II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Ikan Senggaringan (Mystus nigriceps) Ikan Senggaringan dilihat dari morfologisnya termasuk dalam kelompok ikan bersungut dari ordo Siluriformes, sub ordo Siluroidei, famili Bagridae, genus Mystus, spesies Mystus nigriceps (Saanin 1986, Kottelat et al. 1993). Jenis ikan yang termasuk genus Mystus terdapat di perairan umum Indonesia ditaksir tidak kurang dari 11 jenis. Jenis tersebut selain M. nemurus adalah M. baramensisi, M. bimaculatus, M. gulio, M. microcanthus, M. nigriceps, M. olyroides, M. planiceps, M. sabanus, M. wolffi dan M. wyckii (Kartamihardja, 2002).
Gambar 2. Morfologi ikan senggaringan (tampak atas dan samping) Ikan senggaringan tergolong ikan yang bertulang sejati (teleostei). Ikan teleostei mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ memanjang dan kompak, terdapat didalam rongga perut, berisi oogonium, oosit dengan sel-sel folikel yang mengitarinya, jaringan penunjang atau stroma, jaringan pembuluh darah dan saraf (Nagahama, 1983).
6
Di India, Mijkherjee et al. (2002) melaporkan beberapa genus Mystus terancam keberadaannya sebagai akibat eksploitasi yang berlebih, polusi pestisida di perairan, penyakit, pemasukan ikan eksotik yang tidak terkontrol, industrialisasi yang mengganggu habitat dan pemanfaatan air secara berlebihan. Penyebaran ikan senggaringan meliputi daerah Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di berbagai daerah jenis Mystus nigriceps dikenal dengan nama ikan keting atau kating dan di Jawa Tengah dikenal dengan nama ikan Senggaringan (Saanin, 1986). Sulistyo dan Setijanto (2002), Rukayat et al. (2003) dan Putro (2003) menyebutkan ikan ini dijumpai di sungai Klawing dan Serayu. Sungai Klawing merupakan salah satu dari banyak sungai yang cukup besar/penting di Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), sungai ini banyak dimanfaatkan selain oleh nelayan juga oleh penambang pasir (bahan galian C) dan pabrik tapioka. Ikan Senggaringan merupakan ikan yang bersifat omnivora tetapi cenderung karnivora yaitu menyukai makanan berupa crustacea dan insekta air (Sulistyo dan Setijanto, 2002). Heltonika (2009) menambahkan dari hasil analisis isi lambung baik pada TKG I-V jenis makanan yang dominan ditemui adalah serpihan tumbuhan dan serpihan hewan, sedangkan plankton relatif kecil. Sedangkan karakter istika habitat yang disukai meliputi daerah perairan yang dangkal maupun dalam, terlindung, berarus lemah (0,08-0,16 m/s). Substrat dasar biasanya berupa campuran pasir, kerikil dan batuan, terkadang ditumbuhi lumut (Sulistyo dan Setijanto, 2002). Selanjutnya ditambahkan Sulistyo et al. (2008) bahwa ikan ini terbagi kedalam 2 zona tempat hidup yaitu daerah dangkal (<0,5 meter) untuk ikan muda dengan ukuran yang ditemui lebih pendek dan daerah dalam (>1 meter) untuk ikan dewasa dengan ukuran lebih panjang. Rukayah et al. (2003) melaporkan bahwa strategi
reproduktif ikan
Senggaringan ditinjau dari fekunditas mutlak berkisar antara 10005-39621 butir, sedangkan proporsi ukuran diameter telur pada musim kemarau masih didominasi oleh ukuran 50-100 µm. Hubungan nilai fekunditas dan diameter telur menunjukkan bahwa ikan senggaringan termasuk ikan yang total spawning pada saat pemijahannya (Heltonika, 2009). Selanjutnya Sulistyo et al. (2007) melaporkan bahwa dilihat dari nilai GSInya, ikan ini cenderung mengalami peningkatan menjelang musim penghujan (Agustus-Januari). Hal ini karena pada
7
bulan-bulan tersebut ditemui nilai maksimum IGS, dan minimum pada bulan April-Mei. Sebagian besar dari ikan-ikan teleost bertelurnya bersifat musiman hingga beberapa keturunan secara terus-menerus. Selama musim bertelur, ada variasi yang lebar waktunya (tahun) ketika perkawinan tiba. Ikan-ikan zona air tawar memijah/bertelur di musim semi dan awal musim panas, sedangkan yang lainnya seperti salmonids melakukannya di dalam musim gugur. Ikan-ikan air tawar di sungai Murray-Darling dari New South Wales, Australia, dirangsang untuk memijah ketika perairan banjir (Lake, 1967). Kemudian ikan-ikan air tawar dari danau-danau dataran banjir Amazon memijah selama musim hujan (Schwassmann, 1978). Didalam anak-anak benua India, mayoritas ikan air tawar memijah selama angin monsun mencapai puncaknya (ketika curah hujan tinggi) (Jhingran, 1975). Waktu pembiakan dari tiap jenis adalah sangat tergantung pada waktu dan lingkungan yang tepat sehingga nener yang dihasilkan dalam siklus reproduksi maksimal survival. 2.2. Peranan Fotothermal Dalam Reproduksi Fotothermal berkaitan dengan periode pencahayaan dan temperatur. Cahaya dengan segala aspek yang dikandungnya (intensitas dan panjang gelombang) akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap tingkahlaku/pergerakan ikan. Tubuh mengetahui perubahan lingkungan karena dilengkapi alat penerima rangsang/indra, baik fisik maupun kimia. Seperti halnya mata bertugas merekam perubahan cahaya, linea lateral merekam perubahan arus dan gelombang. Perubahan lingkungan yang direkam alat indra tersebut dilaporkan ke otak untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan cara perubahan
tingkah
laku
atau
metabolisme
untuk
mengatasi
gangguan
keseimbangan (Fujaya, 2004). Fotoperiode, temperatur dan curah musim hujan adalah beberapa faktor lingkungan yang sangat penting dalam mengatur siklus reproduksi ikan. Di alam, faktor lingkungan menentukan sebagain besar pemilihan waktu reproduksi dan strategi reproduksi jenis ikan-ikan tertentu. Karena itu mengetahui pengaruh dari faktor lingkungan terhadap respon biologi reproduksi suatu jenis ikan adalah dasar yang penting untuk mengadaptasikannya ke media budidaya (Bardakci, 2000).
8
Pengaturan fotoperiod, temperatur yang sesuai dan didukung ketersediaan makanan yang cukup, ini dapat mempengaruhi pola reproduksi pada kebanyakan ikan teleosts. Teoritisnya, mekanisme pengaruh fotothermal terhadap kinerja reproduksi ikan sebagai berikut; 1) fotoperiode (periode pencahayaan) akan diterima oleh fotoreseptor yang terdapat pada retina ikan, kemudian disampaikan melalui saraf menuju hipotalamus dan kelenjar pineal kompleks (pineal gland), khususnya bagian suprachiasmatic nucleus (SCN). Selanjutnya, kelenjar pineal ini akan mensekresikan hormon indoleamin dan melatonin ke dalam cairan cerebrospinal dan plasma darah. Melatonin merupakan antigonadotropin, sehingga jika kadar melatonin dalam darah tinggi, maka perkembangan gonad akan berhenti (Mustonen, 2003). Lebih lanjut, menurut Gern et al. (1978) dalam Davie (2005) melaporkan bahwa hormon melatonin akan menurun pada suatu fase pencahayaan yang tinggi, dan sebaliknya akan meningkat pada fase gelap. 2) temperatur perairan dapat langsung mempengaruhi kondisi gonad, khususnya pada reaksi enzimatisnya. Wilbraham dan Matta (1992) dalam Warsito (2007) menyatakan bahwa laju reaksi enzim meningkat seiring dengan kenaikan suhu dan akhirnya enzim kehilangan semua aktifitas jika protein menjadi rusak akibat panas setelah temperatur optimum. Banyak enzim berfungsi optimal dalam batas-batas temperatur antara 25-37oC. Temperatur optimum yang mampu untuk mendukung aktivitas reproduksi ikan yaitu berkisar antara 25-30oC. Kisaran temperatur ini umumnya bisa lebih dijamin pada negara tropis (Sutisna dan Sutarmanto, 1995). Peristiwa terakhir dari siklus reproduksi adalah pelepasan telur dan sperma ke media inilah yang kita dikenal istilah pemijahan. Faktor lingkungan telah menunjukkan peranan cukup penting terhadap siklus reproduksi seperti: fotoperiode,
temperatur air, kualitas air (seperti DO, pH, hardness, salinitas,
alkalinitas), genangan air dan arus air; pasang dan siklus bulan, siklus cuaca (seperti tekanan atmosfer, curah hujan), substrat pemijahan (seperti tumbuhan air, ranting-ranting, kerikil, liang-liang dalam tanah), nutrisi, dan kehadiran ikan lain. Faktor-faktor diatas tidak berfungsi sendiri-sendiri tetapi saling berhubungan. Pengaturan mekanisme internal terhadap proses reproduksi ikan adalah dimulai dari otak – hypothalamus – pituitary – gonad (Rottmann et al. 1991).
9
Reproduksi pada ikan berada dibawah kontrol poros hypothalamus, hypofisis dan gonad. Ketiga jenis kelenjar hormon tersebut mengeluarkan hormon-hormon yang berperan sebagai media perantara bagi sinyal lingkungan ke organ reproduksi (hormon-hormon ini bekerja secara bertingkat; hypofisis– gonad–hati). Effendie (2002) menyebutkan kematangan gonad pada ikan umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Effendie (2002) melaporkan bahwa pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh dan pada ikan jantan 5-10%. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Kuo et al. (1979) juga menyatakan bahwa kematangan gonad pada ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rataan telur dan pola distribusi ukuran talur. Kebanyakan kematangan gonad ikan senggaringan dimulai apabila telah mencapai bobot 50 gram dengan panjang lebih kurang 200 mm (Sulistyo dan Setijanto, 2002). Heltonika (2009) melaporkan ikan senggaringan mempunyai letak dan bentuk mulut dengan tipe subterminal dan dilengkapi dengan gigi yang tajam. Ukuran lebar bukaan mulut berkisar 1 – 1,9 cm dengan kisaran panjang total tubuh 14,6 – 22,5 cm. Serta mendapatkan ukuran pertama kali matang gonad adalah 148 mm. Ikan ini termasuk ikan yang memiliki hubungan panjang dan berat yang normal. Secara garis besar perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap I berlangsung mulai ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap II dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi masih tetap berjalan normal (Lagler et al. 1979). Lebih lanjut dikatakan bahwa kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor luar (seperti temperatur
10
dan adanya lawan jenis) dan faktor dalam (seperti perbedaan spesies, umur dan sifat-sifat fisiologi lainnya). Arroyo et al. (2004) melaporkan kontrol reproduksi ikan Chirostoma humboldtianum dengan siklus fotothermal buatan terhadap reproduksi ikan jantan dan betina, dimana pada percobaan pertama; didapatkan bahwa induk ikan jantan terangsang photothermal 19°C dan 12T/12G, sedangkan induk betina tidak bereaksi terhadap rangsangan pertama ini. Pada percobaan kedua, ikan betina terangsang pada 19°C dan 12T/12G yang didapatkan pemijahan ganda (betina dan jantan sama-sama memijah). Selanjutnya Mc Cleare dan Kleckner (1982) menyebutkan beberapa manfaat dari manipulasi fotoperiod adalah meningkatkan performan, profit dan kelangsungan aktivitas budidaya. 2.3. Hormonal Kebanyakan ikan teleosts seperti ikan atlantik cod (Gadus morhua) memijah pada suatu periode yang spesifik (Bye, 1984; Brander, 1994), sedangkan waktu pematangan gonad ikan teleost dikontrol oleh ritme endogenous (Bromage et al. 2001). Salah satu isyarat lingungan yang perlu dipertibangkan adalah fotoperiode, karena dengan pedekatan ini akan didapatkan sinkronisasi pemijahan ikan dari tiap-tiap populasi mendekati waktu yang sama (seragam) setiap tahunnya. Otak mengintegrasikan dan menyampaikan masukan dari internal dan eksternal ke pituitary mengatur sintesa dan mensekresikan gonadotropin (GtHs). GtHs mengatur dua aktivitas utama dari gonad; hormon dan sel nutfah produksi (germcell production). Pada ikan teleosts betina, termasuk ikan cod, testosteron (T) dan 17β-estradiol (E2) adalah hormon kelamin (sex steroid) yang dominan di dalam plasma selama oogenesis, sedangkan T dan 11-ketotestosterone (11-KT) adalah yang perperan selama spermatogenesis pada ikan jantan (Nagahama, 1994, 2000; Dahle et al. 2003; Norberg et al. 2004 dalam Skjæraasen, 2004). Hormon yang berperan dalam seksual maturasi adalah 17β-Estradiol (E2) untuk betina, testosteron dan 11-KT untuk jantan. Hormon adalah zat yang disintesis pada kelenjar tanpa saluran dan disekresikan kedalam aliran darah untuk dikirim kebagian organ target (Djojosoebagio, 1990). 17β-Estradiol (E2) adalah salah satu hormon steroid turunan kolesterol, yang berperan penting dalam proses
11
vitelogenesis (Cerda et al. 1996 dalam Utia, 2006). E2 merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovari terutama pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. E2 mengalami peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan meningkatnya ukuran diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi E2 dalam darah akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan gonad. Karena itu kadar steroid plasma dapat digunakan sebagai indikator dari pematangan gonad (Zairin et al. 1992). Singh dan Singh (1990) menyebutkan bahwa pada saat ovarium mencapai tingkat kematangan akhir maka sintesis E2 akan menurun karena hal ini merupakan umpan balik negatif estrogen terhadap hormon yang menstimulasi sintesis E2. Selanjutnya Mylonas dan Zohar (2001) dalam Utia (2006) menyatakan bahwa secara alami konsentrasi hormon E2 tinggi pada fase vitelogenesis dan mencapai puncaknya pada fase mGV (germinal vesicle migration) dan kemudian mengalami penurunan pada fase pGV (germinal vesicle peripheral) (Gambar 4).
Gambar 4. Proses vitelogenesis pada ikan (Aida et al. 1991) Pada ikan betina, ovari berespons terhadap peningkatan konsentrasi gonadotropin dengan meningkatkan secara tidak langsung produksi estrogen, yakni E2. E2 ?beredar menuju hati, memasuki jaringan dengan cara difusi dan secara spesifik merangsang sintesis vitelogenin (Ng dan Idler, 1983). Aktivitas vitelogenesis ini menyebabkan nilai indeks hepatosomatik (IHS) dan indeks gonadosomatik (IGS) ikan meningkat (Cerda et al. 1996).
12
Pada ikan atlantik cod betina yang diatur dengan pencahayaan alami dan temperatur air yang diatur juga mempengaruhi durasi vitellogenesis ikan betina (VTG) seperti periode pertumbuhan oosit yang cepat (Kjesbu, 1994 dalam Skjaeraasen et al. 2004). Kemudian ditambahkan bahwa perkiraan waktu dimulainya spawning dari awal vitellogenesis (diameter telur 300 µm) pada bulan Agustus (pencahayaan singkat), spawning pada awal Oktober. Dengan demikian terlihat totoperiode dapat mempengaruhi jangka waktu VTG (Norberg et al. 2004 dalam Skjaeraasen et al. 2004). Peningkatan kadar E2 (pencahayaan singkat) pada ikan betina menandai adanya penambahan (percepatan) maturiti, jangka waktu VTG mungkin lebih singkat, dan untuk kadar plasma testosteron betina lebih rendah dari E2, dan juga lebih rendah dari jantan. Ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu studi tentang periode pemijahan ikan kakap, atlantik halibut dan ikan cod (Prat et al. 1990; Methven et al. 1992; Norberg et al. 2004). Peningkatan yang signifikan terhadap bobot ovarium maupun dalam pembentukan oosit kuning telur dapat diekspos fotoperiode dari LD 12:12 atau 14:10 selama 36 hari (temperatur air 15,5-17°C), dan tempo vitellogenesis meningkat pada temperatur yang lebih tinggi.
13