II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TAHU Tahu merupakan produk kedelai non-fermentasi yang disukai dan digemari di Indonesia seperti halnya tempe, kecap, dan tauco. Tahu adalah salah satu produk olahan kedelai yang berasal dari daratan Cina. Pembuatan tahu dan susu kedelai ditemukan oleh Liu An pada zaman pemerintahan Dinasti Han, kira-kira 164 tahun sebelum Masehi (Shurtleff dan Aoyagi 2001) Kata tahu berasal dari bahasa Cina yaitu tao-hu, teu-hu/tokwa. Kata tao/teu berarti kacang untuk membuat tahu, orang menggunakan kacang kedelai kuning (putih) yang disebut wong-teu (wong = kuning). Hu/kwa itu artinya rusak, lumat, hancur, menjadi bubur. Kedua istilah itu digabungkan menjadi tahu. Pengertian tahu adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur (Kastyanto 1999). Tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycne species) dengan prinsip pengendapan protein, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan (SNI 1998). Sedangkan menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), tahu adalah gumpalan protein dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang tidak menggumpal (whey) dengan cara pengepresan. Tahu terdiri dari berbagai jenis, yaitu tahu putih, tahu kuning, tahu sutra, tahu cina, tahu keras, dan tahu kori (Sarwono dan Saragih 2003). Perbedaan dari berbagai jenis tahu tersebut ialah pada proses pengolahannya dan jenis penggumpal yang digunakan. Komposisi zat gizi dalam tahu cukup baik. Tahu mempunyai kadar protein sebesar 8-12%, sedangkan mutu proteinnya yang dinyatakan sebagai NPU sebesar 65% (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Tahu juga mempunyai daya cerna yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam air sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna sekitar 95%, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan pencernaan (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Komposisi kimia pada tahu dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan syarat mutu tahu berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-3142-1998 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi kimia dalam 100 g tahu (Direktorat Gizi Depkes RI 1981) Komposisi
Satuan
Jumlah
Energi
Kal
68
Air
g
84.8
Protein
g
7.8
Lemak
g
4.6
Karbohidrat
g
1.6
Kalsium
mg
124.0
Fosfor
mg
63.0
Besi
mg
0.8
Vitamin B1
mg
0.06
3
Tabel 2. Syarat mutu tahu (SNI 01-3142-1998) Parameter
Satuan
Persyaratan
Bau
-
Normal tahu
Rasa
-
Normal tahu
Warna
-
Putih normal atau kuning normal
Penampakan
-
Normal tidak berlendir dan tidak berjamur
Eschericia coli
APM/g
maks. 10
Salmonella
/25g
Negatif
Cemaran Mikroba :
Proses Pengolahan Tahu dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu pembuatan susu kedelai dan koagulasi atau penggumpalan protein susu kedelai sehingga dihasilkan curd yang kemudian dipres dan dicetak menjadi tahu (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Berikut ini dijelaskan tahapan proses pembuatan tahu. a) Pencucian dan Perendaman Kedelai dicuci berulang kali dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan debu dan kotoran dari kacang kedelai. Proses selanjutnya dilakukan perendaman yang bertujuan untuk melunakkan struktur selulernya sehingga mempermudah dan mempercepat penggilingan. Biasanya kedelai direndam dalam air sebanyak 3 kali berat sampai bobot menjadi sekitar 2.2 kali bobot kedelai kering. Lama perendaman kedelai antara 8-12 jam (Shurtleff dan Aoyagi 2001). b) Penggilingan Kedelai yang telah bersih dan ditiriskan lalu digiling dengan disertai penambahan air kira-kira 1-1.5 kali berat kedelai basah (berat setelah direndam). Tujuan penggilingan adalah untuk memperkecil ukuran partikel sehingga dapat mengurangi waktu pemasakan dan memberikan fasilitas untuk melakukan ekstraksi susu kedelai (Shurtleff dan Aoyagi 2001) c) Pemasakan Kedelai yang telah digiling kemudian dimasak. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), pemasakan ini dimaksudkan untuk menginaktifasi trypsin inhibitor, meningkatkan nilai gizi dan kualitas kedelai, mengurangi rasa mentah dan beany pada susu kedelai, menambah keawetan produk akhir, dan merubah sifat protein kacang kedelai sehingga mudah dikoagulasikan. Pemasakan dilakukan pada suhu 100°C selama 10-15 menit (Sarwono dan Saragih 2003). Pada saat pemasakan bubur kedelai ditambahkan air untuk memperoleh rendemen yang baik. Penggunaan jumlah air dalam pemasakan perlu diperhatikan, dimana air yang terlalu sedikit akan menyebabkan sari kedelai yang terekstrak juga sedikit. Sedangkan bila air yang digunakan terlalu banyak, akan membuat energi dan waktu untuk ekstraksi sari kedelai semakin besar. Perbandingan berat kedelai kering dan air yang baik adalah sebesar 1:10 (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Selama proses pemasakan dilakukan pengadukan secara kontinyu untuk mencegah terjadinya kegosongan. d) Penyaringan dan Ekstraksi Susu Kedelai Bubur kedelai disaring dengan penyaring yang umum digunakan oleh para pembuat tahu, yaitu kain blacu berwarna putih. Hasil penyaringan ini adalah ekstrak susu kedelai, sedangkan ampas akan tertinggal dalam kain penyaring. Untuk mendapatkan sari kedelai yang lebih banyak, ampas dapat dicuci kemudian disaring kembali.
4
e)
Penggumpalan Setelah penyaringan adalah pengendapan susu kedelai dengan menambahkan penggumpal. Proses penggumpalan protein susu kedelai ini merupakan tahapan yang paling menentukan sifat fisik dan organoleptik dari tahu yang dihasilkan yakni jenis dan jumlah penggumpal serta suhu susu kedelai pada saat penggumpalan (Shurtleff dan Aoyagi 2001). Penggumpalan dilakukan pada saat suhu susu kedelai berkisar antara 70-90°C (Sarwono dan Saragih 2003) Ada beberapa jenis penggumpal yang biasa digunakan dalam pembuatan tahu. Perbedaan penggumpal akan menghasilkan tahu dengan jenis dan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh, dalam pembuatan tahu putih di Indonesia, pengrajin tahu lebih banyak menggunakan air tahu (whey) yang telah didiamkan semalam sebagai penggumpal. Sedangkan untuk jenis tahu lainnya, seperti tahu sutra, biasa digunakan GDL (Glucone Delta Lactone) sebagai penggumpal (Sarwono dan Saragih 2003). Selama proses penggumpalan perlu dilakukan pengadukan secara perlahan-lahan dengan arah yang tetap. Pengadukan dihentikan jika sudah terbentuk gumpalan. f) Pemisahan whey Setelah gumpalan (curd) terbentuk, dilakukan pengendapan hingga gumpalan turun ke bawah. Pengendapan ini bertujuan untuk mempermudah pemisahan cairan dengan curd. Cairan whey kemudian dipisahkan dari endapan agar proses pencetakan dapat dilakukan dengan mudah dan tahu yang dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik (Sarwono dan Saragih 2003) g) Pencetakan dan Pengepresan Gumpalan yang terbentuk selanjutnya dicetak dengan memasukkannya ke dalam cetakan yang telah dialasi kain blacu berwarna putih, lalu bagian atas juga ditutup dengan kain serupa dan papan. Diatas papan selanjutnya diletakkan pemberat hingga air tahu menetes habis dan terbentuklah tahu yang sudah tercetak.
B. NATRIUM BENZOAT Asam benzoat dengan rumus empiris C7H6O2 merupakan padatan berupa kristal putih yang umum digunakan sebagai antimikroba. Asam benzoat dan garam-garamnya dan derivat-derivatnya adalah suatu kelompok zat pengawet kimia yang sudah digunakan secara luas dan sering digunakan pada makanan yang asam (Winarno 1997). Asam benzoat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri daripada kapang. Struktur kimia asam benzoat dapat dilihat pada Gambar 1. Pada konsentrasi diatas 25 mg/L, asam yang tidak terurai akan menghambat pertumbuhan kapang (Buckle et al. 1987). Benzoat efektif pada pH 2.5-4.0 (Winarno 1997). Asam benzoat banyak beredar dalam bentuk garam-garamnya seperti natrium benzoat, kalium benzoat, dan amonium benzoat. Garam natrium dan amonium benzoat dapat digunakan, akan tetapi molekul-molekul asam benzoat itu sendiri yang mempunyai kemampuan sebagai antimikroba.
Gambar 1. Struktur kimia asam benzoat. Sebagai pengawet pada makanan, ada beberapa keuntungan penggunaan asam benzoat yaitu tidak berwarna dan mudah larut dalam produk. Asam benzoat harus digunakan dengan konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan flavor (off-flavor) pada
5
produk. Kadar penggunaan asam benzoat yang diijinkan adalah 0.1 g/kg untuk makanan lain seperti kecap, minuman ringan, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, dan saus tomat (Departemen Kesehatan RI 1988). Sedangkan menurut SNI (1995), untuk jem, jeli, acar ketimun dalam botol, margarin, padatan sari nanas, saus tomat dan makanan lainnya, batas penggunaan maksimum asam dan natrium benzoat adalah 1 g/kg. Nilai ADI asam benzoat dan garamnya adalah 05 mg/kg bobot badan (JECFA 2005). Molekul-molekul yang tidak mengalami disosiasi diduga merupakan komponen yang aktif (Desrosier 1988). Jumlah komponen asam benzoat yang tidak berdisosiasi ini tergantung pada tingkat pH bahan pangan yang bersangkutan. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat pH
Asam Benzoat yang tidak terurai (%)
3
94
4
60
5
13
6
1.5
7
0.15
(Buckle et al. 1987)
C. KALIUM SORBAT Asam Sorbat (trans, trans-2,4-hexadienoic acid) yang memiliki rumus empiris C6H8O2 merupakan padatan putih berbentuk kristal dan berbau agak asam. Menurut Desrosier (1988), asam sorbat termasuk golongan asam lemak rantai panjang yang tidak jenuh yang efektif sebagai agensia fungistatis (menghambat pertumbuhan jamur). Secara komersiil, asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk kalsium, natrium, dan kalium sorbat. Struktur kimia asam sorbat dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia asam sorbat. Kalium Sorbat dengan rumus empiris C6H7O2K merupakan garam kalium dari asam sorbat. Kalium Sorbat lebih umum digunakan daripada asam sorbat karena kelarutannya yang lebih tinggi dalam air daripada asam sorbat (Merck Indeks 1989). Pada suhu ruang, kelarutan asam dan kalsium sorbat hanya 0.16 dan 1.2% (b/v), sedangkan kelarutan kalium sorbat 58.20% (b/v) (HBSEF 2009). Kalium Sorbat akan menjadi asam sorbat begitu terlarut dalam air. Kalium sorbat memiliki 74% aktivitas antimikroba asam sorbat sehingga membutuhkan konsentrasi lebih tinggi untuk mencapai hasil yang sama dengan asam sorbat murni. (Sofos dan Busta 1993). Secara umum, sorbat dapat menghambat mikroba gram positif, gram negatif, katalase positif, katalase negatif, aerobik, dan anaerobik, mesofilik dan psikrofilik serta bakteri patogen (Sofos dan Busta 1993). Mekanisme penghambatan mikroba oleh asam sorbat adalah mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam lemak. Struktur α-diena pada asam sorbat dapat mencegah oksidasi asam lemak oleh enzim tersebut (Winarno 1997). Menurut Sofos dan Busta (1993), penghambatan bakteri oleh sorbat yaitu dengan memperpanjang fase adaptasi (lag phase) pertumbuhan mikroba,
6
dengan pengaruh yang lebih kecil pada laju pertumbuhan. Sorbat pada bakteri pembentuk spora mempengaruhi germinasi spora, pertumbuhan dan atau pemisahan sel vegetatif. Jumlah kebutuhan asam sorbat untuk pengawetan suatu produk tergantung dari beberapa faktor termasuk komposisi produk (pH, Aw), jumlah kontaminasi awal, pengemas atau suhu penyimpanan. Sebagai pengawet, asam sorbat dan kalium sorbat efektif digunakan hingga pH 6.5, tetapi efektifitasnya meningkat seiring dengan menurunnya pH (Sofos dan Busta 1993). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum 3 g/kg. Sedangkan pada produk keju, margarin, acar ketimun dalam botol, jem dan jeli serta pekatan sari nenas, batas maksimum penggunaanya sebesar 1 g/kg. Nilai ADI dari pengawet kalium sorbat adalah 0-25 mg/kg bobot badan (JECFA 2005). Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat pH
Asam Sorbat yang tidak terurai (%)
3
98
4
86
5
37
6
6
7
0.6
(Buckle et al. 1987)
D. ASAM ASETAT Asam asetat dapat larut dalam air, alkohol, lemak, dan gliserol. Asam organik tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan. Beberapa senyawa mempunyai beberapa batasan minimal dalam penggunaannya seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dimakan per hari oleh manusia Asam Organik Asam asetat Natrium diasetat Asam fumarat Asam laktat Asam propionat Asam tartarat
Batasan (mg/kg berat badan) -* 0-15 0-6 -* -* 0-30
*) Tidak ada nilai ADI (Doores 1993)
Asam organik dapat dihasilkan secara alami oleh tumbuhan maupun hewan. Beragam jenis asam organik antara lain asam sitrat, asam sorbat, dan asam benzoat ditemukan pada buah-buahan, sedangkan pada daging ditemukan asam laktat. Asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan seperti asam sitrat dapat mempunyai daya kerja menurunkan pH dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang ada. Pemberian asam organik diharapkan dapat memperpanjang masa simpan dan mencegah kerusakan bahan pangan tersebut (Ray dan Sandine 1992). Pemilihan jenis asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan didasarkan atas daya kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada bahan pangan, dan keamanan penggunaannya. Asam organik kebanyakan mudah larut air, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 6. Menurut WHO/FAO
7
(ICMSF 1980), sampai saat ini asam organik merupakan bahan pengawet yang dianggap aman. Ada bermacam-macam asam organik yang dapat digunakan sebagai antimikrobial bahan pangan seperti asam asetat, asam laktat, asam propionat, dan asam sitrat (Rahman 1999). Menurut Rahman (1999) dan Doores (1993), asam organik lipofilik, seperti asam asetat, asam propionat, dan asam benzoat sering digunakan sebagai antimikrobial bahan makanan. Penelitian ini akan menggunakan asam asetat yang akan dikaji potensinya sebagai pengawet pada tahu. Asam asetat (CH3COOH) merupakan asam organik monokarbonik, memiliki bau dan rasa tajam, bersifat sangat mudah larut dalam air. Asam asetat aman digunakan sebagai bahan pengawet produk makanan dan tidak ada batasan maksimal untuk dikonsumsi oleh manusia. Doores (1993) melaporkan bahwa efektifitas asam asetat antara pH 4 sampai 6. Persentase asam asetat yang tidak terdisosiasi sebanyak 1% sampai 2% pada daging, ikan, dan sayuran mampu menghambat dan membunuh mikroorganisme. Kemampuan antimikrobial suatu asam organik tergantung pada tiga faktor, antara lain: efek dari kemampuan asam tersebut dalam menurunkan pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri (Smulders 1995). Aktivitas antimikrobial ditentukan oleh besarnya persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan dengan nilai pKa. Bahan makanan yang memiliki pH rendah, banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan sebagai antimikrobialnya juga meningkat. Nilai pKa adalah dimana 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai. Asam organik yang memiliki nilai pKa lebih tinggi maka banyaknya molekul yang tidak terdisosiasi dalam larutan lebih banyak, sehingga pH larutan menjadi asam. Oleh karena itu, proton yang jumlahnya lebih banyak akan masuk ke dalam sitoplasma sel mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya penurunan pH larutan menjadi asam dan denaturasi di dalam sel, proton-proton yang berada di dalam sel berusaha dikeluarkan oleh sel mikroorganisme. Pertumbuhan sel mikroorganisme menjadi lebih lambat bahkan berhenti sama sekali karena dibutuhkan energi untuk mengeluarkan proton dari dalam sel (Eklund 1989 dan Fardiaz 1989). Bogaert dan Naidu (2000) menyatakan bahwa keefektifan asam asetat semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dan suhu, serta menurunnya pH dan jumlah mikroba. Berdasarkan ketahanan bakteri terhadap asam asetat, bakteri gram positif ternyata lebih tahan dibandingkan dengan bakteri aerob, dan spora bakteri, serta virus lebih tahan dibandingkan sel vegetatif. Struktur kimia asam asetat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia asam asetat. Asam asetat merupakan kelompok asam lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba. Mekanisme asam asetat dalam menginaktivasi bakteri adalah sebagai berikut : Asam lemah dapat terurai seperti ini : R-COOH → RCOO−+ H+. Asam yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah, adanya ion H + dalam jumlah banyak akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (R-COOH). Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut lemak sehingga memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat semakin banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang
8
memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat terurai menjadi RCOO− dan H+. Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat menyebabkan sel mati karena aktifitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt 1997). Tabel 6. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan Konsentrasi Asam Organik
pKa
Solubilitas
ADI
maksimum yang
(g/100g)
(mg/kg berat badan)
digunakan (mg/kg)
Asam asetat
4.75
Mudah larut
CPPB*
CPPB*
Asam sitrat
3.1
Mudah larut
CPPB*
CPPB*
Asam laktat
3.1
Mudah larut
CPPB*
CPPB*
Asam sorbat
4.8
0,16 (20°C)
25
1-2000
*) Cara Produksi Pangan Yang Baik (ICMSF 1980)
9