II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bagian ini akan dikemukakan tinjauan pustaka yang membahas issueissue yang terkait dengan topik penelitian yaitu transfer fiskal antara tingkat pemerintahan, kemiskinan, serta kaitan transfer fiskal dan pengurangan kemiskinan.
1.2. Transfer Fiskal Antar Tingkat Pemerintahan Hubungan fiskal antar berbagai tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal relations) merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam program desentralisasi fiskal. Hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers) yang terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah subnasional di banyak negara sedang berkembang, dan desain dari transfer tersebut memiliki pengaruh terhadap efisiensi dan keadilan atau pemerataan (equity) penyediaan jasa-jasa lokal dan kesehatan fiskal dari pemerintah subnasio nal. Oleh karena itu, maka desain dari transfer dianggap merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan desentralisasi fiskal (Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998). Hibah sebagai salah satu bentuk dari transfer fiskal antar tingkat pemerintahan memiliki peranan yang sangat penting, dan bahkan telah menjadi fakta kehidupan (fact of life) di dalam sistem pemerintahan multi tingkat. Hibah dapat diberikan untuk
berbagai tujuan, baik untuk tujuan efisiensi (efficiency) ataupun tujuan pemerataan (equity). Selain itu, grants juga dapat diberikan untuk mendorong jenis pengeluaran tertentu dari tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau untuk meningkatkan daya beli (purchasing power) mereka (Boadway dan Wildasin, 1988). Secara umum, terdapat beberapa argumen ekonomi (economic argument) yang mendorong pemerintah untuk melakukan transfers fiskal antar tingkat pemerintahan (Boadway dan Wildasin, 1988; Shah, 1991; Winker, 1994; Parker, 1995; Rao dan Singh, 1998; Litvack dan Seddon, 1999), Schroeder and Smoke (2002) yaitu : 1. Adanya kesenjangan fiskal (fiscal gap). Bantuan atau transfer fiskal, yang diberikan dalam hal ini ditujukan untuk mengoreksi ’fiscal gap’ tersebut yaitu ketidakseimbangan fiskal yang terjadi antara kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaannya dan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Adanya ketidakadilan fiskal (fiscal inequity). Suatu negara yang meng-anut kemerataan fiskal horizontal (horizontal fiscal equity) perlu melakukan koreksi terhadap ketidakadilan yang secara alamiah muncul di dalam suatu sistem yang desentralistik. 3. Adanya inefisiensi fiskal (fiscal inefficiency). Argumen untuk melakukan transfer didorong oleh kenyataan bahwa perbedaan serupa yang menimbulkan ketidakadilan fiskal (fiscal inequality) juga dapat menyebabkan inefisiensi fiskal (fiscal inefficiency). 4. Adanya efek luapan antardaerah (interjurisdiction spillover effect), yang biasanya terjadi karena manfaat dari barang atau jasa yang disediakan secara lokal meluap
(spillover) keluar jurisdiksi yang memberikan manfaat kepada yang tidak memberikan kontribusi pada biaya dan karena yang bukan penduduk (nonresident) datang ke lokalitas dan ikut menikmati jasa-jasa publik yang disediakan. Bantuan dalam hal ini dapat digunakan untuk mengoreksi inefisiensi yang terjadi akibat adanya spillover effect dari bantuan tersebut. 5. Untuk harmonisasi fiskal (fiscal harmonization). Sampai pada tingkat tertentu, redistribusi merupakan tujuan dari pemerintah pusat, yang berarti terdapat suatu kepentingan nasional di dalam redistribusi yang terjadi sebagai akibat dari penyediaan jasa publik oleh pemerintah subnasional. Harmonisasi pengeluaran dapat diikuti dengan penggunaan (nonmatching) ‘conditional grants’, yang menyediakan kondisi yang mencerminkan efisiensi nasional dan keadilan, dan bahwa suatu pinalti finansial adalah berkaitan dengan kegagalan untuk mencapai tujuan. 6. Untuk menjamin tercapainya standar minimum pelayanan (common minimum standard of services) antardaerah yang memungkinkan daerah-daerah miskin menyediakan tingkat pelayanan yang dapat diterima. 7. Untuk mewujudkan tujuan stabilisasi. Bantuan antar tingkat pemerintahan juga dapat digunakan untuk membantu dalam mewujudkan stabilisasi ekonomi. Hibah atau bantuan dapat ditingkatkan ketika kegiatan ekonomi menurun untuk mendorong pengeluaran lokal dan sebaliknya dikurangi pada saat kegiatan ekonomi meningkat. Bantuan model merupakan instrumen yang tepat untuk mewujudkan tujuan stabilisasi. Dalam kaitan dengan “intergovernmental grants”, Oates (1999) menyebutkan ada tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu (1) internalisasi “spillover benefits”
terhadap jurisdiksi lain; (2) pemerataan (equalization) fiskal antarjurisdiksi; dan (3) meningkatkan/ memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh. Selanjutnya, dikatakan bahwa hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama, yaitu hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah tak bersyarat (unconditional grants) [lihat juga Boadway dan Wildasin, 1988; Cullis dan Jones, 1992; Rosen, 1992; Bahl dan Linn, 1992)]. Bantuan bersyarat atau disebut juga bantuan khusus (specific grants) adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan yang dimaksud dengan bantuan yang tak bersyarat atau lebih dikenal dengan bantuan umum (general grant) atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu. Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah. Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Adapun perbedaan dari kedua jenis bantuan atau hibah tersebut, terletak pada dampak yang ditimbulkannya. Bagaimana pengaruh atau dampak dari masing- masing bantuan tersebut dijelaskan dengan menggunakan Gambar 1 dan 2. Dalam Gambar 1 dan 2 posisi pemerintah daerah sebelum ada bantuan (grant) ditunjukkan titik M dan
jumlah barang I dan J yang dikonsumsi masing- masing adalah I1 dan J1 . Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk block grant, maka
garis anggaran
(budget line) dalam gambar 1 akan bergeser dari AB menjadi CD posisi pemerintah daerah sekarang berada di titik N dan jumlah barang I dan J yang dikonsumsi menjadi I2 dan J2 . Barang J
Barang J
C
L2 L1
L1 A
A J2 J1
L2 N
J1
M
M J2
0
I1
I2
Gambar 1. Block Grant
B
D Barang I
0
N’
I1
I2 ’
B
D’ Barang I
Gambar 2. Specific Grant
Jadi konsumsi pemerintah daerah baik untuk barang I maupun barang J meningkat dan hal ini menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah daerah kini bertambah karena berada pada indifference curve yang lebih tinggi yaitu L2 dimana L2 > L1 .
Sebaliknya, apabila pemerintah pusat kini memberikan bantuan dalam
bentuk bantuan spesifik (specific grant), maka dampak yang ditimbulkan adalah berupa penurunan harga (biaya produksi barang I dan karena itu budget line bergeser dari AB ke AD’. Posisi peme rintah daerah kini berada di titik N’ dan jumlah barang I yang dikonsumsi menjadi I2 ’, yang berarti bantuan spesifik meningkatkan produksi barang I. Selain itu, bantuan spesifik juga meningkatkan kepuasan dari pemerintah
daerah karena sekarang berada di titik N’ yang terletak pada indifference curve L2 dimana L2 > L1 .
Namun demikian, dampak dari spesifik grant ini tidak dapat
diprediksi secara langsung karena hal ini sangat tergantung pada bentuk indifference curve maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut (barang I dan barang J). Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang J, tetapi income effect-nya adalah kebalikannya, yaitu cenderung meningkatkan produksi barang J tersebut. Dalam beberapa kasus seperti tampak dalam Gambar 2, efek netto yang ditimbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan secara absolut di dalam produksi J. Jadi, perbedaan diantara kedua jenis bantuan tersebut adalah bahwa block grant dampaknya terhadap produksi
atau konsumsi dapat diprediksi secara langsung,
sedangkan “specific grant” tidak dapat. Selain itu, kalau “block grant” hanya menghasilkan “income effect”, sedangkan “specific grant” selain “income effect” juga menghasilkan “substitution effect” dan “price effect” (Prud’homme, 1987). Pertanyaannya sekarang adalah jenis bantuan manakah yang lebih sesuai atau tepat ? Jawabannya adalah sangat tergantung pada tujuan pemberian bantuan itu. Artinya, kalau tujuan pemberian bantuan itu adalah untuk mendorong jenis-jenis pengeluaran tertentu oleh pemerintah penerima, maka grants atau bantuan dalam bentuk “conditional matching grant” adalah lebih tepat. Tetapi kalau tujuan dari pemberian bantuan tersebut adalah untuk “transfer of purchasing power” dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, maka jenis bantuan yang lebih tepat adalah bantuan blok atau bantuan tak bersyarat (unconditional grant) (Boadway dan Wildasin, 1988).
Pertanyaan lebih jauh menyangkut bantuan atau transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah bagaimanakah sesungguhnya dampak transfers itu terhadap keseimbangan makroekonomi suatu negara ? Dalam hubungan ini, Bird dan Fiszbein (Bird dan Vaillancourt, 1998) mengemukakan bahwa efek keseluruhan dari bantuan atau transfer sangat tidak tergantung pada jumlah transfer, tetapi pada apa yang terjadi dengan pengeluaran-pengeluaran nasional dan apa yang terjadi dengan penerimaan-penerimaan subnasional nontransfer. Kenaikan transfer menurut mereka bisa menyebabkan salah satu dari tiga kemungkinan berikut terjadi pada penerimaan pemerintah subnasional. Pertama, penerimaan mungkin menurun (kemalasan fiskal, atau “fiscal laziness” penurunan upaya fiskal, atau efek substitusi dari transfer); kedua, penerimaan tetap sama pada tingkatan sebelum adanya kenaikan transfer (flypaper effect); atau ketiga, kenaikan penerimaan transfer mungkin sungguhsungguh menaikkan penerimaan sendiri (PAD) dari pemerintah lokal (efek stimulatif bantuan). Dengan perkataan lain, reaksi lokal terhadap transfer mengisyaratkan tidak adanya perubahan skala pengeluaran dan defisit sektor pemerintah (flypaper effect), atau bahkan terdapat kenaikan pada skala pengeluaran lokal, tetapi bukan pada sisi defisit (stimulasi). Dari sisi pengeluaran nasional, jika pengeluaran nasional tidak menurun paling tidak sama dengan jumlah transfer, hasil akhirnya sudah pasti akan menaikkan skala pengeluaran sektor pemerintah, dan tentu saja skala defisitnya. Penerimaanpenerimaan nasional diasumsikan tertentu (given), dan pengeluaran-pengeluaran subnasional diasumsikan meningkat dengan jumlah yang sama dengan transfer nasional. Dalam kondisi yang demikian, maka pengeluaran total sektor pemerintah
akan meningkat karena adanya kenaikan transfer, jika pengeluaran nasional tidak turun dalam jumlah yang sama (atau mungkin juga pajak-pajak subnasional, dan juga penerimaan sendiri - yang dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran subnasional – akan turun lebih dari transfer). Dalam Tabel 1 ditunjukkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, dimana pengeluaran nasional dan penerimaan-penerimaan subnasional merupakan peubah eksogen yang penting. Tabel 1. Efek-efek Makroekonomi Kenaikan Transfer Pengeluaran pemerintah nasional (diluar transfer), Gn Pengel. Pemerintah subnasional (termasuk transfer), Gs Total pengel. sektor pemerintah, (Gs + Gs) Penerimaan sendiri subnasional, Ts Defisit subnasional termasuk transfer, (Gs – Ts) Defisit nasional di luar transfer (Gn–Tn), Tn diasumsikan konstan Total defisit sektor pemerintah (mengingat Tn konstan, variasi mengikuti Gt – Ts)
-
-
-
0
0
0
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
? -
? 0
? +
+ -
+ 0
+ +
++ -
++ 0
++ +
+
0
-
+
0
-
+
0
-
-
-
-
0
0
0
+
+
+
?
-
--
+
0
-
++
+
?
Keterangan :
+ = meningkat; 0 = tidak berubah; ++ = kenaikan yang kuat; = penurunan yang kuat; ? = tidak diketahui tergantung pada nilai relatif imbangan perubahan-perubahan. Sumber : Bird dan Fiszbein (Bird dan Vaillancourt, 1998), table 6.4.
Defisit sektor pemerintah secara umum juga akan naik dengan adanya kenaikan transfer yang tidak disertai penurunan pengeluaran nasional secara proporsional; jika tidak dapat diimbangi
dengan kenaikan pajak-pajak lokal yang cukup besar.
Singkatnya, merujuk ke semua bukti bahwa pajak-pajak lokal akan tetap stabil atau mengalami kenaikan kecil dan bukan menurun (atau meningkat banyak), maka kunci dari dampak adanya kenaikan transfer terhadap stabilitas makroekonomi terletak pada tingkah laku dari penge luaran (nontransfer) pemerintah nasional.
Penelitian tentang peranan bantuan atau transfer fiskal antar tingkat pemerintahan telah banyak dilakukan para ahli, diantaranya adalah : Pertama, adalah penelitian yang dilakukan oleh Hirawan (1993) yang mengkaji tentang dampak pemberian alokasi dana (bantuan Inpres) terhadap perkembangan perekonomian daerah. Dengan menggunakan analisis korelasi ditemukan bahwa koefisien korelasi antara Inpres baik yang bersifat blok maupun spesifik dengan peubah penduduk adalah yang paling besar dibandingkan dengan peubahpeubah luas wilayah, PDRB per kapita, dan PAD per kapita. Dengan melakukan analisis regresi juga diperoleh hasil bahwa
pengaruh penduduk terhadap Inpres
adalah nyata secara statistik. Sebaliknya, peubah PDRB per kapita, dan PAD per kapita yang pada dasarnya juga dapat mencerminkan kemampuan dan potensi daerah, tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap alokasi Inpres. Selain itu, studi tersebut juga mengungkapkan bantuan Inpres, khususnya yang bersifat blok (block grant) secara statistik berpengaruh nyata terhadap perekonomian daerah, khususnya terhadap peubah PDRB dan tenaga kerja. Kedua, adalah penelitian yang dilakukan Wuryanto (1996) yang mengkaji mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kine rja perekonomian di Indonesia dengan menggunakan pendekatan interregional CGE. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa temuan, yaitu : 1. Desentralisasi sistem fiskal yang terjadi melalui ekspansi program Inpres menghasilkan pertumbuhan ekonomi (GDP yang lebih besar dan memperkecil jumlah pinjaman luar negeri.
2. Pada tingkat nasional, besaran (magnitudes) ekspansi GDP yang berasal dari alokasi seluruh tambahan transfer blok pada program-program prasarana sosial jauh lebih besar dibandingkan yang berasal dari alokasi seluruh tambahan transfer blok tersebut pada program-program pembangunan ekonomi. 3. Pada tingkat regional, studi ini menemukan bahwa kinerja ekonomi Jawa umumnya lebih baik ketika tambahan transfer dialokasikan untuk program pembangunan prasarana sosial, tetapi sebaliknya kinerja ekonominya cenderung lebih jelek ketika tambahan transfer dialokasikan untuk jenis program pembangunan prasarana ekonomi, dan hal yang sebaliknya berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa. 4. Berkaitan dengan program Inpres, penulis menyaran-kan beberapa hal sebagai berikut : (a) program Inpres dapat diperlakukan sebagai suatu kebijakan fiskal yang penting (key fiscal policy) menuju kepada suatu sistem yang lebih desentralistik di masa- masa yang akan datang; (b) reformasi sistem fiskal yang ada menuju kepada sistem fiskal yang desentralistik secara penuh masih tetap merupakan kebijakan fiskal yang sangat penting, dan oleh karenanya perlu dilanjutkan; (c) program Inpres yang ada sekarang perlu diperbaharui dan disederhanakan; dan (d) implementasi program Inpres hendaknya berjalan dibawah suatu sistem alokasi yang terpadu yang dirancang berdasarkan atas berbagai kondisi spesifik dan kapabilitas regional yang ada. Ketiga, adalah studi Brodjonegoro, et al (2001) yang melakukan simulasi kebijakan ekonomi dimana bagi hasil sumberdaya alam (SDA) dan bantuan pusat ke daerah (DAU) digunakan sebagai peubah kebijakan (policy variables), dan sebagai
peubah target (target variables) adalah disparitas antar daerah (koefisien variasi pendapatan regional per kapita antar daerah), pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDRB), dan permintaan agregat di daerah (perubahan yang terjadi pada peubah konsumsi dan investasi, menemukan bahwa : 1. Hasil simulasi model yang memasukkan alokasi bagi hasil SDA saja sebagai peubah shock menghasilkan koefisien variasi PDRB yang meningkat dibandingkan dengan simulasi historis. Sementara itu hasil yang sebaliknya justru ditunjukkan oleh simulasi model yang memasukkan DAU saja sebagai peubah shock, dimana terjadi penurunan koefisien variasi PDRB dibandingkan simulasi historis. Dalam konteks ini, DAU sebagai bantuan yang berfungsi untuk menyeimbangkan kesenjangan fiskal antar daerah terlihat cukup efektif. 2. Penyebab dari memburuknya keseimbangan antar daerah karena bagi hasil SDA adalah persebaran SDA yang sangat tidak merata, dimana paling tidak ada 10 Provinsi yang akan mendapatkan bagian yang relatif kurang berarti, sementara itu hanya 7 Provinsi (Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Kaltim, Kalteng, Maluku dan Irian Jaya) yang mendapatkan
bagian sangat signifikan baik secara absolut
maupun relatif (terhadap PDRB). 3. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Secara umum, tingkat PDRB dengan SDA, DAU ataupun gabungan keduanya lebih besar jika dibandingkan dengan PDRB historis. (4) Dampak bagi hasil SDA dan DAU dari simulasi model secara terpisah justru menyebabkan pertumbuhan konsumsi dan investasi relatif rendah, namun pada model yang memasukkan gabungan alokasi
bagi hasil SDA dan DAU menyebabkan peningkatan yang pesat untuk konsumsi dan investasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi bagi hasil SDA dan DAU merupakan kebijakan yang saling terkait dan dampaknya terhadap perekonomian makro cukup besar. Keempat, adalah studi dari Brodjonegoro dan Martinez (2002) yang mengkaji dampak transfers (DAU) (sebagai persentase dari pengeluaran daerah) terhadap tax effort (merupakan rasio antara pajak dan retribusi dengan PDRB) dengan menggunakan beberapa peubah kontrol termasuk PDRB per kapita, baik untuk Kabupaten/ Kota maupun Provinsi masing- masing untuk tahun 2001 dan 2002. Hasil estimasi menunjukkan bahwa DAU berpengaruh nyata terhadap tax effort hanya untuk kasus Provinsi; sedangkan untuk kasus Kabupaten/Kota DAU tidak berpengaruh nyata. Sebaliknya, PDRB per kapita memiliki pengaruh nyata terhadap tax effort dan itu hanya terjadi pada kasus Kabupaten/Kota, tetapi tidak pada kasus Provinsi. Selain itu, studi ini juga mengkaji bagaimana dampak DAU terhadap ketimpangan fiskal antara daerah (koefisien variasi), dan mereka menemukan bahwa (1) ketimpangan PAD per kapita antar daerah, dimana koefisien variasi PAD per kapita Provinsi untuk tahun 2001 dan 2002 sebelum alokasi DAU adalah sebesar 1.79, setelah alokasi DAU mengalami penurunan menjadi 0.71 (2001) dan 0.64 (2002). Hal yang sama juga terjadi untuk PAD per kapita Kabupaten/Kota, dimana koefisien variasi PAD per kapita sebelum alokasi DAU pada tahun 2001 dan 2002 adalah sebesar 2.24 , setelah alokasi DAU mengalami penurunan menjadi masing- masing sebesar 0.79 (2001) dan 0.73 (2002). Jadi, jelas DAU cenderung berdampak ‘equalizing’ terhadap PAD per kapita, baik untuk Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Hal yang sebaliknya, terjadi pada bagi hasil pajak dan bagi hasil SDA, dimana keduanya memiliki dampak yang cenderung bersifat ‘disequalizing’ terhadap PAD per kapita, kecuali untuk Kabupaten/Kota pada tahun 2002 dimana koefisien variasi PAD per kapita lebih kecil setelah adanya alokasi bagi hasil pajak. Kenyataan yang agak kontradiktif berkaitan dengan peranan DAU sebagai ‘equalizing factors’ diperlihatkan oleh hasil estimasi koefisien regresi dimana justru alokasi DAU cenderung meningkat bersama-sama dengan PDRB per kapita. Hasil estimasi menunjukkan bahwa PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, kecuali pada tahun 2002 untuk kasus Provinsi. Hal ini berarti bahwa daerah yang kaya memperoleh alokasi DAU yang semakin besar pula. Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk tax effort, dimana tax effort Kabupaten/Kota justru memperlihatkan pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, yang berarti Kabupaten/ Kota yang memiliki tax effort yang tinggi akan mendapatkan alokasi DAU yang semakin besar. Hal ini akan berarti bahwa ketimpangan fiskal antardaerah akan semakin melebar. 2.1.
Kemiskinan
2.1.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks karena berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dari manusia. Dalam hubungan ini, World Bank (2000) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu masalah yang bersifat multidimensi sebagai berikut :
Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom. Walaupun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan yang dapat diterima, yang mana kesemuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Asset dalam hal ini mencakup ‘human assets, natural assets, physical assets, financial assets, dan social assets’ (World Bank, 2000). Ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and asset) bahkan telah dilihat salah satu penyebab utama dari kemiskinan tersebut. Menurut Chambers (1996), kemiskinan terutama di daerah perdesaan (rural poverty) adalah masalah ketidakberdayaan (powerlessness), keterisolasian (isolation), kerentanan (vulnerability) dan kelemahan fisik (physical weakness), dimana satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi. Namun demikian, kemiskinan menurut Chambers merupakan faktor penentu yang memiliki pengaruh paling kuat daripada yang lain- lainnya (poverty is a strongly determinant of the others). Kemiskinan menyumbang terhadap kelemahan fisik (physical weakness) melalui kekurangan pangan (lack of food), badan yang kurus, gizi yang buruk, yang menyebabkan mudah terkena infeksi (penyakit), dan ketidakmampuan untuk mem-
bayar jasa atau layanan kesehatan. Kemiskinan juga menyumbang terhadap keterisolasian (isolation) yang dikarenakan ketidakmampuan untuk membayar biaya pendidikan, membeli sebuah radio atau sepeda untuk melakukan perjalanan ke tempat kerja, atau untuk tinggal di dekat pusat desa atau jalan utama. Selain itu, kemiskinan juga menyumbang terhadap kerentanan (vulnerability) melalui ketiadaan asset (lack of assets) untuk membayar pengeluaran yang semakin besar, atau untuk memenuhi keperluan-keperluan yang bersifat darurat (contigencies); dan kemiskinan juga menyumbang terhadap ketidakberdayaan (powerlessness) yang dikarenakan ketidakcukupan kekayaan (lack of wealths) yang terjadi bersama-sama dengan rendahnya status, dimana kaum miskin tidak memiliki suara (the poor have no voice). Kelemahan fisik dari sebuah rumahtangga dapat memberikan konrtibusi terhadap kemiskinan melalui beberapa cara, salah satu diantaranya adalah melalui produktivitas yang rendah dari tenaga kerja yang lemah. Keterisolasian dalam arti ketiadaan pendidikan, keterpencilan, dan ketiadaan kontak dengan dunia luar, telah ikut melestarikan kemiskinan. Kerentanan merupakan bagian dari banyak kaitan yang ada, yang berhubungan dengan kemiskinan, kelemahan fisik, keterisolasian, dan ketidakberdayaan. Singkatnya, saling keterkaitan diantara berbagai aspek kemiskinan tersebut atau yang oleh Chambers (1996) sebut sebagai klaster ketidakberuntungan ‘the clusters of disadvantage’ telah membentuk suatu lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal (the vicious circle of poverty) atau ‘the deprivation trap’. Secara umum, kemiskinan dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu kemiskinan absolut (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty). Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana kebutuhan minimum untuk bertahan
hidup tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki seseorang atau suatu keluarga. Artinya, ketika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan miskin. Hal ini berarti diperlukan suatu tingkat pendapatan minimum yang memungkinkan seseorang atau suatu keluarga itu dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang atau keluarga tersebut dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimumnya. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau biasa disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Untuk mengukur kemiskinan ada beberapa ukuran atau indeks yang sering digunakan para ahli selama ini, diantaranya adalah : Pertama, adalah poverty headcount index (P0) yang merupakan suatu ukuran kasar dari kemiskinan karena hanya menunjuk kepada proporsi dari penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, ukuran ini hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian, lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya. Artinya, tidak ada perbedaan antra penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya diantara orang-orang miskin. Apabila ukuran ini digunakan oleh pemerintah sebagai dasar kebijakan, maka akan menghasilkan kebijakan yang bias, karena dimata pemerintah sebagai pengambil kebijakan , semua orang miskin memiliki kesamaan bobot kemiskinan. Selain itu, ukuran ini hanya menghitung jumlah kepala orang miskin (headcount), dan tidak mampu menangkap
tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri. Sementara persentase dari penduduk yang miskin tersebut tidak menggambarkan intensitas dari kemiskinan. Kedua, adalah poverty gap index (P1), yang mengukur kedalaman kemiskinan (the depth of poverty) di dalam suatu wilayah, dan indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Ukuran ini menggambarkan jarak rata-rata (mean distance) dibawah garis kemiskinan yang dinyatakan sebagai suatu proporsi terhadap garis kemiskinan tersebut. Rata-rata dis ini adalah rata-rata dari penduduk secara keseluruhan, dan penduduk yang tidak miskin (nonpoor) dianggap sebagai memiliki poverty gap sama dengan nol (Ravallion and Bidani, 1994).Ukuran ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan, dan dengan menggunakan ukuran atau indeks kedalaman kemiskinan ini, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat memperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Namun demikian, ukuran ini masih memiliki kelemahan karena mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ketiga, adalah squared poverty gap (P2) yang menunjukkan kepelikan atau keparahan kemiskinan di dalam suatu wilayah. Secara sederhana, indeks P2 ini, dapat didefinisikan sebagai rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Tidak seperti poverty gap index (P1) yang hanya memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, ukuran P2 ini telah mempertimbangkan pula kepelikan kemiskinan (severity of poverty) di dalam suatu wilayah dan ketimpangan pendapatan diantara penduduk miskin tersebut. Oleh karena itu, indeks
ini sering juga dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Suatu ukuran kemiskinan yang baik menurut Kakwani (2000), harus memperhitungkan atau memasukkan tiga indikator kemiskinan sebagai berikut, yaitu : (1) persentase penduduk miskin, (2) jurang kemiskinan agregat, dan (3) distribusi pendapatan diantara penduduk miskin.
2.1.2. Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional, yang berarti tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi saja seperti ketiadaan pendapatan dan asset (lack of income and assets), akan tetapi terkait dengan aspek-aspek lainnya, seperti aspek sosial budaya, politik, kelembagaan, dan sebagainya. Hal ini berarti pula bahwa tingkat kemiskinan di dalam suatu negara, tidak hanya ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi saja, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi. Dalam tataran konsep, ada dua kelompok pandangan (cluster of views) yang mengidentifikasi sebab musabab dari kemiskinan, terutama kemiskinan di daerah perdesaan (rural poverty). Kedua pandangan tersebut adalah : Pertama adalah kelompok pandangan ekonomi politik (political economy cluster of views). Kelompok pandangan ekonomi politik ini melihat kemiskinan terutama sebagai suatu fenomena sosial (social phenomenon). Munculnya kemiskinan perdesaan menurut pandangan ekonomi politik merupakan akibat atau hasil dari proses yang mengkonsentrasikan kekayaan dan kekuasaan, dimana pada umumnya
proses tersebut beroperasi melalui tiga tingkatan. Pada tingkat global atau internasional, munculnya kemiskinan merupakan akibat dari adanya hubungan pertukaran yang bersifat eksploitatif dan tidak seimbang (exploitation and unequal exchange) antara negara- negara kaya di satu pihak dan negara- negara miskin di lain pihak. Dengan hubungan pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang itu, negara-negara kaya telah membuat negara- negara miskin menjadi tetap miskin dan pada saat yang sama mereka memperoleh manfaat dari investasi modal dan ekspatriasi keuntungan. Pada tingkat nasional atau internal, kemiskinan perdesaan itu muncul sebagai akibat dari ulah berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama kelompok kepentingan di daerah urban (urban interest groups) seperti urban middle class yang selalu berusaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kepentingan daerah perdesaan melalui pergeseran di dalam rural-urban terms of trade (pangan murah untuk kota, dear goods untuk desa), dan melalui investasi pada industri- industri dan jasa-jasa di perkotaan. Sedangkan pada tingkat lokal (perdesaan) , kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari ulah para elit lokal - yang terdiri dari tuan tanah (landowners), para pedagang (merchants), para pelepas uang (money lenders), dan birokrat – yang terus mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaan mereka. Singkatnya, adanya proses pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang yang terjadi pada tingkat global, dan diikuti dengan berbagai kelompok kepentingan di dalam negeri baik pada tingkat nasional maupun lokal yang selalu mencari keuntungan dengan mengorbankan kepentingan daerah perdesaan dengan cara mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaan telah menyebabkan kaum miskin di perdesaan (rural poor), menjadi tetap dan bahkan bertambah miskin. Dengan kata lain,
kelompok kaya dan berkuasa menjadi semakin kaya dan kuat (get richer and more powerful), sementara kelompok miskin secara relatif maupun absolut menjadi semakin miskin dan lemah (become poorer and weaker). Kedua adalah kelompok pandangan ekologi fisik (physical ecology cluster of views). Kelompok pandangan ekologi fisik melihat kemiskinan lebih sebagai gejala atau fenomena fisik (physical phenomenon). Dengan kata lain, kelompok ini melihat kemiskinan perdesaan itu sebagai akibat dari pertumbuhan dan tekanan penduduk yang tidak terkendali atas sumberdaya dan lingkungan. Dengan adanya tekanan penduduk (population pressure) telah menyebabkan lahan menjadi semakin langka. Pemilikan lahan untuk usaha tani menjadi semakin sempit. Penawaran tenaga kerja melampaui permintaan tenaga kerja dan upah riil semakin tertekan turun. Sebagian tenaga kerja terpaksa harus bermigrasi ke daerah perkotaan dan sebagian lainnya pergi ke lingkungan-lingkungan marginal hanya sekedar untuk dapat mempertahankan hidup (livelihoods). Selain itu, para ahli ekologi fisik juga melihat karakteristik fisik dari kaum miskin sebagai penjelasan dari kondisi mereka. Parasit, penyakit, kurang gizi, kondisi lingkungan yang tidak sehat, perumahan yang kurang layak, lingkungan yang kurang nyaman, dan kondisi iklim yang tidak menentu – semuanya menjadi penyebab dari timbulnya kemiskinan di daerah perdesaan (Chambers, 1996). Dalam upaya untuk mengetahui faktor-faktor penentu atau faktor yang mempengaruhi kemiskinan, telah banyak studi empirik yang dilakukan para ahli di berbagai negara maupun di Indonesia sendiri. Studi-studi empirik yang pernah dilakukan para ahli di berbagai negara selama ini diantaranya adalah :
Pertama, adalah studi dari Dollar dan Kraay (2001) yang meneliti 92 negara sedang berkembang antara periode 1950s - 1990s. Dalam studi ini ditemukan bahwa (1) elastisitas dari pendapatan rata-rata dan pendapatan rata-rata dari kuintil termiskin mendekati 1, yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memiliki dampak yang sistematis terhadap ketimpangan pendapatan; (2) tidak terdapat hubungan yang sistematis diantara indikator kebijakan dan indikator kualitas institusi dengan pendapatan dari kaum miskin. Kedua adalah studi yang dilakukan oleh Ravallion (2001) di 50 negara sedang berkembang dalam tahun 1990s, dan ditemukan bahwa (1) terdapat hubungan yang negatif diantara pertumbuhan kemiskinan dengan pertumbuhan pendapatan ratarata dengan koefisien elastisitas sebesar -2.5; (2) tidak terdapat hubungan yang sistematis diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan; (3) pertumbuhan ekonomi akan me miliki dampak mengurangi kemiskinan yang kuat jika tingkat ketimpangan awal pendapatan rendah; dan (4) terdapat tanda konvergen di dalam ketimpangan pendapatan antar negara di dunia. Ketiga, adalah studi yang dilakukan Adams (2002, 2004) yang mencoba mengestimasi hubungan antara pertumbuhan di dalam pendapatan rata-rata (mean income) dan ketiga ukuran kemiskinan yaitu poverty incidence, poverty gap, dan squared poverty gap. Sampel dalam studi ini terdiri dari 50 negara-negara sedang berkembang di seluruh dunia dan mencakup negara- negara Asia Tengah dan Eropa Timur (bekas negara Sosialis). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa koefisien parameter dugaan dari regresi kemiskinan terhadap pertumbuhan pendapatan ratarata memiliki tanda yang negatif sesuai dengan yang diharapkan dan secara statistik
signifikan. Koefisien elastisitas dengan menggunakan pendapatan rata-rata dan 1 dollar per hari sebagai ukuran tingkat kemiskinan, adalah sebesar -5.75 kalau negaranegara Asia Tengah dan Eropa Timur dimasukkan dalam sampel, dan sebesar -2.59 tanpa negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur. Sedangkan koefisien elastisitas untuk poverty gap dan squared poverty gap terhadap mean income, masing- masing adalah sebesar 3.04 dan 3.39, jauh lebih besar dibandingkan dengan 2.59, yang menunjukkan bahwa ukuran poverty gap dan squared poverty gap lebih sensitif atau elastis terhadap pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan rata-rata). Adams mengatakan bahwa ketika ia menggunakan GDP per kapita, hasilnya tidak jelas dan juga tidak berpengaruh nyata secara statistik. Selain itu, diungkapkan bahwa negaranegara dengan tingkat ketimpangan pendapatan mula- mula yang rendah (lower initial income inequality) mengalami penurunan yang jauh lebih besar di dalam tingkat kemiskinan daripada negara- negara yang memiliki tingkat ketimpangan awal yang tinggi. Keempat, adalah studi Dagderivan et al (2002) di 50 negara sedang berkembang selama kurun waktu 1980s - 1990s, dan menyimpulkan bahwa (1) pertumbuhan ekonomi saja tidak selalu merupakan cara terbaik untuk mengurangi kemiskinan; (2) suatu kombinasi pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan merupakan cara yang paling efektif (the most effective way) untuk mengurangi kemiskinan di banyak negara; dan (3) dikatakan bahwa tidak semua kebijakan redistribusi efektifnya sama untuk setiap negara berkembang. Kelima, adalah studi yang dilakukan oleh Tsangarides, et al (2004) yang meneliti determinan dari tingkat kemiskinan untuk negara-negara Afrika dan negara-
negara angota OECD dengan menggunakan data untuk periode 1960-1999. Studi dari Tsangarides et al (2004) mengungkapkan bahwa (1) tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan penduduk yang rendah, konsumsi pemerintah yang rendah, dan perkembangan sektor keuangan yang semakin mendalam memiliki dampak yang kuat terhadap penurunan kemiskinan; (2) faktor sumberdaya alam, capaian pendidikan, guncangan terms of trade, dan fiscal stance ditemukan memiliki dampak langsung yang relatif lemah terhadap kemiskinan; (3) keterbukaan perdagangan, tingkat investasi, tingkat demokrasi, harapan hidup, dn luasnya perang sipil (civil wars) – ditemukan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi menyeluruh (overall economic growth), dan tidak memiliki pengaruh yang langsung terhadap pendapatan dari kaum miskin;
dan (4) kebijakan yang mampu menurunkan tingkat inflasi,
mengurangi government size, mengurangi defisit anggaran, meningkatkan kedalaman sektor keuangan (deepen the financial sector), dan meningkatkan capaian pendidikan (educational attainment) merupakan jenis kebijakan yang sangat memihak kaum miskin (super-pro poor policies). Keenam, adalah studi yang dilakukan Iradian (2005) yang mengungkapkan bahwa (1) pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berkelanjutan merupakan wahana yang penting (primary vehicle) dalam upaya pengurangan kemiskinan sebab pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh nyata terhadap kemiskinan; (2) kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan dipengaruhi oleh kondisi ketimpangan pendapatan yang terjadi, artinya pertumbuhan akan mampu mengurangi kemiskinan apabila pertumbuhan diikuti dengan penurunan di dalam ketimpangan pendapatan, dan sebaliknya penurunan kemiskinan akan terhambat apabila pertum-
buhan diikuti dengan peningkatan di dalam ketimpangan pendapatan; (3) besarnya penurunan di dalam kemiskinan tidak hanya ditentukan oleh perubahan di dalam ketimpangan pendapatan, akan tetapi juga oleh tingkat ketimpangan mula- mula di dalam distribusi pendapatan tersebut (initial inequality level); dan (4) perubahan di dalam pengeluran pemerintah yang dinyatakan sebagai persentase dari GDP juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap penurunan kemiskinan. Di Indonesia sendiri, penelitian yang mencoba mengkaji faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan telah banyak dilakukan para ahli, diantaranya adalah : Pertama, adalah studi yang dilakukan oleh Bidani dan Ravallion (1993). Hasil estimasi baik dengan menggunakan metode ‘ordinary least squares’ (OLS) maupun metode instrumental variables (IV) membuktikan bahwa : (1) pengeluaran konsumsi rata-rata sebagai persentase terhadap garis kemiskinan (poverty line) dan indeks Gini ternyata yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap berbagai ukuran kemiskinan (headcount ratio (P 0 ), poverty gap ratio (P1 ), dan squared poverty gap (P2 )) dengan arah pengaruh negatif dan positif; dan (2) pengeluaran konsumsi ratarata juga memiliki pengaruh yang nyata secara statistik terhadap indeks Gini Provinsi di Indonesia dengan tanda positif, yang menunjukkan bahwa hubungan U terbalik (inverted U relationship) sebagaimana dihipotesiskan oleh Kusnetz tidak berlaku di Indonesia Kedua, adalah studi yang dilakukan Booth (2000), yang menemukan bahwa produktivitas pertanian per hektar dan luas pemilikan lahan merupakan determinan yang signifikan dari variasi di dalam kemiskinan di daerah perdesaan (rural poverty) di berbagai Provinsi di Indonesia. Dalam kaitan ini, dikatakan bahwa penekanan lebih
lanjut pada pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal yang penting apabila diinginkan terjadi pengurangan kemiskinan di Indonesia. Namun, programprogram pembangunan perdesaan hendaknya tidak difokuskan pada tanaman (cropfocused) seperti yang terjadi di masa lalu, tetapi lebih difokuskan pada kebutuhankebutuhan spesifik dari penduduk miskin di daerah-daerah miskin (poor regions). Program-program pembangunan perdesaan yang lebih efektif juga akan membantu dalam membatasi meluasnya kemiskinan perkotaan. Ketiga, adalah studi yang dilakukan oleh Asra (2000), yang melakukan dekomposisi atas perubahan insiden kemiskinan agregat di Indonesia menurut sektor (desa-kota). Beberapa diantara temuan penting dari studi tersebut adalah bahwa: (1) penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan ekono mi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di Indonesia; (2) elastisitas kemiskinan terhadap ‘distributionally neutral growth’ untuk ketiga ukuran FGT (headcount index, poverty gap index, dan distributionally sensitive index) di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan, yang menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan lebih elastis atau sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi; dan (3) hasil dari simulasi dekomposisi menunjukkan bahwa pergeseran di dalam angkatan kerja dan perbaikan peluang kerja di sektor perkotaan (urban) memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan agregat. Keempat, adalah studi dari Friedman (2002), yang menggunakan data panel (1984-1999), untuk menelaah atau mengkaji bagaimana perubahan kemiskinan pada
tingkat Provinsi bervariasi bersama-sama dengan tingkat pertumbuhan dan perubahan ketimpangan pada tingkat Provinsi. Sejalan dengan hasil studi-studi terdahulu, hasil studi ini menunjukkan bahwa semua ukuran kemiskinan ternyata sangat responsif terhadap pertumbuhan (pertumbuhan pendapatan rata-rata). Selain itu, diungkapkan bahwa faktor setempat (local factors) memainkan peranan yang penting dalam penentuan kemiskinan, dan yang sangat mungkin berinteraksi dengan pertumbuhan untuk mempengaruhi penurunan kemiskinan di seluruh Indonesia dalam berbagai cara yang berbeda-beda. Kelima, adalah studi yang dilakukan oleh Fane dan Warr (2002), yang menggunakan model CGE, menelaah bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa semakin besar pertumbuhan meningkatkan returns terhadap faktor yang merupakan sumber pendapatan paling penting bagi kaum miskin (the poor) daripada yang bukan penduduk miskin (the non-poor), maka semakin besar kemungkinan untuk menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Perbedaan sumber pertumbuhan mempengaruhi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan secara berbeda sebab mereka mempengaruhi pendapatan faktor (factor returns) secara berbeda, dan karena ‘the poor’ dan ‘the non-poor’ memiliki faktor di dalam proporsi yang berbeda. Keenam, adalah studi yang dilakukan Simatupang dan Dermoredjo (2003), dan menyimpulkan hal- hal sebagai berikut : (1) dampak produk domestik bruto (PDB) terhadap insiden kemiskinan bervariasi menurut sektor; (2) PDB sektor pertanian memiliki dampak lebih besar terhadap kemiskinan di perdesaan, sedangkan kemiskinan di perkotaan terutama dipengaruhi oleh PDB sektor industri; (3) PDB
sektor lain (non pertanian dan industri) juga berpengaruh terhadap kemiskinan di perdesaan; (4) kemiskinan agregat dipengaruhi oleh PDB sektor pertanian dan PDB sektor non pertanian; (5) insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras; (6) strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah strategi pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian (agricultural sector led-development), khususnya subsektor tanaman pangan. Ketujuh, adalah studi yang dilakukan oleh Balisacan, et al (2003). Beberapa diantara temuan penting dari studi ini adalah bahwa (1) kesejahteraan penduduk miskin (the poor) yang diukur dengan pendapatan dari kaum miskin dipengaruhi secara nyata (signifikan) oleh pertumbuhan ekonomi (overall mean income growth); (2) faktor lain
yang berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan penduduk miskin
adalah modal manusia (human capital) (yang diukur dengan rata-rata lama sekolah), ‘terms of trade’, infrastruktur (roads) dan akses terhadap teknologi. Selain itu dikemukakan bahwa mengurangi kemiskinan tidak cukup hanya dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi semata. Dalam hal ini, suatu strategi pengurangan kemiskinan yang lebih lengkap haruslah memperhitungkan berbagai “redistributing-mediating and institutional factors that matters” jika tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan kemiskinan yang pesat dan berkelanjutan, dan hal itu sangat baik untuk menciptakan pertumbuhan dan penurunan kemiskinan. Kedelapan, adalah studi Yudhoyono (2004). Studi ini menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy reformasi. Sedangkan di daerah perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk infrastruktur,
pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi dan dummy desentralisasi. Selain itu, dikemukakan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan. Kesembilan, adalah studi yang dilakukan Suryahadi et al (2005) untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan sangat dipengaruhi oleh lokasi dan komponen sektoral dari pertumbuhan, yang berarti bahwa tidak semua komponen sektoral dari pertumbuhan memberikan kontribusi yang sama terhadap penurunan kemiskinan. Pertumbuhan GDP sektor jasa ditemukan memberi kontribusi paling besar terhadap penurunan kemiskinan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Selain itu, ditemukan dimana pertumbuhan GDP sektor industri memiliki kontribusi yang nyata terhadap penurunan kemiskinan di daerah perkotaan. Sementara, pertumbuhan GDP sektor pertanian justru ditemukan tidak memiliki kont ribusi yang nyata (significant) terhadap penurunan kemiskinan. Sesuatu yang tentu sangat ironis, mengingat sektor pertanian merupakan sektor dimana sebagian besar penduduk miskin di Indonesia berada dan menggantungkan hidupnya.
2.2. Kaitan Antara Transfers Fiskal dan Pengurangan Kemiskinan Seperti telah dikemukakan sebelumnya, hubungan fiskal antara tingkat pemerintahan merupakan salah satu unsur atau elemen yang sangat penting dari program desentralisasi fiskal khususnya dan desentralisasi pada umumnya. Seme ntara transfer
fiskal itu sendiri merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antara tingkat pemerintahan, artinya sesuatu yang memiliki peranan penting dan menentukan. Secara konseptual, desentralisasi dibedakan ke dalam tiga bentuk utama, yaitu desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif atau birokratis (administrative decentralization), dan desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). Desentralisasi politik berarti memberikan kepada masyarakat setempat dan wakil-wakil mereka suatu kekuasaan (power) yang lebih besar di dalam setiap pengambilan keputusan yang mencakup kekuasaan di dalam penetapan standar dan kerangka hukum (legal framework). Desentralisasi administratif berarti adanya redistribusi kewenangan (authority), tanggung jawab (responsibility), dan sumberdaya diantara berbagai tingkat pemerintahan, dimana adanya kapasitas dan kekuatan institusional yang lebih sesuai pada berbagai tingkat pemerintahan dianggap sebagai suatu prakondisi bagi keefektifan pelaksanaan dari desentralisasi tersebut. Sedangkan desentralisasi fiskal lebih berhubungan dengan perumusan kewenangan atas sumbersumber yang ada atau akses terhadap transfer dan pembuatan berbagai keputusan , baik menyangkut pengeluaran rutin maupun pengeluaran investasi (von Braun and Grote, 2002; Litvack, et al, 1998; Rondinelli, 1998, 1999; Rondinelli, et al, 1983). Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers) merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antara tingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peranan penting dan menentukan di dalam mendukung program desentralisasi pada umumnya dan desentralisasi fiskal khususnya.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah bagaimana sebenarnya kaitan antara desentralisasi dengan pengurangan kemiskinan ? Untuk menjelaskan hal ini penulis merujuk pada kerangka konseptual yang dikemukakan von Braun dan Grote (2002) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3 sebagai berikut : Participation/Empowerment Governance
Desentralisasi - Politik - Administratif - Fiskal
Pengurangan Kemiskinan (Poverty Reduciton)
Public services/investment - Priorities - Efficiency/targeting Gambar 3. Kaitan Konseptual Antara Desentralisasi dan Pengurangan Kemiskinan
Menurut von Braun dan Grote (2002), ketiga bentuk utama dari desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal saling terkait (interlinked) erat satu dengan lainnya dan oleh karena itu, dampaknya terhadap upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) tidak dapat dinilai atau dilihat secara terpisah. Dalam gambar 3 ditunjukkan kaitan antara desentralisasi dengan berbagai bentuknya dengan pengurangan kemiskinan, yang terjadi melalui dua jalur, yaitu (1) desentralisasi - partisipasi/ pemberdayaan/tata kelola - pengurangan kemiskinan, dan (2) desentralisasi - pelayanan publik/investasi yang lebih memihak kaum miskin pengurangan kemiskinan. Jalur (1) menunjukkan bahwa desentralisasi memung-
kinkan civil society untuk berpartisipasi di dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik (tentang) dan lebih responsif terhadap kebut uhan dan preferensi penduduk lokal daripada pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah (lokal) juga lebih mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi dan menjangkau kaum miskin sejauh politik lokal memungkinkan hal itu dilakukan. Desentralisasi juga memiliki keuntungan yang penting (principal advantage) yaitu bahwa petugas setempat dapat dengan lebih mudah dipantau dan dikontrol oleh masyarakat daripada petugas pada pemerintah pusat, jika aturan hukum (rule of law) hidup di tingkat lokal. Apakah partisipasi lokal dalam sistem pengelolaan (governance system) barang-barang dan jasa publik akan benar-benar memiliki dampak positif terhadap kelompok berpendapatan rendah adalah belum atau tidak jelas (unclear). Agar partisipasi benar-benar menjadi operasional, maka pertama-tama dibutuhkan adanya suatu pendidikan minimum, basic capabilities and equality atas dasar gender, agama dan kasta, dan kedua, pemberdayaan (empowerment) penduduk pada tingkat lokal. Jalur (2) adalah dari perspektif informasi dan biaya transaksi (transaction costs), dimana eksternalitas menyediakan suatu argumen untuk sentralisasi jika kewenangan pusat memiliki kemampuan yang tidak terbatas (unlimited ability) untuk mengumpulkan, memproses atau menyebarluaskan informasi. Namun, karena pemerintah pusat (central authority) umumnya tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua, maka advantages dari desentralisasi tetap ada. Dalam hal ini, desentralisasi dapat menjadi instrumen yang sangat powerful di dalam mencapai tujuan-tujuan
pembangunan ‘by assigning control rights to people who have information
and
incentives’ untuk membuat keputusan terbaik menyangkut kebutuhan ma syarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula dilihat sebagai suatu cara untuk meningkatkan kewenangan dan akuntabilitas dari petugas-petugas lokal. Pengambilan keputusan pada tingkat lokal memberikan tanggung jawab, kepemilikan (ownership) dan juga insentif yang lebih besar kepada pelaku-pelaku setempat (local agents). Ada banyak bukti bahwa dengan membuat petugas-petugas lokal lebih accountable dan memberikan tanggung jawab untuk implementasi dan pembuatan keputusan kepada stakeholders setempat, maka kualitas dan efisiensi layanan publik menjadi meningkat (Bardhan, 1997). Lebih jauh, von Braun dan Grote (2002) juga membuktikan bagaimana desentralisasi dengan berbagai bentuknya dapat menyebabkan penurunan pada kemiskinan. Studi yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi multi- variant, menemukan bahwa desentralisasi politik yang diukur atau diproksi dengan election tiers, desentralisasi administratif yang diukur dengan size of population, dan desentralisasi fiskal yang diukur dengan share of subnational expenditure, semuanya berdampak menurunkan kemiskinan. Namun, mereka kembali menekankan pentingnya untuk melihat ketiga bentuk desentralisasi tersebut secara bersama-sama (simultaneously), dan urut-urutan (sequencing) dari berbagai bentuk desentralisasi tersebut memainkan peranan yang penting. Desentralisasi politik dan administratif menurut mereka sebaiknya dilakukan mendahului desentralisasi fiskal (should precede fiscal decentralization). Dengan kata lain, untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang lebih efektif dan memihak kaum miskin, maka desentralisasi politik dan administratif
merupakan prakondisi yang harus dipenuhi, dan desentralisasi fiskal tidak dapat secara otomatis membawa pada pengeluaran yang lebih memihak kaum miskin. Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan peranan transfer fiskal antar tingkat pemerintahan dalam pengurangan kemiskinan, Rao, et al (1998) menekankan perlunya dilakukan peninjauan kembali (reorienting) dalam pengaturan fiskal antartingkat pemerintahan untuk menjamin penyediaan layanan publik (public services) yang lebih responsif untuk mempercepat peningkatan standar konsumsi dari kaum miskin dan sekaligus untuk merespon preferensi yang beragam dari berbagai daerah atau wilayah. Keefektifan pemerintahan desentralisasi (decentralized government) di dalam penyediaan layanan publik yang efisien dapat ditingkatkan dengan melakukan reorientasi dalam pengaturan fiskal antar tingkat pemerintahan untuk menyediakan insentif dan meningkatkan akuntabilitas. Salah satu cara untuk menjamin insentif dan akuntabilitas di dalam penyediaan layanan publik adalah melalui pengaitan (linking) peningkatan penerimaan dengan keputusan pengeluaran dari pemerintah daerah pada batas-batas tertentu (at the margin).