II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik dan Sumberdaya Usahatani Karakteristik usahatani individu adalah sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Soekartawi (1986) mengatakan bahwa cepat tidaknya proses adopsi sangat tergantung dari beberapa faktor. Sumberdaya yang dimiliki petani meliputi faktor fisik berupa tanah, sinar matahari, air, dan faktor sosial ekonomi seperti uang tunai dan kredit, tenaga kerja, dan pasar (Harwood, 1982). Pada umumnya suatu usahatani memiliki modal yang terbatas, sumberdaya modal diperoleh dari pembentukan modal sendiri dan bantuan kredit. Konsekuensinya, dalam usaha pertanian tidak diperoleh modal sesuai yang diinginkan (Cowling et al. 1970). Jalan keluar untuk memenuhi keterbatasan modal bagi petani dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara. Pertama, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya yang terbatas melalui pengalokasikan kombinasi usahataninya sehingga mampu membentuk modal sendiri. Kedua, melalui pemberian kredit usahatani. Dengan demikian diharapkan petani akan mampu meningkatkan penggunaan input yang lebih tinggi, sehingga produksi yang dicapai akan lebih tinggi (Cooke, 1982). Petani kecil umumnya kurang menguasai keadaan iklim dan masalah sosial ekonomi di tempat mereka bekerja. Walaupun demikian, mereka harus membuat keputusan tentang tanaman apa yang harus ditanam, bagaimana mengusahakan tanaman tersebut dan berapa luas yang harus diusahakan (Soekartawi, 1986).
2.2. Lahan dan Tanah Lahan memiliki pengertian yang lebih luas dari pada tanah, walaupun dalam banyak hal kata tanah dan lahan sering digunakan dalam makna yang setara. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan (Saefulhakim, 1997) karena hampir semua aspek dari kehidupan manusia dan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Tanah dipandang sebagai benda alami dan yang mempelajari proses dan reaksi biofisik-kimia yang
12 berperan, kandungan dan jenis serta penyebarannya, sebagai tempat tumbuh tanaman dan penyedia unsur hara (Arsyad, 1989). Hardjowigeno et al. (1999), mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang, yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang. Sumberdaya
lahan/tanah
menggambarkan
gabungan
antara
sifat
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui serta sumberdaya biologis. Sebagai contoh adalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah berhubungan dengan adanya kegiatan organisme, sifat kimia alami tanah dan aktivitas akar tanaman agar hara tanah dapat diserap tanaman. Keadaan ini merupakan sifat dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui karena manusia dapat memanipulasi kesuburan tanah sehingga dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama sampai ratusan atau ribuan tahun. Misalnya, petani menggunakan pupuk, kapur, tanaman pupuk hijau, kompos dan sebagainya dalam kegiatan budidayanya. Sedangkan sifat tanah/lahan yang merupakan sifat dari sumberdaya biologis adalah apabila sumberdaya lahan/tanah ditingkatkan, dipertahankan atau digunakan sehingga kesuburannya bertambah atau berkurang sebagai akibat dari pengaruh manusia (Sitorus, 2004).
2.3. Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Pengertian kepemilikan dan penguasaan lahan seringkali dianggap sama. Padahal ada perbedaan mendasar antara pengertian kepemilikan dan penguasaan. Pengertian kepemilikan lebih condong kepada status hak (entitlement) sedangkan pengertian penguasaan lebih kepada total luasan yang di kuasai atau diusahakan. Selain itu pengertian kepemilikan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah bagi pemiliknya, baik hak untuk menjual (dipindah tangankan),
digadaikan,
disewakan,
diwariskan
atau
diusahakan
untuk
kepentingan pemiliknya. Sedangkan pengertian penguasaan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah berdasarkan sewa atau kontrak tertentu,
13 tetapi tidak dapat dipindahtangankan oleh yang menguasai tanah tersebut (Wijayanti, 2000). Salah satu aspek penting dimensi tanah dalam hubungannya dengan manusia adalah tanah sebagai properti yang mempunyai pengertian bahwa tanah meliputi kepemilikan beserta entitlement yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah (Barlowe, 1978). Hal ini berkaitan dengan segala hak yang berhubungan dengan tanah yang mempunyai implikasi sangat luas terhadap pengelolaan sumberdaya tanah, seperti hak untuk memiliki dan menggunakan tanah, hak untuk menjual tanah, hak untuk menyewakan, hak untuk menggadaikan, hak untuk membagi dan menurunkan kepemilikan dan hak untuk menghibahkan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria) atau lebih dikenal dengan UUPA, menyebutkan beberapa jenis hak-hak atas tanah, antara lain: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak yang disebut sebelumnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak milik diatur dalam UUPA Pasal 20 sampai 27. Hak milik adalah hak turun-tumurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hak guna usaha diatur dalam UUPA Pasal 28 sampai Pasal 34. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan diatur dalam UUPA Pasal 35 sampai 40. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya, dengan jangka waktu tertentu (paling lama 30 tahun). Baik tanah negara maupun tanah milik yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum yang ditunjuk oleh Negara dapat diberikan hak guna bangunan. Hak pakai diatur dalam UUPA Pasal 41 sampai dengan 43. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang yang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal
14 tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Hak sewa diatur dalam UUPA Pasal 44 dan 45. Hak sewa adalah sesuatu hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hak membuka tanah dan membangun hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah, sebagaimana disebutkan UUPA Pasal 46 Ayat 1.
2.4. Pola Tanam Pola tanam biasanya dipilih oleh setiap petani berdasarkan pertimbangan ekonomi dan pengelolaan. Sebelum faktor-faktor tersebut diperhitungkan, lahan diklasifikasikan berdasarkan curah hujan (Harwood, 1982). Menurut Wilsie (1962), terdapat 7 (tujuh) kriteria yang menentukan kesesuaian tanaman terhadap kondisi lingkungan, yaitu: (1) Kesesuaian topografi, (2) Kualitas tanah, (3) Kelembagaan yang memadai, (4) Jumlah curah hujan yang memadai, (5) Kesesuaian waktu dan distribusi hujan, (6) Kesesuaian cuaca, dan (7) Tersedianya pasar yang menampung hasil pertanian. Pola tanam ideal ditentukan oleh fungsi input produksi dan ketersediaan komponen tanaman. Jika fungsi input dan ketersediaan genetik tetap untuk jangka waktu tertentu, biasanya petani menyusun pola pertanaman dan mengimbangi kendali ini. Varietas baru yang cukup dan ketersediaan input dapat memungkinkan ditemukannya pola pertanaman yang lebih baik (Harwood, 1982). Apabila petani ingin mencapai tujuan sebaik mungkin, maka petani harus selalu melakukan pilihan sehingga penggunaan sumberdaya mencapai keadaan dimana keuntungan marginal diperoleh dan perubahan penggunaan sumberdaya sama besarnya dengan kerugian marginal yang termasuk dalam perubahan tersebut (Soekartawi et al., 1986).
2.5. Produktivitas dan Penguasaan Lahan Menurut Mubyarto (1979), pengertian produktivitas lahan itu merupakan penggabungan antara konsepsi efisiensi usaha dengan kapasitas lahan. Efisiensi usaha diukur berdasarkan banyaknya hasil produksi (output) yang dapat diperoleh dari satu kesatuan input. Sedang kapasitas lahan menggambarkan kemampuan
15 lahan itu untuk menyerap tenaga dan modal, sehingga memberikan hasil produksi bruto yang sebesar-besarnya pada tingkat teknologi tertentu. Dengan demikian, secara teknis produktivitas adalah merupakan perkalian antara efisiensi usaha dengan kapasitas lahan. Partadireja (1980), memberikan pengertian produktivitas lahan sebagai kemampuan
lahan
untuk
menghasilkan
sesuatu.
Produktivitas
lahan
mencerminkan produksi per hektar, dan ini ditentukan oleh: (1) keadaan kesuburan tanah, (2) modal, yang termasuk di dalamnya adalah varietas tanaman, penggunaan pupuk organik maupun anorganik, tersedianya air dalam jumlah yang cukup dan berkualitas baik dan alat-alat pertanian, (3) teknik bercocok tanam, (4) teknologi yang di dalamnya termasuk organisasi, manajemen, dan gagasangagasan, dan (5) tenaga kerja. Banyak faktor yang mempengaruhi kegairahan petani untuk meningkatkan produktivitas lahan mereka. Salah satu dari faktor-faktor yang dimaksudkan adalah status dan luas penguasaan lahan pertanian (Sinaga dan Kasryno, 1980). Penelitian di India oleh Surjit S. Bhalia dalam Berry Cline (1979) di saat “revolusi hijau” telah berjalan enam tahun di negara tersebut diperoleh kesimpulan bahwa antara luas garapan dengan produktivitasnya terdapat hubungan yang negatif, makin luas usahataninya, produktivitasnya makin menurun. Hal ini disebabkan karena tidak sempurnanya pasar, terutama pasar tenaga kerja, disamping pasar lahan dan pasar modal. Kesimpulan serupa diperoleh oleh Berry dan Cline (1979) dalam penelitiannya di Filipina dengan menggunakan data tahun 1960. Penelitian Rivai (1958), di perdesaan Pati - Jawa Tengah menyimpulkan, bahwa petani penyakap justru tingkat kemakmurannya lebih tinggi dan lebih stabil dari pada golongan petani pemilik. Hal ini dikarenakan petani penyakap sematamata menggantungkan hidupnya pada tanah sakapannya, sehingga mereka lebih tekun mengusahakan lahan sakapannya untuk tidak mengecewakan si pemiliknya. Bagi penyakap jaminan kelangsungan perjanjian penyakapan dirasa penting. Sebaliknya petani pemilik tidak mempunyai dorongan serupa itu. Kesimpulan lain adalah intensitas mengerjakan tanah kongsen (hak mengerjakan) lebih baik dari sistem tanah yasan hak milik turun-menurun).
16 Menurut White dan Wiradi (1979), masalah penguasaan lahan bukan saja dipandang sebagai masalah hubungan manusia dengan lahannya melainkan lebih menyangkut hubungan sosial, ekonomi dan politik antar mereka. Dengan demikian, suatu hubungan penguasaan atas lahan langsung melibatkan manusia dalam suatu hubungan dengan masyarakat disekitarnya yang erat kaitannya dengan pembagian kekayaan, kesempatan-kesempatan ekonomi dan penguasaan politik diantara mereka, terutama di daerah-daerah, dimana lahan merupakan faktor produksi yang sangat langka, seperti di Jawa. Menurut Sinaga (1980) untuk dapat mencapai pendapatan yang maksimum, petani akan mengelola usahataninya sedemikian rupa sehingga tingkat kombinasi pemakaian faktor-faktor produksi memenuhi persyaratan ekonomi sebagai berikut: 1. Jika dana yang dipunyai tidak terbatas, maka tingkat pemakaian faktor-faktor produksi diusahakan sedemikian rupa sehingga berada pada keadaan nilainilai produksi marjinal masing-masing faktor (NPMxn) sama dengan harga per unit dari faktor produksi yang bersangkutan (Hxn) sehingga mengikuti persamaan sebagai berikut: NPMx1 Hx1
=
NPMx2 Hx2
= ........... =
NPMxn = 1 Hxn
2. Jika dana terbatas, maka tingkat pemakaian faktor-faktor produksi berada pada keadaan sedemikian sehingga rasio dari nilai produksi marjinal dan harga per unit masing-masing faktor produksi sama atau lebih besar dari satu. Persamaannya menjadi: NPMx1 Hx1
=
NPMx2 Hx2
= ........... =
NPMxn > 1 Hxn
dimana NPMxn menyatakan nilai produksi marjinal faktor-faktor produksi xn dan Hxn menyatakan harga persatuan faktor produksi xn Implikasi pemakaian kriteria tersebut di atas terhadap tingkat pemakaian faktor-faktor produksi non lahan dan produktivitas lahan dengan berbagai macam status penguasaan lahan digambarkan pada Gambar 2.
17 (Kg) Y1 PTP
Y2
Y3
0
Urea (Kg)
Gambar 2. Kurva Produksi Penggunaan Pupuk Urea (Rp)
HU HUS
0
N2
N1
Urea (Kg) NPMU
NPMUS
Gambar 3. Kurva Nilai Produksi Marginal Urea dan Harga Urea Per Satuan dimana: PTF NPMu NPMus Hu Hus
= Produksi Total Fisik = Nilai Produksi Marginaal Pupuk Urea = Nilai Produksi Marginal Urea Bagi Penyakap = Harga Urea Per Satuan Berat = Harga Urea Per Satuan Berat Setelah Biaya Urea Dibagi Dua Oleh Penyakap dengan Pemilik
18 Dari Gambar 2. di atas sebagai misal kurva produksi pada sebidang lahan dengan penggunaan pupuk urea, dan Gambar 3. sebagai kurva nilai produksi marjinal dari urea dan harga urea per satuan berat. Dari gambar tersebut ditunjukkan bahwa: 1. Pada petani pemilik penggarap akan memakai pupuk urea sebanyak ON1 kg/ha karena pada tingkat pemakaian urea tersebut nilai produksi marjinal dari pupuk urea (NPMu) sama dengan harga per satuan berat urea (Hu) dan produksi per hektar adalah OY1 2. Pada petani penyewa akan mengambil keputusan yang hasilnya seprti pada petani pemilik penggarap. Dalam hal sewa menyewa, sewa lahan merupakan biaya tetap bagi penyewa 3. Pada petani penyakap ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi antara lain: a.
Bila hasil panen dibagi dua dan biaya produksi dibagi dua sama besarnya, maka kurva nilai produksi marjinal bagi penyakap adalah NPMus dan kurva harga pupuk bagi penyakap adalah Hus. Pada pemakaian pupuk ON1 kurva NPMus memotong memotong kurva Hus. Dengan demikian dengan aturan penyakapan tersebut per hektar dapat mencapai OY1.
b.
Bila hasil panen dibagi dua sama tetapi semua biaya dpikul penyakap maka harga pupuk sama dengan Hu. Kurva NPMus memotong Hu pada tingkat pemakaian pupuk ON2 sehingga hasil per hektar yang akan dicapai hanya OY2. Dari illustrasi Gambar 2 dan 3 di atas menunjukkan bahwa pada kondisi
tertentu hasil per hektar akan sama, baik lahan itu diusahakan pemiliknya atau penyewa maupun penyakap.
2.6. Erosi Istilah erosi tanah umumnya diartikan sebagai kerusakan tanah oleh perbuatan air atau angin. Menurut Arsyad (2006), erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh
19 media alami. Menurut media pengangkutannya dikenal dua jenis erosi, yaitu erosi air dan erosi angin. Terjadinya erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran permukaan atau karena kekuatan angin. Pada sebagian besar daerah tropika basah seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan dan aliran permukaan (Sinukaban, 1989). Selanjutnya Ellison (1947) dalam Sinukaban (1989) menyatakan bahwa erosi
merupakan
proses
pelepasan
(detachment)
dan
pengangkutan
(transportation) bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi. Peristiwa pelepasan dan pengangkutan merupakan komponen-komponen erosi tanah yang penting, dimana di dalam proses terjadinya erosi, peristiwa pelepasan butir tanah mendahului peristiwa pengangkutan.
Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan merupakan
variabel yang penting yang berdiri sendiri, tetapi pengangkutan tergantung dari pelepasan. Berdasarkan prosesnya (tempat, sumber, magnitud dan bentuk), erosi dapat dibedakan menjadi erosi percikan (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan agent atau medianya, erosi dapat dibedakan menjadi erosi air dan erosi angin. Walaupun terdapat perubahan secara spasial dan temporal, proses yang terlibat dalam erosi adalah sama. Menurut David (1988) dan Lu et al. (2005) erosi yang diakibatkan oleh air sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan run off. Proses ini terdiri dari empat sub proses yang interaktif, yaitu: penghancuran oleh curah hujan, pengangkutan oleh curah hujan, penghancuran oleh run off (scour erosion) dan pengangkutan oleh run off. Hujan jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan memercikan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain (Gambar 4).
Gambar 4. Energi Butir Hujan yang jatuh di Permukaan Tanah
20 Partikel tanah yang berpindah tempat tersebut dapat menyumbat pori-pori tanah sehingga menyebabkan terjadinya pemadatan tanah (surface crusting) sehingga akan mengurangi infiltrasi tanah. Apabila hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi run off yang akan menghancurkan partikel tanah dan mengangkutnya dengan tenaga aliran run off. Jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami deposisi atau sedimentasi (Mc Clauley dan Jones, 2005). Berkurangnya penutupan lahan, baik oleh tajuk maupun serasah tanaman menyebabkan teradinya peningkatan daya rusak tetesan hujan, sehingga tingkat bahaya erosi menjadi lebih tinggi. Di Indonesia, pengaruh erosi dapat dilihat dari semakin meningkatnya hamparan lahan kritis dan frekuensi dan besaran banjir. Banjir terjadi akibat sedimentasi di sungai, sehingga kapasitas tampung sungai menurun dan air meluap di musim hujan. Peristiwa erosi juga menyebabkan sedimentasi di berbagai waduk seperti waduk Gajah Mungkur, bendungan Jatiluhur, dan lainnya. Menurut McCauley dan Jones (2005) kerugian yang ditimbulkan oleh erosi tanah cukup besar, karena mengikis dan mengangkut sebagian tanah, misalnya kehilangan tanah yang terjadi pada lahan pertanian di Amerika dan Montana yang masing-masing mencapai 1,3 juta ton/tahun dan 5,50 ton/ha/tahun serta padang rumput di Wyoming yang telah menyebabkan erosi mencapai 5,10 ton/ha/tahun. Erosi dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor-faktor alami yang mempengaruhi erosi dapat dirinci sesuai dengan pengaruh yang disumbangkannya terhadap proses erosi dan sedimentasi, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Erosi perlu dikendalikan agar tanah dapat dimanfaatkan secara lestari untuk pertanian dan penggunaan lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran terhadap besarnya erosi yang terjadi akibat pemanfaatan lahan untuk penggunaan tertentu, terutama pertanian. Pengukuran langsung di lapang akan membutuhkan waktu yang lama, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Pengembangan model prediksi erosi merupakan salah satu cara yang dapat mempermudah penetapan besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan.
21 Tabel 2. Pengaruh Beberapa Faktor Alam Terhadap Proses dan Tingkat Erosi Tanah Faktor Curah Hujan : intensitas, durasi, frekwensi, indeks erosi Lereng: - Kemiringan, panjang dan bentuk
-
Posisi Terhadap lereng
Tanah: - Kedalaman -
Tekstur
-
Struktur dan agregasi
- Kandungan Bahan Organik Vegetasi : Struktur, penutupan kanopi, penutupan dasar (ground)
Pengaruh terhadap Proses Erosi Menghancurkan agregat tanah dengan percikan butir air hujan dan mengangkut partikel oleh run off; surface sealing Erosi cenderung meningkat dengan meningkatnya panjang dan kemiringan lereng; bentuk lereng memperngaruhi tingkat kehilangan tanah, yaitu conveks>lurus>conkaf Mempengaruhi hubungan run off – run on (erosi dan deposisi) Mempengaruhi kapasitas penyimpanan air tersedia Tanah dengan kandungan debu atau pasir halus umumnya paling mudah tererosi; erodibilitas akan menurun dengan meningkatnya kandungan fraksi pasir dan liat Proporsi air- stabilitas dan ukuran agregat mempengaruhi erodibilitas Mempengaruhi inisiasi run off, infiltrasi, perkembangan struktur tanah, water repellency. Mempengaruhi intersepsi curah hujan, percikan butir air hujan, infiltrasi, evapotranspirasi dan run off.
Sumber : Gunn et al. (1988)
Menurut Arsyad (2006), secara ideal metode prediksi harus memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu harus dapat diandalkan, secara universal dapat dipergunakan, mudah dipergunakan dengan data yang minimum, komprehensif dalam hal faktor-faktor yang dipergunakan dan mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna tanah dan tindakan konservasi. Prediksi erosi yang umum dipergunakan pada saat ini adalah model parametrik, terutama tipe kotak kelabu. Empat faktor utama yang dianggap terlibat dalam proses erosi adalah iklim, sifat tanah, topografi dan vegetasi penutup lahan. Oleh Wischmeier dan Smith (1978) keempat faktor tersebut dimanfaatkan sebagai dasar untuk menentukan besarnya erosi tanah melalui persamaan umum yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan persamaan universal (Universal Soil Loss Equation.-USLE).
22 USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin
dilakukan
atau
yang
sedang
dipergunakan.
Persamaan
yang
dipergunakan untuk mengelompokkan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi kedalaman enam peubah utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik. USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi lembar atau alur dibawah keadaan tertentu. Dan juga bermanfaat untuk tempat-tempat bangunan dan penggunaan bukan pertanian, tetapi tidak dapat memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sendimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai. Persamaan USLE hingga saat ini masih relevan dan paling banyak digunakan dan hingga saat ini belum ada yang menggantikan metode USLE ini: A=RKLSCP dimana: A = adalah banyaknya tanah yang tererosi (ton/hektar/tahun) R = adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) tahunan. Nilai R dapat ditetapkan dengan menggunakan Peta ISOERODEN. Namun bila data CH tak lengkap dapat digunakan Rumus Bols (1978) yaitu: EI30 = 6,119 (R) 1.21 (Days)-0,47 (Max P) 0.53 atau EI30 =
2.467 r 2 0.0727 r + 0.725
r = curah hujan (cm)
K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22 m terletak pada lereng 9% tanpa tanaman. Nilai K dapat dihitung berdasarkan sifat tanah dengan rumus Weischmeier dan Smith sebagai berikut:
23 100 K = 1.292 (2.1 M1.14 x 10-4 x (12 – a) + 3,25 (b – 2) + 2.5 (c – 3) dimana: M = (% pasir sangat halus + % Debu) (100 - % liat) a = % bahan organik b = kode struktur tanah c = kelas permeabiltas atau menggunakan
Nomograf Erodibilitas Tanah Weischmeier dan Smith,
sebagaimana disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Nomograf untuk Menentukan Nilai K L = adalah faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22 m di bawah keadaan yang identik. L dapat dihitung dengan rumus: m ⎛ x ⎞ Faktor L = ⎜ ⎟ ⎝ 22 ⎠ Nilai m tergantung pada kemiringan lereng (m = 0.2 jika s < 1%; m = 0.3 jika 1%<s<3%; m = 0.4 jika 3.5%<s<4.5% dan m = 0.5 jika s > 5%) S=
faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik. Faktor S dapat dihitung dengan rumus :
24
Faktor S = 0.065 + 0.045 s + 0.0065 s2 (untuk s<12%) Faktor S = (s/9)1.35 (untuk s > 12%) Faktor LS dapat ditentukan secara simultan dengan menggunakan nomograf Weismeier dan Smith (1978). C = adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman. Faktor C dapat dilihat dari berbagai hasil penelitian yang sudah ada. P = adalah faktor tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus terhadap besarnya erosi tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan identik. Faktor P juga dapat ditentukan dengan melihat hasil penelitian yang sudah ada. Kelemahan dan Keunggulan USLE
Menurut Goldman et al. (1986) persamaan USLE mempunyai keterbatasan dan keunggulan sebagai berikut: Asumsi:
-
dapat digunakan pada lereng yang panjangnya ≤ 400 feet
-
digunakan pada kemiringan lereng 3% - 18%
-
hanya dapat digunakan pada lahan dengan sistem penanaman dan pengelolaan yang konsisten
-
hanya dapat digunakan pada DAS yang tidak terlalu luas (DAS kecil)
-
efektif digunakan pada unit lahan yang tanahnya bertekstur sedang (tidak untuk tanah yang bertekstur berpasir)
Kelemahan:
-
sulit digunakan pada kejadian hujan tertentu
-
sulit digunakan pada DAS yang kompleks
-
tidak memperhitungkan proses (bersifat empirik)
25
Keunggulan:
-
mudah diaplikasikan
-
dapat diterapkan dimana saja (universal), dengan penetapan nilai setiap faktor secara tepat.
-
dapat memprediksi erosi dalam jangka panjang pada penggunaan lahan yang berbeda-beda. Secara skematik persamaan USLE disajikan dalam Gambar 6.
Besarnya Erosi yang akan terjadi adalah fungsi : Kemungkinan Erosi Tanah
Hujan Energi
Sifat Tanah
Kekuatan Perusak Hujan
A
R
Pengelolaan
Pengelolaan Lahan
K
LS
Pengelolaan Tanaman
P
C
Gambar 6. Skema Persamaan USLE (Arsyad, 2006) Selanjutnya menurut Hudson (1978), terdapat dua aplikasi utama dari persamaan USLE ini, yaitu: a. Untuk memprediksi kehilangan tanah akibat erosi Pada situasi tertentu nilai setiap faktor dalam persamaan adalah tetap, di lapang atau pada tanah tertentu, panjang dan kemiringan lereng diketahui, dengan pola tanam tertentu. Untuk setiap variabel ini dipilih nilai numerik yang tepat, dan jika semua faktor tersebut dikalikan, maka jumlah erosi yang diprediksi oleh persamaan dapat dihitung. Kita mengetahui semua term pada bagian kanan persamaan dapat digunakan untuk menghitung A. Kita juga dapat memprediksi berapa perubahan tanah yang hilang jika kita mengubah nilai beberapa variabel tersebut.
26 b. Untuk memilih tindakan dalam pertanian Dalam hal ini, bagian kiri persamaan, yaitu A (erosi) sama dengan kehilangan tanah maksimum yang dapat diterima. Di bagian kanan persamaan beberapa faktor yang mewakili variabel yang tidak dapat dikendalikan, seperti erosivitas (R), erodibilitas (K), dan kemiringan lereng dan nilai ini juga telah dapat ditentukan. Faktor-faktor lainnya adalah perbedaan sistem penanaman, perbedaan metoda ploughing dan lain-lain. Persamaan dapat memilih kombinasi yang bervariasi dari faktor-faktor ini sehingga persamaan seimbang (balance), yaitu erosi tidak akan melebihi target. Aplikasi ini berguna sebagai pertimbangan dalam membuat rekomendasi untuk para petani dalam pengelolaan tanaman. Jenis solusi yang dihasilkan dari persamaan mungkin tanpa sedikitpun tindakan konservasi (nilai P tinggi), namun rotasi akan mencakup proporsi yang tinggi dari tutupan tanaman (nilai C rendah perlu untuk menyeimbangkan persamaan). Tetapi jika lahan dibuat teras (untuk mengurangi P) rotasi harus terdiri dari cash crops yang lebih banyak (nilai C menjadi lebih tinggi). Tidak ada solusi tunggal yang mutlak dari persamaan tersebut, yang ada dengan berbagai cara dapat diperoleh lebih dari satu jawaban terhadap bagaimana untuk mengelola lahan. USLE telah dimodifikasi dan diperluas untuk kondisi yang sesuai di Pasifik Barat laut, Hawaii dan wilayah range land di bagian barat. Modifikasi tersebut telah memasukkan run off dan peak flow sebagai parameter, menggantikan faktor energi dan intensitas curah hujan untuk memperoleh model sediment yield untuk hujan tertentu (William, 1977). Penggunaan dan Penyalahgunaan USLE
Persamaan USLE dirancang untuk memprediksi sheet dan riil erosion. Dalam hal ini kehilangan tanah harus dibedakan dengan sediment yield. Kehilangan tanah diprediksi dengan persamaan adalah bagian tanah yang diangkut pada kemiringan tertentu yang ditetapkan sebagai faktor topografi. Informasi ini sangat diperlukan untuk perencanaan konservasi tanah. Namun pada umumnya, tidak semua sedimen dihasilkan pada lereng yang ditinggalkan.
27 Sediment yield di lapang merupakan jumlah kehilangan tanah pada bagian lereng dikurangi deposisi dalam depresi di lahan, pada kaki lereng, sepanjang batasan petak dan di dalam saluran teras. Persamaan USLE tidak menghitung deposisi ini (Weischmeier dan Smith, 1978). Banyak variabel dan interaksi yang mempengaruhi sheet dan riil erosion. USLE menggolongkan variabel ini menjadi enam faktor erosi utama, hasilnya untuk suatu kondisi tertentu mewakili kehilangan tanah rata-rata tahunan. Menurut Weischmeier (1978), ada beberapa sumber kekeliruan dalam menerapkan USLE, yaitu: -
USLE sering digunakan pada DAS yang kompleks, padahal USLE tidak bisa digunakan untuk memprediksi erosi pada DAS yang kompleks karena tidak ada sistem pengelolaan dan penanaman yang konsisten, variabilitas wilayah sangat tinggi. USLE membutuhkan data yang spesifik dan detil. Oleh karena itu hasil perhitungan yang diperoleh akan keliru (atau tidak sesuai dengan kondisi aktualnya).
-
USLE akan memberikan hasil yang keliru jika digunakan untuk prediksi sedimentasi di reservoir, karena USLE hanya digunakan untuk memprediksi erosi pada suatu unit lahan, bukan untuk prediksi sedimentasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Penetapan faktor C dan LS juga sering menyebabkan kekeliruan
perhitungan erosi berdasarkan USLE. Faktor C sering ditentukan berdasarkan kondisi tanaman dalam satu musim tanam atau berdasarkan hasil interpretasi citra landsat atau foto udara yang terakhir, pada hal faktor C yang dimaksudkan dalam USLE adalah faktor C yang menggambarkan kondisi penanaman selama satu tahun. Selain itu faktor LS sering ditentukan berdasarkan peta topografi sehingga hasil yang diperoleh bias, karena interpretasi dan perhitungan yang kurang tepat. Seharusnya penentuan faktor LS ini harus berdasarkan pengukuran langsung di lapang.
2.7. Degradasi Lahan
Degradasi lahan pertanian yang dihadapi terutama berupa menurunnya kesuburan fisik dan kimia tanah akibat erosi maupun akibat penggunaan lahan
28 yang over intensive. Sejak krisis ekonomi, laju degradasi lahan pertanian cenderung meningkat karena perambahan hutan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan. Sementara itu, praktek pertanian konservasi tidak berkembang dengan baik karena tiadanya insentif ekonomi yang sepadan (Sumaryanto et al., 2002). Degradasi akibat penggunaan lahan yang terlalu intensif tercermin dari kecenderungan terjadinya ”lapar pupuk”. Beberapa tahun terakhir ini, untuk mempertahankan produktivitas yang dicapai petani mengaplikasikan dosis pemupukan yang lebih tinggi (Sumaryanto et al., 2002). Hal ini diduga berkaitan dengan terkurasnya unsur-unsur hara mikro dalam tanah maupun kesuburan fisik tanah akibat semakin habisnya bahan organik yang terkandung dalam tanah akibat intensitas tanam yang tinggi dan terlalu mengandalkan pupuk anorganik semata, seperti N, P dan K. Degradasi lahan (land degradation), menurut Padusung dan Arman (2002), disebabkan oleh erosi, pencemaran air tanah dan air permukaan oleh pestisida dan limbah industri, penanaman tanaman secara terus-menerus dalam jangka waktu lama tanpa ada usaha pengembalian sisa, dan kegiatan penambangan seperti penambangan batu bara, minyak bumi dan bahan mineral. Namun, penyebab utamanya adalah erosi, sebagai akibat kurang tepatnya penggunaan dan pengelolaan lahan yang diikuti dengan curah hujan yang tinggi. Lahan dengan kerentanan tinggi terhadap degradasi memiliki sebaran yang luas di Indonesia. Kerentanan lahan ditentukan oleh sifat tanah yang terbentuk pada proses awalnya. Tanah rentan apabila terdegradasi akan meninggalkan kerusakan yang berat dan relatif permanen. Peningkatan kecepatan meluasnya degradasi lahan pada tanah rentan disebabkan antara lain karena kesalahan dalam pengelolaan (Djuwansah, 2002). Proses degradasi lahan saat ini terjadi dimana-mana. Pertambahan jumlah penduduk beserta peningkatan pesat akan kebutuhan sumberdaya lahan menjadi pemicunya. Sebagai respons dari perkembangan di atas, telah terjadi konversi lahan dalam skala luas. Di daerah padat hunian, lahan-lahan pertanian produktif dikonversikan menjadi lahan-lahan industri non-pertanian sehingga terjadi konversi, salah satunya lahan pertanian dan perkebunan. Pada proses konversi ini, batas-batas kemampuan lahan seringkali terabaikan (Djuwansah, 2002).
29 Menurut Djuwansah (2002), faktor pembatas utama di daerah pegunungan terutama adalah faktor fisik, dimana bentuk lahan pada umumnya berlereng terjal dengan bentuk wilayah yang berbukit atau bergunung. Pada tanah-tanah yang berasal dari endapan bahan vulkanik, batas kemiringan ini bisa lebih longgar karena tanah yang berkembang diatasnya memiliki kestabilan fisik yang lebih mantap. Pada tanah vulkanik, usahatani tanaman keras masih bisa dilakukan pada lahan dengan kemiringan yang lebih tinggi, sedangkan pada tanah dengan bahan induk non-vulkanik, penggunaan lahan di atas ambang batas kemiringan yang ditentukan bisa mengakibatkan terjadi tanah longsor. Pembatas lainnya yang biasa ditemukan di daerah pegunungan adalah banyaknya jumlah fragmen batuan yang terdapat pada lapisan oleh, sehingga menyulitkan pengolahan tanah. Pada umumnya persoalan fisik lebih mudah dikuasai sehingga masyarakat petani tradisional dapat mengatasinya, misalnya melalui sengkedan pada tanahtanah berlereng dan pembersihan batuan. Permasalahan kimia pada umumnya sulit dimengerti oleh petani tradisional, sehingga lahan tidak dapat digarap. Hal ini menyebabkan lahan-lahan di daerah pegunungan menipis cadangan haranya. Mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 1985, Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak meliputi rencana alokasi peruntukan ruang berdasarkan fungsi sebagai berikut: 1.
Kawasan lindung yang terdiri dari hutan lindung, hutan suaka alam, dan areal lindung lainnya di luar hutan
2.
Kawasan penyangga yang terdiri dari peruntukan ruang untuk perkebunan teh, tanaman tahunan, dan hutan produksi terbatas
3.
Kawasan budidaya pertanian yang terdiri dari peruntukan ruang untuk tanaman tahunan, tanaman pangan lahan kering, dan tanaman pangan lahan basah
4.
Kawasan budidaya non-pertanian yang terdiri dari peruntukan ruang untuk pemukiman perkotaan, pemukiman perdesaan, industri, dan pariwisata. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya
30 alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2002). Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 1985, kawasan penyangga mempunyai fungsi penyangga yang dapat berfungsi lindung dan budidaya terbatas, sebagai pembatas antara kawasan dan kawasan budidaya dan berperan untuk menunjang terjaminnya fungsi pada kawasan lindung guna mengendalikan perkembangan fungsi budidaya.
2.8. Penguasaan Lahan dan Konservasi Tanah
Susilowati et al., (1997) menyebutkan bahwa kegiatan konservasi tanah seringkali mengalami kegagalan karena sebagian besar lahan garapan berstatus tanah sewa. Penggarap tidak mau mengeluarkan biaya karena tidak ada kepastian hasil investasi konservasi tanah dapat dinikmati, sementara petani pemilik tidak mempunyai wewenang lagi atas tanahnya untuk melakukan konservasi tanah karena telah digarap orang lain. Teknologi konservasi tanah masih merupakan barang baru bagi petani, sehingga upaya penerapan oleh masyarakat harus melalui proses adopsi inovasi yang cukup lama. Kesulitan utama dalam mentransfer teknologi tersebut agar diterapkan petani adalah bagaimana menunjukkan kepada mereka, keuntungan yang dapat diperoleh dalam jangka pendek. Konservasi tanah umumnya memerlukan waktu yang relatif lama, karena terdapat tahapan-tahapan waktu untuk menunjukkan terjadinya peningkatan produksi tanaman secara nyata. Konservasi tanah dapat terhambat oleh status kepemilikan lahan dan fragmentasi fisik maupun hamparan. Berbeda dengan lahan sawah irigasi, lahan tegalan atau ladang lebih mudah dilakukan secara fisik, karena aksesibilitas terhadap sarana dan prasarana masih relatif belum berkembang (Setiyanto, 2001) Terkait dengan penerapan teknik konservasi tanah dikatakan oleh Adiyana dan Manwan (1993) dalam Syam (2003), mengemukakan bahwa pengembangan usahatani terpadu berkelanjutan ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu: (1) komitmen kebijakan dan program pemerintah, (2) dukungan eksternal (penyuluhan, kredit, subsidi, pemasaran, serta kelembagaan dan unsur pelayanan lainnya), (3) partisipasi masyarakat (petani dan swasta), dan (4) ketersediaan teknologi. Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lain sehingga memerlukan pendekatan secara terpadu dalam suatu sistem.
31 Sedangkan dalam pembuatan teras bangku merupakan tindakan konservasi yang paling efektif dan mampu menurunkan erosi, namun memerlukan biaya yang besar. Dengan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pembuatan teras bangku yang dilakukan di DAS Solo misalnya, untuk satu hektar diperlukan antara 357-1334 HOK pada lahan dengan kemiringan 10-40%. Begitu juga hasil penelitian di Panawang untuk satu hektar diperlukan tenaga kerja antara 291-968 HOK pada lahan dengan kemiringan yang sama, sudah termasuk penanaman rumput dan pembuatan terjunan air (Anonim, 1982, dalam Rachman et al., 1989). Hasil penelitian di Panawang tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di Taiwan, yang membutuhkan tenaga 240 HOK/ha (Wu 1971 dan Liao dan Wu 1987, dalam Rachman et al., 1989). Tenaga kerja untuk pembuatan teras gulud berkisar 36-156 HOK/ha yang dilakukan di DAS Solo misalnya, sedangkan hasil penelitian di Semboja dan Kuamang Kuning Jambi pada kemiringan 8-15% dibutuhkan sekitar 25-90 HOK/ha dan hasil penelitian Wu (1971) dalam Rachman et. al. (1989) di Taiwan dibutuhkan tenaga kerja antara 24-51 HOK/ha untuk membuat Hillside ditch, yang mirip teras gulud di Indonesia (Rachman et al., 1989). 2.8.1. Metode Konservasi Tanah
Metode konservasi tanah menurut Arsyad (2006) dan Sitorus (2004), dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1. Metode Vegetatif Metode vegetatif dalam konservasi tanah mempunyai tiga fungsi, yaitu: (1) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran permukaan atau aliran air di atas permukaan, dan (3) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan kemampuan tanah menyerap air. Termasuk dalam metode ini adalah (1) penghutanan atau penghijauan, (2) penanaman dengan rumput makanan ternak, (3) penanaman dengan tanaman penutup tanah permanen, (4) penanaman tanam-tanaman dalam strip (strip cropping), (5) pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah, (6) penggunaan sisa-sisa tanaman (residue management), dan (7) penanaman saluran pembuangan air dengan rumput (vegetated atau grass waterways).
32 2. Metode Mekanik Metode mekanik dalam konservasi tanah mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) memperlambat aliran permukaan, dan (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Termasuk dalam metode ini adalah (1) pengolahan tanah (tillage), (2) pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan galengan dan saluran menurut kontur, (3) pembuatan galengan dan saluran menurut kontur, (4) pembuatan teras seperti teras tangga atau bangku, (5) perbaikan drainase dan pembangunan irigasi, dan (6) pembuatan waduk, dam penghambat (check dam), tanggul dan sebagainya. 3. Metode Kimia Kemantapan struktur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang menentukan kepekaan terhadap erosi. Di sekitar tahun 50-an telah dikembangkan senyawa kimia yang digunakan untuk pembentukan struktur tanah yang stabil. Senyawa kimia tersebut secara umum disebut soil conditioner. Beberapa jenis soil conditioner yang digunakan adalah (1) krilium yaitu merupakan garam natrium dari poly acrylonitrile, (2) polymer tidak terionisasi: polyvinyl alkohol (PVA), (3) polyanion: polyvinyl acetate (PVAC), polyacrylic acid (PAA), vinyl acetate malic, acid copolymer (VAMA), (4) polycation: DAEMA – dimethyl amino ethyl meta crylate, (5) dipole polymer: mempunyai gugus positif dan negatif seperti PAM, polyacrylamide, dan (6) emulsi bitumen.
2.8.2. Usahatani Konservasi
Usahatani konservasi menurut Sasa (1990), adalah usahatani yang mengkaitkan antara sumberdaya alam (tanah dan iklim), teknologi konservasi tanah dan air, pola tanam dan ternak) serta sosial ekonomi (keterampilan, modal tenaga kerja dan pasar) menjadi satu kesatuan usaha dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan produktivitas tanahnya. Dalam usahatani konservasi akan diwujudkan ciri-ciri sebagai berikut (Sinukaban, 1994): a. Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya b. Pendapatan petani cukup tinggi, sehingga petani dapat merancang masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya
33 c. Teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi yang dapat disesuaikan dengan kemampuan petani sehingga dapat diteruskan pelaksanaannya oleh petani secara terus menerus d. Komoditi pertanian yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar e. Laju erosi kecil (minimal), lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produktivitas yang cukup tinggi dapat dipertahankan secara lestari dan fungsi hidrologi daerah dapat terpelihara dengan baik f. Sistem kepemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (long term investment security) dan menggairahkan petani untuk terus menerus berusahatani konservasi. Untuk
mengoptimalkan
penggunaan
lahan,
mempertahankan
dan
meningkatkan produktivitas pertanian serta meminimumkan terjadinya kerusakan, maka kegiatan usahatani yang dilakukan harus direncanakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekologi suatu wilayah.
2.9. Agropolitan
Agropolitan (agro = pertanian, politan = kota) adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik dan menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2002). Kota pertanian (agropolitan) berada dalam kawasan sentra produksi pertanian yang memberikan kontribusi besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya kawasan tersebut disebut sebagai kawasan agropolitan yang terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya. Batasan kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan tetapi lebih ditentukan oleh skala ekonomi yang ada. Dengan kata lain kawasan agropolitan adalah kawasan agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2002).
34 Konsep agropolitan di Indonesia diadopsi dari konsep Agropolitan District yang dirumuskan oleh Friedmann dan Douglass (1976). Agropolitan District merupakan suatu daerah pedesaan yang mempunyai kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 200 jiwa per km2. Di dalam district biasanya akan dijumpai kota berpenduduk antara 10.000-50.000 jiwa. Batas-batas wilayah district adalah commuting radius (lingkar pulang-pergi) antara 5-10 km. Ukuran-ukuran tersebut menjadikan district umumnya berkisar 50.000-150.000 jiwa dan pada mulanya sebagian besar penduduk bekerja di bidang pertanian.
2.9.1. Pengembangan Pendekatan Agropolitan
Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain, wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan sosial (seperti konflik, kejahatan dan penyakit), dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi pemukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara keseluruhan akan berdampak pada penurunan produktivitas wilayah (Rustiadi dan Hadi, 2004). Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena umumnya sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan mempunyai tanggungjawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri (Rustiadi dan Hadi, 2004). Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga isu utama yang perlu mendapat perhatian, seperti: akses terhadap lahan pertanian dan air, devolusi politik dan wewenang administratif dari tingkat pusat ke tingkat lokal, dan perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih
35 mendukung diversifikasi produk pertanian. Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), pengembangan agropolitan lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten. Hal yang searah antara pendekatan pembangunan agropolitan dengan permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam pembangunan perdesaan saat ini adalah mendorong kearah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan, menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan, dan menekankan pada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi dan Hadi, 2004). Komitmen untuk menerapkan konsep agropolitan sebagai pilihan alternatif pengembangan wilayah secara terpadu, dihadapkan pada beberapa persyaratan, yaitu (Harun, 2004): 1. Dilibatkannya ratusan ribu sampai jutaan petani perdesaan bersama-sama pengembangan
kota-kota
pusat
pertanian
untuk
mengembangkan
pembangunan pertanian secara terintegrasi 2. Tidak ada pilihan lain selain berjalannya secara simultan keterlibatan setiap instansi sektoral di perdesaan untuk mengembangkan pola agribisnis dan agroindustri 3. Tercapainya keserasian, kesesuaian dan keseimbangan antara pengembangan komoditas unggulan dengan struktur dan skala ruang yang dibutuhkan 4. Adanya kesinambungan pengembangan dan pembinaan sarana dan prasarana transportasi wilayah antara daerah produksi pertanian dan simpul-simpul jasa perdagangan dalam program perencanaan jangka panjang 5. Realisasi dari pengembangan otonomi daerah untuk mengelola kawasan pertanian secara mandiri termasuk kewenangan untuk mempertahankan keuntungan komparatif bagi penjaminan pengembangan kawasan pertanian 6. Dalam kondisi infant agroindustry diperlukan adanya kemudahan dan proteksi terhadap jenis komoditas yang dihasilkan, baik di pasar nasional maupun di luar negeri 7. Hampir sulit untuk dihindari akan terjadinya efisiensi produksi pertanian ke arah monokultur-agroindustri dalam skala besar yang rentan secara ekologis.
36 Kunci keberhasilan pembangunan agropolitan adalah memberlakukan setiap distrik agropolitan sebagai unit tunggal otonom mandiri yang terintegrasi secara sinergi dengan keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya. Pengertian otonomi mandiri ini adalah menjaga tidak terlalu besar intervensi sektor-sektor wilayah dan dari segi ekonomi mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertaniannya sendiri. Campur tangan pemerintah pusat melalui instansi sektoralnya yang sangat besar dapat menyebabkan perencanaan pengembangan kawasan yang ada menjadi sia-sia.
2.9.2. Pengembangan Infrastruktur Agropolitan
Kemudahan mendapatkan barang, melalui sarana umum sangat penting di daerah yang terbelakang di negara-negara berkembang jika mereka ingin keluar dari kemelaratan. Sanitasi dan penyimpanan air bersih, komunikasi, pendidikan dasar yang berkualitas dan layanan-layanan kesehatan, dan sebagainya memberikan kontribusi secara langsung terhadap kehidupan individu dan mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga menengah dan ke bawah. Beberapa dekade ini, pemerintah di negara-negara berkembang dan para negara-negara donor dari hubungan bilateral dan multilateral telah memfokuskan usaha besar-besaran untuk meningkatkan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas umum. Tetapi kebanyakan usaha-usaha tersebut sering berakhir dengan kegagalan, bahkan investasi-investasi yang ada gagal menghasilkan fasilitasfasilitas yang mampu bertahan lama, karena kurangnya biaya untuk pemeliharaan sehingga sering dengan subsidipun masih gagal untuk meningkatkan akses ke daerah yang lebih miskin. Kemajuan pertanian yang cepat membutuhkan penyediaan dan perbaikan prasarana jalan, proyek irigasi yang berukuran kecil, sistem listrik pedesaan, perataan tanah dan lain-lain proyek pekerjaan umum yang padat karya (Collier, 1985). Pembangunan kawasan agropolitan yang berbasis pada wilayah pedesaan sangat tergantung pada potensi sumberdaya alam dan kapasitas infrastruktur penunjangnya. Agar mendapat gambaran yang lebih jelas tentang ide pembangunan agropolitan, di bawah ini Friedmann dan Douglass (1976)
37 memberikan beberapa contoh usaha-usaha pembangunan yang disarankan: (1) pengembangan sumberdaya alam secara optimal (lahan, air, hutan, ikan) untuk memperoleh
hasil
yang
tetap,
membuka
tanah,
memelihara
alam,
mengembangkan ternak kecil, (2) pembangunan pembangkit listrik, (3) pembangunan jaringan air minum, (4) pembangunan sistem transportasi, membuat jalan segala cuaca (all weather) dan jalan sepeda (jaringan jalan kecil), jaringan angkutan antar agropolitan serta transportasi penghubung ke jalan-jalan raya dengan ke kota-kota yang lebih besar, (5) pembangunan sistem informasi dankomunikasi agropolitan: telepon, radio, kantor pos, internet, bus kota, (6) pembanguan sistem fasilitas pelayanan umum bagi suatu agropolitan: sekolah rendah, menengah, tinggi, teknik, perpustakaan, pusat penelitian dan pelatihan, sarana budaya, dan hiburan, layanan pusat kesehatan dan keluarga berencana pengembangan sistem produksi pertanian: membuat tempat penyimpanan (gudang) hasil-hasil pertanian yang tahan cuaca dan rayap (untuk mengurangi hilangnya hasil-hasil pertanian dan menjamin persediaan); membangun pusatpusat penyediaan alat-alat pertanian (benih, pupuk, obat-obatan hama, mesinmesin
pertanian);
pembangunan
membangun
jaringan
irigasi,
sarana
pengolahan
(9)
pembangunan
hasil
pertanian,
infrastruktur
(8)
pasar:
mengembangkan koperasi pemasaran, tempat transaksi fisik bagi input produksi, pasar bagi petani, dan pasar bagi produk olahan serta pasar jasa pelayanan bagi masyarakat sekitar wilayah pengembangan agropolitan, (10) pelaksanaan program kesehatan masyarakat dan lingkungan, (11) pengembangan lembaga-lembaga keuangan: membuat koperasi simpan pinjam, bank pemerintah dan swasta. Peningkatan kapasitas sumberdaya alam yang dihasilkan hanya dapat dilakukan apabila infrastruktur penunjangnya tersedia cukup dan memadai. Jumlah dan kelengkapannya saja tidak cukup, jika keberadaan/distribusinya tidak merata dan sulit dijangkau oleh masyarakat. 2.9.3. Pengembangan Tata Guna Lahan Kawasan Agropolitan
Lahan merupakan salah satu aset produktif yang sangat penting di dalam kegiatan usaha pertanian diperdesaan. Namun seringkali akses masyarakat perdesaan terhadap lahan menjadi semakin terbatas karena adanya kelangkaan (land scarcity). Menurut Saefulhakim (2003), kelangkaan lahan ini bisa dibedakan
38 menjadi dua, yaitu: kelangkaan lahan absolut dan relatif. Kelangkaan lahan absolut terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas tidak diperhatikan serta sifatnya irreversible (tidak dapat balik). Kelangkaan lahan relatif terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas diperhatikan dan sifatnya yang dapat balik. Di wilayah perdesaan yang lebih dominan terjadi adalah kelangkaan lahan relatif. Mengingat sifatnya yang dapat balik, maka untuk mengatasinya ada tiga hal yang bisa dilakukan, yaitu melakukan land reform untuk mengatasi masalah kepemilikan lahan yang timpang, melakukan penataan ruang untuk mengatasi kelangkaan lahan akibat terbatasnya aksesibilitas, dan mendorong terjadinya perubahan perilaku yang bisa mendorong meningkatnya produktivitas lahan. Sementara itu satu-satunya jalan yang perlu dilakukan untuk mengatasi kelangkaan lahan absolut adalah dengan meningkatkan kemampuan teknologi. Terjadinya kelangkaan lahan di wilayah perdesaan seringkali terjadi karena dua hal, yaitu: proses fragmentasi lahan akibat meningkatnya jumlah penduduk di perdesaan dan terjadinya proses alih kepemilikan atau alih fungsi lahan. Namun seringkali yang lebih dominan terjadi adalah proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan sehingga terjadi penguasaan lahan yang timpang. Menurut
Rustiadi (2001), di satu sisi proses alih fungsi lahan dapat
dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) Pertumbuhan aktivitas pemanfaatan
sumberdaya alam akibat meningkatnya
permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, dan (2) Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa). Dalam hukum ekonomi pasar sebenarnya alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi, dimana land rent diartikan sebagai nilai keuntungan
39 bersih dari aktivitas pemanfaatan lahan per satuan lahan per satuan luas dalam waktu tertentu. Karena itu alih fungsi lahan merupakan suatu konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi dan dapat dipandang sebagai bagian dari pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumber daya menuju keseimbangan-keseimbangan yang lebih optimal. Namun menurut Rustiadi (2001), seringkali terjadi distorsi yang menyebabkan alokasi pemanfaatan lahan menjadi tidak efisien karena: (1) Economic land rent aktivitas-aktivitas tertentu, khususnya aktivitas pertanian tidak sepenuhnya mencerminkan manfaat ekonomi yang dihasilkannya akibat berbagai eksternalitas yang ditimbulkannya tidak terlihat dalam nilai pasar yang berlangsung, dan (2) Struktur permintaan atas lahan seringkali terdistorsi akibat sifat nilai lahan yang juga sangat ditentukan oleh expected value-nya di masa yang akan datang, akibatnya struktur permintaan akan lahan perumahan dan sektor properti terdistorsi, yaitu tidak mencerminkan tingkat permintaan yang sebenarnya akibat adanya permintaan investasi dan spekulasi lahan. Akibat proses alih fungsi lahan tidak disertai dengan meningkatnya produktivitas lahan melainkan justru terjadi menurunnya produktivitas lahan. Dalam
kaitannya
dengan
pengembangan
kawasan
agropolitan,
pengembangan infrastruktur perkotaan akan bisa meningkatkan nilai land rent dan meningkatkan expected value dari lahan dimasa yang akan datang. Hal ini bisa mendorong terjadinya proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan agropolitan.
Karena
itu
tentunya
diperlukan
langkah-langkah
untuk
mengendalikan proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan agropolitan yang telah mempunyai infrastruktur perkotaan. Dengan membuat penurunan lebih lanjut terhadap Model Von Thunnen, Saefulhakim (1995), merumuskan beberapa faktor penting pendorong konversi penggunaan lahan dan perusakan lingkungan, antara lain sebagai berikut: 1. Perkembangan standar tuntunan hidup yang tidak seimbang dengan kemampuan masyarakat meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan pendapatan 2. Struktur harga-harga yang timpang, misalnya term of trade antara output sektor pertanian dengan output sektor-sektor non-pertanian
40 3. Struktur biaya produksi yang timpang dengan struktur harga-harga yang juga terkait dengan pola spasial kualitas lahan, struktur skala penguasaan/ pengusahaan lahan, sistem infrastruktur dan sistem kelembagaan 4. Kemandegan perkembangan teknologi intensifikasi yang tidak hanya terjadi di sektor perdesaan juga di sektor pertanian 5. Pola spasial aksesibiilitas 6. Tingginya resiko dan ketidakpastian 7. Sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan. Sementara itu menurut Anwar (2001), tingginya proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan ini terutama terjadi karena kurangnya penegasan terhadap hak-hak (property right) masyarakat terhadap lahan. Akibatnya seringkali terjadi penyerobotan-penyerobotan lahan atau lahan yang ada dihargai sangat murah karena posisi tawar masyarakat perdesaan yang masih sangat lemah. Dalam kondisi seperti ini Saefulhakim (2001), menyatakan bahwa tipe-tipe kepemilikan lahan yang tidak menjamin kepastian (uncertain ownership of land) akan mendorong setiap aktivitas ke arah pola pemanfaatan yang bersifat eksploitatif yang mempercepat degradasi sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Dengan melihat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap semakin terbatasnya akses masyarakat terhadap lahan, maka upaya-upaya untuk mengendalikan terjadinya konversi lahan dapat lebih difokuskan pada faktorfaktor dominan yang tentunya bisa berbeda di setiap wilayah. Selain itu dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan agropolitan, peningkatan akses masyarakat terhadap lahan dan penegasan hak-hak mereka atas lahan tersebut perlu dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menurunkan resiko dan ketidakpastian.