan, (6) kebijakan yang kondusif dalam pengembangan investasi, (7) optimalisasi peran lembaga terkait dan masyarakat, (8) peningkatan sarana dan prasarana, dan (9) kerjasama dibidang penelitian dan pengembangan. Boediono et al. (2004) melakukan kajian daya saing daerah konsep dan pengukurannya di Indonesia, menyimpulkan bahwa terdapat 9 indikator daya saing daerah yaitu (1) Perekonomian daerah, (2) Keterbukaan, (3) Sistem keuangan, (4) Infrastruktur dan sumber daya alam, (5) Ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) Sumber daya manusia, (7) Kelembagaan, (8) Governance dan kebijakan pemerintah, dan (9) Manajemen dan ekonomi mikro. Penelitian tersebut membuat peringkat daya saing seluruh propinsi di Indonesia dan dari penelitian tersebut diketahui bahwa peringkat Propinsi Jawa Barat dalam daya saing nasional menempati urutan ke-7 dari 34 Propinsi dengan keseluruhan indikator-indikator peringkat diatas rata-rata nasional yaitu indikator perekonomian daerah, keterbukaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, manajemen
dan mikro ekonomi, sementara indikator indikator sistem keuangan, pemerintahan dan kebijakan pemerintah dan kelembagaan berada dibawah rata-rata nasional. Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah 2001–2005
bekerjasama dengan
(KPPOD ) sejak tahun
Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Asia
Foundation, Universitas Indonesia, dan Prasetyamulya telah 5 kali penelitian dengan melakukan pemeringkatan daya tarik investasi di 134 kabupaten dan 22 kota dari 24 Propinsi dengan 7 indikator yaitu: (1) Keamanan, (2) Potensi Ekonomi, (3) Sumberdaya manusia, (4) Budaya daerah, (5) Infrastruktur, ( 6) Peraturan daerah, dan (7) keuangan daerah. Gambaran indikator Peringkat daya saing Indramayu yaitu tahun 2001 ke 8 tahun 2002 73 dari 134 kabupaten/kota, tahun 2003 ke 11 dari 156 kabupaten, tahun 2004 peringkat ke 4 dari 161 kabupaten, tahun 2005 peringkat ke 149 dari 169 kabupaten. Dari setiap pemeringkatan Indramayu mempunyai peringkat daya tarik investasi bidang keamanan, budaya daerah dan potensi ekonomi tetapi mempunyai peringkat rendah daya saingnya dalam indikator peraturan daerah (perda), Sumber daya manusia, infrastruktur dan keuangan daerah. Namun demikian Kabupaten Indramayu mempunyai peluang untuk meningkatkan daya saing daerahnya.
2.5
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari strategi peningkatan investasi Kabupaten
Indramayu, didasari
dengan visi dan misi Kabupaten Indramayu 2006 yang
bertujuan terciptanya pertumbuhan ekonomi yang optimal dengan memanfaatkan potenai ekonomi yang tersedia. Adapun langkah-langkah kerangka dasar strategi peningkatan investasi yaitu :
Pertama, dengan menggunakan konsep pengukuran daya saing daerah oleh Bank Indonesia (Boediono, et.al, 2004). konsep daya saing daerah diartikan sebagai kemampuan perekonomian daerah dalam meningkatkan kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional (Boediono, 2004). Dengan mengacu pada pengertian tersebut, pengukuran daya saing daerah menggunakan sembilan indikator utama, yaitu 1) perekonomian daerah, 2) keterbukaan, 3) sistem keuangan, 4) infrastruktur dan sumberdaya alam, 5) ilmu pengetahuan dan teknologi, 6) sumberdaya manusia, 7) kelembagaan, 8) governance dan kebijakan pemerintah, dan 9) manajemen dan ekonomi mikro. Sejalan
dengan semangat otonomi daerah dan
desentralisasi di
Indonesia, daerah mempunyai kewenangan mengatur perekonomian dan roda pembangunan sehingga pembuatan kebijakan pembangunan daerah tidak hanya
sekedar
mengejar
pertumbuhan
ekonomi
dengan
mengandalkan
keunggulan komparatif. Namun, harus mulai dilakukan melalui peningkatan daya saing daerah. Daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi, dan vitalis ekonomi merupakan hasil langsung dari persaingan industri lokal. Analisa faktor-faktor daya saing daerah Kabupaten Indramayu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang menjadi dasar keunggulan dan kelemahan dalam lingkungan internal berupa faktor kekuatan dan kelemahan dan lingkungan eksternal berupa peluang dan ancaman investasi di Indramayu. Adapun faktor –faktor yang berkorelasi dengan daya saing daerah adalah sebagai berikut :
1. Kondisi Faktor seperti tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, sumberdaya alam, infrastruktur khusus yang tersedia, dan hambatan-hambatan tertentu 2. Kondisi Permintaan seperti permintaan sector rumah tangga atau pelangganpelanggan lokal akan produk berkualitas yang mendorong perusahaanperusahaan untuk berinovasi 3. Dukungan Industri Terkait: industri-industri pemasok lokal yang kompetitif yang
menciptakan
infrastruktur
bisnis
dan
memacu
inovasi
dan
memungkinkan industri-industri untuk spin off 4. Strategi, Struktur, dan Persaingan Perusahaan (Iklim Usaha): tingkat persaingan antar industri local yang lebih memberikan motivasi disbanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan “budaya” lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam melakukan persaingan dan inovasi 5. Peranan Pemerintah: peristiwa histories dan campur tangan pemerintah cenderung berperan secara signifikan dalam peningkatan daya saing daerah, dan 6. Kemampuan dan sinergi dari para pelaku usaha, yaitu usahawan/pengusaha, professional, dan pekerja/buruh. Kedua, penelitian ini menggunakan analisis AWOT yang merupakan gabungan dari metode SWOT (Rangkuti, 2004) dengan AHP (Saaty, 1993). Penentuan setiap komponen SWOT diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dan
penentuan alternatif strategi pengembangan ekonomi sektor
unggulan dan sektor potensial merupakan data sekunder hasil kajian Location Quotation (LQ) dan Input Output (I-O). Analisis SWOT menyediakan frame dasar yang akan menghasilkan faktor –faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi
kondisi maka
investasi di Kabupaten Indramayu. Setelah data-data SWOT didapatkan dilakukan
analisis AHP untuk
membuat prioritas strategi alternatif
peningkatan investasi di Indramayu. Dengan demikian agar terjadinya peningkatan investasi di Kabupaten Indramayu
diperlukan
perencanaan daya saing investasi
yang didalamnya
mencakup visi, misi, strategi dasar, pelaku-pelaku investasi baik swasta maupun pemerintah dan
analisis faktor-faktor peningkatan daya saing investasi dan
prioritas strategi alternatif untuk itu maka diperlukan tahapan penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 2. Pembangunan Kabupaten Indramayu
Investasi Pemerintah
Investasi Swasta
Identifikasi
SWOT
SWOT - AHP
FGD
Daya Saing
− − −
Strategi: Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
Rancangan Program
Strategi Peningkatan Investasi
Gambar 2. Tahapan Penelitian