17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Udang berasal dari hasil budidaya di tambak, hasil penangkapan di laut dan hasil penangkapan di perairan umum. Perkembangan kuantitas produksi udang berdasarkan sumbernya disajikan pada Gambar 3, Tabel 4, dan Tabel 5. Berdasarkan Gambar 3, terjadi peningkatan cukup signifikan pada udang hasil budidaya, sedangkan udang hasil tangkapan relatif stagnan. ton
Udang budidaya
Udang penangkapan
20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10
450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya dan Statistik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
Gambar 3. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak dan Hasil Penangkapan,Tahun 2000-2010
18
Tabel 4. Produksi Udang Tambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun 2000-2010 (ton) Tahun 2000
Udang windu 93 759
Udang Putih 28 965
Udang vanamei -
Udang ApiApi 20 453
Udang Lainnya -
2001
103 603
25 862
-
19 093
-
2002
112 840
24 708
-
21 634
-
2003
133 836
35 249
-
22 881
-
2004
131 399
33 797
53 217
19 928
-
2005
134 682
27 088
103 874
13 731
-
2006
147 867
36 187
141 649
-
-
2007
133 113
16 995
179 966
-
-
2008
134 930
-
208 648
-
66 012
2009
124 564
22 365
170 971
-
32 549
2010
125 519
16 424
206 578
-
30.804
Sumber: DJPB: Statistik Perikanan Budidaya, DKP (berbagasi edisi)
Berdasarkan data pada Tabel 4, terjadi peningkatan produksi udang hasil budidaya sampai dengan tahun 2008, dan terjadi penurunan produksi pada tahun 2009. Berdasarkan varietas, sampai dengan tahun 2006 produksi udang windu mengalami peningkatan, dan sejak tahun 2007 produksi udang vaname telah melampaui udang windu. Sebaliknya, udang hasil penangkapan relatif stabil (Tabel 5). Berdasarkan varietas, udang putih mendominasi disusul jenis udang lainnya. Dibandingkan dengan udang hasil budidaya, size/ukuran udang hasil tangkapan memiliki keragaman cukup besar. Dengan demikian, tidak semua jenis udang hasil tangkapan menjadi layak ekspor.
19
Tabel 5. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1990-2010 Tahun
(Ton)
1990
Udang windu 11 647
Udang putih 41 330
Udang Dogol 14 564
Udang Krosok -
Udang Ratu/raja -
Udang karang 826
Udang Lainnya 76 452
1991
13 743
41 731
16 348
-
-
1 398
78 215
1992
15 649
47 726
16 241
-
-
2 398
83 641
1993
16 116
43 925
15 814
-
-
1 208
79 714
1994
16 960
47 237
20 364
-
-
2 021
91 152
1995
24 501
50 477
22 863
-
-
2 852
81 261
1996
19 393
53 913
22 285
-
-
2 463
89 215
1997
25 929
53 924
32 588
-
-
4 021
95 790
1998
30 047
62 192
40 717
-
-
2 394
87 200
1999
34 223
64 179
33 847
-
-
3 244
103 372
2000
40 987
66 644
38 925
-
-
3 596
98 880
2001
43 759
65 269
36 358
-
-
4 490
113 161
2002
38 088
69 508
33 570
-
-
4 758
95 561
2003
34 190
66 501
34 178
-
-
5 348
100 221
2004
34 533
68 699
38 438
2 763
134
5 439
95 907
2005
30 380
61 950
31 506
6 456
126
6 648
71 473
2006
37 460
59 838
26 859
4 342
328
5 254
93 083
2007
42 036
81 193
33 455
6 819
661
4 705
90 107
2008
26 492
73 870
34 718
5 922
1 011
9 896
85 013
2009
24 637
71 993
46 740
6 003
656
5 892
80 949
2010
28 319
76 419
39 605
15 116
979
7 651
59 237
Sumber : Statisitik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
2.2. Perkembangan Kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia Perkembangan kuantitas dan nilai ekspor udang Indonesia disajikan pada Tabel 6. Nilai ekspor perdagangan udang meningkat dari US$ 84.57 juta tahun 1974
menjadi US$ 1.03 milyar pada tahun 2007. Pada tahun 2010 kembali
menurun menjadi 989 juta atau 37% dari nilai total ekspor produk perikanan Indonesia. Tujuan ekspor juga mengalami pergeseran, semula ekspor udang Indonesia didominasi ke Jepang dengan porsi sebesar 58-60%, UE 16-18%,
20
AS 16-17%, dan sisanya ke negara lainnya, kemudian terjadi perubahan dengan mayoritas tujuan ekspor menjadi ke AS. Tabel 6. Perkembangan Kuantitas dan Nilai Ekspor Udang Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor, Tahun 2005-2011 Tahun 2005
Jepang Kuantitas Nilai (ton) (US$ 1000) 45 951 373 874
Kuantitas (ton) 50 489
AS
Nilai (US$ 1000) 327 364
Kuantitas (ton) 27 775
UE
Nilai (US$ 1000) 161 308
Lainnya Kuantitas (ton) 29 691
2006
50 380
419 895
60 973
418 175
31 016
190 125
26 960
2007
40 334
334 982
60 399
420 720
28 845
178 195
27 967
2008
39 582
337 681
80 479
550 773
26 825
177 855
26 397
2009
38 528
333 056
63 592
426 995
23 689
146 597
25 180
2010
36 712
351 402
58 277
443 220
13 383
10 549
36 720
2011
17 712
186 495
33 779
293780
9 265
81 973
14 536
Pengembangan ekspor udang Indonesia terkendala oleh hambatan tarif dan non tarif. Hambatan tarif terutama untuk produk udang olahan ke UE 27 yaitu sekitar 20%, sedangkan ke AS sekitar 5%-10%, ke Jepang, "special rate" yang diberikan untuk produk udang olahan sebesar 3.2%, tetapi untuk produk olahan yang termasuk kategori "others' diberikan tarif 0% atau . free. Menurut Ling et al., (1996) hambatan tarif diterapkan dalam rangka melindungi industri udang olahan domestik negara tersebut. 2.3. Gambaran Umum Perdagangan Udang Dunia Persaingan eksportir utama akan terus berlangsung diantara sesama negara di Asia yang secara umum diuntungkan keunggulan geografisnya. Di lain pihak, importir utama masih didominasi oleh AS, Jepang, dan UE. Seperti dijelaskan pada Bab I, ketatnya persaingan menyebabkan tiap negara mempunyai strategi pemasaran tertentu (DKP, 2004).
21
Pertama, Thailand merupakan eksportir nomor satu dunia sejak tahun 1993. Strategi pemasaran yang dilakukan melalui inovasi pengembangan produk dengan menciptakan produk bernilai tambah. Selain itu, eksportir Thailand memiliki komitmen tepat waktu, dan menjaga mutu. Kekuatan industri udang ditentukan oleh kuatnya peran pengusaha yang tergabung dalam berbagai asosiasi, dan market intellegencia. Mereka mengisi kekosongan pasar akibat terjadinya kasus mad cow, flu burung atau pada saat ekspor dari Ekuador menurun. Industri pengolahan melakukan contract farming. Dari sisi produksi, pembudidaya dalam satu kawasan memperkuat keberlanjutan usaha melalui pembentukan kluster dengan memperkuat kelembagaan koperasi. Manfaat yang diperoleh yaitu makin efektifnya pengelolaan budidaya melalui sistem manajemen terpadu. Kedua, industri udang Vietnam mengalami pertumbuhan pesat dalam 10 tahun terakhir. Vietnam merupakan pengekspor ke dua di pasar AS dan ketiga di pasar Jepang. Strategi yang ditempuh Vietnam yaitu melalui pembentukan opini sebagai produk ramah lingkungan. Pada tahun 1999, pengusaha perikanan yang tergabung dalam Vietnam Association of Seafood Exporters and Producers (VASEP) mencanangkan kebijakan budidaya udang organik. Kekuatan industri udang ditentukan oleh peran para pengusaha yang tergabung dalam berbagai asosiasi, dan pada industri pengolahan: contract farming dan kluster. Ketiga, fenomena yang terjadi di China yaitu meningkatnya budidaya udang putih. Selain itu, industri pengolahan China berkembang pesat, tidak saja jumlah, namun juga respons terhadap perkembangan produk dan pasar baru. Bentuk kerja sama yang dilakukan melalui contract processing. Pelaku usaha pengolah udang fokus pada persaingan dengan pengekspor udang dari Asia
22
dibandingkan dengan sesama pelaku usaha dalam negeri. Umumnya mereka membuat jaringan usaha pada setiap negara bagian yang didukung pemerintah daerah. Importir utama udang dunia yaitu: AS, Jepang, dan UE-27 dan perkembangannya sebagai berikut. Pertama, di pasar AS terjadi tren peningkatan konsumsi. Sejak tahun 2002, udang menggantikan ikan tuna sebagai seafood terpopuler di rumah dan restoran. Konsumsi udang per kapita mencapai 2.29 pounds per tahun pada tahun 1987 dan meningkat menjadi 4.40 pounds/tahun pada tahun 2006 sehingga udang menjadi produk seafood yang paling banyak dikonsumsi (Valderama dan Anderson, 2008). Dari jumlah tersebut, domestik hanya mampu menyediakan 12%, sisanya 88% berasal dari impor. Selain itu, terjadi perubahan pangsa pasar di AS. Pada tahun 2007, 67% berasal dari Asia, dan 33% berasal dari Amerika Latin, sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 76.3% berasal
dari Asia. Eksportir utama udang ke AS adalah Thailand, Vietnam,
Indonesia, China, dan India. Persyaratan ekspor hasil perikanan ke AS umumnya dikaitkan dengan prinsip GMP (Good Manufacturing Practices) sebagai pengejawantahan konsep HACCP. Persyaratan teknis lainnya dikaitkan dengan isu lingkungan yaitu CITES, Turtle Excluder Device (TED), Marine Mammal Protection Act (MMPA), Ecolabelling Dolphin Safe, dan lain-lain. AS juga memberlakukan Automatic Detention. Walmart sebagai retailer utama juga mempelopori mutu dan keamanan hasil produk perikanan dengan sertifikasi oleh pihak ketiga melalui Global Aquaculture Alliance (GAA). Dalam persyaratan ekspornya, Pemerintah AS menerapkan kebijakan berdasarkan company oriented.
23
Kedua, pasar Jepang menampung 80% dari pasar Asia terutama Indonesia, India, dan Vietnam. Mutu merupakan faktor penting jika mengekspor ke Jepang. Konsumsi udang ditentukan oleh warna, jenis, ukuran, harga, dan bentuk produk. Bentuk udang segar tanpa kepala (raw headless shell-on) mencapai 70%, udang dengan kepala 10% dan udang tanpa kepala-kulit-ekor (pelled undeveined) 1015%. Produk hasil perikanan dari luar Jepang harus memenuhi syarat yang ditetapkan Food Sanitation Law and Quarantine. Disamping itu, perlu memperhatikan JAS Standard Sistem (quality labelling) yaitu perlindungan terhadap tanaman dari binatang tertentu. Jepang juga menerapkan hambatan teknis yang ketat. Hasil perikanan yang diekspor ke Jepang harus bebas Vibrio cholera. Importir bertanggungjawab untuk memverifikasi bahwa produk yang diimpor berasal dari perusahaan yang menerapkan HACCP. Ketiga, pasar UE-27 memiliki kekhasan tersendiri, terutama karena meningkatnya tekanan dari konsumen akan produk bermutu dan aman dikonsumsi. Isu-isu lain yang berkembang di pasar UE-27 yaitu terkait dengan pembangunan berkelanjutan, antibiotik, pekerja, traceability, Genetic Modified Organism (GMO), keberlanjutan tepung ikan, genetik dalam pembenihan udang, logam berat, kimia dan iradiasi. Persyaratan ekspor ke UE cukup ketat dan persetujuan (approval) izin ekspor diberikan oleh Komisi Eropa kepada eksportir berdasarkan approved packers artinya hanya diberikan kepada perusahaan eksportir yang kualified. UE menerapkan sistem pengujian laboratorium secara acak (random sampling) yang dikenal dengan RASFF di setiap pelabuhan masuk. Berbeda dengan AS, maka UE adalah sistem oriented seperti penerapani: HACCP, spesifikasi produk, dan traceability.
24
Berdasarkan kode Harmonized Sistem (HS) 6 dijit, produk perdagangan komoditas udang dunia dibagi kedalam tiga produk yaitu udang segar, beku, dan olahan. Data nilai impor ketiga produk udang tersebut pada tahun 2010 disajikan pada Gambar 4.
Olahan 25%
Segar 3%
Beku 72%
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 4. Pangsa Impor Berdasarkan Nilai pada Perdagangan Udang Dunia Berdasarkan Produk, Tahun 2010 2.3.1. Perdagangan Udang Segar Umumnya, udang segar (HS 030623) merupakan produk untuk diproses lebih lanjut. Belanda merupakan importir sekaligus eksportir utama dunia. Nilai impor udang segar Belanda tahun 2010 mencapai US$ 59.1 juta, sedangkan nilai ekspornya mencapai US$ 135.2 juta. Adanya kegiatan re-ekspor atau adanya negara yang berperan sebagai “entry-port” seperti yang dalam kasus udang segar antara lain Singapura dan Belanda, memungkinkan terjadinya perbedaan volume dan pertumbuhan ekspor-impor (Suryana et al., 1989).
Pangsa pasar untuk
ekportir dan importir utama dalam perdagangan udang segar disajikan pada
25
Gambar 5. Secara keseluruhan, pada tahun 2010 Indonesia mengekspor udang segar senilai US$ 40.3 juta dan Thailand US$ 37.9 juta. Eksportir Utama Belanda
Importir Utama Belanda
Gambar..China Eksportir dan Importir Utama udang Segar Dunia (HS 030623), 2010 Singapura Saudi Arabia
Perancis
Maroko
Belgia
Malaysia
China
Lainnya
Lainnya -
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 Pangsa Pasar (%)
-
20.00
40.00
60.00
80.00
Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 5. Importir dan Eksportir Utama Udang Segar Dunia, Tahun 2010 Pemasok utama untuk udang segar di tiga pasar utama: Jepang, AS, dan UE-27 tahun 2010 disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan data pada Gambar 6, mayoritas udang segar Jepang berasal dari China dan Vietnam. Pangsa pasar udang segar Indonesia di Jepang relatif lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar Thailand. Sebaliknya, di pasar AS pangsa pasar udang segar Thailand lebih besar dibandingkan pangsa pasar Indonesia. Mayoritas udang segar di pasar AS berasal dari India, berikutnya berasal dari Pakistan. Indonesia menduduki urutan kedua untuk ekspor udang segar di pasar UE-27 setelah Norwegia.
26
Pasar AS
Pasar Jepang China
India
Vietnam
Pakistan
Philipina
Belize
Korea
Thailand
Indonesia
China
Lainnya
Lainnya -
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Pangsa Pasar (%)
Pangsa Pasar(%) % Pangsa Pasar
Pasar UE-27 Norwegia Indonesia Maroko Singapura Saudi Arabia Lainnya -
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 6. Pangsa Ekspor Udang Segar di Pasar Jepang, AS, dan UE-27, Tahun 2010 2.3.2. Perdagangan UdangBeku Urutan importir utama udang beku (HS 030613) dunia pada tahun 2010 adalah AS dengan nilai US$3.38 milyar, disusul oleh UE-27 dengan 3,08 milyar, dan Jepang US$1.94 milyar (Gambar 7). Pesaing Indonesia yaitu Thailand pada tahun 2010 tersebut mengekspor udang beku dengan nilai US$1.65 milyar, meningkat dari US$ 1.26 milyar pada tahun 2008 dan US$ 1.34 milyar pada tahun 2009. Sebaliknya, nilai ekspor udang Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$822.9 juta atau mengalami penurunan dibandingkan nilai ekspor tahun 2008.
27
Importir Utama
Eksportir Utama
USA
Thailand
Jepang
India
Spanyol
China
Perancis
Equador
Itali
Argentina
Lainnya
Lainnya
Sumber: Comtrade 2011 (diolah) -
10.00
20.00
30.00
40.00
-
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Gambar 7. Importir dan Eksportir Utama Udang Beku Dunia, Tahun 2010. Pangsa Pasar (%)
Pangsa Pasar (%)
Gambar 7. Importir dan Eksportir Utama Udang Beku Dunia, Tahun 2010 Pasar Jepang
Pasar AS
Vietnam
Thailand
Indonesia
Indonesia
Thailand
Equador
India
Vietnam
China
India
Lainnya
Lainnya -
5.00
10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 PANGSA PangsaPASAR Pasar (%) %
-
5.00
10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 Pangsa Pasar (%)
Pasar UE-27
Equador Argentina India
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah) Bangladesh
Thailand Vietnam Lainnya -
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Pangsa Pasar (%)
Gambar 8. Pangsa Pasar dari Eksportir Utama Produk Udang Beku di Ketiga Pasar Utama, Tahun 2010
28
Pada tahun 2010 Vietnam menduduki urutan pertama untuk ekspor udang beku di pasar Jepang, disusul oleh Indonesia dan Thailand. Di pasar AS, Thailand lebih dominan, disusul oleh Indonesia dan Equador. Equador dan Argentina lebih dominan di pasar UE-27. 2.3.3. Perdagangan Udang Olahan AS merupakan importir utama udang olahan (HS 160520) dunia tahun 2010 dengan nilai US$ 1.07 milyar, meningkat dari US$ 1.03 milyar pada tahun 2009 dan US$ 981 juta pada tahun 2008. UE-27 pada tahun 2010 mengimpor udang olahan sebesar US$ 959.5 juta (Gambar 9). Nilai impor Jepang tahun 2010 mencapai US$ 615 juta, meningkat dari US $528 juta pada tahun 2008, dan US$ 552 juta pada tahun 2009. Thailand merupakan eksportir utama untuk udang olahan di ketiga pasar tersebut pada tahun 2010 dengan nilai US$ 1.52 milyar, disusul China dengan nilai US$ 828 juta. China mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi US$ 1.13 milyar (Gambar 10). Importir Utama
Eksportir Utama
USA
Thailand
Jepang
China
Inggris
Denmark
Denmark
Belanda
Belanda
Indonesia
Lainnya
Lainnya -
10.0
20.0
PANGSA Pangsa PasarPASAR %
30.0 (%)
40.0
-
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 9. Importir dan Eksportir Utama Udang Olahan Dunia, Tahun 2010
29
Pasar Jepang
Pasar AS
Thailand
Thailand
Vietnam
China
China
Vietnam
Indonesia
Indonesia
India
Kanada
Lainnya
Lainnya
-
-
10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0
Pasar UE-27
Pangsa Pasar (%)
20.00
40.00
60.00
80.00
PANGSA PangsaPASAR Pasar(%) %
Thailand Canada Maroko Greenland Vietnam Indonesia Lainnya -
10.0
20.0
30.0
40.0
Pangsa PasarPASAR % PANGSA (%)
Pangsa Pasar (%)
Sumber: UNComtrade 2011 (diolah)
Gambar 10. Pangsa Pasar Ekspor Udang Olahan di Ketiga Pasar, Tahun 2010 2.4. Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Produktivitas Tambak Indonesia Secara umum, industri udang di negara eksportir mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah (Diop et al., 1999). Di Indonesia, udang merupakan salah satu komoditas Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RP2K) dan Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan produktivitas dan mutu udang. Program pemerintah terkait peningkatan produktivitas antara lain Intensifikasi Tambak (Intam) yang diluncurkan tahun 1984/1985. Paket teknologi yang dianjurkan adalah: U1 (teknologi sederhana), U2 (teknologi madya), dan U3
30
(teknologi maju). Melalui Program tersebut, luas area budidaya udang di tambak yang pada tahun 1984/1985 hanya 20 Ha di tiga propinsi, maka pada tahun 1998/1999 telah berkembang menjadi 95 311 Ha di 14 propinsi (Hasibuan, 2003). Peserta dibentuk kelompok, terdapat tambak percontohan, fasilitas kredit, pembangunan dan pemeliharan saluran irigasi, serta dibentuknya kelembagaan pendukung seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Program Intam tersebut selanjutnya berubah nama menjadi Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) pada tahun 2002 yang menitikberatkan pada teknologi anjuran. Pada tahun 2005 berubah lagi menjadi Program Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Ekspor (Propekan). Termasuk didalamnya berupa kegiatan Pengembangan Kawasan, Pembangunan Broodstock Center (calon induk udang vaname di Situbondo dan udang windu di Jepara), Bantuan Langsung Penguatan Modal, dan Bantuan Selisih Harga Benih Ikan (BSHBI) kepada pembudidaya ikan skala kecil. Besarnya bantuan senilai Rp24.97 milyar pada tahun 2006, Rp23.45 milyar tahun 2007, tahun 2008 sebesar Rp35.3 milyar, dan tahun 2009 Rp60 milyar untuk komoditas Udang, Nila, Patin, Kakap Putih, Mas, Lele, Gurame, Bandeng, dan Rumput Laut (KKP, 2009a).
Selanjutnya
terkait infrastruktur, telah dilakukan juga kegiatan pembangunan dan rehabilitasi irigasi saluran tambak guna mendukung sarana dan prasarana tambak. Alokasi dana yang relatif besar terjadi pada kegiatan pembangunan/rehabilitasi tambak dengan sumber dana berasal dari SPL-JBIC pada tahun 1998-2000. Benur unggul hanya dapat diproduksi dari induk yang secara genetik unggul, disamping pengaruh kualitas air dan pakan juga penting dalam pemeliharaannya. Kebijakan terkait penggunaan benur unggul antara lain
31
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.41/Men/2001 tanggal 12 Juli 2001 tentang Pelepasan Varietas Udang Vaname Sebagai Varietas Unggul yang Tahan Terhadap WSSV dengan produksi 9-10 ton/Ha. Selanjutnya, Kep.15/Men/2002 tanggal 12 Juli 2001, tentang Pelepasan Varietas udang Rostris sebagai varietas unggul yang tahan terhadap TSV dan WSV, dengan produksi 7.511.7 ton/Ha dan mempunyai FCR 1.28-1.65. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Rekayasa Breeding Programe udang vaname di BBAP Situbondo dilaksanakan berdasarkan SK Dirjen Perikanan Budidaya No.6375/DPB.1/ PB.110/2003, tanggal 23 Desember 2003 tentang Penetapan Pusat Pengembangan Induk dan Bibit ikan (Udang, Nila, Rumput Laut, dan Kerapu). Tujuan kegiatan Rekayasa Breeding Programe yaitu memperoleh induk unggul, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas induk, mengurangi ketergantungan dari negara lain, dan untuk menekan biaya operasional dalam budidaya udang. Program lainnya yaitu Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.09/Men/2002 tanggal 26 Februari 2002. Inbudkan menitikberatkan pada gerakan bersama dari berbagai pihak untuk mengembangkan usaha pembudidayaan ikan, yang dilaksanakan atas dasar kerjasama antar anggota kelompok pembudidaya ikan sebagai peserta program di dalam kawasan, yang menerapkan teknologi yang dianjurkan untuk meningkatkan mutu produksi dan produktivitas usaha pembudidayaan ikan secara efisien dan
berkelanjutan. Nomor KEP.14/
MEN/2007 tentang Pembentukan Satgas Revitalisasi Perikanan Budidaya
32
Berdasarkan rencana pada RP2K, pada tahun 2009 produksi udang ditargetkan 540 ribu ton dan lapangan pekerjaan ditargetkan tersedia bagi 985 ribu orang. Luas lahan yang dibutuhkan yaitu 42 800 Ha untuk udang windu dan 113 500 Ha untuk udang vaname. Guna mencapai target tersebut, kebutuhan dana pemerintah periode 2006-2009
sekitar satu trilyun rupiah. Dana tersebut
dibutuhkan untuk rehabilitasi saluran irigasi, optimasi hatchery, laboratorium, penyuluhan, pengembangan luas area budidaya, tenaga kerja pendamping teknologi, dan stimulus modal kerja. Pihak swasta diharapkan menyumbang dana sebesar Rp4.19 trilyun (DKP, 2005). 2.5. Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Mutu Udang Kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam Permen dan Kepmen KP serta Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Buddiaya terkait upaya pengendalian sistem jaminan mutu terpadu hasil perikanan budidaya yaitu: 1. Permen KP No.PER.01/MEN.2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 2. Permen KP No.PER.02/MEN/2007 tentang Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. 3. Keputusan Menteri KP No.Kep.01/MEN/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan, dan Distribusi. 4. Keputusan Menteri KP No.02/MeN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik.
33
5. Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor 06/DPB/HK.150.154/S4/ VII/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Monitoring Residu Obat, Bahan Kimia, Bahan Biologi, dan Kontaminan pada Pembudidayaan Ikan. 6. Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor 44/DJ-PB/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sertifikasi Cara Budidaya ikan yang Baik (CBIB). CBIB merupakan salah satu persyaratan kelayakan dasar pada sistem jaminan mutu proses pembudidayaan ikan. Pemerintah
telah
melakukan
beberapa
kebijakan
dalam
rangka
meningkatkan mutu udang. Ditingkat pembudidaya, pemerintah melakukan diseminasi teknologi screening benur dan menyediakan induk Specific Pathogen Free (SPF) dan Specific Pathogen Resistant (SPR) yang tahan terhadap penyakit. Selain itu, telah dilakukan pengawasan kepada pembudidaya tambak untuk memilih pakan yang tidak mengandung antibiotik dan menghindari penggunaan pestisida berlebihan yang termasuk bagian dari penerapan CBIB. Perkembangan CBIB atau GAP antara Indonesia dan Thailand disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Pembudidaya Udang yang Memperoleh Sertifikat CBIB di Indonesia dan GAP di Thailand Negara Indonesia Thailand
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
unit 2011*)
11
33
40
96
134
204
298
376
12.261
9.577
6.720
td
td
td
td
Td
*sampai dengan Agustus 2011, Td: tidak tersedia data Sumber: Indonesia (Ditjen Perikanan Budidaya)
Upaya penerapan HACCP/PMMT didorong dimulai dari tingkat perbenihan. Udang yang terkontaminasi antibiotika chloramphenicol diancam
34
dimusnahkan. Pelabelan organik mulai dilakukan sehingga produk perikanan menjadi ramah lingkungan. Hasil program monitoring residu ini memberi dampak positif yaitu dengan dicabutnya CD 236/EC/2004 menjadi CD 660/EC/2008 yang berarti bahwa produk budidaya Indonesia dibebaskan dari tes logam berat dan histamin di pelabuhan masuk luar negeri. Kegiatan lain berupa penerapan sertifikasi untuk pengolah, penerbitan Standar Nasional Indonesia (SNI), penerapan Program HACCP/PMMT, pengembangan sentra pengolahan, peningkatan utilitas unit pengolahan ikan. Peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk meliputi: (i) pemantapan sistem sertifikasi unit pengolahan, (ii) penguatan lembaga sertifikasi mutu produk (kapasitas laboratorium dan SDM), dan (iii) pengembangan manajemen certificate of origin dan sistem traceability (ketertelusuran). Telah dilakukan juga saling pengakuan MRA (Mutual Recognition Agreement) dengan mitra dagang untuk melancarkan ekspor, membantu panetrasi, dan mendapatkan akses pasar. Terkait dengan SNI, sampai akhir 2009 SNI produk perikanan berjumlah 159 buah terdiri atas 17 SNI produk kering, 44 SNI produk beku, 2 (dua) produk rebus, 2 (dua) SNI produk fermentasi, 11 SNI produk segar dan dingin, 5 (lima) SNI produk hidup, 1 (satu) SNI HACCP, 9 (sembilan) SNI produk kaleng, 7 (tujuh) SNI pengemasan ikan dengan sarana udara, 60 SNI metode pengujian, dan 1 (satu) SNI Petunjuk Pengambilan Contoh. Diharapkan SNI bidang pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat menjamin mutu dan keamanan produk hasil perikanan di pasar domestik dan internasional (KKP, 2009b). Tabel 8 menyajikan daftar fasilitas pendukung guna mendukung pengembangan industri udang di Indonesia.
35
Tabel 8. Fasilitas Pendukung untuk Pengembangan Industri Udang Indonesia No.
Fasilitas
Jumlah
Unit
265
Buah
1
Hatchery swasta
2
Hatchery pemerintah
25
Buah
3
Pabrik Pakan
21
Buah
4
Laboratorium pemerintah
40
Buah
5
Sarana laboratorium swasta
83
Buah
6
Unit Pengolah ikan
443
Buah
7
Cold Storage
64 115
Ton
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2005)
Keterangan
Kapasitas produksi tahun 2002 sebanyak 450 140 ton
kapasitas efektif 3 020 ton/ hari
Jumlah unit pengolah/eksportir produk perikanan Indonesia yang mempunyai approval number sebanyak 261 unit. Pemerintah Indonesia juga telah mendapatkan hak kembali untuk mengajukan Approval Number (Re-authorized for Approval Number) baru bagi Unit Pengolahan ikan yang akan mengekspor ke UE. Otoritas Kompeten (Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan/BKIPM HP) telah mengusulkan Approval Number secara bertahap untuk sekitar 24 UPI baik yang baru maupun re-listing. Tabel 9 menyajikan tindakan
Pemerintah
guna
mengurangi
hambatan-hambatan
perdagangan.
Beberapa kebijakan antisipatif yang dilakukan pemerintah baik untuk menghadapi hambatan internal maupun hambatan yang berasal dari tarif dan non tarif . Dari uraian di atas nampak bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia sudah mengarah terhadap peningkatan produktivitas udang tambak dan upaya-upaya memenuhi kebutuhan konsumen, namun hasilnya belum optimal. Menurut Kusnendar (2003) dalam Tajerin (2007), salah satu faktor yang menyebabkan kekurangberhasilan program revitalisasi tambak adalah pendekatan yang
36
digunakan dalam implementasi kebijakan kurang bersifat holistik, kurang melibatkan semua stakeholders yang terkait dengan program tersebut. Tabel 9. Kebijakan Antisipasif Pemerintah dalam Menghadapi Hambatan Perdagangan Internasional No.
Hambatan Perdagangan
Kebijakan Antisipatif Pemerintah
1.
Residu chloramphenicol
Penerapan HACCP
2.
Embargo udang
Kebijakan pemilihan produk
3.
Isu lingkungan dan pelabelan
Pelabelan organik
4.
Panetrasi pasar
Perjanjian Pengakuan Mutu
5.
Embargo kerang-kerangan
Program sanitasi
6.
Tarif bea masuk
Fasilitas GSP
7.
Sanksi sementara
Program pengendalian residu hormon dan antibiotik
Sumber: Aisya et al., (2005a)
2.6. Konsep Daya Saing Perkembangan konsep daya saing tidak terlepas dari teori perdagangan sejak Adam Smith sampai dengan model-model daya saing yang berkembang dewasa ini. Model-model daya saing tersebut antara lain: Model Penentu Daya Saing Berlian Porter; Model Double Diamond oleh Rugman dan D’Cruz; Model 9-faktor oleh Cho; Model Generalized Double Diamond oleh Moon, Rugman dan Verbeke; Model DGI oleh German Development Institute (Coy, 2006; Esterhuizen, 2006). Akan tetapi karena daya saing mempunyai cakupan luas, tidak satupun model yang dapat menjelaskan daya saing secara utuh. Dalam ilmu ekonomi, pengertian daya saing identik dengan konsep efisiensi. Oleh karena itu, konsep daya saing sering digunakan untuk mengukur keunggulan produk suatu negara terhadap negara pesaing. Hal tersebut antara lain
37
dikemukakan oleh Porter et al., (2008) yang mendefinisikan daya saing sebagai country’s share of world markets of its product. Penelitian daya saing untuk komoditas pertanian umumnya dilakukan dari sisi penawaran. Fokus penelitian yaitu pada keunggulan komparatif (analisis ekonomi), keunggulan kompetitif (analisis finansial), dan dampak kebijakan pemerintah.
Apakah
komoditas
berbasis
SDA
mempunyai
daya
saing
berkelanjutan atau tidak, Gonarsyah (2007) menyarankan tiga strategi. Pertama, ketahui posisi komoditi tersebut di pasar bersangkutan dan kemungkinan prospeknya. Guna menganalisisnya dapat digunakan metode Domestik Resource Cost (DRC), Constant Market Share (CMSA), Revealed Comparative Advantage (RCA), dan Trade Specialization Ratio (TSR). Kedua, kaji apakah harga di pasar benar-benar mencerminkan sebenarnya. Sejauhmana kegagalan pasar terjadi, apakah akibat eksternalitas, sifat barang publik, atau ketidaksempurnaan pasar, bagaimana dengan kegagalan kebijakan, kebijakan korektif
pemerintah,
bagaimana dampaknya terhadap distribusi pendapatan, dan bagaimana prospeknya. Ketiga, kaji bagaimana kemungkinan dampak peningkatan investasi pada komoditi berbasis sumberdaya alam tersebut terhadap keberlanjutan komponen sumberdaya alam yang mendukungnya dan non-sumber daya alam. Analisis daya saing baik secara kuantitatif maupun kualitatif diperlukan agar analisis bersifat komprehensif. Analisis tersebut akan berbeda-beda tergantung unit analisisnya. Porter et al., (2008) membagi unit analisis daya saing kedalam empat kategori berupa: negara, makro, mikro, produk atau perusahaan. Ditingkat negara, pengukuran daya saing antara lain menggunakan Global Competitiveness Index (GCI). Sebagai lingkungan daya saing, aspek makro
38
merupakan titik awal pendefinisian daya saing. Pada tingkat mikro harus diperhitungkan antara lain produktivitas dan indikator berdasarkan biaya. Disamping analisis kualitatif, analisis pangsa pasar juga diperlukan jika menganalisis daya saing pada tingkat sektor. Jika unit analisis berupa perusahaan, maka profitability lebih mendapat penekanan. Selain itu, kebijakan dan praktekpraktek manajemen juga perlu diperhitungkan. Jika unit analisis berupa produk, maka kinerja perdagangan termasuk hal yang harus diperhatikan (Coy, 2006). Terkait dengan pemilihan indikator daya saing, Afari (2004) dalam Oktaviani et al., (2008) menyebutkan bahwa indikator daya saing harus memenuhi kriteria: ketepatan, robustness, dapat dibandingkan, tersedia secara berkala, dan ukuran yang dapat diperbaharui. Indikator daya saing perdagangan mencakup tiga hal: kemampuan faktor internal, kemampuan faktor eksternal, dan kebijakan perdagangan. Selanjutnya, International Trade Center (ITC, 2007) mengembangkan Trade Performance Index (TPI) yang bertujuan menganalisis berbagai aspek dari kinerja ekspor dan daya saing berdasarkan sektor dan negara. Pengukuran daya saing bervariasi tergantung unit analisisnya. Menurut Kennedy et al., (1998) dalam mengukur daya saing tidak ada satu ukuran “terbaik” untuk menganalisisnya, akan tetapi pangsa pasar dan profitability merupakan ukuran yangcukup berguna dalam menganalisis daya saing perusahaan. Pangsa pasar merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat persaingan (Pitts dan Lagnevik, 1988 dalam Polymeros et al., 2005; Wagiono dan Firdaus, 2009).
Dikatakan memiliki daya saing jika
keberlanjutan pangsa suatu negara lebih besar dibandingkan pesaing. Sebuah industri kehilangan daya saing jika terjadi penurunan pangsa pasar (Markusen,
39
1992 dalam Coy, 2006).
Walaupun perubahan pangsa ekspor tidak
menggambarkan secara keseluruhan daya saing, paling tidak, pangsa pasar merupakan ukuran yang menggambarkan daya saing suatu negara di pasar internasional. Kemampuan suatu negara meningkatkan pangsa pasar adalah dengan menjual produk pada harga lebih rendah. Selanjutnya, menurut Keefe (2002) negara yang mempunyai teknologi lebih baik, lebih diuntungkan dengan meningkatnya pangsa pasar. Salah satu kelemahan pendekatan ini yaitu bahwa negara dengan harga produk lebih tinggi, misalnya produk organik, tidak berarti mempunyai pangsa pasar lebih tinggi. Faktor penentu daya saing mempunyai dimensi luas (Siggel, 2007). Menurut Kennedy et al., (1998) penentu daya saing dapat berasal dari teknologi, biaya input, economies of scale, mutu produk dan diferensiasi produk, iklan, dan faktor luar lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan menjadi dua grup yaitu yang mempengaruhi biaya dan yang mempengaruhi mutu. Senada dengan hal tersebut, Fleming dan Tsiang (1956) dalam Kustiari (2007) menyebutkan bahwa perubahan kekuatan bersaing dapat diakibatkan oleh faktor daya saing harga dan non-harga. Daya saing harga antara lain dipengaruhi oleh perbedaan laju produktivitas, perubahan nilai tukar, perubahan pajak/subsidi ekspor, dan perbedaan laju inflasi. Daya saing non-harga dipengaruhi antara lain perbedaan laju perbaikan mutu ekspor dan pengembangan produk baru, perbedaan laju perbaikan efisiensi pemasaran, dan perubahan pemenuhan permintaan ekspor. Cook and Bredahl (1991) dalam Saragih (2001) dimasa lalu, faktor penentu utama daya saing berupa kemampuan menghasilkan produk lebih murah, sedangkan dimasa mendatang ditentukan oleh kemampuan memasok barang dan
40
jasa pada waktu, tempat, dan bentuk (atribut) yang diinginkan konsumen pada harga sama atau lebih rendah dari pesaing dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas sumberdaya yang digunakan. Aisya et al., (2005b) menambahkan bahwa kaitan daya saing juga ditentukan antara kebijakan makroindustri dan strategi mikroperusahaan. Sejalan dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, dimasa mendatang keunggulan daya saing hanya dimiliki oleh komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif. Upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dinamisator melalui kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, peningkatan akses pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar. Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut lebih memberikan proteksi bagi masyarakat (Gonarsyah, 2007). Secara ringkas, daya saing bersifat dinamik dan berdimensi luas. Definisi daya saing berbeda tergantung tingkat unit analisis dan definisi spesifik tergantung dari tujuan penelitian. Dalam studi ini, pangsa pasar akan digunakan sebagai ukuran dari daya saing. Faktor penentu berasal dariproduktivitas dan mutu. Artinya, daya saing diamati dari sisi harga dan non-harga,serta dari aspek penawaran dan permintaan. Selain itu, model daya saingpun beragam dan tidak satupun model yang dapat menjelaskan daya saing secara utuh. Kompleksnya permasalahan dewasa ini menyebabkan tidak ada satu teori yang mampu menjelaskan perdagangan internasional dan daya saing secara komprehensif.
41
2.7. Produktivitas dan Daya Saing Dalam menganalisis daya saing, menurut Coy (2006) perlu diperhatikan penentu daya saing paling penting. Produktivitas merupakan konsep penting dalam mengukur daya saing internasional pada tingkat negara (Porter, 2006). Produktivitas tinggi memungkinkan sebuah negara menopang upah yang tinggi, nilai tukar yang kuat, dan tingkat pengembalian modal yang menarik. Tiap negara dapat meningkatkan kemakmuran jika mereka dapat meningkatkan produktivitas. Lebih lanjut, Martin et al., (2008) mencantumkan 12 pilar untuk menganalisis daya saing suatu negara/ekonomi. Kedua belas pilar tersebut digolongkan kedalam tiga kelompok faktor. Kelompok pertama berupa persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi ekonomi makro dan tingkat pendidikan, serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak proses pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan efisiensi ekonomi (atau produktivitas) seperti pendidikan dan pelatihan (mutu sumberdaya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan teknologi pada level nasional maupun perusahaan secara individu. Kelompok ketiga adalah faktor-faktor inovasi dan kecanggihan proses produksi didalam perusahaan yang secara bersama menentukan tingkat inovasi suatu negara. Produktivitas,
sebagai
ukuran
efisiensi
produksi,
mengacu
pada
perbandingan output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi terhadap jumlah penggunaan input. Peningkatan produktivitas dapat berasal dari adopsi teknologi baru atau berasal dari efisiensi produksi. Secara empiris, menurut
42
Gopinath et al. (1997) TFP merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian di AS. Demikian juga pada komoditas perikanan yang produksinya meningkat signifikan, seperti ikan Salmon, produktivitas merupakan sumber pertumbuhan (Asche et al., 2007). Produktivitas terkait dengan teknologi yang diusahakan dan berdasarkan tingkat teknologi, budidaya udang di tambak dikelompokan menjadi tiga tipe usaha yakni ekstensi/tradisional (tradisonal plus), semi-intensif, dan intensif. Perbedaan utama antara ketiganya terletak pada intensitas penggunaan input utama seperti benur, pakan, penggunaan kincir untuk menambah oksigen (O2), dan penggunaan pompa air untuk penggantian air. Akan tetapi, kelompok tersebut akan berbeda jika menggunakan varietas berbeda, misalnya antara pemeliharaan udang windu dengan udang vaname. Perbedaan tersebut terutama disebabkan udang windu hidup di dasar tambak, sedangkan udang vaname hidup di kolom air. Perubahan teknologi dari tradisional ke semi-intensif dan intensif melalui peningkatan padat penebaran, peningkatan pemberian pakan, dan input lainnya dapat menghasilkan limbah lebih banyak. Apabila tidak tertangani dengan baik, sisa pakan tersebut akan menghasilkan racun yang berpotensi menurunkan mutu air dan selanjutnya memudahkan terjadinya serangan penyakit yang dapat menyebabkan kegagalan panen. Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi tambak intensif makin berkurang, seiring tingginya risiko terjadinya serangan penyakit. Leung dan Gunaratne (1996) membandingkan perbedaan produktivitas budidaya udang windu ditujuh negara Asia (Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Philipina, Srilanka, dan Vietnam) pada tiga tingkat teknologi/tipe usaha
43
budidaya
berbeda:
ekstensif,
semi-intensif,
dan
intensif.
Menggunakan
perhitungan produktivitas secara parsial dan total (TFP), Srilanka lebih produktif pada ketiga tipe usaha dibandingkan negara lainnya. Philipina paling produktif pada tipe ekstensif diikuti Srilanka, Indonesia dan India. Produktivitas Indonesia untuk semi-intensif berkisar di rata-rata dari negara yang diteliti. Indonesia bersama Kamboja dan Philipina termasuk yang kurang produktif untuk tipe intensif. Kondisi di Indonesia serupa dengan Philipina yaitu ekstensif lebih produktif dibandingkan tipe intensif. Negara yang lebih berpengalaman seperti Taiwan dan Thailand lebih produktif dibandingkan negara yang belum berpengalaman dalam budidaya udang seperti Myanmar dan Kamboja. Martinez-Cordero dan Leung (2005) menghitung TFP menggunakan pendekatan Malmquist Index dan menghitung efisiensi teknis untuk tambak semiintensif di Meksiko periode 1994, 1996-1998, dan 2001-2003. Dengan menambahkan faktor lingkungan, hasil perhitungan yang diperoleh lebih rendah dibandingkan perhitungan secara tradisional. Lebih jauh Gunaratne dan Leung (1996) menganalisis efisiensi teknis menggunakan fungsi produksi stochastic frontier. Diantara faktor produksi seperti tenaga kerja, pakan, dan benur maka faktor yang lebih berpengaruh terhadap efisiensi adalah pakan. Pada tipe usaha ekstensif, Bangladesh, Philipina, dan Indonesia lebih efisien dibandingkan Vietnam dan India. Thailand lebih superior dibandingkan dengan negara lainnya. Luas lahan berkorelasi negatif pada efisensi untuk tipe ekstensif dan semi-intensif, sedangkan untuk intensif berkorelasi positif.
44
Tajerin (2007)
menggunakan fungsi produksi stochastic frontier
memperoleh efisiensi teknis udang Indonesia sekitar 56%. Kumar dan Kumar (2003) efisiensi teknis budidaya udang di India rata-rata mencapai 69%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi. Pembudidaya berskala besar lebih efisien karena membutuhkan biaya investasi lebih besar. Sewa kurang efisien dibandingkan milik sendiri. Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pengalaman pembudidaya udang. Selanjutnya, menurut Abubakar (2007) dummy intensifikasi dan benur berpengaruh nyata terhadap produktivitas tambak di NTB. Akan tetapi, suatu hal yang tidak bisa diabaikan dalam budidaya udang dan merupakan salah satu kendala terbesar adalah terjadinya serangan penyakit (Devi dan Prasad, 2006). Berdasarkan uraian di atas, produktivitas merupakan salah satu faktor penentu daya saing baik untuk tingkat negara, maupun di perusahaan. Peningkatan produktivitas dapat berasal antara lain dari adopsi teknologi atau efisiensi usaha. Pada budidaya udang di tambak, pakan merupakan faktor paling berpengaruh terhadap efisiensi. Adanya serangan penyakit juga merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam budidaya udang. 2.8. Mutu, Keamanan Hasil Produksi Perikanan, dan Daya Saing Secara umum, hubungan antara mutu, keamanan hasil produk perikanan dan daya saing terkait dengan elastisitas permintaan. Elastisitas permintaan impor akan meningkat melalui peningkatan mutu, promosi ekspor dan menjaga kontinuitas ekspor dengan memasok udang tepat: waktu, tempat, dan bentuk. Akibatnya akan terjadi kenaikan kuantitas ekspor dan kenaikan harga udang.
45
Kondisi tersebut akan meningkatkan keuntungan bagi produsen atau dengan kata lain akan meningkatkan daya saing. Akan tetapi peningkatan mutu memerlukan tambahan biaya sehingga terjadi kenaikan harga udang. Letak geografis juga berpengaruh, misalnya Thailand yang berada di daerah semi periphery menurut Kagawa dan Bailey (2003) mempunyai biaya lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang berada di daerah periphery. Oleh karena itu Thailand lebih fokus memproduksi udang bermutu tinggi. Shyam et al., (2004) menambahkan bahwa mutu juga merupakan prime mover perdagangan internasional. Kebutuhan akan produk bermutu tersebut didorong beberapa faktor. Pertama, negara maju cenderung mengkonsumsi barang bermutu. Kedua, biaya transportasi secara proporsional lebih tinggi untuk barang kurang bermutu (Alchian dan Allen, 1984 dalam Hummels dan Skiba, 2002). Ketiga, mutu ekspor mensyaratkan sertifikasi (seperti ISO 9000) dikarenakan transaksi internasional kadang dihadapkan pada permasalahan asimetris informasi karena perbedaan: bahasa, persepsi tentang mutu (Hudson dan Jones, 2003). Hubungan antara mutu produk dan perdagangan tidak dapat dilepaskan dari studi Steffan Linder (Faruq, 2006). Fan (2005) memperkuat hipotesa Linder yang menyebutkan bahwa permintaan akan produk bermutu tergantung stok Sumber Daya Manusia (SDM), dan pendapatan. Hallak (2005) menguji hipotesa tersebut menggunakan data perdagangan bilateral 60 negara. Hasilnya, terdapat hubungan positif antara pendapatan per
kapita dan permintaan akan produk
bermutu. Hal tersebut memperkuat teori Hecksler-Ohlin (H-O) bahwa negaranegara kaya akan berspesialisasi dengan memproduksi barang yang mempunyai intensitas faktor melimpah. Negara kaya cenderung mengekspor barang bermutu
46
karena produk bermutu membutuhkan padat kapital, dan negara miskin yang kaya tenaga kerja cenderung mengekspor produk kurang bermutu. Selain itu, mutu juga tergantung pada Foreign Direct Investment (FDI) (Faruq, 2006). Selanjutnya, menurut Voon dan Xiang-Dong (1997) mutu atau komposisi ekspor juga merupakan penentu utama pangsa ekspor suatu negara. Salah satu permasalahan dalam menganalisis mutu adalah bahwa mutu tidak terobservasi secara langsung dalam data perdagangan (Faruq, 2006). Oleh karena itu, konsensus dan cara pengukuran mutu masih diperdebatkan. Menurut Hallak (2005) perbedaan mutu, barangkali merupakan salah satu sumber utama dari variasi antar negara dalam harga ekspor. Akan tetapi variasi tersebut mungkin juga merefleksikan perbedaan harga untuk produk yang sama mutunya, sebagai contoh karena perbedaan biaya produksi. Asumsi yang sering digunakan adalah bahwa keragaman harga mencerminkan perbedaan mutu dengan proxy berupa perbedaan harga satuan (unit value) antar negara. Makin mendekati nilai satu, mencerminkan makin dekat persamaan mutu produk diantara kedua negara tersebut (Abd-el Rahman, 1991 dalam Faruq, 2006). Akan tetapi penggunaan unit value tersebut memiliki keterbatasan disebabkan tingginya heterogenitas produk dan adanya kesalahan klasifikasi. Pengukuran lainnya antara lain Hallak (2005) yang menyusun indeks mutu tiap negara. Hallak menggunakan rataan indeks geometri Fischer daripada indeks Laspeyres dan indeks harga Paasche. Hummels dan Skiba (2002) menghitung dengan perbedaan harga antar pasangan negara untuk produk dengan kategori yang telah ditetapkan. Selain mutu, dalam perdagangan udang perlu juga memperhatikan keamanan hasil produk perikanan. Hal tersebut merupakan faktor penentu
47
suksesnya ekspor karena terkait aturan-aturan baik lokal maupun internasional. Salah satu pendekatan untuk menjamin mutu dan keamanan hasil produk perikanan yaitu penggunaan konsep HACCP/PMMT. Menurut Simangunsong (2008) pendekatan end process
saat ini sudah tidak mencukupi, tetapi
memerlukan pendekatan in process.
Pengujian pada produk akhir kurang
mencegah terjadinya kontaminan pada produk pangan dibandingkan program in process. Akan tetapi, penerapan HACCP/PMMT tidak mudah diaplikasikan ditiap tahapan kegiatan, khususnya ditingkat produksi primer. Agar terjadi keefektifan penggunaan Program tersebut ditiap rantai pasokan, maka perlu kombinasi dengan program lainnya. Selain itu, kontrol keamanan hasil produk perikanan tidak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah dan pihak swasta.
Permasalahan mutu
melibatkan kegiatan sejak pembenihan/hatchery sampai distributor. Gambar 11 menunjukkan kondisi permasalahan umum mutu udang di Vietnam yang mirip dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan Gambar tersebut, banyak hal yang masih perlu dikerjakan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu produk udang agar diterima oleh konsumen di luar negeri. Menurut Shang et al., (1998); Kagawa dan Bailey (2003) mutu merupakan faktor penentu keputusan konsumen di Jepang membeli udang. Mutu udang dapat mengacu antara lain pada: species, warna, ukuran, berat, dan kandungan nutrisi. Tabel 10 merupakan contoh penggolongan mutu udang. Udang ekspor umumnya bermutu, sedangkan yang kurang bermutu umumnya untuk konsumsi domestik.
48
Hatchery
Rendahnya mutu induk Lingkungan terpolusi Pakan induk yang kurang terkontrol
Benur bermutu rendah
Pengunaan obat-obatan Pengunaan bahan kimia Lingkungan tercemar
Residu bahan kimia
Serangan penyakit
Udang terkontaminasi Rendahnya kesadaran pedagang akan
Adanya kecurangan
Terbatasnya peralatan
Lingkungan terpolusi
Terbatasnya peralatan uji
Kemampuan manajerial rendah
Udang terkontaminasi Kekurangbersihan es, pabrik, karyawan, lama pengolahan, penggunaan desinfektan
Teknologi ketinggalan
Kerusakan fisik
Kondisi Penyimpanan
Lamanya pemrosesan
Transportasi/pengiriman
Infeksi mikrobiologi
Temperatur, gudang yang tua, kebersihan gudang, waktu penyimpanan, teknologi yg ketinggalan
Infeksi mikrobiologi
Temperatur, alat transportasi, kebersihan peralatan, waktu pengangkutan
Sumber: diadaptasi dari Loc (2006)
Gambar 11. Permasalahan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Udang Tambak
Udang jual terkontaminasi
Penyimpanan
Residu bahan kimia
Udang terkontaminasi
Teknik pengolahan
Pengunaan bahan kimia & bahan lainnya
Udang terkontaminasi
Pedagang Pengumpul
Residu bahan
Rendahnya kesadaran pembudidaya akan Pakan yang kurang terkontrol
Cold Storage
Pengunaan obat-obatan
Udang terkontaminasi
TambakUdang
Adanya serangan penyakit
Distributor
Rendahnya mutubenur
Terbatasnya peralatan hatchery
49
Efek standardisasi mutu terhadap perdagangan telah dikuantifisir pada beberapa studi sebelumnya. Hasilnya, standar tinggi berpengaruh negatif secara signifikan dalam perdagangan bilateral (Nguyen dan Wilson, 2009). Untuk kasus Thailand, zero tolerance oleh UE menyebabkan efek diversi dari pasar UE ke AS sehingga harga udang di AS turun. Dengan demikian, akibat yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan UE dan Thailand, akan tapi juga oleh Thailand di pasar AS (Debaere, 2007). Selain itu, pemenuhan akan syarat keamanan hasil produk perikanan menurunkan daya saing ekspor perikanan India sebesar 16.7% (Kumar dan Kumar, 2003). Eksportir di Bangladesh mengeluarkan US$ 2.2 juta, dan pemerintah mengeluarkan 225 ribu US$ untuk Program HACCP. Kebutuhan anggaran lainnya yaitu 17.6 juta untuk meng-upgrade fasilitas. Ecolabelling butuh US$ 500-2 juta, biaya operasional US$ 300-500 ribu, dan biaya untuk set up laboratorium US$ 265 ribu (Khatun, 2004). Menurut Loc (2006) kondisi produk hasil laut asal Thailand ke AS tahun 2002, sebanyak 63% terkontaminasi oleh Salmonela, dan 38% dimusnahkan atau dikembalikan. Selanjutnya, menurut Jha (2002) dalam (Kumar dan Kumar, 2003), 15% dari total ekspor dari berbagai negara ke AS periode 1996-1997 hilang akibat automatic detention karena rendahnya sanitasi. Menurut Loc (2006) penerapan HACCP di Vietnam lebih karena kewajiban, bukan sebagai alat efektif untuk meningkatkan mutu permintaan eksportir.
50
Tabel 10. Pengklasifikasian Mutu dan Ukuran Udang Windu UPI di Jakarta dan di Ujung Pandang Kode
Ukuran
Jumlah per 454 g
(*)
4-6
5-6
U
6-8
A
Kategori
Mutu I
Jumlah (ekor per kg)
AA
1-15
7-8
A1
16-20
8-12
11-12
A2
21-27
B
13-15
15-16
A3
28-34
C
16-20
20-21
B
35-40
D
21-25
25-26
C
41-50
E
26-30
30-31
D
51-60
F
31-40
40-41
E
61-70
G
41-50
50-51
L1
1-27
H
51-60
60-61
L2
28-50
I
61-70
70-72
BS
J
71-90
90-92
Sumber: PT. South Suco Ujung
K
91-120
115-125
Mutu II -
Pandang (1999) dalam Hutabarat et al., (2000)
Sumber: PT HJG (1999) dalam Raimu (2000)
Penetapan SPS akan menurunkan biaya transaksi yang bersumber dari ketidakyakinan konsumen terhadap mutu produk yang dibelinya. Biaya transaksi dibedakan menjadi biaya: informasi, pengukuran nilai atribut, pengambilan keputusan dan pembuatan kontrak, pelindung hak atas barang yang dibeli, dan biaya pengamanan kontrak. Semakin tinggi ketidakpastian dan semakin rumit mekanisme transaksi, maka semakin tinggi biaya informasi. Selanjutnya biaya pengukuran nilai atribut akan semakin tinggi apabila mutu tidak pasti. Biaya pelabelan merupakan salah satu contoh dari biaya perlindungan hak. Biaya tersebut menjadi tinggi apabila barang atau jasa yang ditransaksikan dengan eksternalitas atau diliputi ketidakpastian yang tinggi. Termasuk kedalam biaya
51
pengamanan kontrak adalah biaya untuk menjaga agar mitra transaksi melaksanakan kewajiban kontrak. Biaya menjadi tinggi apabila transaksi diliputi dengan ketidakpastian yang tinggi, jaringan transaksi yang rumit dan perilaku mitra yang oportunistik. Menurut Freebairn (1967) adanya standardisasi mutu dapat menekan biaya. Alasannya terutama karena pelayanan pemasaran, antara lain: pembelian dan penjualan dilkukan dengan deskripsi yang jelas, dan menghilangkan waktu dan biaya untuk berdebat mengenai mutu. Standardisasi mutu juga berfungsi untuk mengurangi friksi karena dengan adanya standar mutu, maka akan membantu eksportir membuat produk sesuai keinginan konsumen. Pada akhirnya, ketidakmampuan memenuhi persyaratan SPS akan mengurangi daya saing. Isu lain dalam perdagangan udang adalah ecolabelling. Ecolabelling bertujuan menciptakan lingkungan lebih baik atas dasar insentif pasar melalui penciptaan permintaan konsumen akan produk seafood dari stok yang dikelola dengan baik. Label lingkungan dapat bersifat mandatory (jika dijadikan sebagai salah
satu
hambatan
perdagangan)
atau
voluntary.
Dengan
palabelan
memungkinkan konsumen menilai mutu sebelum membelinya. Sertifikasi ecolabelling oleh pihak ketiga mempunyai fungsi sebagai: (1) evaluasi yang independen, (2) alat perlindungan konsumen, dan (3) salah satu sarana mencapai tujuan perlindungan lingkungan. Akan tetapi, efektifitas dari pelabelan tergantung dari kesadaran konsumen akan pentingnya label dan penerimaan konsumen akan label.
52
Berdasarkan uraian di atas, perbaikan mutu dapat meningkatkan elastisitas permintaan sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing. Akan tetapi untuk
meningkatkan
mutu
diperlukan
tambahan
biaya.
Secara
umum,
standardisasi mutu terhadap perdagangan berefek negatif. Salah satu kesulitan dalam mengukur mutu adalah mutu tidak terobservasi secara langsung dalam data perdagangan. 2.9. Penelitian Terdahulu Studi terkait daya saing Komoditas udang telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan antara lain: RCA, CMSA, DRC, model Berlian Porter, dan pendekatan lainnnya seperti disajikan pada Tabel 11 dan 12. Secara umum, udang beku Indonesia mempunyai daya saing. Ling et al., (1996) menggunakan pendekatan RCA untuk 9 (sembilan) negara pengekspor: Thailand, Indonesia, Philipina, Malaysia, China, India, Taiwan, Ekuador dan Mexico periode Tahun 1989-1991 ke pasar Jepang dan AS. Produk didiferensiasi kedalam empat kategori berdasarkan pengkodean Standard International Trade Center (SITC) yaitu beku, hidup, segar, dan kering/olahan. Hasilnya, Taiwan mempunyai keunggulan komparatif mengekspor udang bermutu (seperti udang hidup) ke Jepang dengan nilai RCA 17.2 - 19.1 dan bentuk peeled fresh ke AS
karena memadainya jaringan pengapalan/pengiriman, kemasan,
transportasi. Tingkat kelangsungan hidup udang mencapai di atas 80% dengan lama perjalanan sampai 15 jam (Chiang dan Liao, 1985 dalam Ling et al., 1996).
53
Tabel 11. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Daya Saing Komoditas Udang No
Pengarang
Pendekatan Analisis
1.
Ling et al. (1996)
RCA
9 pengekspor tahun 19891991
2.
Sagheer et al., (2007)
Model Berlian Porter
Thailand dan India
3.
Cong Sach (2003)
RCA
4.
Aisya et al., (2005b)
RCA
udang tambak, tahun 19852001 Indonesia
5.
Aisya et al.,(2005b)
CMSA
Indonesia
6
Ling et al., (1999)
DRC
3 tipe tambak, 10 negara ke Jepang,UE,AS
7.
Aisya et al., (2005c)
PAM
Indonesia
Biaya manfaat Sosial RCA
3 tipe tambak di Sulsel Indonesia
Indeks Spesialisasi Perdagangan
Indonesia
Size dan comparative advantage
28 negara eksportir periode tahun 1990 dan 2000
Hutabarat et al., (2000) 9. Munandar et al., (2006) 10. Kusumastanto dan PKSPL IPB (2007) 11. Cai dan Leung (2006) 8.
Kasus
Ringkasan Studi/ Faktor Penentu Daya Saing Memadainya jaringan (Taiwan), keunggulan geografis dan joint venture (Ekuador) Kehadiran perusahaan multinasional dan pemerintah berperan penting Indonesia dan Thailand menurun, sedangkan Vietnam meningkat Indonesia tergantung pada udang segar dibandingkan udang olahan. udang segar relatif terdistribusi pada pasar yang permintaanya relatif lambat, dan sebaliknya untuk udang olahan. Penentu daya saing: biaya oportunitas dan harga yang diterima di pasar internasional Usaha intensif paling efisien dalam penggunaan biaya domestik. Terjadi transfer penerimaan dari petani udang intensif dan semiintensif kepada konsumen dan produsen input. Udang Indonesia memiliki daya saing Indonesia mempunyai daya saing tapi menurun Udang Indonesia berada pada posisi pertumbuhan ke kematangan Tahun 2000 lebih kompetitif dibandingkan tahun 1990, sementara di UE tidak nampak dominasi regional
54
Philipina dan Malaysia mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor produk dried/salt/in brine shrimp ke Jepang. Indonesia, Philipina, Ekuador, dan Meksiko mempunyai keunggulan komparatif pada udang beku shell-on di pasar AS. India dan China netral, sedangkan Malaysia, India, dan Taiwan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Ekuador dan Mexico mempunyai keunggulan komparatif ke pasar AS akibat keunggulan geografis dan adanya joint venture dengan AS untuk produk udangshell-on dan peeled fresh. Tabel 12. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Produktivitas dan Mutu pada Komoditas Udang No A. 1.
2. B. 1.
2.
Topik Pengarang Produktivitas Leung dan Gunaratne (1996) Tajerin (2007) Mutu Salayo (2000)
Cato dan Santos (2000)
Pendekatan Analisis
Kasus
Fungsi produksi Stochastic Frontier (SF) SF
7 negara di Asia
Hedonic Price Index
Dunia. periode tahun 19831996
Indonesia
Bangladesh
Ringkasan Studi/Faktor Penentu Daya Saing Negara yang lebih berpengalaman lebih produktif dibandingkan yang kurang berpengalaman Efisiensi teknis udang tambak Indonesia 56% Harga menurun 1.4% per tahun. Artinya, dengan menganggap mutu tetap, maka harga udang relatif menurun terhadap inflasi Bangladesh kehilangan $14.6 juta atau 35% dari pendapatan ekspor tahun 1996 akibat pelarangan ekspor oleh UE.
Selanjutnya, Ling et al. (1999) menganalisis keunggulan komparatif menggunakan DRC untuk udang tambak di 10 negara Asia yang mengekspor udang ke pasar Jepang, UE, dan AS tahun 1994/1995. Keunggulan komparatif dianalisis pada berbagai tipe usaha budidaya (intensif, semi-intensif, dan ekstensif). Survey mencakup 870 tambak intensif, 1 022 semi-intensif, dan 2 898 ekstensif. Hasilnya, negara-negara di Asia mempunyai keunggulan komparatif
55
dengan mengekspor udang ke Jepang dibanding dengan ke AS dan UE, terutama karena harga premium yang diperoleh di pasar Jepang. Thailand, Indonesia, dan Srilanka mempunyai posisi keunggulan komparatif relatif lebih baik dibandingkan negara-negara Asia lainnya untuk ketiga jenis tipe usaha budidaya yang diamati. Sebaliknya, tambak semi-intensif di Bangladesh tidak mempunyai keunggulan bersaing untuk mengekspor ke AS dan UE karena memiliki biaya pakan lebih tinggi. Sistem budidaya intensif di China relatif netral untuk pasar AS karena nilai DRC sama dengan satu. Faktor penentu tingkat keunggulan komparatif dari negara produsen di Asia adalah biaya oportunitas dari biaya operasional dan harga yang diterima di pasar internasional. Keunggulan komparatif dapat ditingkatkan dengan perbaikan pada pajak, pinjaman pada tingkat bunga rendah, pengurangan tarif impor tepung ikan, dan bahan lainnya untuk membuat pakan. Selain itu, penting melakukan koordinasi dibidang ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional, pengembangan produk, informasi pasar karena adanya fluktuasi harga udang di pasar internasional. Aisya et al. (2005c) menganalisis dampak kebijakan insentif dan kinerja pasar udang Indonesia menggunakan pendekatan PAM. Hasilnya, udang Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, danusaha intensif paling efisien dalam penggunaan biaya domestik. Selain itu, terjadi transfer penerimaan dari petani udang intensif dan semi-intensif kepada konsumen dan produsen input berturut-turut 1.83% dan 1.92% dari masing-masing pendapatan. Sebaliknya kebijakan ini menyebabkan penerimaan untuk pembudidaya udang untuk tambak tipe tradisional menjadi 14.07% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa kebijakan.
56
Cong Sach (2003) menganalisis keunggulan komparatif udang tambak periode 1985-2001 menggunakan RCA. Hasilnya, nilai RCA udang tambak Indonesia menurun dari 10.03 menjadi 8.50, sedangkan Thailand meningkat dari 17.90 menjadi 23.5. Vietnam walaupun menurun dari 46.30 ke 22.30 akan tetapi nilainya masih jauh dibandingkan Indonesia. Selanjutya, Leung dan Cai (2005) menganalisis berdasarkan negara tujuan ekspor periode 1990 sampai dengan awal 2000, nilai RCA Indonesia untuk pasar AS menurun dan untuk pasar UE nilai RCA lebih rendah, akan tetapi pertumbuhannya positif. Cai dan Leung (2006) melakukan studi terhadap 28 negara eksportir udang beku ke tiga tujuan pasar utama (Jepang, AS, dan UE) menggunakan indikator kinerja ekspor berupa “size advantage” dan “comparative advantage” untuk mengukur dominansi di suatu pasar. Perubahan pangsa pasar digunakan sebagai ukuran market power. Variasi market share didekomposisi menjadi “size variation” dan “structural variation”. Hasilnya, ketiga pasar makin kompetitif pada tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 1990. Market power makin kurang terkonsentrasi di ketiga pasar tersebut. udangdi pasarJepang didominasi oleh pengekspor dari negara-negara Asia Fasifik, di pasarAS oleh Amerika Latin, sedangkan untuk UE tidak nampak adanya dominasi regional. Berdasarkan jenis produk menggunakan kategori berdasarkan SITC, menurut Aisya et al., (2005b) ekspor Indonesia masih tergantung pada udang segar (SITC 34) dengan RCA mencapai 7.18 di tahun 2004, namun harga udang segar lebih rendah dibandingkan dengan udang olahan (SITC 37). Dengan demikian, upaya mendorong ekspor produk udang olahan menjadi penting, namun terkendala oleh nilai RCA udang olahan yang hanya 1.17. Artinya hanya sedikit
57
dari batas bawah keunggulan komparatif sebesar satu. Dengan demikian, perlu kerja keras dari pemerintah untuk mendorong peningkatan ekspor udang olahan. Masih studi yang sama, menggunakan metode CMSA, efek pasar dari udang segar bertanda negatif, artinya terdistribusi pada jenis-jenis komoditas yang permintaannya relatif lambat di negara tujuan ekspor utama, dan sebaliknya udang olahan. Ditinjau dari efek daya saing udang segar tandanya positif, artinya memiliki daya saing yang kuat. udang olahan (SITC 37) mempunyai tanda positif. Artinya, naiknya pertumbuhan dunia mengakibatkan ekspor komoditas udang olahan Indonesia meningkat. Hasil tersebut mendukung analisis menggunakan RCA. udang olahan yang nilai tambahnya lebih tinggi, efek pertumbuhan dan daya saingnya menguntungkan, akan tetapi masih kalah dibandingkan dengan daya saing udang segar. Hutabarat et al., (2000) menganalisis daya saing menggunakan pendekatan nilai Biaya Manfaat Sosial (BMS) untuk tambak di Sulawesi Selatan. Nilainya berturut-turut 0.62, 0.63, dan 0.57 untuk sistem tradisional, semi-intensif, dan intensif. Artinya,udang tambak di Sulawesi Selatan masih mempunyai daya saing karena bernilai <1. Kusumastanto dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB (2007) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), hasilnya menunjukkan bahwa udang Indonesia berada pada kondisi pertumbuhan ke kematangan. Swaranindita (2005), menggunakan teori Berlian Porter; Herfindahl Index dan RCA untuk pasar AS, menghasilkan bahwa struktur pasar udang beku yang dihadapi Indonesia tahun 1984-1989 dan 2000 adalah pasar persaingan monopolistik dan tahun 1990-2000 adalah pasar oligopoli. Struktur pasar udang segar adalah oligopoli periode 1984 sampai dengan 1999 dan pasar
58
persaingan monopolistik periode 1997-2000.Posisi Indonesia adalah market follower. Dari angka indeks RCA tersebut, Indonesia memiliki daya saing yang kuat. Munandar et al., (2006) menganalisis udang Indonesia menggunakan indeks RCA dan memprediksi 10 tahun ke depan. Dengan skenario perekonomian stabil, udang masih mempunyai daya saing, walaupun menurun dengan presentase penurunan 13.4% per tahun. Tingkat kompetisi ekspor dipengaruhi suku bunga, upah, pendapatan per kapita negara domestik, pendapatan per kapita negara importir, dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk signifikan secara statistik, sedangkan harga produk ikan olahan dan produktivitas modal tidak signifikan. Dari
aspek
penawaran
dan
permintaan,
analisis
ekonometrika
menggunakan persamaan simultan telah banyak dilakukan antara lain: Gonarsyah (1990), Retnowati (1990), Irwan (1997), Soepanto (1999), Oktariza (2000), Raharjo (2001), DKP (2004), Pitaningrum (2005), dan Koeshendrajana (2006). Dari hasil studi tersebut dapat dikemukakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah ekspor adalah harga ekspor udang, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan produksi udang. Impor udang dipengaruhi harga riil udang dunia, harga riil impor produk substitusi (harga tuna), dan pendapatan riil per kapita. Selanjutnya, menurut pangsa pasar hasilnya: terjadi persaingan nyata di pasar AS dan Jepang, di pasar UE belum terlihat (Rahardjo, 2001). di pasar ASEAN tingkat persaingan relatif rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Singapura berpengaruh terhadap pangsa pasar udang Indonesia (Oktariza, 2000). Di pasar Jepang dalam jangka panjang relatif peka terhadap perubahan rasio harga ekspor (Gonarsyah,
59
1990). Tajerin dan Noor (2004) menambahkan di Jepang dan AS udang Indonesia sampai dengan 2004 masih dominan. Ancaman di pasar AS berasal dari Thailand dan di pasar Jepang dari sisa dunia. Studi pada aspek mutu dan keamanan hasil produk perikanan memberikan hasil beragam. Salayo (2000) menganalisis hubungan antara harga udang dan perubahan mutu menggunakan Hedonic Price Index. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam periode 1983-1996 harga menurun 1.4% per tahun. Artinya, dengan menganggap mutu tetap, maka harga udang relatif menurun terhadap inflasi. Menurut Wibowo (2003), penerapan HACCP/PMMT tidak menyebabkan persaingan antar skala usaha yang berbeda pada usaha rajungan, akan tetapi menyebabkan persaingan pada skala usaha yang sama. Cato dan Santos (2000) menyebutkan Bangladesh kehilangan penghasilan $14.6 juta atau 35% dari pendapatan ekspor tahun 1996 akibat pelarangan ekspor ke UE. Studi oleh peneliti di University of Reading terhadap 99 negara dan fokus ke UE menyebutkan bahwa SPS merupakan faktor penting penentu kemampuan negara berkembang dalam melakukan ekspor ke negara maju. Menurut Kumar dan Kumar (2003) meskipun masih kompetitif, akan tetapi daya saing ekspor udang India menurun 16.7%. Hasil studi IFC (2007b) menyebutkan bahwa udang Nigeria berkembang karena menerapkan HACCP/PMMT. Kebijakan HACCP/ PMMT berpengaruh terhadap mutu, penerapan di unit pengolahan menjadi prioritas, dan berikutnya di tambak serta penampungan udang. Sebagai contoh, menurut Suryana et al., (1989) pada periode Januari sampai Juni 1988 ekspor udang Indonesia yang tidak lulus pemeriksaan FDA mencapai 17 000 ton senilai US$ 165 juta karena udang terkontaminasi Salmonela arizona, pemrosesan/
60
pembekuan kurang sempurna, dan terkena pembusukan kotoran. Akibat penolakan tersebut harga udang turun dari US$ 17/kg menjadi US$ 11/kg. Terkait dengan risiko dan keuntungan, studi Oktaviani et al., (2008) di Sulawesi Selatan memperoleh hasil bahwa tidak ada pembagian risiko antara petani, pedagang pengumpul, dan koordinator. Berdasarkan analisis AHP: sumberdaya merupakan hal paling penting, disusul teknologi. Strategi terbaik yaitu menjalin kerja sama antara pembudidaya dan pedagang perantara. Dari aspek srategi, petani di negara berkembang perlu merubah orientasinya dari product oriented menjadi market oriented. Kolaborasi manajemen rantai pasokan diperlukan karena produsen di negara berkembang terkendala oleh teknologi, infrastruktur belum memadai, tergantung pada tenaga kerja rumah tangga, teknik usahanya tradisional (Van Roekel, 2002). Persaingan industri sudah bergeser dari kompetesi industri secara individu menjadi kompetesi rantai pasok dan di masa mendatang akan menjadi persaingan yang berbasis kluster (Pertiwi, 2007). Hasil studi Herman (2002) pada komoditas sayuran bernilai tinggi, sayuran Edamame, penerapan model aliansi strategis dapat meningkatkan margin keuntungan rantai pasokan dari 8% menjadi 17% dan kinerja meningkat 345%. Keuntungan meningkat dari 7% menjadi 22%. Penerapan model meningkatkan kinerja rantai pasokan paprika sebesar 233%. Titik impas usaha tani pada 4.326 kg/panen/sungkup. Konsumen diuntungkan dengan penurunan harga pada tingkat konsumen (swalayan) sebesar 19%.
61
2.10. Posisi Penelitian Studi mengenai komoditas udang telah banyak dilakukan. Akan tetapi, sepengetahuan penulis, penelitian udang tambak secara komprehensif sejak produksi sampai perdagangan masih terbatas. Umumnya studi dilakukan dengan topik terpisah misalnya mengenai: produktivitas (Leung dan Gunaratne, 1996), daya saing (Ling et al. 1996 dan 1999; Cai dan Leung, 2006), mutu (Salayo, 2000), dan mutu serta keamanan hasil produk perikanan (Loc, 2006). Hasil studi mengenai udang tambak sebelumnya menunjukkan bahwa udang Indonesia (udang beku) mempunyai daya saing (Aisya et al., 2005c; Hutabarat 2000), belum efisien (Tajerin, 2007), perlu peningkatan produktivitas dan mutu (IFC, 2006a), dan diperlukan kerja sama antara pembudidaya udang dan pengolah (Raimu, 2000; Oktaviani et al., 2008). Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kajian yang lebih komprehensif dan pendalaman lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berperan dalam produksi dan pemasaran udang. Gonarsyah (2007) dan Cai dan Leung (2006) mengungkapkan bahwa identifikasi pola keunggulan komparatif hanya merupakan langkah awal, yang lebih penting adalah mengerti faktor pendorong di balik itu. Oleh karena itu, studi ini mencoba mengisi kekosongan tersebut dengan mengkuantifisir pengaruh produktivitas dan upaya peningkatan mutu terhadap daya saing udang tambak. 2.11. Novelty Udang merupakan komoditas penting penyumbang devisa dari sektor perikanan dan dewasa ini tingkat persaingan sesama produsen makin meningkat. Selain relatif mudah diproduksi dimana-mana, peningktan persaingan sesama juga disebabkan kemajuan bidang teknologi, manajemen pakan, dan sebagainya.
62
Penelitian terkait udang sudah banyak namun masih parsial, misalnya pada produksi, pemasaran, atau perdagangan. Oleh karena itu, analisis daya saing yang dilakukan ini mencoba mengulasnya secara komprehensif. Penggunaan konsep derived demand untuk produk pertanian dan produk lainnya sudah umum antara lain Sinaga (1989) untuk kayu. Menggunakan asumsi dari hasil penelitian Keefe (2002) bahwa produk udang yang satu merupakan substitut bagi produk udang lainnya dengan tingkat substitusi yang berbeda-beda, maka pada studi ini produk udang didisagregasi menjadi udang segar, beku, olahan, dan dianalisis menggunakan konsep derived demand. Udang vaname menjadi fenomenal di Thailand, produksi tahun 2010 mencapai 97% dari total produksi sebesar 550 ribu ton. Di Indonesia peran udang vaname juga meningkat, tercermin dari kuantitas produksi tahun 2007 telah melampaui produksi udang windu. Studi ini mencoba menganalisis fenomena perubahan varietas tersebut. Perkembangan industri udang terkendala rendahnya produktivitas dan rendahnya mutu. Pada tingkat lapang produktivitas udang tambak dianalisis dengan pendekatan yang digunakan menggunakan angka indeks Tornqvist Theil.