II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal adalah bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian dan pembangunan ekonomi suatu negara. Kebijakan fiskal mempunyai dua instrumen pokok yaitu; perpajakan (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy) (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981). Dengan instrumen tersebut dapat dijelaskan bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap kondisi perekonomian, tingkat pengangguran dan inflasi. Secara keseluruhan arah kebijakan fiskal diharapkan mampu mewujudkan get price right, get all policies right, dan get institution right dalam perekonomian Indonesia (Subiyantoro dan Riphat, 2004). Dinamika kebijakan fiskal ke arah itu dijelaskan sebagai berikut.
2.1.1. Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah berasal dari pajak, non pajak, dan hibah. Hasil Studi ADB (2006) disajikan pada Tabel 3 diketahui, kawasan Asia Tenggara rata-rata memiliki share penerimaan pemerintah terhadap PDB cenderung rendah dan menurun jika dibandingkan dengan kawasan lainnya (Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, dan Pasifik). Indonesia di kawasan ASEAN, tren penerimaan pemerintah selama tahun 2001-5 menurun paling besar dibandingkan dengan Malaysia, Laos, dan Philipina. Persentase penurunan penerimaan pemerintah Indonesia terhadap PDB adalah dari 17.9% pada tahun 2001 menjadi 15.0% pada tahun 2005.
14 Tabel 3. Persentase Penerimaan Pemerintah Pusat Terhadap PDB di NegaraNegara Asia, dan Indonesia (%) Kawasan/Negara Asia Tengah Armenia Azerbaijan Kazakhstan Kyrgyz Republic Tajikistan Turkmenistan Uzbekistan Asia Timur China, People's Rep. of Hong Kong, China Korea, Rep. of Mongolia Taipei,China Asia Selatan Afghanistan Bangladesh Bhutan India Maldives Nepal Pakistan Sri Lanka Asia Tenggara Cambodia Indonesia Lao People's Dem. Rep. Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam Pacific Cook Islands Kiribati Marshall Islands, Rep. of Micronesia, Fed. States of Papua New Guinea Samoa Solomon Islands Timor-Leste, Dem. Rep. of Tonga Vanuatu
2001
2002
2003
2004
2005
16.5 18.0 22.6 17.0 15.2 24.9 25.7
16.8 18.7 21.4 19.1 16.7 19.7 25.0
18.0 24.2 22.2 19.4 17.2 20.2 24.2
15.9 25.0 23.5 19.5 17.9 20.5 23.7
16.8 22.5 28.2 20.3 18.1 23.0
14.9 13.5 20.3 39.4 17.7
15.7 13.9 20.3 38.4 19.0
16.0 16.8 20.8 37.9 20.1
16.5 18.4 19.7 37.3 19.0
16.8 17.5 23.5 36.8 19.9
9.0 44.5 17.7 33.0 13.0 13.3 16.6
8.4 10.1 39.5 18.6 33.1 13.1 14.2 16.5
11.0 10.3 28.2 19.1 34.8 14.5 14.9 15.7
12.7 10.1 38.3 19.9 36.5 14.4 14.3 15.3
15.6 10.3 38.7 19.6 15.2 13.7 16.3
10.3 17.9 13.2 23.8 4.7 15.5 23.1 15.0 21.0
10.9 16.1 13.1 23.1 5.0 14.3 17.5 15.8 21.6
10.2 16.4 11.1 23.4 4.6 14.6 20.5 16.6 22.8
10.8 15.1 11.3 22.1 14.5 19.4 17.6 22.8
11.6 15.0 11.6 21.5 14.8 21.1 18.1 21.6
38.0 114.9 76.3 62.8 30.6 31.4 23.5 16.0 28.5 21.6
36.2 134.1 74.8 72.5 27.9 32.9 18.8 15.7 30.6 22.2
32.3 112.0 66.2 70,6 28.1 32.0 39.4 24.2 28.4 22.1
30.5 109.1 69.0 53.7 29.6 30.6 48.9 31.1 29.5 24.0
64.7 62.5 54.9 24.8
Sumber: Asian Development Bank (2006) Penerimaan disamping berasal dari pajak, non pajak, dan hibah juga dapat dipenuhi dari utang pemerintah baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pada
15 Tabel 4 diketahui, posisi utang luar negeri pemerintah di Asia Pasifik dari tahun 2001-5.
Tabel 4. Utang Luar Negeri Negara-Negara Asia Pasifik dan Indonesia (Juta US$) Kawasan/Negara Asia Tengah Armenia Azerbaijan Kazakhstan Kyrgyz Republic Tajikistan Turkmenistan Uzbekistan Asia Timur China, People's Rep. of Hong Kong, China Korea, Rep. of Mongolia Taipei.China Asia Selatan Afghanistan Bangladesh Bhutan India Maldives Nepal Pakistan Sri Lanka Asia Tenggara Cambodia Indonesia Lao People's Dem. Rep. Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam Pacific Fiji Islands Kiribati Marshall Islands, Rep. of Micronesia, Fed. States of Papua New Guinea Samoa Solomon Islands Timor-Leste, Dem. Rep. of Tonga Vanuatu
2001
2002
2003
2004
2005
906 1 270 15 158 1 677 1 017 1 865 3 960
1 026 1 356 18 252 1 784 982 1 660 3 925
1 098 1 568 22 920 1 966 1 031 1 519 4 092
1 183 1 625 32 095 2 104 822 1 273 3 997
1 096 1 673 38 380 1 974 895 -
170 110 340 024 128 687 899 34 336
168 538 350 693 141 471 986 45 033
193 634 371 575 157 552 1 237 63 054
228 600 429 336 172 259 1 338 80 888
445 365 190 010 -
7 224 14 677 237 98 843 182 2 661 32 124 8 544
7 297 15 885 292 104 914 223 2 744 33 400 9 291
16 953 406 111 721 273 2 968 33 352 10 646
749 17 953 529 123 278 332 3 120 33 307 11 809
18 557 608 124 326 482 3 122 34 037 -
2 489 133 074 1 205 45 636 5 670 51 900 160 127 67 509 13 242
2 626 131 343 1 284 48 858 6 556 53 645 163 409 59 459 13 100
2 874 135 401 1 384 49 113 57 395 189 071 51 783 14 100
3 110 137 024 1 961 52 786 54 846 225 818 51 312 14 410
3 208 132 718 2 212 51 719 54 186 245 983 50 871 17 400
228 10 90 58 1 575 204 134 0 58 69
229 10 88 57 1 486 234 152 0 60 74
246 16 91 59 1 380 365 161 0 75 87
267 21 103 59 1 367 160 0 77 90
24 101 1 264 0 81 -
Sumber: Asian Development Bank (2006)
16 Utang luar negeri pemerintah di semua kawasan cenderung meningkat selama 5 tahun terakhir. Indonesia, di kawasan Asia Tenggara adalah negara dengan peringkat ke dua setelah Singapura dalam utang luar negeri dengan jumlah 133 074 juta US$ pada tahun 2001 menjadi 132 718 juta US$ pada tahun 2005. Obligasi Publik (OP) oleh pemerintah Indonesia juga telah ditempuh mulai penjualan ritel bulan Juli 2006 sebagai upaya optimalisasi penggalian sumber pendanaan dari masyarakat.
2.1.2. Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah menurut APBN I-account maliputi belanja pemerintah untuk anggaran belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan pembangunan) dan anggaran belanja untuk daerah (dana alokasi umum, dana otonomi khusus dan dana perimbanganan) (Hutahaean, et. al., 2002). Hasil Studi ADB (2006) disajikan pada Tabel 5 diketahui bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara selama lima tahun terakhir (2001-5) mempunyai kecenderungan belanja pemerintah yang semakin menurun, kecuali Thailand yang bertendensi naik dan Vietnam relatif stabil. Porsi pengeluaran pemerintah Indonesia terhadap PDB sebesar 20.3% pada tahun 2001 turun menjadi 15.5%. Untuk kawasan Asia Tengah, Timur, Selatan dan Pasifik bertendensi stabil dan menaik. Penurunan porsi belanja pemerintah terhadap PDB dapat dimaknai peran pemerintah dalam perekonomian yang menurun, atau kontraksi yang akan berdampak pada sektor riil termasuk pertanian.
17 Tabel 5. Persentase Pengeluaran Pemerintah Pusat terhadap PDB di NegaraNegara Asia dan Indonesia (%) Kawasan/Negara Asia Tengah Armenia Azerbaijan Kazakhstan Kyrgyz Republic Tajikistan Turkmenistan Uzbekistan Asia Timur China, People's Rep. of Hong Kong, China Korea, Rep. of Mongolia Taipei,Cnina Asia Selatan Afghanistan Bangladesh Bhutan India Maldives Nepal Pakistan Sri Lanka Asia Tenggara Cambodia Indonesia Lao People's Dem. Rep. Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam Pacific Cook Islands Kiribati Marshall Islands, Rep. of Micronesia, Fed. States of Palau, Rep. of Papua New Guinea Samoa Solomon Islands Timor-Leste, Dem. Rep. of Tonga Vanuatu
2001
2002
2003
2004
2005
20.8 20.1 23.0 22.8 15.3 24.2 26.7
19.4 20.8 21.7 24.8 16.8 19.6 25.8
19.2 27.2 23.2 25.0 16.3 21.7 24.6
17.6 27.0 23.8 24.1 17.2 20.5 22.9
18.8 24.2 27.5 25.0 18.3 26.4
17.2 18.4 22.0 43.9 24.1
18.3 18.7 19.9 44.2 23.3
18.1 20.1 23.3 42.1 22.9
17.7 18.8 22.2 39.4 21.9
18.4 17.2 22.7 34.1 21.0
14.0 57.3 27.6 37.7 17.5 17.6 27.5
8.5 14.8 44.9 28.2 38.0 16.9 18.5 25.4
14.0 13.7 39.8 27.6 38.2 16.0 18.7 23.7
13.9 13.3 45.0 28.2 38.2 15.5 17.3 23.4
15.7 13.8 50.0 27.2 16.3 17.1 25.0
16.9 20.3 20.7 29.3 10.5 19.6 23.4 17.2 23.9
17.3 18.2 18.4 28.7 8.6 19.6 19.1 18.2 25.3
17.1 18.1 19.0 28.7 9.5 19.3 14.0 16.2 27.1
15.1 16.2 17.2 26.4 18.4 13.8 17.3 24.9
14.7 15.5 17.7 25.3 17.5 13.2 18.0 23.9
36.7 131.4 80.9 69.4 63.9 34.1 19.6 36.2 13.9 30.0 25.2
36.0 134.7 62.2 72.8 69.1 31.8 20.7 29.8 15.3 32.2 24.1
33.1 140.2 66.7 70.5 63.8 29.0 21.3 39.5 21.1 31.6 24.0
31.0 71.5 63.2 63.1 27.8 20.0 40.6 21.3 28.1 22.7
67.1 68.6 22.5 27.6 25.1
Sumber: Asian Development Bank (2006)
18 2.1.3. Defisit dan Keberlanjutan Fiskal Secara umum pengertian fiscal sustainability dapat ditarik dari perumusan government
fiscal
financing
constraint
dengan
pendekatan
Coddington
(Soelistyaningsih, 2005) yaitu apabila pertumbuhan dari rasio utang pemerintah terhadap PDB lebih kecil dibandingkan selisih antara suku bunga riil dengan pertumbuhan ekonomi. Salah satu ukuran yang digunakan untuk menjaga keberlanjutan fiskal adalah menetapkan suatu besaran defisit (keseimbangan fiskal) sebagai persentase dari PDB. Hasil Studi ADB (2006) mengenai ukuran tersebut disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 diketahui bahwa dalam selang waktu tahun 2001-5 ditinjau dari kawasan, negara-negara di Asia Tenggara relatif menjaga posisi keseimbangan terhadap PDB yang rendah. Indonesia adalah negara yang selalu menurunkan posisi defisit dalam keseimbangan fiskal terhadap PDB dari (-2.4%) pada tahun 2001 menjadi (-0.5%) di tahun 2005. Menurut ukuran ini semakin kecil nilai persentase tersebut mengindikasikan posisi fiskal yang semakin aman/berkesinambungan.
2.1.4. Desentralisasi Fiskal Hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan (financial relationship) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah (Nanga, 2006). Otoritas daerah yang lebih luas dalam desentralisasi fiskal untuk kasus Indonesia yang dimulai tahun 2000 adalah transisi baru dalam pengelolaan keuangan publik. Persoalan desentralisasi fiskal secara efektif akan mencakup, distribusi sumberdaya lokal dan nasional pada penguasaan dan peruntukan, kebebasan daerah untuk mengatur penerimaan
19 Tabel 6. Keseimbangan Fiskal Pemerintah Pusat terhadap PDB di Negara-Negara Asia dan Indonesia (%) Kawasan/Negara Asia Tengah Armenia Azerbaijan Kazakhstan Kyrgyz Republic Tajikistan Turkmenistan Uzbekistan Asia Timur China, People's Rep. of Hong Kong, China Korea, Rep. of Mongolia Taipei,China Asia Selatan Afghanistan Bangladesh Bhutan India Maldives Nepal Pakistan Sri Lanka Asia Tenggara Cambodia Indonesia Lao People's Dem. Rep. Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Vietnam Pacific Cook Islands Fiji Islands Kiribati Marshall Islands, Rep. of Micronesia, Fed. States of Palau, Rep. of Papua New Guinea Samoa Solomon Islands Timor-Leste, Dem. Rep. of Tonga Tuvalu Vanuatu
2001
2002
2003
2004
2005
-4.3 -2.1 -0.4 -5.0 0.1 0.7 0.2
-2.6 -2.1 -0.3 -5.4 0.7 0.2 -0.9
-1.3 -3.0 -1.0 -5.1 1.1 -1.5 -1.3
-1.7 -2.0 -0.3 -4.3 0.7 0.0 0.0
-2.0 -1.8 0.6 -4.2 -0.3 0.1
-2.3 -4.9 -1.7 -4.5 -6.4
-2.6 -4.8 0.4 -5.8 -4.3
-2.2 -3.3 -2.5 -4.2 -2.8
-1.3 -0.3 -2.5 -2.1 -2.9
-1.6 0.3 0.8 2.7 -1.0
-5.0 -12.8 -9.9 -4.7 -4.5 -4.3 -10.8
-0.1 -4.6 -5.5 -9.6 -4.9 -3.9 -4.3 -8.9
-3.0 -3.4 -11.6 -8.4 -3.4 -1.5 -3.7 -8.0
-1.2 -3.2 -6.7 -8.3 -1.7 -1.0 -3.0 -8.1
-0.1 -3.5 -11.3 -7.6 -1.1 -3.3 -8.7
-6.6 -2.4 -7.5 -5.5 -5.8 -4.0 -0.3 -2.1 -2.9
-6.4 -2.1 -5.3 -5.6 -3.6 -5.3 -1.6 -2.2 -3.6
-6.9 -1.7 -7.9 -5.3 -4.9 -4.7 6.5 0.6 -4.3
-4.3 -1.1 -5.8 -4.3 -6.0 -3.9 5.6 0.3 -2.0
-3.1 -0.5 -6.0 -3.8 -2.7 8.0 0.1 -2.3
1.3 -6.6 -16.5 -4.7 -6.6 -20.8 -3.5 11.8 -12.7 2.0 -1.6 -12.6 -3.7
0.2 -5.6 -0.6 12.7 -0.3 -11.6 -3.9 12.1 -11.0 0.4 -1.5 58.4 -2.0
-0.8 -6.0 -28.2 -0.4 0.0 -11.7 -1.0 10.7 -0.2 3.2 -3.2 -11.0 -1.9
-0.6 -3.3 -2.6 -9.5 -12.0 1.8 10.6 8.3 9.8 1.4 -9.0 1.3
3.1 -4.3 -2.4 -6.1 -0.6 32.4 -4.0 -0.3
Sumber: Asian Development Bank (2006)
20
(pajak dan retribusi) yang terkadang tidak proporsional dengan kualitas layanan publik masyarakat, pemerintah daerah kurang berpengalaman dalam menghadapi secara langsung pasar uang/utang dengan pihak luar, reposisi perusahaan pemerintah pusat yang berada di daerah, dan disparitas dalam mendorong peran sektor swasta antar daerah (ADB, SEAMEO, SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI, 2005). Studi UNESCAP-CAPSA (2005) menemukan, proporsi antara pengeluaran dan penerimaan di negara berkembang, negara transisi, dan negara maju yang diperbandingkan dengan Indonesia. Untuk Indonesia porsi pengeluaran yang didesantralisasikan sebesar 33.24% lebih tinggi dari kawasan yang distudi. Sedangkan porsi penerimaan daerah terhadap total anggaran daerah di Indonesia paling rendah, selengkapnya disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Porsi Penerimaan dan Pengeluaran dalam Desentralisasi Fiskal Berbagai Negara di Dunia dan Indonesia (%) Negara Porsi Pengeluaran Porsi penerimaan Daerah Daerah Negara Berkembang 13.78 9.27 Negara Transisi 26.12 16.59 Negara OECD 32.41 19.13 Indonesia 33.24 6.65 Sumber: UNESCAP-CAPSA (2005)
2.2. Investasi Sebagian besar persoalan melambatnya pertumbuhan produksi pertanian di Indonesia adalah karena penurunan investasi pemerintah dan swasta untuk pembangunan pertanian. Alokasi belanja pemerintah sebagai investasi publik untuk pertanian terus menurun sejak tahun 1980an. Penurunan investasi untuk subsidi
21
pupuk sejak tahun 1980an dan menjadi nol pada tahun 1999, yang kemudian pada tahun 2005 mulai dievaluasi kembali. Belanja pemerintah untuk penelitian dan pengembangan (R&D) selalu fluktuatif. Penurunan terjadi pada periode 1990an, kemudian meningkat pada pertengahan 1990an. Periode 2000an turun lebih drastis dan konsisten sampai tahun 2004; selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Belanja Pemerintah untuk Pembangunan Pertanian (Rp1 000) Uraian Irigasi Penelitian dan Pengembangan Penyuluhan/Pelatihan Subsidi Pupuk Pertanian (termasuk Perikanan, Perkebunan)
1985/ 1986*) 801 790 29 322 36 060 1 738 550 284 550
1990/ 1995/ 2000**) 1991 1996 969 848 982 237 227 330 21 732 53 474 29 893 35 270 25 956 14 194 330 847 120 946 0 314 235 479 130 144 804
2004 378 435 27 560 12 424 0 424 405
Keterangan: *) dibelanjakan, **) realisasi 9 bulan, tahun dasar 1993 Sumber : ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI (2005) Penurunan belanja pemerintah untuk penelitian dan pengembangan (R&D) dan penyuluhan dapat menjelaskan kemandegan dalam inovasi pertanian yang dicerminkan dari penurunan produktivitas hampir seluruh komoditas pertanian. Dari beberapa studi menyimpulkan bahwa investasi pemerintah dalam irigasi, R&D, dan penyuluhan merupakan instrumen vital untuk produksi pertanian (Mundlak, Larson and Butze, 2002; Fuglie, 2003 dalam Simatupang, et. al., 2004). Investasi swasta sektor pertanian sejak periode 1990 sampai pasca 2000 tumbuh negatif dengan laju investasi swasta dari tahun 1994-2001 rata-rata -2.07% (Astuti, 2005). Penurunan tersebut indikasinya disebabkan oleh besarnya faktor resiko dan ketidakpastian usaha di sektor pertanian (Herjanto, 2003) dan mahalnya investasi di Indonesia (Daryanto, 2008).
22 2.3. Konsumsi Studi FAO (Alexandrates, 1995) menemukan bahwa, konsumsi atas produk pertanian di negara berkembang selalu meningkat utamanya untuk produk pangan, dan perkebunan. Perbaikan kemampuan konsumsi petani juga menjadi isu penting dalam pembangunan pertanian. Di India, Foster and Rosenzweig (2004) dalam studinya menyimpulkan bahwa selama periode 1971-2000 inovasi dan diversifikasi produksi pertanian akan membuka kesempatan petani lebih banyak memperoleh pendapatan baik dari pertanian maupun kegiatan non pertanian. Peningkatan produktivitas pertanian tidak saja memberikan perbaikan dalam pemenuhan kebutuhan dasar karena peningkatan kemampuan konsumsi, namun akan mendorong perbaikan peradaban.
Tabel 9. Kebutuhan Beberapa Produk Pangan Tahun 2035 dan Kemampuan Produksi Tahun 2001 di Indonesia No.
Komoditi
1 2 3 4 5 6
Beras Daging (aneka) Telur Susu Gula Ayam
Konsumsi/ kapita 90 kg 15 kg 90 butir 12 liter 25 kg 2 kg
Kebutuhan Nasional 36 juta ton 6 juta ton 36 mil. Butir 4.8 mil liter 10 juta ton 4.8 juta ton
Produk Indonesia 29 juta ton 2 juta ton 12.6 mil. butir 1.2 mil. Liter 1.9 juta ton 0.8 juta ton
Sumber: Sumodiningrat (2000) dalam Tambunan (2003b)
Selaras dengan studi FAO, pada Tabel 9 diketahui bahwa konsumsi produk pertanian di Indonesia yang mencolok adalah produk pangan. Studi Sumodiningrat (2000) dalam Tambunan (2003b) menemukan, sampai tahun 2035 akan terjadi defisit konsumsi pangan di Indonesia.
23 2.4. Pembangunan Sektor Pertanian 2.4.1. Kebijakan Sektor Pertanian Kebijakan pertanian di dunia akhir-akhir ini secara umum menunjukkan penurunan intensitas, dan semakin terbatas. Hal itu dapat ketahui dari pelambatan perubahan marginal dalam program pertanian (Scrimgeour and Pasour, 1996). Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi mengenai transisi pertanian di 28 negara (berkembang dan maju) di kawasan Asia timur, Asia tengah, Trancaucus, Eropa (Commonwealth Independent States/CIS), Baltik, Eropa tengah, dan Balkan secara umum menyimpulkan bahwa di negara berkembang yang sedang mengalami transisi pertanian dalam perubahan struktural perekonomiannya, memajukan pertanian dalam kebijakan ekonomi suatu negara menjadi sangat penting ketika lebih dari 50% penduduknya bekerja di sektor pertanian, dan belanja penduduk sebagian besar dipergunakan untuk pangan. Peringatan tersebut sesuai dengan situasi riil di Indonesia. Scrimgeour and Pasour (1996) melaporkan bahwa dalam reformasi ekonomi dramatik di New Zealand pada tahun 1984, reformasi kebijakan pertanian telah membuat kemudahan dalam reformasi ekonomi tersebut karena efek simultan terhadap sektor lain yang berjalan dengan baik. Hal itu menjadi pelajaran bagi negara lain dalam hal, pertama memperhatikan pentingnya cara pandang analisis jangka panjang (long term). Kedua, tekanan reformasi kebijakan pertanian perlu diutamakan karena mempunyai keunggulan untuk menumbuhkan sektor lain. Ketiga, keterbatasan analisis kebijakan pertanian jangka pendek akan memberikan implikasi yang terkesan tidak signifikan dampak dari kebijakan tersebut yang disebabkan oleh tingkat harga-harga pertanian yang rendah. Namun dalam jangka
24 panjang, pertanian sangat tahan terhadap pengaruh shock ekonomi di New Zealand. Keempat, reformasi di New Zealand menunjukkan pentingnya peran dan pemahaman (keberpihakan) konstitusi dan pemerintah untuk berkontribusi pada reformasi kebijakan pertanian secara serius. Pemerintah Indonesia sampai periode 1980an telah memposisikan pertanian sebagai sektor penting dalam perekonomian.
Selama dua dekade lebih
pembangunan pertanian menjadi prioritas pokok dalam pembangunan. Komitmen kuat pemerintah dalam pembangunan pertanian tersebut diwujudkan dalam belanja publik untuk pertanian, subsidi, kebijakan harga pada tanaman pangan, deregulasi pada perdagangan dan pemasaran, pembangunan irigasi, kelembagaan/kesisteman pertanian, revitalisasi penyuluhan dan tata guna lahan (Muslim, 2002).
2.4.2. Subsidi Pertanian Indonesia mulai memberi subsidi pupuk pada awal 1970an sebagai bagian dari usaha untuk mendorong petani menggunakan pupuk kimia bersama dengan introdusir varietas padi baru. Subsidi ditujukan untuk menstabilkan harga pada tingkat tertentu dalam penggunaan faktor input yang digunakan petani. Hal itu dipandang sebagai pemindahan sumberdaya yang efisien dari pemerintah kepada petani dalam pembangunan. Kebijakan tersebut telah sukses dimana sepanjang periode 1969-92, penggunaan pupuk (nitrogen, kalium, dan fosphat) dapat ditingkatkan secara dramatis. Bersama-sama dengan kebijakan pemerintah lain, usaha ini memungkinkan Indonesia untuk mencapai dan memelihara swasembada beras pada tahun 1984, suatu prestasi terkemuka untuk suatu negeri yang awalnya importir beras paling besar. Jenis subsidi pertanian selanjutnya semakin bervariasi
25 seperti susidi bunga kredit pertanian, subsidi harga produk pertanian dan lainnya (Muslim, 2002).
2.4.3. Infrastruktur Sektor Pertanian Hasil studi Zhang and Fan (2004) dengan dynamic GMM estimator menemukan bahwa, infrastruktur pertanian di India sangat mempengaruhi produktivitas pertanian. Dengan mengunakan model LSDV yang mencakup analisis lebih luas semakin menjelaskan bahwa jaringan irigasi bagi negara-negara Afrika dan Asia menyumbang dalam porsi besar pada pertumbuhan total faktor produksi (TFP) dan kemajuan pertanian keseluruhan. Namun dari studi tersebut diketahui bahwa belanja pemerintah dan investasi untuk penyediaan dan perbaikan infrastruktur pertanian menurun sebesar 5.87% pada periode 1980an menjadi 3.85% di periode 2000an untuk negara-negara Afrika dan 11.76% menjadi 4.92% untuk periode sama di negara-negara Asia. Jika penurunan terus terjadi diperkirakan akan sulit untuk menumbuhkan produktivitas dan produksi pertanian sampai tahun 2015. Pentingnya infrastruktur pertanian khususnya irigasi di Yunani, berdasarkan studi Koundouri, et. al. (2006) juga menunjukkan peran yang berada pada urutan pertama sebagai syarat dalam keberhasilan adopsi teknologi di sektor pertanian. Di Indonesia, sejak periode reformasi (1998) jaringan irigasi dalam kondisi rusak mencapai 1.5 juta hektar dari 6.7 juta hektar. Pemerintah hanya mampu menyediakan 40-50% biaya operasional dan pemeliharaan. Selain itu, sekitar 15 20 ribu hektar per tahun lahan pertanian beririgasi teknis beralih fungsi (konversi) menjadi lahan non pertanian. Terjadinya degradasi 62 dari 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) secara konsisten antara lain akibat dari penebangan hutan yang tidak terkendali dari hulu sungai. Kerusakan jaringan irigasi akan menurunkan kinerja
26 penyediaan air irigasi sehingga dapat menurunkan luas areal tanam padi, dan bila tidak diantisipasi secara serius akan mengganggu pemenuhan produksi beras nasional. Kerusakan jaringan irigasi mencapai 22.4% dari total jaringan dan 73.4% berada di Pulau Sumatera dan Jawa yang merupakan lumbung padi nasional. Pengaturan peran dan batasan wewenang pengelolaan sungai antara kabupaten, kota, propinsi, dan pusat masih belum jelas. Disamping itu juga belum tersedia database irigasi dan sungai per kabupaten/kota (Tim INDEF, 2005).
2.4.4. Inovasi Teknologi Sektor Pertanian Studi Fuglie (2004) menyimpulkan, pada perode 1961 sampai 2000 petumbuhan produktivitas pertanian di Indonesdia sebagian besar disumbang oleh faktor input konvensional (lahan, tenaga kerja, tenaga ternak, pupuk). Peran faktor input modern (mesin, teknologi kimiawi lanjut, dan genetik) sangat rendah. Situasi itu menunjukkan bahwa pengembangan inovasi teknologi sektor pertanian selama masa itu masih terbatas. Studi Fan, et.al. (1999) menemukan bahwa selama periode 1970an sampai 1980an karena revolusi hijau, umumnya semua negara mengadopsi jenis-jenis tanaman/varietas yang berproduksi tinggi. Di Indonesia, nampak sekali kemandegan dalam pengembangan penelitian pengembangan teknologi pertanian sebagaimana konsisten dilakukan negara-negara tetanganya di Asia. Hal itulah yang diperkirakan menjadi sebab terjadinya pelandaian pertumbuhan produktivitas komoditi pertanian untuk hampir semua varietas. Studi Simatupang, et. al. (2004) menyimpulkan, tatalaksana pengembangan teknologi inovasi pertanian yang tidak diperhatikan bahkan sistem deliverinya menjadikan pengembangan teknologi pertanian Indonesia sangat tertinggal. Dalam
27 pertanian, inovasi teknologi segera nampak pada penemuan-penemuan varietas baru yang mampu mengkompensasi pertumbuhan preferansi dan tingkat kebutuhan manusia dengan produktivitas yang semakin besar. Inovasi teknologi pertanian Indonesia terkesan dominan pada tanaman pangan. Terdapat waktu tenggang (lag) yang cukup lama (antara 10-20 tahun) bagi petani untuk mengadopsi varietas baru yang dihasilkan oleh lembaga penelitian pengembangan pertanian. Jika kondisi demikian terus berlanjut, maka sulit akan memajukan pertanian, sementara semakin deras masuk varietas-varietas baru dari negara tetangga misalnya Thailand.
2.4.5. Penelitian dan Pengembangan Sektor Pertanian Sebagian besar produktivitas komoditi pertanian di Indonesia mengalami penurunan pada pertengahan dekade 1980an. Hal itu dapat dijelaskan karena kemandegan kemajuan teknologi dan degradasi lahan yang berlanjut. Kedua hal tersebut diperparah oleh kemandegan kemajuan kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian yang mampu mengekspansi stagnasi teknologi dan degradasi lahan. Kemandegan produksi kreatif dari penelitian dan pengembangan (R&D) merupakan faktor utama dalam penurunan produktivitas di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini. Hal itu dimungkinkan oleh sistem R&D secara kesisteman dan institusional masih didominasi oleh pemerintah (Fuglie, 2004). Varietas yang mempunyai potensi hasil tinggi (HYV) didominasi oleh tanaman pangan. Riset pengambangan tanaman non pangan hampir 30 tahun terakhir ini kurang mendapat perhatian proporsional sehingga nampak produktivitas tanaman non makanan masih rendah. Pada sisi lain, riset pengembangan tanaman pangan telah mengalami kejenuhan teknologi. Sehingga, kondisi penelitian dan
28 pengembagan (R&D) pertanian juga menyumbang situasi bottleneck kritis dari produksi pertanian di Indonesia (Simatupang, et.al., 2004).
2.5. Kinerja Sektor Pertanian 2.5.1. Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian Martin and Warr (1992, 1993) dalam analisis dinamis perilaku sektor pertanian menyimpulkan; secara teoretis atribut yang menyumbang penurunan pertumbuhan sektor pertanian di dunia ada tiga pokok yaitu: penurunan harga produk pertanian, perbedaan tingkat perubahan teknologi, dan perubahan relatif dalam faktor anugerah (endowments). Hal itu dibuktikan berdasarkan analisis nonlinier dengan pendekatan error correction model (ECM). Di negara berkembang juga Indonesia, persoalan teknologi yang stagnan telah berlangsung puluhan tahun. Bias sektor pertanian juga menyumbang penurunan pertumbuhan sektor pertanian. Hal itu juga dialami di Thailand walau tidak separah Indonesia, dimana perubahan struktural dalam sektor pertanian tanpa disertai akumulasi kapital. Hal itu berdampak kepada lemahnya daya dorong tenaga kerja untuk keluar pertanian dan daya tarik sektor non petanian. Akumulasi dari itu sangat nyata dalam penciptaan penurunan nilai tambah pertanian, yang berakibat pada penurunan pangsa pada PDB. Dampak lebih panjang lagi misalnya kemiskinan, kerawanan, dan perbaikan kualitas sumberdaya manusia secara keseluruhan. Hasil studi tersebut juga menemukan bahwa kebijakan sektor petanian belum cukup untuk “menyerap” angkatan kerja pedesaan yang jumlahnya hampir 60% dari keseluruhan. Sehingga dibutuhkan kebijakan yang memperhatikan rantai sebab akibat yang selama ini kurang diperhatikan yaitu faktor anugerah, teknologi, angkatan kerja dan persoalan riil ekonomi.
29 2.5.2. Produktivitas Produk Pertanian Selama pertengahan abad ke 20 peningkatan output pertanian terutama karena perluasan lahan yang ditanami; yang dominan menyumbang pertumbuhan sektor pertanian di sebagian besar dunia (Hayami and Ruttan, 1985). Kemudian di akhir abad 20 terjadi transisi ekstensifikasi menjadi intensifikasi pertanian karena pengaruh keterbatasan lahan dan tekanan penduduk yang semakin besar. Dengan intensifikasi pertanian terbukti memberikan kontribusi nyata pada pengurangan kemiskinan, keamanan pangan dan pertumbuhan disebagian besar negara-negara didunia, termasuk Indonesia (Fuglie, 2004). Pengukuran kinerja sektor pertanian kemudian berkembang dengan metode total factor productivity (TFP) yang merupakan pendekatan nilai rasio antara indeks output dengan indeks input (sebagai ukuran kinerja intensifikasi). Metode itu telah dilakukan di tiga negara pertanian besar di Asia yaitu India (Fan, et.al., 1999), China (Fan and Zhang, 2002) dan Indonesia (Fuglie, 2004). Di Cina TFP telah menumbuhkan produksi pertanian sebesar 6%, sedang di India sebesar 70%. Kasus Indonesia selama periode 1960-2000an telah terjadi peningkatan yang cepat dalam laju pertumbuhan input dan pelambatan dalam laju pertumbuhan output. Pertumbuhan perluasan lahan sebesar 2% per tahun terutama di luar Jawa. Lahan beririgasi tumbuh 1.8% per tahun. Tenaga kerja pertanian juga bertumbuh sekitar 1% per tahun. Pada periode tersebut pertumbuhan tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian lebih dari 1%. Input machinary dan pupuk kimia tumbuh lebih dari 10% per tahun, pada situasi penurunan subsidi pupuk hingga 50%. Namun, ratarata agregat faktor input justru menurun sekitar 4% per tahun.
30 Produktivitas pertanian Indonesia stagnan pada periode 1990an setelah dua periode sebelumnya tumbuh dengan cepat. Tanaman padi dan tanaman pangan lainnya tumbuh 2.5%. Tanaman keras dan perkebunan jauh dibawah nilai tersebut. Peternakan bertumbuh 2.3% per tahun. Oleh Fuglie (2004) hal itu disebabkan oleh tidak adanya peningkatan investasi publik dan swasta di sektor pertanian yang mengancam kelangsungan pertumbuhan produktivitas. Studi Basri (2004) menemukan bahwa Total Factor Productivity Indonesia di banding dengan Asia Timur: tahun 1960-94 terendah kedua setelah Philipina, tahun 1984-94 hanya lebih baik dari Philipina, tahun 1975-90 paling buruk (Philipina tidak diikutkan), dan periode setelah itu indikasinya tidak semakin baik.
2.5.3. Penyerapan Tenaga Kerja Disamping terjadi penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB sampai periode 2000an, pertanian masih cukup penting pada penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian Indonesia. Dari studi Muslim (2002) dan PSE UGM, LPEMFEUI, dan PSP IPB (2004), lebih dari separo angkatan kerja sampai dengan dekade 1990an bekerja di sektor pertanian. Walaupun tingkat penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami peningkatan secara kuantitatif dari 26.5 juta orang di tahun 1971 menjadi 35.5 juta di tahun 1990 kemudian 44.3 juta pada tahun 2002, namun pangsa penyerapan tenaga kerja terhadap total tenaga kerja dari 64.2% pada tahun 1971 turun menjadi 43.8% di tahun 2002. Ini artinya, setelah tahun 1990 walaupun jumlah akumulatif tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian masih besar, namun secara relatif mulai terjadi penurunan yang konsisten dibandingkan dengan total penduduk yang bekerja sampai dengan tahun 2002.
31 Dalam periode 1961-2000an curahan tenaga kerja per satuan luas lahan meningkat kecuali di Jawa dimana untuk lahan beririgasi tingkat penyerapannya 2.5 kali (yang biasanya diusahakan tanaman bernilai ekonomis) dibandingkan dengan lahan tidak beririgasi (Mundlak, et.al., 2002).
2.5.4. Ekspor dan Impor Pertanian Kinerja ekspor dan impor komoditi utama pertanian pada beberapa dekade terakhir diuraikan pada bagian berikut (ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI, 2004): 1. Komoditi Perkebunan Komoditi perkebunan utama yang diekspor Indonesia adalah karet, kelapa, minyak sawit, cokelat, kopi, lada, gula, dan kacang mete. Sejak tahun 1971 sampai 2002 nilai ekspor komoditi perkebunan Indonesia selalu lebih besar dibandingkan dengan nilai impor (net ekspor positif). Periode 1971-75 nilai ekspor 540 049 000$USA, dan impor
13 917 000$USA sedangkan periode 2001-2 nilai ekspor 3
722 390 000$USA dan impor 349 567 000$USA. 2. Komoditi Peternakan Komoditi peternakan, sejak tahun 1997 hingga 2002 mengalami defisit perdagangan (net ekspor negatif) yang cukup besar. Pada 1990an nilai ekspor sebesar 1 697 912 000$USA dengan impor 53 574 609 000$USA. Pada periode 2000an ekspor meningkat namun jumlah peningkatan impor lebih besar (masingmasing 9 447 734 000$USA dan
72 867 230 000$USA). Peningkatan impor
disebabkan oleh peningkatan konsumsi produk peternakan domestik, sementara peningkatan produksi domestik belum mampu untuk mengimbanginya.
32 3. Komoditi Perikanan Komoditi perikanan, Indonesia lebih banyak mengekspor dibandingkan dengan mengimpor. Pada periode 1980an nilai ekspor
perikanan lebih besar
dibanding impor (masing-masing 241 259 000$USA dan 31 670 000$USA) begitu pula pada periode 2000an (masing-masing
1 670 986 000$USA dan 94 531
000$USA). Selama periode 1980-2000 tren ekspor dan impor selalu meningkat nilainya. 4. Komoditi Hortikultura Komoditi hortikultura juga terjadi surplus perdagangan. Selama kurun waktu 1991-2001 selalu jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai impor. Nilai ekspor periode 1990an sebesar 3.31 juta $USA dan impor sebesar 1.35 juta $USA. Pada periode 2000an ekspor cenderung meningkat menjadi 9.84 juta $USA sedang impor menurun menjadi 1.05 juta $USA.
2.5.5. Kesejahteraan Petani Menurut studi Booth (2002), selama periode 1980an sampai akhir 1990an sumbangan pendapatan petani dari sektor pertanian terhadap total pendapatan keluarga petani telah mengalami penurunan yang nyata antara 50-55%. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani (NTP). NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) dalam persentase. Secara konseptual NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasikan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumahtangga dan keperluan dalam produksi pertanian (BPS, 2004). Dari nilai It,
33 dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Dari nilai Ib, dapat melihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani. Menurut Siregar (2004) penggunaan NTP mempunyai keterbatasan terutama pada perekonomian terbuka. Sehingga digunakan nilai tukar internasional yang disebut dengan net-barter terms of trade. Dari studi Siregar (2004) ditemukan bahwa net-barter terms of trade Indonesia wilayah barat mengalami penurunan sedangkan wilayah timur meningkat signifikan. Dalam sistem ekonomi terbuka, kebijakan yang mempengaruhi sinyal harga sangat berdampak pada pasar input dan produk pertanian. Dilaporkan dalam studi Rozelle and Swinnen (2004) bahwa perubahan harga akibat kebijakan pemerintah mempunyai koefisien korelasi 0.70 dalam perubahan penggunaan input dan perubahan output pertanian di 15 negara selama 15 tahun terakhir. Selama 6 tahun terakhir, 15% pertumbuhan output disebabkan oleh peningkatan relatif terhadap harga produk sektor pertanian. Dalam studi ini kebijakan subsidi dalam jangka panjang dicurigai akan mendistorsi harga maka porsinya perlu diturunkan. Semakin baik kondisi nilai tukar petani juga akan meningkatkan produksi dan produtivitas pertanian. Banyak negara termasuk Indonesia masih menggunakan cara berfikir, mengkondisikan harga produk pertanian serendah-rendahnya untuk mencapai tingkat upah buruh industri yang rendah. Kebijakan yang demikian dipandang sebagai menyesatkan dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Studi PSE UGM, LPEM-FEUI, dan PSP IPB (2004) menemukan bahwa perkembangan struktur pendapatan petani sejak periode 1980an sampai 2000an menunjukkan pergeseran sumber pendapatan bagi rumah tangga pedesaan dari kegiatan pertanian merupakan sumber utama pada tahun 1983, pada tahun-tahun
34 berikutnya mulai masuk aktivitas non pertanian di sektor pertanian. Hal itu dapat dilihat dari proporsi upah dan gaji non pertanian yang selalu meningkat disamping kegiatan riil non pertanian (off farm dan non farm) yang meningkat porsinya secara konsisten.
2.6. Kinerja Agroindustri Variasi agroindustri di Indonesia sangat luas mulai dari pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Definisi agriondustri menurut Sinaga (1998) dalam Herjanto (2003) dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu (upstream agribusiness) adalah subsektor industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) adalah subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian. Tambunan (1992) mengukur kinerja agroindustri dengan menggunakan tiga kriteria ekonomi yaitu, nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per unit output, dan nilai tambah per unit input (tidak termasuk modal tetap). Pada periode sebelum krisis (sampai tahun 1997), perkembangan industri agro menunjukkan pertumbuhan signifikan diantaranya jumlah unit usaha tumbuh 8.41% per tahun, penyerapan tenaga kerja tumbuh 19% per tahun, dan nilai ekspor tumbuh sebesar 20.5% per tahun. Pertumbuhan juga terjadi pada nilai produksi, dan nilai investasi. Pada saat krisis (mulai pertengahan 1997) kinerja agroindustri masih tetap bertahan dengan tingkat utilitas rata-rata 75.3% per tahun. Setelah krisis kinerja agroindustri secara absolut mengalami penurunan dengan tingkat utilitas menjadi 56.9%, juga nilai ekspor menurun 17.8%. Namun, kontribusi agroindustri terhadap perekonomian masih tinggi dimana pada saat pertumbuhan negatif mulai
35 tahun 1998, sektor agroindustri menyumbang 17.56% dari kontribusi sektor industri pengolahan non-migas (Santoso, 1999). Periode berikutnya, kontribusi dari sektor agroindustri, selama periode 1999-2005 secara rata-rata mencapai 26%. Dengan demikian jika dijumlahkan total kontribusi sektor agribisnis dan agroindustri serta elemen-elemen terkaitnya, dapat mencapai kisaran 42-46% dari total kontribusi sektor ekonomi Indonesia. Hal itu diperkirakan akan mampu mendorong pertumbuhan produksi, sekaligus nilai tambah sub sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Perkembangan ekspor dan impor agroindustri serta elemen terkaitnya di Indonesia selama periode 2002-5 menunjukkan, neraca ekspor tertinggi produk perkebunan dari pelaku agroindustri besar berupa minyak dan lemak nabati yang sebagian besar merupakan produk CPO. Selain itu, komoditas dan produk ikan, kerang-kerangan, moluska dan olahannya juga menjadi kelompok produk yang menyumbangkan devisa cukup nyata bagi Indonesia selama ini (Sa’id dan Febriyanti , 2005).
2.7. Studi-Studi Terdahulu 2.7.1. Peran Fiskal dalam Perekonomian Negara Seperti diuraikan pada awal Bab II bahwa peran pemerintah selalu dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara. Peran pemerintah tersebut diekspresikan dalam bentuk intervensi fiskal, dimana argumen teoretisnya karena ketidaksempurnaan pasar, eksternalitas, skala ekonomi, resiko dan ketidakpastian, distorsi, dan distribusi (Pogue and Sgontz, 1978; Boadway, 1979; Cullis and Jones, 1992; Myles, 1997; Stiglitz, 2000; Rosen, 2005).
36 Banyak studi mengenai fiskal kaitannya dengan perekonomian suatu negara di dunia dengan berbagai model analisis diantaranya adalah, Gupta (1997) melakukan studi mengenai perilaku fiskal dengan model solusi dan instrumen internasional, yang dapat menjelaskan aplikasi model Haller bagi pengaruh eksternal dalam perilaku fiskal di India. Bradley and Whelan (1997) dengan model simulasi melakukan studi mengani dampak eksternal dari kontraksi fiskal di Irlandia dalam perekonomian kecil Eropa. Tuijl and Kolnaar, (1997) dengan model dua negara dapat menjelaskan dengan baik kebijakan fiskal dan keuangan publik dalam perekonomian di Eropa. Peran investasi pemerintah dan belanja publik akan mempengaruhi keunggulan ekonomi antar negara dan dalam jangka panjang tergantung pada elastisitas produksi dan faktor kongesti. Zalmu
(1998)
menggunakan
makro-ekonometri
untuk
memberi
pertimbangan dasar dalam suatu keputusan kebijakan publik dengan kasus Belanda. Gabungan antara teori, hipotesis, fakta dan ketrampilan pemutus kebijakan adalah syarat keberhasilan kebijakan. Terkait dengan itu, Hal and Rae (1998) dengan NBNZ-DEMONZ macroeconometric model dapat menjelaskan dengan baik mengenai ekspansi fiskal kaitannya dengan kebijakan moneter, tingkat bunga premia, dan tingkat upah di New Zealand. Makrydakisa, et.al. (1999) dengan model conventional unit-root test, mampu menjelaskan perubahan regim policy dalam kebijakan fiskal sustainability dalam jangka panjang di Yunani. Mitchell, et.al. (2000) dengan model MSG2, MULTIMOD dan NIGEM menjelaskan prinsip dan aplikasi aturan kebijakan fiskal dalam model makro
37 ekonomi dengan memperhatikan properti teoretikal dan hipotesis baru berdasarkan fenomena terkini di Inggris. Canton (2001) menggunakan model stochastik dan pertumbuhan endogen dapat melakukan penilaian terhadap kebijakan fiskal Amerika Serikat dalam pendekatan siklus bisnis. Leith, et.al. (2003) dengan model ekonometrik menganalisis keterhubungan antara kebijakan fiskal, dampak shock terhadap tingkat bunga dan harga umum. Model ini merupakan evalusai implementasi teori fiskal berdasarkan tingkat harga (fiscal theory of the price level) seperti juga dilakukan oleh Buiter (2002) tentang kritik teori tersebut. Keefer and Khemari (2005) dengan pendekatan model public choice, mengkaji peran belanja pemerintah dalam situasi demokratis dan politik yang memberi insentif terhadap pengurangan kemiskinan di India. Disimpulkan, belanja pemerintah berpengaruh signifikan dalam pengurangan kemiskinan. Studi fiskal di Indonesia diantaranya adalah, Wuryanto (1996) dengan model Interregional CGE menjelaskan desentralisasi fiskal dan performa perekonomian di Indonesia (periode sebelum otonomi daerah) dimana trensfer fiskal dalam bentuk INPRES dapat memperbaiki kinerja ekonomi nasional dan antar daerah di Indonesia. Yudhoyono (2004) dengan model simultan menyimpulkan bahwa ekonomi politik dalam kebijakan fiskal sangat penting di Indonesia dalam mendorong pembangunan pertanian, pengurangan kemiskinan dan perekonomian perdesaan. Revitalisasi pertanian dapat dijadikan pengerak pertumbuhan perekonomian.
38 Soelistyaningsih (2005) dengan model IMF menyimpulkan bahwa tingkat utang luar negeri
pemerintah selama ini dalam kaitannya dengan fiscal
sustainability, menunjukkan kondisi yang aman. Simorangkir (2005) dengan metode Game Theory, dalam studinya menyimpulkan bahwa dengan cooperative game akan memberikan kerugian kecil (lost function) dibandingkan dengan non-cooperative game. Implikasinya adalah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dalam kasus Indonesia sangat diperlukan. Ginting (2006) dengan metode SNSE menyimpulkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah diikuti oleh kinerja perekonomian daerah, di Indonesia. Panjaitan (2006) dengan model simultan mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian daerah kebupaten dan kota di provinsi Sumatera Utara, dan studi yang sama lainnya menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah pusat (berupa Dana Alokasi Umun) penting dalam stimulasi perekonomian daerah. Mulai periode 2004 studi desentralisasi fiskal di Indonesia tumbuh pesat. Selain yang telah disebut diatas juga terdapat studi (Riyanto dan Siregar, 2005; Sumedi 2005; Nanga, 2006; dan Usman 2006) dengan cakupan Indonesia. Sedangkan studi lainnya (Pardede, 2004; Saefudin, 2005; Pakasi, 2005; dan Panjaitan, 2006) dalam cakupan kabupaten/kota dan propinsi. Dari sisi metodologi, studi kebijakan fiskal di Indonesia dapat dikelompokkan pada studi yang menggunakan model dinamik yaitu pendekatan ekonometrik dengan sistem persamaan simultan (Riyanto dan Siregar, 2005; Sumedi 2005; Saefudin, 2005; Pakasi, 2005; Yudhoyono, 2004; Soelistyaningsih, 2005; Nanga, 2006; dan Panjaitan, 2006). Kelompok lainnya menggunakan model statik yang masing-masing menggunakan model CGE, Input-Output, dan SNSE
39 (Wuryanto, 1996; Pardede, 2004; dan Ginting, 2006). Simorangkir (2005) menggunakan metode Game Theory.
2.7.2. Kebijakan dan Kinerja Pertanian Studi mengenai kebijakan pertanian dan kinerja pertanian sebagian besar mencakup aspek pertumbuhan (PDB), Total Faktor Produktivity (TFP), perbaikan perekonomian pedesaan dan transisi sektor pertanian dalam perubahan struktural. Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi transisi pertanian di dunia menyimpulkan bahwa kebijakan pertanian ke depan harus disertai dengan implikasi perbaikan investasi publik dan infrastruktur pertanian untuk menjamin kelestarian produktivitas pertanian. Huffman and Avenson (2001) menganalisis perubahan struktur dan produktivitas pertanian di USA periode 1950-82 dan menyimpulkan bahwa penelitian pengembangan, kekuatan pasar, dan intervensi kebijakan pemerintah dalam periode analisis sangat mempengaruhi dinamika total factor productivity. Swinnen, et.al. (2001) dalam studi proteksi pertanian di Belgia selama 100 tahun terakhir menyimpulkan bahwa dengan proteksi yang dilakukan oleh pemerintah berdampak negatif terhadap belanja konsumen dan berdampak positif terhadap total output. Dalam perekonomian Belgia yang kecil, pertanian tidak terpengaruh oleh eksternal market. Mukherjee and Kuroda (2003) dalam studi konvergensi TFP pertanian di India dengan Törnqvist–Theil index for TFP tahun 1973-93 menyimpulkan bahwa penurunan TFP telah terjadi di seluruh negara bagian India. Studi pengaruh kebijakan pertanian terhadap kinerja sektor pertanian juga banyak
berkembang
menyangkut
determinan
investasi,
penelitian
dan
40 pengembangan,
teknologi,
infrastruktur,
perdagangan,
pengangguran
dan
pendapatan petani seperti diuraikan sebagai berikut: Martin and Warr (1992, 1993) menemukan, variabel yang menyumbang penurunan pertumbuhan sektor pertanian di dunia yaitu; penurunan relatif harga-harga produk pertanian, perbedaan tingkat perubahan teknologi, dan perubahan relatif dalam faktor anugerah (endowments). Hal itu dibuktikan berdasarkan analisis nonlinier dengan pendekatan error correction model (ECM). Kuroda (1997) menganalisis tentang belanja riset dan penyuluhan terhadap produktivitas pertanian tahun 1960-90 di Jepang. Dengan model translog, digunakan untuk medalami penurunan produktivitas pertanian Jepang sejak tahun 1960. Penurunan produktivits terjadi karena kendala biaya riset dan bias teknologi. Blue and Tweetin (1997) meneliti dampak kebijakan pertanian terhadap marginal utility income di Chicago. Dengan model kuadratik menyimpulkan bahwa perbaikan income terjadi pada porsi yang besar pada kelompok paling miskin. Gafar (1997) dalam studinya menemukan bahwa supply respon pertanian di Jamaika sangat dipengaruhi oleh harga yang dikontrol pemerintah. Fulginity and Perrin
(1998)
dengan
menggunakan
Cobb-Douglas
Production
Function
menganalisis produktivitas di negara-negara berkembang dan menyimpulkan bahwa sejak periode 1961-85 telah terjadi penurunan produktivitas pertanian dengan variabel harga-harga, tenaga kerja dan investasi pertanian. Esposti and Pierani (2000) dengan model Multiple Indicators/Multiple Causes
(MIMIC)
menganalisis
perubahan
teknologi
pertanian
di
Italia.
Kesimpilannya adalah; pada periode 1961-91 telah terjadi perubahan teknologi pertanian yang besar di Italia.
41 Di Indonesia, studi Darmansyah (2003) menganalisis dampak kebijakan ekonomi terhadap kinerja ekonomi tanaman pangan. Dengan metode multi komoditi menyimpulkan terdapat persaingan antar komoditi terhadap areal dan produktivitas semua komoditi tidak respon terhadap penggunaan pupuk, kecuali padi di luar Jawa. Asnawi (2004) dengan model makroekonomi menyimpulkan, kebijakan makro ekonomi yang dapat meningkatkan kinerja sektor pertanian adalah (1) depresiasi nilai tukar rupiah, (2) peningkatan kredit di sektor pertanian, (3) peningkatan investasi di sektor pertanian, (4) kombinasi penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan kredit di sektor pertanian.
2.7.3. Kebijakan dan Kinerja Agroindustri Studi
Hicks (1995) menyimpulkan bahwa pemerintah mempunyai tiga
instrumen untuk mendorong promosi agroindustri, yaitu di arena legal/hukum, fiskal dan kelembagaan. Sudaryanto, et. al. (2002) dalam studi kebijakan agroindustri menemukan bahwa kebijakan pembangunan agroindustri mempunyai dua tujuan utama yaitu, diharapkan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di wilayah produksi pertanian, dan mampu mendorong pertumbuhan suplai hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan agroindustri. Orientasi kebijakan tersebut menjelaskan bahwa ada keterkaitan yang erat antara dorongan produksi pertanian untuk memajukan agroindustri, begitu pula sebaliknya. Disamping itu juga ditujukan untuk menciptakan nilai tambah secara vertikal, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Kajian Tambunan (1992) menyimpulkan bahwa agroindustri dapat berperan penting dalam pertumbuhan dan penggerak dalam industrialisasi pedesaan. Pryor
42 and Holt (1998) dalam Herjanto (2003) dari studinya menemukan bahwa kontribusi agribisnis dalam PDB di Indonesia mencapai 53% yang lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun Brazil. Saragih (1996) dalam studi mengenai kontribusi agroindustri dalam perekonomian Indonesia periode 1971-95 dengan pendekatan input-output menemukan bahwa pangsa ekspor meningkat lebih besar dibandingkan dengan impor, sehingga selalu menjadi penghasil surplus devisa. Hal tersebut juga dilakukan oleh Rosa dan Bernadette (2006), dengan menggunakan Tabel inputoutput 66 sektor tahun 1995 dan 2000 menganalisis keterkaitan menggunakan model keterkaitan ke belakang dan ke depan secara total, dan kinerja diukur dengan efisiensi. Hasil dari penelitian ini, sebagian besar agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi namun ke depan rendah. Artinya, pengembangan produk lanjutan dari produk pertanian masih rendah. Komoditi agroindustri selalu mengalami fluktuasi dalam perdagangan internasional seperti diukur dengan nilai indeks comparative advantage. Dalam studi Herjanto (2003) menemukan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia yang meningkat sejak tahun 1971 sampai 1990, dan setelah itu selalu menurun.
2.7.4. Alasan Pemilihan Variabel Dari uraian tinjauan pustaka pada bagian terdahulu, memberikan dasar rasionalisasi untuk memasukkan variabel dalam model penelitian. Sehingga alasan pemilihan variabel diuraikan sebagai berikut.
43 a. Pentingnya Kebijakan Fiskal Bagi Pembangunan Sektor Pertanian dan Agroindustri Secara teoretis, Keynes mengemukakan bahwa dampak kebijakan fiskal lebih cepat berpengaruh pada sektor riil (termasuk pertanian dan agroindustri) melalui transmisi harga yang cepat penyesuaiannya, dan berpengaruh cepat juga kepada keseimbangan makroekonomi (Turnovsky, 1981; Romer, 2001). Dalam kasus pembangunan pertanian/agroindustri di Indonesia, peran pemerintah masih dipersyaratkan dan diperlukan (Alexandrates, 1995; Arifin, 2001; 2004; Tambunan, 2003a; 2003b; Fuglie, 2004; Pakpahan, 2004; Syafa’at, et. al., 2005; Sastrosunarto, 2006; Sa’id dan Dewi, 2006). Peran pemerintah tersebut diwujudkan dalam kebijakan fiskal. Menurut Norton (2004), cakupan kebijakan fiskal tidak hanya menjangkau determinan makro ekonomi (pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan stabilitas ekonomi) namun juga pada determinan non ekonomi seperti pemerataan, pendidikan dan kesehatan, serta kemiskinan. Analisis pengaruh kebijakan fiskal juga bisa dikembangkan untuk analisis performa sektoral bahkan komoditi. Dalam studi ini dikaji keefektifan pengaruh kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor petanian dan agroindustri. b. Variabel Kebijakan Fiskal (1). Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) Studi Hutahaean, et.al. (2002), dan Irawan (2005) menemukan, penerimaan pemerintah dari pajak selama ini signifikan dalam mempengaruhi kinerja kebijakan fiskal di Indonesia non pajak cenderung menurun, sedangkan hibah belum terlalu berpengaruh terhadap kinerja kebijakan fiskal karena ketidakpastian dan ketidakberlanjutannya. Secara lebih spesifik, penerimaan pemerintah dari pajak
44 dipilih yang paling dominan mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan agroindustri. Pajak penghasilan (PPh) mempunyai efek/transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha perusahaan (James and Nobes, 1992). Gemmella, et.al. (2003) dalam studi di Inggris menemukan PPh dan PPn berpengaruh penting dalam perilaku keluarga dan perusahaan. Kasus Indonesia, bagi golongan ekonomi lemah (yang jumlahnya lebih banyak) PPh cenderung menaikkan semangat kerja sementara bagi golongan ekonomi kuat akan menurunkan semangat kerja karena sistem tarif pajak PPh yang nol pada tingkat pendapatan rendah (pasal 17, UU No.10 Tahun 1994 dan UU No.17 Tahun 2000) (Hutahaean, et.al., 2002). Hal itu selaras dengan hasil studi Dalton and Masters (1998) di Mali. Mangkoesoebroto (1999) mengemukakan bahwa dalam kasus Indonesia, PPh dan PPn cepat mempengaruhi perubahan perilaku rumahtangga dan produsen. Dalam hal ini PPn akan mempengaruhi petani sebagai keluarga sekaligus produsen produk primer dan PPn berpengaruh pada agroindustri sebagai perusahaan penghasil produk sekunder (Khan, 2001). Dari uraian tersebut, dalam penelitian ini Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dijadikan variabel yang mengekspresikan penerimaan pemerintah. (2). Defisit dan Utang Pemerintah Penguatan keseimbangan fiskal diperlukan untuk dapat memudahkan penyesuaian eksternal dengan lancar. Dalam sistem I-account, defisit merupakan bagian tersendiri yang menunjukkan dan mempengaruhi posisi keseimbangan fiskal internal. Indonesia adalah negara yang selalu menurunkan posisi keseimbangan
45 fiskal terhadap PDB (ADB, 2006). Ketika keseimbangan tersebut tidak dapat dicapai melalui sumber domestik maka dilakukan utang. Studi Subagjo (2005) dan Bafadal (2005) menemukan bahwa dalam struktur keseimbangan neraca pemerintah, defisit dan utang pemerintah menjadi bagian penting dalam mempengaruhi keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) dan keseimbangan makroekonomi. Faktanya, selama lima tahun terakhir hasil studi ADB (2006) menunjukkan, Indonesia adalah negara pengutang paling basar di enam kawasan Asia dan juga ASEAN. Disamping itu perjuangan untuk menjaga tade off antara defisit anggaran dan kebutuhan percepatan pembangunan menjadi pertimbangan strategis dalam kehati-hatian fiskal (Saragih, 2003; Subiyantoro dan Riphat, 2004). Memperhatikan hal tersebut, maka defisit (DEF) dan utang pemerintah (U) dimasukkan sebagai variabel. (3). Pengeluaran Pembangunan Untuk Sektor Pertanian. Penurunan intensitas kebijakan pertanian di dunia yang ditandai pelambatan perubahan marginal dalam program pertanian (Scrimgeour and Pasour, 1996) juga terjadi di Indonesia. Telah dikemukakan pada bagian awal bahwa peran pertanian semakin menurun secara tidak wajar sehingga sejak pertengahan periode 1990an pertanian tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya perekonomian Indonesia (lihat studi: Booth, 1988, 2002; Martin and Warr, 1993; Muslim, 2002; Fuglie,
2004; Druska, and Horrace, 2004; Simatupang, et. al., 2004;
Sastrosoenarto, 2006). Jika dalam pembangunan pertanian di Indonesia peran pemerintah masih dipersyaratkan (Alexandrates, 1995; Arifin, 2001; 2004; Tambunan, 2003a; 2003b; Fuglie, 2004; Pakpahan, 2004; Syafa’at, et. al., 2005; Sastrosunarto, 2006; Sa’id dan Dewi, 2006), maka penurunan tersebut lebih
46 dikarenakan menurunnya dukungan pemerintah dalam belanja pembangunan (investasi publik) untuk sektor pertanian (Arifin, 2001; Pakpahan, 2004; Tambunan, 2003b). Sehingga variabel pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian (EA) dimasukkan dalam model penelitian ini sebagai ekspresi dari instrumen kebijakan fiskal. (4).Subsidi Sektor Petanian Dalam perekonomian USA yang maju, subsidi untuk produksi swasta masih merupakan bagian belanja pemerintah yang penting termasuk produksi pertanian skala kecil dan perluasan jenis subsidi untuk industri dan subsidi kredit produksi atas sumberdaya produktif (Stiglitz, 2000). Studi Norton (2004) menemukan bahwa dalam kasus negara berkembang, subsidi pertanian masih disarankan untuk mendorong produksi dan perbaikan pendapatan petani. Sedangkan Rosen (2005) berpendapat bahwa belanja subsidi penting dilakukan pemerintah terutama dalam ketidakseimbangan pasar akibat eksternalitas. Dalam pembangunan pertanian Indonesia, subsidi pertanian secara keseluruhan masih merupakan bagian intervensi pemerintah yang efektif untuk mengarahkan perbaikan produksi pertanian. Dengan demikian variabel agregat subsidi pertanian (SP) dipilih dalam penyusunan model. (5). Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Di Cina, dari studi Fan and Zhang (2002) menemukan korelasi yang sangat kuat antara belanja publik untuk penelitian sektor pertanian dan infrastrukur pedesaan dengan pertumbuhan produktivitas pertanian. Di Indonesia, kemandegan dalam penelitian pengembangan teknologi pertanian sebagaimana konsisten dilakukan negara-negara tetanganya di Asia telah menjadi sebab terjadinya pelandaian pertumbuhan produktivitas komoditi pertanian
47 untuk hampir semua varietas (Simatupang, et. al., 2004) dan merupakan faktor utama dalam penurunan produktivitas pertanian di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini (Fuglie, 2004). Sehingga variabel pengeluaran pemerintah untuk penelitian dan pengembangan pertanian (RDA) dimasukkan ke dalam model. (6). Pengeluaran Infrastruktur Pertanian Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi transisi pertanian di dunia menyimpulkan bahwa kebijakan pertanian kedepan harus disertai dengan implikasi perbaikan investasi publik dan infrastruktur pertanian untuk menjamin kelestarian produktivitas pertanian. Hasil studi Zhang and Fan (2004), infrastruktur pertanian di India sangat mempengaruhi produktivitas pertanian. Jaringan irigasi bagi negara-negara Afrika dan Asia menyumbang dalam porsi besar pada pertumbuhan total faktor produksi (TFP) dan kemajuan pertanian keseluruhan. Namun dari studi tersebut diketahui bahwa belanja pemerintah dan investasi untuk penyediaan dan perbaikan infrastruktur pertanian telah menurun. Jika penurunan terus terjadi diperkirakan akan sulit untuk menumbuhkan produktivitas pertanian sampai tahun 2015. Infrastruktur pertanian khususnya irigasi di Yunani, berdasarkan studi Koundouri, et.al. (2006) menunjukkan peran pada urutan pertama sebagai syarat dalam keberhasilan adopsi teknologi di sektor pertanian. Sebagian besar persoalan pelambatan pertumbuhan produksi pertanian di Indonesia adalah karena penurunan investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur pertanian (irigasi, jalan desa, pasar pertanian, dan lain-lain) (Tim INDEF, 2005).
Dengan demikian, pengeluaran infrastruktur pertanian (IA)
dimasukkan sebagai variabel dalam model.
48 (7). Desentralisasi Fiskal Akhir periode 1990an telah terjadi perubahan ketatanegaraan menyangkut otonomi daerah. Otonomi daerah tidak hanya berhenti pada aspek politik, yang lebih penting adalah dukungan sumberdaya (resources) yang memadai agar otonomi berhasil. Bagian pokok otonomi daerah adalah kebijakan desentralisasi fiskal (Saragih, 2003). Dilaporkan dalam studi UNESCAP-CAPSA (2005), porsi pengeluaran yang didesentralisasikan Indonesia, sebesar 33.24%, lebih tinggi dari kasus negara maju. Sedangkan porsi penerimaan daerah di Indonesia paling rendah. Pada sisi lain persoalan masih berlangsung menyangkut distribusi sumberdaya lokal dan nasional dalam penguasaan dan peruntukan, kebebasan daerah untuk mengatur penerimaan (pajak dan retribusi). Situasi demikian sangat mempengaruhi kinerja pembangunan sektoral termamsuk pertanian (Tambunan, 2003b; Arifin 2004). Sehingga variabel desentralisasi fiskal (DF) dimasukkan dalam model penelitian. c. Investasi Dari beberapa studi menyimpulkan bahwa investasi pertanian merupakan instrumen vital dalam produksi pertanian (Mundlak, et.al., 2002; Simatupang, et. al., 2004). Di Indonesia studi Evenson, et.al. (1997) dan Salmon (1991) menemukan hasil bahwa investasi pertanian belum cukup untuk menumbuhkan penelitian sektor pertanian yang mampu mengadopsi dan mengembangkan tanaman berproduksi tinggi. Persoalan mandegnya pertumbuhan produksi pertanian di Indonesia adalah karena penurunan investasi pemerintah dan swasta untuk pembangunan pertanian
49 (ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI, 2005). Sehingga variabel investasi agregat (I) dimasukkan dalam model penelitian. d. Konsumsi Alexandrates, (1995) dalam studinya menyimpulkan, konsumsi atas produk pertanian di negara berkembang selalu meningkat utamanya untuk produk pangan, dan perkebunan. Perbaikan kemampuan konsumsi petani juga menjadi isu penting dalam
pembangunan
pertanian
(Foster
and
Rosenzweig,
2004).
Studi
Sumodiningrat (2000) dalam Tambunan (2003b) menyimpulkan bahwa, sampai tahun 2035 akan terjadi defisit konsumsi pangan di Indonesia. Konsumsi sebagai sisi penarik dalam peningkatan produksi pertanian dan agroindustri, namun sulit untuk mendekomposisi konsumsi produk pertanian dan agroindustri. Dengan demikian variabel konsumsi agregat (KONS) dimasukkan dalam model. e. Kinerja Sektor Pertanian Menurut analisis klasik Kuznets (1964), kinerja sektor pertanian di LDCs dapat dilihat dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yaitu; (1) kontribusi produk, (2) kontribusi pasar, (3) Kontribusi faktor-faktor produksi, dan (4) Kontribusi devisa. Kinerja sektor pertanian didekati dengan tingkat produktivitas fisik yang dikenal dengan total factor produktivity (TFP) (Martin, and Warr, 1993; Fuglie, 2004). Pengukuran juga bisa dilakukan melalui penciptaan agregat output atau nilai tambah (PDB) (misalnya Van der Eng, 1996; Arnade, 1998; Suhariyanto, 2001; Mundlak and Butze, 2002). Menurut Hayami and Ruttan (1985) produktivitas pertanian diukur dengan produktivitas lahan (arable land), produktivitas tenaga kerja dan outcome tingkat kesejahteraan petani. Tambunan (2003a) melengkapi dengan variabel
50 pertumbuhan output, pertumbuhan ekspor, penciptaan kesempatan kerja, dan ketahanan pangan. Dalam penelitian ini kinerja sektor pertanian didekati dengan variabel: pertumbuhaan output (PDB), perdagangan (ekspor, impor), penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan petani dengan digunakan net-barter Terms of Trade (Siregar, 2004). Masing-masing diuraikan sebagai berikut. (1). PDB Sektor Pertanian Hasil studi Van der Eng (1996), Arnade (1998), Suhariyanto (2001), Mundlak and Butze (2002), Martin and Warr (1992, 1993); dengan analisis dinamis mengenai perilaku sektor pertanian menyimpulkan, sumbangan output pertanian terhadap PDB merupakan isu utama dalam membahas kinerja sektor pertanian dalam perekonomian. Hal itu signifikan untuk kasus Thailand dan Indonesia. Dengan demikian PDB pertanian (PDBA) dimasukkan sebagai variabel dalam model. (2). Penyerapan Tenaga Kerja Studi Muslim (2002); PSE UGM, LPEM-FEUI, dan PSP IPB (2004) menyimpulkan, lebih dari separo angkatan kerja sampai dengan dekade 1990an bekerja di sektor pertanian. Martin and Warr (1992, 1993) juga menemukan bahwa dampak kebijakan sektor petanian belum cukup untuk “menyerap” angkatan kerja pedesaan yang jumlahnya hampir 60% dari keseluruhan. Dengan demikian penyerapan tenaga kerja (pedesaan) menjadi masalah penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Sehingga
penyerapan tenaga kerja (TKA) dimasukkan
sebagai variabel dalam model penelitian.
51 (3). Ekspor dan Impor Pertanian Perekonomian Indonesia adalah terbuka, sehingga dapat melakukan ekspor ke pasar internasional jika terjadi surplus produksi, dan sebaliknya melakukan impor barang dan jasa jika belum dihasilkan di dalam negeri atau dalam kondisi kekurangan produksi. Dari studi Sipayung (2000), Herjanto (2003) dan Irawan (2005) menemukan bahwa peran ekspor dan impor produk pertanian dalam analisis makro menyangkut sektor pertanian berpengaruh signifikan. Sehingga variabel ekspor pertanian (XA) dan impor pertanian (IMA) dimasukkan dalam model penelitian ini. (4). Kesejahteraan Petani Rozelle and Swinnen (2004) dalam studi mengenai transisi petanian di 28 negara (berkembang dan maju) di kawasan Asia timur, Asia tengah, Trancaucus, Eropa (Commonwealth Independent States/CIS), Baltik, Eropa tengah, Balkan secara umum menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang menyertakan sistem penanggungjawaban terhadap keluarga petani (household responsibility system) yang kemudian secara konsisten di adopsi oleh Cina dan Vietnam telah memperkecil disparitas harga (NTP) dan sebagai kunci untuk perbaikan kesejahteraan keluarga pedesaan. Secara dramatik kedua negara tersebut telah mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani. Studi Booth (2002) di Indonesia
selama periode 1980an sampai akhir
1990an mengukur tingkat kesejahteraan petani dengan nilai tukar petani (NTP) sebagai ukuran kesejahteraan petani. Menurut Siregar (2004) penggunaan NTP mempunyai keterbatasan pada perekonomian terbuka sehingga digunakan nilai tukar internasional yang disebut net-barter terms of trade. Dari studi Siregar (2004)
52 ditemukan, net-barter terms of trade
Indonesia wilayah barat mengalami
penurunan sedangkan wilayah timur meningkat signifikan. Dalam studi ini pengukuran kesejahteraan petani digunakan net-barter terms of trade (WP). f. Kinerja Agroindustri (1). Nilai Tambah Input dan Output Agroindustri Tambunan (1992) mengukur kinerja agroindustri dengan menggunakan tiga kriteria ekonomi yaitu, nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per output, dan nilai tambah per unit input (tidak termasuk modal tetap). Ukuran tersebut banyak ditemukan dalam literatur sebagai standar baku pengukuran nilai tambah yang mengacu pada perhitungan Asian Productivity Organization (Wainai, (1984); dan Shimizu, (1991) dalam Susanty (2000)). Secara resmi pengukuran dengan nilai tambah kinerja agroindustri juga dilakukan oleh Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi RI (Direktorat Bina Produksi, 2003). Sehingga variabel Nilai Tambah Input (NTI) dan Output (NTO) Agroindustri dimasukkan dalam model penelitian. (2). Daya Saing Agroindustri Struktur yang kaku sebagai akibat dari intervensi yang berlebihan melalui pengaturan-pengaturan perdagangan dalam negeri dan monopoli impor telah menghambat efisiensi dan daya saing ekonomi Indonesia. Hal itu juga dialami untuk produk agroindustri. Herjanto (2003) mengukur kinerja agroindustri menemukan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia yang meningkat sejak tahun 1971 sampai 1990, dan setelah itu relatif terus menurun. Pendekatan daya saing dengan RCA juga dilakukan oleh Sa’id dan Dewi (2004), Sa’id dan Febriyanti (2005). Keduanya menemukan daya saing agroindustri
53 Indonesia yang selalu menurun di pasar internasional. Dengan demikian variabel Daya Saing Agroindustri (DSA) dimasukkan dalam model penelitian ini. Dari uraian tersebut, variabel yang telah dipilih disajikan dalam Tabel (10). Tabel 10. Variabel Terpilih dalam Penelitian Nomor Variabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penyeimbang 10 Makroekonomi 11 Kinerja Sektor 12 Pertanian 13 14 15 16 Kinerja 17 Agroindustri 18 19 Aspek Penelitian Kebijakan Fiskal
Simbol PPh PPn DEF U EA SP RDA IA DF I KONS GDPA TKA XA IMA WP NTI NTO DSA
Nama Variabel Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai Defisit Anggaran Utang Pemerintah Pengeluaran Sektor Pertanian Subsidi Pertanian Pengeluaran R&D Pertanian Pengeluaran Infrastruktur Pertanian Desentralisasi Fiskal Investasi Konsumsi PDB Pertanian Penyerapan Tenaga Kerja Ekspor Produk Pertanian Impor Produk Pertanian Kesejahteraan Petani Nilai Tambah Input Agroindustri Nilai Tambah Output Agroindustri Daya Saing Agroindustri
2.7.5. Posisi Penelitian Dari uraian studi terdahulu, studi fiskal sebagian besar adalah pengaruh shock fiskal terhadap determinan makroekonomi dan ekonomi lokal/desentralisasi fiskal. Dari sisi kebijakan pertanian lebih diorientasikan pada kinerja pertanian dari sisi produktivitas (Total Factor Productivity). Studi agroindustri kebanyakan pada parsial agroindustri komoditi tertentu. Penelitian ini melakukan analisis mengenai keefektifan instrumen kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan
54 agroindustri pada cakupan yang lebih luas (pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja, kesejahteraan petani, perdagangan, nilai tambah input, nilai tambah output, dan daya saing). Sebagian besar metode analisis yang digunakan pada studi terdahulu adalah model simultan. Mengingat resiko data time series non-stasioner, estimasi dengan metode klasik seperti OLS (ordinary least squares) akan memberikan hasil yang meragukan (spurious). Disamping itu analisis dalam penelitian ini akan mencakup keterhubungan keefektifan kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri jangka panjang (cointegration). Sehingga model ekonometrik deret waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah vector error correction model (VECM), yang merupakan model restriksi dari vector autoregressive (VAR). Kemudian untuk mengetahui inovasi shock kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri dianalisis dengan impulse response function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD).