II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jarak Pagar Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Tanaman ini berupa tanaman perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah (Hambali et al. 2006) Menurut Hambali et al. (2006), klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut . Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha Spesies : Jatropha curcas Linn. Bungkil biji jarak (Jatropha curcas L.) merupakan produk sampingan yang dihasilkan pada proses ekstraksi biji jarak pagar untuk memproduksi minyak jarak (Hambali et al. 2006). Menurut Makkar dan Becker (1997), bungkil biji jarak pagar memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sekitar 56.4-63.8% sehingga dapat digunakan sebagai suplemen protein untuk pakan ternak jika racun – racunnya telah dihilangkan. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia biji jarak berdasarkan bahan kering dibandingkan dengan bungkil kedelai. Tabel 1. Komposisi Kimia Jarak Pagar
Komponen Dry Matter (bahan Kering) Protein kasar (%) Lemak (%) Abu (%) NDF (%) ADF (%) ADL (%) Energi bruto (MJ/kg)
Daging biji 94.2-96.9 22.2-27.2 56.8-58.4 3.6-4.3 3.5-3.8 2.4-3.0
Kulit biji 89.8-90.4 4.3-4.5 0.5-1.4 2.8-6.1 83.9-89.4 74.6-78.3
Bungkil biji jarak 100 56.4-63.8 1.0-1.5 9.6-10.4 8.1-9.1 5.7-7.0
0.0-0.2 30.5-31.1
45.1-47.5 19.3-19.5
0.1-0.4 18.0-18.3
Bungkil kedelai 45.7-46.5 1.8 6.4 17.2 12.2 0.0 19.4
Keterangan : NDF = Neutral Detergent Fiber ADF = Acid Detergent Fiber ADL = Acide Detergent Lignin Sumber : Makkar et al. (1997)
2.1.1. Kandungan antinutrisi dan toksik Kandungan zat antinutrisi dan racun pada bungkil biji jarak pagar merupakan kendala utama pemanfaatan BBJP. Zat antinutrisi dan racun dalam BBJP terdiri atas saponin, protease inhibitor, asam fitat, curcin dan phorbol ester (Trabi et al. 1997). Tabel 2 menunjukkan kandungan zat toksik dan antinutrisi bungkil biji jarak pagar.
3
Tabel 2. Zat Toksik dan Antinutrisi Dalam Bungkil Kernel Jarak Pagar
Kandungan zat toksik/Antinutrisi Phorbol ester a (mg/g kernel) Total phenol (% setara tannic acid) Curcin (1 mg bungkil yang menyebabkan hemagutinasi/ml media coba) Tannin (% tannic acid equivalent) Antitripsin (mg antitripsin/g bungkil)-bk Asam fitat (% dalam bungkil)-bk Saponin (% disogenin ekuivalen) Keterangan :
Varietas Toksik Non toksik 2.79 ND 0.36 0.22 51-102 51-102 0.04 21.3 9.4 2.6
0.02 26.5 8.9 3.4
a
: sebagai phorbol-12-myristate 13-acetate ND : Not detected Sumber : Makkar dan Becker (2009)
Phorbol ester merupakan ester dari tigliane diterpen. Komponen penting dari kelompok senyawa ini adalah tiglian, suatu diterpen tetrasiklik yang memiliki gugus alkohol. Hidroksilasi senyawa ini dengan berbagai posisi dan jenis asam melalui ikatan ester menghasilkan sejumlah besar senyawa yang disebut phorbol ester (Goel et al. 2007). Terdapat dua kelompok phorbol yaitu α dan β yang dibedakan berdasarkan gugus OH pada cincin C. Yang termasuk β phorbol aktif yaitu TPA (4ß-12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dan PDBU (4ß-phorbol-12,13dibutyrate).
Gambar 1. Struktur tetradecanoyl phorbol-13-acetate (TPA)
Phorbol ester bersifat mengaktifkan protein kinase C (PKC) yaitu enzim kunci pada penghantaran sinyal dan proses pertumbuhan kebanyakan sel dan jaringan. Interaksi yang berlanjut antara phorbol ester dengan PKC menyebabkan respon mitogenik dan pembentukan tumor. Phorbol ester juga menyebabkan meningkatnya proliferasi sel, aktivasi platelet darah, mitogenesis limfosit, inflamasi, produksi prostaglandin dan degranulasi neutrofil (Aitken 1986).
4
Phorbol ester diidentifikasi sebagai zat toksik utama pada jarak pagar. Kernel biji jarak pagar mengandung phorbol ester dengan konsentrasi bervariasi mulai kurang dari 1 mg/g hingga lebih dari 7 mg/g. Rata-rata 70% dari total kandungan phorbol ester berada dalam fase minyak dan sisanya ditemukan pada ampas kernel hasil ekstraksi minyak (Makkar dan Becker 2009). Haas et al. (2002) telah melaporkan 6 jenis phorbol ester dalam minyak jarak pagar, yang memiliki rantai diterpen sama yaitu 12-deoxy-16-hydroxyphorbol (Gambar 2). Phorbol ester bisa diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al. 2006), bersifat stabil terhadap pemanasan (Wink 1993; Martinez-Herrera et al. 2006), dan dapat bertahan pada pemanasan diatas 160oC selama 30 menit (Makkar dan Becker 1997). Curcin adalah phitotoxin atau toxalbumin yang memiliki molekul protein besar, komplek dan sangat beracun, menyerupai struktur dan fisiologis racun bakteri serta dapat bertindak sebagai pencahar. Curcin tidak tahan terhadap panas dan dapat menyebabkan iritasi pada mata dan tetap terdapat pada fraksi bungkil setelah pengambilan minyak (Heller, 1996). Curcin bukan merupakan racun utama pada jarak pagar, tetapi efek toksik akan meningkat jika bergabung dengan toksin lain seperti phorbol ester. Asam fitat diketahui dapat menurunkan absorbsi dari mineral khususnya Ca, Zn dan Fe. Dengan demikian penambahan enzim phytase ke dalam pakan yang mengandung bungkil kernel biji jarak perlu dipertimbangkan untuk mengurangi efek buruk dari asam fitat. Menurut Makkar dan Becker (1997) konsentrasi phorbol ester di dalam bungkil biji jarak pagar sekitar 1.81 mg/g bahan kering. Pada inti biji berupa daging (kernel) level phorbol ester sekitar 2.7 mg/g bahan kering dan terdapat 58% minyak di dalam inti biji. Dari nilai tersebut dapat dihitung bahwa sekitar 72% dari total phorbol ester dapat terekstrak dari minyak menggunakan pelarut petroleum eter dan sisanya sekitar 28% masih berada di dalam residu bungkil biji jarak pagar yang telah bebas minyak. Hal ini menunjukkan di dalam bungkil yang telah diekstrak masih mengandung senyawa phorbol ester. Penggunaan 40% dan 50% bungkil biji jarak pagar dalam pakan mencit menyebabkan mortalitas sebesar 87% dan 67% pada periode 3-16 hari, sedangkan pada tikus dengan level pemberian bungkil biji jarak pagar yang rendah sekitar 37% dalam pakan menyebabkan mortalitas sebesar 100% pada 2-3 hari (Makkar dan Becker 1997). Toksisitas pada minyak yang terkandung dalam biji jarak pagar menyebabkan karsinogenesis pada tikus (Goel et al. 2007).
2.1.2. Detoksifikasi BBJP Detoksifikasi diartikan sebagai penghilangan bahan beracun yang ada dalam bungkil biji jarak pagar (Priyanto 2007). Adanya kandungan antinutrisi dan racun dalam BBJP mendorong suatu upaya untuk mengurangi racun dalam BBJP dan untuk meningkatkan nilai nutrisi. Aregheore et al.(2003) menyatakan bahwa pemberian bungkil biji jarak pagar segar tanpa pengolahan tidak dapat diberikan pada ternak. Hal ini disebabkan oleh beberapa racun dan antinutrisi dalam bungkil biji jarak pagar sehingga diperlukan pengolahan terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian Aregheore et al. (2003), kadar phorbol ester dapat diturunkan menjadi 0.09 mg/g melalui proses pemanasan dan pencucian dengan metanol 92% sebanyak empat kali. Metode ini menghasilkan kadar protein kasar pada bungkil jarak pagar menjadi 68%. Angka ini menunjukkan bahwa bungkil biji jarak pagar mempunyai kadar protein kasar lebih tinggi dibandingkan biji kedelai yang memiliki kadar protein kasar sebesar 45.7%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2007) juga melaporkan bahwa usaha detoksifikasi dan uji toksisitas BBJP kepada tikus putih yang dilakukannya mengakibatkan berkurangnya tingkat toksisitas.
5
Gambar 2.Struktur senyawa phorbol ester dari minyak jarak pagar (Hass et al. 2002)
Berbagai metode detoksifikasi telah diupayakan oleh beberapa peneliti, baik perlakuan biologi, kimia, fisika maupun kombinasi. Pengolahan dengan pemanasan dapat menurunkan aktivitas curcin dan tripsin inhibitor (Aderibigbe et al. 1997; Aregheore et al. 1998). Perlakuan pemanasan yang diikuti dengan pencucian sebanyak 4 kali dengan metanol 92% dapat menurunkan kadar curcin dan phorbol ester sampai taraf yang aman bagi ternak. Kandungan phorbol ester dapat diturunkan sampai level yang dapat ditoleransi yaitu 0.09 mg/g bungkil biji jarak pagar (Aregheore et al. 2003). Pengolahan secara kimia sebagai upaya detoksifikasi bungkil jarak pagar telah dilaporkan. Aregheore et al. (2003) melakukan pengolahan kimia dengan NaOH 4% dan NaOCl 10% yang diikuti dengan pemanasan. Tehnik tersebut dapat menurunkan kadar phorbol ester varietas toksik dari 1.78 mg/g bungkil menjadi 0.13 mg/g bungkil. Sedangkan pengolahan dengan NaOH 3.5% tanpa NaOCl dapat menurunkan phorbol ester menjadi 0.18 mg/g bungkil.
6
Perlakuan secara biologi dilakukan dengan fermentasi bungkil jarak dengan kapang. Penelitian Mahajati (2008) menunjukkan bahwa penggunaan kapang Rhizopus oligosporus lebih baik dalam menurunkan racun bugkil biji jarak pagar dibandingkan dengan kapang R.oryzae. Penambahan bungkil biji jarak pagar difermentasi oleh A.niger dapat meningkatkan nilai rataan kecernaan zat makanan dibanding penggunaan jenis kapang lainnya. Namun secara umum penambahan bungkil biji jarak terfermentasi ke dalam ransum komersial sebanyak 5% belum dapat meningkatkan konsumsi zat makanan, pertambahan bobot badan, efisiensi ransum dan menurunkan mortalitas mencit. Farhanuddin (2009) melakukan fermentasi bungkil biji jarak pagar dengan R.oligosporus dan mencoba memberikan bungkil jarak terfermentasi dalam ransum ayam boiler. Hasil penunjukkan bahwa penambahan bungkil jarak terfermentasi mulai dari 3-9% sangat nyata dalam menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan bobot badan.
2.2. Teknik in vitro dan in vivo Teknik in vitro dan in vivo digunakan untuk menganalisis bahan pakan sebagai petunjuk dalam menentukan kecernaan sampel yang diuji seperti ketersediaannya sebagai pakan ternak. Penggunaan teknik fermentasi in vitro memungkinkan penentuan kecernaan tanaman dari fraksi yang berbeda (McDonald et al. 2002). Metode in vitro merupakan simulasi proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak. Adapun prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang berlangsung di dalam tubuh ternak yang melibatkan proses metabolisme rumen dan abomasum(Hungate 1996). Sebaliknya, teknik in vivo melibatkan hewan ternak atau hewan percobaan dalam menguji bahan pakan. Pengujian pemanfaatan BBJP secara in vitro menggunakan inokulum cairan rumen yang mengandung mikroba tidak dapat menggambarkan efek dari racun phorbol ester karena senyawa ini tidak memiliki antimikroba. Sehingga diperlukan pengujian secara biologis untuk melihat dampak dari pengolahan yang dilakukan dan pemanfaatan langsung pada ternak secara in vivo. (Suparjo 2008). Berdasarkan penelitian Fajariah (2007), usaha detoksifikasi yang telah dilakukannya (perlakuan pemanasan) dan penambahan BBJP terdetoksifikasi 10% dalam ransum belum bisa mencapai taraf aman untuk digunakan pada ternak. Mencit merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari tikus liar yang sudah diternakkan secara selektif. Saat ini, mencit terdiri atas bermacam – macam galur dan setiap galur memiliki ciri yang berbeda – beda (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Mencit sering digunakan sebagai hewan percobaan karena memiliki siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat – sifatnya tinggi, mudah ditangani dan sifat produksi maupun reproduksinya sama dengan hewan mamalia lainnya (Moriwaki et al. 1994) Klasifikasi mencit menurut Storer et al. (1979) yaitu: Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Genus : Mus Spesies : Mus musculus Kemiripan yang tinggi diantara genom mencit, sapi, babi dan manusia sehingga mencit digunakan hewan model laboratorium untuk mempelajari pengetahuan dasar genetika, genetika kuantitatif dan kualitatif dan penelitian (Schuler 2006 dalam Nanholy 2010). Kelompok mencit
7
yang berjumlah tujuh ekor dapat menghabiskan makanan sebanyak 50 g selama 2 hari sehingga dalam satu hari satu ekor mencit mengkonsumsi ransum sebanyak kurang lebih 3 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Ransum mencit percobaan tersedia dalam bentuk pelet dengan berbagai macam bentuk dan ukuran, atau dalam bentuk tepung yang diberikan secara ad libitum. Kebutuhan protein mencit sebesar 20-25%, lemak 10-12%, pati 45-55%, serat kasar kurang dari 4% dan abu 5-6% dan ditambahkan vitamin dan mineral (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa kecernaan adalah proporsi zat makanan yang tidak diekskresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh ternak. Biasanya ini dinyatakan dalam bahan kering (BK) dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al. 1998). Koefisien cerna merupakan selisih antara zat – zat makanan yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi dengan zat – zat makanan dalam yang ada dalam feses.
8