12
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungsi Produksi
Menurut Beattie and Taylor (1985: 3) yang dimaksud produksi adalah proses kombinasi dan pengkoordinasian dua atau lebih faktor produksi (input) untuk menghasilkan suatu barang dan jasa (output). Jadi dalam proses produksi selalu menggunakan dua atau lebih seperangkat faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal dan lain-lain untuk menghasilkan produk atau komoditas yang memiliki nilai ekonomi. Produk-produk seperti tembakau, padi, kentang jagung, susu, dan lain-lain bukannya dihasilkan dari satu macam faktor produksi seperti tanah atau tenaga kerja saja, tetapi berasal sejumlah faktor produksi. Bentuk umum hubungan antara faktor produksi dan produksi (input output) dapat digambarkan oleh suatu kurva yang sederhana seperti terlihat pada Gambar 1. Tingkat penggunaan faktor produksi diukur sepenjang sumbu horizontal dan produksi pada sumbu vertikal. Titik-titik pada kurva menunjukkan perbedaan produksi dihubungkan dengan penggunaan faktor produksi. Dengan demikian hubungan antara faktor produksi dengan produksi (input-output, masukan-keluaran) dapat diterangkan sebagai fungsi produksi (Antara dkk, 1992: 8).
13
Gambar 1. menjelaskan bahwa secara fungsional, Y = F (X), artinya produksi (Y) dipengaruhi oleh atau “tergantung pada” faktor produksi (X). Pada media dua dimensi (bidang datar), hanya mampu menunjukkan hubungan antara produksi dengan satu faktor produksi, misal X1. Penggunaan dua faktor produksi masih sering dijumpai di dunia nyata, dimana penggunaan faktor produksi sudah lebih dari pada dua faktor, maka sudah tidak dapat digambarkan dengan tiga sumbu. stage I
stage II
stage III
e=0
e=1 Produksi (Y)
TPP
0<e<1
e<0
e>1
APP
0
MPP
Faktor Produksi (X)
Gambar 1. Bentuk Umum Fungi Produksi (Beattie and Taylor, 1985: 13) Keterangan: Kurva TPP (Total Physical Product) adalah kurva yang menunjukkan tingkat produk total pada berbagai tingkat penggunaan input variabel (inpt-input lain dianggap tetap). Kurva MPP (Marginal Value Product) adalah kurva yang menunjukkan tambahan (kenaikan) dari TPP, yaitu Δ TPP atau Δ Y yang disebabkan oleh penggunaan tambahan satu unit input variabel.
14
Kurva APP (Average Physical Product) adalah kurva yang menunjukkan hasil ratarata per unit variabel pada berbagai tingkat penggunaan input tersebut. a. Daerah I, yaitu daerah e > 1 sampai e = 1. Pada daerah ini menambahkan faktor produksi sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari pada 1 persen. Daerah ini belum tercapai keuntungan maksimum karena keuntungan masih dapat diperbesar melalui penambahan faktor produksi. b. Daerah II, yaitu daerah e = 1 sampai e = 0. Pada daerah ini menambahkan faktor produksi sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi hanya 1 persen dan paling rendah 0 persen. Daerah ini akan tercapai keuntungan maksimum c. Daerah III, yaitu daerah e = 0 sampai e < 1. Pada daerah ini menambahkan faktor produksi sebesar 1 persen akan menyebabkan pengurangan produksi atau penambahan penggunaan masukan di daerah ini justru akan menurunkan keuntungan.
Menurut Sukirno (1995: 192) fungsi produksi merupakan perkaitan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakannya. Sedangkan menurut Debertin (1986: 14) fungsi produksi adalah sebuah penjelasan deskriptif atau persamaan matematika yang menunjukkan hubungan antara penggunaan faktor-faktor produksi (input) dengan hasil produksi (output). Robertson (dalam Antara dkk, 1992: 8) memformulasikan fungsi produksi secara matematis sebagai berikut. Y = f ( X1, X2, X3, . . . . . . . Xn) + U ...................................... (1) Keterangan Y = Produksi (output) X1, X2, X3… Xn = n macam faktor produksi yang dipergunakan memproduksi Y f = fungsi (dapat diartikan “adalah sebagai fungsi dari”, atau “ tergantung pada” atau “ditentukan oleh”) U = faktor-faktor diluar kontrol manusia.
15
Menurut Soekartawi (2002: 48), petani dapat melakukan tindakan yang dapat meningkatkan produk (Y) dengan beberapa cara antara lain : (a) menambah jumlah satu dari faktor prduksi (input) yang digunakan, atau (b) menambah jumlah beberapa faktor produksi (lebih dari satu) dari faktor produksi yang digunakan. Bila petani menambahkan tambahan satu faktor produksi saja untuk meningkatkan produksi, katakanlah X1, maka persamaan (1) dapat ditulis sebagai berikut. Y = f ( X1,+ Δ X1, X2 , X3, . . . . . . . Xn) ....................................(2) Δ X1 = tambahan dari X1 Persamaan (2) dapt dikatakan bahwa Y dipengaruhi oleh X atau tambahan X1 (Δ X1) dengan syarat X2, X3, . . . .Xn adalah tetap (Ceteris Paribus). Selanjutnya bila lebih dari satu daktor produksi yang ditambahkan (katakanlah X1 X2 dan X3, maka persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut. Y = f ( X1,+ Δ X1), (X2 + Δ X2), ( X3 + Δ X3) . . . .Xn ...................... (3) Persamaan (3) sulit untuk digambarkan pada gambar yang menunjukkan hubungan dua dimensi, dan karenanya pengaruh tambahan lebih dari satu faktor produksi sering dinyatakan atau dihitung dengan rumus matematika. Menurut Soekartawi (2002: 81-106) di antara fungsi produksi yang umum dibahas dan dipakai oleh para peneliti adalah fungsi produksi Cobb-
16
Douglas. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa kelebihan yang dipakai oleh fungsi produksi ini yaitu : (a) Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, dan dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (b) Hasil pendugaan garis melalui fungsi CobbDouglas akan menghasilkan koefisien regresi yang menunjukkan besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale.
2.2 Faktor-Faktor Produksi
Faktor produksi diperlukan dalam kegiatan usaha tani untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman dan pengenalan mengenai faktor-faktor produksi usahatani. Pada dasarnya faktorfaktor produksi (sumber daya pertanian) dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian umum yaitu tanah (land), tenaga kerja (labour), modal (capital), pengelolaan/manajemen (management) (Antara dkk, 1992:9). 2.2.1 Faktor produksi tanah (land) Tanah dapat dipandang sebagai penyediaan ruang untuk produksi. Letak kegiatan pertanian, pabrik dan pemukiman semuanya terletak pada tanah. Lahan pertanian dalam banyak kenyataan dapat dibedakan dengan tanah pertanian. Lahan pertanian banyak diartikan sebagai tanah yang disiapkan untuk diusahakan usahatani misalnya sawah, tegalan, dan pekarangan.
17
Sedangkan tanah pertanian adalah tanah yang belum tentu diusahakan dengan usaha pertanian (Soekartawi, 1990). Faktor produksi tanah mempunyai kedudukan paling penting dalam pertanian di negara kita. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan faktor-faktor produksi lainnya (Mubyarto, 1981:89). Hal ini dapat dibuktikan dari tinggi rendahnya balas jasa (sewa bagi hasil) yang sesuai dengan permintaan dan penawaran tanah itu dalam masyarakat dan daerah tertentu. Sebagai faktor produksi, tanah mendapat bagian dari hasil produksi karena jasanya dalam produksi itu. Pembayaran atas jasa produksi ini disebut sewa tanah (rent). Hernanto (1991:57) menyatakan bahwa dalam hubungan tanah usaha tani dengan pengolahannya yang dikaitkan dengan tanah sebagai faktor produksi ada beberapa status tanah yaitu a. tanah milik atau tanah hak milik, b. tanah sewa, c. tanah sakap, d. tanah gadai, e. tanah pinjaman. Lebih lanjut Hermanto (1991:46) menggolongkan petani berdasarkan tanahnya meliputi golongan petani luas (lebih dari 2 ha), golongan petani sedang ( 0,5 – 2 ha), golongan petani sempit (dibawah 0,5 ha) dan golongan buruh petani tak bertanah. Adanya perbedaan golongan petani berdasarkan luas tanah
tersebut
pendapatannya.
akan
berpengaruh
terhadap
sumber
dan
distribusi
18
2.2.2 Faktor produksi tenaga kerja
Setelah tanah, maka tenaga kerja merupakan faktor produksi yang berperan dalam melakukan proses produksi. Faktor produksi tenaga kerja terdiri atas dua unsur yaitu kuantitas (jumlah) dan kualitas (mutu). Kuantitas yang diperlukan dapat dipenuhi dari tenaga kerja keluarga yang tersedia maupun dari luar keluarga. Sedangkan kualitas mencirikan produktivitas tenaga kerja tergantung dari keterampilan, kondisi fisik, pengalaman dan latihan (Antara dkk, 1992:11). Setiap usaha pertanian yang dilaksanakan pasti memerlukan tenaga kerja. Oleh karena itu, dalam analisis ketenagakerjaan di bidang pertanian, penggunaan tenaga kerja dinyatakan besarnya curahan tenaga kerja, sedangkan curahan tenaga kerja yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai (Soekartawi, 2002: 26). Mubyarto (1981: 124) mengatakan bahwa dalam usaha pertanian, tenaga kerja adalah salah satu faktor produksi yang utama, maka yang dimaksudkan adalah mengenai kedudukan si petani dalam usaha pertanian. Petani dalam usahataninya tidak hanya menyumbang tenaga (labour) saja, tetapi lebih daripada itu, yakni dia adalah pemimpin (manajer) usaha tani yang mengatur organisasi secara keseluruhan. Petani memutuskan berapa kali tanah dibajak dan diratakan, berapa kali rumput-rumput akan dibersihkan dan bahkan
19
dialah memutuskan berapa banyak pupuk yang akan dipergunakan serta jenis pupuk apa saja, dan apakah akan dipakai tenaga kerja dari luar disamping tenaga kerja dari keluarga sendiri. Hernanto (1991;64) memberikan satuan ukuran umum yang dipakai untuk mengatur tenaga kerja yaitu. 1. Jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung seluruh pencurahan tenaga kerja dari sejak persiapan sampai panen. Dapat saja menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu dijadikan hari kerja total (HK Total). Apabila terdiri atas beberapa cabang usaha maka dihitung dengan menjumlahkan setiap cabang yang diusahakan. 2. Jumlah setara pria (Man Equivalent). Jumlah jam kerja yang dicurahkan untuk seluruh proses produksi diukur dengan hari kerja pria. Ini berarti harus menggunakan konversi berdasarkan upah. Untuk pria dinilai 1 HKP, wanita 0,7 HKP, ternak 2 HKP, anak 0,5 HKP. 2.2.3 Faktor produksi modal Setelah tanah, tenaga kerja, modal adalah nomor tiga pentingnya dalam produksi pertanian dalam arti sumbangannya terhadap nilai produksi. Dalam pengertian ekonomi, modal seperti dikatakan Mubyarto (1981: 106) adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang yaitu dalam hal ini produk pertanian. Sedangkan
20
menurut Hernanto (1989: 80) modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian. Dalam membicarakan peranan modal dalam pertanian, orang selalu sampai pada soal kredit, sehingga pengertian modal dan kredit dikacaukan, sedangkan antara keduanya memilki pengertian yang berbeda. Mubyarto (1981: 108) secara jelas dan tegas membedakan antara keduanya yaitu: modal merupakan salah satu faktor produksi dalam pertanian disamping tanah, tenaga kerja dan manajemen, sedangkan kredit tidak lain adalah suatu alat untuk membantu menciptakan modal. Hernanto (1989: 80) menyebutkan jenis-jenis modal dalam usahatani antara lain : (a) tanah, (b) bangunan-bangunan (gudang, kandang, lantai jemur, pabrik dan lain-lain), (c) alat-alat pertanian (traktor, luku, garu, sprayer, cangkul, parang dan lain-lain), (d) bahan-bahan pertanian (pupuk, benih, obatobatan), (e) tanaman, ternak, ikan dan kolam, (f) piutang di Bank, dan (g) uang tunai. Di pihak lain Hernanto (1989: 81) juga membedakan modal menurut sifatnya yaitu. (a)
Modal tetap, yaitu modal yang tidak habis diapakai dalam satu periode produksi. Jenis modal ini memerlukan pemeliharaan agar dapat berdaya guna dalam jangka waktu yang lama, dan jenis modal ini pun terkena
21
penyusutan artinya nilai modal menyusut berdasarkan jenis dan waktu. Misalnya tanah, bangunan, lantai jemur dan sebagainya (b)
Modal bergerak, yaitu yang habis atau dianggap habis dipakai dalam satu periode proses produksi. Jenis modal ini meliputi alat-alat, bahan (pupuk, pestisida), uang tunai, piutang di Bank, tanaman, ternak, ikan di kolam dan sebagainya. Menurut Tohir (1983:371) dalam pengelolaan usahatani modal
dibedakan menjadi (a) Modal dalam arti privat-ekonomis yaitu dapat diartikan sebagai “harta kekayaan” seseorang atau perusahaan. Modal ini memberikan penghasilan atau pendapatan kepada pemiliknya; (b) Modal dalam arti sosialekonomis atau modal masyarakat yaitu bagian dari semua jenis barang yang diproduksi oleh masyarakat dan yang dimilikinya dan yang akan dipergunakan untuk memproduksi barang-barang baru atau dengan kata lain modal sosialekonomis adalah barang-barang produksi dan merupakan alat-alat produksi. Modal sosial-ekonomis jelas berbeda dengan modal privat. Modal masyarakat memiliki fungsi mempertinggi produktivitas atau daya penghasil dari tenaga manusia. 2.2.4 Faktor produksi pengelolaan (manajemen)
Faktor produksi manajemen menjadi semakin penting kalau dikaitkan dengan kata “efisiensi”. Artinya walaupun faktor produksi tanah, pupuk, obat-
22
obatan, tenaga kerja dan modal terasa cukup, tetapi kalau tidak dikelola dengan baik (mismanagement), maka produksi tinggi ataupun keuntungan maksimum yang diharapkan tidak tercapai (Antara dkk, 1992: 13). Pengelolaan dalam usaha tani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir,
dan
mengkoordinasikan
faktor-faktor
produksi
yang
dikuasainya dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. (Hernanto, 1989: 88) Kurang seringnya variabel
manajemen
dipakai dalam analisis
disebabkan sulitnya melakukan pengukuran terhadap variabel tersebut. Apalagi kalau faktor produksi ini sulit diukur (dikuantitatifikasi) dan dipakai terhadap beberapa kelompok tani yang mengusahakan suatu usaha tani dan menggunakan jenis faktor produksi yang sama maka perbedaan manajemen dapat diwakili oleh perbedaan penggunaan kuantitas masing-masing faktor produksi, yang pada akhirnya akan tampak pada perbedaan efisiensi antar kelompok usahatani tersebut (Antara dkk, 1992: 13). Namun demikian seperti diakui oleh Soekartawi (1987: 28) bahwa semakin baik pengelolaan (manajemen) suatu usaha pertanian (terutama penggunaan faktor produksi) dari f (X) menjadi f’(X) seperti terlihat pada Gambar 2, maka akan semakin tinggi produksi yang diperoleh.
23
Produksi (Y)
f’ (X) = dengan manajemen yang lebih baik
Faktor Produksi (X) Gambar 2. Pengaruh Variabel Manajemen Terhadap Produksi
2.3 Efisiensi Produksi
Efisiensi adalah suatu istilah yang secara umum berarti perbandingan yang baik antara output dan input, atau antara kemampuan kerja efektif dengan input modal tetap, atau upaya penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan output (produksi) yang sebesar-besarnya (Antara dkk, 1992: 14). Menurut Yotopoulus dan Nugent (1976 dalam Antara, 1992: 14) efisiensi ekonomi (economic efficiency) dapat dibagi menjadi efisiensi teknik (technical efficiency) dan efisiensi alokatif (allokative efficiency). Efisiensi teknik mengukur besarnya produksi yang dapat dicapai pada saat produk fisik rata-rata (Average Physical Product, APP) sama dengan produk fisik marginal (Marginal Physical Product, MPP), atau APP = MPP. Sedangkan efisiensi alokatif mengukur tingkat rasionalitas ekonomi dari petani sebagai manusia ekonomi yang mencari keuntungan atau pendapatan maksimum. Efisiensi
24
alokatif ini dapat diuji dengan membandingkan produk fisik marginal dengan perbandingan harga input dan harga output. Efisiensi teknis akan tercapai bila pengusaha (petani) mampu mengalokasikan factor produksi sedemikian rupa, sehingga produksi yang tinggi dapat tercapai. Bila pengusaha (petani) mendapatkan keuntungan yang besar dalam mengalokasikan factor produksi karena harga yang tinggi, maka pengusaha (petani) mencapai efisiensi harga. Sedangkan Soekartawi (2002: 58) mengatakan efisiensi alokatif dicapai kalau petani mampu membuat suatu upaya kalau nilai produk marginal (NPM) untuk input sama dengan harga input tersebut atau dapat dituliskan sebagai berikut. P Y Xi X i PY
Py .
Y PXi X i
NPMXi = PXi
atau, atau
NPM Xi =1 PXi
Menurut Soekartawi (2002: 59), bila seseorang sudah memasukkan kata “efisiensi” dalam analisisnya, maka variabel harga yang dipertimbangkan dalam model analisisnya. Oleh karena itu ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum analisis efisiensi ini dikerjakan yaitu. a.
Tingkat transformasi antara input dan output dalam fungsi produksinya.
25
b.
Perbandingan (nisbah) antara harga input dan harga output sebagai upaya untuk mencapai indikator efisiensi. Marschak & Andrews yang dikutip oleh Narlove 1965 (dalam Antara
dkk, 1992: 16) mengatakan bahwa residual dalam analisis regresi fungsi produksi Cobb Douglass merupakan perbedaan dalam efisiensi teknik masingmasing sampel usaha tani, yang menggambarkan perbedaan faktor-faktor manajemen petani dalam mencapai output maksimum dari suatu input tertentu. Akan tetapi disamping itu residual juga menampung suatu faktor produksi dan pengaruh faktor-faktor lain yang tidak dianalisis (unexplained). Pada umumnya para peneliti seperti Yotopoulus dan lain-lain menggambarkan bahwa konstanta pada analisis fungsi produksi Cobb Douglas adalah merupakan ukuran efisiensi ekonomi yang mencakup efisiensi alokatif dan efisiensi teknik. Sedangkan menurut Simatupang (1988: 31) dan Antara dkk 1992: 16) mengatakan bahwa pendekatan fungsi produksi dapat pula dipakai untuk meneliti efisiensi teknis dan untuk menguji proses produksi (teknologi) yang berbeda. Lebih lanjut dikatakan bahwa analisis dapat dilakukan secara kuantitatif yaitu mengukur langsung tingkat efisiensi (teknologi) tersebut atau secara kualitatif dengan menggunakan peubah boneka (dummy). Juga dikatakan oleh Simatupang bahwa secara umum teknologi dapat dibagi menjadi “faktor augmenting” (meningkatkan produktivitas masukan tertentu)
26
atau netral (meningkatkan produktivitas seluruh masukan secara bersama). Teknologi yang bersifat netral dapat dijabarkan dalam fungsi produksi sebagai berikut. Q
= A(t) . f(X1, X2, . . . . . , Xn)
A(t)
= indeks teknologi
Spesifikasi
seperti
persamaan
(i)
.................................(i)
menunjukkan
bahwa
teknologi
mempengaruhi intersep, bukan sudut dari fungsi produksi yang dilinierkan. Fungsi produksi dengan teknologi “faktor augmenting’ dapat dirumuskan sebagai berikut. Q
= A f ( B1(t) X1, B2 (t) X2, . . . . . ., Bn (t) Xn)
....................(ii)
Spesifikasi teknologi seperti (ii) menunjukkan bahwa teknologi mempengaruhi sudut (slope) dari suatu fungsi produksi yang dilinierkan. Dengan menggabungkan persamaan (i) dan (ii), maka spesifikasi fungsi produksi dengan teknologi tertentu dapat dituliskan secara umum sebagai berikut. Q
= A(t) f ( B1(t) X1, B2 (t) X2, . . . . . ., Bn (t) Xn ……………………..(iii)
Per definisi, teknologi di bidang pertanian yaitu teknologi mekanis, teknologi budidaya dan teknologi kimia-biologi (benih, pupuk, pestisida). Dengan demikian perbedaan dalam penggunaan satu atau lebih teknologi pertanian efisiensinya dapat diuji dengan salah satu atau kedua pendekatan fungsi produksi tersebut.
27
Seperti dikatakan oleh Simatupang (1988: 31) dan Antara dkk (1992: 18), apabila datanya adalah penampang melintang yang dikumpulkan melalui survey, maka pengukuran survei teknik (teknologi) hanya dapat dilakukan secara kualitatif. Dalam hal ini fungsi produksi diduga secara terpisah untuk setiap teknologi (proses produksi atau lingkungan yang berbeda) atau dengan memasukkan peubah boneka (dummy) untuk setiap indikator teknologi. Teknik pemasukan peubah boneka tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. Q
= ∂o+
i X i j Di ij D j X i n
m
i 1
j 1
n
m
i 1 j 1
dimana : Dj = 1 untuk indikator j, j = 1, 2, . . . . . . n) j = 0 untuk lainnya Indikator teknologi Dj dikatakan berpengaruh terhadap produksi jika βj dan γi nyata secara statistik. Beberapa indikator usaha tani yang penting adalah topografi, lahan, teknik irigasi, jenis varietas dan sebagainya.
2.4 Pengertian Usahatani
Menurut Rivai (dalam Hernanto, 1989: 7) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi itu ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Dari definisi
28
tersebut, terdapat unsur pokok yang harus ada pada suatu usahatani (dikenal dengan istilah lain dengan sebutan faktor produksi) yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan (manajemen). Sejalan dengan pengertian tersebut, Soeharjo (dalam Soetriono, dkk, 2006 : 29) menyatakan ada empat hal yang perlu diperhatikan untuk pembinaan usahatani, yaitu: (1) organisasi usahatani yang difokuskan pada pengelolaan unsur-unsur produksi dan tujuan usahanya, (2) pola pemilikan tanah usahatani, (3) kerja usahatani yang difokuskan pada distribusi kerja dan pengangguran dalam usahatani, dan (4) modal usahatani yang difokuskan pada proporsi dan sumber modal petani. Menurut Soekartawi (dalam Dena Medana, 2005 : 8), mendefinisikan bahwa usahatani yaitu setiap kombinasi yang tersusun dengan batasannya, pada setiap usahatani selalu ada unsur lahan pertanian yang mewakili alam, ada unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota petani dan unsur modal yang beraneka ragam jenisnya dan undur pengelolaan yang dibawakan oleh seorang yang disebut sebagai petani. Usahatani merupakan himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tumbuhan, tanah dan air, perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bagian-bagian yang didirikan di atas tanah dan sebagainya. Usahatani dapat berupa usaha bercocok tanam atau memelihara ternak (Mubyarto, 1991).
29
Menurut Adiwilaga (dalam Dena Medana, 2005 : 9), usahatani adalah kegiatan usaha manusia untuk mengusahakan tanahnya dengan maksud untuk memperoleh hasil tanaman atau hewan tanpa mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk memperoleh hasil selanjutnya. 2.5 Teori Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani 2.5.1 Penerimaan usahatani
Penerimaan usahatani adalah luas dikalikan persatuan luas. Selanjutnya hasil yang diperoleh dari pengalian tersebut, dinilai dengan uang. Uang yang dimaksudkan adalah harga per unit dari komoditi tersebut (Mubyarto, 1991). Menurut Fadholi Hernanto (1989 : 202) penerimaan usahatani (farm receipts), yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil dan nilai penggunaan rumah dan yang dikonsumsi. Soekartawi (dalam Dana Medana, 2005 : 12), menambahkan bahwa penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Dalam menghitung penerimaan usahatani ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu dalam menghitung produksi pertanian perlu diketahui bahwa tidak seluruh komoditas pertanian dapat dipanen secara serempak. Kemudian dalam menghitung penerimaan juga perlu mengetahui
30
bahwa produk mungkin mengalami frekuensi penjualan beberapa kali dengan harga jual yang berbeda. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut. TR = Q × P Keterangan TR Q P
: total penerimaan. : produksi yang diperoleh. : harga jual produk yang bersangkutan
2.5.2 Biaya-Biaya dalam usahatani
Biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber-sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam arti sempit, biaya adalah bagian dari harga pokok yang dikorbankan di dalam usaha untuk memperoleh penghasilan (Murti Sumarni dan John Soeprihatno, 2000:413). Pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Pengeluaran total usahatani dipisahkan menjadi pengeluaran tetap dan pengeluaran tidak tetap. Pengeluaran tidak tetap (variable cost atau direct cost)
didefinisikan sebagai pengeluaran yang
digunakan untuk tanaman atau ternak tertentu dan jumlahnya berubah kira-kira
31
sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut. Pengeluaran tetap (fixed cost) ialah pengeluaran usahatani yang tidak bergantung kepada besarnya produksi. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. Jadi, nilai barang atau jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit harus dimasukkan sebagai pengeluaran. Apabila dalam usahatani itu digunakan mesin-mesin pertanian, maka harus dihitung penyusutannya dan dianggap sebagai pengeluaran. (Soekartawi, dkk, 1986 : 79 – 80). Hernanto (1989:198) mengemukakan bahwa korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi, yang semula fisik kemudian diberi nilai rupiah dan itulah kemudian diberi istilah biaya. Biaya ini tidak lain adalah nilai korbanan. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan oleh seorang petani dalam proses produksi serta membawanya menjadi produk. Sedangkan menurut Kertasapoetra (1988) biaya produksi adalah semua pengeluaran yang harus dikeluarkan produsen untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan penunjang lainnya yang akan didayagunakan agar produk-produk tersebut yang telah direncanakan dapat dengan baik. Pernyataan diatas dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut.
32
TC = FC + VC Keterangan TC = Total biaya FC = Biaya tetap VC = Biaya variabel
Menurut Soeharjo dan Patong (1973 dalam Griye 2001), hal-hal yang mempengaruhi biaya produksi dari seluruh cabang usahatani adalah sebagai berikut. 1. Struktur tanah, pengolahan tanah-tanah berat (liat) sukar sehingga memerlukan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan tanah ringan. 2. Topografi tanah, pengusahaan tanah-tanah yang tinggi letaknya dari permukaan laut dan tanah-tanah dengan derajat kemiringan yang besar tidak dapat dilakukan dengan alat-alat mekanis. Dengan demikian, diperlukan tenaga kerja manusia yang lebih banyak, selain itu tanahtanah miring diperlukan pula biaya. 3. Jenis tanaman dan varietas tanaman, ada tanaman yang memerlukan biaya intensif untuk dapat menghasilkan produksi yang lebih baik. Adapula tanaman yang tidak memerlukan banyak biaya. Pada umumnya tanaman padi memerlukan biaya operasi yang lebih besar dibandingakan dengan tanaman bahan makanan lainnya. Tanaman
33
semusim memerlukan biaya yang lebih besar daripada tanaman tahunan. 4. Tingkat teknologi yang digunakan, penggunaan teknologi pada dasarnya menaikkan biaya produksi per satuan luas tetapi menurunkan harga pokok cabang produksi yang diusahakan. Menanam padi dengan sistem bimas memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan cara sebelumnya. Perbedaan ini disebabkan oleh tambahan penggunaan sarana produksi. Hernanto (1989:179-180), mengklasifikasikan beberapa macam kategori atau pengelompokkan tentang biaya. Di antara beberapa macam kategori atau pengelompokkan dari sudut usahatani biaya dapat dibedakan menjadi : 1. Biaya tetap (fix cost), yaitu biaya yang penggunaannya tidak akan habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Tergolong dalam kelompok ini adalah pajak tanah, penyusutan, iuran, dan sebagainya. 2. Biaya variabel (variable cost), adalah biaya yang besar kecilnya tergantung dari produksi yang dihasilkan. Tergolong dalam biaya adalah biaya untuk pupuk, benih, obat-obatan, tenaga kerja, biaya panen dan sebagainya. 3. Biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa biaya air dan pajak tanah. Sedangkan untuk biaya variabel antara lain berupa biaya untuk pemakaian benih, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja luar keluarga.
34
4. Biaya tidak tunai (diperhitungkan), meliputi biaya tetap dan biaya untuk tenaga kerja keluarga. Sedangkan untuk biaya variabel antara lain biaya panen dan pengolahan tanah dari keluarga dan jumlah pupuk kandang yang dipakai. 2.5.3 Pendapatan usahatani
Mubyarto (1991) menyatakan bahwa, pendapatan usahatani merupakan pendapatan bersih dari usahatani yang dikembangkan. Pendapatan bersih itu adalah pendapatan kotor dikurangi dengan semua biaya-biaya yang dikeluarkan untuk usahatani yang bersangkutan. Adapun pernyataan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut. π = P.Q – (FC + VC) Keterangan π P Q FC VC
= pendapatan = harga jual produk yang bersangkutan = jumlah produksi yang diperoleh. = biaya tetap = biaya variabel
Unsur-unsur yang perlu mendapatkan perhatian dalam pendapatan adalah sebagai berikut. 1. Sewa tanah dimasukkan sebagai pendapatan jika tanah itu milik petani. 2. Upah tenaga kerja dimasukkan sebagai pendapatan jika tenaga kerja yang dipergunakan dalam mengelola usahataninya adalah tenaga kerja keluarga.
35
3. Bunga modal dimasukkan sebagai pendapatan jika modal yang diperlukan untuk mengelola usahataninya adalah milik petani. Fadholi Hernanto (1989 : 206-208), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah luas usaha yang meliputi areal tanaman, luas pertanaman dan luas pertanaman rata-rata, tingkat produksi yang diukur dengan produktivitas per hektar dan indeks pertanaman, pilihan dan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan pertanaman yang ditunjukkan oleh jumlah tenaga kerja dan efisiensi tenaga kerja berdasarkan pekerjaan produktif yang dapat diselesaikan oleh seorang pekerja. 2.6 Pengertian Subak Pitana (1993) mengatakan bahwa subak adalah suatu lembaga tradisonal yang bersifat otonom. Bersifat otonom maksudnya adalah subak tidak mempunyai ikatan perintah dan tanggung jawab langsung terhadap kepala desa, lembaga desa, maupun lembaga-lembaga lainnya. Subak juga tidak terkait dengan batas-batas wilayah administratif desa ataupun kecamatan. Sehingga ada kemungkinan suatu wilayah subak tumpang tindih dengan beberapa desa atau kecamatan. Otonomi subak ada dua macam yaitu otonomi kedalam dan keluar. Otonomi ke dalam menyangkut diantaranya pengaturan air irigasi, penggalian dana untuk kegiaan subak, pelaksanaan untuk kegiatan upacara serta penanganan konflik. Otonomi yang berhubungan dengan pihak
36
luar, maksudnya adalah dapat mengadakan koordinasi atau interaksi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, pemerintah dan instansi terkait. Subak merupakan suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio agraris religius yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah (Windia, 2006: 1). Menurut Arif (1999 dalam Windia) mempertegas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis-religius karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian dan teknis irigasi. Sutawan (1986 dalam Windia) mengemukakan lebih lanjut tentang gatra religius dalam sistem irigasi subak. Kegiatan gatra religius tersebut ditujukan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku dewi kesuburan). Keberadaan subak secara formal diakui pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972 tentang irigasi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 14, yang berbunyi sebagai berikut. 1. Subak berkewajiban mengatur rumah tangganya sendiri baik dalam mengusahakan maupun mengatur air dengan tertib dengan efektif untuk persawahan para krama (anggota) subak di dalam wilayahnya.
37
2. Subak memelihara dan menjaga prasarana-prasarana irigasi dengan sebaikbaiknya, yang diperlukan untuk menjamin kelancaran dan tertibnya irigasi di dalam wilayahnya. 3. Dalam menjalankan urusan rumah tangganya, subak menjalankan peraturan-peraturan, awig-awig, dan sima subak yang berlaku. 4. Subak menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan yang timbul dalam rumah tangganya. 5. Apabila ada pelanggaran dan tindak pidana, diselesaikan menurut hukum yang berlaku. Sawah-sawah yang ada di Bali mendapatkan air dari sistem irigasi yang seluruhnya diselenggarakan atau diatur oleh petani. Supaya mereka dapat mengatasi masalah-masalah dalam soal pengairan dan hal-hal yang bersangkutan dengan bertanam padi, maka mereka membentuk organisasi yang terkenal dengan nama subak. Subak merupakan suatu sistem irigasi di Bali yang sudah ada ratusan tahun yang lalu. Namun belum dapat diketahui dengan pasti tentang kapan dan bagaimana subak pertama kali dibentuk. Dari berbagai prasasti yang telah dicermati hampir dapat dipastikan bahwa subak sudah ada pada tahun 1071 masehi (Pitana, 1993: 43). Kata kasuakan didapatkan dalam prasasti Pandak Badung bertahun Saka 994 (1072 Masehi) yang artinya sama dengan kata kasubakan, yang sekarang
38
disingkat dengan subak. Juga dalam prasasti Klungkung tahun 1072 Masehi terdapat kata kasuwakan rawas yang artinya kasubakan atau subak rawas. Di Kabupaten Tabanan kata subak dianggap berasal dari kata seuwak yang diartikan sebagai pembagian air yang baik. Di kabupaten Badung kata subak dianggap berasal dari kata seuwak, tetapi diartikan sebagai aliran air yang masuk ke dalam sawah petani. Dengan demikian dapat diduga bahwa kata subak berasal dari kata seuwak (Pitana, 1993: 43). Prasasti yang terdapat di Sukawana mengatakan, bahwa dalam tahun 882 Masehi telah dikenal dengan kata huma yang diperkirakan artinya sam dengan sawah. Kemudian pada prasasti yang didapatkan di Trunyan mengemukakan bahwa dalam tahun 881 Masehi telah dikenal kata makah aser yang kira-kira artinya sama dengan pekaseh atau pengurus perairan. Mulai masa kemerdekaan dan hingga sekarang secara jelas kelihatan perkembangan sistem pertanian di Bali yang diorganisasikan
oleh subak-
subak, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perkembangan secara kuantitatif terlihat dalam suatu deret pertambahan jumlah subak di Bali dan perkembangan secara kuantitatif terlihat dalam tubuh subak itu sendiri antara lain tata organisasinya makin rapi, sehingga menjadi wahana yang baik bagi usaha
pemerintah
untuk
menciptakan
swasembada pangan (Pitana, 1993: 46).
intensifikasi
pertanian
menuju
39
2.7 Teknik Usahatani Padi Padi merupakan tanaman semi-aquatis yang cocok ditanam di lahan tergenang. Meskipun padi juga baik ditanam di lahan tanpa genangan, asalkan kebutuhan airnya tercukupi. Penanaman padi dapat dilakukan pada dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Menurut Suparyono dan Setyono (1993: 18) usahatani padi sawah perlu dipertahankan mengingat permintaan padi di masa depan sangat tergantung pada pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi suatu negara. 2.7.1 Klasifikasi dan morfologi padi Padi termasuk famili Graminea subfamili Oryzidae, dan genus oryzae yang sering dibudidayakan adalah Oriza sativa L. dan Oriza glaberima Steund. Oryza sativa berbeda dengan dengan Oryza glaberima karena spesies ini memiliki cabang-cabang sekunder yang lebih panjang pada malai daun ligula. Namun kedua spesies tersebut berasal dari leluhur yang sama yaitu Oryza paremis Moench yang berasal dari Goudwanaland. Proses evolusi kedua kultugen tersebut berkembang menjadi tiga ras ekogeografik, yaitu sinic (japonica), indica dan bulu (Suparyono dan Setyono, 1993: 19-24). Pada dasarnya tanaman padi terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian vegetatif (akar, batang, dan daun) dan bagian generatif berupa malai dan bunga.
40
1. Bagian vegetatif tanaman padi Organ-organ yang berfungsi mendukung atau menyelenggarakan proses pertumbuhan adalah bagian vegetatif. Termasuk ke dalam bagian ini adalah akar, batang dan daun. a. Akar padi tergolong akar serabut. Akar yang tumbuh dari kecambah biji disebut akar utama (primer, radikula). Akar lain tumbuh di dekat buku disebut akar seminal. b. Batang, ciri-ciri dari bentuk batang padi adalah berbentuk bulat, berongga dan beruas-ruas. Antar ruas dipisahkan dan bertumpuk rapat. Setelah memasuki stadium reproduktif ruas-ruas memanjang dan berongga. Pada buku paling bawah tumbuh tunas yang nantinya akan menjadi batang sekunder. c. Daun, pada daun padi biasanya tumbuh pada buku-buku dengan susunan berseling. Pada setiap buku tumbuh satu daun yang terdiri dari pelepah daun, helai daun, telinga daun (uricle), dan lidah daun (lagula). Daun yang paling atas memiliki ukuran terpendek dan disebut daun bendera. Jumlah daun per tanaman tergantung varietas. 2. Bagian generatif tanaman padi Organ generatif padi terdiri dari mahkota bunga dan buah padi. Awal fase generatif diawali dengan fase primordial bunga yang tidak sama untuk setiap varietas. Adapun bagian generatif tersebut antara lain:
41
a. Malai, bagian ini terdiri atas 8-10 buku yang menghasilkan cabangcabang primer. Dari buku pangkal malai umumnya hanya muncul satu cabang primer dan dari cabang primer tersebut akan muncul lagi cabang-cabang sekunder. b. Bunga, bagian bunga padi memiliki kelamin dua dan memiliki enam buah benang sari dengan tangkai sari pendek dan dua kandung serbuk di kepala sari. Bunga padi juga mempunyai dua tangkai putik dengan dua buah kepala putik yang berwarna putih dan ungu. Sekam mahkotanya ada dua dan yang bawah disebut lemma, sedang yang atas disebut palea. c. Buah padi, gabah (buah padi ) terdiri dari bagian luar yang disebut sekam dan bagian dalam disebut karyopsis. Sekam terdiri dari lemma dan palea. Biji yang sering disebut beras pecah kulit adalah karyopsis yang terdiri dari lembaga (embrio) dan endosperm. 2.7.2 Persiapan sebelum tanam Beberapa langkah yang sangat penting pada fase sebelum tanam adalah pemilihan dan penyiapan lahan serta pembibitan. 1. Pemilihan lahan Petani lahan sawah selalu berusaha agar sawahnya tergenangi air. Carannya dengan membuat penahan air yang disebut pematang atau galengan. Pematang dibuat mengelilingi petakan sehingga air yang masuk ke dalam
42
petakan akan tertahan dan terjadilah genangan. Ukuran petak bervariasi sesuai dengan topografi lahan. Tidak semua tanah cocok untuk daerah persawahan. Daerah dengan tanah yang mudah melewatkan air, seperti tanah pasih, tidak cocok untuk persawahan. Idealnya sawah dibangun di tanah lapung yang baru atau tanah yang memiliki lapisan keras pada kedalaman kira-kira 30 cm di bawah permukaan tanah. 2. Penyiapan lahan Untuk lahan irigasi, persiapan diawali dengan pembajakan. Pembajakan lahan dapat dilakukan dengan traktor tangan (hand traktor) kerbau, atau cangkul dengan tenaga manusia. Dengan pembajakkan ini tanah pecah menjadi gumpalan besar. Pembajakan dilakukan pada awal musim. Hasil bajakan dibiarkan 2-3 hari sambil digenangi agar proses pelumpuran dapat berjalan dengan baik. Hasil bajakan pertama dibiarkan lebih lama sekitar 15 hari. Pembajakan yang kedua atau mungkin ketiga dilakukan 3-5 hari menjelang tanam. Pembajakan kedua dan ketiga bertujuan utnuk memecah bongkahan-bongkahan tanah hasil bajakan pertama sehingga menjadi pecahanpecahan yang lebih kecil dan halus. Untuk lahan-lahan sudah rata, hasil pembajakan kedua dan ketiga ini sudah bisa untuk ditanami. 3. Pembibitan Kegiatan pembibitan biasanya dilakukan menurut urutan pemilihan benih, penyiapan lahan persemaian dan pemeliharaan persemaian.
43
a. Pemilihan benih, salah satu kunci usahatani padi terletak pada kualitas benih yang ditanam. Untuk itu diperlukan benih yang memiliki daya kecambah tinggi (90-100%), sehat dan murni. Benih yang memiliki persyaratan tersebut diharapkan akan menghasilkan bibit yang kekar (vigorous), seragam dan sehat. Berdasarkan persyaratan kualitas, benih padi yang ditanam harus bermutu tinggi. b. Persiapan lahan untuk persemaian, tempat untuk persemaian sebaiknya dipilih di salah satu bagian dari lahan yang akan ditanami. Pemilihan tempat untuk persemaian harus mempertimbangkan pengaturan air. Stadium awal bibit merupakan yang sangat sensitive terhadap lingkungan. Kekurangan air akan menyebabkan bibit mati sedangkan kelebihan air akan menyebabkan pembusukan. Untuk menjaga kelebihan air pada awal pembibitan, lahan yang sudah mengalami pelumpuran dipetak-petak seluas kira-kira 1 x 10 m. Ini dimaksudkan agar kecambah yang baru ditaburkan di atas memperoleh kelembaban. c. Penaburan benih, sebelum disebar di tempat persemaian, benih direndam dulu kira-kira 48 jam. Saat merendam seluruh partai benih harus terendam sempurna. Sesudah direndam, benih diperam selam 48 jam untuk memberi peluang gabah berkecambah. jika benih bermutu, setelah 24 jam pemeraman sekitar 90% gabah sudah berkecambah dan siap untuk disebar dipesemaian.
44
d. Pemeliharaan persemaian, persemaian harus dipelihara dengan sebaikbaiknya agar vigor bibit baik. Kebutuhan tanaman akan nitrogen, fosfor, kalium, harus dicukupi dengan baik. Sampai bibit berumur satu minggu, kebutuhan haranya masih dapat dicukupi oleh kandungan zat dalam keeping biji. Sesudah periode itu, perlu tambahan nutrisi dari luar. Untuk pertanaman padi seluas 1 hektar diperlukan benih sebanyak 2530 kg yang disebar dalam areal seluas 10 are. Dalam luasan tersebut, pembibitan hendaknya ditaburi 25 kg Urea, 10 Kg TSP, dan 5 kg NPK. Bibit yang sehat hendaknya dilindungi oleh pestisida.
2.7.3 Penanaman, pemeliharaan dan pengendalian hama dan penyakit
Beberapa langkah yang dilakukan pada saat penanaman sampai dengan penanganan hasil antara lain : penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit, dan penanganan pasca panen. 1. Penanaman Cara penanaman padi di lahan sawah dapat dilakukan dengan sebar langsung dan pindah bibit. Cara sebar langsung dilakukan karena keterbatasan tenaga kerja atau karena tenaga mahal. Penebaran dengan sebar langsung ini dilakukan pada permukaan lahan yang sudah rata melumpur. Metode ini memiliki kelebihan yaitu penanaman padi dapat dilakukan dengan cepat. Sedangkan cara penanaman pindah bibit dilakukan dengan cara memindahkan
45
bibit padi persemaian, pada saat bibit berumur 18-25 hari. Bibit yang dipindah biasanya dari pembibitan basah atau pembibitan kering. 2. Pemeliharaan Agar padi dapat berproduksi sesuai dengan genetiknya dibutuhkan lingkungan yang optimal bagi tanaman untuk tumbuh dan berproduksi. Suatu varietas
padi
akan
mampu
manampilkan
potensi
genetiknya
kalau
ditumbuhkan pada kondisi yang sesuai. Faktor lingkungan tersebut antara lain, sumber makanan, air, suhu, kelembaban, sinar matahari, populasi tanaman per satuan luas serta keadaan hama dan penyakit. Agar faktor lingkungan ini baik maka dilakukan pemupukan, pengaturan air, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, serta pengelolaan pasca panen. 3. Pengendalian hama dan penyakit padi a. Pengendalian hama padi Pada umumnya hama-hama utama yang menyerang padi ialah wereng coklat, penggerek batang dan tikus. Pengendalian hama padi dianjurkan untuk dilakukan secara terpadu atau sering dikenal dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Komponen pengendalian hama terpadu terdiri dari varietas tahan, kultur teknis, biologis, dan pemakaian insektisida. Varietas yang tahan sebaiknya dikombinasi dengan komponen tersebut karena pada akhirnya varietas tahan saja belum cukup menekan populasi hama.
46
b. Pengendalian penyakit padi Penyakit padi dapat digolongkan ke dalam penyakit yang disebabkan karena bakteri, jamur dan virus. Pengendalian penyakit padi selama ini dilakukan melalui varietas tahan kultur teknis, biologis dan kombinasi dari cara-cara tersebut. 1. Pengendalian dengan varietas tahan, sampai saat ini pengendalian dengan varietas tahan merupakan hal yang sangat efisien, murah dan mudah. Namun untuk padi, cara ini masih terbatas pada penyakit hewan daun dan blast. Sedangkan untuk penyakitpenyakit lain varietas tahannya belum tersedia. 2. Pengendalian kultur teknis, pengendalian semacam ini ditujukan untuk
memodifikasi
lingkungan
agar
tidak
cocok
untuk
perkembangan penyakit. Pelaksanaan strategi ini dapat dilakukan dengan mengatur jarak tanam. Cara ini akan menyebabkan iklim meso dan kanopi menjadi tidak pengab. 3. Pengendalian melalui pengelolaan pupuk, adalah membuat modifikasi lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman padi. Penggunaan pupuk yang tidak benar (jenis, dosis dan waktu pemakaian) akan menyebabkan tanaman mudah terkena penyakit.
47
4. Pengendalian hayati, dilakukan dengan mikroorganisme berupa bakteri yang sangat mudah diperoleh dari ekosistem padi. Mikrooganisme tersebut bersifat patogenik. Isolatnya memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan miselium jamur. 2.7.4 Penanganan penen dan pasca panen padi Penanganan pasca panen padi meliputi semua kegiatan perlakuan dan pengolahan yang meliputi proses pemotongan, perontokan, pengangkutan, perawatan,
pengeringan,
penyimpanan,
penggilingan,
penyosohan,
pengemasan dan pengolahan. Penanganan pasca panen padi bertujuan untuk menekan tingkat kehilangan dan atau tingkat kerusakan hasil panen padi. 1. Pemotongan Pada tahap ini yang dilakukan pada usaha pertanian yang berupa modal, tanaga dan waktu akan dapat diperkirakan sebagai usaha menguntungkan atau tidak. Cara panen yang baik dapat menekan kehilangan hasil secara kuantitatif, sedangkan waktu panen dan sistem panen yang tepat akan menentukan kualitas gabah dan beras. Waktu yang tepat untuk melakukan panen padi yaitu pada saat berumur 30-35 hari, terhitung sejak hari mulai berbunga. Tanda-tandanya ialah 95 % malai tampak kuning dan kadar air gabah berkisar antara 21-26 %. Sistem pemanenan yang dilakukan oleh petani juga mempengaruhi banyaknya jumlah gabah yang nantinya akan
48
dibagi kepada sekelompok pemanen. Hal ini tergantung sistem panen yang digunakan petani. 2. Perontokan Perontokan padi dapat dilakukan secara manual dengan kaki, dipukul, atau dengan alat perontok. Penggunaan alat perontok (thresher) ini digunakan untuk merontokkan padi varietas lokal yang dipanen dengan aniani. Tenaga untuk menggerakan alat perontok dapat berupa tenaga manusia atau tenaga berasal dari sumber motor. 3. Pengangkutan Pengangkutan yang umum dilakukan menggunakan tenaga manusia, kendaraan tidak bermotor, kendaran bermotor, dan tenaga hewan. 4. Pengeringan Pengeringan bertujuan menurunkan kadar air sampai pada tingkat tertentu yang tidak mengganggu hasil panen. Pengeringan oleh petani biasanya dilakukan di bawah sinar matahari dengan cara dijemur, disamping itu juga petani melakukan pengeringan dengan mesin pengering. 5. Penyimpanan Penyimpanan hasil pertanian secara tradisional yang sering dilakukan adalah menyimpan dalam periuk tanah, dalam bamboo dicampur abu, dan digantung di atas tungku dapur. Petani pada umumnya menyimpan gabah pada kadar air sekitar 16% sampai 20%.