II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perkembangan Dunia Pertambangan di lndonesia Selama beratus - ratus tahun yang lampau hingga kini, kebutuhan
manusia akan sumberdaya mineral terus mengalami perkembangan, dari keperluan akan perhiasan, peralatan rumah tangga, pertanian, transportasi sampai kepada industri persenjataan. Sejarah pengusahaan penambangan di kepulauan lndonesia menurut catatan sejarah di prakarsai oleh orang Hindu dan Cina pendatang yang mencari emas ratusan tahun yang lalu. Orang-orang pribumi yang mendiami kepulauan lndonesia lebih memilih bertani daripada kerja tambang yang berbahaya dan bersifat untung-untungan. Dalam catatan beberapa pengarnat pertambangan di Indonesia, emas telah mulai diusahakan di lndonesia sejak tahun 700 SM (Soesastro dan Sudarsono, 1986; Sigit, 1992). Bahan galian tertua kedua, yaitu Timah, telah diusahakan penambangannya di lndonesia sejak tahun 1700-an. Meskipun demikian bahan galian ini telah ditemukan sejak tahun 1700 SM. Hampir seluruh kegiatan penambangan dikala itu diusahakan oleh rakyat dan dalam skala usaha yang tidak besar. Meskipun usianya yang sudah cukup tua, usaha penambangan bahan galian di kepulauan lndonesia relatif tidak tersentuh intervensi kapital yang intensif. Potensi pertambangan di negeri ini baru mulai dikembangkan menjelang akhir abad ke-19 ketika orang-orang Belanda datang dan berhasil menjajah Indonesia. Perkembangan itu berlangsung lamban, disebabkan karena kolonialisasi Belanda di lndonesia lebih berorientasi pada sektor pertanian. Perlakuan Belanda kepada orang-orang pribumi dalam pengusahaan pertambangan hanya dijadikan buruh kasar, sedikit saja yang sempat menjadi
mandor ataupun pengawas. Karena sumberdaya mineral sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi maka upaya pernbodohan secara sistimatis pihak penjajah telah menjauhkan masyarakat lndonesia dengan dunia pertambangan. Maka tidak mengherankan bila akhirnya bagian terbesar masyarakat lndonesia hingga kini, awam dalam soal pertambangan dan menganggap bidang geologi dan pertambangan sesuatu yang asing, bahkan eksklusif. 2.1 .I.Zaman Kekuasaan VOC 1619-1799 Penjajahan Belanda atas kepulauan Nusantara berawal pada tahun 1619, yaitu sejak perusahaan dagang "Vereenigde Oost lndische Compagnie" (VOC), dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta dan mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia. Akibat hutang yang sudah menumpuk pada pemerintah Belanda dan tidak mungkin lagi terbayar. Akhirnya, setelah dinyatakan bangkrut, maka pada tanggal 1 Januari 1880 VOC dibubarkan dan semua tanah jajahan dan miliknya diambil alih pemerintah Belanda yang berkuasa hingga tanggal 8 Maret 1942, yaitu ketika Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang dalam perang Pasifik. Keterlibatan VOC dalam usaha pertambangan karena keterdesakan oleh kekurangan logam perak untuk pembuatan mata uangnya, ha1 itu terlihat dalam penguasaan mereka terhadap penambangan perak di Salida, Sumatera Barat, ha1 mana VOC menguasai tambang Salida yang sebelumnya dikuasai oleh orang-orang Hindu.
-
Tetapi karena orang-orang Belanda VOC sendiri ketika itu tidak memiliki kemampuan menambang, maka pada tahun 1669 oleh VOC didatangkan orang-orang Jerman dari daerah Harz dan budak belian dari Madagaskar untuk membuka dan rnenjalankan Tambangnya (Soetaryo Sigit, 1995;5).
Di Sumatera Selatan, selain menjadi tengkulak merica, VOC sejak tahun 1710 juga melakukan pembelian timah dari Sultan Palernbang, hasil tambang-tambang yang dikelfakan oleh orang-orang Cina di pulau Bangka. Meskipun kemudian VOC memperoleh manopoli atas perdagangan timah ini, peranan mereka hanya tetap sekedar sebagai tengkulak yang tidak berminat melakukan penambangan sendiri. 2.1.2. Pertambangar? Masa Hindia Belanda
Setelah semua milik VOC diambil alih oleh pemerintah Hinda Beianda, sampai jatuhnya tanah jajahan in; ke tangan pemerintah lnggris tahun 1811, gaya Belanda memerintah koloninya tidak ubahnya seperti VOC. Baru setelah lnggris menyerahkan kembali tanah jajahan ini kepada Belanda (tahunl816), dilaksanakan perubahan. Keinginan melakukan pengusahaan pertambangan justru muncul dari pihak swasta dan perorangan Belanda untuk dua jenis mineral yakni timah dan batubara. Pada tahun 1850 berhasil dibuat sebuah peraturan
pertarnbangan
(mijnreglement) yang
pertama.
Peraturan
ini
memungkinkan pemberian hak penambangan kepada swasta warga negara Belanda, tetapi terbatas untuk daerah-daerah luar P. Jawa. Pengecualian P. Jawa ini disebabkan karena pemerintah Hindia berpendapat akan timbul konflik antara hak penambangan dan sistem cultuurstelsel dalam perkebunan dan pertanian yang telah diberlakukan di pulau Jawa pada saat itu (Soetaryo Sigit,
Dalam tahun 1850 konsesi pertambangan pertama diberikan kepada swasta Belanda untuk penambangan timah di pulau Belitung dan pada tahun 1852 oleh pemerintah didirikanlah "Dienst van het Mijnwezen" (Jawatan Pertambangan). Jawatan ini melakukan eksplorasi geologi pertarnbangan di
beberapa daerah untuk kepentingan pernerintah Hindia Belanda. Tetapi perkembangan selanjutnya berlangsung sangat lambat. Baru dalam tahun 1899 pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan "lndische Mijl;:ventJ',yaitu undang-undang pertambangan untuk Hindia Belanda, sedang peraturan pelaksanaannya baru menyusul terbit dalam tahun 1906 dalam bentuk "Mijnordonantie".
Karena dirasa masih menghambat berkembangnya kegiatan swasta, maka "lndische Mijnwet 1899" masih mengalami dua kali amandemen, yaitu pada tahun 1910 dan 1918. Maka dapat dikatakan bahwa diluar usaha pertambangan milik pemerintah sendiri (seperti tambang batubara Ombilin, Tambang Timah Bangka dan Tambang Bukit Asam), pertambangan Hindia Belanda baru benar-benar berkembang setelah tahun 1918 dan mencapai puncak menjelang pecah Perang Dunia II (Soetaryo Sigit, 1995;8). Sudah menjadi kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda untuk mengusahakan sendiri tambang-tambang besar -yang dinilainya vital. Tetapi kemudian, untuk beberapa proyek besar seperti pengembangan tambang nikel di
Sulawesi Tenggara,
pihak swasta mendapat hak
pengusahaannya
berdasarkan suatu kontrak khusus dari pemerintah yang dikenal dengan sebutan 5a contract (vijf a contrac). karena kontrak semacam ini didasarkan pada ketentuan pasal 5a lndische Mijnwet. Menurut Ter Braake (1944), pada akhir 1938 jumlah konsesi dan izin pertambangan di Hindia Belanda, termasuk untuk pengusahaan minyak bumi, seluruhnya tidak kurang dari 471 buah. Dibandingkan dengan perkembangan di India, Filiphina dan Australia, perkembangan pertambangan di Hindia Belanda saat itu masih sangat terlambat, dan keterlambatan itu terbukti membawa
kerugian tidak sedikit. Beberapa tambang baru, seperti tambang emas (Bengkalis, Cikotok, Woyla), tambang bauksit (P. Sintan), tambang nikel (Pomala), dll. yang baru dibangun tahun 1930-an diambang pecahnya perang Pasifik, belum sampai berproduksi optimal ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Luas cakupan usaha pertambangan di Hindia Belanda dapat disimpulkan dari daftar harga produksi bahan tambang tahun 1940, yaitu tahun terakhir sebelum pecah perang Pasifik, ketika segalanya masih berjalan normal. Produksi hasil tambang terpenting Hindia Belanda tahun 1940 adalah sebagai berikut : batubara 2.000.680 ton; timah 43.890 ton; emas 2.801 kg; perak 46.641 kg; bauksit 275.220 ton; bijih nikel 55.540 ton; dan bijih mangan 11.579 ton. Khusus mengenai prospek emas, pendapat para pakar Belanda saat itu sangat mineur. Belasan tambang emas yang dikembangkan pada permulaan abad ke-20 di Hindia Belanda, bagian terbesar berakhir dengan rugi dan kebangkrutan. Hanya dua tambang saja yaitu Rejang Lebong dan Simau, keduanya di Sengkulu, yang terbukti menguntungkan. Ringkasnya, pengembangan pertambangan di zaman Hindia Belanda hanya mampu memberikan kesimpulan yang kurang menggembirakan. Dibidang geologi dan eksplorasi ternyata juga belum banyak yang dikerjakan pemerintah Hindia Belanda. Pemetaan geologi bersistem telah
mulai
dilaksanakan, tetapi kegiatan ini terhenti menjelang pecah perang. Eksplorasi geologi pertambangan yang dilaksanakan melalui kegiatan kantor-kantor wilayah, juga telah dilakukan oleh "Dienst van het Mijnwen" Tetapi kegiatan ini sudah terpaksa dihentikan pada permulaan tahun 1930-an akibat krisis ekonomi (malaise). Secara geologi, hanya 5% luas daratan Indonesia yang sudah
dipetakan cukup rinci secara bersistem, 75% lagi disurvei secara kasar, sedang 20% selebihnya masih belum diketahui sama sekali geologinya. Maka tidaklah
mengherankan bahwa tidak ada seorangpun dari pakar geologi-pertambbngan Belanda waktu
itu yang berani meramalkan kebesaran masa
depan
pertambangan Indonesia. 2.1.3.
Perkembangan Selama Periode 1942-1949 Menyerahnya
tentara
kerajaan
Hindia
Belanda
KNlL
kepada
balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia. Menjelang serbuan Jepang, tidak semua tambang di Hindia Belanda sempat dibumihanguskan oleh Hindia Belanda. Beberapa tambang yang menghasilkan bahan mentah yang sangat diperlukan untuk perang, dibuka kembali dan diteruskan oleh orangorang Jepang. Dibandingkan dengan apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah Hindia
Belanda
sebelumnya,
usaha
orang-orang
Jepang
untuk
mengembangkan potensi pertambangan lndonesia hanya dalam waktu tiga tahun semasa perang itu dapat dikatakan menakjubkan. Kegiatan eksplorasi menghasilkan beberap temuan baru dan sejumlah tambang batubara baru telah mereka mulai. Telah diusahakan pula untuk mencari dan membuka tambang tembaga, bijih besi, sinaber, bijih manggan dan bauksit. Namun kesemuanya itu dilaksanakan berdasarkan konsep "ekonomi perang", dengan menggunakan tenaga kerja paksa. Bulan Agustus 1945 Perang Pasifik berakhir, disusul dengan perang kemerdekaan lndonesia yang berlangsung hingga akhir 1949. Selama kurun waktu itu tidak banyak yang dapat dilakukan di bidang geologi pertambangan (Soetaryo Sigit, 1995;10)
2.1.4. Perkembangan Selama Periode 1950-1966
Perkembangan kegiatan geologi-pertambangan di lndonesia selama kurun waktu 1950-1966 tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik waktu itu yang ditandai dengan banyak ketegangan dan pergolakan. Pernberontakan bersenjata timbul di beberapa daerah. Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia, rnasalah pengawasan atas usaha pertambangan yang masih dikusai modal Belanda dan modal asing lainnya, merupakan issu politik yang peka. Dalam bulan Juli 1951, anggota Dewan Penvakilan
Rakyat Sementara
Teuku
Moh.
Hasan dan
kawan-kawan
mengajukan mosi, mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkahlangkah guna membenahi pengawasan dan pengaturan usaha pertarnbangan. Mosi Teuku Moh. Hassan dkk. itu mendesak pemerintah a.l supaya: (1) dalarn waktu sebulan membentuk satu Panitia Urusan Pertambangan dengan tugas secepat mungkin menyelidiki tambang minyak, tambang timah, tambang batu arang, tambang emaslperak, dan lain-lain di lndonesia (2) mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia, yang sesuai dengan keadaan dewasa ini (3) menunda segala pemberian izin konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan. Karena silih bergantinya kabinet, pemerintah tidak kunjung berhasil menyampaikan rencana undang-undang yang dimaksud kepada DPRS. Meskipun iklim politik tidak mendukung, dalam tahun 1958 pemerintah sempat menerbitkan undangundang No.78 tahun 1958 tentang Modal Asing. Tetapi sepanjang mengenai bidang pertambangan, undang-undang ini tidak rnemberikan peluang apapun.
Pasal 3 undang-undang tersebut menyatakan bahwa : perusahaan-perusahaan pertambangan bahan-bahan vital tertutup bagi modal asing. Tahun 1952 sebuah panitia negara berhasil menyusun sebuah naskah Rencana Undang-Undang Pertambangan. Tetapi naskah ini tidak sempat dibahas karena pergantian kabinet yang berlangsung cepat pada tahun itu. Tahun 7959 pemerintah menerbitkan UU No. 10 Tahun 1959 tentang Pembatakan Hak-Hak Pertambangan, kemudian ketentuan pelaksanaannnya diterbitkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1959. Tahun 1960 keluar Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1960 tentang Pertambangan yang statusnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), yang selanjutnya bisa disebut dengan UU No. 37 Prp tahun 1960. UU No.37/Prp/1960 atau UU Pertambangan 1960 ini sangat membatasi peran swasta, terlebih lagi modal asing, dalam pengusahaan pertambangan di Indonesia. Kesempatan bagi modal asing untuk turut berusaha di bidang pertambangan di Indonesia. Kesempatan bagi modal asing untuk turut berusaha di bidang pertambangan juga dibatasi oleh ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 UU No. 78 Tahun 1958 tentang Modal Asing yang mengatakan bahwa perusahaan-penrsahaan pertambangan bahan-bahan vital tertutup untuk modal asing. Meskipun demikian ketentuan ini tidak mengurangi hak negara untuk menggunakan modal asing dalam bentuk pinjarnan atau dengan perjanjian khusus. Pemerintah pada- waktu kemudian juga membuat konsep baru bagi pengikutsertaan dana dan-teknologi dari luar negeri dengan konsep production
sharing yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 20 Tahun 1963 tentang pemberian fasilitas bagi proyek-proyek yang dibiayai dengam Kredit Luar Negeri. Konsep ini pada dasarnya adalah penyediaan teknologi oleh pihak luar
negeri dengan cara kredit yang akan dibayar dengan produk hasil usaha berdasarkan persentase, tetapi ternyata tidak berhasil mendatangkan minat swasta sebagaimana yang diharapkan. Di saat lndonesia menutup diri di tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an itu, diberbagai bagian dunia lainnya berlangsung, mineral exploration boom yang menghasilkan temuan cadangancadangan bauksit, bijih besi, mangan, tembaga, dan bahan tambang lainnya yang berukuran besar. Permintaan dunia akan berbagai bahan tambang pun sangat besar dan banyak tambang baru berhasil di kembangkan. Meskipun demikian selama kurun waktu 1950-1966 pemerintah dengan bantuan luar negeri masih sempat menyelenggarakan beberapa kegiatan eksplorasi, antara lain untuk pencaharian bijih besi dan batubara kokas di Kalimantan dan Sumatera dalam rangka Proyek Besi Baja dan batuan fosfat serta belerang, terutama di Jawa dan Nusa Tenggara Timur untuk Proyek Superfosfat dan proyek lainnya. Dari kegiatan ini terkumpul sejumlah data geologi dan eksplorasi yang berharga, tetapi keterbatasan dana tidak memungkinkan pemerintah menyelenggarakan pemetaan geologi maupun eksplorasi mineral lebih intensif lagi. Di lain sisi begitu banyak publikasi dan laporan yang disampaikan dalam berbagai forum dan seminar internasional tentang lndonesia oleh para pakar eksplorasi dan pertambangan luar negeri. Akan tetapi, di lndonesia sendiri, hanya kalangan kecil masyarakat geologi pertambangan saja yang menyadari apa yang tengah berlangsung di negerinya sendiri, sesuatu yang tidak mustahil terjadi karena proses pembodohan masrakat oleh penjajah telah berlangsung sejak lama tentang apa itu geologi, eksplorasi mineral ataupun pertambangan.
2.1.5. Kebangkitan lndustri Pertambangan d i lndonesia 1966 - Sekarang Menurut data Ditjen pertambangan umum, pada bulan April 1967, hanya tiga bulan setelah terbitnya undang-undang Penanaman Modal Asing, merupakan titik awal kebangkitan pertambangan di Indonesia, dimana saat itu telah berhasil ditandatangani Kontrak Karya (KK) pertarnbangan yang pertama. Perusahaan pertarnbangan luar negeri yang telah membuat sejarah tidak saja sebagai yang mendapatkan KK pertambangan yang pertama tetapi juga sebagai pemodal asing pertama yang masuk ke lndonesia adalah PT. Freeport lndonesia Inc dari USA. Menyusul kemudian dalam kurun waktu 1968-1972, 16 perusahaan pertarnbangan luar negeri, baik yang besar (seperti ALCOA, Bilton Mij, INCO, Kennecott, US Steel, dsb) maupun yang kecil. Maka dapatlah dinyatakan bahwa sejak itu konsep kontrak karya sebagai suatu produk hukum pertambangan yang di tawarkan lndonesia kepada investor asing sudah dapat diterima kalangan pertarnbangan intemasional secara rnantap. Kontrak Karya (KK) pertambangan rnernberikan hak sekaligus kepada kontraktor untuk melaksanakan usahanya sejak dari tahap survei, eksplorasi sarnpai eksploitasi - pengolahan - penjualan hasil usaha tambangnya, tanpa ada pernisahan antara tahap pra-produksi dan tahap operasi produksi. KK juga rnemuat ketentuan-ketentuan rnengenai soal keuangan dan perpajakan yang diberlakukan selama jangka waktu berlakunya kontrak. Pernerintah juga rnernberikan perlakuan "/ex spisialis" pada KK pertarnbangan, sehingga dengan demikian ketentuan
-
ketentuan ataupun kesepakatan yang telah tercanturn
dalarn kontrak tersebut tidak akan berubah-ubah karena berganti-gantinya peraturan-peraturan perundang-undangan rnemberikan penting
bagi
rnemerlukan
kepastian umum bagi usaha waktu
yang
investor,
berlaku
urnum.
Hal ini
suatu ha1 yang
terarnat
pertarnbangan yang selalu persiapan
lama
berisiko tinggi dan sebelum
dapat
mulai berproduksi. Menurut ungkapan asing KK pertambangan adalah "a craddle to grave contmct" (Soetaryo Sigit, 1995;14).
Sejak tahun 1976 sampai sekarang, kebijaksanaan keuangan dan perpajakan pemerintah telah beberapa kali berubah. Hal ini tidak mempengaruhi ketentuan-ketentuan dalam kontrak karya yang telah ditandatangani atau disepakati pemerintah, melainkan telah menghasilkan KK pertambangan generasi berikutnya, yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai rezim keuangan,
perpajakan,
dl1
yang
disesuaikan
dengan
perkembangan
kebijaksanaan baru pemerintah. Dengan demikian sejak 1976 sampai akhir 1995, telah ada lima generasi KK pertambangan. Meskipun secara keseluruhan sampai sekarang angka keberhasilan (atau "sucses ratio'] dalam proyek-proyek KK Pertambangan masih dibawah
lo%, tetapi apa yang telah dihasilkan tambang-tambang baru ini sudah sangat mengesankan. Hal ini tampak jelas dari perbandingan angka-angka produksi hasil tambang semasa Hindia Belanda (1941), tahun 1966 (yaitu ketika ekonomi dan pertambangan lndonesia mencapai titik kemerosotan terendah) dan tahun 1994-1995 yang lalu. Komoditi tambang baru yang dihasilkan lndonesia sejak tahun 1970-an yang terpenting diantaranya adalah konsentrat tembaga, nikel kasar, fero nikel dan konsentrat pasir besi. Melihat lonjakan dalam angka-angka produksi, dapat dikatakan dekade -
1990-an ini benar-benar merupakan awal kebangkitan pertambangan Indonesia. Jika dahulu negeri ini hanya dikenal sebagai penghasil timah nomor 3 dan nomor 2 di dunia, kini peringkat lndonesia dalam pertambangan dunia sudah jauh lebih menonjol. Selain sebagai penghasil timah terkemuka, lndonesia sekarang tercatat sebagai pengeskport batubara uap nomor 3, penshasil nikel
nomor 5 dan penghasil emas nomor 9 di dunia. Di samping itu, mulai tahun 1997 Freeport Indonesia menjadi penghasil tembaga nomor 2 di dunia. Diantara semua perkembangan baru tersebut, yang paling dramatis adalah kebangkitan kembali industri pertambangan batubara. lndustri yang sudah hampir ditutup sama sekali pada awal tahum 1970-an telah demikian pesat perkembangannya sejak sepuluh tahun yang lalu. Produksi batubara lndonesia yang hanya sebesar 148.000 ton dalam tahun 1973, meningkat berlipat ganda rnenjadi hampir 32 juta ton dalam tahun 1994 dan diperkirakan mendekati 19,3 juta ton pada tahun 1995. Dalam konteks industri pertambangan, situasi politik dan keamanan dalam negeri yang stabil memang menjadi salah satu prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya industri pertarnbangan selain diperlukan kernantapan peraturan perundangan untuk jangka panjang. Jadi jelas iklim berusaha untuk industri pertambangan memang dipenuhi oleh Orde Baru, karena selain stabilitas politik dan keamanan dalam negeri dipenuhi Orde Baru juga segera menerbitkan Undang-Undang No. 1ITahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang No. I1 11967 UU No.37/Prp/1960, dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi pihak swasta untuk berusaha dalam bidang pertambangan-satu
ha1 yang justru
sangat dibatasi oleh
UU
No.37/Prp/l960. Di bawah kedua UU penanaman modal yang baru dan UU Pertambangan yang juga baru serta perangkat kebijakan lainnya, sejak 1 Januari 1967 sarnpai dengan 30 Juni 1996, tercatat ada 215 buah perusahaan swasta yang menanamkan modalnya dan masih eksis, 4 buah BUMN, dan kurang lebih 11 Koperasi terlibat dalam usaha pertambangan di Indonesia.
Diantara 215 buah perusahaan swasta yang menanamkan investasnya, tercatat 43 buah adalah PMA (Penanaman Modal Asing) dan 172 PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dengan nilai kumulatif investasi per Juni 1996 sebesar U$ 6.357.083.000,OO untuk PMA dan Rp 3.308.189.000.000,00 untuk PMDN. Sedangkan jumlah produksi bahan galian utarna dalam 6 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Produksi Barang-Barang Tambang Indonesia, Tahun 1993 - 1999 KOMODlTl (1) 1. Minyak Bumi Pertumbuhan % 2. Gas Bumi 2)
SATUAN (2)
1993 (3)
1994 (4)
1995
1994
1996
(5)
(6)
(7)
1997 (8)
Juta Barel Juta MCF
55470.59 2,662
5510.68 2,942
547 -076 2,999
549 -0.9 3.189
538 -2 2.979
554 -1.28 3,167
1998') (9) 402 2.211
1999') (10) 392 -2.49 2,242
Catatan : *) Keadaan s/d Sept., kecuali minyak burni, gas bumi dan batubara sampai Agustus 2) Termasuk Kondensat 3) Termasuk produksi perusahaan swasta Sumber : Biro Pusat Statistik (Indikator Ekonomi) Dilihat dari nilai tambah yang diperoleh oleh 18 jenis bahan tambang utama (non migas) maka hasil usaha pertarnbangan cukup menggiurkan. Menurut data statistik yang dimiliki BPS, sejak tahun 1986
-
1992 rata-rata
setiap tahunnya, prosentasenya nilai tambah dari usaha ini adalah 63,88 % yang nilainya tidak kurang dari Rp 222.328 Milyar. Kebanyakan dari hasil industri tambang ditujukan untuk ekspor, apalagi hasil tambang non-migas yang didominasi oleh pemodal asing (bahkan sangat
tergantung pada keterlibatan modal asing). Terlebih layi setelah 1983 sewaktu kebijakan ekonomi diarahkan pada industri berorientasi ekspor. Di tahun 1975 seluruh hasil produksi Bauksit di ekspor, Tembaga 84% dan Pasir Mangan 589'0, termasuk Minyak Bumi yang diekspor sebanyak 76% (Soesantro dan Sudarsono, 1986:186). Beberapa penyebabnya antara lain adalah tidak banyak tersedia
industri pengolahan
bahan
baku tambang,
disamping
politik
perdagangan dan industri negara maju memang hanya menempatkan negara semacam Indonesia sebagai produsen raw materiil, baik mentah setengah jadi, untuk kebutuhan industri olahan lanjut mereka. Jika dilihat dalam 10 tahun terakhir, nilai perdagangan dalam negeri dibandingkan dengan nilai ekspor di sektor pertambangan umum (nonmigas) tidak pernah melebihi angka 0,02 atau 1:50. Satu ha1 menarik dari tabel 2 bawah sampai tahun 1988 penjualan dalam negeri masih lebih besar dari pada ekspor. Tetapi tahun 1991 jumlah penjualan ekspor mulai lebih besar. Hal ini tentunya berkaitan dengan peningkatan permintaan dunia terhadap komoditas batubara sebagai bagian dari penyediaan energi alternatif. Tabel 2.
I No. 1 Jenis
1
1990
Perkembangan Ekspor Produksi Pertambangan Utama Indonesia, Tahun1990-1997
1
1991
1
1992
1
1993
1
1994
Sumber : Biro Pusat Statistik (Indikator Ekonomi)
1
1995
1
1996
1
1997
Angka-angka ini sekali lagi menunjukkan bahwa industri pertambangan yang didominasi oleh PMA memang berorientasi pada ekspor. Ini menunjukkan bahwa perdagangan lu2r negeri itu sendiri adalah bagian dari penetrasi kapital dari wilyah-wilayah metropolis (center of capitalist world) terhadap ekonomi masyarakat atau negara-negara berkembang dan terbelakang. Sehingga nilai statistik ekspor negara-negara berkembang dan atau terbelakang, menurut Senghaas, tidak cukup memberi penjelasan siapa yang melakukan produksi berorientasi ekspor, siapa yang mengatur serta menguasai ekspor negaranegara tersebut. Menurutnya, banyak hasil analisa yang memperlihatkan bahwa produksi yang berorientasi ekspor maupun macam-macam kegiatan ekspor lainnya, seperti transportasi, asuransi dan sebagainya ada dalam tangan modal yang berasal dari wilayah-wilayah metropolis (Senghaas 1977 : 179)
2.2. Kondisi Geologi dan Potensi Sumberdaya Mineral d i lndonesia 2.2.1. Peta Struktur Geologi Kepulauan lndonesia Gugusan kepulauan
lndonesia
dan deretan
gunung
api yang
membentuk busur konsentrik, yang letaknya terjepit antara benua Asia dan Australia, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dalam pengertian geologi merupakan daerah jalur pengunungan yang masih dalam perturnbuhan. Para peneliti sepakat bahwa dalam proses pembentukan busur kepulauan Nusantara ini, ada keterkaitan antara kegiatan vulkanisme, peristiwa-peristiwa gempa dan gejala tektonik aktif lainnya dengan palung dan parit dalam yang terdapat di dasar samudera.
eta struktur geologi lndonesia yang disusun oleh Smit Sibinga (1933), seorang penganut teori apungan benua (continental drift), ha1 mana teori ini sebagai 'konsep yang digunakan untuk menyusun peta tersebut. Teori apungan
benua pada pokoknya menggambarkan bahwa lapisan batuan kerak bumi yang tegar
yang
membentuk
benua
sesungguhnya tidak
diarn,
melainkan
"mengapung" dan bergerak di atas lapisan kerak samudera yang terbentuk dari jenis batuan yang lebih berat dalam keadaan liat padat karena suhu tinggi (Soetaryo Sigit, 1995;25). Peta struktur geologi lndonesia yang disusun Smit Sibinga (Gambar 1) terdapat empat jalur oregon b,esar yang masing-masing disebutnya Oregon Sunda, Oregon Maluku, Oregon Palau dan Oregon Niew Guinea. Yang menarik dalam konsepsinya ialah gambarannya bahwa bangun yang rurnit paroh timur kepulauan lndonesia diakibatkan oleh "aksi" dari benua Australia yang bergerak mendesak ke arah utara mendapat tahanan reaksi dari benua Asia. Westerveld seorang ahli geologi yang mempelopori konsep eksplorasi mineral melalui pendekatan tektonik wilayah dalam publikasinya (1949), peneliti ini menyatakan terdapatnya empat jalur oregon dalam peta skema tektonik Indonesia, serta mineralisasi yang terkait dengan masing-masing oregon tersebut (gambar 2). Oregon Malaya, yang diperkirakan berlangsung semasa Jura Senja, terutama bercirikan kandungan bijih timah kasiterit, emas dan bauksit. Oregon Sumatera dari semasa zaman kapur menghasilkan cebakan bijih besi metasomatik dan cebakan logam dasar yang mengandung emas dan perak di Sumatera, dan bijih besi laterit dan emas serta intan aluvial di Kalimantan. Oregon Sunda yang terjadi semasa Miosen Tengah mengandung bijih nikel silikat dan bijih besi laterit dalam pelapukan batuan peridotit. Di luar semua itu, masih terdapat bijih emas-perak dan Sb-Hg epitermal yang berhubungan dengan kegiatan gunung api Tersier dan Kuarter di bagian barat
kepulauan Indonesia. Secara tektonik, jalur pengunungan lrian Jaya bagian utara bersambung ke Halmahera dan mengandung bijih besi dan nikel laterit. Pada akhir tahun 1960-an, lahir konsep baru dalam pemikiran tektonik global. Konsep yang revolusioner ini, yang kemudian dikenal sebagai teori tektonik lempeng (plate tectonics), tersusun berdasarkan sejumlah besar data dan informasi bani dari hasil penelitian geofisika dan geologi kelautan, studi kegempaan dan topografi dasar samudera. Teori tektonik lempeng ini agak mirip-mirip teori mengenai apungan benua yang telah diutarakan di muka. Teori tektonik lempeng menyatakan bahwa lapisan kerak bumi atau litosfer yang tegar yang menyelubungi bumi ini bukannya merupakan kulit yang utuh, melainkan retak terkerat-kerat. Akibat retakan-retakan itu, terdapat tujuh lempeng litosfer berukuran besar disamping banyak lagi lempeng pecahan yang berukuran kecil. Lempeng-lempeng ini selalu bergerak, satu dengan yang lain saling bergeseran, memisah ataupun bertabrakan. Proses geologi terpenting yang berlangsung di batas lempeng yang bertabrakan ialah terjadinya proses deformasi tepian benua yang menyebabkan terbentuknya jalur pegunungan lipatan, metamorfosa akibat suhu dan tekanan tinggi dalam akar pegunungan, dan pelelehan bagian lempeng yang menunjam menghasilkan intrusi bersifat granit dan vulkanisma bersifat andesit pada lempeng yang terungkit. Kebangkitan magma ini dapat mineralisasi,
seperti
halnya juga
pemekaran
dasar
menimbulkan
samudera
yang
mengeluarkan magma ultrabasa. Dengan teori teknonik lempeng ini ternyata dapat diterangkan dengan lebih mudah dan logis berbagai jenis gejala tektonik dan struktur geologi yang rumit. Para peneliti pelopor yang sejak 1970 menerapkan teori tektonik lempeng
untuk menjelaskan struktur geologi kepulauan lndonesia adalah Hamilton dan Katili. Katili (1992) lewat makalah ringkasnya mengenai geologi dan potensi mineral lndonesia menggambarkan bahwa wilayah mineral lndonesia yang terwujud akibat evolusi dan konvergensi Lempeng Eurasia yang bergerak ke utara, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke barat dan L.empeng Samudera India-Australia yang relatif diam pada akhirnya menghasilkan berbagai jenis endapan mineral, seperti profir, mangan, emas, perak, serta bijih bijih timbal-seng-tembaga-perak, hingga endapan skarn, serta cebakan timah wolfram dan molibden. Kegiatan eksplorasi mineral dalam 25 tahun terakhir ini, terutama
yang
dilakukan
oleh
perusahaan-perusahaan
asing
dengan
menggunakan berbagai metode modern dengan mengacu pada teori tektonik mutakhir tersebut, telah menghasilkan banyak temuan baru. Berkaitan dengan teori tektonik lempeng, menarik dalam hubungan ini untuk mengamati peta yang dibuat Carlile & Mitchell (1994) yang menggambarkan penyebaran busur-busur magma Zarnan Kapur Senja hingga Pliosen di lndonesia (Gambar 3) dengan mineralisasi yang terkait.
I Gambar 2. Bagan Tektonik Indonesia (menurut Westerveld, 1952)
Gambar 3. Busur Magma termineralisasi Kapur Senja Hingga Pliosen dilndonesia (menurut Carlile & Mitchel, 1994)
2.2.2. Potensi Sumberdaya Mineral di Indonesia
Dalam busur magma Tengah lrian Jaya terdapat mineralisasi tembaga porfir dengan kandungan emas-perak, seperti yang terdapat di Grasberg. Mineralisasi serupa terdapat pula di daerah Tombulilato dalam busur magma Sulawesi-Mindanou Timur dan di Bafu Hijau, Sumbawa, dalam busur magma Sunda-Banda. Temuan-temuan ini menunjukkan besarnya potensi mineralisasi dari jenis porfir ini, dan tidak mustahil di kemudian hari masih akan didapatkan temuan-temuan penting lainnya lagi. Endapan emas epitermal terdapat dalam busur magma Kalimantan Tengah dengan endapan emasnya di Masupa Ria, Kelian, Bukit Moro, Muyup dan Busang. Semua ini menunjukkan bahwa mineralisasi emas epitermal yang berkaitan dengan Vulkanisma Tersier Muda ternyata mempunyai sebaran lebih luas dari yang di perkirakan semula. Selain itu, sebaran cebakan emas
sekunder (aluvial) terdapat sangat banyak diberbagai tempat sepanjang lembah-lernbah sungai yang mengalir di daerah-daerah busur magma tersebut diatas. Di luar busur magma itu, terdapat busur pluton yang menjulur dari Asia Tenggara melalui Semenanjung Malaya ke Bangka dan Belitung yang diperkirakan dari Zaman Jura Senja (yang oleh Westerveld dinamakan Oregon Malaya) yang mengandung cebakan bijih timah (kasiterit) terkaya di dunia. Bijih nikel laterit yang sebarannya sangat luas di lndonesia bagian timur, berasal dari pelapukan dan liksiviasi batuan ultrabasa, yang semuanya berkaitan dengan jalur tunjaman yang berhubungan dengan kerak Samudera Pasifik. Endapan bijih nikel laterit di Sulawesi Tenggara berkaitan dengan tunjaman Mendala Sulawesi Timur; yang terdapat di Halrnahera, P. Gebe, P.Gag dan Waigeo berkaitan dengan tunjarnan di Halmahera, sedangkan yang terdapat di pegunungan Cyclops di dataran lrian Jaya bagian utara berasal dari tunjaman kerak Samudera Pasifik. Cukup penting pula adalah endapan bauksit yang merupakan hasil pelapukan dan liksiviasi batuan malihan dan batuan beku yang kaya unsur Al, dengan sebaran yang cukup luas di kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Disamping berbagai endapan bijih tersebut diatas, kekayaan bahan tambang lndonesia yang kini sangat menarik para pengusaha adalah batubara, yang terdapat dalam jumlah besar, terutama di daerah Sumatera bagian selatan dan tengah dan didaerah Kalimantan bagian timur dan selatan. Batubara lndonesia yang memiliki nilai ekonomi, semuanya berumur Tersier. Batubara Eosen pada umumnya berperingkat bituminus ataupun subbituminus, dan terendaokan di rawa-rawa pada tahap awal daur transgresi. Batubara Miosen yang umumnya
berperingkat rendahan (sedikit yang subbiturninus, kebanyakan masih berupa lignit), agaknya lebih banyak terendapkari dalam lingkungan delta pada tahapan akhir daur regresi. Karena proses metamorfosa lokal akibat intrusi magma, dibeberapa daerah batubara Miosen dapat naik peringkatnya sampai menjadi biturninus bahkan antrasitik. Dari segi ketektonikan, dapat dibedakan ada tiga rnacam cekungan batubara di Sumatera, yaitu cekungan busur muka, cekungan antar gunung (intermontain) dan cekungan busur balakang. Dalam ketiga macam cekungan tersebut dapat terbentuk endapan batubara dalam jumlah cukup besar, sebagaimana yang terdapat masing-masing di daerah Meulaboh (Paleogon), daerah Ombilin (Paleogen) dan daerah Bukit Asam (neogen). Dengan menggunakan sejurnlah sumber, untuk menunjukkan betapa besar potensi sumberdaya mineral yang dimiliki lndonesia berdasarkan data hasil penyelidikan yang sudah terhimpun sampai sekarang atas sejumlah bahan tambang yang sedang atau sudah diketahui terdapat di lndonesia menurut Dianto Bachriadi (1998) adalah sebagai berikut : 1.
Penambangan Bauksit terbesar terdapat di pulau Bintan, Provinsi Riau. Di sini BUMN PT. Aneka tambang memiliki izin penambangan tunggal untuk kawasan seluas lebih dari 10.000 hektar. Bauksit juga ditambang didaerah Kijang, Riau di bekas penambangan milik Belanda yang dinasionalisasi pada tahun 1950. Deposit Bauksit lainnya ditemukan juga didaerah Kalimantan Barat, meskipun kemudian dinyatakan tidak layak untuk ditambang. Cadangan Bauksit seluruhnya ditaksir 1,3 milyar ton, diantaranya kurang lebih 800 juta ton yang berkandungan 40%-43%
Penambangan batubara dilakukan dibeberapa daerah di Surnatera (Barat dan Selatan) dan Kalirnantan. Cadangan batubara diterhukan juga diwilayah lrian Barat dan Pulau Jawa. Cadangan batubara seluruhnya ditaksir 36.5 rnilyar ton. Simpanan Kobalt ditemukan di Pulau Waigeo (antara Pulau Halrnahera dan lrian Jaya). Sumber Kobalt di lndonesia diyakini sebagai yang terbesar nomor tiga setelah Kanada dan Uganda. Bumi lrian Barat merupakan gudang bagi kandungan Tembaga yang dieksploitasi oleh PT. Freeport, cadangan tembaga di Grasberg ditaksir seluruhnya berjumlah 32 juta ton. Eksploitasi tembaga juga dilakukan oleh perusahaan lainnya secara besar-besaran. Selain lrian Jaya cadangancadangan tembaga lainnya juga berada di Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Sulawesi. lntan adalah kandungan mineral yang penting di Kalirnantan Selatan. Emas terdapat di hampir semua pulau besar di Indonesia yakni di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau Wetar dan Irian Jaya, cadangan di Grasberg diperkirakan berjumlah lebih dari 2700 ton. Sulawesi Timur Laut, Kepulauan Bangka dan Belitung merupakan sumber Kaolin. Di Belitung paling tidak ada 14 pertambangan Kaolin. Mangan tersedia di beberapa lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Cadangan Mika tercatat ada di Wasior, lrian Jaya. Pasir Besi ditambang di Cilacap dan beberapa kawasan lainnpadi Jawa. Cadangan Pasir Besi juga ditemukan di Bali, Ende (Nusa Tenggara), dan
Sumatera. Sementara Sulawesi memiliki cadangan Pasir Chroom yang besar di daerah pantai selatan, begitupun Pulau Halmahera.
11. Cadangan Nikel yang ada di Sulawesi, Kalimantan, Halmahera, dan lrian Jaya merupakan yang terbesar di dunia. Operasi besar tambang Nikel dijalankan oleh PT. lnco di Soroako, Sulawesi Selatan yang menghasilkan + 27.000 ton nikel kasar (nikel matte) pada tahun 1990. Cadangan bijih
Nikel laterit di berbagai daerah Indonesia bagian timur diperkirakan berjumlah 1000 juta ton, dengan kandungan logam sebanyak kurang lebih 13 juta ton.
12. Tambang timah berpusat di Kepulauan Riau di lepas pantai Timur Sumatera dan pulau Bangka, Sumatera Selatan. Di pulau Singkep diperkirakan tersimpan 24.000 ton cadangan timah. PT. Tambang .Timah (BUMN) merupakan satu-satunya
perusahaan yang
memiliki hak
penambangan timah di Indonesia.
13. Cadangan Uranium ditemukan di sekitar Sungai Rirang. Kalimantan Barat; hulu sungai mahakam, daerah Sibolga, Sumatera Utara, daerah Kelian, Kalimantan Timur. Di lrian Jaya di daerah Ranski (sungai Momi) Kabupaten
Manokwari
Uranium
ditemukan
oleh
seorang
ahli
pertambangan Jepang dan telah di survey oleh PT Anggi Chemaloy.
14. Cadangan seng ditemukan di lrian Jaya. Cadangan logam tersebut diatas belum termasuk kekayaan bumi lndonesia yang berupa bahan galian bukan logam, seperti : batugamping, marmer, dolomit, pasir kuarsa, koalin dan berbagai macam lempung lainnya, berbagai jenis batuan seperti granit, sienit, peridotit dan lain sebagainya.
Menurut
Direktur
Pembinaan
Penglisahaan
Pertambangan,
Departemen Pertambangan dan Energi, untuk produk bahan galian andalan lndonesia adalah Tembaga. Produk pertambangan lain yang akan menjadi andalan adalah Nikel. Sedangkan emas mulai merangkak menjadi komoditas andalan juga sejak tiga tahun terakhir. "Demam emas" melanda lndonesia sejak ditemukannya kawasan emas epithermal Asia-Pasifik yang disebut dengan Volcanic Hosted Epithermal Gold Deposit pada tahun 1980-an. Jalur ini memanjang dari Selandia Baru ke Papua New Guinea sampai Filipina. Memasuki lndonesia jalur ini memanjang dari Sumatera-Jawa-Nusa TenggaraMaluku dan rnelanjutkan ke Sulawesi Utara. Sedangkan di Kalimantan terdapat jalur lain yang disebut Volcanic Coridor, membentang dari Singkawang, MatauIKetapang dan Pegunungan Meratus menuju Kalimantan Timur sampai di Berau (Suta dkk, 1993). "Demam" ini juga ditunjang oleh menguatnya harga emas di pasaran dunia. Maka sekitar tahun 1986, para eksekutif pertambangan membicarakan lndonesia sebagai pengganti Afrika Selatan sebagai penghasil emas terbesar di dunia pada akhir abad ini (Marr, 1993:58). "Demam emas" tahun 80-an di lndonesia juga diakibatkan dibukanya kembali kran ekspor emas oleh pemerintah lndonesia di tahun 1986. Sebelumnya pemenntah lndonesia secara resmi melarang ekspor emas ke luar negeri, baik dalam bentuk batangan maupun perhiasan. Larangan tersebut sempat melumpuhkan rninat kalangan investor pertarnbangan emas dan industri pengolahan logam emas, sehingga total produksi emas nasional sebelurn tahun 1986 sangat kecil (Bisnis Indonesia, 11/01/95). Melalui Kontrak Karya generasi ke-3 plus dan generasi ke-4 ditandangani 104 Kontrak Karya di bidang pertambangan ernas sepanjang tahun 1985-1987. Kontrak Karya ini meliputi 50
jua acre, atau 1/10 (sepersepuluh) dari seluruh luas daratan lebih kurang 1.900.000 km persegi di Indonesia (Marr, 1993:SO dan 58). 2.3.
lnstrumen Kebijakan Pengelolaan Pertambangan di lndonesia Pilihan paradigma pembangunan yang berbasis negara (state-based
resources
development)
mengandung
konsekwensi
pada
managemen
pembangunan yang bercorak sentralistik dan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang didukung oleh instrumen hukum dan kebijakan yang bercorak refresif (Bodley, 1982; Repetto & Gillis, 1988; Barber 1989, Zerner, 1990; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992). Ada sejumlah peraturan perundangan bidang pertambangan yang berlaku di Indonesia. Keseluruhan peraturan ini menginduk pada sebuah undang-undang, yaitu undang-undang No. 11 Tahun 1967 yang biasa disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Pertambangan 1967. Undang-undang ini dikeluarkan untuk mengganti UU No. 37lPrpl1960 yang lahir sebagai pengganti lndische Mijnwet 1899, sebuah undang-undang pertambangan produk pemerintah kolonial Hindia-Belanda ( Dianto Bachriadi, 1998 ; 77). Menurut pembuatnya, UU No.11/1967 dibuat sebagai pengganti UU No.37/Prp/1960 karena undang-undang produk Orde Lama. sudah tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang pertambangan. Dalam lembaran penjelasan atas UU No. 11 Tahun 1967 bagian penjelasan umum
paragraf
empat
disebutkan
: "akan tetapi dalam
peikembangan selanjutnya, dirasakan bahwa UU No.37 Prp Tahun 1960 itu kemudian tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang pertambangan. Masyarakat menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberikan kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas
pemeni7tah ditekankan kepada usaha pengatumn, bimbir~gandan pengawasan pertambangan. Hal ini ditambah lagi perkembangan politik dan pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan". Seiain UU
Pokok Pertambangan dan sejumlah peraturan yang menjadi turunannya seperti : Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, lnstruksi Presiden hingga Surat
Keputusan dan Surat Edaran Menteri Pertambangan, ada 3 (tiga) undangundang lagi yang tidak ditujukan secara khusus untuk mengatur soal pertambangan tetapi sangat berkaitan erat dengan kegiatan pertambangan, yaitu : UU No.1/1976 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.611968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan UU No.411982 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Merupakan suatu kenyataan yang sulit dipungkuri bahwa lahirnya UU No.11 Tahun 1976 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertarnbangan, telah mengantar Indonesia pada pilihan pembangunan yang berorientasi pada kekuatan modal besar. Pilihan ini yang kemudian diyakini hingga kini bahwa industri pertambangan hanya akan memiliki nilai ekonomis jika dikelola dalam skala besar dan oleh suatu investasi modal yang besar pula. Keyakinan ini kemudian
mewamai
berbagai
macam
kebijakan
pertambangan
yang
dikeluarkan pemenntah, yang pada akhirnya membawa kita kepada berbagai macam persoalan mendasar dan kompleks bagi kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Persekutuan yang kuat antara negara dan pemilik modal (perusahaan multinasional) dalam industri pertambangan hanya berorientasi pada target pertumbuhan ekonomi. Meskipun logika pertumbuhan ekonomi telah kehilangan legitimasi dengan terjadinya krisis ekonomi, namun semangatnya masih terus
hidup dalam budaya birokrasi kita, termasuk di sektor pertambangan. Sebagai konsekwensi dari persekutuan itu, telah mampu menyingkirkan rakyat dari sumberdaya alamnya, serta perusakan lingkungan hidup yang cukup fatal. 2.3.1. Penafsiran Hukum Tentang Hak Atas Mineral Di balik sorotan, gugatan dan tuntutan masyarakat diberbagai lokasi
pertambangan sesungguhnya tersirat suatu hikmah untuk merevisi berbagai perangkat perundang-undangan yang tidak relevan kepada perbaikan nasib rakyat. Kita disadarkan oleh kenyataan, bahwa pola pengelolaan sumberdaya tambang bersumber pada amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pasal ini sesungguhnya merupakan penegasan kembali hak menguasai negara atas sumberdaya alam. Mengapa hak untuk mengusahakan pertambangan di Indonesia harus diperoleh melalui pemerintah? Jawabannya berhubungan dengan persoalan hak menguasai atas bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya, Pasal 33 UUD '45 berbunyi : Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Beberapa kajian menunjukkan, bahwa pada tingkat implementasi, hak menguasai negara menjadi masalah yang cukup pelik dihadapi rakyat, karena makna menguasai kerap menjadi memiliki. Dan, pemerintah selalu menjadi personifikasi dari negara, sehingga penguasaan negara atas sumberdaya alam sering berubah menjadi pemilikan pemerintah atas sumberdaya alam. Sama dengan sektor lainnya, hak menguasai negara pada bahan tambang juga telah menimbulkan masalah yang cukup kompleks. Pengertian filosofis, bahwa seluruh bahan tambang yang berada dalam wilayah hukum lndonesia merupakan kekayaan seluruh bangsa dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, kini telah kehilangan makna.
Apalagi, ketentuan itu telah rnenempatkan pernerintah dalarn posisi sentral sebagai penentu hubungan antara subyek hukurn (penarnbang) dengan obyek hukurn (bahan tambang). Jadi rneskipun hak pernilikan ada pada rakyat, tidak dengan sendirinya hak menguasai dipegang oleh rakyat (pula) yang bersangkutan. Hak menguasai seluruh barang tambang (bahan galian tarnbang) ada pada negara. Negara kernudian rnengatur pernberian atau distribusi hak pengusahaan dan pemanfaatannya kepada individu atau badan hukurn tertentu secara terpisah-pisah rnelalui kuasa pertambangan. Dalarn terminologi hukum Indonesia, inilah salah satu manifestasi dari istilah Hak Menguasai Negara, dan hak ini bersifat mutlak karena di lndonesia Negara rnengatasi rnasyarakat
-
apalagi individu. Dalam UU Pokok Pertarnbangan yang menganut prinsip penguasaan negara atas mineral. Ketentuan ini dapat dilihat dalarn pasal 1 UU No. 11 Tahun 1967 yang selengkapnya berbunyi : Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan lndonesia merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional Bangsa lndonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hilangnya rnakna, bahwa bahan tambang adalah kekayaan bangsa yang harus digunakan untuk kemakrnuran rakyat, berrnula dari arnanat pasal 4 UU No. 1111967, dirnana pelaksanaan dari hak penguasaan negara atas bahan tambang A dan B, serta Pernda tingkat I untuk bahan galian C. Atas kewenangan itulah lahir kekuasaan yang sangat berlebihan pada din pejabat rnenteri untuk rnengatur pernbangunan sektor pertambangan. Kekuasaan yang berlebihan seperti itu, ditarnbah dengan iklirn pernerintahan yang korup dan kolutif kemudian rnelahirkan sejurnlah kontrak-
kontrak yang sarat dengan muatan kepentingan yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Selain itu, kekuasaan yang berlebihan yang dimiliki oleh eksekutif dalam mengatur pembangunan sektor pertambangan, yang diimplementasikan dalam bentuk pertambangan skala besar, melahirkan masalah tersendiri bagi bangsa, karena secara matematis masyarakat terus dirugikan, baik secara ekonomi maupun sosial budaya (Chalid Muhammad, 2000) Atas dasar pasal 15 UU No. 1111967, pengusaha bahan tambang dapat diberikan pemerintah kepada penambang. Dalam UU No. 1111967, terdapat
sepuluh
pihak
yang
dapat
memperoleh
hak
pengusahaan
penambangan. Mereka adalah : 1.
lnstansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri,
2.
Perusahaan Negara,
3.
Perusahaan Daerah,
4.
Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah,
5.
Koperasi,
6.
Badan hukum yang didirikan di Indonesia oleh warga negara Indonesia,
7.
Perseorangan yang berwarga negara Indonesia,
8.
Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan koperasi danlatau BadanlPerseorangan swasta yang berwarga negara Indonesia,
9.
Badan hukum Indonesia yang didirikan oleh pemodal asing,
10. Pertambangan rakyat.
Hak penguasaan yang diberikan negara pada pelaku pertambangan, ditentukan berdasarkan jenis bahan galian yang telah ditetapkan dalam undangundang, yang rinciannya dituangkan daiarn Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1980 sebagai berikut : Pertama, bahan galian golongan A yang terdiri atas minyak burni, bitumen cair,
lilin burni, gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batubara, batubara rnuda, uranium, radium, thorium, dan bahan-bahan galian strategis. Kedua, bahan galian golongan B yang bisa disebut bahan galian vital. Jenis
bahan galian golongan ini terdiri atas, besi, mangan molibden, khrom, wolfram, vanadium, titan, bauksit, tembaga, tirnbal, seng, emas platina, perak, air raksa, intan, arsin, antimon, bismut, rhuteniurn, cerium dan logam-logam langka lainnya seperti, berilliurn, korondurn, zirkon, kristal kwarsa, krolit, fluorspar, barit, yodium, brorn, khlor, belerang. Ketiga, bahan galian golongan C yaitu bahan galian yang tidak termasuk dalam
golongan A dan 6. Jenis bahan galian ini adalah nitrat-nitrat, pospat-pospat, garam batu (halite), asbes, talk, rnika, granit, magnesit, yarosit, leusit, tawas (alum) oker, batu perrnata, batu setengah permata, pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentoni, batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), marmer, batu tulis, batu kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat dan pasir sepanjang tidak rnengandung unsurunsur mineral golongan A maupun 6 dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.
-
Perkembangan yang terjadi di sektor pertambangan tidak lepas kebijaksanaan pemerintah Indonesia, yang memberikan kesempatan dan dorongan cukup besar kepada modal swasta nasional maupun asing, untuk
turut serta mengembangkan usaha pertambangan di Indonesia. Adapun peraturan dasar yang mengatur usaha pertambangan di lndonesia adalah UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No.11 tahun 1976. Pokok-pokok terpenting dalam UU pertambangan di lndonesia dapat dirangkum sebagai berikut :
1.
Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan lndonesia adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2.
Bahan galian yang dibagi atas tiga golongan yaitu golongan a (strategis), golongan b (vital) dan golongan c (yang tidak termasuk strategis maupun vital).
3.
Pada dasamya, pelaksanaan penguasaan negara dan pengaturan usaha pertambangan untuk bahan galian strategis dan vital dilakukan oleh menteri yang membidangi tugas bidang pertambangan, sedang untuk bahan galian yang tidak strategis dan tidak vital dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.
4.
Pada dasamya, usaha bahan galian strategis hanya dapat dilakukan oleh instansi pemerintah dan atau perusahaan milik negara.
5.
Usaha pertambangan bahan galian vital dan bahan galian yang tidak strategis dan tidak vital dapat dilakukan oleh negara, daerah, badan atau perorangan swasta nasional yang memenuhi persyaratan hukum.
6.
Usaha pertambangan dapat meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
7.
Pada dasarnya, usaha pertambangan bahan galian strategis dan vital1 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perorangan berdasarkan Kuasa Pertambangan (KP) yang diberikan dtngan surat keputusan menteri. Usaha pertambangan bahan galian yang tidak tergolong strategis maupun vital dapat dilakukan dengan Surat lzin Pertambangan Daerah (SIPD).
8.
Menteri dapat menunjuk pihak lain: termasuk swasta nasional maupun swasta asing, sebagai kontraktor guna melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat ditangani sendiri oleh instansi pernerintah atau perusahaan negara pemegang KP, dalam hubungan ini pelaksanaan pekerjaan oleh kontraktor menyangkut eksploitasi bahan galain strategis, atau perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing, maka KP tersebut mulai berlaku setelah disahkan oleh pemerintah sesudah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
9.
Untuk memberi kesempatan lebih luas kepada pihak swasta nasional dan rakyat secara perorangan, masih dibuka kesempatan dan pengecualian untuk mengembangkan cadangan berukuran terbatas sbb :
a.
bahan galian strategis dapat pula diusahakan oleh pihak swasta nasional yang memenuhi syarat, apabila memenuhi pendapat menteri berdasarkan ekonomi dan penambangan, yaitu cadangan bahan galian tersebut akan lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh swasta.
b.
dengan memperhatikan kepentingan daerah khususnya dan negara pada umumnya, menteri dapat menyerahkan pengaturan usaha
pertambangan bahan galian vital tertentu kepada pemerintah daerah tingkat I-tempat terdapatnya bahan galian itu.
c.
apabiia jumlah cadangan bahan galian strateg~stertentu sedemikian kecilnya sehingga menurut pendapat menteri lebih menguntungkan jika diusahakan secara sederhana atau kecil-kecilan, maka cadangan bahan galian tersebut dapat diusahakan secara pertambangan rakyat, yang perizinannya diatur oleh pemerintah daerah. pihak yang berhak atas muka tanah diwajibkan mengijinkan pemegang KP untuk melaksanakan usahanya, setelah ada kemufakatan mengenai ganti rugi hak tanah yang bersangkutan. H pemegang kuasa pertambangan wajib membayar iuran tetap,
iuran eksplorasi, iuran eksploitasi danlatau pembayaran lain yang berhubungan dengan KP. H apabila selesai melakukan usaha pertambangan, pemegang KP
wajib mengembalikan tanah sedernikian rupa sehingga tidak menimbulkan penyakit atau bahaya bagi masyarakat sekitarnya. jangka waktu berlakunya KP (sebagaimana diatur PP No. 32 tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 tahun 1967) adalah: H untuk KP penyelidikan umum : selama-lamanya satu tahun
dan dapat diperpanjang selama satu tahurl lagi. H untuk KP eksplorasi : selarna-lamanya tiga tahun dapat
diperpanjang selam dua kali, masing-masing untuk satu tahun. untuk KP eksploitasi : selama-lamanya 30 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing-masing untuk 10 tahun.
dalam praktek, perkembangan kegiatan pertambangan di suatu negara akan lebih banyak ditentukan oleh stabilitas politik dan kebijakan ekonomi pemerintah dalam menciptakn iklim usaha yang serasi, dan bukannya oleh kekayaan mineral negara yang bersangkutan. Hal ini sudah dialami sendiri oleh Indonesia selama periode 1945-1966. dengan terbitnya UU No. 4 tahun 1992 tentang ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka rencana eksplorasi dan eksploitasi pertambangan yang akan mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup harus dilengkapi dengan "Penyajian lnformasi Lingkungan" (PIL) dan Analisa Mengenaii Dampak Lingkungan (AMDAL).
2.5.1. Pemerintah Sebagai Personifikasi Negara Pemberi Kontrak Karya Pertambangan Memburuknya situasi
ekonomi
tahun
1965, maka
diperlukan
penanggulangan pemulihan ekonomi dengan menerbitkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestik. Menyusul terbitnya UndangUndang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman modal asing, maka terbit pula Undang-Undang No. I 1 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Mengenai penanaman modal asing bidang pertambangan, pasal8 ayat 4 Undang-Undang No. 1 tahun 1967 berbunyi : "penanaman modal asing di bidang pertarnbangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku". Pertanyaannya lalu siapa yang mewakili Negara untuk mendistribusikan hak Kuasa Pertambangan atau hak penguasahaan dan
-
pemanfaatan barang tambang? Pasal 4 UU No. 11 tahun 1967 menyebutkan bahwa
:
Pebksanaan
Penguasaan
Negara
dan
pengaturan
usaha
pertambangan k h a n galian ... "dilakukan oleh Menteri ... "oleh pemerintah daerah propinsi (kutipan Pasal 4 UU No. 1111967 ayat 1 dan 2). Dengan kata lain, pemerintah adalah pihak yang mewakili Negara atas barang tambang, karena Menteri dan Propinsi adalah organ Pemerintah. Satu ha1 yang mesti dikritisi adalah Hak Menguasai Negara ini pada akhirnya terimplementasi dalam bentuk Kuasa Pertambangan, lebih khusus lagi dalam bentuk Kontrak Karya Pertambangan. Melalui kuasa pertambangan dan Kontrak Karya pada akhirnya makna dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran mkyat menjadi kehilangan elannya. Apalagi bila pemegang Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya tersebut adalah perusahaan multinasional atau pemilik modal besar. Jika ditelusuri sejumlah peratuan mengenai Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya pertambangan akan dijumpai bahwa pada akhirnya, secara praktis (praktikal), hak menguasai atas barang tambang yang ada dalam satu areal pertambangan ada pada tangan pemegang Kuasa Pertambangan atau Kontrak Karya tersebut. Dengan hak menguasai ini, tentu saja mereka bisa melakukan apa saja atas hasil yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan tambang tadi. Meskipun dengan catatat bahwa jika Kuasa Pertambangan itu ada di tangan perusahaan negara atau BUMN mereka harus
mempertangguslgjawabkannya secara konstitusional pemanfaatan hasil dari usaha pertambangan tadi. Tabel 3 memperlihatkan perkembangan generasi kontral karya di Indonesia.
Tabel 3. Perkembangan Jenis, Lokasi. dan Jumlah Kontrak Karya No 1 Jenis 1. ( KK Generasi I
KK Generasi IV
2.
KK Generasi
3.
4.
I
I
I Lokasi I lrian Jaya,
I Jumlah I Keterangan 15 / Saat irii sejumlah 88 KK
1 1
Maluku Sulawesi Kalimantan Sumatera Nusa Tenggara Jawa lrian Jaya Maluku Sulawesi Kalimantan Sumatera Nusa Tenggara
VI I
Maluku Sulawesi Nusa Tenggara
KKB
lrian Jaya
I Kalirnantan
1
Sumatera
5 20 51 34 3 1 15 2 6 28 14 5 6 6 9 132 30 4
70 19
telah terminasi dan 44 KK masih aktif. Bahkan tambang yang masih menjadi promadona adalah emas, tembaga dan logam dasar Bahan tambang yang diincar adalah emas, tembaga dan logam dasar
Bahan tambang utama yang diincar adalah emas dan tembaga
31 perusahaan telah
1 melakukan kegiatan dan 62 1 telah mengajukan aplikasi
Sumber: Laporan S u d i Jaringan Tambang, 1997
Menurut Sajuti Thalib (1971), salah seorang dari ketua panitia penyusunan UU Pokok Pertambangan, dari kedua UU mengenai pertambangan di Indonesia (UU No.37/Prp/1960 yang telah dicabut dan UU No. 1111967) dijelaskan bahwa orang yang menarnbang menjadi pemilik bahan galian yang
berhasil ditambangnya dengan dua syarat, yaitu : ada kuasa pertambangan yang syah, dan telah mernbayar t'uran tetap dan iumn produksi perfambangan. Lebih detail menurutnya ... yang penting lagi ialah penentuan pabiiakah (sic) -
peralihan pemilikan bahan galian tersebut kepada sesuatu badan hukum atau perorangan. Undang-undang telah mengatur bahwa dengan mempunyai Kuasa Perfambangan, maka suatu badan hukum atau perorangan akan dapat melakukan penambangan bahan galian. Bagi mereka yang telah melakukan
penambangan bahan galian itu terbukalah kemungkinan untuk memiliki bahan galian yang ditambangnya itu. Waktu terjadinya pemilikan itu diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1969, yang rncvupakan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Pertambangan (Thalib. 1971:43-44). Sementara itu pasal 26 ayat 2 dan 3 rnenyatakan bahwa : Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi berhak memiliki bahan galian yang telah terjadi sesuai dengan kuasa pertambangan eksplorasinya, apabila telah memenuhi ketentuan pembayaran luran Tetap dan luran Eksplorasi ... (ayat 2) dan Pernegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi berhak memiliki bahan galian yang telah ditambangnya sesuai dengan kuasa Pertarnbangan Eksploitasinya bila telah memenuhi ketentuan pembayaran luran Tetap dan luran Eksploitasi .. . (ayat 3). Dengan kata lain, melalui konsep Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya Pertambangan telah terjadi reduksi dari hak milik bangsa menjadi hak milik pemegang Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya. Meskipun secara tekstual telah dinyatakan seperti itu. Tetapi secara - praktikal, kenyataannya adalah demikian. Lalu apa bedanya antara Kuasa Pertambangan dan atau Kontrak Karya dengan Hak Konsesi menurut lndische Mijnwet 1899? Kalau dilihat dari praktek pemilikan hak atas barang tambang hasil galian atau hasil usaha penambangan maka tidak ada perbedaan antara konsep Kuasa Pertambangan dan atau Kontrak Karya produk Negara Orde Baru dengan Hak Konsesi produk negara kolonial Hindia-Belanda. Perbedaannya hanya terletak pada retorika tentang pemilik segala kekayaan yang terkandung diatas atau didalam perut bumi
ketika
dia
belum
ditambang
atau
digali
lewat
usahalkegiatan
pertambangan. Menurut lndische Mijnwet 1899, jika seseorang atau suatu badan hukum telah memiliki Hak Konsesi pertambangan atas satu areal tertentu, maka orang atau badan hukum tadi memiliki hak eksklusif untuk menambang bahan galian, melakukan semua pekerjaan yang diperlukan untuk kegiatan penambangan di areal konses~nyadan memiliki hak untuk memiliki bahan galian yang telah berhasil ditambang serta membuat pekerjaan lanjutan yang diperlukan yang berhubungan dengan penambangan tadi di dalam
maupun diluar wilayah konsesinya. lndische Mijnwet 1899, yang menjadi landasan hukum dari Hak Konsesi juga telah menyatakan secara eksplisit (tekstual) siapakah pemilik bahan galianltambang sebelum diusahakan oleh kegiatan penambangan. Pun tidak menyatakan bahwa bahan-bahan galian tersebut sebelum digali adalah milik RajaIRatu Belanda atau milik orang-orang pribumi penduduk asli Indonesia. Pasal 1 undang-undang kolonial ini hanya menyatakan bahwa "di Indonesia pemilik tanah tidaklah pemilik bahan galian yang terdapat didalamnya." Hanya disini letak perbedaannya, selebihnya tidak ada perbedaan antara Kuasa Pertambangan dan atau Kontrak Karya Pertambangan dengan Hak Konsesi dalam ha1 hak penguasahaan kegiatan penambangan dan hak pemilikan atas bahan galian/tambang dari satu areal tertertu
setelah
diusahakan
penambangannya.
Dalam
konsep
Kuasa
Pertambangan dan atau Kontrak Karya seseorang atau sua'u badan hukum tertentu memiliki hak yang sama dengan yang dinyatakan oleh Hak Konsesi tadi
: memiliki hak yang eksklusif untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan di satu areal tertentu yang telah ditetapkan, melakukan sejumlah usaha penunjang kegiatan penambangannya walaupun harus diembel-embeli dengan pernyataan bahwa hak tersebut bisa dimiliki setelah membayar sejumlah iuran tertentu
kepada pemerintah. Dalam beberapa hal, pelaksanaan dari hak konsesi seringkali membuat suatu areal menjadi tertutup : hanya dapat dirnasuki secara tunggal oleh pemegang hak dan orang-orang atau lembaga yang mendapat izin darinya. Hal yang sama juga berlaku pada Kuasa Pertambangan rnaupun Kontrak Karya. Dalarn prakteknya, satu areal pertambangan rnenjadi tertutup untuk aktifitas sosial-ekonomi dan budaya selain dari aktifitas yang ditentukan oleh pemegang Kuasa Pertambangan atau Kontrak Karya. Bahkan dalam konsep baku Kontrak Karya tertulis bahwa "perusahaan akan mempunyai hakhak seperti ... hak tunggal untuk memasuki wilayah Kontrak Karya (kutipan dari pasal 18 Konsep Akhir Kontrak Karya generasi VI), kecuali pemerintah untuk kegiatan pemeriksaan baik dengan pemberitahuan maupun tidak (tercantum dalarn pasal 14 ayat 3 dari Konsep Akhir Kontrak Karya generasi VI). Dengan persamaan ini, pada kenyataannya, paling tidak dalarn prakteknya, sesuatu yang yang dinyatakan sebagai hak milik atau kekayaan nasional bangsa lndonesia oleh UU No. 1111967 menjadi tidak ada maknanya. Jadi perbedaannya tinggal retorika bahwa Hak Konsesi adalah produk kolonial dan Kuasa Pertambangan dan atau Kontrak Karya adalah produk negara lndonesia yang merdeka yang hendak membangun ekonomi bangsanya (!). Mengenai ha1 ini Sajuti Thalib mengaskan : "Dahulu benar, sebelum 1960, istilah yang terkenal ialah istilak konsesi. Tetapi istilah konsesi yang terrnuat dalam Undang-Undang Pertambangan Hindia-Belanda (Indische Mijnwet) 1899 itu berbau kolonial setjingga dihindari pernakaiannya. Begitupun dalarn istilah konsesi itu dianggap memberi kekuasaan yang sangat besar terhadap si pemegang konsesi pertarnbangan itu. lstilah penggantinya berupa istilah kuasa pertambangan yang mengandung pengertian filosofis, bahwa semua bahan
galian yang terdapat di wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia" (Thalib, 1977:7). Meskipun demikian, secara hukum. menurut Kusumaatmadja, ada perbedaan antara Hak Konsesi dan Kontrak Karya, yaitu sifat hukum dari kedua hak tadi. Menurutnya, ... "hak konsesi adalah zakelijk recht (hak in rem) yang adapat digadaikanldi hipotikan. Berhubugan dengan ha1 ini adalah jaminan bahwa pemegang konsesi untuk memiliki hak konsesinya menjadi bersifat publik dengan cara mendaftarkan seperti halnya hak-hak atas tanah. Di pihak lain, hakhak kontraktor di bawah suatu Kontrak Karya. hanya hak kontraktual yang tidak dapat menjadi subyek gadai di bawah Hukum Indonesia" Dalam konsep akhir Kontrak Karya generasi VI memang tertulis
... "Perusahaan dan para pemegang sahamnya setuju, bahwa mereka tidak akan ... "menjamin atau dengan cara lain menggadaikan Mineral di dalam Wilayah Kontrak Karya (Pasal 16 ayat 1 dari Konsep Akhir Kontrak Karya (pasal 16 ayat 1 dari Konsep Akhir Kontrak Karya generasi VI). 2.3.3. Hak lstimewa Pemegang Kuasa Pertambangan
Banyak keistimewaan yang diberikan oleh negara kepada investor asing mengenai konsep Kontrak Karya (yang diterjemahkan menjadi Contract of Work, COW). Tidak adanya pengertian "konsesi" dan tidak adanya hak kepemilikan atas cadangan bahan galian yang ditemukan investor apabila eksplorasinya berhasil, karena posisi investor hanya sebagai kontraktor, merupakan hal-ha1 yang semula sulit diterima. Keraguan para calon investor akan kepastian hukum selama melakukan usahanya, dapat dipahami, mengingat pada waktu itu Indonesia memang belum memiliki track record dalam menangani proyek-proyek investor modal asing.
Sebagaimana telah disinggung sepintas lalu di muka, pasal UndangUndang Pokok pertambangan 1967 yang berisi kentuan mengenai penanaman modal asing (yaitu pasal
lo), rumusannya diilharr~ioleh bunyi ketentuan pasal
5a "Indische Mijnwet". Ada kemiripan antara pola Kontrak Karya Pertambangan dengan pola 5a contract, tetapi Kontrak Karya Pertambangan memuat ketentuan-ketentuan yang lebih lengkap, yang mengatur sekaligus soal-soal teknis,
keuangan
dan
perpajakan,
ketenagakerjaan,
pengembangan
lingkungan, perrnasalahan hukum dan berbagai persoalan umum, yang kesemuanya diperlakukan terus selama masa berlakunya kontrak. Kontrak Karya Pertambangan juga memberikan apa yang disebut conjuctive title kepada kontraktor, yaitu hak yang berkelanjutan untuk melaksanakan kegiatan sejak dari tahap survei eksplorasi sampai dengan tahap eksploitasi-pengolahan dan penjualan hasil usaha tambangnya. Yang lebih mengherankan ialah bahwa pemerintah memberikan perlakuan /ex spesialis
pada
Kontrak Karya
Pertambangan. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam kontrak karya tidak akan berubah-ubah karena berganti-gantinya peraturan perundangan yang berlaku umum. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi investor. Maka menurut ungkapan asing,
Kontrak Karya
Pertambangan merupakan a cradle to grave contract (kontrak yang berlangsung dari sejak ayunan sampai keliang kubur). Masuknya sejumlah besar perusahaan pertambangan luar negeri, terutama sejak permulaan tahun 1980-an, telah meningkatkan kegiatan eksplorasi geologi pertambangan di Indonesia secara berlipat ganda. Kecuali Jawa dan Bali yang masih tertutup terhadap penanaman modal
asing
karena
pertimbangan-pertimbangan
lingkungan
dan
kemasyarakatan, eksplorasi mineral logam dapat dikatakan sudah memasuki
hampir seluruh pelosok daratan Nusantara, sedang eksplorasi batubara lebih terbatas pada wilayah Kalimantan bagian timur dan' selatan, dan Sumatera bagian tengah
dan
selatan.
Ketentuan Kontrak
Karya yang
sangat
menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dibidang
pertambangan,
merupakan
kesempatan
pihak
asing
untuk
membongkar habis potensi mineral Indonesia yang sangat kaya untuk dilarikan hasilnya sebesar-besarnya ke wilayah-wilayah pusat perkembangan kapitalisme dunia (Eropa dan Amerika), sebuah model penjajahan baru. 2.3.4. luran Pertambangan
luran pertarnbangan adalah pengutan langsung yang diambil dari Kuasa Pertambangan dan atau kontraktor pernegany Kontrak Karya atas kegiatan dalam usaha pertarnbangan. Pemungutnya adalah pemerintah atas nama negara. Mengenai iuran pertambangan diatur dalam Pasal 28 UU No. 11/1967, Pasal 52-63 PP RI No. 3211969, dan beberapa surat keputusan Menteri Pertambangan yang menjabarkan lebih rinci mengenai besarnya pungutan ini untuk setiap hektar areal pertambangan dan untuk tiap-tiap jenis bahan galian. Ada dua jenis pungutan atau iuran Pertambangan, yaitu iuran Tetap dan iuran Produksi. luran tetap didasari atas penggunaan sejumlah arela tanah atau air yang akan dijadikan areal penambangan. Sedaangkan luran Produksi didasari atas kegiatan dan hasil dari aktivitas penambangan yang dilakukan. Besarnya iuran tetap diperhitungakan berdasarkan luas areal sat11 -Kuasa Pertambangan dan atau yang telah dikontrakkan kepada pihak lain lewat Kontrak Karya. Dengan kata lain, iuran tetap adalah pungutan atas pemakaian satu areal pertambangan (areallandrent). luran ini juga berbeda nilainya untuk
kegiatan-kegiatan usaha pertambangan yang berbeda. luran tetap untuk kegiatan penyelidikan urnum nilainya lebih kecil dibanding dengan iuran yacg harus dibayarkan setelah memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi. Dengan demikian untuk setiap hektar areal pertambangan nilai iuran tetap yang tertinggi adalah untuk kegiatan yang memasuki tahap eksploitasi. luran Pmduksi terbagi dua antara luran Eksplorasi dan luran Eksploitasi besarnya berbeda-beda menurut jenis bahan tambang yang diusahakan dan diperhitungkan berdasarkan jumlah hasil yang diperoleh dalam satuan tertentu. Tetapi hasil produksi yang diperhitungkan untuk dipungut iurannya adalah hasil produksi yang telah dijual. Dalam kasus eksplorasi mungkin saja diperoleh berton-ton bahan tambang, tetapi bisa tidak dikenakan pungutan eksplorasi selarna hasil produksi (eksplorasi) tadi tidak dijual atau hanya digunakan untuk contoh (sampling product) atau untuk bahan penelitian lebih lanjut. luran Produksi bisa juga dipersamakan dengan royalti. Pada dasarnya luran Pertambangan hendak menegaskan bahwa hak milik atas tanah atau air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya adalah milik bangsa lndonesia dan dikuasai oleh Negara. Karena itu, segala usaha penambangan yang dilakukan di bumi lndonesia harus membayar uang sewa atas areal yang digunakan dan membayar royalti kepada bangsa Indonesia. Meskipun demikian, pemerintah selaku wakil negara, atau dengan kata lain: wakil bangsa lndonesia yang diberi kuasa untuk melaksanakan pengaturan soal kepemilikan kekayaan alarn yang terkandung di bumi Indonesia, menetapkan jumlah untuk kedua pungutan ini dalam angka-angka yang sangat tidak proporsional dengan hasil tambang yang diambil dan dimiliki oleh pemegang Kuasa Pertambangan atau Kontrak Karya. Tabel 4 dan 5
memperlihatkan perkembangan jumlah kedua pungutan untuk beberapa jenis
hasil tambang yang telah menghasilkan pemasukan atau keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan pemesang Kontrak Karya.
Tabel 4.
Perkembangan Besarnya luran Tetap Pertambangan dan Kebijakannya Masa Orba I
Komoditas
Jenis Usaha
Jumlah (hektarltahun)
Peraturan I
Semua komoditas (sarna)
Semua komoditas (sama)
-Penyelidikan Umum Eksplorasi Eksploitasi
-
-
Kontrak Karya: 1. Di wilayah daratan Penyelidikan Umum tahun I Penyelidikan Umum tahun II Eksplorasi tahun I Eksplorasi tahun II Eksplorasi tahun Ill Eksplorasi tahun IV Eksplorasi tahun V Feasibility Study Konstruksi tahun I Konstruksi tahun I1 Konstruksi tahun Ill Eksploitasi endapan permukaan Eksploitasi endapan primer 1 aluvial 2. Eksplorasi di lepas pantai 3. Eksploitasi di lepas pantai Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum danlatau perpanjangannya Eksplorasi Perpanjangan Eksplorasi
1972
-
-
-
Semua komoditas
1985
-
Rp l,00 (seratus sen) Rp 20,OO (duapuluh rp) Rp 400,OO (empat ratus rp)
US$0.10 (US$ sepuluh sen) US$0.03 (US$ tiga sen) US$O.O8(US$ delapan sen) US$0.10 (US$ sepuluh sen) US$O.t2 (US$ duabelas sen) US$0.15 (US$limabelas sen) US$0.20 (US$ duapuluh sen) US$0.20 (US$ duapuluh sen) US$0.20 (US$ duapuluh sen) US$0.20 (US$ duapuluh sen) US$0.20 (US$ duapuluh sen) US$1.OO (US$ satu dolar) % tarif untuk wilayah daratan 1/10 tarif untuk wilayah daratan
Rp 20,OO (duapuluh rupiah) Rp 100,OO (duapuluh rupiah) Rp 150,OO (seratus limapuluh rupiah) Rp 200,OO (duaratus rupiah)
Eksplorasi tahap pemb Rp 1.000,00 (seribu rupiah) fasilitas untuk eksploitasi Eksploitasi endapan Rp 2.000,00 (duaribu rupiah) permukaan & laterik Eksploitasi endapan permukaan & aluvial US$0.05 (US$ lima sen) Kontrak Karya: US$0.07 (US$ tujuh sen) Tidak dibedakan Wilayah Kontrak Karyanya daratan atau US$0.10 (US$ sepuluh sen) US$0.12 (US$ duabelas sen) -lepas pantai (sama) US$0.15 (US$ limabelas sen) Penyelidikan Umum tahun I Penyelidikan Umum tahun I1 US$0.25 (US$ duapuluh lima sen) ,-Eksplorasi Umum tahun I Eksplorasi Umum tahun II Eksplorasi Umum tahun Ill Eksplorasi Umum tahun IV US$0.35 (US$ tigapuluh lima sen) Eksplorasi tahun V US$0.50 (US$ lima puluh sen) Feasibility Study th.1 US$0.50 (US$ lima puluh sen) Feasibility Study th.11 US$0.50 (US$ lima puluh sen) Konstruksi tahun I USSO.50 (US$ lima puluh sen) Konstruksi tahun II
SK Menteri Pertamban clan No.3AIKpt s/M/ Pertambl6 8 SK Menteri Pertamban Qan No.351lKpt slMI Pertamban Qan Pertambll 972
SK Menteri Pertamban gan dan Energi No.174 K I 84411M.PE H 985
-
-
Semua komoditas
1986
-
--
-
-
SK Menteri Pertamban gan dan Energi No.175 K/ 84431 M.PE11985
-
Konstruksi tahun Ill
- Eksploitasi sernua tipe th.1
-
Eksploitasi sernua tipe th.ll
I
Kontrak Karya: tidak dibedakan Wilayah Kontrak Karyanya, daratan atau lepas pantai kornoditas (sarna) - Penyelidikan Urnurn th.1 (sarna) - Penyelidikan Urnurn th.ll - Eksplorasi tahun I - Eksplorasi tahun II - Eksplorasi tahun Ill - Eksplorasi tahun IV - Eksplorasi tahun V - Feasibility study tahun I - Feasibility study tahun II - Konstruksi tahun l - Konstruksi tahun II - Konstrusi tahun Ill - Eksploitasi sernua tipe th.1 - Eksploitasi sernua tipe th.ll dst Surnber : Merana Ditengah Kelirnpahan Dianto Bachria 1987
Sernua
US$0.50 (US$ lirna puluh sen) US$1.50 (US$ satu dolar lirnapuluh sen) US$ 3.00 (tiga dolar) US$0.025 (US$ duasetengah sen) US$0.50 (US$ lirnapuluh sen) US$0.10 (US$ sepuluh sen) US$0.12 (US$ duabelas sen) US$O.l5(US$ lirna belas sen) US$0.25 (US$ duapuluh lima sen) US$0.35(US$ tigapuluh lirna sen) US$0.50(US$ lirnapuluh sen) US$0.50(US$ lirnapuluh sen) US$0.50(US$ lirnapuluh sen) US$0,50(US$ lirnapuluh sen)
I
Tabel 5.
Perkembangan luran Produksi (Eksplorasi & Ekploitasi) Dua Belas Bahan Galian /Tarnbang (sebelum diolah) di Masa Orde Baru un rnulai Berlaku I 1986
Komoditas Sernua kornoditas Batubara
Bauksit
Tembaga
DN: 0.1Ofton Ekspor: O.lS/ton DN: 0.25lton Ekspor: 0.50fton
DN:0.025/kg Ekspor : 0.04fkg
1992
Tidak berubah
Tidak berubah
Tidak berubah
a.
US$ 0.40Aon utuk tingkat produksi <200000 b. US$ 0.50Ron untuk tingkat produksi =200000
Tidak berubah
a. US$45.WAon untuk tingkat produksi
~8000 b. US$55.00/ton untuk tingkat produksi = 80000 Seng
ON: 0.Ollkg Ekspor: 0.OUkg
Ekspor: 210Aon
Tidak berubah
US$8,000lmetrik ton ke bawah US$ 10,0001metriktonke atas (2%xUS$8,000)+(42%x selisih dari US$8,000)untuk harga antara US$8,000 10,000 Tidak berubah
-
Mangan
DN: 0.35lton
a. US $17.501 ton untuk tingkat priduksi < 12,s b.US 518.50hon untuk tingkat produksi =12,5 a. tingkat produksi ~50000 6. US$ 64.00non untuk tingkat produksi =50000 a. US$
Ekspor: 0.6Olton
DN: 1llkg
DN: 0.25Ohlkg Tidak diekspor
DN: 27.50lkg Tidak diekspor
DN: 0.1O/ton Ekspor:O.SO/to n
1 % jika harga jual=US$ 300 atau kurang Itroy ounce 2 % jika harga jual=US$ 400 atau lebih Itroyounce 1% +(selisih dari US$ 3001100%) jika harga jual antara USf300-400 1% jika harga, jual=US$lO atau kurangltroyounce 2% jika harga jual=US$15 atau lebihltroyounce 1%+(selisih dari US$ 101100%)jika harga jual antara US$lO-15 1%jika harga jual = US$750 atau kurangl troyounce 2% jika harga jual = US$925 atau lebih troyounce 1%+(selisih dari US$ 7501100%) jika harga jual antara US$750-925 US$O.GO/ton
0.25lton untuk tingkat produksi
a. USS0.701on utuk tingkat produksi <500000 b. US$0.72/ton untuk tingkat produksi =500000 a. US$0.35/ton untuk tingkat produksi ~15000 b. US$0.45/ton untuk tingkat produksi
DN:0.25/ton Ekspor:O.5Olto n
Tidak berubah
DN:O.25lton Ekspor :' 0.50Iton
Tidak berubah
a. US$0.60/ton untuk tingkat produksi < 100000 ton pasir besi b.US$0.70/ton untuk tingkat produksi =I00000 ton pasir besi
DN:0.02lkg Ekspor:l 0% dari harga jual
Kadar Nikel dalam bijih oksida/sulfida: a. kurang dari 2,5%
a. US$70.00/ton untuk tk produksi <1250/ton bijih Nikel Garniete b.us$ 78.00non untuk tk.produksi< 750 tonBijih Nikel Limonite C. US$ ~ ~ . o o n o n untuk tk.produksi= 750 ton Bijih Nikel Limonite
- dalam biji sulfida
DN:0.03/kg Ekspor:lO% dari harga jual
US$O.O15/kg
b. 2,5% atau lebih US$ 0.031kg
Sumber : Merana Ditengah Kelimpahan Dianto Bachriadi, 1998 ; 100-?02)
Dari tabel 4 dan Sini bisa dilihat bahwa royalti dan areallandrent yang mesti dibayarkan sangat kecil prosentasenya jika dibandingkan dengan hasil penjualan yang bisa diperoleh. Sebagai contoh, sebuah perusahaan pemegang Kontrak Karya pertambangan emas yang telah memasuki tahap eksploitasi sepenuhnya dangan kapasitas produksi emas sebesar +8,3 tonttahun dan perak sebesar 2 10,6 tonltahun yang memiliki Wilayah Kontrak Karya 1,2 juta hektar misalnya, hanya akan menyetor royalti (luran Produksi) sebanyak US$ 15.044.032,OO dari hasil penjualan emas dan perak yang jumlahnya sebesar US$ 885.600.000,OO. Dengan kata lain, besar keseluruhan royalti yang disetorkan hanya 2 l t 7 % dari nilai penjualan. Sedangakn areallandrent-nya (luran Tetapnya) hanya sebesar 2 US$ 1.800.000,OO untuk tahun pertama eksploitasi dan +USS
25.200.000,OO untuk tahun-tahun berikutnya, serta 2
399.500,OOltahun selama 12 tahun atau kurang pada masa pra-eksploitasi. Atau jumlah keseluruhannya hanya 2 3,6% dari total hasil penjualan. Jadi, kurang lebih hanya 5 3 % dari hasil penjualan yang masuk ke kas negara sebagai akibat adanya pengusahaan tambang emas dan perak ini. Jumlah ini memang belum menghitung besarnya hasil yang diperoleh jika pemerintah menyertakan saham. Tetapi dengan diberlakukannya PP RI No. 20J1994 yang bisa menerima kehadiran 100% pemilikan saham asing, itu berarti peluang negara untuk memperoleh penghasilan dari deviden juga dipersempit. Melalui tabel-tabel dan contoh diatas, maka penegasan tentang hak milik bumi dan segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah milik
bangsa lndonesia menjadi kehilangan makna, karena jumlah kekayaan dari hasil produksi dan penjualan yang dibawa oleh perusahaan pemilik Kuasa Pertambangan atau Kontrak Karya nilainya jauh lebih besar dari jumlah yang diperoleh oleh negara. Perbandingannya tidak lebih besar dari 100 : 20, atau setiap
seratus bagian yang
diperoleh
perusahaan pemegang
Kuasa
Pertambangan, negara hanya memperoleh 20 bagian saja. Belum lagi jika terjadi manipulasi pelaporan jumlah atau hasil penjualan yang dilakukan oleh perusahaan, dan korupsi serta manipulasi jumlah yang diterima Kas Negara atau dicatat oleh Departemen Pertambangan Energi Indonesia. Maka rakyat lndonesia akan rnenerima jumlah hasil yang lebih kecil. Bisa dibayangkan jika perusahaan yang mengelola pertambangan : tersebut adalah PMA pemegang Kontrak Karya dan komoditas yang dihasilkan seluruhnya di ekspor ke luar negeri. Maknanya sama saja dengan pengerukan kekayaan alam/bumi lndonesia oleh orang asing yang dilegalisasi oleh hukum lndonesia sendiri. Sebagai pelengkap proses pengerukan ini, pemerintah lndonesia melalui SK Mentamben No. 422/Kpts/M/Pertamb/72 menetapkan bahwa iuran eksplorasi/eksploitasi akan lenyap dengan sendirinya atas sejumlah hasil penjualan yang terhitung sebagai penjualan ekspor, karena iuran-iuran tersebut telah dikompensasi ke dalam pungutan ekspor yang diatur oleh Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan ekspor, impor dan lalu lintas devisa.
2.5,
Konffik Tanah Adat dan Persaalan tingkungan Hidup Dahm lndustri Pemrnbangan
2.4,1. Konfllk -Tanah Adat dan Hak-Elak Masyarakat Komunal
8anyak fokasi kegiatan perusahaan-perusahaan tambang di seluruh dunia rnerupakan ternpat tinggai masyarakat komunal/adat, misalnya suku Arnungme, Ekari dan Karnaro di lrian Jaya, lebih dari 30 tahun krmarjinalkan
akibat beroperasinya PT. Freeport Indonesia fnc. atas wilayah adat mereka,
masyarakat Adat Dayak Siang di Kalirnantan Tengah, masyarakat desa Tongo, Sejurong, Sekangkang atas dan bawah akibat beroperasinya PT. Newmant Musa Tenggara di Surnbawa, NTB. Tempat finggal rnereka dan kepernilikan tanahnya berdasarkan hukurn adat atau kebudayaan setempat. Seringkafi kepemilikan
tanah mereka sangat rumit. Misalnya, kepernitikan oleh karnunitas ( m u n a 0 daripada obh perorangart (individual), atau rnungkin ada beberapa kefarnpok masyarakat yang mempunyai hak guna atas sebidang fanah tertentu tanpa
memilikinya. Karena sulitnya mengakornadasi bentuk-benfuk hak ulayat tanah seperti itu dalam land title system yang
urnurn, atau karena sisitem hukurn
negara tidak rnengakui hak-hak ulayat atas
tanah, masyarakat asli seringkali
tidak memiliki surat kepemilikan tanah yang resmi atas tanah mereka. Pada saat
sebuah penrsahaan tambang datang, mereka akan kehifangan tanahnya -yang rnsfupakan sumberdaya paling beharga untuk rnsreka - tanpa kampmsasi #tau
hak rnenuntut (Wht fa appeao karena tanpa bukti kepemlikan tanah yang dapat memuaskan penguasa. Banyak kasus yang rnenunjukkan bahwa kesejahteraan
ekonomi, kebudayaan dan identitas masyarakat lokal terkait erat d q a n tanah
rnereka. dika stiatu kornonitas kehifangan tanahnya, akibatnya brdampak ekonomis maupun sosial. Artikef 30 dalam Rancangan Deklarasi Hak Msrsyarakat Adat PBB menyatakan : "Masyarakat asli mempunyai hak untuk
memntukan dan mngembangkan ~
0 ~ set& 8 s strate$ Bagi pengemba~g~n
maupun penggunanam tanah, wilayah dan sutnberdaya /sin memkop, tenn~suk
-
-
.
-+
hak untuk mengaharuskan negara rnemperoieh persetujan memka (free and
infarmed consent) atas proyek apapun yang berdampak pada f anah, wilayah
dan sum berdaya Iajnnya, ierdama daiam kaitannya derrgan pengembangan, peman faatan atau e kspluifasi #?inern/, air atau sumberdaya lain. Sefelah
persefujuan masyamkaf a& f diperukh, kompensasi yang adi! akan dikn'kan unttlk k ~ i a t a napapun yang h a m ddakukan unfuk meng urangi dampak mgafif
pada sifuasi lingkungan, ekanomi, sasiai, budaya, maupun spirituai masyarakat
setempat" Perusahaan-perusahaan tambang cenderung mernbiarkan pemerintah
setempat menangani urusan pembebasan tanah dengan masyarakat asli atau lokal. Dengan dmikian, jika ditantang rnereka bisa berdalih bahwa mereka hanya rnenuruti hukurn negara
yang kflaku. Aiasan ini tidak dapat diterima
apabila hukum tersebut rneniadakan hak-hak dasar masyarakat adat. Selain itu,
ha1 ini juga tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaantarnbang karena rnereka harus rnenghadapi masatah-rnasalah konfiik dan pertentangan lokal
yang kernudian akan timbul. Seharusnya, perusahan tarnbang mengakui hak
uiayat rakyat tanpa mempedulikan diharuskan atau tidak oieh hukurn negara yang berlaku.
Mengingat pentingnya nilai tanah oleh masyarakat lokal, kegiatan
tambang seharusnya tidak berarti rnereka akan kehilangan tanah mereka. Y ang
harus dinegosiasikan adalah pernberian hak ekspforasi, dengan syarat-syarat
tertentu, dan sebagai irnbalan rnasyarakat mendapat myalti, Pernbayaran lump sum atau equity &lam tambang terserbut. Salah satu keuntungan dari royalti adatah sifatnya yang terus-menems (on-going) ketimbang sekali bayar saja,
yang menunjuMran pengakuan yang juga an going atas hak ulayat rakyat atas tanah dan kegiatan di tanah itu.
Sernua individu, kelampok dan masyarakat y ang terkena darnpak kegiatan tarnbang, baik masyarakat asli dan bukan ash, balk pernilik*tanah
maupun bukan. rnempunyai hak untuk mendapat informasi tentang rencana suatu perusatran dan rnempunyai
keputusan-keputusan yang
hak untuk berpendapat dalam rnengambif
dapat mernpengaruhi masa depan rnereka.
Penegasan rnercgenai ha1 ini, dijamin dalarn Pasal 75 Kanvensi ILU No. 169
tentang rnasyarakat Asli di Negara-Negara Merdeka (1939) : "Hak-hak masyamkaf yaw sehubungan dengan slrmberdaya alam ori tamh mere& akan mendapaf p m u n g a n kfrusus. Hak-hak ini termasuk unfuk batpartisipasi
dalarn pemanWfan, pengeiolaan dan konsewasi sumberdaya-sumberrfaya
tersebut". Masyarakat 1okaI rnempunyai kekhawatiran yang syah tentang kernungkinan adanya gangguan terhadap kegiatan sehari-hafi rnereka dan kemampuan rnereka rnencari penghasilan. Seiain itu, kernungkinsn adanya
pencemaran y ang rnernpenganrhi kesehatan dan kehidupan mereka, hilangnya
tana h rnereka, dan kemung kinan pemukirnan yang dipaksakan. Mereka juga
ingin rnengetabi tentang keuntungan-keuntungan apa saja yang rnungkin mereka perolah seperti kesernpatan kerg'a di tarnbang, atau tersadianya jasajasa pelayanan yang baru saperti kiinik kesehatan dan sekolah-sekafah. Yang
labih penting hgi, mereka rnsnginginkan kesernpatan untuk memberikan r
masukan pada ireputusan-keputusan yang mempunyai dampak tertradap kehidupan rnereb, Misalnya, dengan barmgosiasi tentang pilihan lakasi jalanjalan, komptek-komplak perurnahan, dan tempat sampah. Twbangunnya pkinsip
partisipasi merupakan hak asasi dan demakrasi rnendasar bagi pengembangan
sasial-ekanarni pengetoiaan surnberdaya mineral yang lestart. Mengabaikan
prinsip ini menrpakan tindakan yang tidak aclil, clan pasti akan menimbulkan ketidakpuasan, kemarahan, frustasi d m opasisi. Wilayah yang dibutuhkan perusaham untuk tarnbang serta fasilitasfasilitasnya lainnya rnurtgkin sudah ditempati oleh desa-desa, lahan-lahan pertanian dan m a h - r u m a h yang harus dipindahkan, kemudian penghuninya dimukimkan. J i b tidak ditangani dengan sebaik-baiknya, proses ini dapat
menjadi trauma bagt semua pihak dan rnempunyai dampak negatif yang besar. Bank dunia sudah terlibat selarna bertahun-tahun dalam proyek-proyek yang rnernindahkan wang dalam jurnlah yang sangat besar (misalnya pembangunan waduk). P a n d m yang digunakan &lam
penanganan proses tersebut
menggambarkan dampak yang dialami rakyat : "Pmyek-prayek pembangunan yang memindaman orang fjdak dengan sukarala pa&
urnumnya akan
mengakibatkan masafah-masnlah skunomi, sosial dan hgkungan yang ,berat,
sislern produksi akan ferbangkar; asef-aset pradukfif dan surnber pendapatan hihng; rakyaf dimkimkan ke tempat-tempat yang mungkin tidak sesuai dengan kcaterampiian pmluktif mmeteka dan pmaingan terhadap surnberdaya Iebih
besac sfruMtlr-sbuktur masyarakaf dan jaring sosiai djlemahkan; kelompok-
wngakitrafkan Iresulitan
seama brtahun-tahun, kerniskinan dan kerusakan
Ijngkungan jika ?k&k dimncanakan dan diimpIementasikan dmgan tepa t" (World Sank q9W:par.2)
Salah satu pn'nsip utama dari panduan ini adalah bahwa mereka yang dimukimkan h m s "dibantu dalarn usaha mereka untuk rneningkatkan standart
kehidupan
sebelumnya,
kernampuan
memperoleh
pendapatan
dan
meningkatkan produksi, atau paling sedikit rnendapatkan semua itu sepadan dsngan apa y m g diperoleh rnereka sebelum dimukimkan". Pada Juni 1997
seminar para ahli PBB tentang pernukiman secara paksa rnenyetujui
serangkaian panduan (guidelines) rnengenai pem bangunan berdasarkan
pemukirnan y a q rnengandung prinsip yang sama seperti diatas, yang harus menjadi bagian fundamental dalam semua pemukirnan yang disebabkan oleh pertambangan. Tidak ada orang, kelarnpak, maupun kornunitas yang' akan
rnenderita kehitangan hak-hak asasi manusia mereka maupun mengalami pelanggaran terhadap hak rnereka untuk terus rneningkatkan kondisi kehidupan
mereka. Prinsip ini berlaku bagi masyarakat setempat yang sudah tinggal di
tokasi pernukiman, maupun orang-orang, kelampak, rfan karnunitas yang mengalami pemukirnan paksa ke lokasi tersebut (United Nation 1997: Par.28d).
Panduan ini juga
menegaskan bahwa tanggung jaw&
plaksanaan
pemukiman, s m a i dengan hukum internasional, rnerupakan tanggung jawab negara : Akan ietapi, ini bukan beradj bahwa pihak-pihak lain bebas dari
fanggung jawab
dahm
ha1 hi,
terutama
...
perusahaan-penrsahaan
transnasional d m pihak-pihak kefiga secara individu, termasuk fuan-fuan anah dan pemilik-pemidik fanah nPgara maupun swasfa" (United Nations 1957:par.5).
Jika perusahaan-perusaham tambang serius untuk mencapai tujuan
yang sering dinyatakan, yaitu untuk meningkatkan kehidupan rakyat yang tinggaf di daerah tambang meteka, maka mereka hams rnemberikan perhatian
yang jauh iebih k s a r kepada pengeialaan pemukiman yang disebabkan aleh kegiatan tam haw. Sebagai langkah awal, rnereka bisa belajar dari pngafarnan
Bank Dunia dan menggunakan panduan yany sudah dikernbangkan, yang rneskipun tidak sempurna maupun selalu dipatuhi oleh Bank Dunia sendiri, tetap rnengandung prinsip-prinsip yang berguna,
Dalam konteks hukurn yang rnengatur masyarakat adat di Indonesia, justru posisi masyarakat adat dilemahkan dalam peraturan perundangurtdangan pertanahan, dirnana negara berupaya untuk menghindari pengakuan atas kawasan-kawasan adat masyarakat. Pelemahan hak masyarakat adat di
kawasan tambang juga diperkuat dalam UU pertarnbangan pasal 26 UU No. 7 1/1967+secara jelas rnengatakan bahwa masyarakat pemilik tanah diwajibkan
mernperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pernegang kuasa pertambangan diatas tanahnya
dengan
musyawarah
dan
mufakat, jika
pemegang
'
kuasa
pertambangan telah rnendapat izin kuasa pertambangan sesuai dengan hukurn yang berlaku.
Kata diwajibkan dalam ketentuan itu, rneskipun disertai penegasan
hams acia rnusyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tstap membeii pengertian bahwa tidak ada pilihan bagi pernilik hak atas tanah, jika tanahnya rnasuk datam suatu kuasa pertambangan, seiain rnelepaskan haknya pada pernegang kuasa
Kenyatam ini terlapas oleh isi pasal25 ayat (1-21, undang-undang Nu. 11 tahun 1967, yang antara lain rnenyebutkan bahwa ; pemegang kuasa
pertambangan bllrewajiban rnernberikan ganti kerugian kepada pernilik tanah akibat kegiatan pertarnbangannya, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja
telah rnenimbulkan kerugian kepada pemilik tanah. Ketentuan ini secara tidak
langsung rnmperbotehkan unsur kesenjangan dari pemegang kuasa pertambangan mtuk rnelakukan perbuatan yang merugikan pihak pemilik tanah. Artinya, jika sewang telah merniliki izin kuasa pertarnbangan di suatu wilayah
tertentu dimana wilayah itu melekat hak rnilik atas tanah dari orang lain, maka dapat dipastikan pernegang kuasa pertarn bangan tidak akan tertrenti kegiatannya hanya karena tidak mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah, bahkan jika perlu dapat
rnelakukan perbuatan yang merugikan bagi
pemilik tanah, asalkan tersedia uang ganti rugi.
Lebih lengkapnya pasal tersebut berbunyi :
1.
Pernegang kuasa pertambangan diwajibkan rnengganti kurugian akibat
dari usahanya pacfa segata sesuatu yang berada di atas tanah kepacla yang &rh&
atas tanah di dalarn lingkungan daerah kuasa pertarnbangan
maupun dbrnya, dengan tidak mernandang apakah perbuatan itu
dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat
diketahui f&ih
2.
dahulu.
Kerugian ymg disebabkan aieh usaha-usaha dari dua pernegang kuasa pertambangan atau lebih, disebabkan kepada rnereka bersama-sarna.
Selain i&t, dalarn ketentuan pasal 27 ayat ((14), memuat rnekanisme penentuan ganti rugi bagi psrnilik tanah akibat kegiatan pertambangan dari
pemegang kuasa pertarnbangan, dimana rnekanisme tersebut juga 6dak rnernungkinkan ada pilibn
lain bagi pemilik tanah selain melepaskan hakrrya
pada pemegang kuasa pertarnbangan, Untuk lebih jelasnya dapat dilihat isi
pasat tersebut sabagai barikut :
1
Apabila !&ah ada hak atas ssbidang tanah yang bersangkutan cfengan
wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang bersangkutan dari ganti rugi yang jurnlahnya ditentukan bersarna-sama antara pernegang kuasa
pertambangan dengan yang mernpunyai hak atas tanah tersebut atas dasar rnusyawarah dan rnufakat untuk penggantian sekali atau selama hak itu dapat dipergunakan.
2.
Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata rnufakat tentang ganti
rugi sebagaimana dirnaksud pada ayat (I) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada rnenteri.
3.
Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Menteri tentang ganti rugi sebagaimana dirnaksud dalam ayat (2)
pasaf ini, maka
penentuannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang didaerah hukurnnya meliputi daerahlwilayah yang bersangkutan.
4.
Ganti rugi yang ddirnaksud pada ayat (1), (2) dan ( 3 ) pasal ini beserta
segafa biaya y ang berhubungan dengan itu dibebankan kepada pernegang kuasa pertambangan yang bersangkutan.
Belurn cukup dengan ketentuan-ketentuan yang menjerat bagi pemifik tanah datarn pasat-pasal diatas, undang-undang pertambangan ini juga secara tegas rnemberi ancaman pidana bagi pemilik tanah berdasarkan hak yang ada
padanya, jika mrintangi atau mengganggu usaha pertambangan meskipun itu upaya rnmpertahankan haknya. Ketentuan ini tertuang dalarn pasal32 ayat (2) yang bert>udyi; dihukum dengan hukuman kurungan sdarna-tamanya tiga bulan
danlatau
dwmgan
denda
setinggi-tingginya
atau
rnenunggu
usaha
pertambangan yang syah setelah pernegang kuassx pertambangan memenuhi
syarat-syarat sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 26 dan 27 undang-
undang ini. Dalarn txberapa pasal lainnya, terkesan bahwa undang-undang No,
1111967, menglwrrnati kawasan-kawasan adat masyarakat, ini bisa dilihat dari
ketentuan pasall6 ayat (3) disebutkan bahwa ; Witayah
pekerjaan
usaha
pertambangan
berdasarkan
suatu
kuasa
pertambangan tirjak rnetiputi :
a.
Ternpat- tempat kuburan, tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan
urnurn, misalnya jalan-jalan umum, jdan-jalan kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya,
b.
Tempat-tempat pekerjaan usaha pertam bangan lain,
c.
Bangunambangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik, beseea
tanah-tanah
pekarangan
sekitarnya,
kecuali
dengan
izin
yang
Jika r n d i b t pada masyarakat Adat Dayak Siang di Kalimantan Tengah,
yang harus dipindahkan dari desanya karena masuk wilayah KK PT, lndo Moro Kencana, serta kasus di Timika dirnana suku Amungrne harus rnerelakan ternpat ssakralnya dirusak oleh PT. Freepart, narnpak katentuan pasal ini tidak
diindahkan oleh pmerintah. Tiidak dihargainya ketentuan dalam ayat (3) pasal di atas, dalarn kasus freeport dan lnda Moro Kencana, selah satunya
disebabkan afeh ketentuan ayat (4) pasal tersebut, yang berbunyi ; Dalam ha1
-
dianggap sangat perfu untuk kepentingan pskerjaan usaha pertarnbangan *
berdasarican suatu kuasa pettambangan pemindahan sebagaimana termaksud dalam ayat (3) pasal ini dapat dilakukan atas beban pemegang kuasa
6'1
pertambangan dan setelah diperoleh tzln dari yang berwajib. Ketentuan ayat (4)
blah rnernbuka peluang baGi pernerintah dan perusahaan untuk rnengabaikan
ketentuan ayat (3) karena kepentingan untuk rnendapatkan deposit bahan tarnbang sudafr pasti mengalahkan kepentingan lainnya.
Kebijakan pertambangan seperti itu akan menirnbulkan rnasalah yang
cukup serius rfimasa mendatang, karma minat untuk melakukan penambangan di Indonesia deb penambangan asing terus rneningkat, dan juga penambang domestik atau rakyat penambang juga terus bertarnbah. Oleh karenanya, konflik kepentingan antara penambang asing dengan penambangan dornestik atau rakyat penambang pasti akan meningkat. Konflik akan sernakin keras, karena
masyarakat setempat akan kehiiangan surnberdaya alamnya lantaran "diserbu" oieh para penambang, dan mereka tidak mendapatkan keuntungan apapun dari
keglatan itu. Mungkinkan persaalan ini terselesaikan dalarn waktu dekat? Sehingga kita tidak rnewariskan konflik yang berkepanjangan pada generasi mendatang. 2.4.2. Pedindungan Lingkungan Hidup
Berkenaan dengan pengelalaan lingkungan, UU No.1111967 tidak mengatur seam jetas dan rinci cara lingkungan wilaynh pertambangan harus
dikelala. Undartg-undang ini hanya memuat satu pasal rnengenai pengelalaan lingkungan, itupun hanya menyentuh soal lahan bekas galian, yaitu pasal 30
yang berbunyi : Apabila selesai melakukan penarnbangan bahan galian, pada susxtu tempat pekejaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian nrpa, sehingga tidak menirnbulkan
bahaya penyakit atau bahaya bagi masyarakat sekitamya.
Undang-undang ini kernudian tidak rnengatur saal sanksi apabila hal ini
dilanggar.
Tentunya
ha1 ini
sangat
meguntungkan
bagi
pengusaha
pertarnbangan, karena tidak ada sanksi apabila hat ini dilanggar, apalagi jika
setefah Kuasa Pertambangan atau Kontrak Karya habis rnasa berlakunya yang berarti habis pJa hubungan antara si pemegang kuasa atau kontrak dengan
lingkungan eks areal pertambangannya.
Selain itu Pasal 30 UU No. 111-1937 hanya rnengatur soal pengslolaan lingkungan secara minimal, yaitu hanya rnewajibkan penguasa pertambangan untuk mengembatikan tanah bekas galian agar tidak menirnbulkan penyakit atau bahaya bagi rnasyarakat sekitar. Sernentara prsoaian rusak atau hilangnya
daya dukung areal terhadap kehidupan rnasyarakat secara keseluruhan,
khususnya kehidupan ekanomi tidak diatur. Dengan kata lain, undang-undang ini rnenyerahkan proses rehabilitasi tanah-tanah h k a s
kepada
galian pertambangan
proses suksesi alamiah yang tentunya rnemakan waktu yang sangat
lama sebelum
areal tersebut menjadi berguna kernbali untuk kegiatan ekanomi
masyarakat. Sernentafa UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU Na.4/1982)
memang rnenegaskan soal sanksi atas pelanggaran-pelitnggaran yang terjadi
dafam pengelalaan lingkungan hidup yang dinyatakan dalarn pasal 20 dan 22
yang menyatakan bahwa pelaku perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup dapat dikmai sanksi pidana selain diharuskan mernbayat ganti kerugian kepada rakyat yang terugikan dan kepada negara untuk pemulihan kembali
lingkungan yang iusak atau tercemar tadi. Pasat 20 menyatakan : "Barangsiapa
rnerusak dan a h rnencsrmarkan lingkungan hidup, rnemikul tanggung jawab
dengan kewajiban rnembayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas Iingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 20 ayat 1) . . . Barangsiapa rnerusak atau
rnencernarkan lingkungan hidup kepada Negara
pasal 20 ayat 31." Sedaflgkan Pasal 22 rnenegaskan h h w a : " Barangsiapa
dengan sengaja f Pasat22 ayat 2) . . . rnelakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan Ridup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-mdang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan
penjara selarn&iamanya
10 (sepuluh) tahun dan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 1QO.OQQ.QQQ {seratus juta rupiah) (fanjutan Pasal 22 ayat 9 dan ayat 2):'.
Penegasan saal sanksi-sanksi ini berkaitan dengan penegasan Pasal 5
dan Pasal 7 dari undang-undang yang sama yang menyatakan bahwa : "Setiap
orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal5 ayat 1)
.., Setiap arang berkewajiban mernelihara lingkungan hidup dan
mencegah
serta menanggulangi pencemaran dan pencemarannya (Pasal 5 ayat 2) ... Setiap orang yang rnenjalankan suatu bidang usaha wajib rnsmelihara
kelestarian kemarnpuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, untuk
rnenunjang pemhngunan yang berkesinambungan (Pasal & ayat I). Kewajibran sebagaimana tersebut dalam ayat t pasal ini dicanturnkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (Pasal7 ayat 2)"
Tetapi efektifitas pelaksanaan sanksi atas sejumlah pelanggaran pasalpasal di atas perlu dipertanyakan , karena, seperti yang dzspat dilihat pada babbab berikutnya, sejumfah pencemaran atau perusakan lingkungan' yang mernbuat hak-hak arang yang hidup di sek&ar wilayah pertambangan menjadi
terganggu tidak mendapat sanksi yang sewajarnya untuk tidak rnengatakannya tidak ada sanksi apa pun.
Berbagai kasus pencemafan datam dunia pertambangan hingga kini tidak terselesaikan dengan baik. Sangat disadari kornitrnen penghorrnatan dan
perlindungan lingkungan hidup yang dianut oleh pemerintah saat ini masih
sekedar jargon dan hanya sebatas internationai public relatian. Kondisi seperti
ini sangat menguntungkan para perusahaan tarnbang yang jika beraperasi di
negaranya harus berhadapan dengan standar pengelalaan lingkungan hidup yang sangat ketat. Buwknya kebijakan pengelalaan dan penegakan hukum
lingkungan di Indonesia dapat diteiusuri dari proses lahirnya persetujuan AMDAL.
Otoritas
persetujuan
suatu dokumen AMDAL saat ini 'masih
sepenuhnya barada pada Ketua Komisi AMDAL, WALHi selalu menolak
managemen lingkungan yang digunakan perusahaan pertambangan, narnun
pada akhirnya dokumen tersebut mendapat persetujuan karnisi AM DAL. Itulah yang menyebabkan WALHl mernperkarakan Menteri Pertarnbangan dan Energi di peradilan Tata Usaha Negara Jakarta, berkaitan dengan persetujuan AMDAL
Freeport dua tahun silarn. Selain banyak kelemahan &lam persidangan dan persejuan AMDAL, penegakan hukum
lingkungan dan pengawasan yang dilakukan. oIeh
departemen terkait mas& juga sangat lernah. Padahal di depan mata, Freeport
Indonesia melakukan pernbuangan limbah tailing secara lafigsung ke sungai
Ajkwa atau pewmaran sungai Muro dan Manawing deh PT. lnda Muro Kencana, ataupun hanyutnya drum-drum sianida PT. Keliran Equatorial Mining,
di sungai Mahakam, tidak mendapat tindakan yang tegas dari pernerintah.
Katau dibandingkan dengan berbagai keterituan dan standart lingkungan di negara asal perusahaan itu berada, dapat dipastikan kegiatan itu dapat cfikatagorikan sebagai kejahatan tingkungan. Tapi giliran terjadi di Indonesia,
banyak sekali alasan pemaaf yang diberikan oleh pernerintah, agar perusahaan itu dapat beroperasi dengan aman.
Berbagai kelemahan dalam penghorrnatan lingkungan hidup itu juga dapat dilihat dalam Kontrak Karya, Penghormatan terhadap lingkungan hidup
hanya dicantumkan daiarn suatu klausula, dan tidak dijadikan syarat yang tegas
&lam suatu perjanjian. Padahai tidak satupun dari kegiatan pertarnbangar; yang teriepas dari persaalan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan,
baik diwilayah kegiatannya, maupun wilaysth sekitar yang terkena darnpak kegiatan. Merebaknya protes masyarakat yang terkena darnpak kegiatan
pertambang an terny ata tidak mernbawa arti yang besar bagi penyempurnaan ketentuan yang tertuang dalam perjenjian. Psngaturan akan periincfungan
lingkungan hanya dijadikan syarat pelengkap dari suatu perjanjian, seperti y ang
tercanturn cialam draft KK generasi VI dan VII. Dalam draft tersebut, perusahaan hanya diisyaratkan untuk mengurangi kerusakan lingkungan dan rnempergunakan praktik industri penrambangan
modern yang sudah diakui untuk mefindungi sumberdaya alam terhadap
kentsakan yang tidak perlu, rnengurangi pencemaran dan pengotaran deb pembuangan gas beracun kepada lingkungan hidup, rnernbuang limbah dengan
cara yang selalu menuruti syarat-sprat pernbuangan limbah yang .sudah ditetapkan, dan semra urnurn rnernelihara kesehatan dan keselamatan
pegawainya dad perikehidupan masyarakat setempat. Perusahaan tidak akan
melakukan tindakan yang mungkin menutup atau membatasi secara tidak perlu dan tidak wajar pengembangan lebih lanjut sumberdaya daerah seternpat
beroperasi. Ketentuan ini hanya rnengtraruskan perusahaan rnengurangi terjadinya kerusakan lingkungan, bukan meniadakan kemungkinan terjadinya
kerusakan lingkuragan. Rendahnya kornitmen Departernen Pertambangan terhadap persaalan
Iingkungan hidup, semakin kelihatan dengan diizinkan dua penrsahaan
tambang melakukan keguatan eksplorasi di taman nasianaf Lorentz. Meski
mendapat prates ketas, namun hingga kini izin kegiatan belurn lagi dicabut. Dernikian juga
dengan taman nasianai Kutai, secara
sengaja
Departernen Pertambangan dan Energi telah rnernberikan isin eksplorasi
perusahaan bakrbara, padahal sudah rnendapat prates keras dari berbagai kalangan. Berhgai praktek pelecehan terhadap lingkungan, rendahnya karnitmen pelesbrian lingkungan hidup, juga termasuk ego sektoral yang tidak pernah terseiesaikan hingga kini.
2.5.
?MA Bidang Pertarnbangan di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Negara Tuan Rumah
Bagi negara-negara berkembang arus surnber-sumber keuangan
Internasianal dapat terwujud dalam dua benkrk. Yang pertarna adatah penanaman modal asing yang dilakukan pihak swasta (private foreign
investment), terutama berupa penanaman modal asing */angsung"(PMA) yang biasanya dilakukan oleh penrsahaar~.perusahaanraksasa internasional (atau
juga biasa disebrrt perusahaan transnasional, yakni perusahaan besar dengan kantur pusat yang berada di negara-negera maju asafnya, seclangkan cabang
operasi atau anak-anak perusahaannya tersebar diberbagai penjuru duniaj.
Dana investasi ini langsung diwujudkan berupa pabrik, pengadaan fasilitas praduksi, pembdtan mesin-mesin dan sebagainya. Di samping itu, terdapat pula
arus permodalan sentpa dari bank-bank swasta Internasional, lnvestasi asing swasta ini bisa pula berupa investssi ~porfofultu"(porfofolto investment), yang dana investitsinya tidak diwujudkan langsung sebagai alat-alat produksi,
melainkan ditanarnkan pada aneka instrumen keuangan sepertii sat-tam, obligasi, sertifikat depasitu. surat prornes investasi, dan sebagainya. Sedangkan bentuk
kedua adalah bantuan pernbangunan resmi pemerintah (public
development assistance) atau bantuanlpinjaman luar negeri (foreign aid) y ang berasal dari pmerintah suatu negara secara individual, atau dari beberapa
pihak secara k s a m a (multiiateraI) rnelalui perantaraan iernbaga-lembaga keuangan p e m w bantuan (donor) rnultinasional, atau bisa pula dari lernbaga-
lembaga independent atau swasta. 2.5.4. Perusahaan-Perusaham Kecendenrngannya.
M ultinasional
:
Ukuran,
Pula
dan
Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, bisa dikatakan tidak ada pihak atau lembaga lain yang rnarnpu menyamai peranan, art1 penting dan pengaruh
perusahaan rnultimsional (mu!tinafional cor;oomtions/AAIVC/ dalarn perturnbuhan perdagangan intmasianal dan arus-anrs permodalan global yang telah tumbuh sedernikian
pesatnya.
Seperti
teiah
disinggung
sebelurnnya,
sebuah
perusahaan multinasianal pada dasarnya stdalah sebuah perusahaan raksasa yang menjalankm, rnemiliki serta rnertgendalikan operasi bisnis atau kegiatankegiatan usahanya di lebih dari satu negara. Raksasa-raksasa bisnis yang kebanyakan hrasal dari kawasan Amerika Utara, Erapa Barat dan Jepang ini
(meskipun belakangan ini kian banyak perusahaan multinasional raksasa yang
berasal dari sejurnlah perekonomian industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan dan Brasil) mernberikan peluang-peluang ekanomi yang unik sekaligus rnernunculkan berbagai tantangan serta berbagai rnasalah yang serius bagi negara-negara berkembang yang menjadi tuan nrmah (host countw) mereka,
atau dimana perusahaan-perusahaan besar tersebut menjalankan operasi
bisnisnya. Kita harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan multinasional tidak tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu negara. Perhatian
rnereka hanya tertuju kepada upaya rnaksirnalisasi keuntungan atau tingkat hasil finansial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan. Itulah sebabnya
rnengapa iebih dari 90 persen dana investasi asing swasta {perusahaan dan
perbankan internasional, khususnya dari perusahaan-perusaham multinasianal) selama ini hanya mengalir ke negara-negara industri maju dan sebagian negara berkembang yang perekonomiannya paling dinamis dan tumbuh relatif pesat.
Perusahaan-perusaham rnultinasianal itu senantiasa rnencari peluang yang paling rnenguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberi
perhatian kepada soal-soal kerniskinan, ketimpangan pendapatan, dan lmjakan penganggumn.
Pada umurnnya, perusahaan-perusahaan multinasionai itu hanya sedikit mempekerjakan tenaga-tenaga seternpat. Qperasi mereka cenderung
terpusat di sektor modem berpendapatan tinggi di daerah-daerah perkotaan.
Selain tidak bisa diharapkan untuk ikut rnernbantu masalah ketentagaketjaan di negara tuan rumah, rnereka acapkali memberi pengaruh negatif terhadap tingkat upah rata-rata, karena rnereka biasanya rnernkrikan gaji dan aneka tunjungan
kesejahferaan yang jauh lebih tinggi ketimbang gaji &a-rafa
kepada para
kayawannya, baik itu yang bersai dari negara seternpat atau yang didatangkan dari negara-negara lain. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut juga
membawa teknik-teknik atau teknaiogi prduksi, setera dan gaya hidup, jasajasa managerial serta t r b a g a i praktek bisnis terrnasuk pengaturan dan
pemberlakuan perjanjian kerjasama, retriksi dibidang pemasaran, periklanan dan fenomsna transfer pricing. Pada urnurnnya mereka hanya bergerak dalarn
berbagai kegiatan ekonomi yang sedikit saja relevansi dan keterkaitanya dengan aspirasi atau prioritas pernbangunan negarit-negara ternpat rnereka
Terdapat dua karakteristik pokak dari perusahaan muttinasional, yakni ukuran mereka yang luar biasa besar dan kenyataannya operasi bisnis hereka yang tersebar keseluruh dunia itu cenderung dikelola
secara terpusat aleh para
pimpinannya dimarkas besar induk perusahaan atau kantar pusatnya yang
berkedudukan di negara asal. Ukuran mereka yang sedernikian k s a r tersebut jelas mern berikan kekuatan ekonomi (dan kadang-kadang juga kekuatan politik)
yang sangat besar, sehingga mereka rnerupakan kekuatan utama (parsinya sekitar 70 persen) yang menyebabkan bertangsungnya glabaiisasi perdagangan
dunia secara pesat. Dengan kekuatan yang begitu besar, rnerekaiah yang sebenarnya seringkali mendaminasi aneka kornadlti dagang di negara-negara
berkembang (ternbakau, mie, bubur gandum instan, dan sebaginya). Pada
dasamya mereka mrupakan pabrik global (g/oba!factory) yang rnampu d a ~ selalu gigih mencari kessrnpatan-kesarnpatan ekmomi di saluruh dunia. Banyak perusahaan rnultinasional yang nilai penjualannya bahkan melebihi GDP
negara-negara berkernbang dirnana rnereka beroperasi diperlihatkan obh Tabel 8. Penrsahaan Multinasional terbesar tahun 1993, yakni
General Motors
(sebuah raksasa atamatif dari Arnwika Serikat), mencatat nilai penjuafan yang melebihi GDP Thailand. Bahkan, nilai brut0 penjualannya lebih
ksar daripada
GDP gabungan dari tujuh nagara berkembang utama (yakni Cina, India, Brasil,
Indonesia, Meksika, Argentina, dan Korea Selatan). Pada tahun itu, jika totall pendapatan kelirna perusahaan multinasional yang paling besar di dunia
digabungkan rnenjadi satu, maka jumlah totalnya juga iebih besar daripada GDP
dari kebanyakan negara industri rnaju, tsrmasuk Swiss, Australia, Spanyol, Swedia, Kanada, dan Belgia, yang sebenamya tergolong sebagai negara-
negara industri paling makmur. Jika kita rnenelaah 150 entitas ekonomi (baik perusahaan multinasionaf maupun negara) terbesar pada tahun tersebut, maka 86 diantaranya ternyata adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Bahkan perusahaan rnultinasional yang berada pada urutan terbawah dari ke-I50
entitas ekanorni yang terbesar itu, yakni Union Carbide Corporation, nilai penjualannya mash lebih besar daripada nilai GDP rata-rata dari seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa!
I
Perbandingan Antara Nilai Penjualan Tahunan Sepuluh Perusahaan Multinasional (MNC) yang Terbesar dengan GDP dari Sejumlah Negara Berkembang, 1993
Tabel 6.
Negara Berkembang atau MNC (Negara AsaI)
Perhgkat MNC
atau GDP 9993 (US $ miliar)
General Motors (ArneFika Serikat) Thailand Ford Matar Company (Arnefika Serikat) Narwegia Exxon (Amerika Serikat) Royal DutchlShell (lnggris-Belanda) Portugis Tayota Motor (Jepang) Fintandia Hitaclri (Jepang) Malaysia Yunani ISM (Arnerika Serikat) Matsushita Elactric (Jepang) General Electric (Arnerika Serikat) Venezuela Oairnler Benz (German) Kolornbia Filipina Pakistan Nigeria Bangladesh
Kenya Malawi I
I
;umber : Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga, Micahe1 P. Todaro
Oaiarn
rnefumuskan
suatu
ukuran
kekuatan
ekanami
antara
perusahaan rnultinasianal versus negara, kita pedu pula menyadari 'bahwa
bekerjasama. Pada tahun 1985, niiai penjualan gabungan dari 5QQperusahaan
industri tsbesar di Arnerika Serikat rnencapai US$ 1,8 tfiliun. Angka ini lebit-r
besar dario angka GNP mantan Uni Soviet rnaupun Jepang, serta rneliputi sekitar 45 persen dari GNP Arnerika Sen'kat, Jika angka tersebut ditambah lagi
dengan total nilai penjualan dari 500 perusahaan terbesar Amerika Serikat yang tidak bergerak di sektor-sektor industri, maka angkanyil narnpak sangat
fantastis. Keseribu perusahaan tersebut: mencatat transaksi penjualan seniiai
US$ 3,7 triliun! Nilai ini hampir rnenyarnai GNP Amerika Serikat pada tahun 1985 yang mencapai
US$
4 triliun. Angka
super sebesar itu telah dapat
menyiratkan betapa besarnya kekuatan ekonomi mereka dibandingkan dengan kekuatan ekonorni dari berbagai negara, termasuk negara-negara industri maju
yang paling kaya sekalipun.
Data-data pada tat-tun 1993 tersebut juga rnengungkapkan betapa
tingginya tingkat kansentrasi kedudukan penrsahaan multinasional. Mereka
datang hanya dari beberapa negara saja. tdegata asal utama rnereka adalah Amerika Serikat. Ernpat puluh ernpat dari seratus perusahaan multinasional terbesar didunia berasal dari negara tersebut. Kemudian disusui oleh Jepang
yang kini memiliki 18 perusahaan multinasianal. Negara-negara asal'utama lainnya adalah Aerman (tujuh perusahaan multinasianal), lnggris (enam), Perancis (lima), serta Korea Selatan (ernpat). Italia dan kanada masing-rnastng rnemilki tiga perusahaan multinasiuna1, BeIanda punya dua, dan sepulufi
negara, masing-masing memiliki satu perusahaan raksasa kaliber dunla itu.
Sabagaimana yang telah digambarkan diatas, dari garnbaran tentang begitu besarnya potensi dan kinerja ekonami mereka, maka bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan ekonami (dan terkadang juga kekuatan palttikj y ang dirniliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, apalqgi jika
dibandingkan dengan prnerintah negara-negara berkernbang di mana mereka rnenjalankan operasi bisnisnya. Kekuatan rnereka itu mash ditrjnjang lagi ateh posisi oligopalitik yang mereka genggam datam pereironamian damestik atau bafikan internasianal pada sektor ahu jmis-jenis produk yang mereka geluti.
Hal ini bertoIak dad kenyataan bahwa rnereka cenderung kroperasi dipasar-
pasar yang dikuasai oleh beberapa penjual dan pembeli saja. Situasi ssperti ini memberi rnereka kernampuan serta kesempatan yang sangat besar untuk
secara sepihak rnenentukan harga-harga dan la& yang rnereka kehendaki, bersekongkol dengan perusahaan lainnya dalam membagi-bagi daerah operasinya swat sekaligus untuk mencegah atau rnernbatasi masuknya
perusahaan-gerusahaan barn yang nantinya dikhawatirkan akan menjadi saingan mereka. Hal-ha1 tersebut rnereka upayakan dengan rnenggunakan
kekuatan yang rnereka rniliki dalam penguasaan teknologi-teknalagi baru yang paling canggih dan efisien, keahtian-keahlian khusus, differensiasi produk, serta
berbagai kegiatan periklanan secara gencar dan besar-besaran untuk
mempengaruhi, kalau periu mengubah, selera dan rninat kansurnen.
Perusahaan-perusaham multinasional yang paling besar mernpunyaii cabang-cabang dan ana k perusahaan dihrbagai
negara. Sekitar 200
perusahaan rnultinasianal rnernpunyai cabang-cabang yang terbesnr di lebih dari dua puluh negara. Enam dari seputuh perusahaan multinasional terbssar berpusat di Arneriak Serikat, dimam mereka rnengawasi cabang-cabangnya
yang total merupakan 30 persen cabang seluruh MNC di luar negeri.
Perusahaan-perusahaan multinasional dari Jepang, Inggris, Jerman, Perancis
dan tentu saja pefusahaan rnultinasianal Amerika Serikat, s m r a bersamit-sama rnenguasai sekitar 75 persen dan' seluruh peta kekuatan MNC di dunia, &n tiga
perempat penrsahaan asing yang tersebar di mancanegara juga berada dibawah bendera rnereka. Angka perkiraan terbant menunjukkan bahw'a nilaii
buku dari penanaman modal asing milik segenzsp parusaham multinasional
tersebut rnencapi kbjh dari US$ 910 miliar; lebih dari 80 persen dianfaranya dirniiiki oleh perusahaan-perusahaan dari kelima negara tersebut. Dari total nilai investasi tersebut sepertiganya befada di negara-negara berkembang. Akan
tetapi karena r&-rata
ekanomi di berbagai negara berkembang tersebut
berukuran relatif Irecil, maka dibitndingkan dengan negara-negara maju mereka
perlu lebih waspada terhadap kehadiran perusahaan multinasional.
Secara historis perusahaan-perusahaan multinasional itu, terutama sekali yang berqmrasi di negara-negara berkarnbang, rnenitikberatkan usaha mereka dalarn Mdang industri ekstraktif (sekedar mefigambil kekayaan alam yang terpendam) dan komaditi-komaditi primer, misalnya minyak bumi, bahan-
bahan mineral nonminyak bumi, dan usaha perkebunan. Selain itu, sejurnlah
perusahaan "agribisnis" multinasional juga bergerak dalam bidang industri pengalahan rnakman untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan rnenekuni
sektor pertanian untuk keparluan ekspor. Saat ini lebih dan' 50 persen penanaman m a d oleh perusahaan-perusahaan multinasional di berbagai negara dunia ke@a tercurah pada sektor-sektor industri manufaktur dan jasajasa (hotel, bank, jasa asuransi, jasa pengangkutan udara atau laut, dan sebagainy a) tersebut. Sedangkan parsi terbesar berikutnya, yakni sekitar 33
persen, rnasih terpusat disektor rninyak bumi, dan selanjutnya 7 persen investasi
ke sektur pertrambangan urnurn. Peranan perusahaan multinasianal secara keseluruhan delarn perekanomian negara-negara dunia ketiga, teafama dalarn
sektar jasa-jasa dan manufaktur, tews krkembang dengan cepat. Dalam dekada 197U-an, penanaman modal dad perusahaan multinasional secara
fangsung meliputi sokitar 16 persen dafi keselunihan anrs modal di negara-
produksi eksklusif antara pihak perusahaan muitinasionat dengan pihak pernerintah di negara tuan rurnah, tidak -terlaksananya reinvestasi atas
keuntungan yang rnereka dapatkan dalarn perekonornian tuan rumah; terpacunya tingkat konsumsi dornestik sehingga justru rnenunrnkan
minat masyarakat setempat untuk rnenabungkan atau menginvestasikan
tarnbahan pendapatannya; terharnbat atau terganggunya perkernbangan perusaham-perusahaan domestik yang sebenarnya bisa rnenjadi pemasok barang sejenis atau barang-barang setengah jadi, seandainya saja perusahan-perusahaan multinasionai tersebut tidak rnernbuat
sendiri atau mengirnpornya dari cabang-cabangnya di luar negeri; serta melonjaknya biaya bunga atas modal yang dipinjam negara tuan rumah.
Walaupun darnpak-darnpak awal (brjangka pendek) dari penanaman madat perusahaan multinasianal memang dapat mernperbaiki posisi devisa negara yang rnenerirna mereka (negara tuan rumah), namun dalam jangka panjang darnpak-dampaknya justru negatif, yakni dapat
mengurangi penghasilan devisa itu, baik dad sisi neraca transaksi
berjalan maupun neraca modal oleh perusilhaan multinasianal itu, dan ha1 tersebut masih diperburuk lagi oleh adanya pengirirnan kembati
keuntungart hasil bunga, royalty, dan biaya-biaya jasa rnanajemen kenegara asahya. Jadi, praktis pihak negara tuan rurnah tidak
mernpe-
3.
bagian keuntungan yang wajar dan adil.
*
Wlaupun perusaham rnultinslsianal rnernang bisa mernberi kontribusi
bagi penerirnaan pemerintah dalam bentuk pajak, namun ' dalam prakteknya nilai kantribusi tersebut jauh lebih kecif daripada yang
seharusnya. Hai ini disebabkan aleh adanya konsesi-konsasi pajak yang
bersifat librai,' pernberian fasilitas penanaman modal yang berlebihan,
subsidi-subsidi terselubung, serta proteksi tan[ y ang diberikan aleh pernerintah negara tuam rumah.
4.
Keterampilan dan pengalaman managernen, sernangat kewirausahaan,
teknatogi dan jaringart hutrungan dagang luar negeri yang diberikan oleh perusahan-perusahaan rnultinasional ternyata tidak banyak rnernberi manfaat nyata bagi pengembangan sumberdaya dan keterampilan keja yang rnasih tegalong langka di negara tuan rumah. Bahkan rnungkin saja
perusahaan rnultinasional itu, bertolak dari pertirn bangan kepentingan mereka yang bersifat sepihak, justru mengatrambat proses kernuncuian dan
perkembangan
bakat-bakat
kernarnpuan
rnanajtjemen,
kewirausahaan serta teknalogi produksi aslirpribumi di negara tuan
rumah, agar rnereka nantinya jangan sampai trtmpil sebagai gesaing yang pa&
akhirnya akan menggayahkan kdudukan serta dorninasi
perusahaan rnultinasionai itu, baik di pasaran darnestik rnaupun pasar-
pasar ekspor internasional. Namun
kritik-kritik
utama
terhadap
keberadaan
prusahaan
muttinasionat m i f a t lebih mendasar dari apa yang telah dijelaskan di atas. Secafa urnurn mgara-negara dunia ketiga telah rnengernukakan keberatan-
keberatan yang senada terhadap s e p a lterjang perusahaan-perusaham
rnultinasianal tersebut sebagai berikut :
A.
Dampak-darnpak
positif
yang
*
diberikan
prusahaan-perusahaan
muftinasiortal bagi proses pembangunan di negara-negara tuan ntrnah
clalarn kenyataannya sangat tidak rnerata, dan bahkan dalarn banyak hat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan rnuttinasianal tersebut justru rnemperkuat struktur ekonomi yang dualistis serta memperburuk distribusi pendapatan. Mereka cenderung rnenguntungkan kepentingan
sejurniah kecit pekerja yang sejak awalnya sudah mernpunyai penghasilan yang relatif tinggi disektar-sektar modern dan daiarn waktu bersamaan
mengabaikan nasib para pekerja disektar-sektor lainnya akibat terus rnelebamya petbedaan tingkat upah yang rnereka ciptakan. Mereka akan
rnengalihkan sumber-sumberdaya dari penggunaan untuk rnenghasilkan
barang-bmng mahal dan canggih yang kebanyakan hanya untuk memuaskan permintaan dari kelornpak elit. Perusahaan multinasional juga cenderung brut memperburuk ketimpangan kesernpatan ekonamis antar daerah perkataan, karena harnpir sernua perusahaan multinasional
beraperas1 didaerah perkotaan, sehingga rnernpercepat arus migrasi dart desa ke kuta
2.
Perusahaan-perusahan multinasional itu pada urnumnya menghasilkan baranpbamg yang seknarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kebukrhan pnduduk setempat, abu hanya dikansumsi oleh sekelampok kecil pnduduk yang kaya sehingga mendorung pda kansurnsi mewah
dan hrlebihan, terutama rnelalui iklan yang serba gencar dan penerapan kekuatan monopolistis rnereka di pasar. Warn rnenghasilkan -berbagai barang tersebut, perusahaan rnuitinasional juga acapkafi mernakai teknologi produksi yang sebenarnya tidak cocok fpadat modal) clengan
irebututran dasar negafa penerirna. fnifah yang agaknya rnerupakan
tandasnn utama atas munculnya kritik pedas terhadap keberadaan dan sepak terjang perusahaan rnultinasianal di negara dunia ketiga.
3.
Sebagai akibat tanjutan dari argurnen (1) dan (21, maka sumber-
sumberdaya domestik miIik negara tuan rumah cenderung akan dialokasikan
kepada
prayek-proyek
yang
secara
sosiat
tidak
menguntungkan. Hal ini palla gilirannya akan rnemperburuk lagi kondisi ketimpangan atau ketidak rnerataan kesejahteraan antara golungan kaya dan miskin di negara
tuan rumah yang sebelurnnya sudah cukup lebar,
serta turut rnemperburuk ketimpangan kesempittan ekonornis dan peluang
pembangunan antara kota dan desa lebih jauh lagi, 4.
Perusahaan-perusahaan rnultinasionai sering rnenggunakan kekuatan ekonomi rnereka untuk rnempengaruhi, menyuap dan mernanipuiasi
berbagai kebijakan pemerintah di negara tuan rumah kearah yang tidak rnenguntungkan
bagi
pem bangunannya.
Mereka
sendiri
mamgu
rnendapatkan kansesi-konsesi yang bersifat ekonornis dan paiitis dari pernerintah di negara berkernbang, baik &lam bentuk pruteksi yang
beriebihan, keringanan dan kernudahan perpajakan serta aneka rupa fasilitas penanaman modal, maupun dalam bentuk penyediaan lokasi pabrik dan jasa-jasa pelayanan sosial yang murah. Karena tingkat
keuntungan perusahaan-perusahaan rnultinasianal dapat melarnpaui
keuntungan sasial. Dalarn bebrapa kasus, keuntungan sasial bagi negara tuan nrmah ini bahkan negatif! BaRkan sebuah perusahaan multinasional seringkati berusaha (dan meraka memang dapat rnelakugannya)
menghindari pajak secara tidak langsung, yakni dmgan jatan menaikkan
harga bell barang-barang setengah jadi yang merekrt beli dari anak atau
cabang perusahaannya sendiri di luar n&geri agar angka-angka keuntungan domestiknya di negara yang bersangkutan narnpak lebih kecil.
Fenarnena iniiah yang dikenal dengan istilah panga/ihan harga (transfer ptjcing]. ttu merupakan praktek yang sering digunakan oleh perusahaan-
perusahaan
rnuiti
nasianal
dalam
rangka
melipatgandakan
keuntungarmya, dan pemerintah negara tuan rumah sendiri memang
hampir-harnpir tidak krdaya untuk rnengawasi dan mencegahnya, selama tarif tingkat pajak terhaclap iaba perusahaan berbeda dari suatu negara ke
negara lainnya.
5.
Perusahamperusahaan multinasianal berpotensi besar untuk merusak psrekonomian tuan rumah dengan cara rnenekan tirnbulnya sernangat
bisnis para wirausahaan lokal, dan menggunakan tingkat penguasaan
pengetahuan dan teknoiogi rnereka yang superior, jaringan hubungan luar negeri yang luas dan telah tertata baik, keahiian dan agresifitas dibidang periklanan, serta penguasaan terhadap berbagai jenis jasa pelengkap
lainnya untuk mendorang keluar setiap perusahaan lokal yang cukup potensial yang dianggap mengganggu atau rnengancarn dalam kancah persaingan, dan sekaligus untuk rnenghalangi munculnya perusahanperusahaan baru yang potensial untuk menjadi saingan mereka. Dalam konteks reformasi ekonorni pasar yang tengat., metanda negara-rfegara
dunia
ke-
belakangan ini,
serta berlangsungnya gelanbang
swastanisasi terhadap badan-badan swasta mifik negaradan mulai %ring digunakannya instrumen modal (abligasi atau swat-swat berharga setara
saham) untuk rneringankan beban utang eksternal negara-negara berkernbang, maka perusahaan-perusahaan rnultinasional dewasa ini berada pada suatu posisi yang unik untuk mernbeli sebagian perusahaan lokal yang
relatif paling baik dan paling berpotensi. Mereka kini bahkan
lebih berpeluang lagi untuk "rnenyaingi" para investor lokal,
clan merebut
setiap tetes keuntungan yang tersedia. Dalarn kalimat lain, secsra ekonomis rnereka akan menjadi pesaing kuat bagi para investor fokal
untuk rnengambil alih perusahaan-perusahaan milik negara. Sebuah penelitian kuantitatif mutakhir yang dilaksanakan di 1"1egaara berkernbang di luar palung Pasifik telah rnengungkapkan bahwa kenaikan investasi
asing cendenrng oleh hal-haf yang tidak menguntungkan, yakni penurunan tingkat investasi domestik, penurunan tabungan nasional, peningkatan
devisit neraca transaksi berjaian, sert apada akhirnya penurunan iaju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
6.
Dari segi poiitik. ketakutan yang sering diungkapkan terhadap arus masuk
investasi asing (khususnya yang berasal dari perusahaan rnultinasional)
merupakan ekspresi dari rasa khawatir bahwa kekuatan ekonomi perusahaan rnultinasional tersebut cepat atau lambat akan menguasai aset-aset kekayzaan nasional dan iapangan pekerjaan domestik sehingga pada akhirnya mereka akan rnernpunyai pengaruh yang sangat kuat dalam
perurnusan keputusan-keputusan politis pada sernua tingkatan. Oatam
kasus yang ekstrern, mreka bahkan dapat, baik secara langsung dengan meny uap pejabat-pejabat tinggi pernerintah yang korup rnaupun secara tidak langsung rnefalui sumbangan-sumbangan yang mereka bsrikan
rakyat atau negara seternpat. Karena padst umumnya negara-negara atau kelompok-kelarnpak perusahaan yang berkepentingan dengan has11 produk bahan rnentah dan oiahannya akan berusaha menjadi pernegang saharn dari pabrik pengolah tadi. Sehingga pemtliknya tetaplah pengusaha atau negara
asing, yang berarti keuntungan atau nilai tambah yang sudah bertambah besar
sebagian besar tetap jatuh ke tangan rnereka, Cantah yang menarik adalah
peleburan aluminium di Asahan, Sumatera Utara fersebut dibangun aleh konsorsium perusahaan-perusahaan aluminium dan perdagangan Jepang setelah proposal mereka unfuk rnernbangun peleburan aluminium yang lebih
besar di negara mereka sendiri pada tahun 1973 ditentang aleh para aeli dan
pernerttati lingkungan (Goldsmith dan Hiidyard 1996). Kemudian rnereka melobi pemerintah Indonesia untuk rnernbangun industFi peleburan tadi di Indonesia. Untuk itu Jepang lewat AD8 dan JICA mernberi bantuan keuangan. Maka
dibangunlah sebuah bendungan besar di Asahan untuk memasok listrik bagi industri peleburan aluminium tadi. Segala pinjaman luar negeri tadi beFikut dana
dalam negeri selanjutnya digunakan untuk membiayai kedua mega proyek itu (bendungan dan pabrik pe1eburan)berikut sarana-sarana infrastfukturnya.
Selanjutnya dibawah kontrak y ang ditanda-tangani oleh kansorsium perusahaan
Jepang yang bernama Japan Asahan Aluminium Company (JAAC) dan pernerintah Indonesia ditentukan bahwa 80% dad listrik yang dibangkitkan aleh
bendungan Asahan akan digunakan-untukmemenuhi Asahan kebutuhan energi pabrik peleburan yang harga beli atas energi tadi ditentukan sendiri oleh JAAC
(Marr 1993 : 43) JAAC kamudian mernang mengubah diri rnenjadi PT, Indonesia Asahan Aluminium (inalum) dan saharnnya dikuasai 415%
oolh Indonesia
selebihnya, yang lebih besar- tetap konsorsium perusarahaan Jepang. Jadi jelas bahwa proyeit ini rnernang menguntungkan bagi pihak Jepang, bahkan
sangat mengunhrngkan karma rnasih meninggalkan hutang bagi Indonesia atas biaya
pembangunannya.
Itu
sebabnya
perusahaan-perusahaan
atau
pernerintah dari negara industri maju sangat rnernkri perhatian dan tertibat jauh dafarn pembiayan untuk pengambiian bahan tarnbang
yang rnereka butuhkan
(Marr. 1993:45). Kalau bisa pinjarnan pun akan rnereka sediakan untuk
pengembangan industn pertarnbangan di Indonesia, karena itu berarti
rnernberikan keuntungan yang berganda. Keuntungan dari hasil tarnbang dan
perclagangannya serta keuntungan dari pinjarnan yang diberikan. Dalarn konteks ini dapat dimengerti apabila Arief dan Sasono (1987) berpendapat bahwa sesungguhnya dari interaksi Indonesia dengan pihak-pihak
luar
negeri yang
merupakan proses internasionalisasi ekanomi telah
menirnbulkan penshisapan surplus ekonami dari bumi Indonesia. Menurut mereka dengan mempelajari perkembangan investasi dan perdagangan luar negeri Indonesia sejak tahun 197Q-1986, peran modal asing di Indonesia
bukanlah mernperbesar tetrapi justru rnenghambat perturnbuhan ekonami
nasionai. Arus bersih modal asing yang masuk ke lndonesia tidak rnenirnbulkan efek yang besar terhadap investasi domestik secara keseluruhan karena modal
asing digunakan kembali untuk mernbiayai impori content dari investasi yang dilakukan (dalam perfiitungan keduanya, =lama periode 1970 - 1986, dalam setiap tahun secara rata-rata hampir 90 O/o dari psrsediaan surnber pernbiayaan
hasil transaksi luar negeri Indonesia telafi dibayarkan kepada pihak asing
kembali. Sehingga efek arus bersih modal asing yang mauk terfiadap tabungan
darnestik adalah negatif. Artinya setiap satu US$ yang rnasuk telah
mengakibatkan hampir senilai satu US$ potensi tabungan domestik yang tidak
menjadi kenyataan.
Jadi, meskipun sumbangan bahan mineral nunmigas terhadap totat
sumbangan sektor pertambangan nomigas terhadap total ekspar relatif kecil (hanya
5%), tetapi jika dilihat dari patensi tabungan damestik yang hiiang,
sejak usaha ini dibuka untuk modal asing, jurnlahnya tidakIah kecii yaitu sebesar
-r- US$6,2 rnilyar (2: R p 12,4 triliyun) ( Dianto Bachriadi, 1998;76).