3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2.1.1. Keselamatan Kerja Dalam pemahaman yang umum, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), adalah segala upaya untuk mengendalikan resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Sasaran utama dari K3 ditujukan terhadap pekerja, dengan melakukan segala daya upaya berupa pencegahan, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan tenaga kerja, agar terhindar dari resiko buruk di dalam melakukan pekerjaan. Dengan memberikan perlindungan K3 dalam melakukan pekerjaannya, diharapkan pekerja dapat bekerja dengan aman, sehat dan produktif. Secara filosofis, K3 merupakan upaya dan pemikiran guna menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani ataupun rohaniah manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya serta hasil karya dan budaya manusia. Upaya perlindungan itu sejalan dengan hak asasi manusia yang dijamin pula dalam UUD 1945, setiap orang berhak atas perlindungan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian K3 merupakan hak dasar setiap orang untuk memperoleh hak yang sama untuk hidup dan mendapat perlindungan atas keselamatan dan kesehatannya. Secara keilmuan K3, didefinisikan sebagai ilmu dan penerapan teknologi tentang pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dari aspek hukum K3 merupakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Melalui peraturan yang jelas dan sanksi yang tegas, perlindungan K3 dapat ditegakkan, untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang K3. Bahkan di tingkat internasional pun telah disepakati adanya konvensi-konvensi yang mengatur tentang K3 secara universal sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang dikeluarkan oleh organisasi dunia seperti ILO, WHO, maupun tingkat regional. Ditinjau dari aspek ekonomis, dengan menerapkan K3, maka tingkat kecelakaan akan menurun, sehingga kompensasi terhadap kecelakaan juga
4
menurun, dan biaya tenaga kerja dapat berkurang. Sejalan dengan itu, K3 yang efektif akan dapat meningkatkan produktivitas kerja sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Hal ini pada gilirannya kemudian dapat mendorong semua tempat kerja/industri maupun tempat-tempat umum merasakan perlunya dan memiliki budaya K3 untuk diterapkan disetiap tempat dan waktu, sehingga K3 menjadi salah satu budaya industrial. Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan terhadap tenaga kerja dari resiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada waktu melakukan pekerjaan di tempat kerja. Disamping itu, perlindungan K3 tersebut juga ditujukan untuk mengamankan aset perusahaan yang berupa peralatan, mesin, pesawat, instalasi, dan bahan produksi dari kemungkinan kerusakan dan kerugian akibat bahaya peledakan, kebakaran atau terganggunya proses produksi. Oleh karena itu dengan dilaksanakannya perlindungan K3, diharapkan akan tercipta tempat kerja yang aman, nyaman, sehat dan tenaga kerja yang produktif, sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan. Dengan demikian K3 sangat besar peranannya dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah korban manusia dan segala kerugian akibat kecelakaan. Keselamatan dan kesehatan kerja sangat penting untuk mewujudkan kualitas hidup dan kemajuan masyarakat sesuai dengan tujuan hidup setiap insan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup jasmaniah dan rohaniah. Keselamatan dan kesehatan kerja yang berjalan baik dapat mendorong dan memacu peningkatan produksi dan produktivitas, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing. Dengan demikian untuk mewujudkan K3 di perusahaan perlu dilaksanakan dengan perencanaan dan pertimbangan yang tepat, dan salah satu kunci keberhasilannya terletak pada peran serta pekerja sendiri baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat perlindungan dimaksud. Kecelakaan kerja merupakan kejadian atau peristiwa yang tidak diharapkan atau diduga sama sekali yang terjadi di tempat kerja. Secara umum dapat dikualifikasi bahwa kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (unsafe act) sebesar 78 %, yang disebabkan kondisi berbahaya dari peralatan (unsafe condition) sebesar 20 %, dan faktor lainnya sebesar 2 %.
5
Perilaku manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Pada hal, kecelakaan kerja yang terjadi dapat mengakibatkan korban jiwa, cacat, kerusakan peralatan, menurunnya mutu dan hasil produk, terhentinya proses produksi, kerusakan lingkungan, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak. Dalam skala besar, akibat kecelakaan kerja yang banyak terjadi dan besarnya jumlah kerugian yang diderita perusahaan, secara kumulatif akan pula merugikan perekonomian sosial. Hal ini menunjukkan bahwa masalah K3 adalah masalah yang strategis, yang tidak lepas dari kegiatan dalam suatu industri secara keseluruhan, sehingga pola yang harus dikembangkan di dalam penanganan K3 dan pengendalaian potensi bahaya memerlukan pendekatan kesisteman antara lain dilakukan dengan menerapkan sistem manajemen K3 (SMK3). Untuk mengetahui efektivitas penerapan SMK3 dan mengukur kinerja pelaksanaan SMK3, serta untuk membuat perbaikan-perbaikan, dalam pelaksanaanya, dilakukan dengan penilaian hasil kegiatan, atau audit. Melalui audit SMK3 akan dapat diketahui sampai sejauh mana program K3 telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan K3 yang telah ditetapkan di dalam suatu perusahaan. Dalam pelaksanaannya audit dilakukan oleh auditor, sebagai Profesional Judgement. Untuk memelihara kompetensinya dan melakukan penyamanan persepsi tentang penilaian obyek yang diaudit, auditor menggunakan suatu standar atau melakukan pengukuran melalui suatu proses sertifikasi terhadap kompetensinya. (Syamsuddin, 2004) Miner dalam Ilham (2002) mengemukakan dua aspek yang disebut dengan Safety Psychology dan Industrial Clinical Psychology, yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan dan keselamatan kerja. Safety Psychology memfokuskan pada usaha untuk mencegah kecelakaan terjadi, dengan meneliti kenapa dan bagaimana kecelakaan itu muncul, sedangkan Industrial Clinical Psychology memfokuskan pada karyawan-karyawan yang tingkat kerjanya menurun, hal-hal yang menyebabkannya serta apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Persamaan dari Safety Psychology dan Industrial Clinical Psychology adalah sama-sama meneliti untuk pencegahan dan mengatasi masalah-masalah
6
tertentu yang berkaitan dengan keselamatan kerja dan dan motivasi kerja karyawan. Safety Psychology terdiri dari enam faktor, yaitu Laporan dan Statistik Kecelakaan, Pelatihan Keselamatan, Publikasi dan Kontes Keselamatan Kerja, Kontrol terhadap Lingkungan Kerja, Inspeksi dan Disiplin, Peningkatan Kesadaaran K3. Industrial Clinical Psychology terdiri atas dua faktor, yaitu Konseling dan Employee Assistance Program.
2.1.2. Kesehatan Kerja Sebenarnya membicarakan keselamatan kerja, di dalamnya telah terkandung pemahaman mengenai perlindungan kesehatan kerja. Undang-Undang Keselamatan Kerja, dari judulnya sendiri tidak membedakan antara pengertian keselamatan dan kesehatan kerja. Di dalam pengertian keselamatan kerja, didalamnya telah melekat pemahaman mengenai kesehatan kerja sebagai bagian yang sama pentingnya satu dengan lainnya. Namun sejalan dengan kebutuhan masyarakat, ilmu pengetahuan kemudian mengembangkan kesehatan kerja menjadi cabang ilmu tersendiri sebagai bagian dari keselamatan kerja. Konsepsi mengenai kesehatan kerja yang telah berkembang sebagai kebutuhan masyarakat
yang
berdiri sendiri.
Menurut Joint ILO/WHO committee dalam Syamsuddin (2004) kesehatan kerja didefinisikan sebagai upaya pemeliharaan derajat yang setinggi-tingginya keadaan fisik, mental dan sosial pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan gangguan kesehatan yang disebabkan kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dari faktor-faktor yang mengganggu kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisiologis dan psikologis, dan penyesuaian pekerjaan terhadap manusia dan manusia terhadap pekerjaannya. Kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan pula ILO Convension of Occupational Health Services, Konvensi No.161 Tahun 1985, yang isinya antara lain mewewajiban dan kesehatan, dan pengembangan organisasi dan budaya kerja kearah yang mendukung kesehatan dan keselamatan kerja, yang dalam pelaksanaannya juga mempromosikan iklim sosial yang positif, operasi yang lancar dan meningkatkan produktivitas perusahaan.
7
Pada saat ini, upaya perlindungan kesehatan yang semula bersifat kuratif seperti pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan pengobatan, telah berkembang menjadi upaya pencegahan dan perlindungan, dan mendorong pada berkembangnya ilmu tentang keracunan (poisoning) dan penyakit akibat kerja (Syamsuddin, 2004).
2.1.3. Faktor - faktor Kecelakaan Studi kasus menunjukkan hanya proporsi yang kecil dari pekerja sebuah industri terdapat kecelakaan yang cukup banyak. Pekerja pada industri mengatakan
itu
sebagai
kecenderungan kecelakaan
kecenderungan harus
kecelakaan.
menggunakan data
Untuk
mengukur
dari situasi
yang
menunjukkan tingkat resiko yang ekivalen. Pelatihan yang diberikan kepada pekerja harus dianalisa, untuk seseorang yang berada di kelas pelatihan kecenderungan kecelakaan mungkin hanya sedikit yang diketahuinya. Satu lagi pertanyaan yang tak terjawab ialah apakah ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan terhadap kecelakaan yang kecil atau salah satu kecelakaan yang besar. Pendekatan yang sering dilakukan untuk seorang manajer untuk salah satu faktor kecelakaan terhadap pekerja adalah dengan tidak membayar upahnya. Bagaimanapun jika banyak pabrik yang melakukan hal di atas akan menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan, dan tidak membayar upah pekerja akan membuat pekerja malas melakukan pekerjaannya dan terus membahayakan diri mereka ataupun pekerja yang lain. Ada kemungkinan bahwa kejadian secara acak dari sebuah kecelakaan dapat membuat faktor-faktor kecelakaan tersendiri (Ishak, 2004).
2.1.4. Tujuan Penerapan K3 Tujuan Pemerintah membuat aturan K3 dapat dilihat pada Pasal 3 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1970 dalam Yusra (2005) tentang keselamatan kerja, yaitu:
a) Mencegah dan mengurangi kecelakaan; b) Mencegah mengurangi dan memadamkan kebakaran;
8
c) Mencegah dan mengurangi bahaya kebakaran; d) Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya; e) Memberi pertolongan pada kecelakaan; f) Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja; g) Mencegah dan mengendalikan diri pada para pekerja; h) Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan; i) Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai; j) Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik; k) Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup; l) Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban; m) Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja lingkungan cara dan proses kerjanya; n) Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang; o) Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan; p) Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang; q) Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya; r) Menyesuaikan dan menyempurnakan pengaman pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
2.1.5. Manfaat Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Kesehatan Kerja Menurut Suardi (2005) manfaat penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah : a) Perlindungan karyawan b) Memperlihatkan kepatuhan pada peraturan dan undang-undang c) Mengurangi biaya d) Membuat sistem manajemen yang efektif e) Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan
9
PT. Holcim Indonesia Tbk menyatakan dengan dijalankannya K3 secara tertib di perusahaannya telah diraih peningkatan produktivitas kerja sampai 75 persen. Ini karena potensi kehilangan banyak jam kerja juga mampu diminimalisir dengan adanya K3. Jika ada kecelakaan kerja maka akan ada banyak jam kerja terbuang dengan penggantian karyawan yang kecelakaan oleh karyawan baru atau mungkin juga oleh penanganan terhadap korban dan kasus kecelakaan kerja tersebut. Perusahaan pun juga bisa meminimalisir pembiayaan terhadap korban kecelakaan. Menurutnya, manfaat yang tak bisa ternilai dengan uang atau alat ukur apapun juga sangat banyak. Penerapan K3 telah menyelamatkan orang dari kecelakaan yang menyebabkan trauma, cacat anggota badan, kehilangan nyawa dan sebagainya. Hal itulah yang tak bisa ternilai dengan apapun. Untuk investasi K3 perusahaan tentunya juga akan menghabiskan dana yang sangat besar. Nilainya bisa mencapai 15 persen dari biaya produksi total. Namun nilainya akan turun setiap tahunnya. Ini karena perlengkapan yang digunakan untuk program K3 tak harus dibeli atau diperbaharui setiap tahun. Alat bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama. Seperti di Holcim kini biaya yang dikeluarkan perusahaan setelah program K3 dijalankan selama tujuh tahun, hanya sekitar 7 persen dari total biaya produksi (Sumardianto, 2008). Kesadaran dunia industri terhadap keselamatan kerja harus terus digalakan. Hal itu tidak hanya menjadi mencerminkan tinggi rendahnya budaya sebuah perusahaan, tetapi juga memberikan keuntungan ekonomis. Penelitian di Jepang menunjukkan setiap investasi 1 dolar AS untuk keselamatan kerja bisa menghasilkan penghematan 2,7 dolar AS. Di lain pihak, kecelakaan dan sakit di tempat kerja membawa dampak ekonomis pada perusahaan. Catatan Organisasi Buruh International (ILO) menunjukkan pengeluaran biaya akibat kecelakaan dan sakit akibat kerja, mencapai lebih dari 1000 miliar dolar AS. Jumlah ini didasari dari catatan ILO bahwa setiap hari terdapat 6.000 kematian akibat kecelakaan kerja, jumlah yang lebih besar daripada korban tewas karena perang. Catatan keselamatan kerja Indonesia juga tak kalah merisaukan. Masuk dalam peringkat terburuk dalam standar keselamatan di Asia Tenggara,
10
Indonesia mencatat 105 ribu kasus kecelakaan selama tahun 2003 dengan angka kematian mencapai 1430 pekerja (Tjiptono, 2004). Masalah K3 manufaktur di Inggris mengakibatkan kerugian dengan rincian biaya per kasus : a) Cedera yang mengakibatkan waktu kerja hilang = Rp. 9.434.063. b) Cedera yang tidak mengakibatkan waktu kerja hilang = Rp. 157.236. c)
Kerusakan karena kecelakaan = Rp. 1.572.298. British Safety Council (BSC) mencatat bahwa Inggris tiap tahun rugi Rp.
345.899.265.080.468 karena masalah K3. International Labour Organization (ILO) juga mencatat jumlah kasus K3 di Inggris sebanyak 2,2 juta kasus telah mengakibatkan jumlah PHK sebanyak 20.000 karyawan dan jumlah hari kerja hilang 3 juta hari dengan rincian kerugian : a) pekerja
: Rp. 81.754.941.049.221.
b) pengusaha
: Rp. 108.475.944.626.566.
c) sosial
: Rp. 213.759.142.626.694.
d) total
: Rp. 403.945.029.373.650.
Dengan jumlah penduduk Inggris sebanyak 58,8 juta dan persentase anakanak dan orang tua 41 % dan usia produktif 59 % dan bila 75 % adalah penduduk yang bekerja, maka rata-rata kerugian per kapita adalah Rp. 11.634.123. 2.1.6. Biaya dan Keuntungan Penerapan K3. Biaya K3 meliputi : a) Biaya tindakan pencegahan b) Biaya akibat kecelakaan c) Hilang dan rusaknya material produk d) Terhentinya proses produksi e) Hilangnya tenaga terampil & pengalaman f) Menurunya kredibilitas perusahaan g) Hilangnya keuntungan h) Hilangnya waktu kerja i) Pengeluaran biaya pengobatan, perawatan dll
11
Keuntungan yang didapat dari penerapan keselamatan dan kesehatan kerja yang baik terbagi dua yaitu efek primer dan efek sekunder efek primer yaitu terhindar dari kecelakaan kerja sedangkan efek sekunder yaitu peningkatan produktivitas, reputasi dan citra perusahaan dll (Yanri, 2006). Yanri (2006) menulis pengalaman perusahaan di Jepang yang dicatat oleh JISHA pada bulan Februari-Maret 2000 yang telah menyelenggarakan survey melalui kuisioner kepada 1368 perusahaan membuat rincian data biaya dan keuntungan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja. Tabel 1. Biaya Tindakan Pencegahan dan Biaya Akibat Kecelakaan Jenis Biaya
Besar Biaya
Biaya Tindakan Pencegahan
Rp. 20.060.000.799
Biaya Akibat Kecelakaan
Rp. 6.624.221.093
Jumlah Biaya
Rp. 26.854.980.290
Tabel 2. Jumlah Keuntungan Sebagai Manfaat Penerapan K3 Jenis Keuntungan
Besar Keuntungan
Manfaat Primer
Rp. 60.327.156.889
Manfaat Sekunder
Rp. 11.706.027.276
Jumlah Keuntungan
Rp. 71.997.659.189
2.1.7. Langkah-langkah Penerapan Sistem Manjemen K3 Tahapan dan langkah-langkah penerapan sistem manajemen K3 dibagi menjadi dua bagian besar (Suardi, 2005) : 1. Tahap Persiapan a) Komitmen manajemen puncak b) Menentukan ruang lingkup c) Menetapkan cara penerapan d) Membentuk kelompok penerapan e) Menetapkan sumber daya yang diperlukan
12
2. Tahap Pengembangan dan Penerapan a) Menyatakan komitmen b) Menetapkan cara penerapan c) Membentuk kelompok kerja penerapan d) Menetapkan sumber daya yang diperlukan e) Kegiatan penyuluhan f) Peninjauan sistem g) Penyusunan jadwal kegiatan h) Pengembangan sistem manajemen K3 i) Penerapan sistem j) Sertifikasi
2.1.8. Landasan Hukum Penerapan K3 Berbicara penerapan K3 dalam perusahaan tidak terlepas dengan landasan hukum penerapan K3 itu sendiri. Landasan hukum yang dimaksud memberikan pijakan yang jelas mengenai aturan apa dan bagaimana K3 itu harus diterapkan. Adapun sumber hukum penerapan K3 adalah sebagai berikut: a) UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. b) UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. c) PP No. 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. d) Keppres No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja. e) Permenaker No. Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Semua produk perundang-undangan pada dasarnya mengatur tentang kewajiban dan hak Tenaga Kerja terhadap Keselamatan Kerja untuk : a) Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja; b) Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
13
c) Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; d) Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; e) Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai
pengawas
dalam
batas-batas
yang
masih
dapat
dipertanggungjawabkan (Yusra, 2005).
2.2. Produktivitas Kerja Perkataan produktivitas muncul pertama kali pada tahun 1966 dalam suatu masalah yang disusun oleh sarjana ekonomi Perancis bernama ”Quesnay” seorang pendiri aliran phisiokrat (Sumarsono, 2003). Produktivitas mengandung pengertian filosofis, definisi kerja dan operasional. Secara fiosofis, produktivitas merupakan pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan. Keadaan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan mutu kehidupan besok harus lebih baik dari hari ini. Pandangan hidup dan sikap mental yang demikian akan mendorong manusia untuk tidak cepat merasa puas, tetapi terus mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan kerja. Secara definisi kerja, produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan keseluruhan sumber daya (masukan) yang dipergunakan per satuan waktu. Definisi kerja ini mengandung cara atau metode pengukuran. Walaupun secara teori dapat dilakukan, tetapi dalam praktek sukar dilaksanakan karena sumber daya masukan yang dipergunakan umumnya berbagai macam dan dalam proporsi yang berbeda. Pengertian ketiga mengandung makna peningkatan produktivitas yang dapat terwujud dalam empat bentuk, yaitu : a) Jumlah produksi yang sama dapat diperoleh dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit;
14
b) Jumlah produksi yang lebih besar dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya yang kurang; c) Jumlah produksi yang lebih besar dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya yang sama; d) Jumlah produksi yang jauh lebih besar diperoleh dengan pertambahan sumber daya yang relatif lebih kecil. Sumber daya masukan dapat terdiri atas beberapa faktor produksi, seperti tanah, gedung, mesin, peralatan, bahan mentah, dan sumber daya manusia sendiri. Produktivitas masing-masing faktor produksi tersebut dapat dilakukan baik secara bersama-sama maupun secara berdiri sendiri. Dalam hal ini, peningkatan produktivitas faktor manusia merupakan sasaran strategis karena peningkatan produktivitas faktor-faktor lain sangat tergantung pada kemampuan tenaga manusia yang memanfaatkannya. Melalui pendekatan sistem, faktor yang mempengaruhi produktivitas karyawan perusahaan dapat digolongkan pada tiga kelompok, yaitu : a) Kualitas dan kemampuan fisik karyawan, b) Sarana pendukung, dan c) Supra sarana Produktivitas perusahaan/industri terdiri dari produktivitas mesin/peralatan dan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja merupakan ukuran keberhasilan tenaga kerja menghasilkan suatu produk dalam waktu tertentu. Sedangkan produktivitas mesin dapat diartikan sebagai perbandingan antara output dengan kapital in-put, dimana kapital in-put tersebut meliputi tanah, mesin dan peralatan. Satuan out-put berbeda-beda sesuai dengan unsur kapitalnya, sedangkan untuk satuan input dinyatakan dengan waktu. Produktivitas mesin dipengaruhi oleh kemampuan untuk dioperasikan dalam produksi, waktu/masa pakai serta pemeliharaan dari mesin itu sendiri. Disamping itu pula produktivitasnya dapat rendah, bilamana kondisi/keadaan bahan baku tidak memungkinkan untuk menjalani proses pengolahan (Sumarsono, 2003). Sedangkan yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja itu sendiri antara lain : pendidikan, keterampilan, disiplin, motivasi, sikap dan etika kerja, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim
15
kerja, hubungan industrial, teknologi, sarana produksi, manajemen dan kesempatan berprestasi (Nusa dalam Sumarsono, 2003). a). Kualitas dan kemampuan Kualitas
dan
kemampuan
karyawan
dipengaruhi
oleh
tingkat
pendidikan, latihan, motivasi, etos kerja, mental, dan kemampuan fisik karyawan yang bersangkutan. b). Sarana pendukung Sarana pendukung untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan perusahaan dapat dikelompokkan dua golongan, yaitu : 1. Menyangkut lingkungan kerja, termasuk teknologi dan cara produksi, sarana dan peralatan produksi yang digunakan, tingkat keselamatan dan kesehatan kerja, serta suasana dalam lingkungan kerja itu sendiri; 2. Menyangkut kesejahteraan karyawan yang terjamin dalam sistem pengupahan dan jaminan sosial, serta jaminan kelangsungan kerja. c). Supra sarana Aktivitas perusahaan tidak terjadi dalam isolasi. Apa yang terjadi di dalam perusahaan dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luarnya, seperti sumber-sumber faktor produksi yang akan digunakan, prospek pemasaran, perpajakan, perizinan, lingkungan hidup, dan lain-lain. Kebijaksanaan pemerintah
di
bidang
ekspor-impor,
pembatasan-pembatasan
dan
pengawasan, juga mempengaruhi ruang lingkup pimpinan perusahaan dan jalannya aktivitas di perusahaan. Secara umum dapat dikemukakan bahwa faktor manajemen sangat berperan dalam peningkatan produktivitas karyawan perusahaan, baik secara langsung
melalui perbaikan pengorganisasian dan tata kerja
yang
memperkecil pemborosan dan keborosan penggunaan sumber-sumber, maupun secara tidak langsung melalui fasilitas latihan serta perbaikan penghasilan dan jaminan sosial karyawan (Arfida, 2003).