II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan Pertanian Berbagai model dan konsep pembangunan pertanian telah dikembangkan menjadi teori pembangunan pertanian. Namun demikian, menurut Hayami dan Ruttan (1985) model pembangunan ekonomi dan pertanian tetap tidak lengkap jika tidak melalui proses tertentu yang melibatkan berbagai aspek sistem pertanian secara keseluruhan. Aspek-aspek tersebut mencakup bagaimana aksi kolektif dari komunitas lokal sampai ke level pemerintah pusat, dapat diorganisasi sedemikian rupa untuk menghasilkan barang-barang publik dalam merespon berbagai perubahan kondisi perekonomian. Hal itu dapat dilakukan baik yang mencakup pengenalan teknologi baru maupun perbaikan institusi. Stevens dan Jabara (1988) serta Hayami dan Ruttan (1985) telah dengan baik mendiskusikan teori-teori pembangunan ekonomi dan pertanian. Hayami dan Ruttan (1985) menyebutkan ada sembilan teori pembangunan ekonomi dan pertanian yang dominan, meliputi: model konservasi, model fundamentalisme industri, model dampak industri-perkotaan, model difusi, model pertama perubahan budaya dan pembangunan masyarakat, model Neo-Marxist dan ketergantungan, model tahapan pertumbuhan, model high-payoff input Schultz, dan model imbas inovasi teknologi. Sedangkan
Stevens dan Jabara (1988)
menyebut 8 model pembangunan pertanian yaitu: model konservasi, model fundamentalisme industri, model dampak industri-perkotaan, model difusi, model pertama perubahan budaya dan pembangunan masyarakat, model Neo-Marxist dan ketergantungan,
model tahapan pertumbuhan, model high-payoff input
12 Schultz. Pada bagian ini akan diuraikan berbagai konsep pembangunan pertanian mengacu pada uraian Stevens dan Jabara (1988). Model konservasi (the conservation model) menyatakan bahwa sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi, oleh karenanya upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas produk pertanian perlu dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan konservasi lahan. Ada dua asumsi yang digunakan dalam model ini, yakni: (1) lahan untuk produksi pertanian langka dan menjadi semakin langka, dan (2) lahan dalam kondisi kurang subur memungkinkan untuk digunakan dalam memproduksi produk pertanian, dan tindakan untuk mencegah penurunan hasil atau meningkatkan produktivitas lahan berlangsung lambat. Implikasi dari teori ini adalah akibat dari lahan yang semakin langka dan lahan kritis digunakan menyebabkan produktivitas marginal tenaga kerja dan lahan menurun. Untuk mengatasi masalah ini perlu dilakukan konservasi lahan. Dalam jangka pendek, relevansi teori ini pada negara-negara sedang berkembang ditemukan beragam. Sejumlah negara sedang berkembang dapat mengatasi masalah penurunan produktivitas marginal dengan meningkatkan investasi, namun pada negara-negara yang mengembangkan sistem pertanian tradisional model konservasi ini relevan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, model konservasi relevan diterapkan pada negara-negara sedang berkembang. Model konservasi memiliki beberapa kelemahan, meliputi: Pertama, pada beberapa dekade terakhir cakupan peningkatan produktivitas lahan lebih besar dari perkiraan ilmuwan klasik seperti yang dikemukan pada model konservasi. Di negara maju produksi pertanian menunjukkan peningkatan hasil, dengan
13 kontribusi tambahan luas lahan yang relatif kecil. Kedua, model konservasi tidak mempertimbangkan kontribusi industri yang menghasilkan input buatan, seperti pupuk buatan dan pestisida. Kontribusi pupuk buatan dan pestisida juga cukup besar terhadap perolehan produksi pertanian disamping lahan. Ketiga, model konsevasi gagal menjelaskan dampak perubahan teknologi terhadap permintaan lahan pertanian. Konservasi lahan memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan perubahan teknologi, dan perubahan teknologi akan meningkatkan produktivitas lahan pertanian lebih baik daripada konservasi lahan. Ke empat, kelemahan utama dari model konservasi adalah bersifat noneconomic nature. Model konservasi secara umum hanya mengukur lahan dan produktivitas secara fisik, tidak menekankan manfaat ekonomi dari investasi atas konservasi yang dilakukan. Berbeda dengan model konservasi, model fundamentalisme industri (The Industrial Fundamentalism Model) menekankan pentingnya industri dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model ini juga menggunakan dua asumsi, yakni: (1) jika investasi difokuskan pada pengembangan industri, maka pertumbuhan ekonomi yang cepat akan dicapai, dan (2) sektor pertanian kurang penting dalam meningkatkan pertumbuhan. Teori fundamentalisme industri ini mendapat kritik dari Jorgenson (1961), Ranis dan Fei (1961) dengan model ekonomi dua sektor. Mereka menyatakan bahwa keterlambatan sektor pertanian akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Proporsi alokasi investasi yang besar pada sektor industri selalu menghasilkan pendapatan yang tinggi pada sektor industri dan memperlambat pertumbuhan sektor-sektor lainnya, sebaliknya
14 investasi pada sektor pertanian akan mempercepat pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Selanjutnya model dampak industri-perkotaan (The Urban-Industrial Impact Model) menyatakan bahwa produktivitas pertanian adalah fungsi dari jarak antara kota dan areal industri. Jarak dari pasar kota mempengaruhi intensitas ladang dan pertumbuhan berbagai tanaman keras. Model ini berdasarkan pada teori sewa Ricardian dan Von Thunen yang menyatakan bahwa jarak dari pasar kota mempengaruhi intensitas perladangan dan pertumbuhan tanaman. Dalam model Von Thunen, variabel eksplanatori adalah biaya transportasi produk pertanian ke pasar kota.
Oleh karenanya petani-petani yang menghasilkan
produk-produk pertanian yang mudah busuk dan rusak cenderung memproduksi produk pertaniannya di sekitar wilayah perkotaan dan industri dengan harga lahan yang cukup tinggi. Sedangkan petani-petani yang menghasilkan produk-produk pertanian yang tidak mudah rusak dan tahan lama cenderung memproduksi produknya jauh dari areal perkotaan karena harga lahan relatif murah. Selanjutnya Schultz (1953) berdasarkan model Von Thunen menjelaskan disparitas regional pertumbuhan dan pembangunan pertanian di Amerika Serikat, dengan hipotesis utama adalah organisasi ekonomi di areal pertanian yang berkerja dengan baik berhubungan dengan industri perkotaan. Model difusi (The Diffusion Model) berdasarkan pada hipotesis bahwa peningkatan produksi pertanian tergantung pada: (1) peningkatan arus informasi ke petani tentang teknologi baru dan tatanan organisasi baru, seperti kredit, dan (2) kesediaan untuk belajar tentang bagaimana membuat manajemen pengambilan keputusan lebih rasional secara ekonomi berkaitan dengan akses terhadap
15 sumberdaya. Difusi adalah proses penyebaran inovasi ke para anggota suatu sistem sosial yang menekankan pada pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi, meliputi: (1) keragaman jenis tanah, serangan hama dan penyakit dan variabel-variabel pertumbuhan tanaman lainnya, (2) keragaman biaya kapital relatif terhadap tenaga kerja., (3) perbedaan aturan sosial dan kelembagaan. Ada empat kelemahan model difusi, meliputi: Pertama, hasil riset menyatakan bahwa petani-petani tradisional mempunyai pengetahuan yang baik tentang teknologi tradisional dan alokator yang efisien dari sumberdaya yang mereka miliki. Oleh karenanya usaha untuk mengajarkan kepada para petani tentang bagaimana mereka mengalokasikan sumberdaya tradisional mereka adalah sia-sia. Kedua, ketersediaan teknologi baru yang terbatas di negara-negara sedang berkembang yang produktif jika didifusi. Ketiga, personil penyuluh selalu tidak
dilatih
dan
oleh
karenanya
mereka
tidak
berhasil
mentransfer
pengetahuannya ke petani yang memiliki kemampuan terbatas. Dan keempat, agen-agen penyuluh cenderung tidak memahami kondisi sosial dan pertanian di lokasi tugasnya karena mereka berasal dari perkotaan atau daerah lain yang memiliki karakteristik yang berbeda. Selanjutnya model perubahan budaya (The Cultural-Change-First Model) dan pergerakan pembangunan masyarakat, serta model Neo-Marxist dan teori ketergantungan menekan pada pentingnya aspek kelembagaan dan budaya masyarakat dan menggerakkan pembangunan ekonomi dan pertanian. Model pertama perubahan budaya (The Cultural-Change-First Model) dan pergerakan pembangunan masyarakat mengidentifikasi nilai-nilai dan institusi-institusi sama baiknya
dengan
teknologi
sebagai
variabel-variabel
fundamental
yang
16 mempengaruhi pembangunan. Hasil indentifikasi model ini menyebutkan bahwa perluasan pembangunan suatu komoditas terkait dengan perubahan nilai-nilai dan kelembangan tradisional. Perubahan budaya dan institusi di pedesaan (berkaitan dengan sistem nilai dan institusi sosial) mempercepat kemajuan ekonomi. Ada tiga asumsi yang digunakan sehingga perubahan terjadi: (1) sumberdayasumberdaya pedesaan tidak/belum dialokasikan secara efisien, (2) pengembangan masyarakat yang bekerja di pedesaan secara siginifikan mengubah nilai-nilai dan institusi-institusi pedesaan, dan (3) pengembangan masyarakat yang bekerja di pedesaan relevan dengan teknologi dan informasi baru. Ketersediaan teknologi baru yang terbatas di negara-negara sedang berkembang yang produktif jika didifusi. Model Neo-Marxist mengasumsikan bahwa produksi ditentukan oleh perubahan kelembagaan. Model ini sangat terbatas karena mengabaikan hubungan antara kekayaan sumberdaya dan perubahan teknologi, dan antara kekayaan sumberdaya, kekayaan budaya, dengan perubahaan kelembagaan. Sementara itu teori ketergantungan menggambarkan bahwa peningkatan ketergantungan ekonomi negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara maju menyebabkan pengurasan sumberdaya dan pendapatan dari negara-negara sedang berkembang sebagai satelit oleh negara-negara maju sebagai pusat. Wilayahwilayah metropolitan sebagai pusat di semua negara sedang berkembang lebih maju dan para pekerja pertaniaan di pedesaan diisolasi sehingga cenderung miskin. Teori ini juga menyatakan bahwa para elite lokal terperangkap, cenderung mengeksploitasi negaranya dengan berpihak kepada pihak asing dalam perdagangan. Konsep pembangunan ekonomi yang juga populer digunakan untuk
17 menggambarkan konsep pembangunan pertanian adalah model lima tahap pembangunan Rostow. Model ini berdasarkan pada konsep leading sectors. Dengan perubahan teknologi menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meningkat. Rostow (1960) berpendapat bahwa negara-negara dapat mengharapkan melewati lima tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) ekonomi tradisional, (2) prakondisi untuk tinggal landas, (3) tinggal landas, (4) dorongan menuju kedewasaan, dan (5) era konsumsi masal yang tinggi. Tahap pertama, ekonomi tradisional, dengan ciri utama adalah: Pertama, agricultural
economic
base
(perekonomian
berbasis
pertanian)
yang
mempekerjakan 70–80 persen penduduk pada sektor pertanian dengan produktivitas yang rendah dan sedikit surplus jika ada untuk dijual. Kedua, adanya suatu social order (tatanan sosial) yang bersifat feodal dan dalam tatanan sosial tersebut perubahan merupakan hal yang tidak biasa, sedangkan teknologi bersifat statik. Tahap kedua, prakondisi tinggal landas, merupakan masa transisi dimana prasyarat pertumbuhan swadaya dibangun. Masyarakat masih tergolong tradisional, terus bergerak meskipun lambat. Keadaan ini maju karena adanya campur tangan dari pihak luar, yaitu dari masyarakat yang lebih maju. Pada periode ini, telah ada usaha untuk meningkatkan tabungan. Tabungan dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produksi yang menguntungkan, seperti usaha peningkatan produksi dan usaha peningkatan pendidikan. Investasi ini dilakukan oleh perorangan maupun oleh negara.
18 Tahap ketiga, tinggal landas, didefinisikan sebagai revolusi industri yang bertalian secara langsung dengan perubahan radikal di dalam metode produksi dan jangka waktu yang lama. Periode ini ditandai dengan tersingkirnya hambatanhambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5 persen menjadi 10 persen dari pendapatan nasional atau lebih. Industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat. Keuntungan sebagian besar ditanamkan kembali ke pabrik yang baru. Sektor modern dari perekonomian menjadi berkembang. Pertanian menjadi usaha yang komersial dan bukan sekedar untuk konsumsi. Perlunya proses modernisasi untuk peningkatan produktivitas pertanian dengan ongkos yang lebih murah. Tahap keempat, dorongan menuju kedewasaan, dimana masyarakat telah efektif menerapkan teknologi modern terhadap seluruh sumberdaya mereka, meskipun terjadi pasang surut. Antara 10 sampai 20 persen dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali agar bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan industri terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi, tetapi juga aneka barang yang diproduksi. Barang yang diproduksikan bukan saja terbatas pada barang konsumsi, tetapi juga barang modal. Pada tahap ini terlihat adanya kedewasaan teknologi. Tahap kelima, era konsumsi masal yang tinggi. Pada tahap ini pendapatan masyarakat sudah meningkat. Terjadi peningkatan konsumsi yang tinggi, bukan saja pada barang-barang kebutuhan pokok tetapi juga dalam hal leisuer. Pada tahap ini negara berada dalam output full employment dimana pengangguran sudah tidak ada (sekitar 4 persen), dan peningkatan kesadaran akan jaminan
19 sosial. Investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pada titik ini pembangunan sudah merupakan proses yang berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus. Teori tahapan pembangunan pertanian lainnya dikemukan oleh Wharton (1963) dan Mellor (1966). Wharton (1963) menyimpulkan tiga tahap pembangunan pertanian, yaitu: (1) tradisional (statik), (2) transisional, dan (3) dinamis. Mellor (1966) merumuskan model tahapan pembangunan pertanian berdasarkan dua batasan, yaitu: (1) batasan perubahan teknologi antara tahapan tradisional dan labor intensive, dan (2) batasan perubahan biaya tenaga kerja relatif terhadap kapital. Sebagai penutup pada bagian ini dikemukan High-Payoff Input Model oleh Schultz. Schultz memfokuskan pada dua pertanyaan: (1) bagaimana menciptakan dan menyediaan sesuatu yang baru kepada para petani, higher-payoff technology dalam penggunaan alat-alat kapital dan input lainnya, dan (2) Bagaimana meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Untuk meningkatkan penggunaan alatalat kapital dan input lainnya diperlukan investasi dalam pengembangan teknologi pertanian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara miskin dari sektor pertanian sangat tergantung pada ketersediaan dan harga faktor-faktor pertanian dari negara maju. Selanjutnya untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja diperlukan investasi sumberdaya manusia yang memadai. Peningkatan pendidikan petani dapat meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat.
20
2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi, Pengurangan Pengangguran dan Kemiskinan, serta Pemerataan Pendapatan Beberapa permasalahan yang paling menantang bagi pengambil kebijakan nasional dalam masalah pembangunan dan kesejahteran manusia yang ada di berbagai negara-negara sedang berkembang saat ini antara lain adalah upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dibarengi dengan upaya pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran (Ali, 2007; Warr, 2006; Islam, 2004; Bhalla, 2002; Bautista, 2001; Perkins et al, 2001). Perkins et al (2001), menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memang penting tetapi tidak memenuhi kondisi yang cukup untuk dapat meningkatkan standar hidup banyak orang yang hidup pada negara-negara dengan pendapatan nasional perkapita yang rendah. Diskusi tentang siapa yang memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi telah berlangsung sejak lama. Meningkatnya kesenjangan dalam pendapatan dan kesejahteraaan masyarakat serta semakin persistennya kemiskinan pada masyarakat kelas bawah menjadi topik yang sering didiskusikan sejak lama. Bahkan ahli filsafat sosial Karl Mark dan novelis seperti Charles Dickens menjadikannya sebagai tema tema utama pembahasan mereka. Lewis (1954), dengan model surplus tenaga kerjanya menyatakan bahwa pada mulanya kesenjangan akan meningkat tetapi pada ahirnya akan lenyap pada saat pembangunan terjadi. Peningkatan kesenjangan ini terjadi karena
(1)
peningkatan bagian pendapatan yang diterima oleh kapitalis akibat peningkatan yang terjadi pada sektor yang dikembangkan, (2) kesenjangan pada pendapatan tenaga kerja juga terjadi pada tahap awal pembangunan, ketika sebagian kecil
21 tenaga kerja mengalami peningkatan upah dari level upah buruh ke level upah di sektor kapitalis. Oleh karena itu model Lewis ini sering disebut sebagai petumbuhan dahulu baru kemudian dilakukan redistribusi (grow first, then redistribute). Selanjutnya Perkins et al (2001) menyebutkan tiga model alternatif lainnya yaitu: (1) redistribute first then grow (Melaksanakan redistribusi terlebih dahulu baru tumbuh), (2) redistribution with growth (Pelaksanaan redistribusi dengan pertumbuhan), dan (3) basic human needs ( kebutuhan dasar manusia). Model melaksanakan redistribusi terlebih dahulu baru kemudian tumbuh, adalah merupakan model radikal yang dterapkan oleh negara-negara Asia beraliran sosial khususnya Cina. Pembagian kepemilikan sumberdaya pada kelompok kelompok produsen berskala kecil atau bahkan sering terjadi pengelolaannya dalam suatu sistem kepemilikan yang kolektif, berdampak langsung pada penghilangan pendapatan atas properti dari kepemilikan terdahulu kepada pemerintahan atau pemilik-pemilik baru yang memilikinya secara kolektif. Hal ini secara subtansial dapat merubah pemerataan pendapatan. Pengelolaan yang baik properti ini akan meningkatkan produktivitasnya, sehingga terjadilah fenomena redistribute first then grow. Tetapi bila asetnya ternyata tidak produktif, kerugian yang menimpa pemilik-pemilik baru tidak sebesar apabila itu menimpa pada pemilik lama. Model radikal seperti yang dilakukan oleh Cina ini hanya bisa terjadi kalau negara dikuasai oleh rejim yang kuat yang muncul lewat revolusi. Oleh karena itu Taiwan dan Korea Selatan kemudian memodifikasi versi model ini dalam model redistribute then develop yang membagi kepemilikan lahan yang luas di desa desa tepat setelah perang dunia II berakhir dan berakibat pada
22 terjadinya percepatan dalam pembangunan dan secara komparatif dapat dikatakan terjadi adanya pemerataan (Perkins et al , 2001). Keinginan untuk mencegah terjadinya hal yang ekstrim sebagaimana terjadi baik pada terkosentrasinya pembangunan industri pada model Lewis maupun pada restrukturisasi kepemilikan aset secara radikal mengarahkan pada jalan tengah yaitu pelaksanaan redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with growth/RWG). Ide dasar dari RWG ini adalah kebijakan pemerintah harus mencoba untuk membentuk pola pembangunan yang memungkinkan produsen dengan pendapatan rendah (dalam banyak negara umumnya banyak berada pada sektor primer pertanian dan usaha kecil di pedesaan) dapat melihat peluang peningkatan pendapatan dan selanjutnya dapat memperoleh sumberdaya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Menurut kelompok studi Bank Dunia, setidaknya ada tujuh instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini. Pertama, upaya untuk membuat tenaga kerja relatif lebih murah daripada kapital dan hal ini dapat mendorong penyerapan tenaga kerja lebih banyak pada tenaga kerja tidak terampil. Ke dua, redistribusi secara dinamis terhadap aset-aset dengan cara mendorong penciptaan aset yang memungkinkan kelompok miskin dapat memilikinya misalnya tanah pertanian yang telah meningkat kualitasnya dan toko-toko kecil. Ke tiga, peningkatan pendidikan untuk memungkinkan peningkatan kemampuan literasi, ketrampilan dan akses terhadap ekonomi modern. Ke empat, penerapan pajak yang lebih progresif. Ke lima, pemenuhan kebutuhan/kecukupan barang barang konsumsi seperti makanan dasar untuk kelompok miskin. Ke enam, intervensi pada pasar komoditas untuk membantu produsen produsen miskin dan konsumen. Ke tujuh, pembangunan
23 teknologi baru yang dapat membantu meningkatkan produktivitas pekerja yang berpendapatan rendah. Starategi pembangunan yang berbasis pada pedesaan dan yang berorientasikan pada pemerataan sering diterapkan pada negara-negara yang didominansi oleh pedesaan. Untuk negara-negara semacam ini waktu yang digunakan oleh sektor modern untuk mencapai tingkat pemerataan yang diinginkan menjadi
lebih lama. Oleh karena itu strategi yang berbasis pada
pedesaan diharapkan dapat lebih mencapai pola pemerataan yang diharapkan dibandingkan dengan strategi pembangunan yang ditekankan pada pertumbuhan kota dan industri. Di sisi lain negara-negara yang memiliki sektor modern relatif lebih luas, berharap untuk dapat menciptakan ekonomi modern yang terintegrasi dalam waktu yang lebih singkat, sementara itu dengan ketersediaan surplus yang lebih besar dapat diredistribusikan pada sektor sektor tradisional melalui jasa sosial dan proyek proyek pembangunan pedesaan (Perkins et al, 2001). Kekhawatiran tentang bagaimana cepatnya pembangunan ekonomi-meskipun telah fokus pada kemiskinan, dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin pada kebanyakan negara negara yang sedang berkembang menjadi acuan dasar pada pendekatan kebutuhan dasar manusia (basic human needs/BHN). Meskipun pendekatan BHN dan RWH mempunyai tujuan yang sama, tetapi berbeda dalam bagaimana upaya terbaik dalam pencapaiannya. Kalau pendekatan RWG lebih menekankan pada peningkatan produktivitas dan kemampuan daya beli dari kelompok miskin, pendekatan BHN lebih menekankan pada kecukupan dalam pemberian layanan publik, dengan perhatian lebih kepada kelompok miskin yang dapat menjamin bahwa kelompok miskin dapat
24 memperoleh akses terhadap layanan publik yang diberikan. Tujuan dari strategi BHN adalah pada penyediaan bagi kelompok miskin dengan beberapa komoditi dan layanan dasar seperti makanan pokok, air dan sanitasi, kesehatan, pendidikan primer dan pendidikan non formal serta perumahan. Strategi BHN ini setidaknya membutuhkan dua hal penting agar dapat berjalan sukses. Pertama, cukupnya pembiayaan yang diperlukan untuk memungkinkan penyediaan layanan-layanan dan komoditi yang dapat dipenuhi dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat miskin. Ke dua, ketersediaan jaringan pelayanan yang dibutuhkan untuk mendistribusikan layanan layanan tersebut dalam bentuk yang sesuai bagi konsumsi kelompok miskin, khususnya di wilayah lokasi kelompok miskin tersebut tinggal. Hasil review Bank Dunia terhadap problem di dunia ke tiga menggaris bawahi dua tindakan dasar untuk pengurangan kemiskinan yaitu melalui kebijakan peningkatan produktivitas terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh kelompok miskin—tenaga kerjanya, dan upaya mencukupi layanan sosial dasar kepada kelompok miskin. Strategi yang menunjang pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar ini merupakan komplemen dari strategi RWG ( Perkins et al, 2001). Cara yang paling menjanjikan untuk meningkatkan pemerataan selama pertumbuhan menurut pendekatan reformis adalah dengan lebih menitikberatkan pada penciptaan tenaga kerja. Hal lain yang penting dalam pertumbuhan yang menjamin pemerataan adalah hubungan antara harga output di tingkat pedesaan dan kota. Jika harga hasil pertanian ditekan untuk mempertahankan upah rendah di perkotaan, hal ini dapat berimplikasi buruk pada kesejahteraan mayoritas kelompok miskin yang tinggal di pedesaan dan utamanya bekerja di sektor
25 pertanian. Akhirnya adalah pertanyaan mendasar apakah pemerintah pemerintah pada negara negara miskin pada kenyataannya akan mengambil kesempatan untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi disamping upayanya untuk meningkatkan pertumbuhan. Pengurangan kemiskinan telah meningkat menjadi hal utama yang hendak dicapai dalam upaya pembangunan dunia. Persatuan Bangsa Bangsa dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan ini menetapkan target untuk pengurangan insiden kemiskinan dunia hingga pada tahun 2015. Percepatan pertumbuhan pada negara-negara berpendapatan rendah adalah kondisi yang diperlukan bagi pencapaian tujuan ini (Perkins, 2001). 2.2.2
Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Bank Dunia pada tahun 2008 memberikan perhatian khusus terhadap
peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan tajuk laporan tahunannya pada world development report 2008 yang bertajukkan pertanian untuk pembangunan. Bank Dunia meyakini bahwa pada abad 21 ini sektor pertanian masih akan terus berperan sebagai instrumen yang fundamental dalam pembangunan berkelanjutan dan upaya pengurangan kemiskinan. Pertanian diyakini dapat secara harmoni bersama sama sektor lainnya untuk dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, upaya pengurangan kemiskinan dan perwujudan lingkungan yang berkelanjutan (World Bank, 2007). Peran pertanian dalam pembangunan ekonomi sebagaimana disebut dalam laporan bank dunia tersebut memang sejak lama sudah diyakini oleh para ahli ekonomi. Kuznets (1964), sektor pertanian di negara-negara sedang berkembang kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, dapat dikelompokkan dalam empat bentuk yaitu kontribusi produk, kontribusi pasar,
26 kontribusi faktor-faktor produksi dan kontribusi devisa. Sedangkan menurut Steven dan Jabara (1988), meskipun peran utama dari sektor pertanian adalah untuk memproduksi pangan dan produk produk pertanian yang menunjang pembangunan ekonomi, sektor pertanian juga memberikan kontribusi sangat penting lainnya dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan setidaknya sektor pertanian memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi dalam enam hal yaitu: (1) kontribusi penyerapan tenaga kerja (2) kontribusi terhadap pendapatan (3) kontribusi terhadap penyediaan pangan (4) kontribusi terhadap penyediaan bahan baku bagi sektor lainnya, (5) kontribusi dalam bentuk kapital dan (6) ikut menyumbang dalam penyediaan mata uang asing dari hasil ekspor pertanian (Stringer, 2001; Todaro, 2000; Timmer, 1995; Delgado, et al. 1994; Johnston and Mellor, 1961). Secara singkat Bank Dunia menyebut bahwa pertanian berkontribusi secara unik pada pembangunan dalam bentuk sebagai aktivitas ekonomi,
sumber kehidupan, dan sebagai
penyedia jasa lingkungan (Worl Bank, 2007). Kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan berbeda beda untuk berbagai negara tergantung bagaimana negara tersebut tergantung pada pertanian sebagai sumber pertumbuhan dan sebagai instrumen dalam pengurangan kemiskinan. Selanjutnya Bank Dunia membagi negara-negara di dunia dalam tiga kelompok berdasar sumbangan sektor pertanian terhadap pertumbuhan agregat selama kurun waktu 15 tahun. Ke tiga kelompok tersebut adalah yaitu: (1) kelompok negara berbasis pertanian, dimana pertanian merupakan sumber utama pertumbuhan. Hal ini dicirikan dengan rata-rata kontribusi pertanian terhadap pertumbuhan GDP sebesar 32 persen. Di samping itu kebanyakan dari masyarakat
27 miskinnya 70 persen berada di wilayah pedesaan (2) kelompok negara yang mengalami transformasi, dimana pertanian bukan lagi sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yaitu rata-rata menyumbang hanya sekitar 7 persen dari pertumbuhan GDP. Indonesia dikelompokkan dalam kelompok negara yang mengalami transformasi ini.
(3)
kelompok negara urban, dimana pertanian
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi rendah, rata-rata kontribusinya terhadap pertumbuhan GDP sebesar 5 persen dan mayarakat miskin umumnya tinggal di perkotaan. transformasi
Selanjutnya bagi kelompok negara yang mengalami
sebagaimana
Indonesia,
kontribusi
sektor
pertanian
dalam
pembangunan ekonomi dapat dilakukan dalam melalui: (1) pengelolaan terhadap perbedaan yang menyolok antara pedesaan dan perkotaan dan (2) pengurangan kemiskianan di pedesaan melalui upaya pertanian baru dan penyerapan tenaga kerja non pertanian (World Bank, 2007) Steven dan Jabara (1998) menambahkan bahwa peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi terlihat dari keterkaitannya dengan sektor sektor lainnya, karena berdasarkan berbagai studi keterkaitan antar sektor ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kontribusi sektor pertanian terhadap sektor-sektor lainnya dan
bagaimana
kontribusi sektor-sektor lainnya terhadap sektor pertanian. Kontribusi penting sektor pertanian terhadap sektor lainnya yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi
antara lain berupa: (1) meningkatnya
produksi pangan dan produk pertanian lainnya yang digunakan untuk kepentingan domestik di perkotaan dan untuk ekspor, (2) tambahahan tenaga kerja pada sektor non pertanian, (3) aliran bersih dari kapital yang berasal dari sektor pertanian
28 yang dikeluarkan untuk investasi pada sektor sektor lain, (4) peningkatan permintaan dari sektor pertanian terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor
sektor
lainnya.
Sedangkan
kontribusi
sektor-sektor
lain
yang
memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang lebih cepat pada sektor pertanian dapat berupa: (1) produksi dari sektor industri terhadap input yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, (2) peningkatan permintaan terhadap pangan dan produk pertanian lainnya baik karena terjadinya peningkatan pendapatan maupun karena terjadinya peningkatan pergeseran jumlah proporsi tenaga kerja yang bekerja di sekor non pertanian, (3) pemenuhan kecukupan dan pengembangan
infrastruktur yang dibutuhkan seperti jalan, transportasi,
komunikasi dan begitu juga pendidikan. Banyaknya aliran ekonomi antar sektor ini akan meningkat pesat sejalan dengan pembangunan ekonomi. Kelemahan dalam input produktif dan peralatan kapital dapat memperlemah pertumbuhan pertanian, dan pada akhirnya dapat mengurangi laju pertumbuhan dalam pendapatan nasional per kapita. Pertumbuhan yang rendah dalam pertanian akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya negara-negara yang proporsi utama penghasilannya masih berasal dari sektor pertanian (Steven dan Jabara, 1988; Thorbecke, 1969; Yotopoulus dan Nugent, 1976). Para ekonom sejak dulu telah mendiskusikan kontiribusi peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi, khususnya kontribusinya terhadap pertumbuhan secara keseluruhan dan terhadap modernisasi (Stringer, 2001). Melihat
karakter
peran
pertanian
dalam
pembangunan
ekonomi
dan
mengidentifikasi berbagai cara untuk meningkatkan peran tersebut telah menjadi tema klasik dalam ekonomi pembangunan (Mellor, 1966; Mellor 1986; Winters et
29 al, 1998). Beberapa ahli seperti Rosentein-Rodan (1943), Lewis (1954); Scitovsky (1954); Hirschman (1958); Jorgenson (1961); serta Ranis dan Fei (1961) menggarisbawahi peran pertanian karena kelimpah ruahan sumberdaya alamnya dan suplai tenaga kerjanya serta kemampuan sektor ini untuk memberikan surplus transfer pada sektor industri. Sedangkan Hayami and Ruttan (1985) dan Winters et al. (1998) secara spesifik menyatakan bahwa untuk beberapa negara yang hendak melakukan industrialisasi, sektor pertanian merupakan sumber utama yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan investasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa suksesnya industrialisasi tergantung kepada adanya solusi terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan penciptaan, transfer dan penggunaan surplus dari sumberdaya sektor pertanian. Dengan perannya sebagai penyedia bahan baku bagi sektor industri, peran utama pertanian dalam transformasi perekonomian yang sedang berkembang sering dipandang sebelah mata dalam strategi sentral melalui percepatan laju indutrialisasi (Stringer, 2001; Vogel, 1994). Secara khusus Hirschman (1958) mengabaikan pertanian sebagai sumber pertumbuhan, karena kegagalan sektor pertanian untuk memperlihatkan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang kuat antar industri yang diperlukan bagi pembangunan. Selanjutnya Hirschman (1958) menjelaskan bahwa lemahnya keterkaitan ke belakang dari sektor pertanian mengakibatkan gagalnya sektor ini untuk menginduksi terbentuknya kapital. Hal inilah yang mengakibatkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai sektor andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam kaitan ini
Jhingan (1991) menyatakan bahwa ada pandangan yang berbeda antara
30 Hirschman dan Adelman dalam hal pengembangan sektor pertanian. Perbedaan pendapat itu terletak pada kriteria pemilihan sektor kunci (leading sector). Kriteria yang digunakan Hirschman dalam menentukan sektor kunci dikritik oleh Aldeman sebagai terlalu sempit, karena hanya mempertimbangkan keterkaitan produk dan yang lebih spesifik keterkaitan ke belakang. Hal ini tentu saja dapat menempatkan sektor pertanian pada sektor yang inferior. Pada kenyataannya berdasarkan hasil penelitian Syafaat dan Mardianto (2002); Poonyth et al. (2001); Anderson and Strutt (1999); Delgado, et al. (1994); Haggblade et al. (1991); Bautista (1986); Adelman (1984); Rangarajan(1982); Bell dan Hazell (1980); menunjukkan bahwa keterkaitan antar sektor pertanian dengan sektor industri tidak hanya keterkaitan produk, tetapi ada media keterkaitan lainnya yaitu keterkaitan konsumsi, investasi dan tenaga kerja yang mampu menjelaskan secara lebih menyeluruh mengenai keterkaitan ke dua sektor tersebut. Oleh karena itu kriteria yang digunakan oleh Hirschman untuk menentukan sektor kunci tidak mampu menjelaskan potensi keterkaitan sektor pertanian dengan industri (Syafaat dan Mardianto, 2002). Dari hasil identifikasinya terhadap sumber pertumbuhan output nasional, Syafaat dan Mardianto (2002) menemukan bahwa sektor pertanian mempunyai kontribusi yang tinggi dalam pembentukan output nasional. Walaupun demikian pengembangan sektor pertanian primer saja tidak cukup memadai untuk mempatkan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka perlu dikembangkan sektor komplemen, atau dengan kata lain pengembangan sektor pertanian harus diletakkan dalam kerangka pengembangan agribisnis di wilayah pedesaan.
31 Hal tersebut di atas sejalan dengan temuan SMERU Research Institute (Suryahadi et al., 2006) yang menyatakan bahwa dalam kondisi cepatnya perkembangan perkotaan di Indonesia, sektor pedesaan masih memegang peran penting perekonomian nasional. Mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal dan bekerja di pedesaan, yang utamanya masih pada sektor pertanian. Bukti yang kuat menunjukkan bahwa 80% penduduk miskin ditemukan di pedesaan. Oleh karena itu diperlukan strategi yang efektif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan. Karena secara khusus area pedesaan senantiasa didentifikasikan sebagai sektor pertanian, maka pertanyaannya adalah manakah yang paling efektif mendorong produktivitas terlebih dulu di sektor pertanian atau lebih baik mengivestasikan pada sektor non pertanian di pedesaan. Dari hasil penelitian ternyata pertumbuhan sektor pertanian secara kuat menginduksi pertumbuhan sektor non pertanian di pedesaan. Meskipun berfluktuasi, diduga rata-rata sebesar 1% dari pertumbuhan sektor pertanian dapat menginduksi pertumbuhan sektor non pertanian sebesar 1.2% di pedesaan. Dengan demikian strategi pembangunan pedesaan melalui pembangunan sektor pertanian dapat memberikan daya dorong dalam pertumbuhan ekonomi yang cepat pada wilayah pedesaan di Indonesia. Syafaat dan Mardianto (2002) dalam hal ini menyarankan pentingnya pengembangan sistem agribisnis pedesaan karena beberapa hal: (1) Sektor pertanian dan pedesaan seharusnya masih dianggap sebagai tempat penyerapan tenaga kerja terbesar dalam ekonomi, sehingga peningkatan pembangunan sektor pertanian dapat mengatasi masalah pengangguran. (2) Sektor pertanian dan pedesaan merupakan penopang utama sistem perekonomian nasional, mengingat sebagian besar populasi berada di pedesaan. Oleh karena itu peningkatan
32 pembanguan pertanian dan pedesaan dapat mendorong perekonomian, mendorong terjadinya pendewasaan dalam transformasi struktural ke arah industrialisasi, serta dapat meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia sekaligus mendorong ke arah pengentasan kemiskinan (3) Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok dan mengurangi ketergantungan pangan pada pasar internasional
(4)
Sektor
pertanian
dapat
membantu
menjaga
stabilitas
perekonomian nasional, karena bobotnya yang besar dalam indek harga konsumen (5) Sektor pertanian dapat mendorong ekspor dan mengurangi impor produkproduk pertanian, pada gilirannya dapat menyumbang pemantapan neraca pembayaran (6) Sektor pertanian dapat meningkatkan sektor industri, karena adanya keterkaitan yang erat antara sektor pertanian
dengan sektor industri
mencakup keterkaitan produk, konsumsi dan investasi (7) Pengembangan sektor industri dan komersial yang padat karya dan berbasis pedesaan perlu didorong dengan insentif fiskal serta diperlukan pengembangan pasar finansial dengan memanfaatkan nilai nilai masyarakat pedesaan. Sebagaimana telah didiskusikan pada sub bab sebelumnya, upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dibarengi dengan upaya pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran merupakan konsern utama para pengambil kebijakan (Ali, 2007; Warr, 2006; Islam, 2004; Bhalla, 2002; Bautista, 2001; Perkins et al, 2001). Para pemimpin negara negara di Afrika Selatan (Poonyth et al, 2001), Vietnam (Bautista, 2001) dan Indonesia (Presiden Republik Indonesia, 2006) menjadikan hal ini sebagai perhatian utama. Lewat tripple track stategy (pro-growth, pro-job, dan pro-poor), Presiden Republik
Indonesia
merencanakan
peningkatan
pertumbuhan
dengan
33 mengutamakan ekspor dan investasi, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja, dan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan. Pembangunan pertanian diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran (Warr, 2006; Poonyth et al, 2001; Bautista, 2001; Bautista, 1999). Strategi pembangunan pertanian yang diharapkan dapat mencapai hal tersebut dapat dipertimbangkan antara lain adalah strategi
Agricultural-Led Growth
(Poonyth, 2001), Agriculture-Based Development (Bautista, 2001), Agribisnis: Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian di Pedesaan (Saragih, 2001; Syafaat dan Mardianto, 2002), Agricultural Demand Led Industrialization / ADLI (Adelman, 1984), dan strategi The Improved-Income-Distribution-with-Growth (Mellor, 1976 dalam Stevens and Jabara, 1988). Strategi Agricultural-Led Growth (Poonyth et al, 2001), pada prinsipnya menekankan bahwa sektor pertanian adalah merupakan sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi karena sektor pertanian merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu sektor pertanian perlu mendapat perhatian utama dibandingkan sektor lainnya karena potensinya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pembangunan sektor pertanian yang produktif dan pedesaan yang lebih baik merupakan kunci bagi pertumbuhan sektor pertanian dan merupakan prekondisi bagi suksesnya pembangunan ekonomi. Strategi
Agriculture-Based
Development
(Bautista,
2000;
2001),
didasarkan pada pertimbangan bahwa di banyak negara-negara berpendapatan
34 rendah mayoritas penduduknya berada di wilayah pedesaan, dimana sektor pertanian merupakan sumber utama kehidupan. Strategi ini menjadi lebih efektif dibandingkan strategi subtitusi impor maupun strategi export-led industrialization, berdasarkan pertimbangan bahwa memberikan peluang penciptaan pendapatan, secara langsung maupun tidak langsung kepada penduduk di pedesaan. Melalui strategi ini sumberdaya publik ditingkatkan untuk dialokasikan bagi sektor pertanian dan pedesaan dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan penduduk pedesaan. Adapun strategi Agribisnis: Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian di Pedesaan (Saragih, 2001; Syafaat dan Mardianto, 2002), didasari pertimbangan bahwa pengembangan sektor pertanian primer saja tidak cukup memadai untuk menempatkan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka perlu dikembangkan sektor komplemen baik sektor hulu maupun hilirnya di pedesaan. Dengan kata lain pengembangan sektor pertanian harus diletakkan dalam kerangka pengembangan agribisnis di wilayah pedesaan. Strategi Agricultural Demand Led Industrialization / ADLI (Adelman, 1984) lahir sebagai jawaban atas kegagalan strategi Export-Led Industrialization dalam mengatasi masalah mendasar yang dihadapi negara berkembang. Strategi ini merupakan satu dari strategi pembangunan nasional berbasis pada pertanian sebagai sektor primer dan pengembangan industri dengan penekanan kuat pada keterkaitan antara pertanian dan industri serta interaksinya. Strategi ADLI akan menekankan pada peningkatan produktivitas pertanian sebagai sarana untuk mencapai industrialisasi. Strategi ini akan mencapai tujuan industrialisasi melalui
35 pengembangan/perluasan permintaan internal untuk barang barang yang dihasilkan oleh industri domestik. Adapun strategi The Improved-Income-Distribution-with-Growth (Mellor, 1976 dalam Stevens and Jabara, 1988), lebih menekankan pada peningkatan pemerataan pendapatan. Strategi pertumbuhan berorientasi pada tenaga kerja ini didasarkan pengalaman dengan berbagai masalah pembangunan yang terjadi di India dan Afrika Selatan, serta memfokuskan pada pertanian berukuran kecil sampai menengah. Strategi ini mempunyai tiga prioritas utama. Pertama, mengakselerasi pertumbuhan dari sektor pertanian dengan fokus pada: (1) kecukupan kebutuhan akan input pupuk (2) investasi secara masif pada infrastruktur pengendalian air khususnya yang berskala kecil, mengelola dan mengendalikan proyek-proyek dengan baik (3) memperluas kegiatan penelitian (4) memperluas keberadaan penyuluh yang terlatih untuk membantu petani-petani kecil. 2.3. Pola Pengembangan Perkebunan Dalam pengembangan perkebunan di Indonesia, khususnya dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit, pola pengembangan yang telah sangat dikenal adalah pola pemberian Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA), dan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003; Fauzy et al., 2002). Dewasa ini dalam rangka untuk meningkatkan kinerja perkebunan di Indonesia telah dikembangkan sistem pengembangan perkebunan dengan pola Perusahaan Patungan (Joint Venture). Berikut ini akan diuraikan tentang tiga pola pengembangan perkebunan tersebut.
36 2.3.1. Pola Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya Sistem pengembangan perkebunan dengan pola Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) diterapkan mengacu pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 73/Kpts/OT.210/2/98 dan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil No.:01/SKB/M/II/1998. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan oleh Bank kepada Koperasi Primer untuk diteruskan kepada anggota-anggotanya guna membiayai usaha anggota yang produktif. Adapun tujuan dari diterapkannya pola KKPA ini adalah untuk: (1)
meningkatkan
penghasilan
dan
pendapatan
petani
peserta
melalui
pengembangan dibidang usaha perkebunan, (2) meningkatkan usaha KUD melalui hubungan kemitraan, (3) menumbuh kembangkan peran dan fungsi KUD dalam mewujudkan interaksi yang utuh antara usaha anggota dengan KUD dalam upaya meningkatkan produktivitas dan tingkat efisiensi, (4) memberdayakan KUD agar mampu memanfaatkan peluang bisnis di wilayah pengembangan kebun plasma, (5) meningkatkan pembinaan dan pengendalian dalam pembangunan perkebunan, dan (6) meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan modal secara optimal untuk dapat meningkatkan produktivitas dan tingkat efisiensi. Dengan sasaran agar: (1) terwujudnya kesadaran dan kemampuan anggota, dalam melaksanakan pekerjaan yang dilakukan secara kooperatif jauh lebih produktif dan efisien dalam pengembangan usaha perkebunan, (2) terwujudnya hubungan kemitraan antara KUD/petani peserta dengan Perusahaan Inti, dan (3)
37 terwujudnya usaha tani perkebunan rakyat yang efisien dengan produktivitas yang optimal dan mempunyai daya saing tinggi. Berdasarkan tujuan dan sasaran dari SKB tersebut secara eksplisit dinyatakan ada dua pihak yang terlibat dalam upaya pengembangan perkebunan, yakni Koperasi Unit Desa (sebagai wakil petani) dan Perusahaan Inti. Oleh karenanya dalam SKB tersebut diatur pula peran, fungsi dan kegiatan KUD dan Perusahaan Inti. Peran, fungsi dan kegiatan KUD adalah: (1) melakukan kegiatan usaha dalam pengembangan kemampuan petani anggotanya dan wilayah usaha pembangunan perkebunan; (2) meningkatkan produktifitas dan tingkat efisiensi dalam pengelolaan usaha tani dan usaha lainnya; (3) meningkatkan kesadaran anggota agar aktif berkoperasi; (4) melaksanakan kegiatan usaha dengan Perusahaan Inti melalui hubungan kemitraan sesuai dengan tahapan pembangunan kebun plasma meliputi: masa konstruksi, masa penyerahan kebun sampai pelunasan kredit, dan masa pasca kredit lunas; (5) mengupayakan peningkatan kesejahteraan petani peserta dan keluarganya melalui berbagai kegiatan usaha, antara lain: simpan pinjam, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kebutuhan pokok sehari-hari serta jasa lainnya, dan kegiatan pemeliharaan kebun, jalan, penanganan pasca panen, pengangkutan hasil produksi, dan kegiatan lain yang
terkait,
serta
peremajaan
tanaman
dengan
menggunakan
dana
IDAPERTABUN yang disisihkan dari hasil penjualan produksi petani peserta; (6) KUD menyerahkan kebun plasma kepada masing-masing petani peserta dilengkapi dengan fotokopi sertifikat tanah dan dokumen lain yang diperlukan; (7) KUD melakukan pengelolaan kebun plasma yang telah diserahkan oleh Perusahaan Inti secara kelompok; dan (8) KUD menjual hasil produksi kebun
38 plasma kepada Perusahaan Inti yang merupakan mitranya. Selanjutnya sesuai dengan skim KKPA, maka KUD dapat bertindak sebagai pelaksana pemberian kredit (executing agent), atau penyalur kredit (chanelling agent). Perusahaan Inti bertugas: (1) membimbing, memberi bantuan teknis budidaya dan manajemen kepada KUD/petani peserta sesuai dengan tahapan pembangunan kebun plasma sehingga KUD/petani peserta dapat melaksanakan kegiatan usahanya dan bermitra dengan baik, melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan ketentuan yang berlaku, membeli, mengolah dan memasarkan seluruh hasil produksi kebun plasma; (2) memberi peran kepada KUD dalam masa konstruksi, masa penyerahan sampai pelunasan kredit dan masa pasca kredit lunas; (3) membangun kebun inti dan atau fasilitas pengolahan sesuai standar yang ditentukan pemerintah; dan (4) membantu dalam pemotongan angsuran kredit sampai lunas dan IDAPERTABUN pada saat pembayaran harga hasil produksi yang besarnya sesuai kesepakatan antara Perusahaan Inti dan KUD. 2.3.2. Pola Perkebunan Inti Rakyat Sistem pengembangan perkunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) diterapkan mengacu Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.: 60/Kpts/KB.510/2/98 tentang pembinaan dan pendegelasian pengembangan perkebunan pola Perusahaan Inti Rakyat. Pengembangan perkebunan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR-BUN) adalah pengembangan perkebunan yang menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagi plasma yang dibiayai dari berbagai sumber pendanaan dan dilaksanakan dalam suatu sistem kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan.
39 PIR-BUN merupakan satu paket pengembangan wilayah perkebunan yang utuh yang terdiri dari: (1) Komponen Utama, meliputi: pembangunan perkebunan dan atau fasilitas pengolahan sebagai inti, dan pembangunan kebun plasma termasuk sarana dan prasarana jalan; dan (2) komponen penunjang meliputi peningkatan kualitas manajemen kelembagaan. Semua komponen sebagaimana dimaksud harus terjamin keutuhan dan kualitasnya baik pada tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan guna kelangsungan usaha. Tujuan pembinaan dan pengendalian PIR-BUN adalah: (1) meningkatkan pembangunan perkebunan rakyat secara intensif, terarah dan terpadu dalam menambah pendapatan dan kesejahteraan petani, (2) meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan modal secara optimal untuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, (3) meningkatkan kemampuan kelembagaan ekonomi petani plasma dalam wadah koperasi sehingga mampu berperan dalam agribisnis, (4) Mewujudkan kemitraan agribisnis yang kuat antara koperasi/petani plasma dan perusahaan inti perkebunan, dan (5) meningkatkan pelaksanaan pencapaian sasaran pembangunan perkebunan secara efisien. Sama halnya dengan pada pola KKPA, pada pola PIR juga melibatkan koperasi/petani plasma dan perusahaan ini dengan hak dan kewajibannya juga diatur dalam SK Menteri Pertanian ini. Koperasi/petani plasma mempunyai hakhak yang meliputi: (1) memperoleh bimbingan dan pembinaan dari Perusahaan Inti sesuai ketentuan yang berlaku, (2) memperoleh informasi tentang sumber pendanaan oleh Perusahaan Inti, (3) memperoleh kesempatan untuk memiliki sebagian unit pengolahan hasil perusahaan inti sesuai kesepakatan kedua belah pihak, (4) ikut membantu dalam pembangunan kebun, dan (5) memperoleh
40 tanaman yang memenuhi standar teknis. Disamping itu Koperasi/petani plasma mempunyai kewajiban, meliputi: (1) mengikuti secara aktip perkembangan pelaksanaan Kebun Plasma oleh Perusahaan Inti dan mengupayakan penyelesaian terhadap penyimpangan yang terjadi, (2) melaksanakan atau mengkoordinasikan pengangkutan hasil produksi Petani Plasma ke pabrik dan penyediaan sarana produksi (saprodi), (3) mengkoordinasikan pemeliharaan jalan produksi/koleksi dan pemeliharaan tanaman, (4) mendorong petani plasma untuk menabung dan atau ikut asuransi guna menyediakan dana untuk peremajaan antara lain melalui IDAPERTABUN, (5) mengembangkan pengelolaan kebun secara bersama melalui kelompok hamparan, dan (6) mencegah penjualan produksi kepada pihak lain dan mencegah adanya pungutan di luar ketentuan. Sementara itu, Perusahaan Inti mempunyai hak-hak sebagai berikut: (1) menentukan sistem manajemen untuk menjamin kwalitas dan produktivitas kebun, (2) memperoleh daftar petani, lokasi dan luas lahan pemilikan serta menentukan tata ruangnya, dan (3) memperoleh seluruh produksi petani peserta untuk dibeli dan diolah di pabrik milik perusahaan inti. Dan kewajiban Perusahaan Inti meliputi: (1) membangun Kebun Plasma dengan prasarana, kebun inti dan atau pabrik sesuai standar teknis, (2) meningkatkan kemampuan Kelompok Tani dan Koperasi agar dapat melaksanakan manajemen produksi sehingga tercapai peningkatan mutu dan produktivitas, (3) menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan pembangunan kebun kepada Instansi pembina baik investasi maupun fisik, (4) menanggung kerugian akibat kelalaian dalam membangun Kebun Plasma yang tidak sesuai dengan standar teknis, (5) menyerahkan Kebun Plasma kepada Koperasi/kelompok tani tepat pada
41 waktunya dengan mutu sesuai standar teknis, (6) mendorong petani plasma untuk menabung atau ikut asuransi dalam rangka peremajaan tanaman antara lain melalui IDAPERTABUN, dan (7) membeli seluruh produksi Kebun Plasma dengan harga yang layak. 2.3.3. Pola Patungan Pengembangan Perkebunan Direktorat Pengembangan Perkebunan dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian telah menerbitkan pedoman pembangunan agribisnis kelapa sawit 1500 ha pola terpadu. Dengan pertimbangan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang ada di tanah air ini ditujukan untuk sebesar-besarnya masyarakat, maka pengembangan 1500 ha pola terpadu ini harus dapat melibatkan sebesar-besarnya peran serta masyarakat. Untuk itu, pola pengembangan yang dipandang tepat adalah pola patungan. Pola patungan ini pada dasarnya pola pengembangan perkebunan yang sahamnya sebagian dimiliki oleh koperasi dan sebagian dimiliki oleh perusahaan/investor dan atau pemerintah daerah. Dengan demikian, petani berstatus sebagai pemegang saham, anggota koperasi perkebunan dan sekaligus menjadi karyawan atau anggota manajemen perusahaan (http://www.deptan.go.id/ditbangbun/pedoman.htm, diakses tanggal 12 Juni 2005). Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa alternatif yang dapat diterapkan dalam pola patungan tersebut. Alternatif I: Seluruh saham kebun dimiliki oleh koperasi,
pabrik
pengolahan
sahamnya
dimiliki
keseluruhan
oleh
pengusaha/investor, yang kemudian dikelola sebagai perusahaan patungan. Alternatif II: Seluruh saham kebun dimiliki oleh koperasi, pabrik pengolahan sahamnya dimiliki sebagian oleh koperasi dan sebagian oleh pengusaha/investor
42 dan pemerintah daerah, yang kemudian dikelola sebagai perusahaan patungan. Alternatif III: Sebagian saham kebun dimiliki oleh koperasi, sebagian lainnya dimiliki oleh pengusaha/investor dan pemerintah daerah, pabrik pengolahan sahamnya dimiliki sebagian oleh koperasi dan sebagian oleh pengusaha/investor dan pemerintah daerah, yang kemudian dikelola sebagai perusahaan patungan. Alternatif IV: Sebagian saham kebun dimiliki oleh koperasi, sebagian lainnya dimiliki oleh pengusaha/investor dan pemerintah daerah, pabrik pengolahan sahamnya dimiliki sebagian oleh pengusaha/investor dan sebagian oleh pemerintah daerah. Untuk kepemilikan saham kebun bagi anggota koperasi, disarankan nilainya setara dengan luasan kebun sawit 4 ha. Dengan kepemilikan tersebut, petani akan lebih mampu untuk meningkatkan kesejahteraannya secara berkesinambungan. Pemilihan alternatif pola patungan tersebut tentunya sangat tergantung
kepada
daerah
masing-masing,
termasuk
kemampuan
masyarakat/koperasi dalam menyediakan modal sebagai penyertaan saham perusahaan patungan. Perusahaan patungan yang akan dibentuk sangat memerlukan tenagatenaga profesional demi keberlangsungan jalannya perusahaan tersebut. Untuk memperoleh
tenaga
profesional
dari
pemegang
saham
khususnya
petani/masyarakat perlu adanya peningkatan kemampuan SDM dari para petani/masyarakat
pemegang
saham
serta
penguatan
kelembagaan
petani/koperasi. Dalam hal ini Pemerintah Daerah bersama dengan perusahaan mitra investor bertanggung jawab untuk peningkat SDM tersebut.
43 Melalui pengembangan pola patungan ini, maka berbagai manfaat akan diperoleh, baik bagi petani, koperasi, pengusaha, maupun pemerintah daerah, yaitu: (1) petani/anggota koperasi memperoleh 2 sumber pendapatan, yaitu selain dari kebunnya sebagai tenaga kerja juga mendapatkan deviden dari perusahaan patungan; (2) kelangsungan usaha akan lebih terjamin, karena tidak akan lagi terjadi konflik usaha dengan masyarakat; (3) terjaminnya ketersediaan minyak goreng, mentega dan sabun dilokasi dengan harga terjangkau; (4) prasarana jalan di daerah tidak cepat rusak, karena lalu-lalang TBS berkurang dan tonase kendaraan yang lebih ringan; dan (5) ekonomi wilayah akan lebih cepat berkembang dan akan mendorong meningkatnya pendapatan daerah. 2.4. Tinjauan Studi Dayasaing dan Matriks Neraca Kebijakan Dayasaing pada prinsipnya merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi komoditi dengan mutu baik dan biaya produksi yang rendah sehingga pada harga pasar internasional produsen dapat memperoleh keuntungan dan dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan produksinya.
Lindert dan
Kindleberger (1993), menyebutkan bahwa konsep daya saing berpijak pada dari konsep keunggulan komparatif yang pertamakali dikenal dengan model Ricardian, yang dikenal dengan hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) dari Ricardo. G. Habler selanjutnya menyempurnakan teori keunggulan komparatif, yaitu dengan menafsirkan bahwa labour of value hanya dapat digunakan pada barang antara, sehingga menurutnya teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Selanjutnya teori H. Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa: “Komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi
44 (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor”. Rahman, Sudaryanto dan Simatupang (2003) mengemukakan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan komparatif bersifat dinamis. Menurut Schydlowsky (1984) faktor-faktor yang berubah adalah ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi.
Berdasarkan uraian uraian tersebut,
keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif yang menunjukkan potensi keunggulan komoditi tersebut dalam perdagangan di pasar bebas. Sedangkan keunggulan kompetitif masih menurut Rahman, Sudaryanto dan Simatupang (2003) merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada perekonomian aktual. Adapun Porter (1985), Martin et al. (1991) , Tweeten (1992) dan Wild, Wild dan Han (1999) menyatakan bahwa keunggulan daya saing pada prinsipnya merupakan kemampuan suatu negara/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Sementara itu menurut Porter (1990) menyatakan teori keunggulan kompetitif suatu negara terhadap suatu industri tegantung kepada kapasitas dan kemampuan untuk melakukan inovasi dan up grade. Terdapat empat elemen yang dimiliki setiap negara untuk membentuk basis keunggulan kompetitif yaitu
kondisi input (factor conditions), kondisi
45 permintaan (demand conditions),
industri penunjang (related and supporting
industies) dan struktur pasar (firm strategy, structure and rivalry). Dalam konteks PAM, efisiensi merujuk pada kemampuan sistem usaha tani untuk menghasilkan keuntungan pada harga efisien atau harga sosial. Hal ini merefleksikan
bahwa dalam sistem usaha tani tidak terjadi pendistorsian
kebijakan dan kegagalan pasar. Sedangkan tingkat dayasaing (competitiveness) merefleksikan kemampuan dari usaha tani untuk menghasilkan keuntungan pada harga aktual (pasar) atau harga privat pada lokasi usaha tani tersebut berada (Rasmikayati dan Nurasiyah, 2004 ; Pearson et al. , 2005) Oktaviani (1991) melakukan studi untuk menganalisis efisiensi finansial, efisiensi ekonomis dan keunggulan komparatif dari komoditas pangan di Indonesia dengan menggunakan Policy Analysis Matrix.
Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa komoditas pangan di enam propinsi di tahu 1984 dan 1989 memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, Hal ini ditunjukkan dari nilai keuntungan privat dan sosial yang sama-sama positif.
Sedangkan dari sisi
kebijakan pemerintah diketahui bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi. Simanjutak (1992) melakukan studi untuk menganalisis dayasaing dan dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap dayasaing perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Analisis dayasaing dilakukan dengan menggunakan pendekatan Policy Analysis Matrix sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibangun sebuah model berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas. Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara umum pada periode 1985 -1989 PTP masih cukup mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif sebagai penghasil
46 CPO dan Inti. Perusahaan Swasta Asing mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif yang jauh lebih tinggi dibandingkan PTP dalam menghasilkan devisa, sedangkan Swata Nasional masih belum mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Dari sisi produktivitas, beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi biaya produksi adalah produktivitas TBS, CPO dan Inti per hektar, pengaruh kenaikan harga input produksi dan keadaan alokasi input produksi variabel. Matoskova and Izakova (2003) melakukan studi yang bertujuan untuk mendefenisikan sifat kompetitif dari kelompok-kelompok pangan terpilih di Slovakia berdasarkan indikator keunggulan komparatif (DRC dan PCR), dan menangkap dampak kebijakan ekonomi terhadap biaya dan pendapatan dari produk-produk pangan berdasarkan pada efek penyebaran (I, J, K, L) dan koefisien-koefisien proteksi nominal (NPCI dan NPCO) dan proteksi efektif (EPC, PC, dan SRP). Analisis Policy Accounting Matrix (PAM) digunakan untuk menganalisis menghitung indikator keunggulan komparatif dan dampak kebijakan ekonomi terhadap biaya dan pendapatan dari produk-produk pangan. Berdasarkan hasil analisis PAM dapat disimpulkan bahwa: Pertama, milling industry pada tahun 1998 dan 1999 secara ekonomi efektif dan tidak hanya memiliki keunggulan komparatif pada pasar domesik, namun juga memiliki keunggulan komparatif pada pasar internasional. Pada waktu yang bersamaan, pada kedua tahun tersebut keuntungan diperoleh baik berdasarkan harga individu maupun berdasarkan harga sosial. Kedua, beberapa feedstuffs industry memiliki keunggulan komparatif pada pasar internasional dan memiliki nilai keuntungan yang positif berdasarkan harga
47 sosial. Namun demikian, feedstuffs industry pada pasar domestik tidak memiliki keunggulan komparatif dan cenderung merugi. Ketiga, pasta industry tidak memiliki keunggulan komparatif baik pada pasar internasional maupun pada pasar domestik, serta cenderung merugi baik berdasarkan harga individu maupun harga sosial. Keempat, spirits industry memiliki keunggulan kompetitif pada pasar domestik dan memberikan keuntungan berdasarkan harga individu. Namun demikian, industri ini tidak memiliki keunggulan komparatif pada pasar internasional. Kelima, wine industry mempunyai keunggulan kompetitif dan menguntungkan. Namun industri ini sangat tidak kompetitif pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun 1998. Keenam, beer industry efisien secara ekonomi pada tahun 1998 dan 1999. Industri ini memiliki keunggulan komparatif pada pasar domestik maupun pasar internasional, serta memberikan keuntungan baik berdasarkan harga individu maupun berdasarkan harga sosial. Ketujuh, malt industry tidak memiliki keunggulan komparatif dan tidak menguntungkan pada tahun 1998. Pada tahun 1999 juga masih kurang kompetitif pada pasar internasional, namun pada pasar domestik berada pada posisi kompetitif. Untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif upaya untuk menekan biaya produksi perlu dilakukan oleh berbagai produsen industri pangan. Studi lainnya yang menggunakan analisis yang sama dilakukan oleh Hai and Heidhues (2004). Studi ini dilakukan berdasarkan pengamatan atas fenomena bahwa percepatan perubahan lingkungan ekonomi global dan reformasi ekonomi domesik di Vietnam telah mengedepankan isu-isu keunggulan komparatif dari sektor perberasan. Pada tahun-tahun belakangan ini, Vietnam telah berupaya untuk meningkatkan kompetitif pasar ekspor berasnya. Studi ini bertujuan untuk
48 menguji fluktuasi keunggulan komparatif produksi beras Vietnam berdasarkan sejumlah skenario dari liberalisasi perdagangan dan reformasi ekonomi di Vietnam. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, Policy Analysis Matrix (PAM) digunakan dan dilengkapi dengan model ekonometrika. Studi ini memasukkan sejumlah skenario simulasi dari liberalisasi perdagangan dan reformasi ekonomi, menggunakan beragam faktor tunggal dan kelompok faktor seperti harga produk dan biaya-biaya input, seperti harga impor pupuk, lahan, biaya air, tenaga kerja dan sebagainya. Hasil empiris menggambarkan bahwa pada tahun 1998 (skenario dasar), keunggulan komparatif beras relatif tinggi dan menggunakan sumberdaya domestik seperti lahan, tenaga kerja dan air, yang efisien secara ekonomi. Elastisitas dugaan DRC terhadap harga beras dunia dan nilai tukar bayangan (shadow exchange rate) pada tahun 1998 memperlihatkan kondisi keunggulan komparatif. Elastisitas dugaan DRC terhadap sewa lahan, biaya sosial tenaga kerja, harga impor pupuk, dan biaya air irigasi mengindikasikan nilai absolut yang kecil dan berdampak negatif terhadap keunggulan komparatif dengan kenaikan harga. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa keunggulan komparatif beras sangat sensitif terhadap perubahan harga ekspor. Dapat ditambahkan bahwa nilai tukar dan sewa lahan juga penting dalam mempengaruhi keunggulan komparatif sektor perberasan di Vietnam. Hasil empiris lainnya memperlihatkan bahwa Vietnam masih mampu meningkatkan keunggulan komparatif produksi beras pada dekade mendatang, namun demikian keunggulan komparatif secara serius berdampak atau mengancam kondisi perekonomian secara simultan.
49 Selanjutnya
Winter
and
Nelson
(1991)
melakukan
studi
yang
menggunakan analisis PAM dengan tujuan untuk menganalisis kelayakan usaha dari komoditas Tembakau di Zimbabwe, dan menganalisis kelayakan usaha tersebut pada berbagai regim yang berbeda, dengan harapan petani dapat memutuskan untuk menanam komoditas campuran dan mengarahkan petani di wilayah Afrika ini agar dapat menanamkan modalnya secara tepat. Hasil studi ini menyebutkan bahwa kelayakan usaha dalam memproduksi tembakau mendorong petani untuk meningkatkan produksinya pada masa mendatang. Kelayakan sosial mengandung pengertian bahwa komoditas ini disamping akan meningkatkan pendapatan petani juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional Zimbabwe. Hasil simulasi menyimpulkan bahwa pada kondisi hasil dan kualitas yang relatif rendah, dan efek disinsentif dari nilai tukar yang terlalu tinggi (overvalued exchange rate), diperlukan skema kredit agar petani tertarik untuk mengusahakan komoditas tembakau. Ketika dilakukan devaluasi nilai tukar sebesar 20% akan membuat program kredit tidak lagi diperlukan karena komoditas tembakau akan menjadi sangat menguntungkan tanpa adanya program kredit. Studi dengan menggunakan pendekatan policy analysis matrix (PAM) yang dimodifikasi dilakukan oleh Mohanty and Chaudhary (2002) untuk menganalisis efisiensi produksi benang sebagai salah satu dari lima komoditas utama di India. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa produksi benang di India tidak efisien, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah secara langung membuat harga benang menjadi murah dan sektor tekstil menjadi tidak efisien.
50 Aji (2003) di Fakultas Pertanian Universitas Jember melakukan penelitian menggunakan PAM untuk menganalisis efisiensi dan daya saing sistem usaha tani kedelai di Jember. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa sistem usaha tani kedelai baik untuk varietas umum maupun varietas yang baru kedua duanya ditemukan efisien dan kompetitif. Tingkat dayasaing dan efisiensi dari varietas baru dijumpai lebih besar dibandingkan dengan varietas biasa. Private benefit cost ratio (PBCR) dari sistem usaha tani dengan menggunakan varietas baru lebih tinggi 13 persen dari
PBCR sistem usaha tani dengan varietas yang biasa.
Disamping itu nilai PCR dari sistem usaha tani varitas biasa yang lebih tinggi (0.33) dibandingkan dengan nilai PCR pada sistem usahatani varietas baru (0.27) juga mengindikasikan bahwa sistem usahatani varietas baru lebih kompetitif dibadingkan dengan sistem usahatani varietas biasa. Rasmikayati dan Nurasiyah (2004) menggunakan PAM untuk meneliti kelayakan ekonomi dari investasi yang dilakukan untuk pembangunan pembenihan kentang. Penelitian ini juga mengakses efisiensi relatif dari sistem usaha tani pembenihan kentang masing masing untuk yang benih tersertifikasi, domestik dan benih asal impor. Penelitian juga menganalisis tingkat dayasaing sistem usahatani kentang yang menggunakan benih kentang berasal dari benih tersertifikasi, domestik dan benih impor.
Hasil penelitian menunjukkan ke tiga
sistem usaha tani sama sama memberikan keuntungan yang tinggi baik untuk harga privat maupun harga sosial. Walaupun demikian tampak bahwa sistem usaha tani yang berasal dari benih tersertifikasi mempunyai keuntungan yang secara signifikan lebih baik dibanding dengan sistem usaha tani dengan benih baik yang berasal dari domestik ataupun impor.
51 Perdana (2003) menggunakan analisis PAM untuk menganilisis tingkat daya saing dan efisiensi usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Dari hasil analisis PAM usaha penggemukan sapi ditemukan amat menguntungkan, baik pada tingkat harga privat maupun harga sosial. Usaha penggemukan, baik bibit lokal maupun bibit impor memberikan keuntungan yang baik serta insetif positif bagi produsen yang mencerminkan penggunaan sumberdaya yang efisien. Usaha penggemukan sapai dengan bibit lokal, dengan pakan rumput dan jerami merupakan aktivitas yang paling menguntungkan. Saptana, Friyatno dan Bastuti (2004) menganalisis dayasaing komoditi tembakau rakyat di Klaten Jawa Tengah dengan menggunakan analis PAM. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa tembakau skalau usaha kecil di Klaten mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, masing diindikasikan dari nilai DRC antara 0.42 – 0.65 dan nilai PCR = 0.55 – 0.67. Walaupun demikian pasar tembakau khususnya untuk ekspor mengalami distorsi yang sangat tinggi, dengan adanya bea cukai yang mencapai 30 – 40 persen. Sehingga untuk Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dari segi ekonomi maupun privat akan lebih menguntungkan meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan dengan impor. Romdhon dan Siregar (2004) menggunakan PAM untuk menelaah dayasaing industri kecil gula kelapa di Kabupaten Banyumas. Dalam penelaahan kebijakan yang direkomendasikan, penelitian ini menambahkan analisis opsi kelembagaan dengan menggunakan fungsi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas gula kelapa di Kabupaten Banyumas mempunyai dayasaing yang relatif tinggi. Pengusahaan komoditas tersebut memberikan
52 keuntungan secara privat maupun secara sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan sosial lebih besar dibandingkan dengan keuntungan privat. Distorsi ini terutama disebabkan oleh kegagalan pasar, dan berkenaan dengan kontrak tradisional yang umumnya mengikat produsen gula kelapa (penderes). Dari analisis fungsi logistik diketahui bahwa pendapatan rumah tangga penderes, karakteristik komoditas yang diusahakan, dan karakteristik kelembagaan merupakan faktor-faktor penentu opsi kelembagaan pemasaran yang dipilih penderes. 2.5. Tinjauan Studi Peranan Sektoral dalam Perekonomian Pada umumnya studi tentang peranan pembangunan ekonomi dilakukan dengan pendekatan sektoral. Studi dengan fokus utama pada sektor pertanian dilakukan oleh Arndt et al. (1998), Arndt et al. (2000) dan Nokkala (2002). Studi Arndt et al. (1998) menggunakan data SAM Mozambique 1995 yang dinamakan MOZAM. Studi ini dibuat untuk memberikan pemahaman tentang kompleksitas perekonomian Mozambique (termasuk keterkaitan antar sektor) dengan fokus utama pada peranan sektor pertanian. Data MOZAM terdiri dari 40 aktivitas produksi, 40 komoditas dan 3 faktor produksi: pertanian dan non pertanian, tenaga kerja, dan kapital. Rumahtangga dibedakan menjadi 2 tipe (rumahtangga perkotaan dan perdesaan), begitu juga dengan government expenditure (pengeluaran pemerintah) dibedakan menjadi dua bagian, yaitu recurrent expenditure (pengeluaran rutin) dan government invesment (investasi pemerintah). Pembagian pengeluaran pemerintah ini dimaksudkan untuk menangkap peran aliran dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rekonstruksi. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan untuk memfasilitasi pengamatan terhadap
53 pengeluaran rutin relatif terhadap tax revenue (pajak penghasilan). Analisis yang dilakukan meliputi analisis multiplier SAM digunakan untuk mengukur dampak kumulatif baik secara langsung maupun tidak langsung dari suatu shock. Setelah itu SPA digunakan untuk mendekomposisi nilai multiplier yang dihasilkan menjadi pilahan-pilahan. Hasil studi Arndt et al. (1998) ini menyimpulkan bahwa: Pertama, pengembangan pertanian sangatlah bersesuaian dalam membangun keseluruhan kegiatan produksi, nilai tambah dan pendapatan rumahtangga. Kedua, pengembangan pertanian dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan antara perkotaan dan perdesaan. Ketiga, strategi pertumbuhan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan harus memfokuskan diri pada sektor pertanian, hal ini diperlihatkan oleh dampak multiplier yang besar pada saat peubah-peubah ini melalui aliran perekonomian rural people (masyarakat perdesaan). Arndt et al. (2000) juga melakukan studi yang menyajikan pengukuran kuantitatif keuntungan potensial karena peningkatan produktivitas sektor pertanian dan membangun jaringan pemasaran yang lebih baik. Analisis yang dilakukan didasarkan pada analisis computable general equilibrium (CGE) model untuk menangkap keunggulan struktural yang penting dari perekonomian Mozambique. Model ini secara eksplisit mengikursertakan pemilahan biaya pemasaran untuk kegiatan ekspor, impor dan juga penjualan domestik. Pertanian diagregasi ke dalam 8 subsektor. Permintaan rumahtangga dibedakan menjadi permintaan atas barang-barang yang dipasarkan dan barang-barang konsumsi produk rumahtangga dengan penilaian harga didasarkan pada biaya produksi (bukan harga pasar).
54 Hasil dari studi ini Arndt et al. (2000) mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas pertanian adalah hal yang sangat penting untuk perekonomian Mozambique, karena akan memberikan keuntungan potensial yang cukup besar bagi perekonomian. Namun, peningkatan output pertanian ini berada dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu terdapatnya biaya pemasaran yang cukup tinggi di sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan jatuhnya harga cukup signifikan. Penurunan ini akan mentransmisikan keuntungan dari faktor pendapatan ke sektor pertanian dan faktor produksi. Namun, kondisi ini ternyata membawa keuntungan bagi rumahtangga perdesaan karena tersedianya pangan yang lebih banyak dan rendahnya harga produsen yang akan menurunkan biaya konsumsi rumahtangga. Nokkala (2002) melakukan studi dengan tujuan untuk menelaah implementasi program investasi sektor pertanian di Zambia dengan menggunakan kerangka SAM 1995. Ada empat alternatif pola pengeluaran dana investasi sektor pertanian yang dipresentasikan sebagai suatu skenario kebijakan, yaitu skenario: (1) implementasi aktual, (2) implementasi optimal, (3) pengeluaran investasi sepenuhnya pada pertanian non komersial, dan (4) setengah dari pengeluaran investasi pada pertanian komersial dan setengahnya lagi pada pertanian non komersial. Kerangka SAM yang dibangun terdiri dari tiga neraca endogen dan tiga neraca eksogen. Tiga neraca endogen tersebut adalah neraca produksi, faktor produksi dan institusi, sedangkan neraca eksogen terdiri dari neraca pemerintah, kapital dan rest of the world (ROW). Di samping itu studi ini mendekomposisi matriks multiplier ke dalam empat komponen, yaitu: (1) initial injection (injeksi awal), (2) kontribusi bersih dari transfer efek multiplier sebagai hasil dari transfer
55 langsung neraca endogen, (3) kontribusi bersih dari open-loop effect yang menyerap interaksi antara tiga neraca endogen, dan (4) kontribusi bersih dari sirkulasi closed-loop effect yang menjamin bahwa arus pendapatan antara neraca endogen saling berhubungan. Hasil analisis empat skenario kebijakan investasi oleh Nokkala (2002) menyatakan bahwa shocks pengeluaran aktual (skenario 1) Agricultural Sector Investment Program (ASIP) mendorong produksi pertanian komersial tumbuh lebih besar daripada pertanian non komersial. Dari aspek pendapatan, program ASIP meningkatkan pendapatan rumahtangga perdesaan tidak berkeahlian lebih besar daripada rumahtangga perkotaan tidak berkeahlian dan berkeahlian. Hal ini mendukung pandangan bahwa investasi di sektor pertanian menguntungkan penduduk perdesaan, dalam kasus ini kelompok berpendapatan rendah. Hasil analisis skenario 2, 3 dan 4 memperlihatkan hal yang senada dengan skenario 1, namun dengan komposisi besaran yang berbeda. Studi-studi yang secara tegas menganalisis keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri juga dilakukan oleh Vogel (1991), Suwandee (1996), Bautista et al. (1999), dan Bautista (2000). Studi yang dilakukan Vogel (1991), Bautista et al. (1999) dan Bautista (2000) menggunakan pendekatan SAM dalam analisisnya, sedangkan Suwandee (1996) menggunakan pendekatan ekonometrika (analisis cointegration dan error correction). Bautista (2000) melakukan studi tentang pembangunan industri berbasis pertanian dengan membangun sebuah model SAM untuk wilayah Viet Nam Pusat, yang terdiri dari 25 sektor produksi, 5 faktor produksi, 4 kelompok pendapatan rumahtangga, 2 perusahaan dan masing-masing satu item dalam neraca
56 pemerintahan, kapital dan rest of the world (ROW). Dari
hasil
analisis
dapat
disimpulkan bahwa: Pertama, nilai multiplier output sektor pertanian secara keseluruhan selalu lebih besar dibandingkan dengan nilai multiplier sektor pertambangan dan industri pengolahan. Kedua, distribusi pendapatan pada sektor pertanian dan industri menunjukkan perkembangan positif. Ketiga, nilai multiplier pendapatan sektor pertanian secara keseluruhan dan dua sektor industri yang mengolah komoditi pertanian, selalu lebih tinggi pada kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan yang berpendapatan tinggi, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Keempat, ada hubungan timbal balik antara pertumbuhan pendapatan rumahtangga pertanian dengan rumahtangga industri. Mekanisme keterkaitan ini pada akhirnya akan membentuk suatu kekuatan sosial ekonomi yang kuat guna memperbaiki tingkat produktivitas sektor-sektor tersebut di wilayah pusat perekonomian. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa strategi agricultural demand-led industry (ADLI, industri berbasis permintaan sektor pertanian) sangat relevan diterapkan di wilayah Viet Nam Pusat karena kenaikan sumberdaya publik bisa dialokasikan kepada sektor pertanian dan perdesaan sehingga meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan rumahtangga di perdesaan, selanjutnya akan menciptakan kekuatan permintaan terhadap barangbarang produksi non pertanian dalam pasar lokal. Studi tentang pembangunan industri berbasis pertanian juga dilakukan oleh Vogel (1991). Studi ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan strategi ADLI dengan membangun kerangka SAM 27 sektor. Pengukuran matriks multiplier SAM dengan mentransformasikan data ini dengan tiga tahap. Pertama, neraca
57 luar negeri dimasukkan dalam blok endogen dalam rangka untuk mengeksplorasi open-economy linkages. Kedua, mereduksi SAM ke suatu disagregasi umum untuk menghilangkan urban bias dari matriks multiplier, dengan memodifikasi metode agar aliran pendapatan sektor pertanian ke rumahtangga perdesaan dapat dipertahankan. Ketiga, path analysis memperhitungkan dekomposisi institusi dari multiplier SAM. Ukuran agregasi kuantitatif dari expenditure paths dengan mendekomposisi multiplier SAM ke dalam empat kontribusi: input-output, pengeluaran rumahtangga perdesaan dan perkotaan, dan efek perdagangan luar negeri. Regresi cross-section dilakukan terhadap 10 multiplier pertanian dan dekomposisinya untuk menggambarkan perubahan struktural sektor pertanian dan industri. Hasil analisis yang dilakukan Vogel (1991) menyimpulkan bahwa: Pertama, sektor pertanian memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat dan keterkaitan ke depan yang lemah dalam memenuhi kualifikasi pertanian sebagai leading sector dalam strategi industrialisasi Hirschman. Dekomposisi multiplier produksi ini menyoroti kontribusi penting dari permintaan rumahtangga pertanian, membuat ADLI sebagai suatu alternatif kebijakan yang menarik. Kedua, multiplier pendapatan sektor pertanian rumahtangga perdesaan lebih mendominasi daripada rumahtangga perkotaan pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, sebaliknya untuk negara-negara berpendapatan tinggi. Dekomposisi multiplier pendapatan rumahtangga perkotaan memberikan imbas terhadap konsumen rumahtangga perdesaan dan permintaan input antara sektor pertanian. Ketiga, multiplier pengeluaran rumahtangga pada sektor pertanian dan dekomposisinya menggambarkan efek Engel dan efek substitusi dari produksi
58 pertanian terhadap permintaan akhir untuk penggunaan input antara. Multiplier pengeluaran rumahtangga perdesaan pada sektor non pertanian ditemukan menjadi kunci keterkaitan sektor pertanian terhadap sektor industri. Keempat, path dari perubahan struktural multiplier impor sektor pertanian memperlihatkan suatu hambatan struktural dalam mengimplementasi strategi ADLI untuk negaranegara berpendapatan rendah. Studi tentang strategi pembangunan industri yang lebih kompleks dilakukan Bautista et al. (1999), yang mengukur pengaruh dari tiga alternatif pembangunan industri terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri yang dimaksudkan adalah agricultural demand-led industry (ADLI, industri berbasis permintaan sektor pertanian) food processing-based industry (FPB, industri berbasis pengolahan pangan), dan light manufacturing-based industry (LMB, industri berbasis manufaktur ringan). Analisis menggunakan data SAM Indonesia tahun 1995 ini lebih difokuskan dari sisi permintaan. Model SAM yang dibentuk terdiri dari 17 sektor produksi, 6 faktor produksi, 7 kelompok pendapatan rumahtangga, 3 neraca pemerintahan dan 1 neraca masing-masing untuk perusahaan, modal serta rest of the world (ROW). Analisis yang dilakukan meliputi: Pertama, analisis multiplier yang menghitung pengaruh multiplier langsung dan tidak langsung akibat adanya injeksi dari penerimaan eksogen terhadap sektor-sektor yang mendorong strategi pembangunan ketiga alternatif industri tersebut. Dalam hal ini, multiplier pendapatan yang diperoleh akan menunjukkan dampak keterkaitan ekonomi pada sektor-sektor produksi, dengan asumsi bahwa tidak ada kendala dalam penawaran.
59 Multiplier pendapatan yang dihitung juga selalu dihubungkan dengan kelompokkelompok rumahtangga yang berbeda, dengan maksud untuk menggambarkan adanya hubungan antara pertumbuhan dan pemerataan. Kedua, mengukur tingkat pemerataan pendapatan dengan membandingkan perubahan pendapatan pada berbagai kelompok rumahtangga menurut strategi ADLI, FPB dan LMB, dengan pusat perhatian pada kelompok farm worker (tenaga kerja pertanian), small farm (usahatani kecil), nonfarm low-income (rumahtangga pertanian berpendapatan rendah), dan urban low-income (rumahtangga perkotaan berpendapaan rendah). Dari analisis yang dilakukan Bautista et al. (1999) dapat disimpulkan bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada komoditas pertanian lebih tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan riil GDP Indonesia dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan makanan dan industri ringan. Dari aspek distribusi pendapatan, pengaruh kenaikan
GDP
lebih
besar
terhadap
perubahan
pendapatan
kelompok
rumahtangga yang berpendapatan rendah, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian. Suwandee (1996) melakukan studi dengan tujuan untuk menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara pertumbuhan sektor pertanian dan industri. Perhatian studi ini adalah untuk memperoleh bukti bahwa kemajuan sektor pertanian dan pertumbuhan industri memberikan kontribusi satu sama lain dalam proses pembangunan. Studi ini menggunakan data Jepang, Korea Selatan dan Taiwan yang cenderung memberlakukan derajat proteksi yang tinggi terhadap sektor pertanian, di sisi lain digunakan data Indonesia, Malaysia dan Thailand yang cenderung tidak berpihak terhadap sektor pertanian.
60 Suwandee (1996) melakukan analisis dalam dua dua tahap. Tahap pertama, menyelidiki keberadaan hubungan jangka panjang antara output pertanian dan industri menggunakan analisis cointegration. Tahap kedua, menyelidiki hubungan jangka pendek antara pertumbuhan output pertanian dan industri dengan menggunakan metode error correction. Hasil analisis cointegration dari model bivariate menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara output pertanian dan industri pada kasus Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan dan Thailand, sedangkan pada kasus Indonesia tidak ada hubungan. Dari analisis dengan metode error correction ditemukan bahwa ada hubungan bi-directional (dua arah) antara sektor pertanian dan pertumbuhan industri pada semua negara, kecuali pada kasus Malaysia. Studi tentang pembangunan ekonomi lainnya dilakukan oleh Kahn dan Thorbecke (1989) serta Sinha et al. (1999). Kahn dan Thorbecke (1989) melakukan studi dengan tujuan untuk menganalisis efek makroekonomi dari pemilihan teknologi terhadap output, tenaga kerja dan distribusi pendapatan. Efek makroekonomi, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pemilihan teknologi ini dianalisis dengan menggunakan kerangka SAM Indonesia yang terdiri dari 78 neraca. Dalam studi ini pilihan teknologi pada tingkat sektoral disajikan dengan melakukan agregasi beberapa sektor (diambil sebanyak 12 sektor yang dianggap mewakili kriteria teknologi yang didasarkan pada asumsi peneliti) secara dualistik – pilihan teknologi yang digunakan terdiri dari dua teknik, yaitu tradisional dan modern. Dengan menggolongkan ke-12 sektor tersebut ke dalam 6 sektor tertentu, dampak dari adanya substitusi secara menyeluruh dari teknologi tradisional ke dalam teknologi modern, teramati
61 dengan menggunakan agregasi SAM. Dalam studi ini peneliti menggunakan alat analisis fixed price multiplier (multiplier harga tetap) yang membantu memperlihatkan dampak awal dari pemilihan teknik teknologi yang digunakan. Dari analisis yang dilakukan Kahn dan Thorbecke (1989) dapat disimpulkan bahwa: Pertama, pola distribusi pendapatan dan tenaga kerja sangat sensitif
terhadap
pengadopsian
teknik
baru.
Kedua,
teknik
tradisional
menghasilkan efek output, tenaga kerja dan pendapatan yang lebih besar dibandingkan teknik modern. Namun jika pilihan ditujukan pada penggunakan teknologi modern maka rumahtangga perkotaan akan lebih menikmati dampaknya, meskipun secara umum teknologi dengan teknik modern akan memberikan pendapatan yang lebih besar bagi perusahaan sebagai institusi lain di dalam kerangka SAM dibandingkan dengan yang diberikan oleh teknologi dengan teknik tradisional. Sinha et al. (1999) melakukan studi dengan menggunakan model SAM mencoba membangun suatu kerangka makroekonomi sektor formal dan informal dalam kerangka perekonomian India, dengan fokus analisis adalah sektor formal dan informal pada faktor produksi dan rumahtangga. Model SAM yang dibangun terdiri atas 24 sektor produksi dan nilai tambahnya, masing-masing dipisahkan menjadi sektor formal dan informal. Faktor produksi dari 24 sektor tersebut kemudian dibedakan atas empat kelompok, yaitu informal labor, formal labor, informal capital dan formal capital. Keempat faktor produksi tersebut dianalisis menurut wilayah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan). Lebih lanjut, analisis terhadap rumahtangga di perkotaan dan perdesaan, dipisahkan tipe-tipe rumahtangga sebagai berikut: (1) untuk sektor formal terdiri atas: rural poor,
62 rural middle, rural rich, urban poor, urban middle dan urban rich; (2) untuk kelompok sektor informal terdiri atas: rural poor-agriculture, rural middleagriculture, rural rich-agriculture, urban poor, urban middle dan urban rich. Dari hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa simulasi kenaikan ekspor tekstil pada sektor formal dan informal sebesar 20 persen merupakan skenario yang paling baik, karena dapat meningkatkan pendapatan faktor produksi dan rumahtangga yang paling tinggi, baik pada sektor formal maupun informal. Nilai rata-rata yang dihasilkan menunjukkan bahwa faktor produksi pada sektor formal tampaknya lebih banyak merasakan dampak dari naiknya ekspor tekstil tersebut. Sedangkan dari aspek distribusi pendapatan dapat diungkapkan bahwa pendapatan rumahtangga di sektor informal meningkat lebih besar dibandingkan sektor formal. Antara (1999), dengan menggunakan pendekatan SAM melakukan analisis dampak pengeluaran pemerintah dan wisatawan terhadap kinerja perekonomian Bali. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa produksi tanaman pangan menimbulkan efek pengganda, dimana peningkatan produksi padi berperan besar dalam meningkatkan permintaan produk prosuk industri alat angkutan. Peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ekonomi sebesar 15 persen berdampak menumbuhkan perekonomian Bali sebesar 0.05 persen, pendapatan rumah tangga
0.05 persen, sektor produksi 0.09 persen dan
khususnya sektor produksi pertanian 0.10 persen. Berbeda dengan studi studi sebelumnya yang pada umumnya secara terpisah menggunakan alat analisis ekonomi mikro atau ekonomi regional dalam memberikan telaahan terhadap suatu kebijakan pembangunan pertanian,
63 penelitian ini menggunakan ke duanya secara bersama-sama. Kajian aspek ekonomi mikro bertujuan pertama untuk untuk melihat kondisi dayasaing dan efisiensi perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perkebunan kelapa sawit perusahaan inti. Ke dua, menganalisis besarnya dampak kebijakan pemerintah (penetapan upah, suku bunga, dan berbagai kebijakan output) dan perubahan berbagai faktor eksternal (perubahan harga ouput, harga input, nilai tukar dan perubahan-perubahan lainnya) terhadap dayasaing dan efisiensi perkebunan kelapa sawit perusahaan inti dan perkebunan kelapa sawit petani plasma di Kabupaten Siak. Dari kajian aspek ekonomi regional perkebunan kelapa sawit perkebunan kelapa sawit dapat diketahui bagaimana struktur perekonomian Kabupaten Siak dan peranan perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian regional Kabupaten Siak. Penelitian ini menganalisis dampak dari pengembangan perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian regional Kabupaten Siak baik dari sisi peningkatan output bruto, peningkatan nilai tambah, keterkaitan antar sektor dan pemerataan pendapatan. Dari hasil penelitian ini juga dapat diketahui apakah pegembangan kelapa sawit di Kabupaten Siak dapat mendorong tercapainya tripple track strategy yang diusung pemerintah pusat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus tercapainya pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran.