14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Kebijakan Harga Pangan dan Arahnya ke Depan 2.1.1. Sejarah Kebijakan Harga Pangan 2.1.1.1.Komoditas Beras Campur tangan pemerintah dalam harga dan distribusi pangan (beras) sudah ada sejak tahun 1651 saat Pemerintahan Sultan Amangkurat I pada Kerajaan Mataram dengan tujuan melumpuhkan perdagangan VOC Belanda. Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, kebijakan harga beras murah masih berlanjut dengan tujuan untuk mendukung produk ekspor perkebunan. Pada masa pendudukan Jepang, campur tangan terhadap beras juga masih berlangsung dengan tujuan untuk mendukung logistik tentara Jepang (Sapuan, 2002). Setelah Kemerdekaan, Pemerintah Indonesia juga campur tangan pada perberasan dengan orientasi lebih kepada konsumen. Di awal kemerdekaan (19451950) terjadi dualisme pengurusan kebijakan penyediaan pangan. Pada daerah sentra produksi dikuasai oleh Pemerintah Indonesia dan di perkotaan oleh Pemerintah Pendudukan Belanda. Pada periode 1951-1957, pertama kali campur tangan pemerintah dalam masalah perberasan, yaitu stabilisasi harga melalui injeksi beras di pasaran. Saat itu tugas membeli dan menetapkan harga dilakukan oleh Bupati yang berpedoman pada harga yang dikeluarkan oleh Menteri Perekonomian. Untuk pelaksanaan di tingkat daerah sentra produksi dibentuk Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) yang bertugas mengumpulkan padi, mengolah dan mendistribusikan pada konsumen. Di tingkat pusat dibentuk Yayasan Urusan Bahan Makanan yang bertugas menampung kelebihan beras hasil pembelian YBPP dan menyalurkan ke daerah defisit serta bertugas mengimpor beras (Sapuan, 2002).
15 Melalui Keppres No.272/1967, tanggal 30 Desember 1967 dibentuk Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai badan pembeli tunggal, sedangkan Pemerintah Daerah hanya bersifat membantu. Operasional Bulog tersebut dibiayai oleh Bank Indonesia sesuai dengan Inpres No.1 tahun 1968 (Sapuan, 2002). Saat kebijakan itu dibangun dukungan yang diberikan di tingkat usahatani berupa kebijakan subsidi harga output (jaminan harga dasar); subsidi harga input (benih, pupuk dan pestisida), dan subsidi bunga kredit usahatani; dan instrumen di tingkat pasar/konsumen, berupa kebijakan manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog (PSE, 2003). Operasionalisasi kebijakan harga beras yang berorientasi pada produsen dan konsumen melalui kebijakan harga dasar dan harga atap mulai dilakukan oleh Bulog tahun 1970 hingga saat ini. Namun konsep penentuan harga dasar dan kebijakan pendukungnya berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang terjadi. Laporan PSE (2003) menjelaskan bahwa kredit program pertanian dimulai sejak pendirian padi sentra tahun 1959 untuk pembelian sarana produksi dan biaya hidup. Skim kredit tersebut kemudian berubah menjadi Kredit Bimas.
Kredit
diberikan dalam bentuk sarana produksi dengan agunan usahatani padi. Pada tahun 1985 Kredit Bimas diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Pada tahun 1999 sampai sekarang KUT diganti dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Selain kredit, sarana produksi yang disubsidi adalah pupuk.
Subsidi ini
dimaksudkan agar petani dapat akses dan menggunakan pupuk dalam kegiatan usahatani, sehingga stabilitas poduksi pangan nasional dapat tercapai. Di samping itu, dengan adanya pengendalian harga gabah, subsidi pupuk dimaksudkan juga untuk menjaga agar petani padi dapat memperoleh pendapatan yang layak. Sejak reformasi dan adanya kesepakatan WTO, terjadi perubahan dimana pemerintah lebih membuka ekonomi terhadap pasar global dan diterapkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pada masa ini kebijakan pangan
16 nasional telah kehilangan arah dan tidak adanya institusi yang mampu mengintegrasikan keseluruhan aspek kebijakan pangan (Widodo, 2003).
Khusus
untuk beras, paket kebijakan ekonomi beras yang telah dioperasionalkan pada Era Orde Baru secara bertahap dihilangkan, sehingga tidak efektif lagi (PSE, 2003). Sejak akhir tahun 1998, unsur-unsur penopang kebijakan ekonomi beras yang dihilangkan adalah (Sapuan, 2002 dan PSE, 2003): 1.
Tahun 1998 mencabut monopoli impor beras yang dimiliki Bulog. Pihak swasta dilibatkan dalam impor beras yang diikuti dengan kebijakan tarif impor beras. Namun kebijakan ini tidak efektif, karena adanya moral hazard.
2.
Akhir 1998 menghapus berbagai subsidi input sehingga meningkatkan biaya usahatani, sehingga petani mengharapkan menerima harga gabah yang tinggi.
3.
Akhir tahun 1999 menghapus dana KLBI bagi Bulog dan koperasi. Selanjutnya menggunakan kredit komersil, sehingga membatasi kemampuan lembaga tersebut melakukan pengadaan pangan dari produksi domestik.
4.
Tahun 2000 menghapus captive market Bulog berupa jatah beras bagi PNS, sehingga outlet dan kemampuan Bulog menyerap surplus produksi beras terbatas. Terakhir, sejak Mei 2003 status Bulog diubah dari Lembaga Pemerintah Non Departemen menjadi Perusahaan Umum. Operasi pasar beras juga mengalami perubahan. Sejak tahun 1969-1998
subsidi yang diberikan untuk semua lapisan masyarakat. Awal sampai pertengahan 1998 diberikan untuk daerah tertentu dalam bentuk Operasi Pasar Murni (OPM). Kemudian sejak Juni 1998 sampai sekarang hanya diberikan untuk target grup masyarakat miskin dalam kegiatan Operasi Pasar Khusus (OPK).
17
2.1.1.2. Komoditas Palawija dan Pangan Lain Kebijakan harga dasar untuk pangan lain pertama diterapkan hanya untuk jagung yang mulai berlaku pada Pebruari 1978. Awalnya jumlah pengadaan dalam negeri untuk komoditas jagung, kedele, dan kacang hijau cukup besar.
Tetapi
beberapa tahun terakhir ini, pengadaan jagung tidak lebih dari satu persen. Bahkan pemerintah tidak melakukan lagi pembelian komoditas jagung, kedele, dan kacang hijau karena harga di pasar umum sangat baik. Karena itu pengadaan untuk menjaga harga dasar tidak diperlukan lagi (PSE, 2003). Untuk kebijakan skim kredit, sejak Kredit Bimas diganti dengan KUT pada tahun 1985, cakupan komoditasnya tidak hanya padi, tetapi palawija dan hortikultura. Kemudian tahun 2001 KUT diganti dengan Kredit KKP.
Jenis usahatani yang
dibiayai KKP mencakup usaha tanaman padi, jagung, kedele, ubi kayu, ubi jalar, usaha sapi potong, ayam buras, itik dan ikan. Pengendalian harga pangan asal ternak tidak dilakukan dengan kebijakan harga. Pengendalian lebih mengarah pada pengendalian penawaran dalam bentuk pengendalian ekspor-impor dan perdagangan dalam negeri. Seperti pada daging sapi, sebelum adanya deregulasi perdagangan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan mengatur pengadaan ternak sapi untuk kebutuhan lebaran di daerah sentra konsumsi dari beberapa daerah sentra produksi. Saat ini beberapa daerah sentra produksi ternak sapi membatasi perdagangan ternak antar pulau dengan batasan berat badan minimal. 2.1.2. Arah Kebijakan Harga Pangan Dari sejarah kebijakan harga pangan di atas, pemerintah lebih banyak terkonsentrasi pada kebijakan harga beras. Hal tersebut wajar karena dengan jumlah penduduk yang besar dan beras merupakan makanan pokok. Dengan pangsa
18 pengeluaran untuk pangan yang relatif masih besar, maka ketersediaan pangan sangat menentukan kesetabilan ekonomi dan ketahanan nasional. Saat peran pemerintah makin sedikit dalam pengadaan pangan, bukti empiris menunjukkan bahwa krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan penurunan upah dan pendapatan riil. Keadaan ini menyebabkan bertambahnya penduduk miskin dan mengancam ketahanan pangan (Stringer, 1999). Indikasi keterancamaan ketahanan pangan tersebut dapat dilihat dari menurunnya tingkat konsumsi energi dan protein hampir di seluruh provinsi, dengan nilai rata-rata nasional masing-masing delapan persen untuk energi dan 5 - 12 persen untuk protein seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perubahan Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia, Tahun 1996-1999 Energi (kkalori/kap/hari) 1996 1999 Perubahan (%)
Protein (gram/kap/hari) 1996 1999 Perubahan (%)
2 147 2 187
1 959 1 998
-8.7 -8.6
61.0 55.0
54.0 49.0
-10.8 -9.7
2.Pendapatan a. Rendah b. Sedang c. Tinggi
2 074 2 173 2 356
1 900 1 982 2 156
-8.4 -8.9 -8.5
51.4 59.1 68.4
48.7 52.5 60.3
-5.3 -11.2 -11.9
3. Pencaharian a. Pertanian b. Industri/ Perdagangan c. Jasa/lainnya
2 169
1 999
-7.9
56.1
50.3
-10.3
2 132 2 212
1 950 2 017
-8.6 -8.8
59.0 62.4
52.9 55.9
-10.4 -10.4
Pengelompokan Rumah Tangga 1. Wilayah: a. Kota b. Desa
Sumber: Ariani et al. (2000) (diolah dari data Susenas, BPS)
Bukti empiris juga menunjukkan bahwa sejak liberalisasi atas tekanan IMF pada Indonesia, ketergantungan impor pangan meningkat dua kali dibanding sebelumnya menjadi 10 persen untuk beras, 20 persen untuk jagung, 55 persen untuk kedele, dan 50 persen untuk gula yang masing-masing melibatkan 23.0 juta, 9.0 juta,
19 2.5 juta, dan 1.0 juta rumah tangga yang merupakan 68 persen dari total rumah tangga di Indonesia (Sawit, 2003). Menurut Saliem et al. (2003), ketergantungan terhadap pangan impor meningkat dari waktu ke waktu sejak 1961 – 1999, dan tertinggi pada tahun 1999 mencapai 15,46 persen (Tabel 3). Tabel 3. Pemenuhan Kebutuhan Ketersediaan Pangan dalam Bentuk Energi Menurut Sumber Pengadaan di Indonesia Tahun 1961 – 1999 Sumber Pengadaan
1961-1969
Produksi Dalam Negeri
1755.38 (99.38) 78.56 (4.45) 67.59 (3.83) 10.98 (0.62)
Impor Ekspor Net Impor Ketersediaan Pangan
1 766.35
1970-1979
1980-1989
1990-1999
kkal/kap/hari 1945.00 2395.14 (96.49) (99.26) 155.91 146.91 (7.73) (6.09) 85.11 128.97 (4.22) (5.34) 70.81 17.94 (3.51) (0.34)
2819.95 (99.90) 273.59 (9.69) 270.71 (9.59) 2,88 (0.10)
2 015.81
2 822.83
2 413.09
Sumber: Saliem et al. (2003) (diolah dari Food Balance Sheet FAO) Keterangan: Angka ( ) pangsa terhadap ketersediaan pangan yang juga merupakan angka tingkat ketergantungan pangan dari masing-masing sumber.
Berdasarkan bukti empiris tersebut, sebaiknya Indonesia membangun industri pangan yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari produksi domestik. Karena hampir tidak mungkin kemiskinan dan ketahanan pangan dapat di atasi dengan bergantung sebagian besar dari pangan impor (Sawit, 2003a). Jika angka kemandirian pangan minimal 90 persen pengadaan berasal dari produksi domestik (Suryana, 2004a), maka kondisi tahun 1999 menunjukkan ketidakmandirian pangan. Angka 90 persen merupakan acuan dalam arti pangan secara umum. Untuk pangan pokok, seperti beras, jagung, gula, dan minyak goreng, angka tersebut seyogianya mendekati atau bahkan 100 persen. Namun untuk pangan yang tidak mempunyai keunggulan kompetitif seperti gandum, apel, atau jeruk sunkist, tidak perlu ditetapkan seperti itu.
20 Fenomena tersebut menyebabkan kebijakan pangan Indonesia cenderung mengarah pada kemandirian didukung kebijakan perdagangan yang protektif (Suryana, 2004; Simatupang, 2004; dan Sawit et al. 2004). Hal tersebut merupakan hal yang wajar, sebab negara maju yang paling liberalpun hingga saat ini masih tetap campur tangan pada pasar pertanian. Jepang sampai sekarang melindungi petani padi dengan tarif 1000 %; Amerika Serikat mensubsidi petani padi untuk ekspor; Eropa memproteksi produksi gula dengan tarif 100 – 200 %; dan Malaysia dan Filipina melindungi produsen beras (Widodo, 2003). Jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. Dengan demikian kebijakan yang medukung pengadaan pangan dan peningkatan ketahanan pangan, termasuk kebijakan harga pangan, masih relevan untuk dilakukan dengan tetap melakukan berbagai perbaikan di tingkat implementasinya. Tabel 4. Perkembangan Perkiraan Dukungan Dana beberapa Negara OECD pada Sektor Pertanian, Tahun 1995 – 2004 European New United Japan Tahun Australia Canada Zealand States (AUD mn) (C$ mn) (Yen bn) (NZ$ mn) Union (USD mn) (EUR mn)
1995
2,416.84
7,561.94
107,681.91 9,231.11
390,11
67,792.49
1996
2,494.02
6,886.47
105,519.27 8,333.46
354.20
76,358.32
1997
2,570.99
6,228.04
111,100.26 7,520.02
386.50
76,177.88
1998
2,607.32
7,060.33
113,841.20 8,202.18
327.30
89,823.95
1999
3,685.94
7,466.56
120,742.81 7,461.39
341.63
100,328.16
2000
1,894.79
8,591.02
105,805.93 7,256.64
325.25
97,512.83
2001
2,221.77
7,860.02
105,899.13 6,869.98
257.70
98,610.39
2002
2,600.17
9,829.24
109,971.98 6,950.27
420.20
90,019.81
2003
2,321.93
10,840.63 117,223.00 6,994.44
550.94
92,199.04
2004
2,174.12
9,736.22
113,006.87 6,595.65
603.39
108,695.73
Rataan Growth (%/year)
2,498.79
8,206.05
111,079.24 7,541.51
396.35
89,751.86
1.97
3.59
7.46
5.77
Sumber: OECD, 2005 (diolah)
0.71
-3.49
21
2.2. Faktor-faktor yang Menentukan Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Peran pemerintah direpresentasikan oleh besarnya biaya yang digunakan untuk implementasi kebijakan harga pangan. Semakin besar dana yang digunakan maka seharusnya ketahanan pangan semakin membaik. Namun, karena implementasi kebijakan ini melibatkan banyak pemangku kepentingan, maka selain konsep dan dana banyak aspek teknis yang juga menentukan efektivitas kebijakan harga pangan. Menurut Mooy (2005)1 sejak dulu Bank Indonesia sudah memperhatikan masalah pertanian dan pengusaha kecil dalam bentuk program BIMAS, Kredit Candak Kulak, KUT, dll. Namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Kegagalan tersebut selalu dikatakan disebabkan oleh konsep yang salah. Kemudian muncul konsep baru yang ternyata juga mengalami kegagalan. Jadi masalah sebenarnya adalah kegagalan di tingkat implementasi. Bisa saja konsepnya baik, tapi implementasinya mengalami banyak hambatan, moral hazard, salah penggunaan, tidak tepat waktu, dll. Dengan demikian efektivitas kebijakan perlu perhatian sampai pada tataran implementasi. 2.2.1. Komoditas Gabah Secara umum sasaran kebijakan pangan adalah: (1) meningkatkan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, (2) meningkatkan pendapatan petani, (3) mengendalikan kecukupan pangan sehingga tersedia di seluruh wilayah, dalam waktu dan jumlah, serta dalam batas harga yang terjangkau masyarakat, dan (4) memperbaiki mutu produksi pangan. Efektivitas suatu kebijakan yang diukur dari keberhasilan pencapaian sasaran tersebut ditentukan oleh bagaimana proses pembuatan dan implementasi kebijakan dilaksanakan (PSE, 2003). . Dalam kasus kebijakan harga beras, implementasi pengadaan melibatkan KUD, pedagang grosir, pengecer dan importir. Sementara itu implementasi 1
Komunikasi langsung dengan Adrianus Mooy, mantan Gubernur Bank Indonesia
22 penyalurannya melibatkan koperasi pasar, pedagang grosir dan pengecer. Kegiatan pengadaan dan penyaluran tersebut sebagian besar menggunakan angkutan laut yang membutuhkan waktu cukup panjang sejak dari muat, perjalanan dan bongkar. Rangkaian tersebut melibatkan banyak lembaga sehingga berpeluang besar terjadi gangguan jadwal kegiatan. Menurut Moelyono (2002), kapasitas penyimpanan dan jaringan perhubungan laut merupakan faktor kendala yang berat untuk melakukan operasi pergerakan dan dislokasi stok yang efisien. Menurut Kasryno et al. (2001) kebijakan harga pangan dan perdagangan internasional beras sejak pra swasembada beras sampai tahun 1996 kelihatan efektif karena disertai dengan kebijakan nilai tukar rupiah yang over value. Namun menjadi tidak efektif sejak diberlakukan deregulasi perdagangan beras. Kebijakan tarif impor yang tinggi juga menjadi tidak efektif karena memberi insentif bagi importir ilegal (Amang dan Sawit, 2001), sehingga efisiensi sistem usaha tani perlu ditingkatkan. Menurut Suryana (2004b), pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan oleh berbagai instansi terkait cukup efektif. Namun dalam pelaksanaannya berupa penerapan tarif impor sebesar Rp 430 per kg dikatakan belum sepenuhnya efektif, tetapi telah mampu menjadi penghambat membanjirnya beras impor dan sekaligus menjadi katup pengaman penyediaan pangan saat pasokan dalam negeri berkurang, sehingga mengurangi tekanan munculnya lonjakan harga. Pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa proses pembuatan kebijakan berjalan sesuai yang diharapkan. Namun implementasinya mengalami masalah. Pada periode itu, bukti empiris menunjukkan pengendalian impor tidak efektif karena adanya beras selundupan yang harganya lebih murah dari harga beras domestik. Sementara itu, perangkat dan kelembagaan pengawas dengan kondisi geografis yang ada belum berjalan baik.
23 Keefektifan kebijakan harga pangan selain ditentukan oleh kegiatan pengadaan komoditas, juga ditentukan oleh kegiatan distribusinya. Menurut Suntoro (2004), adanya jembatan yang rusak, bencana alam, kerusuhan, pungutan liar dan lainnya, dampaknya sangat besar terhadap stok dan harga pangan di suatu wilayah, sehingga bisa mengakibatkan terjadi rawan pangan. Karena selain ditentukan daya beli, tingkat pendapatan, harga pangan, dan kelembagaan di tingkat lokal, proses distribusi pangan merupakan faktor penentu akses individu terhadap pangan (Rachman dan Ariani, 2002). Dengan demikian efektivitas kebijakan harga pangan tersebut tidak hanya melibatkan satu sektor, tetapi banyak sektor. Untuk mengefektifkan kebijakan insentif ekonomi bagi petani pangan, pada tahun 2003 pemerintah menyiapkan subsidi pupuk sebesar 1.35 triliyun rupiah, subsidi benih 24 milyar rupiah dan subsidi bunga kredit ketahanan pangan sebesar 10 persen, kenaikan harga dasar pembelian pemerintah dari Rp 1500 per kg menjadi Rp 1700 per kg GKG di tingkat petani. Kebijakan tersebut didukung dengan kenaikan dan pengefektifan penerapan tarif impor beras dan pembelian gabah atau beras petani oleh pemerintah saat panen raya (Suryana, 2004b). Keberhasilan kebijakan harga dasar gabah pembelian pemerintah, perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) pembelian dilakukan pada saat yang tepat, yaitu puncak panen raya, (2) volume gabah yang dibeli diperkirakan 10 persen dari produksi periode puncak panen raya, dan (3) menetapkan harga dasar gabah yang layak menjamin keuntungan usahatani, minimal 30 persen dari total pengeluaran. Harga yang tinggi menyebabkan biaya semakin mahal dan menuntut penerapan tarif impor yang tinggi. Dalam kondisi penegakan hukum yang lemah, penerapan tarif impor terlalu tinggi akan mendorong penyelundupan beras (Departemen Pertanian, 2002). Efektivitas penerapan harga dasar juga dipengaruhi oleh ketepatan jadwal pencairan dan fleksibilitas penggunaan dana (Amang dan Sawit, 2001).
24 Menurut PSE (2003), tingginya insiden harga jual gabah di bawah harga dasar gabah pembelian pemerintah (HDPP) selama periode Januari – Agustus 2003 disebabkan oleh beberapa alasan berikut: (1) volume panen dalam negeri sangat besar karena periode puncak panen raya, (2) harga beras internasional cenderung turun atau setidaknya tidak akan naik, (3) nilai rupiah stabil di bawah Rp 9 000 per US $, bahkan saat ini cenderung menguat pada tingkat di bawah Rp 8 500 per US $, sehingga harga paritas impor beras menjadi lebih murah lagi, (4) paket kebijakan HDPP mengalami diskontruksi, terutama berkaitan dengan penetapan tarif dan tataniaga impor beras, dan (5) pengadaan gabah dalam negeri oleh Bulog belum sepenuhnya efektif dalam menjaga stabilisasi harga gabah petani, karena pembelian gabah melalui kontraktor pengadaan tidak menjamin sepenuhnya kontraktor tersebut membeli gabah di sentra produksi padi dan sesuai degan HDPP. Efektivitas kebijakan bantuan pangan dapat juga dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan. PSE (2003), melaporkan setidaknya ada tiga pendekatan yang dipakai untuk membantu pangan bagi masyarakat, yaitu bantuan pangan secara umum (broad food targeting), secara sempit (narrow food targeting), dan langsung kepada sasaran (self-food targeting). Pendekatan bantuan pangan secara umum dilakukan dengan memberi subsidi pangan untuk komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat seperti beras. Pemerintah melepas stok saat harga melewati harga tertinggi untuk menghambat kenaikan harga beras di pasar dan mengontrol volume impor guna menstabilkan harga beras dalam negeri dari pengaruh gejolak harga beras di luar negeri. Kebijakan ini dinikmati semua kelompok baik miskin maupun kaya. Pendekatan bantuan secara sempit adalah subsidi pangan secara langsung diberikan kepada kelompok sasaran. Kelompok sasaran ditentukan berdasarkan daerah dimana umumnya mereka berada, seperti daerah kekeringan. Setiap kelompok
25 sasaran diikutkan dalam kelompok kerja misalnya memperbaiki saluran irigasi yang diberikan upah berupa beras. Dengan cara ini dua manfaat yang diterima, yaitu peningkatan pendapatan riil pekerja dan perbaikan infrastruktur yang berdampak positif pada kegiatan produksi dan pemasaran pertanian. Kelemahannya sering tidak tepat dalam menentukan kelompok sasaran. Pendekatan bantuan pangan langsung dengan cara memberikan subsidi pada komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh kelompok miskin kekurangan pangan, seperti program raskin menggunakan beras kualitas medium. Cara ini tidak dinikmati kelompok menengah dan kaya, karena mereka tidak biasa mengkonsumsi pangan yang dikonsumsi kelompok miskin. Cara ini lebih efektif karena mencapai sasaran, murah dan kebocorannya relatif kecil. Selain pendekatannya, bentuk bantuannya juga menentukan efektivitas kebijakan. Kelemahan dan kelebihan bantuan dalam bentuk tunai dan natura (Tabel 5). Tabel 5.
Kekuatan dan Kelemahan Subsidi Pangan Melalui Uang Tunai dan Natura Keterangan
Uang Tunai
Natura
1. Distorsi dalam produksi
Melalui mekanisme pasar
Terdistorsi
2. Distorsi dalam konsumsi 3. Mendorong konsumsi komoditas pangan tertentu 4. Mendorng konsumsi anggota RT: wanita dan anak-anak
Melalui mekanisme pasar
Terdistorsi
Tidak akan terjadi
Akan terjadi
Belum tentu, bisa diselewengkan
Lebih mengena sasaran
5. Pembayar pajak
Kurang menerimanya
Lebih menerima
6. Dampak kenaikan harga Merosot nilainya
Stabil nilainya
7. Menentukan kelompok sasaran
Lebih sulit dan sering bocor ke luar sasaran
Lebih mudah, bisa dikontrol masyarakat
8. Keinginan secara politis
Kurang disenangi
Lebih disenangi
Sumber: PSE (2003)
26
2.2.2. Komoditas Palawija dan Pangan Lain Penetapan harga dasar selain gabah, pertama kali diterapkan pada palawija mulai berlaku pada Pebruari 1978. Jumlah pengadaan dalam negeri untuk komoditas jagung, kedele, dan kacang hijau pada awal-awal tahun penetapan harga dasar cukup besar. Tetapi untuk beberapa tahun terakhir ini, pengadaan jagung tidak lebih dari satu persen. Bahkan pemerintah tidak lagi membeli komoditas jagung, kedele, dan kacang hijau karena harga di pasar umum sangat baik, jauh di atas harga dasar. Oleh karena itu pengadaan untuk menjaga harga dasar tidak diperlukan lagi (PSE, 2003). 2.2.3. Sarana Produksi Pertanian Laporan PSE (2003) tentang perkembangan kelembagaan kredit pertanian dijelaskan sebagai berikut. Kredit diberikan dalam bentuk sarana produksi sering menghadapi permasalahan berupa keterlambatan kredit, paket kredit yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Keadaan ini mengurangi efektivitas manfaat kredit yang berakibat tidak tercapainya sasaran dan menyebabkan besarnya tunggakan kredit. Oleh karena itu, seperti halnya bantuan pangan, kredit KUT Pola Khusus dimana bantuan pinjaman yang diberikan berupa uang tunai dengan prosedur yang lebih mudah lebih disukai petani dan efektif meningkatkan jumlah pemakaian sarana produksi, produksi gabah dan meningkatkan pendapatan petani dibandingkan KUT Pola Umum (Sanim, 1998). Pada tahun 1999 KUT diganti dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Berbeda dengan KUT, pada KKP menggunakan sistem executing yang berarti bank pelaksana harus menanggung dana dan risiko kredit. Pemerintah hanya memberi subsidi bunga sebesar 10 persen untuk usahatani tanaman pangan dan enam persen untuk usaha lainnya. Hambatan skim kredit KKP adalah pihak bank masih belum siap dan banyak KUD/koperasi atau petani yang menunggak KUT.
27 Kenaikan produksi padi telah meningkatkan kemampuan petani untuk membeli sarana produksi, sehingga realisasi program KUT sangat rendah berkisar antara 5 – 15 persen bahkan pada musim tanam tahun 2001 realisasi KKP hanya mencapai 0.5 persen (Kasryno et al., 2001). Adnyana, et al. (2000) menunjukkan bahwa sebagian besar petani menggunakan kredit informal dan warung sarana produksi pertanian. Dengan kondisi yang demikian ditambah dengan banyaknya penyimpangan kredit, dapat menyebabkan penyaluran kredit program pada saat ini sudah tidak efektif. Bagi petani yang penting adalah insentif berproduksi, ketersediaan sarana produksi, teknologi, kualitas prasarana irigasi, dan sumberdaya lahan. Pupuk subsidi hanya diperuntukkan pada usahatani tanaman pangan. Keadaan ini menyebabkan adanya perembesan penggunaan pupuk dari tanaman pangan ke penggunaan lain, sehingga sering petani pangan mengalami kekurangan pupuk (Ilham, 2001). Perbedaan harga pupuk di dalam negeri dengan di luar negeri juga menyebabkan adanya perembesan pupuk ke luar negeri. Dengan dua masalah tersebut dan makin besarnya beban subsidi maka pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan subsidi pupuk dan melepaskan tataniaga pupuk sesuai mekanisme pasar. Pada kondisi tanpa subsidi dan pasar bebas awalnya berdampak positif terhadap ketersediaan pupuk dengan harga yang relatif murah. Akibatnya distribusi pupuk mengikuti sinyal pasar dengan harga dan permintaan yang tinggi termasuk untuk ekspor, karena harga jual fob lebih mahal dari harga di dalam negeri, sehingga terjadi lagi masalah kelangkaan pupuk (Ilham, 2002). Berdasarkan kenyataan ini pemerintah mengatur kembali tataniaga pupuk urea. Kegiatan ekspor pupuk urea dikhawatirkan akan mengganggu produksi beras nasional. Sementara produsen pupuk tetap memperhatikan keberlangsungan usahanya untuk mencapai keuntungan. Untuk itu pemerintah memberikan subsidi pada
28 produsen. Kebijakan pemerintah ini dikritik sebagian pakar, karena subsidi tersebut dikhawatirkan tidak akan dirasakan oleh petani. Berdasarkan tinjauan empiris dari beberapa studi terdahulu efektifitas kebijakan harga pangan tidak hanya dipengaruhi oleh dana yang diberikan secara langsung untuk kebijakan tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor sejak dari proses pembuatan hingga implementasi kebijakan, beberapa di antaranya adalah: 1. Ketepatan dalam melakukan kebijakan, seperti: (1) pembelian dilakukan pada saat dan wilayah yang tepat, yaitu puncak panen raya dan di wilayah surplus produksi, (2) volume gabah yang dibeli diperkirakan 10 persen dari produksi periode puncak panen raya, dan (3) menetapkan harga dasar gabah yang layak menjamin keuntungan usahatani, minimal 30 persen dari total pengeluaran. 2. Dukungan kebijakan lain yang harmonis, seperti kebijakan tarif impor harus diharmoniskan dengan perbedaan harga domestik dan pasar internasional, kebijakan nilai tukar rupiah (over value atau under value), dan penegakan hukum. 3. Kinerja kelembagaan yang terlibat dalam sistem distribusi, yaitu KUD, lembaga kredit, koperasi pasar, pedagang grosir, pengecer, Dolog, Bulog, dan importir. 4. Fasilitas dan lembaga yang mendukung dalam sistem distribusi, yaitu jaringan angkutan laut, jaringan angkutan darat, dan kapasitas pergudangan 5. Pendapatan dan daya beli petani terhadap harga input dan outrput. 6. Pendekatan yang digunakan, yaitu bantuan pangan secara umum (broad food targeting), secara sempit (narrow food targeting), dan langsung kepada sasaran (self-food targeting). 7. Bentuk bantuan dan prosedurnya, yaitu dalam bentuk tunai dan natura dengan prosedur yang mudah. 8. Bencana alam, kerusuhan dan pungutan liar selama kegiatan distribusi.
29
2.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi Inflasi merupakan indikator utama ekonomi makro. Dengan demikian stabilitas ekonomi makro sangat ditentukan oleh stabilitas inflasi. Untuk mengefektifkan pengendalian inflasi, maka perlu diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi inflasi. Hasil penelitian menggunakan data 1969-1982 yang dilakukan Gunawan (1991) menyimpulkan bahwa faktor-faktor utama penentu inflasi di Indonesia adalah: defisit domestik, inflasi yang diimpor, harga minyak dan gas bumi. Sementara itu penawaran bahan makanan yang secara teoritis seharusnya mempengaruhi harga umum, tetapi karena ketatnya pengaturan harga oleh pemerintah menyebabkan perannya tidak dapat terlihat. Faktor tingkat upah yang hampir semua negara maju dan beberapa negara berkembang merupakan salah satu sumber utama inflasi, di Indonesia tingkat upah tak begitu berperan. Amang (1984), melakukan studi menggunakan data periode 1967-1981 tentang inflasi di Indonesia dengan menggunakan empat model, yaitu: inflasi moneteris, permintaan dan penawaran agregat, persamaan simultan, dan efek langsung harga beras terhadap inflasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyebab utama inflasi di Indonesia adalah demand pull inflation, tetapi faktor-faktor struktural (cost push inflation) juga berpengaruh signifikan. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor moneter yang menyebabkan inflasi adalah peningkatan penawaran uang melebihi peningkatan permintaan uang. Meningkatnya penawaran uang disebabkan oleh: defisit pemerintah, pengembangan kredit oleh sistem perbankan, dan surplus neraca pembayaran yang disebabkan oil booming dan bantuan asing. Faktor yang disebabkan oleh cost push inflation adalah meningkatnya harga-harga komoditas utama di pasar domestik seperti bahan bakar minyak, beras,
30 dll. Hasil simulasi kebijakan dari model persamaan simultan dan model efek langsung harga beras terhadap inflasi menunjukkan bahwa naiknya harga beras menyebabkan meningkatnya laju inflasi. Studi Gunawan (1991) dan Amang (1984) tentang pengaruh harga pangan terhadap inflasi menunjukkan hasil yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh spesifikasi model yang digunakan.
Studi Amang (1984) lebih
mengembangkan spesifikasi model dengan menggunakan empat model sehingga dapat menunjukkan keterkaitan antara harga beras dan inflasi. Perwira (2001) menggunakan data bulanan dari Januari 1996 – Desember 1999, hasil pendugaannya menunjukkan bahwa permintaan uang, suku bunga riil, dan pembayaran utang berpengaruh negatif terhadap tingkat inflasi. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, capital inflow, dan inflasi periode sebelumnya berpengaruh positif dengan nilai R2 0.7325. Parameter dugaan permintaan uang dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpengaruh sangat nyata (α=1%), sedangkan yang lainnya tidak berbeda nyata dengan nol. Pengaruh depresiasi nilai tukar ke inflasi sangat kuat terjadi sejak berlakunya sistem nilai tukar mengambang (Bank Indonesia, 2002). Sebaliknya, sebelum periode krisis, pengaruh nilai tukar ke inflasi hampir tidak terjadi. Tinjauan perkembangan ekonomi periode triwulanan yang dilakukan CSIS (2001a; 2001b; 2001c; 2001d; 2002a; 2002b; 2002c; 2002d) selama tahun 2001-2002, menunjukkan bahwa faktorfaktor yang menentukan inflasi
adalah:
(a) peningkatan permintaan uang, (b)
pertumbuhan uang beredar, (c) naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik akibat penurunan subsidi, (d) melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, (e) meningkatnya permintaan terhadap barang menjelang bulan Puasa dan Natal, (f) kenaikan upah minimum, (g) kenaikan pajak rokok, (h) kemarau panjang yang menggangu produksi pangan, dan (i) tidak efektifnya kebijakan moneter.
31 Khusus untuk Bulan Maret - April 2002, terjadi deflasi masing-masing sebesar 0.02 dan 0.24 persen. Penyebab utama deflasi adalah turunnya harga makanan selama masa panen. Hasil analisis Sadewa (2003)1, inflasi yang terjadi sangat rendah, yaitu sebesar 0.77 persen pada tiga bulan pertama 2003 disebabkan kebijakan moneter yang dijalankan bank sentral sudah cukup baik. Selain itu disebabkan juga oleh penurunan harga bahan makanan akibat meningkatnya pasokan dari dalam dan luar negeri. Penemuan hasil studi terdahulu bahwa variabel yang mempengaruhi inflasi tidak hanya dari sektor riil dan moneter, tetapi ada juga pengaruh faktor kebijakan. Romer (1996) menyatakan bahwa, salah satu variabel yang cukup banyak menjadi perhatian adalah kebebasan bank sentral. Disamping itu, harga bahan pangan termasuk beras masih menentukan tingkat inflasi di Indoneisa. Dengan demikian kebijakan pangan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pengendalian inflasi masih relevan untuk dilakukan di Indonesia. 2.4.
Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Dengan
mengetahui penyebab inflasi, dapat dijadikan dasar untuk
mengendalikan inflasi dalam bentuk target inflasi untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dimulai dari negara-negara maju, dimana pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga sudah tidak signifikan maka sejak tahun 1989, pengendalian inflasi dilakukan oleh otoritas moneter dengan menetapkan target inflasi. Negara pertama memperkenalkan target inflasi adalah Selandia Baru (Agenor, 2000). Upaya ini kemudian diikuti oleh beberapa negara (Tabel 6). Brooks (1998) dalam Debelle (2000), menunjukkan bahwa rejim target inflasi terkait dengan perbaikan performa inflasi, rata-rata tingkat inflasi dan keragamannya telah menurun secara substansial (Tabel 7). Dapat dilihat bahwa negara yang
1
Harian KOMPAS, 14 April 2003. Apakah Inflasi yang Rendah Buruk Bagi Perekonomian?
32 menerapkan target inflasi, inflasinya lebih rendah dan pertumbuhan outputnya menjadi lebih tinggi dengan keragaman inflasi dan output yang lebih rendah. Kondisi perekonomian seperti ini lebih baik dari kondisi sebaliknya. Tabel 6. Penerapan Target Inflasi pada Beberapa Negara Tahun 1990 - 1995 Negara Australia Kanada
Mulai Menerapkan Tahun 1993 Februari 1991
Finlandia
Februari 1993
Israel
Desember 1991
Definisi Inflasi
Target Inflasi (%/thn)
Underlying CPIa)
2–3
Core CPI
b)
Underlying CPI CPI
Selandia Br
Maret 1990
Underlying CPI
Spanyol
Januari 1995
CPI
Swedia
Januari 1993
CPI
Inggris
Oktober 1992
1-3 c)
±2 8 - 11
d)
Retail Price Index
0-3 >3 1-2
e)
1–4
Sumber: Bernanke dan Mishkin, 1997. Ket. a) = mengeluarkan : buah dan sayuran, bahan bakar, biaya bunga, biaya sektor publik dan hargaharga yang mudah berubah. b) = mengeluarkan: bahan makanan, energy, efek putaran pertama pajak tidak langsung. c) =mengeluarkan: subsidi pemerintah, pajak tak langsung, harga rumah dan bunga hipotek. d) =mengeluarkan : perubahan pajak tidak langsung, perubahan signifikan pada harga impor dan harga ekspor, biaya bunga, dan bencana alam. e) =mengeluarkan bunga hipotek.
Di Indonesia kebijakan target inflasi diawali tahun 1999, mulai terasa hasilnya 3-4 tahun kemudian. Analisis CSIS, target inflasi Bank Indonesia untuk tahun 2000, 2001 dan 2002 masing-masing 5 – 7 persen dan 4 – 6 persen dan kurang dari 9 persen tidak dapat tercapai.
Inflasi aktual masing-masing mencapai 9.35 persen, 12.55
persen dan 10.03 persen. Kegagalan tersebut disebabkan oleh meningkatnya permintaan uang pada akhir tahun 2000; kondisi politik yang tidak pasti, sehingga independensi bank sentral menjadi berkurang pada tahun 2001. Khusus tahun 2002 diperkirakan target inflasi akan tercapai karena pada Maret-April 2002 terjadi deflasi yang disebabkan oleh turunnya harga makanan selama masa panen dan terkendalinya jumlah uang beredar. Namun karena adanya
33 kenaikan permintaan menjelang hari raya, naiknya harga tarif dasar listrik, kenaikan pajak rokok dan adanya musim kemarau pada akhir tahun target yang ditetapkan tidak tercapai. Untuk tahun 2003, target inflasi sembilan persen akan mudah tercapai, bahkan diperkirakan akan mencapai 7.8 persen (Sadewa, 2003)1.
Hal ini lebih
disebabkan keberhasilan kebijakan moneter Bank Indonesia. Tabel 7. Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan pada Beberapa Negara Industri yang Menerapkan dan Tidak Menerapkan Rejim Target Inflasi Negara
Inflasi Tahunan Standar Rataan Deviasi
Pertumbuhan GDP Riil Standar Rataan Deviasi
Rejim Target Inflasi (TI) Australia 1980-1992 1993-1997
7.2 2.2
2.4 0.6
2.8 3.9
2.8 1.1
7.8 2.3
3.5 1.1
2.1 2.5
2.6 2.1
6.0 2.9
3.7 1.2
2.5 2.1
1.8 2.2
13.9 4.6
6.5 2.3
2.7 2.8
2.7 1.9
Negara Lain 1980 s.d menerapkan TI 1) Saat menerapkan - 1997 Rejim Non Target Inflasi Negara Besar 2) 1980 - 1989 1990 - 1997 Negara Kecil 3) 1980 – 1989 1990 – 1997 1) 2) 3)
Kanada, Finlandia, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, Inggris Prancis, Jerman, Italy, Jepang, dan Amerika Serikat Belgia, Denmark, Yunani, Islandia, Irlandia, Luxemburg, Norwegia, dan Portugal
Sumber: Brooks (1999) dalam Debelle (2000).
Mallik dan Chowdhury (2001) melakukan studi inflasi dan pertumbuhan di Asia Selatan, yaitu Bangladesh, India, Pakistan dan Sri Langka. Dengan menggunakan data time series tahunan dianalisis dengan teori kointegrasi dan model 1
Harian KOMPAS, 14 April 2003. Apakah Inflasi yang Rendah Buruk Bagi Perekonomian?
34 koreksi eror (ECM). Ada dua hasil yang menarik. Pertama, inflasi dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang positif.
Kedua, Sensitifitas perubahan dari
inflasi ke tingkat pertumbuhan lebih besar daripada perubahan dari pertumbuhan ke inflasi. Implikasi dari temuan ini adalah: mengurangi inflasi ke tingkat yang paling rendah (nol) merugikan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, upaya mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dapat memanaskan ekonomi yang meluas pada tingkat inflasi yang tidak stabil. Tantangannya adalah menemukan tingkat pertumbuhan yang konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil. Dari hasil studi terdahulu, negara-negara yang menerapkan dan mampu mencapai target inflasi yang diinginkan menunjukkan kinerja ekonomi makro yang baik dengan inflasi lebih rendah dan pertumbuhan output menjadi lebih tinggi dengan keragaman inflasi dan output yang lebih rendah. Kondisi seperti ini lebih baik dari kondisi sebaliknya. Untuk kasus Indonesia, target inflasi masih dipengaruhi harga bahan makanan dan situasi politik, kedua faktor tersebut sudah tidak signifikan mempengaruhi target inflasi di negara-negara maju yang lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor moneter. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal diperlukan pengendalian inflasi. Karena pangsa pengeluaran pangan di Indonesia diduga masih relatif besar maka stablitas ekonomi sangat ditentukan oleh stabilitas harga pangan.
Karena itu untuk mengendalikan inflasi diperlukan pengendalian
terhadap harga pangan, di antaranya dalam berntuk kebijakan harga pangan. 2.5.Dampak Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan Pasca swasembada beras 1984, terjadi pengurangan investasi di sektor pertanian (irigasi dan pembukaan areal pertanian baru) dan penghapusan subsidi harga sarana produksi pertanian secara bertahap menyebabkan laju pertumbuhan produksi melambat dan menjelma menjadi faktor risiko utama terhadap ketahanan pangan
35 nasional, pendapatan petani serta akan berdampak pada perekonomian dan stabilitas sosial politik (Kasryno et al., 2001). Hasil penelitian Hardono (2003) dengan model rumah tangga menyimpulkan bahwa peningkatan harga input (pupuk dan upah buruh tunai) berdampak negatif terhadap ketahanan pangan rumah tangga pertanian. Namun dampak tersebut dapat di atasi dengan kenaikan harga output secara proporsional. Menurut PSE (2003), jika tarif impor beras Rp 430,-/kg diturunkan menjadi nol persen, maka produksi beras dalam negeri tahun 2003 sebesar 31.78 juta ton, pada tahun 2004 diproyeksikan hanya turun (2,88 juta ton) menjadi 28.9 juta ton dan konsumsi meningkat dari 31.5 juta ton menjadi 31.8 juta ton. Sebaliknya jika tarif impor beras dinaikkan menjadi 25 persen atau 50 persen maka produksi dan konsumsi beras domestik diperkirakan tidak akan banyak mengalami perubahan. Bahkan tarif sampai 50 persen akan menyebabkan banyaknya beras penyelundupan yang sulit dikontrol karena keadaan luas wilayah dan berbatasan dengan negara tetangga, sementara itu kuantitas dan kualitas aparat pengawas masih sangat lemah. Berdasarkan hal tersebut penerapan tarif dengan besaran yang optimal masih dapat dilakukan dengan tidak mengganggu kemandirian pangan. Untuk komoditas jagung menunjukkan bahwa penerapan tarif dari nol persen menjadi 25 atau 50 prersen diperkirakan tidak akan banyak meningkatkan produksi jagung domestik, tetapi dapat menurunkan konsumsi. Pada komoditas kedele, peningkatan tarif menjadi 25 atau 50 persen akan relatif meningkatkan produksi domestik yang diikuti dengan sedikit penurunan konsumsi.
Sementara itu pada
industri gula peningkatan tarif tidak perlu dilakukan karena relatif tidak mendorong produksi dalam negeri, yang perlu didorong adalah peningkatan efisisensi industri gula dalam negeri (PSE, 2003). Menurut Hermanto (2002), gejolak harga beras berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan petani produsen (berstatus net-consumer) dan menghambat
36 rumah tangga tersebut untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Karena itu stabilisasi harga beras merupakan salah satu penentu tercapainya ketahanan pangan. Dengan teknik SWOT untuk melihat kinerja kebijakan stabilisasi harga Saliem et al. (2004) menyimpulkan bahwa kebijakan stabilisasi harga dengan instrumen HDG dan HDPP tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani
yang
berarti
juga
tidak
efektif
meningkatkan
ketahanan
pangan.
Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh pengaruh eksternal berupa penurunan harga beras di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar dan pengaruh faktor internal disebabkan kurang memadainya infrastruktur produksi dan pemasaran sehingga disparitas harga gabah terhadap harga beras meningkat. Peningkatan disparitas harga tersebut mencerminkan marjin pemasaran yang diterima petani semakin rendah, sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani menjadi sulit diupayakan. Dari analisis di atas, berkurangnya infrastruktur produksi dan pemasaran pertanian serta pengurangan subsidi input berdampak negatif terhadap ketahanan pangan.
Dampak tersebut dapat dikurangi dengan kenaikan harga output secara
proporsional. Dengan infrastruktur dan subsidi input yang berkurang serta semakin terbukanya pasar menyebabkan upaya kebijakan harga dengan instrumen HDG dan HDPP tidak efektif untuk meningkatkan ketahanan pangan.
2.6.
Dampak Kebijakan Harga Pangan terhadap Indikator Ekonomi Makro Menurut Dawe (2002) di lingkup internasional studi tentang pengaruh
ketidakstabilan harga dan program stabilisasi harga terhadap ekonomi makro kurang banyak mendapatkan perhatian ahli ekonomi. Beberapa paper kerja Waugh (1944), Oi (1961), Samuelson (1972) dan Newbery dan Stiglitz (1981) hanya beberapa halaman yang membahas arti penting skema stabilisasi harga untuk ekonomi makro.
37 Terbatasnya studi tersebut antara lain disebabkan pada negara-negara maju pembahasannya sudah tidak lagi ditingkat ekonomi mikro, seperti pengaruh harga pangan, tetapi sudah pada level lebih makro. Hal itu disebabkan karena pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga sudah relatif kecil sehingga dampaknya tidak nyata terhadap ekonomi makro. Kalaupun ada skema stabilisasi harga, dilakukan dengan manuver variabel-variabel makro, seperti dalam kebijakan target inflasi. Berbeda dengan di negara maju, di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga masih relatif tinggi, sehingga harga pangan memberikan pengaruh relatif kuat terhadap tingkat inflasi umum di Indonesia dibandingkan produk lain (Ilham, 2003a). Menurut Simatupang (2002), subsektor tanaman pangan berkontribusi besar dalam PDB pertanian sehingga berpengaruh besar dalam stabilisasi ekonomi, yang berkaitan dengan pemantapan ketahanan pangan, pengendalian inflasi, dan stabilisasi PDB. Penelitian Timmer (1997) dalam Amang dan Sawit (2001) memperlihatkan bahwa harga pangan yang stabil mendukung pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia. Berdasarkan hal itu kebijakan harga pangan masih relevan untuk dikaji. Pada periode 1970-1979 sumbangan bahan makanan dalam inflasi mencapai 57,47 persen dan menurun tajam menjadi 31.17 persen pada periode tahun 1990-1998. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan pertanian dan kebijakan pendukungnya telah berhasil meredam peningkatan harga bahan pangan sehingga tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti pada dekade 1960-an dan 1970-an (Simatupang, 2002).
Namun demikian karena kuatnya hubungan harga beras
terhadap komoditas lain, maka stabilisasi harga beras tetap menjadi bagian strategis dari stabilisasi ekonomi (PSE, 2003).
38 Saliem et al. (2004), menyimpulkan bahwa Harga Dasar Gabah (HDG) dan Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDPP) sebagai instrumen pokok kebijakan harga pangan masih efektif menopang stabilisasi harga jual gabah petani. Namun derajat efektivitasnya semakin menurun dengan melemahnya kontrol pemerintah terhadap pasar beras. Dimana pada saat pasar terisolasi (1995-1997) efektivitas HDG lebih tinggi dibandingkan saat pasar bebas (1998-1999) maupun saat pasar terkendali (2000-2003). Kebijakan harga pangan disamping mencegah fluktuasi musiman, umumnya juga dimaksudkan untuk melindungi ekonomi domestik terhadap ketidakstabilan pasar internasional. Liberalisasi tidak menjamin adanya stabilitas yang dapat menguntungkan negara yang lemah.
Lebih-lebih pasar beras yang merupakan
residual market, thin market dan bersifat oligopoly (Widodo, 2003). Menurut Kasryno, et al. (2001) ada empat dampak ketidakstabilan ekonomi beras pada perekonomian nasional.
Pertama, apabila produksi beras tidak dapat
dipulihkan maka impor beras akan meningkat. Karena Indonesia sebagai negara besar, peningkatan impor beras di atas 10 persen konsumsi beras akan berpengaruh pada harga beras di pasar dunia. Kedua, penurunan laju pertumbuhan produktivitas disertai dengan peningkatan intensitas penggunaan input berarti keuntungan riil usahatani padi cenderung menurun yang berarti pendapatan dan kesejahteraan petani menurun. Ketiga, perlambatan peningkatan produksi padi dan pendapatan petani berdampak negatif terhadap perekonomian desa maupun pengentasan kemiskinan, karena usahatani padi merupakan basis ekonomi bagi sebagian besar penduduk desa di Indonesia. Keempat, ketahanan pangan merupakan prakondisi bagi pembangunan desa, ketahanan pangan yang rentan akan berdampak buruk terhadap perekonomian makro maupun stabilitas sosial-politik nasional.
39 Menurut Gunawan (1991), ketatnya pengaturan harga pangan di Indonesia menyebabkan berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro. Hal yang sama terjadi di beberapa negara, seperti yang disitir maupun yang dihasilkan dari studi Kannapiran (2000), menunjukkan skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa hasil penelitian ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance of payment dan stabilitas moneter. Hal itu disebabkan kebijakan stabilitas harga tidak memberikan kontribusi yang baik terhadap manajemen ekonomi makro. Dengan menggunakan indikator RMSE, menurut Suparmin (2005) stabilitas harga gabah di tingkat petani dalam rezim Pasar Terbuka Terkendali (2000-2003) relatif lebih lebih stabil dibandingkan dalam rezim Orde Baru (1975-1998) maupun dalam rezim Pasar Bebas (1998-1999). Sementara itu tingkat stabilitas harga beras di tingkat konsumen dalam rezim Orde Baru relatif lebih stabil dibandingkan dalam pasar Terbuka Terkendali dan rezim Pasar Bebas. Berarti kebijakan stabilisasi harga selama ini lebih difokuskan pada upaya menjaga stabilitas harga beras di tingkat konsumen sebagai instrumen untuk mengendalikan laju inflasi. Jika Rezim Orde Baru mewakili kebijakan harga pangan yang intensif dibandingkan rezim Terbuka Terkendali dan Rezim Pasar Bebas maka dapat dikatakan juga bahwa kebijakan harga pangan, dalam hal ini OPM, mampu meningkatkan stabilitas inflasi. Untuk melihat efektivitas kebijakan pemerintah terhadap stabilitas harga gabah dan harga beras konsumen, Suparmin (2005) menggunakan pendekatan integrasi vertikal antar pasar dengan model kointegrasi dan vector error correction. Jika terjadi integrasi antar pasar maka kebijakan harga yang dilakukan efektif, demikian juga sebaliknya. Hasil analisis menyimpulkan bahwa stabilisasi harga gabah/beras efektif hanya pada rezim Orba, keefektifan ini lebih disebabkan oleh peran dan campur tangan penguasa saat itu.
40 Sugiyono (2005) dengan sistem persamaan simultan mengintegrasikan blok ekonomi beras, ekonomi makro dan politik. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor ekonomi beras mempengaruhi faktor ekonomi makro dan sebaliknya. Namun Faktor politik tidak mempengaruhi faktor ekonomi beras dan faktor ekonomi makro, demikian sebaliknya. Hasil penting yang berkaitan dengan penelitian ini adalah laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran. Dalam jangka pendek laju inflasi responsif terhadap Variabel harga riil beras eceran dengan nilai elastisitas 6.34. Ini membuktikan bahwa laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran sesuai pendapat Rahardjo (1993) dan Mulyana (1998). Hasil analisis simulasi yang dilakukan Sugiyono (2005) menunjukkan bahwa: (1) peningkatan harga dasar gabah lebih menguntungkan petani padi, konsumen beras tetap diuntungkan (ketahanan pangan meningkat), dan stabilitas ekonomi makro terjaga (pertumbuhan ekonomi meningkat, pengangguran berkurang dan inflasi mengalami penurunan), serta partai politik dan pemerintah diuntungkan karena faktor politik (ketahanan nasional) mengalami penguatan, (2) peningkatan subsidi pupuk berdampak positif meningkatkan penggunaan pupuk, produktivitas padi, produksi dan penawaran beras, pendapatan usahatani dan konsumsi beras, serta berdampak positif terhadap stabilitas ekonomi makro dan stabilitas politik. Dari uraian tentang studi-studi terdahulu, khususnya yang dilakukan di Indonesia, lingkup kajian terfokus pada keterkaitan harga gabah/beras dan inflasi, harga gabah/beras dan ketahanan pangan, kebijakan harga gabah/beras dan ketahanan pangan, inflasi dan pertumbuhan ekonomi serta kebijakan harga gabah/beras dan stabilitas ekonomi makro. Sementara itu studi ini lebih merupakan tahapan lebih jauh dan lebih komprehensif dari setudi sebelumnya. Hal itu disebabkan: (1) kajian ini melakukan kajian awal tentang perilaku pangsa pengeluaran pangan penduduk
41 sebagai dasar perlunya dilakukan kajian tentang keterkaitan kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi makro, (2) tidak lagi menganalisis harga pangan yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya, tetapi mengkaji kebijakan harga pangan yang menentukan stabilitas harga pangan itu sendiri, (3) pangan yang dianalisis tidak hanya beras, tetapi termasuk beberapa bahan pangan yang relevan dengan sasaran komoditas dari kebijakan harga pangan. Selama ini banyak statemen yang menyatakan bahwa pentingnya stabilisasi harga pangan karena pengaruhnya sangat signifikan terhadap stablitas ekonomi makro, terutama inflasi dan ketahanan pangan yang secara luas akan mempengaruhi pembangunan nasional. Pernyataan-pernyataan tersebut lebih didasarkan pada pengalaman empiris sejak tahun 1945 hingga krisis ekonomi tahun 1998. Penelitian empiris tentang hal itu masih belum banyak dilakukan. Kalaupun ada terbatas pada pengaruh harga beras terhadap inflasi. Bedasarkan hal tersebut maka penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan, sehingga pengalaman-pengalaman empiris yang selama ini terjadi dapat dikaji perilakunya untuk digunakan merancang kebijakan yang lebih efektif mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan.
2.7.
Biaya dan Manfaat Kebijakan Harga Pangan
2.7.1. Biaya Stabilisasi Harga Pangan Kebijakan harga pangan dapat berupa kebijakan harga output, kebijakan impor pangan dan kebijakan subsidi input. Menurut Sadoulet dan de Janvry (1995) kebijakan tersebut merupakan alat utama intervensi pemerintah untuk meningkatkan kontribusi
pertanian
terhadap
pembangunan
ekonomi
atau
meningkatkan
kesejahteraan rumah tangga petani. Namun kebijakan yang menyebabkan distorsi tersebut menjadi perdebatan berbagai grup kepentingan yang mewakili produsen, konsumen, pemerintah, kompetitor internasional dan ahli lingkungan. Berdasarkan
42 analisis keseimbangan parsial, kebijakan tersebut menimbulkan inefisiensi
jika
dibandingkan dengan kondisi pasar persaingan sempurna sebagai patokan. Berikut diuraikan dampak berbagai kebijakan.terhadap kesejahteraan. Kebijakan subsidi produsen menjamin harga produsen Pp di atas harga yang dibayar konsumen Pc yang sama dengan harga batas Pb1 (Gambar 1). Kebijakan ini meningkatkan kesejahteraan produsen ( ∆PS = 1+ 2 ), tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan konsumen ( ∆CS =0). Untuk kebijakan tersebut pemerintah mengeluarkan biaya ( ∆B = −1 − 2 − 3 ), sehingga secara keseluruhan menimbulkan inefisiensi (Net Social Gain=NSG= - 3).
P
Pp 1
2
3
Pb=Pc
0
Q
Gambar 1. Dampak Subsidi Produsen terhadap Kesejahteraan
Pada kebijakan subsidi konsumen, pemerintah menetapkan harga konsumen Pc di bawah harga jual produsen Pp yang sama dengan harga batas Pb (Gambar 2). Kebijakan ini tidak mempengaruhi kesejahteraan produsen ( ∆PS = 0 ), konsumen diuntungkan ( ∆CS =1+2). Pemerintah menanggung biaya subsidi yang sangat besar ( ∆B = −1 − 2 − 3 ), sehingga menimbulkan inefisiensi (Net Social Gain = - 3). 1
Pb=e.Ps, dimana e adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan Ps harga dunia dalam mata uang asing.
43 P
Pb 1
2
3
Pc
0
Q
Gambar 2. Dampak Subsidi Konsumen terhadap Kesejahteraan Jika pemerintah mensubsidi input produksi, petani akan menjadi akses pada teknologi dan dampaknya menggeser kurva penawaran ke kanan dari S1 ke S2 (Gambar 3).
Akibatnya produksi meningkat dan harga turun.
Konsumen dan
produsen memperoleh manfaat masing-masing ∆CS = 1+ 2 dan ∆PS = 4-1, sehingga dampak penggunaan teknologi memberikan manfaat positif (NSG=2+4). Manfaat keseluruhan merupakan selisih antara manfaat akibat perubahan teknologi dengan biaya akibat subsidi input. P
S1
S2
P1 1 P2
0
3
2 4
Q
Gambar 3. Dampak Perubahan Teknologi terhadap Kesejahteraan
44 Kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih mandiri dilakukan dengan mengenakan tarif impor produk pangan (Gambar 4). Produsen memperoleh manfaat ( ∆PS = 1), namun konsumen dikenai pajak ( ∆CS = -1-2-3-4). Pemerintah memperoleh manfaat ( ∆B = 3) dari penerimaan tarif impor.
Secara keseluruhan
pengaruh redistributif dari konsumen ke produsen dan Pemerintah menimbulkan kerugian (NSG= -2 -4).
P
P 1
2
3
4
tarif
Pb
0
Q
Gambar 4. Dampak Tarif Impor terhadap Kesejahteraan Menurut Amang dan Sawit (2001) manajemen stok yang merupakan inti dari kebijakan harga pangan memerlukan biaya. Biaya tersebut meliputi biaya pengadaan, eksploitasi1 dan manajemen2 (Tabel 8). Demikian juga dengan program OPK membutuhkan biaya yang terdiri dari subsidi langsung, biaya operasional, biaya tidak langsung dan biaya insentif. Biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengangkut beras dari titik distribusi ke tempat masing-masing. Biaya insentif adalah subsidi kurs untuk impor beras yang dilakukan Bulog (Tabel 9). 1 2
meliputi biaya penanganan, transportasi, penyimpanan dan distribusi. meliputi biaya administrasi dan penelitian.
45 Tabel 8. Biaya Stabilisasi Harga Beras yang Dikeluarkan Bulog, Tahun 1996/1997 Rincian Biaya
Persentase (%)
1.
Eksploitasi
27.37
2.
Manajemen
17.31
3.
Susut Komoditas
4.
Bunga bank termasuk administrasi Total Total (Rp juta)
4.89 50.43 100.00 1 136 069
Sumber: Amang dan Sawit (2001)
Tabel 9. Biaya Program Operasi Pasar Khusus Periode Agustus 1998-Agustus 1999 Rincian Biaya 1.
Subsidi beras
2.
Biaya operasional
3.
Biaya tidak langsung
4.
Biaya insentif Total
Nilai (Rp Milyar) 2 400 267 63 628 3 358
Sumber: Tabor dan Sawit (1999) dalam Amang dan Sawit (2001)
Jika biaya manajemen stok relatif tinggi bukan berarti fungsi tersebut dihilangkan, melainkan perlu dilakukan perbaikan manajemen untuk meningkatkan efisiensi. Karena pada prinsipnya manajemen stok yang dilakukan dengan baik dapat memberikan manfaat secara langsung (mikro) maupun tidak langsung (makro). Menurut Suparmin (2005), beberapa hal yang mempengaruhi biaya manajemen stok beras Bulog adalah: (1) jumlah stok yang besar dapat membantu kegiatan distribusi sekaligus untuk stabilisasi harga, namun merupakan beban jika disimpan terlalu lama karena biaya simpan menjadi besar dan berakibat lebih lanjut pada penurunan pembelian Bulog sehingga harga gabah menurun akibat kelebihan penawaran di pasar, (2) pembelian gabah petani oleh Sub Dolog melalui pedagang
46 besar akan lebih efisien dibandingkan membeli langsung ke petani, namun hal itu menyebabkan stabilitas harga gabah yang diterima petani menurun, (3) negosiasi antara Bulog dan Menteri Keuangan dalam menentukan subsidi kepada Bulog membutuhkan biaya transaksi yang harus dibebankan pada biaya manajemen stok, (4) jual beli delivery order merupakan modus penyelewengan yang dilakukan merupakan biaya dalam manajemen stok. Jika dilakukan dengan efisien dan tanpa penyelewengan, secara teori selain memberikan manfaat positif melalui efek pengganda, upaya manajemen stok secara langsung juga akan meningkatkan kesejahteraan (Ellis, 1992). Gambar 5 menunjukkan jika terjadi goncangan penawaran, perpotongan kurva penawaran (tidak diperlihatkan) dengan kurva permintaan berkisar diantara A dan B. Dengan kebijakan manajemen stok, harga akan distabilkan di tengah dua titik tersebut.
P D
P2
A
Pe
a
P1
c
b d
e f
g
h
B
D 0 Gambar 5.
Q2
Qe
Q1
Q
Dampak Kesejahteraan Kebijakan Stabilisasi Harga Ketika terjadi Perubahan Penawaran
47 Secara total, efek kebijakan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Jika penawaran mengalami defisit sehingga produksi turun dari Qe ke Q2 menyebabkan harga naik dari Pe ke P2. Melalui kebijakan manajemen stok, dilakukan penjualan stok ke pasar sehingga harga tetap di Pe. Dampak kebijakan ini adalah: a.
∆CS = a + b
b. ∆PS = - a c. Pendapatan penjualan stok = d + g 2. Jika terjadi kelebihan penawaran sehingga produksi naik dari Qe ke Q1 menyebabkan harga turun dari Pe ke P1. Melalui kebijakan manajemen stok, dilakukan penjualan stok ke pasar sehingga harga tetap di Pe. Otoritas melakukan pembelian kelebihan produksi untuk keperluan stok.
Dampak kebijakan ini
adalah: a.
∆CS = - (c + d + e)
b. ∆PS = c + d + e + f c. Biaya Pembelian untuk stok = - (e + f + h) 3. Efek total dari kebijakan manajemen stok tersebut adalah: a. Manfaat-Biaya manajemen stok saling meniadakan: d + g = e + f + h b. ∆CS = - d (sebab c + e = a + b) c.
∆PS = d + e + f
d. Kesejahteraan total: e + f Kesejahteraan tersebut akan diperoleh jika tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk gudang dan administrasi lain. Kenyataanya dibutuhkan biaya, selagi biaya tersebut lebih kecil atau sama dengan e + f kegiatan manajemen stok layak dilakukan.
48 Stabilisasi harga juga dilakukan oleh bank sentral di beberapa negara maju1 dengan kebijakan moneter. Kebijakan tersebut mendapat kritik dari beberapa ahli analisis kesejahteraan (manfaat-biaya) yang menyatakan biaya dalam mendukung stabilisasi harga lebih besar dibandingkan manfaatnya (Saxton, 1997). Lima kritikan terhadap kebijakan tersebut adalah: 1. Mandat stabilisasi harga sebagai tujuan utama kebijakan moneter hanya akan menghilangkan alat kebijakan ekonomi pemerintah yang mampu menstabilkan ekonomi makro. Dalam kondisi kebijakan fiskal dengan anggaran berimbang, defisit kebijakan fiskal tidak lagi dapat berperan untuk stabilisasi harga. Oleh karena itu kebijakan moneter harus menjaga fleksibilitasnya untuk dapat bertindak sebagai stabilisasi. Tanpa fleksibilitas ini, tidak satupun yang dapat menstabilkan ekonomi makro dari berbagai gangguan. 2. Target stabilitas harga yang ketat melalui kebijakan moneter adalah suboptimal jika penyesuaian pasar tenaga kerja tidak bekerja dalam menghadapi gangguan pengangguran dan upahnya tidak fleksibel. Dengan menurunnya kekakuan upah nominal, inflasi positif adalah penting untuk memicu penyesuaian pasar tenaga kerja terhadap gangguan pengangguran.
Dengan demikian, biaya untuk
menghapuskan inflasi lebih tinggi dibandingkan yang diduga karena pada tingkat inflasi rendah akan muncul trade-off permanen antara pengangguran dan inflasi; biaya pengangguran dalam menghapuskan inflasi meningkat jika inflasi mendekati nol.
Artinya, stabilitas harga akan berakibat pada meningkatnya
pengangguran. 3. Inflasi positif adalah penting agar kebijakan moneter dapat memicu kebijakan ekspansif dengan suku bunga rendah. Dengan tingkat inflasi positif, bank sentral dapat merespon gangguan permintaan agregat negatif dengan mengarahkan suku 1
Australia, Kanada, Finlandia, Spanyol, Swedia dan United Kingdom.
49 bunga nominal jangka pendek di bawah inflasi yang diharapkan, sehingga dana bank sentral menjadi negatif dan memacu ekonomi. Dengan stabilisasi harga (inflasi nol) dan suku bunga nominal nol akan membatasi kemampuan bank sentral untuk menurunkan suku bunga riil dan memicu ekonomi. Jadi inflasi nol akan menjadi kendala bagi kebijakan moneter sehingga bank sentral tidak mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mendorong kebijakan ekspansif. Oleh karena itu stabilitas harga memiliki risiko, sedangkan inflasi positif membuat opsi kebijakan moneter lebih luas. 4. Ketika terjadi inflasi adalah lebih baik mentoleransi inflasi rendah dibandingkan mengeluarkan biaya untuk menurunkan inflasi sampai level nol.
Analisis
kesejahteraan menunjukkan bahwa menurunkan inflasi ke nol adalah tidak tepat jika tingkat inflasinya rendah, karena biayanya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Namun mengevaluasi argumen ini sulit karena diperlukan penilaian yang tepat dengan pengukuran yang komprehensif dan akurat dari biaya dan manfaat yang ditimbulkan. 5. Tingkat inflasi yang sebenarnya tidak dapat diukur secara akurat dengan luasnya indeks harga seperti indeks harga konsemen. Terdapat bias indeks harga konsumen dalam pendugaan inflasi yaitu tingkat inflasi yang sebenarnya di bawah tingkat yang diukur. Bias ini berimplikasi bahwa indeks harga konsumen tidak dapat digunakan sebagai tujuan kebijakan yang berdaya guna. Konsekuensinya, stabilitas harga atau target inflasi tidak dapat bekerja sebagai suatu strategi untuk kebijakan moneter dan dalam prakteknya tidak dapat diterapkan. Pendugaan bias inflasi indeks harga konsumen adalah bervariasi, tetapi berkisar antara 0.5 persen sampai 2.0 persen per tahun. Dari uraian di atas ternyata stabilitasi harga dilakukan baik oleh negara sedang berkembang maupun negara maju. Perbedaan perekonomian negara tersebut
50 berimplikasi perbedaan kebijakan yang diambil. Pada negara sedang berkembang dimana pangsa pengeluaran pangan lebih besar dari pangsa pengeluaran lainnya kebijakan harga pangan menjadi lebih penting dibandingkan pada negara maju yang lebih pada kebijakan target inflasi yang biasanya dilakukan melalui pengendalian penawaran uang dan tingkat suku bunga. Kedua upaya tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga banyak mendapat kritikan. Namun dengan alasan yang lebih jauh yaitu kestabilan sosial dan politik. Biaya tersebut tidak menjadi penghalang bagi negara-negara tertentu untuk melakukannnya. 2.7.2. Manfaat Stabilisasi Harga Pangan Menurut Timmer (1996) dan Dawe (1995) biaya yang dikeluarkan untuk menstabilkan harga seharusnya tidak hanya dinilai dari segi untung/rugi sebuah perusahaan, akan tetapi harus dilihat kaitannya dengan kestabilan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi, investasi disektor beras, investasi di sektor terkait lainnya, hankam, politik dan aspek sosial lainnya. Termasuk ketahanan pangan yang berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia dan tercapainya pembangunan nasional. Menurut Moelyono (2002), motif kebijakan stabilissi harga secara umum adalah agar terpelihara kepastian kepada produsen, pedagang dan konsumen. Kepastian ini melahirkan perasaan aman dan keyakinan, sehingga kalkulasi-kalkulasi investasi dapat dilakukan dengan teratur, kalkulasi-kalkulasi pendapatan dapat dilakukan tanpa meleset banyak dan kalkulasi-kalkulasi pengeluaran dapat dilakukan dengan agak pasti. Dengan demikian stabilisasi mendorong efisiensi pada umumnya dan efisiensi dalam pengambilan keputusan. Menurut Amang dan Sawit (2001), ada tiga alasan perlunya dilakukan stabilisasi harga pangan:
51 1. Ketidakstabilan harga pangan dapat mengurangi minat investasi pada tingkat usahatani dari seharusnya, sebab petani tidak terangsang menggunakan teknologi baru dan alat-alat pertanian.
Akibat selanjutnya menurunkan investasi pada
kegiatan pemasaran dan pengolahan. 2. Sektor industri amat berkepentingan atas stabilisasi harga pangan karena amat terkait dengan upah tenaga kerja. Jika pangan cukup maka produktivitas tenaga kerja tinggi sehingga berpengaruh positif terhadap tingkat efisiensi suatu perusahaan. Stabilnya harga pangan akan mendorong investasi jangka panjang. Selain itu stabilnya harga pangan terkait dengan stabilitas politik, sehingga mendorong peningkatan investasi dan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. 3. Konsumen mengalami kerugian apabila harga pangan tidak stabil, terutama kelompok pendapatan rendah, sebab mereka lebih peka terhadap perubahan harga pangan. Jika ini terganggu akan mudah memicu berbagai kekerasan sosial yang mengganggu stabilitas politik. Pengalaman selama ini (Malari 1975 dan Kirisis Ekonomi 1978) cukup besar kerugian akibat dari kerusuhan yang ditimbulkan oleh kekerasan sosial). Dari sisi metodologis, menurut Sadoulet dan de Janvry (1995) analisis keseimbangan parsial cenderung menekankan pengaruh negatif statis distorsi harga dan mengabaikan pengaruh dinamis positif.
Sebenarnya ada beberapa pengaruh
positif dari kebijakan distorsi harga tersebut, seperti perubahan pendapatan dan biaya yang menggeser kurva permintaan dan penawaran, interaksi antar pasar dengan produk atau faktor yang saling bersubstitusi atau komplemen dalam produksi atau konsumsi, pengaruh nilai tukar dan tabungan, investasi serta pengaruh penerimaan publik, pendapatan pemerintah dari pajak yang digunakan untuk menurunkan biaya
52 transportasi, subsidi temporer untuk mendapatkan skala ekonomi dan redistribusi pendapatan bagi penduduk miskin. Analisis mengenai stabilisasi harga pangan jarang dianalisis secara menyeluruh dalam suatu konteks ekonomi makro. Padahal cara ini sangat bermanfaat dibanding dengan analisa parsial yang selama ini hanya ditujukan untuk menentang argumen perlunya stabilisasi harga (Dawe 1995). Stabilisasi harga beras untuk Indonesia oleh Dawe (1995) telah dibuktikan dapat menguntungkan tidak saja produsen dan konsumen (manfaat ekonomi mikro) tapi juga manfaat ekonomi makro. Secara teori, dampak keuntungan yang ditimbulkan dari suatu kebijakan stabilisasi harga pangan dalam bentuk transfer (Tr) pemerintah. Hal itu diuraikan pada persamaan berikut. Pendapatan nasional didefinisikan sebagai berikut:
Y=C+I+G+X
(1)
Jika konsumsi, investasi dan ekspor bersih didefinisikan seperti persamaan (2), (3) dan (4) maka persamaan (1) berubah menjadi persamaan (5).
C = C* + c Yd
(2)
I = I * − ki
(3)
X = X * − mY
(4)
Y = (C* + c Yd) + (I* - ki) + G* + (X* - m Y)
(5)
Jika disposible income Yd didefinisikan seperti persamaan (6) maka persamaan (5) berubah menjadi persamaan (7)
Yd = Y − (Tx * +tY − Tr )
(6)
Y = [C* + c{Y – (Tx* + tY – Tr)}] + I* – ki + G* + X* - mY
(7)
Y = C* + cY – cTx* - ctY + cTr + I* - ki + G* + X* - mY Y = C* + I* + G* + X* + Y(c – ct – m) + c(Tr – Tx*) – ki Y – Y(c – ct - m) = C* + I* + G* + X* + c(Tr – Tx*) – ki
53
Y {1 – (c –ct – m)} = C* + I* + G* + X* + c(Tr – Tx*) – ki Y=
C * + I * +G * + X * + c(Tr − Tx*) − ki {1 − (c − ct − m)}
Y=
[(C * + I * +G * + X *) + c(Tr − Tx*) − ki] (1 − c + ct + m)
(8)
Dari persamaan (8) di atas diperoleh efek pengganda fiskal f sebesar :
f =
1 (1 − c + ct + m)
(9)
Meningkatnya pembayaran transfer Tr akan meningkatkan pendapatan nasional sebesar sebesar f. Angka efek pengganda fiskal tersebut untuk kelompok berpendapatan rendah adalah tinggi karena rumah tangga miskin selalu dicirikan nilai c yang tinggi dan nilai m yang rendah.
Dengan demikian ternyata kebijakan
stabilisasi dapat memberikan efek positif terhadap perekonomian nasional. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan harga pangan membutuhkan biaya yang cukup besar. Secara teori, dengan analisis parsial kebijakan tersebut memberikan kerugian sosial, namun dengan kondisi perekonomian nasional yang sebagian masyarakatnya masih menghadapi masalah dengan daya beli terhadap pangan, analisis secara makro menunjukkan bahwa kebijakan harga pangan memberikan efek multiplier yang mampu memberikan pertumbuhan ekonomi. Hal utama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas dalam implementasi kebijakan sehingga kebocoran yang tidak diinginkan dapat dihilangkan.