II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan masyarakat Munculnya konsep pengembangan masyarakat (community development) sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang besumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Di saat yang bersamaan,
pendekatan
pembangunan
lebih
bersifat
sentralistik
yang
mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil melemahkan
kemandirian
masyarakat.
Hadirnya
konsep
pemberdayaan
masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat
sebenarnya
berakar
pada
paradigma
pembangunan
yang
berorientasi pada manusi (people centered development). Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan
masyarakat,
yaitu
diharapkan
akan
mengurangi
tingkat
ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development. Menurut TR. Batten dalam Surjadi (1979), seperti dikutip oleh Hamzah (2005) pengembangan masyarakat merupakan suatu proses dimana anggotaanggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka. Sedangkan pengembangan masyarakat menurut Dunham dalam Rukminto (2001) adalah berbagai upaya yang terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat perdesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuan teknis dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga sukarela.
12
Definisi pengembangan masyarakat yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1956, yaitu : Community development is the processes by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrate these communities into the life of the nation and to enable them to contribute fully to national progress. This complex of processes is thus made up of two essential elements: the participation of the people themselves in efforts to improve their level of living with as much reliance as possible on their own initiative, and the provisions of technical and other service in ways which encourage initative, self-helf and mutual help and make these more effective, it is expressed in programmes designed a wide variety of specific improvements. These programmes are usually concerned with local communities because of the fact that the people living together in a locality have many and varied interests in common. Some of their interests are expressed in functional groups organized to further a more limited range of interests not primarily determined by lokality. (20th Repport to ECOSOC of the UN Administrative Communittee on Coordination, E/ 2931, annex III, New York, October 18th 1956, seperti dikutip oleh J. Bhattacharyya, 1972:4 dalam Taliziduhu Ndraha, 1987 : 72-73). Berdasarkan definisi tersebut, pengembangan masyarakat merupakan: (1) suatu proses baik upaya masyarakat yang bersangkutan berdasarkan prakarsa sendiri maupun kegiatan pemerintah, jadi lebih ditekankan sebagai suatu proses, metode dan gerakan daripada sebagai program, (2) meliputi dua komponen utama yaitu : pertama. Partisipasi masyarakat lokal, Kedua, bantuan dan pelayanan teknis dari pemerintah untuk mengembangkan partisipasi dan inisiatif tersebut serta (3) bekerja pada tingkat komunitas yang diikat dengan kepentingan yang sama sedangkan urusan yang bersifat khusus atau kepentingan kelompok ditangani oleh kelompok fungsional karena bukan merupakan kepentingan umum komunitas. Menurut Budimanta (2005) secara umum pengembangan masyarakat dapat didefinisikan
sebagai kegiatan mengembangkan masyarakat yang
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosialekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya, sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
13
Sedangkan Marzali (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam perencanaan dan tindakan, menentukan kebutuhan dan masalah individu/bersama, membuat rencana individu/kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan, melaksanakan rencana dengan menyesuaikan diri secara maksimal dengan sumberdaya yang ada dalam komunitas, dan jika diperlukan menambah sumberdaya ini dengan jasa dan materi dari badan-badan pemerintah dan non-pemerintah yang berasal dari luar komunitas. Lebih
lanjut
Marzali
(2003)
mengemukakan
bahwa
program
pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya “felt needs” dari komunitas tersebut. Ini bukanlah hal yang sederhana karena “felt needs” dari komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan “felt needs” dari anggota-anggota
komunitas
secara
individu,
apalagi
dengan
pimpinan
komunitas. Selanjutnya “felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Gagal dalam menentukan “felt needs” dari komunitas bisa berakibat kegagalan dari program pengembangan masyarakat. Terminologi pemberdayaan dipahami oleh sebagian para ahli sebagai proses stimulus pemberian daya (power atau kekuatan) kepada masyarakat untuk mampu berbuat lebih dengan mengandalkan potensi dan kekuatannya sendiri. Menurut Rees dalam Trijono (2001), esensi pemberdayaan adalah proses perolehan kekuasaan (achieving power) dan segala perubahan sikap, perilaku dan tindakan politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Mengacu pendapat seperti ini maka kita tidak bisa memahami proses pemberdayaan secara
sempurna
kalau
kita
tidak
memahami
dua
elemen
penting
pemberdayaan, yaitu kekuasaan (power) dan politik (politics). Kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti luas yaitu kapasitas untuk bertindak, untuk mampu melakukan atau menghasilkan sesuatu. Sedangkan politik merupakan turunan dari eleman kekuasaan karena dalam setiap upaya memperoleh kekuasaan akan selalu membutuhkan adanya tindakan politik tertentu. Esensi politik yaitu aktivitas yang selalu diwarnai kerjasama, konflik, keputusan diantara orang, kelompok atau organisasi dalam alokasi dan penggunaan sumberdaya ekonomi, nilai dan ide. Dalam konteks pemberdayaan, politik mendorong masyarakat untuk terlibat dalam alokasi sumberdaya yang ada baik melalui kerjasama, konflik dan memutuskannya. Dengan dua elemen ini secara operasional, pemberdayaan
14
mampu menciptakan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapi, tahu modal untuk menyelesaikan masalah, mampu menyusun alternatif pemecahan masalah serta akurat memilih alternatif terbaik penyelesaian masalah. Mengacu pada pemikiran tersebut, upaya pemberdayaan menurut (Sumodiningrat 1996 dalam Hamzah 2005), harus dilakukan melalui 3 (tiga) pandangan mendasar, yaitu Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi
masyarakat
berkembang.
Titik
tolaknya
adalah
pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan meningkatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat. Dalam kerangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya memanfaatkan peluang. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Artinya proses pemberdayaan harus mencegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Pengembangan masyarakat merupakan suatu strategi dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakayat (people centered development) yang menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal serta kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya sosial ekonomi yang dimiliki, “ruh” pengembangan masyarakat adalah populisme atau popularisme, yaitu menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting energi pembangunan dengan keseluruhan hak dan kewajiban serta harkat dan martabatnya. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development) seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan
masyarakat,
yaitu
diharapkan
akan
mengurangi
tingkat
ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain pula, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.
15
Pengembangan masyarakat harus didasarkan atas kekuatan-kekuatan lokal yang bersumber dari masyarakat sebagai pilar utama dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh (Hellen Miller dalam Wiryosoemarto 1977 seperti dikutip oleh Khairuddin 2006) bahwa: “communitiy development is the term used to describe the approach wich many government have employed to reach their village people and to make more effective use lokal initiative and energy for increased production and better living standards”. Menurut UNDP dalam Rustiadi et al. (2005) pembangunan dan khususnya pembangunan manusia didefinisikan sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Dalam kaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat, (Glen dalam Rukminto, 2001) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan pengembangan masyarakat, yaitu : 1. Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka, menetapkan rasa kebersamaan
sebagai
suatu
komunitas
berdasarkan
ketetanggaan
(neighbourhood) dimana basis ketetanggaan merupakan salah satu bentuk lokalitas kegiatan. 2. Proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Komunitas dilihat sebagai kelompok masyarakat yang secara potensial kereatif dan kooperatif merefleksikan idealisme sosial yang positif terhadap upaya-upaya kolaboratif dan pembentukan identitas komunitas. 3. Praktisi
yang
menggunakan
menggunakan pendekatan
model
intervensi
pengembangan
ini
pada
masyarakat
umumnya
yang
bersifat
nondirektif, artinya lebih banyak difokuskan pada peran sebagai “pemercepat perubahan” (enabler), ”pembangkit semangat” (encourager) dan “Pendidik” (educator). Masyarakat lebih cenderung untuk bertindak sesuai dengan apa yang mereka pilih, daripada apa yang telah diyakinkan oleh community worker untuk yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi dalam kondisi tertentu
16
dapat memainkaan peran proaktif, terutama ketika individu ataupun kelompok tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir suatu kegiatan di masyarakat. Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai
subjek
pembangunan
yang
potensial
sehingga
mendorong
pembentukan motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Menurut Rustiadi et al., (2005), Pengembangan lebih menekankan proses
meningkatkan
pengembangan adalah
dan
memperluas.
Dalam
pengertian
bahwa
melakukan sesuatu bukan dari “nol”, atau membuat
sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada di masyarakat tetapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki kapasitas sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (capacity building). Sorotan pemberdayaan juga tidak terlepas dari peran pelaku-pelaku (aktor) yang terlibat didalamnya. Keberhasilan upaya pemberdayaan sangat ditentukan oleh peran pelaku-pelaku (aktor) untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi yang dimiliki dengan dilandasi prinsip kolaboratif. Pelakupelaku
dimaksud
meliputi
dua
kelompok
yaitu
kelompok
yang
harus
diberdayakan, dalam hal ini adalah masyarakat dan kelompok yang menaruh kepedulian seperti pemerintah, organisasi sosial masyarakat (LSM), tokoh agama/ masyarakat serta pers. Menurut mazhab komunitarianisme pengembangan masyarakat harus dilaksanakan dengan pendekatan komunitas serta serba kolektivitas dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi kemasyarakatan. Mazhab ini memandang pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui partisipasi aktif penuh dan berdasarkan inisiatif lokal.
Menurut
mazhab ini juga, keterlibatan komunitas
sangat penting dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi masyarakat, sehingga keterlibatan masyarakat lokal menjadi suatu keharusan. Peningkatan partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka mendekatkan
17
masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak mereka. Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh pihak lain diluar komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan. Sedangkan
mazhab
institusionalisme
memandang
pendekatan
pengembangan masyarakat harus dilaksanakan melalui pengaturan oleh kelembagaan dan atau organisasi sosial dalam menangani masalah sosialkemasyarakatan. Menurut mazhab ini, pengembangan masyarakat didekati melalui
perubahan
kelembagaan
kelembagaan
sebagai
(institutional
infrastruktur
change)
pengembangan
dan
wilayah.
penataan Menurut
pendekatan ini kelembagaan menjadi kata kunci penting suatu perubahan sosioekonomi regional.
Model pendekatan ini melibatkan aktor pembangun (swasta,
masyarakat, dan pemerintah daerah sebagai mediator). Di tingkat masyarakat, keberhasilan pendekatan ini akan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya mengorganisir diri, meningkatkan proses demokratisasi, meningkatkan peran serta
(partisipatif),
pembangunan.
serta
mendudukkan
Keberhasilan
model
masyarakat
pendekatan
ini
sebagai akan
subyek mampu
"memberdayakan" aset potensi daerah guna mempercepat kemampuan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Oleh karena itu, dalam pengembangan masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat khususnya dalam rangka peningkatan taraf hidupnya, tetapi terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi segala permasalahan yang terjadi. Menurut Ife (2002) terdapat enam dimensi penting dari pengembangan masyarakat, yaitu: 1. Pengembangan Sosial, berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompokkelompok
swadaya
masyarakat,
masyarakat
adat,
komunitas
lokal,
organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based), serta aspek sosial
18
yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar 2. Pengembangan Ekonomi, mengoptimalkan penggalian,pemanfaatan dan pengelolaan berbagai potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi obyektif daerah.
Memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di daerah,
memperkecil kesenjangan, pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, serta menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat 3. Pengembangan Politik, memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik, mengembangkan dialog dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat.
pengembangan
masyarakat sebagai upaya merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan demokrasi di masyarakat (grassroot democracy). 4. Pengembangan Budaya, perhatiana yang lebih besar kepada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, secara keseluruhan akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu maupun suatu bangsa. 5. Pengembangan Lingkungan,
kelestarian lingkungan yang menekankan
bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama-sama. 6. Pengembangan
Pribadi/Keagamaan, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan sehingga perlu diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa setelah operasi perusahaan
berakhir,
juga
pengembangan
dari
segi
spiritualisme
masyarakat. Lebih lanjut, menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan mengenai kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi serta kemampuan untuk memilih.
19
Secara historis pengembangan masyarakat dapat dilihat dari periode pengembangan
masyarakat
Klasik
masyarakat kontemporen (1990-2000),
(1950-1980)
serta
pengembangan
terdapat perbedaan dari kedua periode
ini, diantaranya terletak pada prinsipnya, pendekatan utama, proses, peran aktor dan basis sosial untuk aktivitasnya. (Matriks.2.1)
Matriks 2.1 Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan Kontemporer. Pengembangan Faktor Pembeda
Masyarakat Klasik
Pengembangan Masyarakat Kontemporer
(1950-1980an)
(>1990)
Prinsip-prinsip Utama
Philantropis/charitatif
Pendekatan Utama
Assistancy approach
Self-help approach
Proses
Top-down
Bottom-up
Area Activities
Populisme/Popularisme
(derma)
of
Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan (Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan)
• Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan (Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan) • Pendampingan dan training (pertanian dan industri rumah tangga) • Lingkungan hidup
Peran aktor
aktor-
Peran aktor dari luar komunitas sangat dominan
Peran masyarakat lokal lebih dominan
Basis Sosial untuk setiap Aktivitas
Masyarakat yang mempunyai resiko terbesar terhadap dampak yang ditimbulkan
Masyarakat lingkar Perusahaan
(Disarikan dari berbagai sumber: ife,2002; Rustiadi et al ,2002 ;Christenson, James.A dan Robinson,JR, Jerry W. 1989)
20
Keterlibatan perusahaan dalam program pengembangan masyarakat di latar belakangi dengan beberapa kepentingan. Setidaknya bisa di identifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Sebagian besar perusahaan ektraksi berada di daerah pedalaman. Sementara fasilitas produksinya terbentang dalam area yang sangat luas. Secara fisikal, kontrol terhadap infrastruktur tersebut tidak mudah. Perusahaan minyak atau gas terletak di daerah terpencil dengan jaringan pipa yang panjang dan kompleks misalnya, sangat rentan dengan kemungkinankemungkinan dirusak atau disabotase oleh pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan perusahaan tersebut. Sementara itu banyak kasus menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut sarat konflik dengan masyarakat lokal. Baik konflik fisik maupun konflik laten merupakan faktor potensial untuk terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas produksi. Tujuan pengembangan masyarakat pada industri pertambangan dan migas menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut: 1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah daerah (Pemda) terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya
yang
lebih
baik
disekitar
wilayah
kegiatan
perusahaan. 2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat. 3. Membantu
pemerintah
daerah
(Pemda)
dalam
rangka
pengentasan
kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah. 4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komunitas di sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after mining). Di samping itu tujuan pengembangan masyarakat juga untuk meredusir dan meresolusi konflik yang terjadi antara peusahaan dengan masyarakat. Konflik tersebut tidak hanya terjadi karena masalah lingkungan hidup saja namun juga karena masalah kepemilikan tanah. Konflik mengenai masalah ini merupakan masalah umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ektaktif. Sejak tahun 1980an sudah terjadi pertikaian secara sporadis yang disebabkan oleh masalah tanah misalnya adalah persengketaan yang terjadi antara masyarakat adat suku Dayak Benuaq dan Tonyoi yang tinggal di daerah
21
Kalimantan Timur dengan PT. Kelian Equatorial Mining (KEM); suku Dayak Siang, Murung, dan Bekumpai di propinsi Kalimantan Tengah dengan PT. Indomuro Kencana (Aurora Gold); masyarakat tradisional Amungme di Papua Barat dengan PT. Freeport Indonesia dan masyarakat adat di daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dengan PT. Kideco (Aman 2002). Pada titik tertentu, kondisi seperti ini menimbulkan penolakan-penolakan baik yangterjadi pada masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap keberadaan
perusahaandan
terhadap
masyarakat.
Penolakan-penolakan
kegiatan-kegiatan
tersebut
terepresentasi
pengembangan dari
sinisme,
keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau memprotesnya. Sikap menolak seperti itu merupakan faktor penghambat terciptanya program yang keberlanjutan. Perusahaan dan masyarakat memiliki kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain. Secara
philantropis
perusahaan
seharusnya
meredistribusi
keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi mereka dalam keadaan miskin. Ini adalah kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Menurut Suparlan (2003) model pengembangan masyarakat sebetulnya adalah bottom up yang dalam pelaksanaan bisa dibantu oleh pemerintah atau badan-badan non pemerintah, yang dalam hal ini adalah perusahaan tambang. Dalam perspektif ini pengembangan masyarakat adalah sebuah proses yang mana anggota-anggota sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam kelompok atau kumpulan individu yang secara bersama merasakan kebutuhankebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi. Kelompok ini membuat rencana kerja sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang mereka harus penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi, dan berdasarkan atas itu mereka mengorganisasikan diri dalam bentuk kelompokkelompok atau perkumpulan-perkumpulan untuk melaksanakannya. Dalam pelaksanaannya mereka itu tergantung pada sumberdaya yang ada dalam komunitas, dan bila merasa kurang maka mereka akan meminta bantuan dari pemerintah atau badan-badan pemerintah. Lebih lanjut Suparlan (2003) mengatakan bahwa perbedaan antara model bottom up dan top down adalah, dalam model bottom up, ide perencanaan, dan
22
pelaksanaan kegiatan berasal dari anggota komunitas itu sendiri dan untuk kepentingan serta keuntungan mereka bersama. Sedangkan dalam model top down
ide
dan
perencanaan
berasal
dari
pembuat
kebijakan
(pemerintah/perusahaan), keuntungan hanya dapat diraup dan dinikmati oleh sejumlah orang dan sejumlah orang tersebut biasanya adalah yang tergolong sebagai tokoh atau yang berkuasa dan yang sudah kaya. Model top-down approach, menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus memalalui beberapa sektor unggulan (leading sector) yang kemudian akan menjalar kepada sektor- sektor lainnya dan perekonomian secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan kedepan (foreward Sedangkan
linkages) konsep
dan
keterkaitan
bottom-up
kebelakang
approach,
yang
(backwared
linkages).
beranggapan,
bahwa
pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam “wilayah” itu sendiri (development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut. Model top down dapat dikatakan sebagai model chariti atau pemberian hadiah atau sedekah dari yang kaya kepada yang lebih miskin. Perbedaan yang mendasar
dari
perencanaan dan
kedua pendekatan ini adalah terletak pada asal dari ide, pelaksanaan kegiatan. Permasalahan
dalam paradigma
pembangunan yang menerapkan sistem top-down approach
yang telah
berlangsung lama adalah tibulnya sindroma ketergantungan, dampak ini terlihat antara lain dari ciri-ciri masyarakat lebih senang diberi ‘ikannya’ dibandingkan dengan ‘kailnya’. Masyarakat lebih senang kalau yang datang ke daerahnya adalah investor bukan pendamping/fasilitator yang dianggap tidak memiliki uang untuk mereka. Dalam konteks mentalitas seperti ini masyarakat
cenderung
enggan berpartisipasi meski untuk kepentingan sendiri. Mereka kebanyakan memiliki anggapan bahwa dana-dana yang datang kepada mereka bersifat hibah sehingga tidak perlu di kembalikan dan dikembangkan. Permasalahanpermasalahan ini sedikit banyak menggambarkan semakin menurunnya tingkat keberdayaan masyarakat Budimanta (2003) mengatakan bahwa untuk komunitas yang berada dalam lingkar tambang, program pengembangan masyarakat dapat ditekankan pada tiga aspek dengan perhitungan yang sesuai dengan konteks tertentu
23
terhadap komunitas asli dan komunitas pendatang. Hal ini sangat menentukan keberhasilan program pengembangan masyarakat, ketiga aspek tersebut adalah : 1. Community services, merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat, seperti : pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan atau peningkatan sarana trasportasi/jalan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi lingkungan, pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga para medis, obat-obatan dan penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan pemukiman), keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun penceramah-penceramah agama) dan lain sebagainya. 2.
Community empowering, adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based).
3.
Community
relation,
yaitu
kegiatan-kegiatan
yang
menyangkut
pengembangan komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya. Pandangan
lain
melihat
pengembangan
masyarakat
dari
sifat
operasionalisasinya di lapangan, yaitu: 1. Advokasi
(pendampingan), advokasi merupakan salah satu praktek
operasional pengembangan masyarakat yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Melaului advokasi ini, masyarakat di bantu dan didampingi dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Advokasi
dapat dibagi dua: advokasi
kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy). Apabila advokasi dilakukan atas nama seorang klien secara individual, maka itu adalah advokasi kasus.
Advokasi kelas terjadi manakala klien yang
diadvokasi bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. 2. Technical Assistance (bantuan teknis/penyuluhan), dimana terbentuk pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai
24
berasal dari kedua belah pihak, bantuan teknis dapat membantu masyarakat dalam menggambarkan masalah, kebutuhan dan solusi potensial. Bantuan teknis dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas dari para penerima untuk meningkatkan kapasitas mereka. 3. Education (pendidikan dan penyadaran), kegiatan yang bersifat pendidikan dan pelatihan teknis bagi masyarakat dengan maksud agar masyarakat lebih memiliki kemampuan secara teknis dalam meningkatkan kesejahteraannya. 4. Coercion (pemaksaan), yaitu suatu partisipasi untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang dianggap dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat secara tidak sukarela tetapi melalui suatu paksaan (mobilisasi). 5. Supervision (pengawasan),
pengawasan terhadap terhadap kegiatan
masyarakat dengan maksud untuk untuk
memberikan supervisi yang
dibutuhkan oleh masyarakat. 2.2. Pengembangan Wilayah Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan wilayah harus didasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu perlu diketahui penggerak utama (prime mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutukan front-end invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun. Prime mover dapat berupa (1) tambang mineral; (2) tambang minyak; (3) tambang gas; (4) hutan industri; (5) industri perikanan dengan segala penunjangnya; (6) industri pertanian; (7) pusat industri jasa; (8) pusat pendidikan; dan (9) pusat penelitian dan pengembangan. Bila suatu wilayah telah memiliki prime mover, maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas yang berputar disekitar prime mover tersebut (Zen 2001 dalam Hamzah 2005). Paradigma pembangunan yang dianut selama ini berdasarkan keyakinan atas teori Simon Kusnetz, yang terkenal dengan temuan kurva-U terbalik, bahwa untuk negara-negara yang berpendapatan rendah, pertumbuhan ekonomi harus mengorbankan pemerataan atau dengan kata lain harus ada trade-off antara pertumbuhan dengan pemerataan. Kenyataannya kita memilih industrialisasi
25
sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi (agregat) yang tinggi dengan harapan terjadi penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi jika strategi investasi besar (industrilaisasi) dilakukan secara berlebihan, sedangkan proses penetesan ke bawah (penyebaran pembangunan) ternyata tidak terlaksana maka terjadi ketidak seimbangan dan ketimpangan. Dikombinasikan dengan pemikiran
para ekonom Keynesian yang
melegitimasi perlunya peran (campur tangan) pemerintah dalam mengatur perekonomian nasional, maka dalam pelaksanaannya pembangunan banyak mengalami kegagalan (menyimpang dari tujuan semula) karena terjadi “misleading policy” yang menyesatkan. Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang terlalu mengutamakan pertumbuhan, membawa implikasi yang cukup mendasar, antara lain terjadinya polarisasi pusat-pusat pertumbuhan (growth pole strategy) baik secara spasial maupun sektoral, pada lokasi atau sektor yang dianggap mempunyai keunggulan komparatif, bahkan juga terjadi polarisasi penguasaan aset ekonomi, aset ekonomi hanya dikuasai dan dinikmati oleh segolongan kecil penduduk yang mempunyai akses terhadap kekuasaan dan sumberdaya. Kebijakan pembangunan demikian pada ahirnya diikuti dengan sejumlah eksternalitas (terutama negatif) yang menimbulkan biaya sosial yang tinggi bahkan tuntutan disintegrasi bangsa, karena terjadi berbagai ketimpangan (Anwar dan Rustiadi 2000). Teori pertumbuhan wilayah tidak seimbang (Imbalanced growth) yang dikemukakn oleh Myrdal, beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja bersama dalam
pengembangan wilayah. Yakni backward effect (proses
pengurasan sumberdaya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread effect yaitu gaya yang ditimbulkan oleh wilayah maju akan mendorong pengembangan wilayah belakang (hinterland). Pada wilayah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989), mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan wilayah. Alasan yang
mendasari pembangunan tidak seimbang adalah:1). secara historis
pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang, 2). untuk mempertnggi efisiensi penggunan sumberdaya yang tersedia, 3). pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottle necks) atau gangguan-
26
gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya. Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu teertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti pula pembangunan berjalan secara tidak seimbang.
Perkembangan leading
sector akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak seimbang ini juga
dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan dinegara atau
wilayah berkembang karena wilayah-daera tersebut juga menghadapi masalah kekurangan sumberdaya. Pembangunan wilayah diarahkan utuk mencapai tujuan petumbuhan ekonomi (growth), pemertaan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) ekosistem. Anwar (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan sejauh mana sumber-sumber yang langka
yang terdiri dari
sumberdaya manusia (human capital), peralatan (manmade capital) dapat dialokasikan untuk hasil yang maksimum, sehingga dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktifnya. Semakin tinggi tingkat sumberdaya manusia yang digambarkan oleh tingkat kemampuan untuk penguasaan teknologi, maka semakin besar kemampuan untuk memanfaaatkan sumberdaya alam yang tersedia untuk mencapai pertumbuhan wilayah yang tinggi. Penggalian
potensi
sumberdaya
merupakan
prioritas
utama
meningkatkan pendapatan wilayah sehingga akan meningkatkan kemampuan wilayah dalam
dalam pelaksanaan pembangunan. Adanya peningkatan
pembangunan dapat mempercepat
perkembangan suatu wilayah.
Menurut
Susanto dan Ismail (2001) dalam Hamzah (2005) dalam era otonomi daerah sumberdaya
alam
merupakan
modal
utama dalam
pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah disamping modal-modal yang lain. Selanjutnya pemberian otonomi yang cukup juga perlu dilakukan karena seringkali masyarakat yang sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk
meyelesaikn suatu masalah di tingkat lokal tetapi tidak diberikan kewenangan. Dalam kondisi ini lebih efisien apabila otonomi yang cukup diberikan kepada masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan mereka.
yang terjadi di komunitas
Namun pemberian otonomi ini harus dilandaskan
pada capacity
27
building masyarakat yang cukup kuat agar pelaksanaannya bisa menjadi lebih efektif dan efisien. Karena itu investasi terhadap peningkatan human capital dan social capital menjadi prasyarat agar pembangunan di tingkat lokal bisa berhasil. Secara etimologis social capital mempunyai pengertian modal yang dimiliki oleh masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat. Modal ini merupakan perpaduan antara sesuatu yang bersifat material dan non material. Material mempunyai makna tentang kepemilikan berkaitan dengan aset-aset finansial yang dimiliki, sedangkan nonmaterial, modal berwujud adanya mutual trust (kepercayaan) dan gathering system (sistem kebersamaan) dalam suatu masyarakat. Di dalam masyarakat berkembang, modal sosial ini menjadi suatu alternatif
pembangunan
masyarakat.
Mengingat
sebenarnya
masyarakat
sangatlah komunal dan mempunyai banyak nilai-nilai yang sebenarnya sangat mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Modal sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar penting masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance. Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau mempercayai individu lain, sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggung jawabkan untuk mengembangkan bentukbentuk hubungan yang saling menguntungkan (Putnam,1995). Pendekatan dalam mengembangkan modal sosial perlu menerapkan sosialisasi untuk membangun jaringan sosial dan memperkuat kohesi sosial. Kohesi sosial akan terbangun manakala ada trust, dan trust merupakan bentuk modal sosial yang paling penting yang perlu dibangun sebagai landasan dalam membina kemitraan antara pemerintah dan masyarakat.
Namun, trust pun tidak akan memadai
tanpa diimbangi dengan akuntabilitas dan transparansi, yang memberikan peluang bagi stakeholders untuk mengawasi atau memverifikasi tindakan atau keputusan yang dibuat pemerintah. Trust bersifat dinamis karena ia dapat tumbuh dan sebaliknya dapat hilang manakala mereka yang mendapat mandat kepercayaan ternyata tidak dapat bertanggung jawab (tidak akuntabel) terhadap mandat yang telah diberikan. Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan
kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena
kondisi sosial ekonomi,budaya dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lain sangat berbeda. Dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, untuk
28
menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu konsep pengembangan masyarakat dapat digunakan sebagai pendekatan utama dalam pelaksanaan pembangan wilayah. Salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah meningkatkan kemitraan antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan.
Penyelenggaraan pembangunan wilayah tidak semata-mata
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, tetapi juga berada di pundak masyarakat secara keseluruhan. Salah satu wujud rasa tanggung jawab yang dimaksud
adalah
sikap
mendukung
dari
warga
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan pembangunan wilayah yang ditunjukan dengan partisipasi aktif warga masyarakatnya (Nasdian 2002 dalam Supardian 2005). Dalam pelaksanaannya dilapangan, terdapat masalah-masalah pokok yang paling mendesak untuk segera ditangani berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan melalui pendekatan pengembangan masyarakat, diantaranya supremasi hukum yang masih lemah, sistem pemerintahan yang belum efektif, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, potensi sosial ekonomi yang belum diberdayakan, kapasitas daerah dan pemberdayaan masyarakat yang belum optimal serta masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumber ekonomi. Dengan demikian, perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan wilayah.
dengan karakteristik
Hal ini berarti bahwa program-program pengambangan wilayah
(Regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan wilayah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan wilayah. Pengembangan wilayah (regional development), menurut mazhab ecosustainability orientasinya harus lebih bersifat jangka panjang (long term) sehingga
kelestarian
sumberdaya
alam
akan
lebih
terjaga.
Konsep
pengembangan wilayah tidak hanya berbicara mengenai perhitungan teknis ekonomis, tetapi juga menyangkut pengelolaan sumberdaya alam. Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Sedangakan menurut Zen (2001) dalam Hamzah (2005), pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu
29
wilayah untuk memanfaatakn sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi pengembangan wilayah tidak lain dari usaha memadukan secara harmonis sumberdaya
alam,
sumberdaya
Manusia
dan
teknologi
dengan
memperhitungkan daya tampung (carrying capacity) dan daya dukung lingkungan. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (gambar 2.1).
Sumberdaya Manusia
Lingkungan hidup
Lingkungan hidup
Pengembangan wilayah
Teknologi
Sumberdaya Alam
Lingkungan hidup
Gambar 2.1. Hubungan antara Pengembangan wilayah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi (Zen 2001 dalam Hamzah 2005).
Hal ini sejalan dengan apa yang di sampaiakan oleh Suhandoyo (2002) dalam Hamzah (2005), bahwa dalam pembangunan suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu diperhatikan yaitu: Sumberdaya alam,sumberdaya manusia dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan sumberdaya manusia merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, seumberdaya manusia berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan.
Dengan demikian, pembangunan suatu wilayah
30
sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana sumberdaya manusia dipandang sebagai sasaran sekaligus pelaku pembangunan. Adapun tujuan utama pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang berada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosialbudaya dan dalam lingkungan alam yang berkelanjutan. Dengan demikian arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan wilayah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional (Ary 2001 dalam Wahyudin 2005). Sedangakan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002 dalam Wahyudin 2005). Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pengembangan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan pokok) wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan
kaitannya dengan sektor-sektor lain.
Namun dalam orientasinya kedua konsep tersebut salng melengkapi, dimana pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan sektoral. Sebaliknya, pengembangan tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan dalam hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan antar sektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontra produktif dalam pengembangan wilayah (Riyadi, 2002). Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan terus ketingkat perkotaan, dalam kegiatannya pengembangan wilayah (regional development) harus disertai oleh
31
pengembangan masyarakat. Selain memanfaatkan sumberdaya alam melalui teknologi, manusianya juga harus dikembangkan. 2.3.
Konsep Wilayah dan Pembangunan Menurut Rustiadi et al.(2005), di Indonesia berbagai konsep nomenklatur
kewilayahan seperti Wilayah, kawasan, wilayah, regional, area, ruang dan istilahistilah
sejenis,
banyak
dipergunakan
dan
saling
dapat
dipertukarkan
pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Ketidak konsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Lebih jauh Rustiadi et al.(2005) menjelaskan, secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan. Kawasan dan wilayah. Semuanya
secara
umum
dapat
diistilahkan
dengan
wilayah
(region).
Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu definisi konsep kawasan adalah adanya
karakteristik
hubungan dari fungsi-fungsi dan komoponen-komponen dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.
Dengan semikian, setiap kawasan atau sub
kawasan memiliki
fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut. Pengertian wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batasbatas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya masalah-masalah didalamnya. (Isard 1975 dalam Rustiadi et al. 2005). Menurut (Glasson 1990 dalam Rustiadi et al. 2005), wilayah sebagai
kesatuan area
geografis yang menggambarkan hubungan ekonomi, administrasi, formulasi dan implementasi dari pembuatan perencanaan dan kebijakan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
Sementara itu pengertian wilayah walaupun tidak disebutkan
32
secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif. Menurut Budiharsono (2001), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Selanjutnya dijelaskan bahwa wilayah dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogeneous region), adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria mempunyai sifat/ciri-ciri yang relatif sama misal dari aspek ekonomi struktur produksi dan konsumsi homogen. (2) wilayah nodal (nodal region), adalah wilayah yang secara
fungsional mempunyai
ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah belakangnya (hinterland), (3) wilayah perencanaan (planning region / programming region), adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi dan; (4) wilayah administratif (administrative region), adalah wilayah yang batasbatasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan RT/RW. Terdapat beberapa perspektif dalam memandang wilayah, pertama, perspektif spatial-fungsionalisme yang memandang wilayah secara fungsional berdasarkan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah. Dalam hal ini, fungsi bisa terkait dengan fungsi sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Berbeda dengan wilayah homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. perspektif Kulturalisme
Kedua,
melihat wilayah sebagai teritori yang diatasnya
terbangun komunitas yang membangun konfigurasi budaya. Dalam konteks perspektif ini tumbuhnya aktivits sosio-ekonomi atau kehidupan secara umum disebabkan oleh adanya interaksi antara manusia dan sumberdaya alam lokal sepanjang waktu. Ketiga, Perspektif Pengaturan-Institutionalisme memandang wilayah sebagai kesatuan kelembagaan pengaturan, legislasi, eksekusi, atau manajemen pembangunan wilayah. Berbagai konsep nomenklatur kewilayahan banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda (Matriks 2.2).
33
Matriks 2.2. Definisi Nomenklatur Kewilayahan KONSEP
DEFINISI
WILAYAH
• Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional. • Menurut Budiharsono (2001), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. • Menurut Isard (1975) dalam Rustiadi et al (2005), Pengertian wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batasbatas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya masalah-masalah didalamnya. • Menurut Glasson (1990) dalam Rustiadi et al (2005),, wilayah sebagai kesatuan area geografis yang menggambarkan hubungan ekonomi, administrasi, formulasi dan implementasi dari pembuatan perencanaan dan kebijakan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut
KAWASAN
Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya (Undang-undang Nomor 26 tahun 2007)
TERITORIAL
Tempat yang dapat berwujud sebagai suatu Negara, Negara bagian , provinsi atau distrik dan perdesaan (Murty, 2000 dalam Rustiadi , et al. 2005)
REGIONAL/DAERAH
Umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
Secara geofisik: Sebagai tempat kehidupan (Biosphere): Tempat Kehidupan Alamiah geosphere (permukaan kulit bumi hingga kedalaman ± 3 m dalam tanah dan ± 200 m dpl) atmosphere (hingga kira-kira 30 m diatas permukaan tanah). Tempat kehidupan yang dibatasi teknologi manusia batas ruang dimana teknologi manusia mampu menjangkau / mengakses / mengeksplorasi batas terbawah geosphere dan batas atmosphere / luar angkasa (Rustiadi, et al, 2005) sumber: Rustiadi, et al,( 2005), Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 RUANG/SPASIAL
Pembangunan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengembangkan atau mengadakan perubahan-perubahan kearah keadaan yang lebih baik. Selanjutnya di jelaskan bahwa teori pembangunan pada awalnya adalah teori pembangunan ekonomi yang merupakan suatu
34
rangkaian usaha dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa. Sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi dunia, teori pembangunan ekonomi tersebut berkembang kearah pendekatan politik, sosial budaya dan pendekatan menyeluruh pada setiap aspek kehidupan (holistik). Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multi dimensional yang mencakup berbagai
macam
perubahan
mendasar
atas
struktur
sosial,sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi,
pengentasan kemiskinan.
penanganan
ketimpangan
pendapatan
serta
Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material dan spiritual (Todaro, 2000).
Selanjutnya dijelaskannya pula bahwa
pembangunan wilayah bertujuan untuk mencapai pertumbuhan perdapatan perkapita yang cepat, penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, memperkecil disparitas kemakmuran antar wilayah/regional serta mendorong transformasi perekonomian yang seimbang antara sektor pertanaian dan industri melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap memperhatikan aspek kelestarianya (sustainable). Pemerataan pembangunan dalam suatau wilayah menjadi sangat penting untuk
menghindari
hal-hal
yang
dapat
menghambat
pembangunan.
Pemerataaan pembangunan (equity) bukan berarti identik dengan persamaan pembangunan (equality), tetapi lebih kearah adanya keseimbangan yang proporsional antara kemajuan suatu wilayah dengan wilayah lainnya, sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. dalam konteks regional
menyangkut tingkat
Potensi suatu wilayah
kandungan sumberdaya alam,
kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia sampai kepada letak geografis suatu wilayah. Sedang kondisi suatu wilayah menyangkut keadaan infrastuktur sampai kepada jumlah penduduk yang merupakan asset sekaligus tujuan pembangunan agar tercapai kehidupan yang sejahtera (Hadi,2001). Penerapan otonomi daerah sudah saatnya untuk mengembangkan konsep pembangunan yang mampu mengurangi disparitas antara wilayah secara lebih menyeluruh melalui pembangunan inter-regional yang berimbang hal ini diperlukan karena perkembangan suatu wilayah sangat terkait dengan wilayah
35
lainnya.
Pembangunan inter-regoional yang berimbang adalah suatu bentuk
sinergi pembangunan antar wilayah dimana interaksi antara wilayah tersebut adalah dalam hubungan saling memperkuat dan nilai tambah yang terbentuk dapat terbagi secara adil (Rustiadi et al., 2005) Menurut
Ditjen
pembangunan desa
Bangdes
(1999
dalam
Supardian
2005),
tujuan
pada umumnnya adalah: (1) meningkatkan taraf hidup
masyarakat dengan segala aspek, baik bersifat fisik maupun mental spiritual, (2) meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia, (3) menumbuhkan swadaya gotong royong, kemandirian dan keswasembadaan masyarakat dalam proses pembangunan di desa sehingga tidak terlalu tergantung kepada pemerintah. Pembangunan ekonomi perdesaan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi wilayah, tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan sesuatu, dalam bentuk peningkatan taraf hidup sebahagian masyarakat desa, terealisasinya berbagai prasarana dan sarana yang memperluas pelayanan dasar kepada masyarakat desa.
Meningkatnya taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat
ditandai
meningkatnya
dengan
konsumsi
sebagai
akibat
peningkatan
pendapatan dan meningkatnya pendapatan ini sebagi akibat dari meningkatnya produksi. Proses kesejahteraan tersebut hanya dapat terwujud apabila memenuhi asumsi-asumsi pembangunan yaitu kesempatan kerja sudah dimanfaatkan secara penuh (full employment), semua orang mempunyai kemampuan yang sama (equal productivity) dan setiap pelaku ekonomi bertindak rasional (rational-efficient) 2.4.
Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam Selama lebih dari 30 tahun, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
dilakukan dengan pola yang sentralistik dan cenderung eksploitatif sehingga menimbulkan berbagai ketidak adilan ditengah masyarakat. Semangat otonomii daerah membawa visi baru untuk mengubah pola-pola tersebut dan berusaha menata pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, mengingat semakin menipisnya sumberdaya alam di Indonesia. Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakan roda pembangunan disuatu daerah, baik dalam konteks negara, provinsi ataupun kabupaten. Oleh karenanya aspek pemanfaatan sumberdaya alam merupakan
36
suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat kontribusi dalam pembentukan modal pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan melalui pembangunan mempunyai andil yang cuku besar dalam menggerakan roda perekonomian. dalam menjamin kelangsungan pembangunan, maka pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan fakor ekologis dalam rangka mengurangi akibat yang akan merugikan.
Pengelolaan
sumberdaya alam dilakukan untuk mencapai derajat keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang lebih baik (better and sustainable socio-economic standard of living), serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable natural resources and environmental). Jumlah sumberdaya alam yang semakin menyusut menjadikannya sebagai barang langka dan menjadi sumber pendapatan daerah yang penting, oleh karena itu harus dikelola oleh pihak yang berkompeten. Penduduk lokal dianggap tidak akan berkompeten dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayahnya.
Apalagi sumberdaya alam tersebut dianggap sangat penting
sehingga perlu pengaturan dari tingkat pusat, maka wilayah tempat dimana sumberdaya alam itu berada seringkali terpinggirkan dan tidak mendapat manfaat dari sumberdaya alam yang melimpah diwilayahnya, hal ini akan mengakibatkan
terjadinya
konflik
antara
masyarakat
dengan
pengelola
sumberdaya alam tersebut. Untuk mengurangi tingkat konflik yang terjadi maka pengelolaan sumberdaya alam dalam pelaksanaannya harus bermitra dengan masyarakat lokal. Kemitaraan merupakan upaya bersama untuk memperkuat kamampuan membangun kemandirian. Pola kemitraan ini muncul sebagai sebuah respon atas tuntutan kenutuhan atas manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang menuntut lebih demokratis dan lebih mengakui perluasan akses bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. pengelolaan bersama sumberdaya alam merupakan suatu pendekatan yang menyatukan sistem-sistem pengelolaan pada tingkat lokal dan negara. Sundawati dan Trison (2006) menyatakan, berbagai bentuk pengelolaan bersama dapat merupakan representasi dari berbagai tingkat partisipasi, masingmasing menyiratkan tingkatan kekuatan yang dimiliki pemerintah, masyarakat, perusahaan atau pihak terkait lainnya.
Dalam merumuskan sebuah konsep
pengelolaan bersama, ada banyak alasan yang dapat diberikan mengapa harus
37
menyertakan masyarakat karena memungkinkan: 1) merumuskan persolan bersama lebih efektif, 2) mendapatkan informasi dan pemahaman diluar faktor ilmiah, 3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang dapat diterima dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, 4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan
penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan, 5)
merumuskan persoalan dengan lebih efektif. Dalam pengelolaan sumberdaya alam maka kebijakan yang harus dibangun untuk mengolah dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya dengan memperhatikan hak dan kewajiban pada tingkatan individual, komuniti dan negara atas dasar prinsip keberlanjutan (sustainability). Mengingat keragaman yang besar dalam hal strategi pengelolaan sumberdaya alam serta kondisi sosial-budaya komunitas-komunitas penggunanya, maka penetapan batas-batas wilayah pengelolaan seyogianya memperhatikan kondisi
ekologi
setempat dengan melibatkan partisiapasi komuniti pengguna. Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar perlu memperhatikan kelangsungan
hidup
masyarakat
dan
kebudayaan
penduduk
setempat,
pembagian hasil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup yang layak bagi kemanusiaan serta dapat meningkatkan pembangunan dan pengembangan wilayah dimana sumberdaya alam itu berada. Walaupun
Sumberdaya
alam
merupakan
modal
penting
dalam
menggerakan roda pembangunan disuatu daerah, tetapi dalam pelaksanaannya dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu kebijakan, ketersediaan informasi
sumberdaya alam yang akurat, tenaga kerja yang berkualitas serta modal dan manajemen. (Susanto dan Ismail 2001 dalam Hamzah 2005). Industri pertambangan merupakan industri yang bersifat ekstraktif, padat modal dan padat teknologi yang didominasi oleh penanaman modal asing (PMA) dan tergolong kedalam perusahaan-perusahaan Trans National Corporations (TNCs). Sebagian besar investasi industri pertambangan di Indonesia adalah penanaman modal asing (PMA). Pembangunan ekonomi dengan berbasis industri yang bersifat ekstraktif dan didominasi oleh investasi asing pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya perubahan aliran baru yang menyangkut arus pendapatan dan manfaat (benefit) kepada mayarakat lokal, regional dan bahkan sampai kepada tingkat nasional. Namun kebanyakan proyek industri ekstraktif belum memberikan manfaat yang
38
sangat besar kepada masyarakat lokal terutama kepada mereka yang tinggal disekitar proyek tersebut. Sebagai akibat dari dominannya investasi asing dan kecilnya nilai royalti yang diterima oleh negara pada sektor ini, menyebabkan keuntungan secara ekonomi akan terangkat ke negara-negara pemilik saham. dalam hal ini berarti telah terjadi
leakages syndrome, yaitu kebocoran ekonomi lokal berupa
penghisapan rente ekonomi sumberdaya alam ke luar wilayah.
Berdasarkan
hasil penelitian Price waterhouse Coopers (PwC) tentang pembelanjaan yang dilakukan ole 12 perusahaan pertambangan besar di Indonesia sejak 1994-1998, ternyata hampir 95,3 persen digunakan untuk pembelian lewat impor dan hanya sekitar 4,7 persen saja yang tinggal di dalam negeri (Jatam 2004 dalam Hamzah 2005). Berdasarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari sumberdaya alam pada tahun 2003 diperkirakan mencapai Rp. 49,5 Triliun atau sekitar 73,9 persen dari total PNBP.
Sumbangan tersebut berasal dari
pendapatan sektor-sektor seperti minyak dan gas bumi (94,1%), pertambangan umum (2,8%), kehutanan (2,4%) dan lain-lain (0,6%). Berdasarkan angka-angka tersebut sebenarnya kontribusi sektor pertambangan lebih rendah dari sektor kehutanan karena kontribusi sektor kehutanan tersebut hanyalah dari nilai guna langsung yang hanya 5-7% dari seluruh nilai hutan (Kartodihardjo,2004). Sebagai akibat dari dominannya investasi asing juga dapat menyebabkan terjadinya dependency syndrome yaitu berupa ketergantungan ekonomi lokal pada investasi asing yang menyebabkan kemiskinan makin parah akibat industrialisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Todaro (1999) bahwa perusahaanperusahaan
TNCs
senantiasa
mencari
peluang
ekonomi
yang
paling
menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberikan perhatian kepada
masalah
kemiskinan,
ketimpangan
pendapatan
dan
lonjakan
pengangguran. Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Hal ini diperlukan mengingat area pengelolaan sumberdaya panas bumi berada pada wilayah perdesaan yang aksesibilitas masyarakatnya rendah karena berada jauh
dari pusat Pemerintahan.
Letak yang jauh ini sering menjadi
penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga
39
tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang. Teori yang dikemukakan oleh Christaller (1930) dalam Rustiadi et.al (2005) merupakan landasan teori yang dapat menjelaskan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan
lokasi industri dan
pertumbuhan
perkotaan yang berkaitan dengan pelayanan perkotaan (Urban Services). Menurut
teori
christaller,
spesialisasinya permintaan
pertumbuhan
dari
kota
bergantung
pada
dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangakan tingkat
akan
pelayanan
perkotaan
oleh
wilayah
sekitarnya
akan
mementukan kecepatan pertumbuhan kota atau tempat pemusatan tersebut. Dengan kata lain dikemukakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah perkotaan adalah
fungsi
dari
jumlah
penduduk
dan
tingkat
pendapatan
wilayah
belakangnya (hinterland), dan laju atau tingkat pertumbuhannya tergantung pada laju dari peningkatan permintaan wilayah belakang atas barang dan pelayanan perkotaaan. Von Thunen (1826) dalam Rustiadi et al. (2005) telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan. Menurut Von Thunen, jenis pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pada aksesibilitas relatif. Weber (1929) dalam Rustiadi et.al (2005), yang pertama kali mengembangkan teori lokasi, berpendapat bahwa lokasi dari satu perusahaan tergantung pada rendahnya biaya transportasi dan upah buruh. Tempat dengan biaya transportasi dan upah buruh yang minimum adalah identik dengan tempat atau lokasi dengan keuntungan maksimum. Akibatnya, sejak perusahaan diasumsikan
memakasimumkan
keuntungan,
kriteria
pemilihan
lokasi
didasarkan pada meminimumkan biaya transportasi dan upah. Tetapi teori lokasi Weber hanya dapat diterapkan untuk perusahaan yang tidak berbasis sumberdaya alam. Perusahaan pertambangan atau perusahaan berbasis sumberdaya alam tidak dapat menerapkan teori weber tersebut, hal ini dikarenakan sifat dari sumberdaya alam yang diekploitasi tidak dapat dipindahkan ketempat lain dan hanya dapat di ekstrak di tempat dimana sumberdaya
itu
berada.
Hal
ini
menyebabkan
perusahaan-perusahaan
pertambangan harus melakukan prosese produksinya di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan yang dianggap sebagai pusat pertumbuhan, sehingga wilayah tersebut relatif lebih tertinggal dalam hal kualitas sumberdaya
40
manusia, tingkat kesejahteraan serta dalam ketersediaan infra struktur. Akibatnya harapan masyarakat lokal dan pemerintah daerah menjadi lebih besar kepada perusahaan pertambangan untuk mengatasi keterbelakangan dalam pembangunan. 2.5.
Industri Panas Bumi (geothermal) Menurut Undang-Undang nomor 27 tahun 2003 tentang Panas bumi,
panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas,uap air dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Industri panas bumi adalah industri yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi panas bumi melalui pengeboran sumur-sumur penghasil uap panas yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan energi listrik dan berbagai keperluan lainnya. Panas bumi berasal dari magma dalam perut bumi yang memanasi batuan yang menyelimutinya. Ketika resapan air dari permukaan bumi bertemu dengan batuan ini akan mengalami pemanasan membentuk air panas yang mengalir kembali ke permukaan melalui bidang retakan dan patahan di lapisan batuan kulit bumi.
Apabila air panas dapat
muncul kepermukaan bumi dan bebas dari tekanan hidrostatis maka akan berubah menjadi uap panas dan muncul sebagai geyser, kubangan lumpur panas atau mata air panas. Air panas yang tidak dapat mengalir ke permukaan bumi karena terperangkap di dalam cap rock di atas batuan panas membentuk reservoir yang mengurung air panas dengan temperatur dan tekanan yang sangat tinggi, maka untuk memperoleh uap panas tersebut dilakukan pengeboran (drilling). Potensi energi panas bumi di Indonesia yang mencapai 27 GWe sangat erat kaitannya dengan posisi Indonesia dalam kerangka tektonik dunia. Ditinjau dari munculnya panas bumi di permukaan per satuan luas, Indonesia menempati urutan keempat dunia, bahkan dari segi temperatur yang tinggi, merupakan kedua terbesar. Sebagian besar energi panas bumi yang telah dimanfaatkan di seluruh dunia merupakan energi yang diekstrak dari sitem hidrothermal, karena pemanfaatan dari hot-igneous system dan conduction-dominated system memerlukan teknologi ekstraksi yang tinggi. Sistem hidrothermal erat kaitannya dengan sistem vulkanisme dan pembentukan gunung api pada zona batas
41
lempeng yang aktif di mana terdapat aliran panas (heat flow) yang tinggi. Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng aktif yang memungkinkan panas bumi dari kedalaman ditransfer ke permukaan melalui sistem rekahan. Posisi strategis ini menempatkan Indonesia sebagai negara paling kaya dengan energi panas bumi sistem hidrothermal yang tersebar di sepanjang busur vulkanik. Sehingga sebagian besar sumber panas bumi di Indonesia tergolong mempunyai entalpi tinggi. Panas bumi merupakan sumber daya energi baru terbarukan yang ramah lingkungan (clean energy) dibandingkan dengan sumber energi fosil. Dalam proses eksplorasi dan eksploitasinya tidak membutuhkan lahan permukaan yang terlalu besar. Energi panas bumi bersifat tidak dapat diekspor, maka sangat cocok untuk untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Sampai tahun 2004, sebanyak 252 area panas bumi telah di identifikasi melalui inventarisasi dan eksplorasi. Sebagian besar dari jumlah area tersebut terletak di lingkungan vulkanik, sisanya berada di lingkungan batuan sedimen dan metamorf. Dari jumlah lokasi tersebut mempunyai total potensi sumber daya dan cadangan panas bumi sebesar sekitar 27.357 MWe. Dari total potensi tersebut hanya 3% (807 MWe) yang telah dimanfaatkan sebagai energi listrik dan menyumbangkan sekitar 2% dalam pemakaian energi listrik nasional. (Wahyuningsih 2005).
Gambar 2.2. Peta Distribusi Lokasi dan Wilayah Pertambangan Panas Bumi (Wahyuningsih,2005).
Sebanyak 252 lokasi panas bumi di Indonesia tersebar mengikuti jalur pembentukan gunung api yang membentang dari Sumatra, Jawa, Nusa
42
Tenggara, Sulawesi sampai Maluku (gambar 2.2). Dengan total potensi sekitar 27 GWe, Indonesia merupakan negara dengan potensi energi panas bumi terbesar di dunia. Sebagai energi terbarukan dan ramah lingkungan, potensi energi panas bumi yang besar ini perlu ditingkatkan kontribusinya untuk mencukupi
kebutuhan
energi
domestik
yang
akan
dapat
mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi fosil yang semakin menipis. Potensi sebesar ini diharapkan dapat memenuhi target pengembangan panas bumi untuk membangkitkan energi listrik sebesar 6000 MW di tahun 2020. Energi panas bumi merupakan sumber energi alternatif yang dapat diandalkan ditengah kelangkaan energi yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam karena Energi panas bumi memiliki karakteristik antara lain : 1. Dapat terbarukan, artinya energi panas bumi akan tetap ada selama bumi ada sehingga jumlahnya hampir tak terbatas; 2. Energi yang bersih dan ramah lingkungan karena dengan teknik reinjeksi air limbah ke dalam perut bumi akan membawa manfaat ganda yaitu selain untuk menghindari adanya pencemaran air, juga diperlukan untuk mengisi kembali reservoir air dalam perut bumi. 3. Pada umumnya ladang-ladang panas bumi memunculkan fenomena alam yang sangat unik dan indah sehingga potensial untuk dikembangakan sebagai wilayah tujuan wisata. Terbatasnya jumlah pasokan energi yang tersedia, mengakibatkan gencarnya kegiatan eksplorasi sumber-sumber energi baru untuk memenuhi kebutuhan terhadap energi tersebut, yang dalam prosesnya sering menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hasil penelitian terhadap penggunaan energi listrtik menunjukan bahwa penggunaan energi mengalami perubahan sebesar 7,3 persen pertahun. Penggunaan energi fosil masih mendominasi yaitu sebesar 95 persen. Sedangkan energi terbarukan (renewable) yaitu panas bumi masih berkisar 5 persen. Pengelolaan energi selama 25 tahun terakhir menunjukan tidak adanya peningkatan yang besar pada pangsa energi terbarukan, ini berarti eksplorasi dan eksploitasi energi terbarukan di Indonesia masih berpotensi besar untuk dikembangkan dimasa yang akan datang. Industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah desa Kabandungan kecamatan Kabandungan kabupaten Sukabumi dikelola oleh CHV , CHV merupakan pemegang kontrak proyek panas bumi di Gunung Salak. Kontrak ini ditandatangani pada tahun 1982 antara Pertamina, PLN dan Unocal Geothermal Indonesia,Ltd. (UGI). Dari tahun 1983 –1986 dilakukan proses studi
43
rona awal lingkungan dan pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke Pertamina. Tahun 1989 penyusunan AMDAL dan mengajukan proposal pengembangan sebesar 110 MW ke Pertamina. Pada tahun 1994, UGI memulai operasi secara komersial sebesar 110 MW, kemudian pada tahun yang sama diajukan proposal pengembangan ke Pertamina sebesar 220 MW, sehingga pada tahun 1997 UGI melakukan operasi secara komersial sebesar 330 MW. Pada tahun 1998–2002 dilakukanlah renegosiasi kontrak dan akhirnya pada bulan Juli 2002 kontrak diamandemen dan disetujui oleh para pihak. Kemudian pada tahun 2002 UGI diakuisisi oleh CHV (Azof.,2002 ). 2.6.
Dampak Industri Pertambangan Setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan akan selalu membawa
dampak terhadap masyarakat baik dampak positif maupun negatif. Begitu pula di bidang pertambangan, dampak-dampak timbul akibat industrialisasi tersebut berupa dampak sosial,ekonomi maupun lingkungan. Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan pertambangan didaerah, otomatis akan membentuk komunitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah. Kontribusi perusahaan pertambangan nasional
melalui
penerimaan
negara
terhadap pembangunan secara
sangat
besar,
namun
terhadap
pengembangan masyarakat sekitar dan pembangunan wilayah belum maksimal, program pengembangan masyarakat dan program pembangunan lainnya belum merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama pasca pertambangan, tetapi masi sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan. Menurut Muhammad (2000) dampak positif dari kegiatan pertambangan adalah: 1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional. 2. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) 3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat sekitar 4. Meningkatkan usaha mikro masyarakat sekitar
44
5. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat sekitar 6. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekitar, Sedangka dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan adalah: 1. Terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup 2. Penurunan Kualitas hidup masyarakat lokal 3. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan 4. Terjadinya pelanggaran HAM Saleng (2004) dalam Hamzah (2005) menyatakan bahwa pengusahaan pertambangan di wilayah yang relatif terpencil atau wilayah yang baru dibuka, seringkali masyarakat pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta memiliki semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli setempat. Perbedaan kesejahteraan dan semangat bersaing ini pada akhirnya akan menjadi penyebab konflik sosial antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Ketidakadilan akses dan ketidakmerataan pembagian keuntungan ekonomi wilayah yang diterima oleh lokalitas berpotensi memicu terjadinya konflik sosial. Keberadaan industri pertambangan disamping memberikan dampak terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pada umumnya lokasi industri pertambangan terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak memiliki keahlian (skill) tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan teknologi dan arus informasi
sehingga
menyebebkan
masyarakat
disekitar
perusahaan
pertambangan kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan pekerja-pekerja yang berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan (skill) dan pengalaman dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar daerah akan menimbulkan kecemburuan sosial. Untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan tersebut maka program pengembangan masyarakat menjadi suatu pilihan untuk meminimalisir dampak negatif dari kegiatan pertambangan dengan strategi pengembangan masyarakat yang berorientasikan pada upaya reduksi intensitas dampak, strategi netralisasi dampak negatif, strategi remediasi atau kuratif (pengobatan).
45
2.7.
Hubungan Industri dan Pengembangan Masyarakat Menurut Parker (1992) dalam Supardian (2005) dalam arti luas industri
yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat didalamnya sangat mempengaruhi masyarakat dimana industri itu berada. Pengaruh tersebut dapat berupa nilai-nilai, pengaruh fisik dan usaha industrial interest group untuk mempengaruhi masyarakat. Begitu juga dengan industri panas bumi, kehadiran industri panas bumi dapat menimbulkan perubahan dalam masyarakat, seperti terjadinya diversifikasi nafkah, perubahan lingkungan dan peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat sekitar. Sebagai nilai baru, perubahan yang muncul akan beradaptasi dengan karakteristik lokal yang sejak lama mendasari pola interaksi kehidupan masyarakat perdesaan yang masih kental.
Agar tercipta perubahan yang
konstruktif dan tidak menimbulkan resistensi
masyarakat,
maka diperlukan
partisipasi dan inisiatif lokal untuk menciptakan kesesuaian dengan karakteristik lokal hal ini dapat dilakukan melalui progrsm pengembangan masyarakat. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya terhadap sumberdaya alam di era otonomi daerah yang selama ini dikelola oleh perusahaan, membuat masyarakat menjadi sangat kritis dan reaktif ada hal-hal kecil pasti dapat menjadi pemicu kereaktifan mereka, karena mereka mengharapkan sesuatu dari Perusahaan. Sehingga dalam rangka mengamankan operasi perusahaan dan membina hubungan dengan masyarakat lokal maka perusahaan mulai menyadari betapa pentingnya memberdayakan masyarakat sekitar.
Banyak perusahaan yang sudah mulai menyadari bahwa tanggung
jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR)
merupakan
insentif bukan beban. Dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi, pasal 29 huruf f dinyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) panas bumi
memiliki kewajiban
melaksanakan
program
pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat. UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU yang mengatur lebih rinci tentang pelaksanaan CSR yang kemudian dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 tentang petunjuk pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL), yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR.
46
Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka industri pertambangan harus melaksanakan program pengembangan masyarakat. Selama ini CSR mendapatkan tiga pemaknaan atau labelling yang berbeda-beda: (1) sebagai corporate image building, yaitu sekedar memperbaiki citra perusahaan agar seolah-oleh pro-rakyat miskin (pro-poor), (2) sebagai aksesories perusahaan agar mendapatkan legitimasi sosial lebih kuat di mata masyarakat luas, (3) benar-benar ingin mewujudkan komitmen sosial dan pemberdayaan masyarakat lokal, menempatkan CSR sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan bahkan kebutuhan dan menjadikannnya sebagai modal sosial. Diperlukan
perubahan
pendekatan
pengelolaan
pengembangan
masyarakat yang lebih tanggap terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan pendekatan tersebut didasari oleh tuntutan internal perusahaan (internally driven) yang pada akhirnya menyadari bahwa tanpa perubahan/inovasi sistem, maka perusahaan akan terjebak dalam jejaring tuntutan jangka pendek yang sangat tidak strategis. Perusahaan memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sosial sekitar yang dalam pelaksanaannya tidak hanya dimaksudkan untuk membangun Image positif (image building) perusahaan tetapi juga untuk memberikan manfaat terbesar baik bagi pengembangan masyarakat lokal maupun peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya. Mantan Perdana Mentri Thailand, Anand Panyarachun dalam Asian Forum on Corporate Sosial Responsibility
tanggal 18 September 2003 di
Bangkok, mengemukakan bahwa CSR dipandang sebagai suatu keharusan untuk
membangun
citra
yang
baik
dan
terpercaya
bagi
perusahaan.
Melaksanakan praktik-praktik yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial akan meningkatkan nilai pemegang saham dan berdampak pada peningkatan prestasi keuangan serta menjamin sukses berkelanjutan bagi perusahaan.
47
Dalam pelaksanaannya CSR menekankan pada tiga aspek utama, yaitu: pertama, aspek sosial yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar, kedua, aspek ekonomi yang menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat; ketiga, aspek kelestarian lingkungan yang menekankan bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama-sama. CSR seharusnya dijadikan nilai inti (core value) dalam menjalankan usaha sebagai bentuk investasi jangka panjang, tidak hanya semata-mata diartikan sebagai beban biaya perusahaan serta merupakan modal sosial yang diperlukan oleh perusahaan untuk memperoleh citra positif dan kepercayaan masyarakat sehingga perusahaan secara politis acceptable karena memperoleh legitimasi dan izin operasional dari masyarakat. Kelancaran usaha tersebut akan berimplikasi kepada peningkatan prestasi usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Kehadiran industri pada suatu wilayah memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitarnya. Dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya telah sangat mempengaruhi masyarakat. Pegaruh tersebut bisa berupa nilai-nilai, pengaruh fisik
terhadap
masyarakat
atau
usaha
industrial
interest
group
untuk
mempengaruhi masyarakat. Pengaruh industri terhadap masyarakat sekitar menurut Smelser dalam Schneider (1984), seperti yang dikutip oleh Wahyudin (2005) terdapat dalam empat proses yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu: 1. Dalam bidang teknologi, masyarakat mengalami perubahan dari penggunaan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional kearah penggunaan teknologi dan pengetahuan ilmiah; 2. Dalam bidang pertanian, masyarakat sedang beralih dari pertanian untuk penggunaan (subsisten) kearah produksi hasil pertanian untuk pasaran; 3. Dalam bidang industri, masyarakat sedang mengalami suatu peralihan dari penggunaan
tenaga
manusia
dan
binatang
ke
industrialisasi
yang
sebenarnya. Orang-orang bekerja untuk upah pada mesin-mesin yang yang
48
menghasilkan
barang
dagangan
yang
dijual
di
kalangan
yang
menghasilkannya; 4. Dalam
susunan
ekologi
perkembangan
masyarakat
bergerak
dari
sawah/ladang dan desa ke pemusatan-pemusatan di kota (terjadi urbanisasi).
2.8.
Karakteristik Lokal Karakteristik lokal adalah karakteristik suatu masyarakat desa berupa
nilai-nilai
budaya
dan
norma
yang
terbentuk
sejalan
dengan
sejarah
perkembangan desa itu sendiri dalam kurun waktu yang cukup panjang. Pembentukan karakteristik tersebut dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang mendasari terbentuknya suatu persekutuan masyarakat sehingga membentuk suatu desa karena hubungan antar manusia dalam persekutuan memerlukan tatanan nilai dan norma untuk menjaga kelestarian dan kepentingan hidup bersama mereka. Dalam perkembangannya, nilai-nilai dan norma yang paling dihargai dalam persekutuan karena dibutuhkan dan mampu menjadi pengikat dalam masyarakat (As’ari 1993) Lingkungan alami sebagai lingkungan hidup manusia yang sangat bervariasi kondisi dan letak geografisnya juga memberi warna kepada watak penghuninya sehingga memberikan suatu ciri khas yang lain. Mengingat karakteristik lokal dipengaruhi oleh kondisi ekologi desa, maka karakteristik lokal suatu desa berbeda dengan desa lainnya, karakteristik masyarakat desa pegunungan akan berbeda dengan masyarakat desa pantai atau masyarakat perkotaan. Dalam lingkungan masyarakat Sunda, sejak lama dikenal nilai-nilai budaya yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakatnya yang antara lain diwujudkan dalam falsafah silih asah, silih asih dan silih asuh. Secara harfiah falsafah tersebut memiliki arti saling berbagi pengetahuan saling mengasihi, saling menjaga
diantara warga masyarakat. Nilai-nilai budaya masyarakat
Sunda yang melekat juga dapat terlihat dalam berbagai ungkapan peribahasa atau babasan seperti sabilulungan dasar gotong royong (kerjasama yang harmonis dalam mengerjakan berbagai kegiatan pembangunan/kemasyarakatan secara bergotong royong), sareundek saigel sabobot sapihanean (musyawarah dalam memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan) dan nulung kanu butuh nalang kanu susah (membantu yang memerlukan menolong yang kesusahan).
49
Potensi-potensi lokal yang terdapat dalam karakteristik lokal masyarakat, apabila dilakukan upaya untuk menggali, membangkitkan dan mengaktualisasikan potensi tersebut dapat menjadi gagasan-gagasan strategis yang diperlukan dalam pengembangan masyarakat. Karakteristik lokal merupakan aspek penting dalam pengembangan masyarakat, karena dengan mengakomodasi karakteristik
lokal sebagai
komponen dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan. Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan
masalah mau atau tidaknya masyarakat
berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Banyak program pemberdayaan yang berhasil dengan mengakomodasi karakteristik lokal ini, misalnya program pemberdayaan yang diinisiasi oleh pemerintah yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Program PPK
menerapkan pola-pola gotong royong dan swadaya masyarakat pada tingkat pelaksaan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh pada tahap perencanaannya. PPK bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melalui
bebagai
tahapan
kegiatan.
Menurut
data
dari
MIS-Konsultan
Management Nasional PPK (2006), PPK hingga saat ini telah berhasil meningkatkan akses ke pasar, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan sumber air bersih di lebih dari 34.100 desa termiskin (lebih dari separuh jumlah desa) di Indonesia. Prasarana desa yang di bangun melalui metode PPK terbukti sangat hemat dalam pembiayaan, rata-rata 56% lebih murah dari pekerjaan sejenis yang dibangun oleh pemerintah maupun kontraktor.
hal ini terjadi karena adanya
partisipasi masyarakat yang besar karena mereka merasa karakterisitik lokal yang mereka miliki sudah diakomodir oleh program ini. 2.9.
Partisipasi Masyarakat Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang
sangat penting.
Keberhasilan
pengembangan masyarakat akan sangat di
pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi
50
masyarakat, pembangunan
maka
semakin
yang
tinggi
berorientasi
keberhasilan produksi
program.
menuju
Pergeseran
pembangunan
yang
berorientasi publik, memerlukan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. Jnanaorta Bhattacharyya (1972) mendefinisikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi tersebut terdiri atas dua macam, yaitu partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu masyarakat perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron atau antara masyarakat dengan pemerintah dinamakan partisipasi vertikal (seperti dikutip oleh Taliziduhu Ndaraha, 1987) Menurut derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, maka partisipasi dapat ditemukan dalam banyak bentuk. Menurut Bass et al.,1995 dalam Hobley, 1996 seperti yang dikutip oleh Tadjudin (2000), partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat . Lebih lanjut Tadjudin(2000) menjelaskan, menurut Bass et al.(1995) dalam Hobley, (1996) ,terdapat beberapa tipologi partisipasi masyarakat 1. Partisipasi
Manipulatif,
partisipasi
masyarakat
ditunjukan
dengan
penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki kewenangan yang jelas. 2. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini merupakan tindakan sepihak dari administrator ata manager proyek tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi atau pendapat yang dihargai oleh administrator atau manajer proyek adalah pendapat para Profesional. 3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis.
Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan. Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat. 4. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan
51
lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan. 5. Partisipasi Fungsional,
partisipasi masyarakat dipandang oleh ihak luar
sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan eksternal. 6. Partisipasi Interaktif, pengembangan
masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis,
rencana
kegiatan,
dan
dalam
pembentukan
dan
pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek. 7. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem.
Mereka membangun hubungan konsultatif
dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang
kendali menyangkut
pendayagunaan sumberdaya. Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut diatas, maka bentuk partispasi yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri migas adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal. Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondidi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat masyarakat untuk menjadi agent of change-nya. Sementara kebanyakan perusahaan pertambangan beroperasi
di
daerah
pedalamam
yang
kondisi
sumberdaya
manusia
masyaraktnya masih rendah. Sehingga tipologo-tipolgi tersebut dapat diterapkan secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal. Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Soetrisno (1995), adalah : Kerjasama antar rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Karena partisipasi merupakan suatu kerjasama maka dalam asumsi ini tidak diasumsikan bahwa sub sistem disubrordinasikan oleh supra sistem, dan sub sistem adalah sesuatu yang pasif dari pembangunan. Sub sistem diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program pembangunan.
52
Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan dan keluaran. Sebagai masukan, partisipasi masyarakat dapat berfungsi dalam enam fase proses pembangunan, yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan
terhadap
informasi,
fase
perencanaan
pembangunan,
fase
pelaksanaan pembangunan, fase penerimaan kembali hasil pembangunan dan fase
penilaian
pembangunan.
Partisipasi
sebagai
masukan
berfungsi
menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sedangkan sebagai keluaran, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun serta berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya atau program pemerintah. Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan menjadi (1) derajat paling rendah yaitu dimana masyarakat memberikan konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. informasi,
Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan dan
melakukan
analisis.(2)
derajat
menengah
yaitu
dimana
masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, (3) derajat paling tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikutmenentukan
arah
serta
mengelola
sendiri
pengembangan,
masyarakat
mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya. Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling tinggi), partisipasi seperti ini akan berkembang pesat jika pemerintah dan LSM menyediakan
kerangka
kerja
pendukungnya.
Untuk
menerapkan
Self-
management dalam suatu program dibutuhkan proses-proses yang melibatkan metodologi yang multidisiplin yang membutuhkan proses pembelajaran
yang
sistematik dan terstruktur. sebagai kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya
atas
keputusan-keputusan
lokal
dan
kebijakan
tentang
pendayagunaan sumberdaya yang tersedia. Tetapi jika prasyarat yang diperlukan untuk menerapkan self-management belum tersedia di masyarakat
53
lokal, maka dapat dipraktekkan konsultatif action, dimana melibatkan pihak luar dalam merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi dan melakukan analisis. Pada dasarnya perbaikan kondisi masyarakat dan upaya menemukan kebutuhan masyarakat dapat menggerakan partisipasi. Oleh karena itu dalam perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat agar dapat menggerakan partisipasi, maka upaya yang dilakukan harus : 1) disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt needs); 2) dijadikan stimulasi terhahap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response) yang dikehendaki;
3) dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi
membangkitkan tingkahlaku (behavior) yang dikehendaki secara berkelanjutan. Menurut Marzali (2003) bahwa program pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya ”felt needs” dari komunitas tersebut.
Ini
bukanlah hal yang sederhana karena ”felt needs” dari komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan ”felt needs” dari anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan komunitas. Selanjutnya ”felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Kegagalan dalam menentukan ”felt needs” dari komunitas akan berakibat terhadap kegagalan program pengembangan masyarakat.
Oleh karenanya
penentuan felt needs dalam program pengembangan masyarakt menjadi sangat penting, karena menentukan keberhasilan dari program. Dalam upaya menentukan felt needs tersebut , lebih lanjut Marzali (2003) menjelaskan, terdapat empat perspektif dalam melihat ”felt needs”: (1) Penilaian agen pembangunan tentang Community needs dari sudut pandang tujuan sang pengembang itu sendiri, (2) Penilaian agen pembangunan tentang community needs yang diperoleh dari pemahaman tentang tujuan komunitas itu, (3) Penilaian komunitas yang diperoleh dari pengertian mereka tentang tujuan agen pembangunan, (4) Konsepsi komunitas tentang needs. Dengan dapat di identifikasikannya kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat melalui program pengembangan masyarakat, akan membuat masyarakat tergerak untuk ikut berpartisipasi secara sukarela dalam suatu kegiatan karena dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri.
Terdapat
beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
masyarakat tergerak untuk berpartisipasi dalam program pengembangan
54
masyarakat seperti dikemukakan oleh Goldsmith dan Blustain (dalam Taliziduhu Ndaraha, 1987), adalah : 1. Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. 2. Partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Sumardjo (2001) dalam Hamzah (2005), kata kunci yang akan mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu program pembangunan adalah: pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi kehidupannya.
Manfaat dapat diartikan
terpenuhinya kebutuhan ataupun
terbebasnya dari ancaman tertentu; kedua, komunikasi yang efektif
diantara
para pelaku yang diharapkan berperan serta dalam program; dan ketiga, adanya kesukarelaan antara para pelaku dalam berperan serta, semakin besar objek partisipasi menimbulkan motivasi intrinsik, maka semakin besar derajat keikutsertaan seseorang dalam program. Terdapat kaitan yang erat antara partisipasi dan insentif (Soetrisno,1995). Tanpa suatu insentif maka partisipasi berubah maknanya dari suatu keinginan manusia untuk ikut secara sukarela dalam suatu kegiatan yang dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri, menjadi suatu tindakan paksaan (mobilisasi). Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. diatas, dapat
Dari uraian
terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip
pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.
2.10.
Kelembagaan Lokal Karsyono (2000) mendefinisikan kelembagaan sebagai “suatu perangkat
aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat”. Sedangkan Menurut Rustiadi et al. (2005) Kelembagaan (institution), merupakan kumpulan aturan main (rules of game) dan organisasi yang berperan penting dalam
55
mengatur
penggunaan/alokasi
sumberdaya
secara
efisien,
merata
dan
berkelanjutan (sustainable). Lebih lanjut Rustiadi et al menjelaskan Kelembagaan berbeda dengan sekedar organisasi. Selama ini sering terjadi kesalahpahaman bahwa kelembagaan diartikan identik atau dicampur-adukkan dengan sistem organisasi. Dalam konsep ekonomi kelembagaan (institutional economic), maka organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang didalamnya diatur oleh sistem kelembagaan atau aturan main (behavior rule). Nataatmadja (1993) dalam Hamzah (2005) mejelaskan kelembagaan dan organisasi tidak bisa dipisahkan, karena organisasi merupakan “perangkat keras” dan kelembagaan merupakan “perangkat lunaknya”. Demikian pula dengan pendapat
Uphoff
(1974),
Ia
menyatakan
bahwa
memang
antara
kelembagaan/institusi dan organisasi sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Karena ada institusi yang bukan organisasi, organisasi yang dapat sekaligus dipandang sebagai institusi, dan organisasi yang bukan isntitusi. Definisi yang dikemukakannya adalah: a). An organization is a structure of roles formal or informal that are recognized and accepted. b). An institution is a complex of norms and behaviours that persist over time by serving some socially valued purposes. Faktor kelembagaan memegang peranan yang menentukan tingkat keberhasilan pengembangan masyarakat. Banyak terjadi kasus program pengembangan masyarakat kurang berhasil karena tidak adanya lembaga pengelola yang baik. Pembentukan kelembagaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan memanfaatkan lembaga yang sudah ada atau membentuk lembaga yang baru. Hal ini sangat ditentukan oleh dinamika masyarakat itu sendiri. Pembentukan kelembagaan dilakukan dengan cara memanfaatkan lembaga yang sudah ada, namun apabila lembaga yang sudah ada tidak dapat melakukan fungsinya, maka perlu pembentukan lembaga yang baru. Jaringan
kelembagaan
lokal
perlu
dibangun
untuk
melancarkan
mekanisme kerja dan memfasilitasi munculnya kemitraan dan arus informasi dinatara
lembaga-lembaga
yang
terkait.
Dengan
demikian,
upaya
pengembangan masyarakat dapat tumbuh denga berbasis pada kapasitas lokal dan dengan mengaitkannya pada peluang pasar, baik pada tingkat lokal itu sendiri, regional, nasional maupun ekspor (Sutrisno, Fauzi dan Hariyadi, 2001). Pengembangan jaringan kelembagaan ini juga akan berkontribusi positif pada peningkatan kapasitas lokal dalam rangka sinkronisasi pengelolaan
56
program dan investasi yang ada (baik berupa pogram pemerintah,bantuanbantuan
LSM,
program
pengembangan
masyarakat
perusahaan,
dan
sebagainya). 2.11.
Teori Konflik Fisher (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Fraser and Hipel (1984) dalam Tadjudin (2005) yang mendefinisikan konflik sebagai situasi dimana dua atau lebih kelompok berselisih atas isu-isu atau sumberdaya.
Selanjutnya dinyatakan bahwa konflik adalah
pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Karena itu konflik adalah sesuatu yang tidak terelakan yang dapat bersifat positif maupun negatif. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antar hubungan-hubungan antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, negara dan semua bentuk
hubungan
manusia-sosial,
ekonomi
dan
kekuasaan.
Misalnya
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumberdaya, serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, kejahatan (Fisher 2001). Jika dilihat dari perspektif ekonomi politik maka penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik sehingga upaya penyelesaian konflik harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik, sedangkan jika dilihat dari pendekatan institusi (Roy 1992), bahwa konflik berkembang antara institusi birokrasi dan institusi sosial berakar dari kurangnya komunikasi diantara mereka. Penyebab utama terjadinya konflik adalah: 1) data, 2) kepentingan, 3) nilai, 4) hubungan, dan 5) struktur.
Konflik akibat data disebabkan
oleh
keterbatasan informasi, informasi yang keliru, interpretasi yang berbeda serta perbedaan pandangan terhadap data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya kepentingan atau kebutuhan yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara pihak-pihak yang bertikai. Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria yang berbeda untuk hasil (outcome) dari suatu konflik yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, kepercayaan agama, pandangan hidup dan gaya hidup.
57
Disamping itu konflik dapat juga terjadi karena adanya hubunganhubungan yang tidak harmonis. Konflik ini sebenarnya di anggap tidak perlu karena biasanya hanya menyangkut emosi yang kuat, komunikasi yang mandeg, stereotype dan perilaku negatif yang terus berulang. Konflik struktural berkatian dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran, kendala waktu dan ruang serta ketimpangan dalam kekuatan/kekuasaan atau kontrol terhadap sumberdaya. Dilihat dari wujudnya, konflik dapat di bedakan kedalam tiga wujud konflik, yaitu konflik yang bersifat tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang atau belum terangkat ke puncak-puncak kutub konflik. Seringkali para pihak yang terlibat tidak menyadari adanya konflik. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. terbuka
Konflik
merupakan konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam
perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Menurut Johson dan Duinker (1993) dalam Wahyudin (225) konflik adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan yang dapat bersifat positif maupun negatif. Namun demikian konflik tersebut dapat juga ditangani secara arif dan bijaksana denga berbagai strategi tertentu yang saling memuaskan semua pihak sehingga dapat meningkatkan kinerja kelompok atau pihak yag berkonflik. Fenomena penyelesaian konflik seperti ini lazim diistilahkan dengan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah sautu penanganan proses pembentukan (kemunculan konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masayarakat atau organisasi. Dalam prakteknya sering terjadi distorsi terminilogi, misalnya seorang pemimpin
sengaja menimbulkan
situasi konflik,
dimana
sikap anggota
masyarakat terbagi dua, yaitu yang sejalan dengan pemimpin dan yang oposisi. Yang sejalan diberi insentif dan yang oposisi disingkirkan. Tindakan pemimpin seperti itu tidak dapat dikatakan sedang menjalankan manajemen konflik, melainkan hanya sedang menjalakan manajemen kroni. Situasi konflik dapat saja diciptakan, namun konflik tersebut harus ditangi secara bijaksana agar dapat
58
meningaktkan kinerja kelompok, dan fenomena ini yang dikategorikan sebagai manajemen konflik (Anwar, 1999). Konflik yang terkelola dengan baik dapat mengarahkan keputusan yang lebih baik, meningkatkan kohesi sosial, merangsang inovasi dan meningkatkan moral. Selanjutnya Mitchell et al (2000) mengungkapkan bahwa aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengindentifikasi
sebuah proses
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan dengan efektif, mempertajam gagasan autu informasi yang tidak jelas dan menjelaskan kesalah pahaman.
Tetapi konflik yang tidak terselesaikan juga akan menyebabkan
kesalah pahaman, ketidakpercayaan, serta bias.
Konflik akan menjadi buruk
apabila menyebabkan semakin besarnya hambatan-hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai piahak. Menurut Fisher (2001) ada lima pendekatan dalam menangani konflik, masing-masing tahap akan melibatkan tahap selanjutnya. Kelima tahap tersebut adalah: 1) pencegahan konflik, yakni upaya yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang lebih keras, 2) penyelesaian konflik, yaitu upaya yang mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian, 3) pengelolaan konflik, yaitu upaya membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang
positif bagi pihak-pihak yang terlibat
konflik, 4) resolusi konflik, yaitu upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompokkelompok yang bermusuhan, 5) transformasi konflik, yaitu upaya mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari konflik menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.